Anda di halaman 1dari 11

Varikokel dan Nyeri Testis

Varikokel merupakan keadaan dimana berdilatasinya plexus


pampiniformis dan sistem vena spermatika internal. Sekitar 15% pria memiliki
varikokel dan 2%-10% di antaranya mengeluh sakit. Mekanisme nyeri pada
keadaan ini disebabkan oleh kompresi serabut saraf oleh kompleks vena yang
melebar, peningkatan suhu testis, peningkatan tekanan vena, hipoksia, stres
oksidatif, ketidakseimbangan hormon, dan refluks metabolit toksik dari adrenal
maupun ginjal. Nyeri testis pada varikokel biasanya digambarkan sebagai nyeri
tumpul atau berdenyut di testis, skrotum, atau pangkal paha. Manajemen nyeri
pada varikokel dimulai dari pendekatan konservatif, non-bedah dan observasi.
Varicocelectomy dapat mengurangi hampir 80% keluhan nyeri testis. Teknik
bedah mikro varicocelectomy memiliki komplikasi yang minimal dengan outcome
yang baik. Grade varikokel, sifat dan durasi nyeri, indeks massa tubuh, riwayat
manajemen konservatif sebelumnya, dan metode pembedahan merupakan
prediktor untuk keberhasilan varicocelectomy.

Pendahuluan
Varikokel merupakan keadaan dimana berdilatasi dan terpuntirnya vena
spermatika interna dalam pleksus pampiniformis dari korda spermatika [1].
Prevalensi varikokel yang dilaporkan bervariasi dengan perkiraan sekitar 15% [2].
Meskipun kebanyakan asimptomatik, gejala klinis yang paling umum adalah
infertilitas dan nyeri skrotum kronis [1]. Varikokel adalah penyebab utama
gangguan spermatogenesis dan penyebab tersering infertilitas pria [3]. Varikokel
ditemukan pada sekitar 40% pria dengan infertilitas primer dan pada 80% pria
dengan infertilitas sekunder [4]. Sekitar 2%-10% pria dengan varikokel mengeluh
nyeri, terutama di skrotum atau di daerah inguinal [5].

Etiologi
Etiologi nyeri terkait varikokel belum sepenuhnya dipahami. Namun,
varikokel dapat menyebabkan infertilitas dikarenakan varikokel mempengaruhi
spermatogenesis dan fungsi sel Leydig, dengan meningkatkan suhu testis, tekanan
vena, hipoksia, stres oksidatif, ketidakseimbangan hormon, dan/atau refluks
metabolit toksik adrenal atau ginjal. [6-11]. Cedera testis tidak hanya
menyebabkan infertilitas tetapi juga nyeri. Kompresi saraf oleh kompleks vena
yang melebar merupakan faktor tambahan yang menyebabkan nyeri terkait
varikokel [12].

Presentasi klinis dan evaluasi


Nyeri testis terkait varikokel biasanya digambarkan sebagai nyeri tumpul
atau berdenyut di testis, skrotum, atau pangkal paha. Varikokel juga digambarkan
sebagai rasa tidak nyaman di skrotum yang diperberat ketika olahraga, aktivitas,
atau berdiri lama. Selain itu juga harus dinilai mengenai rincian nyeri termasuk
onset, derajat nyeri, lokasi, kualitas, waktu muncul, dan perpindahan rasa nyeri ke
lokasi lain. Faktor-faktor yang memperburuk dan mengurangi nyeri juga harus
dinilai dengan penekanan pada kebiasaan buang air kecil, buang air besar, serta
aktivitas seksual maupun fisik.
Varikokel biasanya tidak menunjukkan gejala meskipun beberapa pasien
mengeluhkan nyeri testis. Biasanya, pria dewasa dengan varikokel didiagnosis
selama evaluasi infertilitas, dan varikokel pada remaja ditemukan secara
kebetulan pada pemeriksaan fisik. Oleh karena itu, pemeriksaan fisik merupakan
prosedur diagnostik paling penting dalam menilai varikokel. Inspeksi dan palpasi
skrotum harus dilakukan dengan pasien dalam posisi berdiri dan terlentang,
dengan dan tanpa manuver Valsava. Pemeriksaan sebaiknya dilakukan di ruangan
yang hangat agar otot kremaster dan fasia dartos dalam kondisi rileks. Sistem
grading standar yang digunakan pada varikokel adalah: grade 1, hanya dapat
diraba dengan manuver Valsalva; grade 2, mudah teraba tetapi tidak terlihat; dan
grade 3, terlihat [13]. Varikokel grade 0 (subklinis) divisualisasikan menggunakan
ultrasonografi Doppler tetapi tidak dapat teraba ketika dipalpasi.
Pemeriksaan imaging tidak dianjurkan dilakukan pada semua pasien
varikokel dengan nyeri testis. Namun, varikokel dapat dievaluasi pada skala
numerik dan dapat digunakan ketika hasil pemeriksaan fisik tidak jelas. Selain itu,
pemeriksaan ini memungkinkan eksklusi patologi intraskrotal atau
abdominopelvis potensial lainnya serta dapat secara akurat menilai ukuran kedua
testis. Pelvic doppler ultrasonography merupakan pilihan imaging yang paling
sering digunakan. Metode ini lebih ekonomis dan bersifat non-invasif dengan
sensitivitas yang tinggi serta dapat digunakan secara bed side. Selain itu,
computed tomography atau MRI abdomen dan pelvis dapat memberikan
gambaran anatomi secara menyeluruh dari area yang berpotensi menyebabkan
nyeri testis.
Sangat penting untuk melakukan pemeriksaan diagnostik pada setiap pria
dengan nyeri testis untuk menyingkirkan kemungkinan penyebab nyeri lainnya,
bahkan ketika varikokel secara klinis teraba. Diagnosis banding dari nyeri testis
kronis meliputi nyeri akibat patologi skrotum, nyeri post-prosedural, dan nyeri
alih (Tabel 1) [14]. Patologi skrotum yang dapat menyebabkan nyeri testis
meliputi tumor testis, varikokel, spermatokel, dan hidrokel. Cedera iatrogenik
pasca vasektomi atau repair hernia dapat memicu nyeri testis post-prosedural.
Nyeri alih dari berbagai penyebab seperti batu mid-ureter, dan hernia inguinalis
indirect juga harus dipertimbangkan dalam diagnosis banding orchalgia.
Tabel 1. Diagnosis banding nyeri skrotum

Manajemen
1. Manajemen medis
Penatalaksanaan varikokel harus dimulai dengan pengobatan konservatif
dan observasi. Dalam observasi dapat dievaluasi sumber nyeri potensial lainnya
seperti trauma minor, dan ketegangan otot inguinal [15,16]. Perawatan konservatif
seperti elevasi skrotum, non-steroidal anti-inflammatory drugs (NSAID), dan
pembatasan aktivitas fisik. Efikasi dari manajemen konservatif pada pasien
dengan varikokel bervariasi. Yaman et al [15] melaporkan bahwa 5/119 (4,2%)
pria dapat mencapai resolusi nyeri melalui pengobatan konservatif. Namun, Chen
[16] melaporkan bahwa 15/99 (15,2%) pria mengalami resolusi nyeri setelah 4
minggu perawatan konservatif.
Data terbaru melaporkan penggunaan obat phlebotrophic pada pasien
dengan varikokel. Micronised purified flavonoid fraction (MPFF) adalah agen
phlebotrophic oral yang dapat meningkatkan tonus dan elastisitas vena serta
mengurangi distensi serta waktu pengosongan vena pada pasien dengan
insufisiensi vena kronis. Kiliç et al [18] menjelaskan bahwa pemberian terapi
MPFF oral selama 6 bulan aman dan efektif dalam sebuah penelitian terhadap 16
pasien dengan nyeri varikokel.

2. Manajemen bedah
Intervensi prosedural diindikasikan pada pasien yang resisten terhadap
perawatan konservatif atau gejala persisten selama masa observasi dan pada
pasien dengan keterbatasan aktivitas sehari-hari.
Ligasi varikokel yang biasa dikenal dengan varicocelectomy merupakan
manajemen yang efektif pada nyeri varikokel. Repair varikokel pada awalnya
dilakukan menggunakan insisi skrotum yang saat ini telah ditinggalkan karena
tingginya tingkat cedera arteri testis serta tingkat kekambuhan [19]. Scrotal
approach sulit untuk menjaga arteri testis dikarenakan pleksus pampiniformis
menyelubungi arteri testis. Berbagai teknik ligasi vena dalam mencegah aliran
retrograde vena spermatika internal telah dikembangkan seperti retroperitoneal
(Palomo), inguinal (Ivanissevich), subinguinal, dan Scrotal approach [20-22].
Selain itu, teknik ini juga dapat disertai dengan laparoskopi, penggunaan loupe,
maupun mikroskop untuk meningkatkan visualisasi. Setiap tindakan memiliki
tingkat kompleksitas, keberhasilan, komplikasi, dan kekambuhan yang berbeda-
beda. Teknik palomo memerlukan ligasi tinggi retroperitoneal dari arteri testis dan
vena di atas cincin inguinalis interna. Teknik ini dilakukan dengan melakukan
ligasi tinggi pada 2 hingga 3 vena. Namun, tidak dapat menilai vena kolateral di
bawah bidang operasi sehingga teknik ini memiliki insidensi kekambuhan yang
tinggi.
Open retroperitoneal approach dilakukan dengan membuka musculus
obliquus abdominis agar dapat menilai vena spermatika internal pada ujung
proksimal cincin inguinal interna dalam ruang retroperitoneum. Pada pendekatan
ini, arteri testis biasanya tidak dilakukan diseksi. Loupe atau mikroskop bedah
dapat digunakan pada pendekatan ini. Dalam penelitian terbaru dilaporkan bahwa
tingkat resolusi nyeri parsial dan lengkap masing-masing sebesar 82,8% dan 9,3%
[23]. Karena kemajuan teknologi, pendekatan retroperitoneal dapat dilakukan
melalui laparoskopi dengan ligasi vena spermatika setinggi tempat masuknya
vena ginjal kiri. Metode laparoskopi kurang invasif dibandingkan dengan metode
terbuka serta lebih sedikit vena yang perlu diligasi [24,25]. Selain itu, karena
arteri testis belum bercabang pada tingkat ini, risiko cedera menjadi minimal [26].
Ligasi tinggi melalui pendekatan laparoskopi dapat mencegah cedera arteri testis
dan saluran limfatik. Namun, manajemen ini jarang dilakukan karena
membutuhkan anestesi umum, membutuhkan ahli bedah laparoskopi yang
berpengalaman, prosedur yang invasif, serta tingkat komplikasi yang lebih tinggi.
Tingkat kekambuhan dan pembentukan hidrokel yang lebih tinggi pada
pendekatan ini merupakan masalah lain.
Inguinal approach memerlukan insisi kulit di atas kanalis inguinalis yang
terletak lebih tinggi dari cincin eksternal, serta membutuhkan insisi pada fasia
external oblique. Subinguinal approach dilakukan di bawah cincin inguinal
eksternal, untuk menjaga fasia oblique. Agar dapat mengidentifikasi dan menjaga
arteri dan limfatik, kedua pendekatan tersebut diatas harus menggunakan loupe
atau mikroskop. Dikarenakan jumlah vena dan arteri besar di kanalis inguinalis
yang lebih sedikit dibandingkan daerah subinguinal, inguinal approach dapat
secara baik mengidentifikasi serta meligasi vena spermatika internal dengan lebih
aman. Dengan menggunakan inguinal approach dapat dilakukan ligasi pembuluh
darah termasuk vena spermatika eksternal. Namun, pendekatan ini lebih invasif
dikarenakan membutuhkan insisi musculofascial. Keuntungan dari subinguinal
approach dibandingkan dengan inguinal approach adalah nyeri pasca operasi
yang lebih sedikit, risiko komplikasi yang lebih rendah dan tingkat kekambuhan
yang lebih rendah dikarenakan ligasi vena spermatika eksternal dan vena
cremaster [27]. Namun, kekurangan dari subinguinal approach adalah jumlah
vena yang akan diligasi lebih banyak serta risiko cedera arteri yang lebih besar
karena arteri testis di bawah cincin inguinal eksternal sangat melekat pada vena
spermatika [27 ] Risiko ini dapat diminimalisir dengan menggunakan mikroskop
bedah [28]. Microsurgery inguinal dan subinguinal merupakan teknik inovatif
pada ligasi semua vena kecuali vena vasal dengan tetap menjaga arteri testis dan
limfatik yang dapat menurunkan angka rekurensi dan komplikasi. Tingkat
kekambuhan micro varicocelectomy dilaporkan hanya 1% hingga 2% yang mana
jauh lebih rendah dibandingkan bedah terbuka [29]. Hidrokel skrotum merupakan
komplikasi tersering dari varicocelectomy dengan frekuensi 3% hingga 33%,
namun komplikasi ini hampir tidak pernah ditemukan pada pasien yang menjalani
microsurgery dikarenakan saluran limfatik dapat diamati dan dijaga di bawah
mikroskop. Namun, microsurgery membutuhkan pelatihan dan keahlian serta
durasi operasi yang lebih lama. Studi yang membandingkan inguinal approach
dengan subinguinal approach menunjukkan bahwa dengan membuka aponeurosis
oblique external dapat menyebabkan nyeri tambahan dengan waktu pemulihan
yang lebih lama tetapi durasi operasi yang lebih pendek [27]. Kim et al [30]
mengevaluasi 114 pasien varikokel menggunakan microsurgery inguinal
approach. Tingkat respons kesembuhan sebesar 91,2% dan hanya 8,8% pasien
yang melaporkan nyeri pasca operasi. Park et al [31] menggunakan mikrosurgery
inguinal atau subinguinal approach dan melaporkan respons lengkap dan parsial
masing-masing pada 52,8% dan 41,5% pasien.
Pertimbangan klinis di antara ahli urologi sangat bervariasi pada populasi
dewasa dan remaja, tergantung pada preferensi dokter bedah dan kondisi rumah
sakit [32]. Laporan komparatif lain telah menilai teknik yang berbeda, dan saat
ini, tidak terdapat konsensus mengenai metode pembedahan yang paling tepat
pada varikokel, meskipun teknik bedah mikro memiliki tingkat komplikasi
minimal dan outcome yang memuaskan (Tabel 2) [30].
3. Percutaneous embolization
Percutaneous transcatheter embolization dapat mencapai akses vaskular
secara perkutan melalui pendekatan antegrade atau retrograde. Venogram
digunakan untuk mendapatkan gambaran anatomi vena, diikuti oleh embolisasi
dengan coil, balon, atau sclerotherapy. Kelebihan teknik ini adalah dapat
dilakukan dengan anestesi lokal. Namun, hanya dilakukan di center dengan
keahlian radiologi intervensi dengan tingkat keberhasilan yang lebih rendah
dibandingkan manajemen bedah. Sehingga pilihan manajemen ini belum seefektif
microsurgery [33]. Data terbaru menunjukkan peningkatan efektivitas
percutaneous transcatheter embolization dalam manajemen primer nyeri
varikokel [34]. Namun, tingkat kekambuhan lebih tinggi dibandingkan bedah
mikro.

4. Prediktor kesuksesan
Derajat varikokel, karakteristik nyeri, durasi nyeri, dan indeks massa tubuh
(Body mass indeks;BMI) serta riwayat manajemen konservatif sebelumnya dan
jenis pembedahan yang digunakan, merupakan faktor yang mempengaruhi
outcome pasien. Namun, indikator pra operasi ini tidak dilaporkan dalam literatur
karena nyeri sulit untuk dijelaskan secara subyektif secara akurat, dan dapat
menyebabkan salah diagnosis dan salah pilihan tindakan pembedahan.

a. Grade varikokel
High grade varikokel merupakan prediktor outcome yang buruk. Yaman et
al [15] melaporkan outcome dari 82 pasien post varicocelectomy: 87,8% (72/82)
menunjukkan respons lengkap sedangkan 11,0% tidak menunjukkan respons
(9/82). Pasien yang tidak berespon merupakan varikokel grade 3 sebesar 6,1%,
(5/82), grade 2 sebesar 3,7% (3/82), dan grade 1 sebesar 1,2% (1/82). Namun,
tidak terdapat perbedaan signifikan antara responden dan non-responden dalam
penelitian tersebut [16].

b. Karakteristik nyeri
Nyeri tumpul merupakan prediktor outcome yang baik. Kim et al [30]
melaporkan bahwa kualitas nyeri merupakan prediktor independen kesuksesan
terapi. Mereka melaporkan bahwa 100% (24/24) pasien sukses mendapatkan
terapi ketika rasa nyeri bersifat tumpul, meskipun memiliki tingkat keberhasilan
78,4% (29/37) pada pria dengan aching pain, dan 96,2% (51/53) dengan dragging
pain. Namun studi lain tidak menemukan hubungan yang signifikan antara sifat
nyeri dengan respon pembedahan [31].

c. Durasi nyeri
Pasien dengan durasi nyeri yang lebih lama sebelum pembedahan
memiliki outcome yang lebih baik. Kim et al [30] melaporkan bahwa durasi rata-
rata nyeri pada seluruh kelompok adalah 13,7 bulan sedangkan pada non-respon
adalah 4,2 bulan. Studi tersebut tidak mengelompokkan pasien sesuai dengan
durasi nyeri mereka. Studi lain menggunakan cut-off durasi nyeri 3, 6, dan 9 bulan
menemukan perbedaan respons yang signifikan. Pasien dengan durasi nyeri yang
lebih lama sebelum operasi memiliki outcome yang lebih baik [15]. Tingkat
keberhasilan sebesar 98,6% pada kelompok dengan durasi nyeri lebih dari 3
bulan, sementara 7,7% pasien dengan durasi nyeri kurang dari 3 bulan mengalami
gagal terapi [35].

d. Body mass index


BMI yang tinggi merupakan faktor terkait outcome yang buruk. Park et al
[31] melaporkan bahwa semua kegagalan terapi terjadi pada pasien dengan BMI>
22 kg/m2. Namun dalam penelitian lain, BMI rata-rata responden dan non
responden masing-masing adalah 21,3 dan 22,1 kg/m2 meskipun perbedaannya
tidak signifikan secara statistik [16].

e. Pendapat ahli
Berbagai pendekatan bedah pada pasien varikokel memiliki tingkat
resolusi nyeri yang hampir sama. Oleh karena itu, varicocelectomy diterima
sebagai manajemen standar pada nyeri terkait varikokel. Namun, sekitar 10%
pasien mengalami nyeri persisten pasca varicocelectomy. Oleh karena itu,
informed consent sebelum perawatan bedah harus menjelaskan kemungkinan non-
response. Selain itu, pengobatan konservatif yang memadai diindikasikan sebelum
perawatan bedah karena beberapa penelitian melaporkan bahwa durasi nyeri
jangka panjang merupakan prediktor keberhasilan pasca operasi. Di antara
berbagai pendekatan bedah, microsurgical inguinal atau subinguinal approache
direkomendasikan karena tingkat kekambuhan serta komplikasi yang lebih
rendah. Di tangan seorang ahli bedah yang berpengalaman, microsurgical inguinal
approache mengurangi rasa nyeri dengan tetap menjaga aponeurosis external
oblique dan memfasilitasi ligasi gubernacular collateral veins.

Kesimpulan
Nyeri testis kronis merupakan keluhan pada 2%-10% pasien varikokel.
Varicocelectomy masih merupakan pilihan perawatan yang paling disukai dengan
tingkat keberhasilan sekitar 80% dalam mengurangi nyeri. Namun, berbagai
metode bedah seperti retroperitoneal, inguinal, subinguinal dan scrotal aprroach
dengan atau tanpa laparoskopi dan dapat dilakukan dengan bantuan mikroskop.
Teknik mikrosurgical merupakan pilihan terapi tingkat komplikasi
minimal dengan outcome yang baik. Grade varikokel, karakteristik nyeri, durasi
nyeri, BMI, riwayat manajemen konservatif sebelumnya, dan jenis pendekatan
bedah merupakan prediktor keberhasilan varicocelectomy. Namun, diperlukan
penelitian lebih lanjut.

Anda mungkin juga menyukai