Anda di halaman 1dari 113

MODUL I

PETA-PETA KERJA DAN


PENGUKURAN WAKTU DENGAN METODE HENTI

I. TUJUAN PRAKTIKUM
Dari praktikum ini diharapkan praktikan mampu:
1. Memahami cara penggunaan peta-peta kerja dalam kondisi aktual
berdasarkan proses produksi dan kondisi pabrik yang diamati.
2. Memahami penggunaan metode jam henti dan metode work sampling dalam
menghitung waktu proses dari produk yang diamati.
3. Membuat peta perakitan (Assembling Chart)

II. LANDASAN TEORI


2.1 Peta-peta Kerja
Menganalisis suatu sistem kerja berarti mencatat secara sistematis, meneliti
seluruh kegiatan/operasi serta menyajikan berbagai fakta dan spesifikasi kerja yang
ada pada sistem kerja tersebut. Peta-peta kerja umumnya alat yang sistematis dalam
mengumpulkan semua fakta yang berkenaan dengan sistem kerja yang diamati,
sehingga dapat digunakan untuk mengkomunikasikan fakta-fakta tersebut kepada
orang lain. Informasi yang terkandung dalam suatu peta kerja dapat dipakai sebagai
bahan untuk merancang atau memperbaiki sistem kerja. Dengan peta-peta kerja dapat
dilihat semua langkah atau kejadian-kejadian yang dialami oleh suatu objek (benda
kerja) sejak awal suatu proses sampai pada proses menghasilkan produk.
Peta-peta yang ada pada saat ini dapat dikelompokkan atas:
1. Peta-peta Kerja Keseluruhan, yaitu:
a. Peta Proses Operasi (Operation Process Chart/OPC)
b. Peta Aliran Proses (Flow Process Chart/FPC)
c. Peta Proses Kelompok Kerja (Work Group Process Chart)
d. Diagram Alir

1
2. Peta-peta Kerja Setempat, yaitu:
a. Peta Pekerja dan Mesin
b. Peta Tangan Kiri dan Tangan Kanan
3. Peta Praktikum (Assembling Chart)

2.1.1 Lambang yang Digunakan Pada Peta-peta Kerja


Menurut catatan sejarah, peta-peta kerja yang ada sekarang ini dikembangkan
oleh Gilberth. Pada saat itu untuk membentuk suatu peta kerja, Gilberth
mengusulkan 40 buah lambang yang bisa digunakan. Kemudian pada tahun
selanjutnya jumlah lambang-lambang tersebut disederhanakan menjadi 6 macam,
yaitu:

OPERASI
Suatu kegiatan operasi terjadi apabila benda kerja mengalami perubahan sifat, baik
fisik maupun kimiawi, mengambil informasi maupun memberikan informasi pada
suatu keadaan juga termasuk operasi. Operasi merupakan kegiatan yang paling
banyak terjadi dalam suatu proses. Dan biasanya terjadi pada suatu mesin atau suatu
stasiun kerja. Contoh: pekerjaan menyerut kayu dengan mesin serut, pekerjaan
mengeraskan logam, pekerjaan merakit.
Dalam praktiknya, lambang ini juga bisa digunakan untuk menyatakan aktivitas
administrasi contohnya aktivitas perencanaan atau perhitungan.enyu

PEMERIKSAAN
Suatu kegiatan pemeriksaan terjadi apabila benda kerja atau peralatan
mengalami pemeriksaan baik untuk segi kualitas maupun kuantitas. Labang ini
digunakan jika kita melakukan pemeriksaan terhadap suatu objek atau
membandingkan objek tertentu dengan suatu standar. Suatu pemeriksaan tidak
membuat bahan baku menjadi suatu barang jadi.
Contohnya, mengukur dimensi benda, memeriksa warna benda, membaca alat ukur
tekanan uap pada suatu mesin uap.

2
TRANSPORTASI
Suatu kegiatan transportasi terjadi apabila benda kerja, pekerja atau perlengkapan
mengalami perpindahan tempat yang bukan merupakan bagian dari suatu operasi.
Contoh: benda kerja diangkut dari mesin bubut ke tempat mesin scrap untuk
mengalami operasi berikutnya, atau suatu objek dipindahkan dari lantai bawah ke
lantai atas lewat elevator.
Suatu pergerakan yang merupakan bagian dari operasi atau disebabkan oleh petugas
pada tempat bekerja sewaktu operasi atau pemeriksaan berlangsung bukanlah
merupakan transportasi.
Contoh: keramik yang mengalami operasi pemanasan sambil bergerak di atas ban
berjalan merupakan kegiatan operasi, walaupun keramik tersebut mengalami
perpindahan tempat tetapi perpindahan tersebut merupakan bagian dari kegiatan
pemanasan.

MENUNGGU
Proses menunggu terjadi apabila benda kerja, pekerja, atau perlengkapan tidak
mengalami kegiatan apa-apa selain menunggu (biasanya sebentar). Kegiatan ini
menunjukkan bahwa suatu objek ditinggalkan untuk sementara tanpa pencatatan
sampai diperlukan kembali.
Contoh: objek menunggu untuk diproses atau diperiksa, peti menunggu untuk
dibongkar, bahan menunggu untuk diangkat ke tempat lain.

PENYIMPANAN
Proses penyimpanan terjadi apabila benda kerja disimpan untuk jangka waktu yang
cukup lama. Jika benda kerja tersebut akan diambil kembali biasanya memerlukan
suatu prosedur perizinan tertentu.
Lambang ini digunakan untuk menyatakan suatu objek yang mengalami
penyimpanan permanen, yaitu ditahan atau dilindungi terhadap pengeluaran tanpa
izin. Prosedur perizinan dan lamanya waktu adalah dua hal yang membedakan antara
kegiatan menunggu dan penyimpanan.

3
Contoh: dokumen-dokumen atau catatan-catatan disimpan dalam brankas, bahan
baku disimpan dalam gudang.
Selain kelima lambang standar di atas, kita bisa menggunakan lambang lain apabila
merasa perlu untuk mencatat suatu aktivitas yang memang terjadi selama proses
berlangsung dan tidak terungkap oleh lambang-lambang tadi, lambang tersebut
adalah :

AKTIVITAS GABUNGAN
Aktivitas gabungan ini terjadi apabila aktivitas operasi dan pemeriksaan dilakukan
bersamaan atau dilakukan pada suatu tempat kerja.

2.1.2 Peta-peta Kerja Keseluruhan


Peta-peta kerja keseluruhan digunakan untuk menganalisis suatu kegiatan
kerja yang bersifat keseluruhan yang umumnya melibatkan sebagian besar atau
semua sistem kerja yang diperlukan dalam pembuatan sebuah produk. Peta-peta kerja
ini menggambarkan keseluruhan proses produksi serta interaksi antar stasiun kerja
dan antar kelompok kegiatan operasi. Peta-peta kerja keseluruhan terdiri dari :
a. Peta Proses Operasi (Operation Process Chart/OPC)
Peta proses operasi merupakan suatu diagram yang menggambarkan langkah-
langkah proses yang akan dialami bahan baku mengenai urutan-urutan operasi dan
pemeriksaan. Dengan adanya informasi yang biasa dicatat melalui peta proses
operasi, kita bisa memperoleh banyak manfaat diantaranya:
1) Mengetahui kebutuhan akan mesin dan penganggarannya
2) Memperkirakan kebutuhan bahan baku (dengan memperhitungkan efisiensi di
tiap operasi)
3) Sebagai alat untuk menentukan tata letak pabrik
4) Sebagai alat untuk latihan kerja
Agar diperoleh gambar peta operasi yang baik, produk yang biasanya paling
banyak memerlukan operasi harus dipetakan terlebih dahulu. Setelah semua proses
digambarkan dengan lengkap, pada akhir halaman dicatat tentang ringkasnya yang

4
memuat informasi-informasi seperti jumlah operasi, jumlah pemeriksaan dan jumlah
waktu yang dibutuhkan.

Gambar 2.1 Peta Proses Operasi

b. Peta Aliran Proses (Flow Process Chart/FPC)


Setelah kita mempunyai gambaran tentang keadaan umum dari proses yang
terjadi, seperti yang diperlukan dalam Peta Proses Operasi, langkah berikutnya
adalah menganalisis setiap komponen pembentukan suatu produk lengkap dengan
lebih terperinci melalui Peta Aliran Proses. Kegunaan umum dari peta aliran proses
adalah :
1) Digunakan untuk mengetahui aliran bahan atau aktivitas pekerja yang dimulai
dari awal proses atau prosedur sampai aktivitas terakhir.
2) Peta ini dapat memberikan informasi mengenai waktu penyelesaian suatu proses
atau prosedur.

5
3) Digunakan untuk mengetahui jumlah kegiatan yang dialami bahan atau dilakukan
oleh pekerja selama proses atau prosedur berlangsung.
4) Sebagai alat untuk melakukan perbaikan-perbaikan proses atau metoda kerja.

Gambar 2.2 Peta Aliran Proses

c. Peta Proses Kelompok Kerja


Sesuai dengan namanya, peta ini dapat digunakan sebagai alat untuk
menganalisis aktivitas suatu kelompok kerja. Masalah utama jika terjadi kerja sama
antara sekelompok orang dimana satu aktivitas dengan lainnya saling bergantungan
adalah banyaknya dijumpai aktivitas-aktivitas menunggu (delay).
Tujuan utama yang harus di analisa dari kelompok kerja ini adalah kita harus
bisa meminimumkan waktu menunggu. Dengan berkurangnya waktu menunggu
berarti kita bisa mencapai tujuan lain yang lebih nyata diantaranya:
1) Mengurangi ongkos produksi atau proses
2) Mempercepat waktu penyelesaian produksi atau proses

6
d. Diagram Alir
Diagram alir merupakan suatu gambaran menurut skala dari susunan lantai
dan gedung, yang menunjukkan lokasi dari semua aktivitas yang terjadi dalam peta
aliran proses. Secara lebih lengkap, kegunaan suatu diagram alir dapat diuraikan
sebagai berikut:
1) Lebih memperjelas suatu peta aliran proses, apalagi jika arah aliran
merupakan faktor yang penting
2) Sebagai informasi untuk perbaikan tata letak tempat kerja

Gambar 2.3 Diagram Alir

2.1.3 Peta-peta Kerja Setempat


Peta-peta kerja yang termasuk peta kerja setempat digunakan untuk
menganalisis kegiatan kerja pasa suatu stasium kerja tertentu, karena peta kerja ini
menggambarkan poses produksi yang terjadi pasa stasium kerja itu saja. Proses
produksi ini dijabarkan dengan elemen-elemen gerakan operator yang lebih ditail
daripada peta-peta kerja keseluruhan. Dengan demikian, untuk memprediksi waktu
standar pelaksanaan tiap-tiap elemen gerakan tersebut digunakan data waktu gerakan
dengan tingkat ketelitian yang sesuai. Salah satu metoda yang biasanya adalah
Motion Time Measurement (MTM). Peta-peta kerja setempat terdiri dari :

7
a. Peta Pekerja dan Mesin
Peta pekerja dan mesin dapat dikatakan merupakan suatu grafik yang
menggambarkan koordinasi antara waktu bekerja dan waktu menganggur dari
kombinasi antara pekerja dan mesin. Dengan demikian peta ini merupakan alat yang
baik digunakan untuk mengurangi waktu menganggur.
Informasi paling penting yang diperoleh melalui peta pekerja dan mesin ialah
hubungan yang jelas antara waktu kerja operator dan waktu operasi mesin yang
ditanganinya. Dengan informasi ini, maka kita mempunyai data yang baik untuk
melakukan penyelidikan, penganalisaan, dan perbaikan suatu pusat kerja sedemikian
rupa sehingga efektivitas penggunaan pekerja dan atau mesin bisa ditingkatkan, dan
tentunya keseimbangan kerja antara pekerja dan atau mesin bisa ditingkatkan, dan
tentunya keseimbangan kerja antara pekerja dan mesin bisa lebih diperbaiki.

Gambar 2.4 Peta Pekerja dan Mesin

8
b. Peta Tangan Kiri dan Tangan Kanan
Untuk mendapatkan gerakan-gerakan yang lebih terperinci, terutama untuk
mengurangi gerakan-gerakan yang tidak perlu dan untuk mengatur gerakan sehingga
diperoleh urutan yang terbaik, maka dilakukan studi gerakan. Berdasarkan studi ini
kita dapat membuat peta tangan kiri dan tangan kanan. Dengan kata lain, peta tangan
kiri dan tangan kanan merupakan suatu alat dari studi gerakan untuk menentukan
gerakan-gerakan yang efisien.
Kegunaan peta tangan kiri dan tangan kanan adalah :
1) Menyeimbangkan gerakan kedua tangan dna mengurangi kelelahan
2) Menghilangkan atau mengurangi gerakan-gerakan yang tidak efisien dan tidak
produktif, sehingga tentunya akan mempersingkat waktu kerja.
3) Sebagai alat untuk menganalisa tata letak stasiun kerja
4) Sebagai alat untuk melatih pekerjaan baru dengan cara kerja yang ideal

Gambar 2.5 Peta Tangan Kiri dan Tangan Kanan

9
2.1.2 Peta Perakitan (Assembling Chart)
Peta perakitan adalah suatu pernyataan grafis dari suatu siklus dimana bagian
dan sub bagian produk dirakit menjadi produk akhir. Peta ini sangat membantu
dalam memahami beberapa hal penting, antara lain :
a. Komponen apa saja yang membentuk produk
b. Bagaimana komponen/bagian-bagian tersebut tersusun bersama
c. Komponen yang menjadi bagian suatu rakitan-bagian
d. Aliran komponen ke dalam sebuah rakitan
e. Keterkaitan antar bagian/komponen dengan rakitan-bagian
f. Penggambaran menyeluruh dari proses perakitan
g. Urutan waktu komponen bergabung bersama
h. Suatu gambaran awal dari pola aliran bahan

Gambar 2.6 Peta Perakitan (Assembling Chart)

2.3 Pengukuran Waktu Kerja dengan Metode Jam Henti


Pengukuran waktu kerja dengan jam henti (stop-watch time study)
diperkenalkan pertama kali oleh Frederick W. Taylor sekitar abad ke-19. Metoda ini
diaplikasikan untuk pekerjaan-pekerjaan yang berlangsung singkat dan berulang-
ulang (repetitive). Dari hasil pengukuran akan diperoleh waktu baku untuk
menyelesaikan suatu siklus pekerjaan, yang mana waktu ini akan dipergunakan

10
sebagai standard penyelesaian pekerjaan bagi semua pekerja yang akan
melaksanakan pekerjaan yang sama.
2.3.1 Langkah-langkah sebelum melakukan pengukuran
Berikut ialah langkah-langkah yang harus diperhatikan sebelum melakukan
perhitungan:
a. Penetapan tujuan pengukuran
Sebagaimana halnya dengan berbagai kegiatan lain, tujuan melakukan kegiatan
harus ditetapkan terlebih dahulu. Dalam pengukuran waktu, hal-hal penting yang
harus diketahui dan ditetapkan adalah untuk apa hasil pengukuran digunakan,
beberapa tingkat ketelitian dan tingkat keyakinan yang diinginkan dari hasil
pengukuran tersebut.
b. Melakukan penelitian pendahuluan
Yang dicari dari pengukuran waktu adalah waktu yang pantas diberikan kepada
pekerja untuk menyelesaikan pekerjaan. Tentu suatu kondisi yang ada dapat
dicari waktu yang pantas tersebut; artinya akan didapat juga waktu pantas untuk
menyelesaikan pekerjaan dengan kondisi yang bersangkutan.
c. Memilih operator
Operator yang akan dilakukan pekerjaan yang diukur bukanlah orang yang begitu
saja diambil dari pabrik. Operator tersebut harus memenuhi persyaratan tertentu
agar pengukuran dapat berjalan dengan baik, dan hasilnya dapat diandalkan.
Syarat-syaratnya adalah berkemampuan normal dan dapat diajak bekerja sama.
d. Melatih operator
Walaupun operator yang baik telah didapat, terkadang masih diperlukan adalah
bagi operator tersebut terutama jika kondisi dan cara kerja yang dipakai tidak
sama dengan yang biasa dijalankan operator.
e. Mengurai pekerjaan atas elemen pekerjaan
Di sini pekerjaan dipecah menjadi elemen pekerjaan, yang merupakan gerakan
bagian dari pekerjaan yang bersangkutan. Elemen-elemen inilah yang diukur
waktunya.

11
f. Menyiapkan alat-alat pengukuran
Setelah kelima langkah dijalankan dengan baik, langkah terakhir sebelum
melakukan pengukuran yaitu menyiapkan alat-alat yang diperlukan, yaitu:
- Stopwatch
- Lembar pengamatan
- Alat tulis
- Papan pengamatan

2.3.2 Langkah-langkah melakukan pengukuran waktu


Berikut ialah langkah-langkah yang harus diperhatikan sebelum melakukan
perhitungan:
1. Uji keseragaman data
Uji keseragaman data berfungsi untuk memperkecil varian yang ada dengan
membuang data ekstrem. Jika ada data yang berada di luar batas kendali atas ataupun
batas kendali bawah maka data tersebut dibuang. Langkah pertama dala uji
keseragaman ini adalah perhitungan mean dan standar deviasi untuk mengetahui
batas kendali atas dan bawah. Menurut Barnes (1980) rumus yang digunakan dalam
uji ini yaitu :
a. Mean (rata-rata/average)
Rata-rata (average) adalah nilai khas yang mewakili sifat tengah, atau posisi
pusat dari sekumpulan nilai data (Harinaldi, 2005).

X
 Xi 
n
i 1
N
Keterangan : X = mean
Xi = data pengamatan
N = banyaknya data

b. Standar deviasi (simpangan baku)


Standar deviation atau simpangan baku merupakan ukuran penyebaran yang
paling sering digunakan (Harinaldi, 2005)

12
 Xi  X
2

σ
N
Keterangan : σ  standar deviasi
X = mean
Xi = data pengamatan
N = banyaknya data

c. Tentukan tingkat kepercayaan untuk mendapat nilai Z


Contoh perhitungan dengan menggunakan tingkat kepercayaan 92%. Nilai Z
dicari dengan menggunakan Tabel L3 Walpole.
σ 0,08
σ  1-92%   0,04
2 2
σ  0,08
Luas kurva = 0,92 + 0,04 = 0,96
Kemudian lihat di Tabel L3 Walpole, nilai yang mendekati 0,96 diperoleh
sebagai berikut.
Z1 = 1,75 X1 = 0,9599
Z2 = …… X2 = 0,9600
Z3 = 1,76 X3 = 0,9608

1,76 - Z 0,9608  0,9600



1,76  1,75 0,9608  0,9599
1,76  Z 0,0008

1,76  1,75 0,0009
0,001584  0,0009Z  0,000008
Z  1,751

d. Hitung Batas Kontrol Atas (BKA) dan Batas Kontrol Bawah (BKB) dengan
rumus:
BKA = X +Z σ
BKB = X +Z σ

13
Jika ada data yang berada di luar batas kendali atas maupun batas kendali
bawah, maka data tersebut harus di eliminasi atau dihilangkan. Untuk dapat
melihat keseragaman data dapat digunakan peta kendali X .

2. Uji kecukupan data


Uji kecukupan data bertujuan untuk menentukan apakah jumlah data yang
digunakan sudah mewakili dari populasi yang diamati. Uji kecukupan data bisa
menggunakan rumus seperti di bawah ini.

 Z/α N X 2   X 2 
2

N 
'  1  i 

  Xi 


Keterangan : N’ = jumlah data teoretis


N = jumlah data pengamatan
Z = tingkat kepercayaan
α = derajat ketelitian
Xi = jumlah data ke-i

2.3.3 Penentuan Waktu Baku dengan Metode Jam Henti


Pada prinsipnya waktu baku adalah waktu yang diperlukan untuk
menyelesaikan suatu pekerjaan yang telah diteliti (diukur) pada waktu yang lalu.
Dengan demikian bila pekerjaan tersebut diulang, waktu yang pantas
menyelesaikannya sudah diketahui.
a. Waktu siklus: waktu hasil pengamatan secara langsung, yang terbaca pada
stopwatch.

Ws 
 Xi
N
Dimana:
Ws = Waktu Siklus
∑Xi = Jumlah Data Pengukuran
N = Banyaknya Data/Pengukuran

14
b. Waktu normal: waktu kerja dengan telah mempertimbangkan faktor penyesuaian.
Wn = Ws x p
Dimana:
Wn : Waktu Normal
Ws : Waktu Siklus
P : Faktor penyesuaian

Faktor penyesuaian diri diperhitungkan jika pengukuran berpendapat bahwa


operator bekerja dengan kecepatan tidak wajar, sehingga hasil perhitungan waktu
perlu disesuaikan atau dinormalkan dulu untuk mendapatkan siklus rata-rata yang
wajar. Jika pekerjaan bekerja dengan wajar, maka faktor penyesuaian (p) = 1,
artinya waktu siklus rata-rata sudah normal. Jika pekerjanya terlalu lambat, maka
untuk menormalkannya pengukur harus memberikan harga p < 1, dan sebaliknya
p > 1 jika dianggap bekerja dengan cepat. Terdapat 3 cara penentuan faktor
penyesuaian, yaitu cara Shumard, Westinghouse dan objektif (TTCK, Iftikar Z.
Sutalaksana hal 140 147).

c. Waktu baku: waktu kerja dengan mempertimbangkan faktor kelonggaran.


Wb = Wn x (1+L)
Dimana:
Wb : Waktu Baku
Wn : Waktu Normal
L : Faktor Kelonggaran
Kelonggaran diberikan untuk 3 hal yaitu kebutuhan pribadi, menghilangkan
rasa fatigue, dan hambatan-hambatan yang tidak dapat dihindarkan. Ketiga hal
ini merupakan hal-hal yang secara nyata dibutuhkan oleh pekerja dan selama
pengukuran tidak diamati, diukur, dicatat yang dihitung. Karenanya sesuai
pengukuran dan telah mendapatkan waktu normal, ataupun kelonggaran perlu
ditambahkan.

15
III. OBJEK DAN PROSEDUR PRAKTIKUM
Para praktikum ini praktikan akan
1. Diberikan uraian kegiatan dan waktu proses pengerjaan Gerobak Dorong
2. Melakukan pengamatan pembuatan Gerobak Dorong dan melakukan
pencatatan data dengan metode jam henti.

IV. PERALATAN PRAKTIKUM


Adapun peralatan yang digunakan pada praktikum ini adalah sebagai berikut:
1. Stopwatch
2. Lembar pengamatan
3. Alat tulis

16
MODUL II
PENGUKURAN WAKTU KERJA DENGAN
METODE WORK SAMPLING

I. Tujuan Praktikum
Dari praktikum ini diharapkan praktikan mampu:
1. Memahami penggunaan metode work sampling dalam menghitung waktu
kerja.
2. Memahami dan menetapkan elemen kerja produktif dan non produktif dari
studi kasus yang diamati.
3. Memahami dan menetapkan faktor kelonggaran dan faktor penyesuaian.

II. Landasan Teori


Pengukuran kerja adalah metode penetapan keseimbangan antara kegiatan
manusia yang dikontribusikan dengan unit keluaran (output) yang dihasilkan
(Wignjosoebroto, 2008). Pengukuran kerja juga merupakan suatu aktivitas untuk
menentukan waktu yang dibutuhkan oleh seorang operator (yang memiliki
kemampuan rata-rata dan terlatih) melaksanakan kegiatan kerja dalam kondisi dan
tempo kerja yang normal (Purnomo, 2004).
Pengukuran waktu kerja dapat diklasifikasikan sebagai berikut (Niebel &
Feivalds):
1. Pengukuran waktu kerja langsung, pengukurannya dilaksanakan secara
langsung, yaitu ditempat dimana pekerjaan diukur dijalankan. Pengukuran
kerja secara langsung dapat dilakukan dengan cara :
a. Pengukuran waktu dengan jam henti (Stopwatch Time Study)
b. Pengukuran waktu kerja dengan jam metode sampling pekerjaan (Work
Sampling).
2. Pengukuran waktu kerja tidak langsung, yaitu melakukan perhitungan waktu
kerja tanpa harus si pengamat ditempat pekerjaan yang diukur. Di sini
aktivitas yang dilakukan hanya melakukan perhitungan waktu kerja dengan

17
membaca tabel-tabel waktu yang tersedia. Pengukuran waktu kerja tidak
langsung dapat dilakukan dengan cara:
a. Metode data waktu buku (Standard Data)
b. Metode analisa regresi
c. Penetapan waktu baku dengan data waktu gerakan (Predetermined Time
System) yang terdiri dari Work Factor (WF), Maynard Operation
Sequence Time (MOST) dan Method Time Measurement (MTM).

Pengukuran waktu kerja ini berhubungan dengan usaha-usaha yang


menetapkan waktu baku yang dibutuhkan dalam menyelesaikan suatu pekerjaan.
Waktu baku ini merupakan waktu yang dibutuhkan oleh seorang pekerja yang
memiliki tingkat kemampuan rata-rata untuk menyelesaikan pekerjaan. Dalam hal ini
meliputi waktu kelonggaran yang diberikan dengan memperhatikan situasi dan
kondisi pekerjaan yang harus diselesaikan. Dengan demikian maka waktu baku yang
dihasilkan dalam aktivitas pengukuran kerja ini dapat digunakan sebagai alat untuk
membuat rencana penjadwalan kerja yang menyatakan berapa lama suatu kegiatan
harus berlangsung dan berapa output yang dihasilkan serta berapa jumlah tenaga
kerja yang dibutuhkan dalam menyelesaikan pekerjaan tersebut.
Pengukuran waktu kerja ditujukan untuk mendapatkan waktu baku
penyelesaian suatu pekerjaan, yaitu waktu yang dibutuhkan secara wajar oleh
seorang pekerja normal untuk menyelesaikan suatu pekerjaan yang dijalankan dalam
sistem kerja terbaik (Sutalaksana, 2006).
a. Metode Work Sampling
Work Sampling adalah pengukuran kegiatan kerja dari karyawan dengan cara
melakukan pengamatan dan pencatatan dimana jumlah sampel pengamatan
dilakukan secara random atau acak (Barnes, 1980). Metode work sampling awalnya
dikembangkan di Inggris oleh seorang yang bernama L.H.C. Tippet di pabrik-pabrik
tekstil di Inggris. Cara ini kemudian dipakai oleh negara-negara lain, dimana pada
work sampling pengamat melakukan pengamatan terhadap aktivitas kinerja dari
mesin, proses dan operator. Metode work sampling adalah suatu teknik untuk
menganalisa produktivitas dari aktivitas mesin, proses, atau pekerja. Metode ini

18
merupakan metode pengukuran kerja secara langsung karena pengamatan dilakukan
secara langsung terhadap objek pengamatan (Sutalaksana, 2006).
Metode work sampling dikembangkan berdasarkan hukum probabilitas atau
sampling. Oleh karena itu pengamatan terhadap suatu obyek yang ingin diteliti tidak
perlu dilaksanakan secara menyeluruh (populasi) melainkan cukup dilaksanakan
secara mengambil sampel pengamatan yang diambil secara acak/random. Suatu
sampel yang diambil secara random dari suatu grup populasi yang besar akan
cenderung memiliki pola distribusi yang sama seperti yang dimiliki oleh populasi
tersebut. Apabila sampel yang dimiliki tersebut diambil cukup besar, maka
karakteristik yang dimiliki oleh sampel tersebut tidak akan jauh berbeda dibanding
dengan karakteristik dari populasinya (Wignjoseoebroto, 2006).
Metode work sampling sangat cocok digunakan dalam melakukan
pengamatan atas pekerjaan yang sifatnya tidak berulang dan yang memiliki siklus,
waktu yang relatif panjang. Pada dasarnya prosedur cukup sederhana, yaitu
melakukan pengamatan aktivitas kerja untuk selang waktu yang diambil seeara acak
terhadap satu/lebih operator dan kemudian mencatatnya apakah mereka ini dalam
keadaan menganggur (idle). Jika dalam pengamatan ini terlihat bahwa mesin atau
operator sedang bekerja, maka tanda tally akan diberikan untuk kondisi bekerja
sedangkan apabila sedang menganggur tanda tally diberikan untuk kondisi yang
menganggur ini (Wignjosoebroto, 2006).
Setelah diperoleh jumlah tally produktif dan menganggur maka dapat
ditentukan waktu baku. Waktu standar/waktu baku adalah waktu yang diperlukan
oleh operator yang terampil rata-rata, bekerja pada kecepatan normal, untuk
melakukan tugas tertentu menggunakan metode yang ditentukan. Di dalamnya sudah
termasuk ‘allowance’ yang tepat untuk memungkinkan orang untuk pulih dari
kelelahan dan bila perlu waktu tambahan untuk menutupi elemen kontingen yang
mungkin terjadi (Salvendy, 2001).
Banyaknya pengamatan yang harus dilaksanakan dalam kegiatan sampling
kerja dipengaruhi oleh 2 faktor, yaitu (Barnes, 1980):

19
1. Tingkat Kepercayaan
Tingkat kepercayaan dilambangkan dengan huruf k. menurut Barnes (1980),
terdapat tiga tingkat kepercayaan yang sering dipakai yaitu 1  68%, 2  95%,
dan 3  99%. Hal ini dapat digambarkan melalui kurva distribusi normal berikut
ini.

Gambar 2.1 Kurva Distribusi Normal


(Sumber: Barnes, 1980)

Berdasarkan Gambar 2.1 dapat dilihat bahwa pada tingkat kepercayaan 1


memiliki arti sebesar 68% data yang diperoleh melaui random sampling benar
(sesuai dengan kejadian nyata) dan akan terdapat data yang error sebanyak 32%
dari waktu yang tersedia. Untuk memperoleh data yang mendekati sempurna
(100% mendekati kebenaran), maka pengamat dianjurkan untuk menggunakan
tingkat kepercayaan 3.
2. Tingkat Ketelitian
Tingkat ketelitian (s) digunakan untuk menentukan jumlah observasi supaya
sesuai dengan harapan yang diinginkan. Semakin tinggi nilai tingkat ketelitian
maka data yang diperoleh semakin valid.
Secara garis besar metode sampling kerja ini dapat digunakan untuk (Barnes:
1980):
a. Sebagai sampel performansi kerja yakni untuk mengukur waktu kerja dan
waktu tidak bekerja dari pekerja.

20
b. Mengetahui tingkat pemanfaatan mesin-mesin atau alat-alat yang ada di
pabrik.
c. Menentukan waktu baku bagi pekerja-pekerja tidak langsung.
d. Memperkirakan kelonggaran bagi suatu pekerjaan dan tingkat performansi.

2.1.1 Berbagai kegunaan work sampling


Work sampling mempunyai beberapa kegunaan pada umumnya di bidang
produksi selain untuk menghitung waktu-waktu penyelesaian. Kegunaan dari metode
work sampling tersebut ialah (Sutalaksana, 2006):
1. Mengetahui distribusi pemakaian waktu sepanjang waktu kerja oleh pekerja
atau kelompok kerja.
2. Mengetahui tingkat pemanfaatan mesin-mesin atau alat-alat di pabrik.
3. Menentukan waktu baku bagi pekerja-pekerja tidak langsung.
4. Memperkirakan kelonggaran bagi suatu pekerjaan.

2.1.2 Tahapan pengukuran waktu kerja dengan metode work sampling


Adapun langkah yang harus dilakukan dalam pengukuran waktu kerja dengan
metode work sampling adalah sebagai berikut:
A. Tahap persiapan
Adapun tahap-tahap persiapan sebelum dilaksanakannya pengukuran waktu
kerja menggunakan work sampling yaitu:
1. Menentukan tujuan pengukuran sampling yang dilakukan.
2. Mempelajari sistem kerja.
3. Memilih operator dan atau mesin yang akan diukur.
4. Menentukan tingkat ketelitian dan keyakinan.
5. Memilih kewajaran kerja dari operator yang bersangkutan dan jika perlu
mengadakan latihan bagi operator agar bekerja seperti biasanya (wajar).
6. Menyiapkan alat tulis dan perlengkapan lainnya.
7. Menetapkan apa yang akan diteliti dengan melakukan kegiatan sesuai dengan
hasil yang diinginkan didapat secara terperinci dan batasan-batasannya.

21
8. Melakukan pemisahan kegiatan menjadi elemen-elemen pekerjaan yang akan
diukur.
9. Menentukan bilangan random dan saat-saat pengamatannya.

B. Menentukan waktu kunjungan


Untuk menentukan waktu pengamatan secara acak, biasanya suatu hari kerja
dibagi ke dalam satuan-satuan waktu yang besarnya ditentukan oleh pengukur.
Biasanya panjang satu satuan waktu tidak terlampau panjang (lama). Berdasarkan
satu-satuan waktu inilah saat-saat kunjungan ditentukan. Misalkan satu-satuan waktu
panjangnya 10 menit. Misalnya 1 hari terdapat 8 jam kerja, sehingga ada 6 observasi
dalam 1 jam. Setelah itu, didapat 48 kali observasi untuk 1 hari. Waktu kunjungan
tidak boleh pada saat-saat tertentu yang kita ketahui dalam keadaan tidak bekerja
misalnya jam-jam istirahat atau hari libur, dimana tidak ada kegiatan secara resmi
(Sutalaksana, 1979).
Adapun Rumus yang digunakan untuk mencari satuan waktu pengamatan
adalah sebagai berikut:
Jam Kerja Per Hari  60
Satuan waktu pengamatan 
10 menit

Waktu pengamatan/observasi dapat ditentukan dengan menggunakan bantuan


bilangan acak. Menetapkan bilangan acak sebanyak jumlah kunjungan yang
diinginkan, dalam hal ini adalah 32 pasang karena jumlah kunjungan dalam satu hari
adalah 32 kali. Tentu syaratnya adalah bahwa pasangan-pasangan dua buah bilangan
tersebut besarnya tidak boleh lebih dari jumlah kunjungan maksimum, yaitu 48 dan
tidak boleh terjadi pengulangan.
Misalnya: 39 65 75 45 19 54 09 16 ...... dst (48 pasang)
Dengan demikian kunjungan dilakukan pada satuan-satuan waktu ke- 39, 65,
…. (48 kali) yang berarti pada jam 11.15, 14.25, dan seterusnya (jika jam kerja
dimulai pukul 08.00 dan berakhir 16.00 dengan waktu istirahat 12.00 – 13.00).
bilangan acak yang telah ditetapkan, terlebih dahulu diurutkan dari bilangan terkecil
hingga bilangan terbesar. Jika telah diurutkan dari awal sampai akhir maka akan
didapat daftar saat kunjungan pertama sampai ke tiga puluh dua (Sutalaksana, 2006).

22
Adapun rumus yang digunakan untuk menentukan waktu kunjungan adalah sebagai
berikut:
Waktu Observasi = Jam Kerja Dimulai + (Bilangan Random x Satuan Waktu
Pengamatan)
Di atas telah dikatakan bahwa panjang satu satuan waktu tidak terlalu pendek
dan juga tidak terlalu panjang. Untuk yang pertama kiranya jelas, yaitu bila satuan
waktu terlalu pendek misalkan satu menit maka jika mendapatkan 2 atau lebih
kunjungan berturut-turut melakukannya setiap satu menit sekali bisa jadi tidaklah
mudah. Begitu pula pada work sampling yang mengamati lebih dari satu sistem kerja
sekaligus. Untuk yang kedua mudah pula untuk dimengerti, karena akan
menyebabkan jumlah kunjungan per hari terbatas yang berarti akan menjadikan masa
pengamatan work sampling lebih lama.

C. Melakukan Sampling
1) Melakukan sampling pendahuluan
Semua kegiatan yang dilakukan pekerja untuk melakukan pekerjaannya disebut
sebagai kegiatan produktif, sedangkan kegiatan saat istirahat, makan dan minum
serta kegiatan lainnya yang tidak berhubungan dengan pekerjaannya disebut sebagai
kegiatan non produktif. Selanjutnya dilakukan pengamatan-pengamatan pada waktu-
waktu acak (Sutalaksana, 2006).
2) Menetapkan faktor penyesuaian dan faktor kelonggaran
Faktor penyesuaian ini diperhitungkan jika pengukur berpendapat bahwa
operator bekerja dengan kecepatan tidak wajar, sehingga hasil perhitungan waktu
perlu disesuaikan atau dinormalkan dulu untuk mendapatkan siklus rata-rata yang
wajar. Jika operator bekerja dengan wajar, maka faktor penyesuaiannya (p) = 1,
artinya waktu siklus rata-rata sudah normal. Jika pekerjaannya terlalu lambat, maka
untuk menormalkannya pengukur harus memberikan harga p < 1, dan sebaliknya p >
1 jika dianggap bekerja dengan cepat. Terdapat tiga cara penentuan faktor
penyesuaian, yaitu cara Shumard, Westinghouse dan objektif (Sutalaksana, 2006).
Kelonggaran diberikan untuk tiga hal yaitu untuk kebutuhan pribadi,
menghilangkan rasa fatigue, dan hambatan-hambatan yang tidak dapat dihindarkan.

23
Ketiganya ini merupakan hal-hal yang secara nyata dibutuhkan oleh pekerja, dan
yang selam pengukuran tidak diamati, diukur, dicatat ataupun dihitung. Oleh karena
itu, sesuai pengukuran dan setelah mendapatkan waktu normal, kelonggaran perlu
ditambahkan (Sutaklaksana, 2006).
3) Menghitung persen produktif
Data pendahuluan yang harus dikumpulkan minimal 30 buah data. Identifikasi
jumlah produk yang selesai dibuat per hari yang disesuaikan dengan objek yang
diamati (Object Identification Unit). Setelah data terkumpul maka dilakukan
perhitungan persen produktif untuk memperoleh harga satuan kegiatan, yaitu dengan
menggunakan rumus sebagai berikut (Barnes, 1980):
Jumlah Produktif
p 100% ………………………. (2.1)
Jumlah Pengamatan
Dimana:
p = Persentase produktif hari ke – n

4) Menghitung jumlah kunjungan yang diperlukan


Banyaknya pengamatan yang harus dilakukan dalam work sampling akan
dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu (Wignjosoebroto, 2006):
1. Tingkat ketelitian (degree of accuracy) dari hasil pengamatan
2. Tingkat kepercayaan (level of confidence) dari hasil pengamatan.
Dengan asumsi bahwa terjadinya kejadian seorang operator akan bekerja atau
menganggur mengikuti pola distribusi normal. Apabila jumlah pengamatan yang
diperlukan untuk tingkat ketelitian 5% dan tingkat keyakinan 95% dapat diketahui
melalui rumus berikut (Sutalaksana, 2006).

N' 
 
1600 1  p
………………….. (2.2)
p
Dimana:
N’ = Jumlah pengamatan yang harus dilakukan
p = Persentase terjadinya kejadian yang diamati dan juga dinyatakan dalam
bentuk desimal

24
Jumlah pengamatan dikatakan mencukupi jika nila N > N’, jika nilai N > N’ maka
diperlukan tambahan pengamatan sampai jumlah kunjungan mencukupi sesuai
dengan tingkat ketelitian dan kepercayaan yang diinginkan.

5) Perhitungan persen produktif untuk setiap elemen pekerjaan (Pe)


Untuk menghitung persen produktif setiap elemen pekerjaan menggunakan
rumus sebagai berikut (Barnes, 1980) :
jumlah tally produktif
Pe  ………….. (2.4)
jumlah tally total pengamatan

Dimana:
Pe = Persen produktif setiap elemen pekerjaan

6) Menghitung jumlah menit pengamatan tiap elemen pekerjaan (Me)


Untuk menghitung jumlah menit pengamatan tiap elemen pekerjaan
menggunakan rumus sebagai berikut (Barnes, 1980):
Me = Pe x total menit pengamatan ………………… (2.5)
Dimana:
Me = Menit pengamatan tiap elemen pekerjaan
Pe = Persen produktif setiap elemen pekerjaan

7) Perhitungan waktu baku


Setelah dilakukan pengukuran data yang digunakan untuk memperoleh waktu
baku, maka langkah selanjutnya adalah menghitung waktu baku dari data yang
terkumpul tersebut. Waktu baku diperoleh dari perhitungan berikut :
a. Perhitungan waktu siklus per OIU (Wsu)
Waktu siklus penyelesaian satu satuan produk sejak bahan baku mulai diproses
ditempat kerja tersebut. Waktu siklus per OIU dapat dihitung menggunakan
rumus sebagai berikut (Barnes, 1980):
Me
Wsu  …………………………… (2.6)
Jumlah OIU

25
Dimana :
Wsu = Waktu siklus per OIU
Me = Jumlah menit pengamatan tiap elemen pekerjaan
OIU = Objek yang diidentifikasi/Object Identification Unit (OIU)

b. Perhitungan waktu normal per OIU (Wnu)


Waktu normal adalah waktu yang dibutuhkan dalam penyelesaian suatu produk
yang dilakukan oleh seorang operator dengan mempertimbangkan faktor
kecepatan kerja operator tersebut dalam kondisi wajar dan kemampuan rata-rata.
Waktu norma per OIU dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai
berikut (Barnes, 1980) :
Wsu = Wsu x faktor penyesuaian ………………… (2.7)
Dimana:
Wnu = Waktu normal per OIU
Wsu = Waktu siklus per objek yang diamati

c. Perhitungan waktu baku per OIU (Wbu)


Waktu baku adalah waktu yang dibutuhkan secara wajar oleh seorang pekerja
normal untuk menyelesaikan suatu pekerjaan yang dijalankan dalam sistem kerja
terbaik saat itu. Waktu baku diperoleh dari perhitungan waktu normal dengan
tingkat kelonggaran yang diberikan. Waktu baku per OIU dapat dihitung
menggunakan rumus sebagai berikut (Barnes, 1980).
Wbu = Wnu x (1 + faktor kelonggaran) ………………… (2.8)
Dimana:
Wbu = Waktu baku per OIU
Wnu = Waktu normal per objek yang diamati

Langkah-langkah dalam menentukan waktu baku dapat dilihat pada bagan di


bawah :

26
Gambar 2.2 Elemen Penentuan Waktu Baku
(Sumber : Barnes, 1980)

8) Perhitungan waktu baku total


1. Waktu baku total untuk setiap elemen pekerjaan (WBte)
Dalam menghitung waktu baku total untuk setiap elemen pekerjaan
menggunakan rumus sebagai berikut (Barnes, 1980):
WBte = Wbu x jumlah OIU per elemen ………………… (2.9)
Dimana :
Wbte = Waktu baku total untuk setiap elemen pekerjaan
Wbu = Waktu baku per objek yang diamati

2. Waktu baku total (WBt)


Pada perhitungan waktu baku total, perhitungannya dibedakan antara waktu
baku operator dan waktu baku mesin. Waktu baku operator terdiri dari semua
elemen yang melibatkan operator, sedangkan waktu baku mesin terdiri dari
elemen yang hanya melibatkan mesin. Dalam menghitung waktu baku total
menggunakan rumus sebagai berikut (Barnes, 1980) :
WBtoperator = Total WBte ………………… (2.10)
Dimana :
WBt = Waktu baku total keseluruhan
WBte = Waktu baku total per elemen pekerjaan

III. Objek dan Prosedur Praktikum


Pada praktikum ini praktikan akan melakukan pengukuran waktu kerja
dengan metode work sampling dengan objek penelitiannya adalah fotokopi, studio
foto dan warnet.

27
IV. Peralatan Praktikum
Peralatan yang digunakan antara lain :
1. Lembar waktu kunjungan pengamatan
2. Lembar pengamatan work sampling
3. Alat tulis
4. Jam tangan sebagai penunjuk waktu

28
MODUL III
ANALISIS STUDI GERAKAN

I. TUJUAN PRAKTIKUM
Dari praktikum ini diharapkan praktikan mampu:
1. Mengamati elemen-elemen kerja yang dibutuhkan dalam suatu pekerjaan
secara spesifik.
2. Memilih atau membagi suatu pekerjaan atas elemen-elemen gerakan atau
elemen-elemen pekerjaan.
3. Memahami metode studi gerakan, diantaranya Work Factor (WF), Method
Time Measurement (MTM), dan Maynard Operation Sequence Technique
(MOST).
4. Memahami cara membaca tabel Work Factor (WF), Method Time
Measurement (MTM), dan Maynard Operation Sequence Technique
(MOST).
5. Memahami dan menetapkan kelonggaran untuk menghitung waktu baku.
6. Menghitung waktu baku pekerjaan berdasarkan Work Factor (WF), Method
Time Measurement (MTM), dan Maynard Operation Sequence Technique
(MOST).
7. Melakukan perancangan dan perbaikan suatu sistem kerja dengan
menggunakan prinsip-prinsip ekonomi gerakan.

II. LANDASAN TEORI


Studi gerakan merupakan salah satu metode pemetaan sistem kerja
menggunakan analisis gerakan anggota tubuh saat bekerja yang diuraikan dalam
elemen-elemen gerakan. Gerakan-gerakan yang dilakukan oleh seorang operator
adakalanya sudah sesuai dengan yang diperlukan, tetapi adakalanya operator
melakukan gerakan-gerakan yang tidak efektif. Gerakan yang tidak efektif ini dapat
menurunkan produktivitas kerja. Oleh karena itu, diperlukan analisis metode kerja
yang dilakukan untuk suatu pekerjaan dengan menggunakan studi gerakan.

29
Studi gerakan lazimnya disebut motion study yaitu studi tentang gerakan-
gerakan yang dilakukan pekerja untuk menyelesaikan pekerjaannya. Hasil studi
pekerjaan, yakni rangkaian gerakan-gerakan yang efektif dan efisien, sehingga waktu
penyelesaiannya dapat lebih cepat (menghemat waktu kerja).
2.1 Studi Gerakan dengan Metode Therblig
Dalam mempermudah proses analisis gerakan-gerakan, pertama-tama suatu
pekerjaan diuraikan menjadi gerakan dasar pembentuknya. Gerakan dasar ini
dikembangkan oleh Frank B. Gilbreth dan Lilian Gilbreth. Mereka menguraikan
gerakan ke dalam 17 gerakan dasar atau elemen gerakan yang dinamai Therblig.
Gerakan-gerakan dasar tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.1. sebagian besar dari
elemen dasar Therblig merupakan gerakan tangan yang biasa terjadi apabila suatu
pekerjaan terjadi, terlebih-lebih bila bersifat manual. Suatu pekerjaan dapat diuraikan
menjadi beberapa elemen gerakan guna mendapatkan rangkaian gerakan yang lebih
efisien.
Tabel 2.1 Macam-macam Elemen Gerakan THERBLIG
LAMBANG KODE
NAMA THERBLIG
THERBLIG WARGA
Mencari (Search) SH Black
Memilih (Select) ST Gray, Light
Memegang (Grasp) G Lake Red
Menjangkau (Reach) RE Olive Green
Membawa (Move) M Green
Memegang untuk Memakai (Hold) H Gold Ochre
Melepas (Released Load) RL Carmine Red
Pengarahan (Position) P Blue
Pengarahan Sementara (Pre Position) PP Sky Blue
Memeriksa (Inspection) I Burn Orche
Merakit (Assemble) M Violet, Heavy
Lepas Rakit (Disassemble) DA Violet
Memakai (Use) M Purple
Kelambatan yang Tak Terhindari (Unavoidable Delay) UD Yellow Orche
Kelambatan yang Dapat Dihindari (Avoidable Delay) AD Lemon Yellow
Merencanakan (Plan) Pn Brown
Istirahat untuk Menghilangkan Lelah (Rest to Overcome Fatique) R Orange

Gerakan untuk mengefektifkan penerapan Therblig muncul dari seorang


konsultan Methods Engineering ternama dari Jepang, yaitu Mr. Shigeo Singo. Ia
mengklasifikasikan Therblig yang telah dibuat oleh Gilbreth menjadi empat
kelompok. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat tabel berikut:

30
Tabel 2.2 Kelompok Gerakan THERBLIG
Kelompok Elemen Gerakan Keterangan
Gerakan-gerakan dalam kelompok utama bersifat
- A (Assemble)
memberikan nilai tambah. Perbaikan kerja untuk
Utama - DA (Disassemble)
kelompok ini dapat dilakukan dengan cara
- U (Use)
mengefisienkan gerakan.
- RE (Reach) Gerakan-gerakan dalam kelompok penunjang
- G (Grasp) kurang memberikan nilai tambah, namun
Penunjang
- M (Move) diperlukan. Perbaikan kerja untuk kelompok ini
- RL (Released Load) dapat dilakukan dengan meminimumkan gerakan.
- SH (Search) Gerakan-gerakan dalam kelompok pembantu tidak
- ST (Select) memberikan nilai tambah dan mungkin dapat

Pembantu - P (Position) dihilangkan. Perbaikan kerja untuk kelompok ini


- I (Inspect) dapat dilakukan dengan pengaturan kerja yang baik
- PP (Preposition) atau dengan menggunakan alat bantu.
- R (Rest) Gerakan-gerakan dalam kelompok ini sama sekali
Elemen - Pn (Plan) tidak dapat memberikan nilai tambah sehingga
Gerakan
- UD (Unavoidable Delay) mungkin dapat dihilangkan.
Luar
- AD (Avoidable Delay)

Selain itu, gerakan-gerakan dapat juga diklasifikasikan dalam dua kategori, yaitu:
1. Efektif
a. Physical Basic Division: Reach, Grasp, Move, Hold, Preposition, Release
b. Objective Basic Division: Use, Assemble, Disassemble
2. Inefektif
a. Mental atau Semimental Basic Division: Search, Select, Position, Inspect,
Plan
b. Delay: Avoidable Delay, Inavoidable Delay, Rest

2.2 Prinsip-prinsip Ekonomi Gerakan


Proses analisis metode kerja pada prinsipnya akan menitik-beratkan pada
studi tentang gerakan-gerakan kerja yang dilakukan oleh pekerja untuk
menyelesaikan pekerjaannya. Untuk mendapatkan hasil kerja yang baik, sistem harus
dirancang dengan memadukan gerakan-gerakan yang benar dan hemat tenaga

31
(ekonomis). Prinsip-prinsip gerakan yang demikian disebut ekonomi gerakan,
dimana secara garis besar terdiri dari tiga kelompok, yaitu:
1. Prinsip Ekonomi Gerakan yang berhubungan dengan tubuh manusia dan
gerakannya:
a. Bila memungkinkan kedua tangan sebaiknya memulai dan mengakhiri
gerakan pada saat yang sama.
b. Kedua tangan sebaiknya tidak menganggur pada saat yang sama kecuali pada
waktu istirahat.
c. Gerakan tangan akan lebih mudah jika satu terhadap lainnya simetris dan
berlawanan arah.
d. Gerakan tangan atau badan sebaiknya dihemat. Gerakan hanya bagian badan
yang diperlukan saja untuk melakukan pekerjaan dengan sebaik-baiknya.
e. Sebaiknya memanfaatkan momentum untuk membatu gerakan. Pemanfaatan
ini timbul karena berkurangnya kerja otot dalam bekerja.
f. Gerakan yang patah-patah, banyak perubahan arah akan memperlambat
gerakan tersebut/menimbulkan kelelahan.
g. Gerakan balistik akan lebih cepat, menyenangkan dan lebih teliti daripada
gerakan yang dikendalikan.
h. Pekerjaan sebaiknya dirancang semudah-mudahnya dan jika memungkinkan
irama kerja harus mengikuti irama yang alamiah bagi si pekerja.
i. Usahakan sedikit mungkin melakukan gerakan mata.
2. Prinsip Ekonomi Gerakan yang berhubungan dengan pengaturan tata letak tempat
kerja:
a. Sebaiknya diusahakan agar badan dan peralatan mempunyai tempat yang
tepat.
b. Tempatkan bahan-bahan dan peralatan diletakkan di tempat yang mudah,
cepat dan enak untuk dicapai/dijangkau.
c. Tempat penyimpanan bahan yang akan dikerjakan sebaiknya memanfaatkan
prinsip gaya berat sehingga bahan yang akan dipakai selalu tersedia di tempat
yang dekat untuk diambil. Hal ini akan menghemat tenaga dan biaya.

32
d. Mekanisme yang baik untuk menyalurkan objek yang sudah selesai
dirancang.
e. Bahan-bahan dan peralatan kerja sebaiknya ditempatkan sedemikian rupa
sehingga gerakan-gerakan dapat dilakukan dengan urutan yang terbaik.
f. Tinggi tempat kerja dan kursi sebaiknya sedemikian rupa sehingga alternatif
berdiri atau duduk dalam menghadapi pekerjaan merupakan suatu hal yang
menyenangkan.
g. Tipe tinggi kursi harus sedemikian rupa sehingga yang mendudukinya
bersikap (mempunyai postur) yang baik, sehat dan aman.
h. Tata letak peralatan dan pencahayaan sebaiknya diatur sedemikian rupa
sehingga dapat membentuk kondisi yang baik untuk penglihatan.
3. Prinsip Ekonomi Gerakan yang berhubungan dengan perencanaan peralatan
kerja:
a. Sebaiknya tangan dapat dibebaskan dari semua pekerjaan bila penggunaan
perkakas pembantu atau alat yang dapat digerakkan dengan kaki dapat
ditingkatkan.
b. Sebaiknya peralatan dirancang sedemikian rupa agar mempunyai lebih dari
satu kegunaan (multi function).
c. Peralatan sebaiknya dirancang sedemikian rupa sehingga memudahkan dalam
pemegangan dan penyimpanan.
d. Bila setiap jari tangan melakukan gerakan sendiri-sendiri, misalnya seperti
pekerjaan mengetik. Beban yang didistribusikan pada jari harus sesuai
dengan kekuatan masing-masing jari.
e. Roda tangan, palang, dan peralatan yang sejenis dengan itu sebaiknya diatur
sedemikian sehingga beban dapat melayaninya dengan posisi yang baik serta
dengan tenaga yang minimum.

2.3 Pengukuran Waktu dengan Metode Faktor Kerja (Work Factor)


Pengukuran dengan cara faktor kerja atau dikenal dengan sebutan work factor
dipelopori oleh J.H. Quick dan W.J. Shea. Dalam menentukan waktu penyelesaian
suatu pekerjaan dengan menggunakan tabel waktu gerak, faktor kerja yang

33
diperhatikan adalah bagian badan yang menggerakkan elemen-elemen gerakan
seperti jari, telapak tangan, putaran lengan, kaki, dan sebagainya. Juga faktor-faktor
lain yang mempengaruhi lamanya waktu gerakan yaitu jarak, berat atau hambatan
yang disebut dengan faktor kerja.
Jika tidak terdapat satupun faktor kerja yang tersangkut, aka disebut gerakan
dasar (basic motion), jika ada maka semakin banyak faktor kerja yang tersangkut,
semakin lama waktu yang dibutuhkan.
Tabel 2.3 Work Factor
Work Factor
Body Members Symbol Symbol
(Written by in this sequence)
Finger F Weight or Resistance W
Hand H Directional Control (Stear) S
Arm A Care (Precauntion) P
Forearm Swivel FS Change (Direction) U
Trunk T Definite Stop D
Foot F
Leg L
Head Turn HT

2.3.1 Variabel dan Faktor Kerja


Ada empat variabel yang diperhitungkan di sini yaitu anggota tubuh yang
digerakkan, jarak yang ditempuh, kontrol manusia (manual control) yang diperlukan
dan berat atau tahanan yang menghambat.
Dalam faktor kerja diperhatikan enam faktor anggota badan, diantaranya:
a. Jari atau Telapak Tangan (F atau H)
Walaupun jari dan telapak tangan merupakan bagian-bagian badan yang tidak
sama, penyelidikan faktor kerja menunjukkan bahwa perbedaan waktu
diantaranya sangat kecil dan dapat diabaikan sehingga keduanya dapat dianggap
sama.
Yang dimaksud dengan gerakan-gerakan jari dan telapak tangan adalah gerakan
bagian-bagian badan ini maupun telapak tangan yang bersumbu pada
pergelangan tangan.
b. Putaran Lengan (LS)
Yang termasuk di sini adalah bila lengan di bawah berputar pada sumbunya
sementara siku ditekuk. Selain itu seluruh tangan berputar pada sumbunya

34
dengan berpangkal pada bahu dan siku tidak ditekuk, termasuk dalam gerakan
ini. Begitu pula kombinasi antara keduanya.
c. Lengan (A)
Gerakan lengan terjadi bila lengan bawah bergerak dengan sumbu siku, seluruh
lengan bergerak dengan sumbu bahu atau kombinasi keduanya.
d. Badan Bagian Atas (T)
Gerakan badan bagian atas dapat berupa gerakan ke depan, ke belakang, ke
samping ataupun berputar.
e. Telapak Kaki (F)
Bila telapak kaki bergerak mengerjakan sesuatu, seperti ketika menginjak pedal
gas kendaraan, maka gerakannya disebut gerakan telapak kaki.
f. Jarak (D)
Yang dimaksud dengan jarak adalah jarak lurus antara titik dimulainya gerakan
sampai titik berhentinya.

Di dalam kerja ada dua gaya yang harus benar-benar diperhatikan, yaitu:
a. Berat atau Tahanan (W)
Dua gaya yang harus diperhatikan adalah tahanan yang harus diatasi dan berat
benda yang dipindahkan, tahanan terjadi, misalnya pada pekerjaan mendorong
sebuah kotak pada sebuah meja, atau menekan sebuah pedal gas. Penyelidikan
kerja menunjukkan bahwa berat atau tahanan, untuk sekelompok berat tertentu
tidak mempunyai perbedaan yang berarti satu dari lainnya sehingga perbedaan ini
dapat diabaikan. Karenanya pengaruh faktor ini pada waktu gerakan dibagi dalam
beberapa kelompok berat.
b. Kontrol Manual
Kontrol terhadap suatu gerakan mempengaruhi lamanya gerakan. Semakin besar
kontrol diperlukan, semakin lama waktu yang dibutuhkannya. Besar kecilnya
kontrol ditentukan oleh beberapa banyak diantara faktor di bawah ini yang
tersangkut dalam suatu gerakan:

35
1. Keadaan Perhentian yang Pasti (Definite Stop)
Bila letak perhentian suatu gerakan merupakan tepat yang pasti maka
perhentian ini disebut perhentian pasti. Umumnya gerakan jangkau yang
mendahului gerakan pegang atau angkut yang mendahului gerakan Pegang
atau Angkut yang mendahului gerakan rakit harus berhenti pada suatu tempat
yang pasti.
2. Pengarahan (Steering)
Bila letak perhentian suatu gerakan merupakan tempat yang pasti maka
perhentian ini Pengarahan. Seringkali faktor ini terjadi bersama Perhentian
Pasti, dimana untuk suatu gerakan diperlukan faktor pengarahan.
3. Kehati-hatian (Precaution)
Gerakan yang pengerjaannya memerlukan kehati-hatian misalnya untuk
menghindari, atau kontrol lain, mengandung faktor kehati-hatian di
dalamnya.
4. Perubahan Arah Gerak (Change Direction)
Perubahan arah gerak adalah faktor yang tersangkut bila dalam suatu gerakan
terjadi perubahan arah yang cukup rajam.

2.3.2 Cara Menggunakan Tabel WF


Tabel waktu gerakan Faktor Kerja mencantumkan waktu-waktu gerak
menurut anggota tubuh yang menggerakkannya, contohnya pada gambar berikut :

Gambar 2.1 Tabel WF

36
Keterangan : a = Kolom jarak, yaitu jarak yang ditempuh setiap gerakan
b = Kolom waktu untuk gerakan (satuan Time Unit)
c = Menyatakan banyaknya faktor kerja yang tersangkut dalam
gerakan
d = Menyatakan benda

Notasi umum pada Work Factor :a b c

Keterangan : a = Notasi untuk anggota badan yang bergerak


b = Jarak yang ditempuh
c = Menyatakan banyaknya faktor kerja yang tersangkut dalam
gerakan
Contoh:
1. Menjangkau suatu benda sejauh 35 inchi
A 35 D = 103/10000 = 0,0103 menit
2. Memutar sekrup ke ujung mur sebesar 90 derajat
FS 90 PD = 37/10000 = 0,0037
3. Membawa suatu benda seberat 4 pon ke meja kerja yang berjarak 20 inchi
A 20 WD = 102/10000 = 0,0102 menit

2.4 Pengukuran Waktu dengan Method Time Measurement (MTM)


Pengukuran MTM dikembangkan oleh Maynard, Stegemarten dan Schwab
tahun 1948. MTM adalah suatu prosedur yang menganalisa/meneliti berbagai operasi
manual atau pengukuran waktu berdasarkan elemen gerakan yang dilakukan oleh
pekerja. Waktu tiap elemen gerakan ditentukan menurut beberapa kondisi yang
disebut dengan kelas-kelas. Kelas-kelas ini dapat menyangkut beberapa keadaan,
seperti : perhentian, keadaan objek disentuh dan dibawa sulit, sulit mudahnya
menangani obyek atau kondisi-kondisi lain yang dijelaskan di bawah ini.

37
2.4.1 Gerakan-gerakan Dasar pada Method Time Measurement (MTM)
MTM membagi gerakan-gerakan kerja atas dasar elemen-elemen kerja,
diantaranya:
1. Menjangkau (RE)
Digunakan dengan maksud untuk memindahkan tangan atau jari ke suatu tempa
tujuan. Waktu yang dibutuhkan tergantung pada tujuan, panjang gerakan dan
jenis menjangkau.
Ada lima kelas menjangkau, yaitu:
A : Pengendalian low, lokasi objek pasti
B : Pengendalian medium, lokasi objek kira-kira
C : Pengendalian high, objek teracak dengan yang lain
D : Pengendalian high, objek sangat spesifik
E : Pengendalian low, lokasi objek tidak tentu
2. Mengangkut (M)
Mengangkut adalah gerakan dasar yang dikerjakan bila maksud utamanya adalah
untuk membawa suatu obyek ke suatu sasaran.
Ada tiga kelas mengangkut, yaitu :
A : Pengendalian low/medium ke tangan lain atau berhenti karena suatu
penahanan
B : Sasaran letaknya tidak pasti
C : Pengendalian high, sasaran sudah pasti
3. Memutar (T)
Memutar adalah gerakan yang dilakukan untuk memutar tangan baik dalam
keadaan kosong (tanpa beban) maupun dengan beban. Waktunya tergantung pada
besarnya derajat pemutaran dan beratnya.
4. Memegang (G)
Memegang adalah elemen dasar yang digerakkan dengan maksud utama untuk
menguasai sebuah atau beberapa obyek baik dengan jari maupun dengan tangan
untuk memungkinkan melakukan gerakan dasar berikutnya.
Kelas untuk memegang, antara lain :
G1A : Objek mudah dipegang

38
G1B : Objek sangat kecil, pipih, terletak sejajar dengan permukaan meja
G1C : Objek yang dipegang berbentuk silindris
G1C1 : Objek silindris dengan diameter > ½ inchi
G1C2 : Objek silindris berdiameter antara ¼ s/d ½ inchi
G1C3 : Objek silindris berdiameter < ¼ inchi
G2 : Dipakai bila terjadi pengubahan pemegangan tanpa melepaskan
pengendalian
G3 : Dipakai bila objek yang dipegang diambil dari tangan lain dengan
mudah
G4 : Dipakai bila pemegangan dilakukan setelah pemilihan
G5 : Menguasai objek dengan cara disentuh
5. Melepas (R)
Melepas adalah gerakan dasar penguasaan atas obyek dengan jari atau tangan.
Ada dua kelas melepas, yaitu :
RL1 : Melepaskan penguasaan objek dengan membuka jari untuk
melepaskan
RL2 : Menghindar, lawan dari G5
6. Lepas Rakit (D)
Lepas rakit adalah gerakan dasar untuk memisahkan suatu objek dari obyek
lainnya, dua hal yang mempengaruhi adalah mudah sulitnya dipindahkan serta
mudah sulitnya dipegang. Ada tiga kelas lepas rakit, yaitu :
D1 : Sangat sedikit usahanya, dengan jarak pemisahan objek s/d 1 inch
D2 : Usahanya normal, dengan jarak pemisahan 1 s/d 5 inch
D3 : Usahanya besar, dengan jarak pemisahan >5 inch dan <12 Inch
7. Gerakan Mata (E)
Umumnya gerakan mata tidak mempengaruhi waktu gerakan, kecuali bila
gerakan diarahkan oleh mata.

39
2.4.2 Cara Menggunakan Tabel Method Time Measurement (MTM)
Pada dasarnya pembacaan tabel baik itu dengan metode Work Factor ataupun
Methods Time Measurement adalah sama. Tabel waktu MTM mencantumkan waktu-
waktu gerak menurut elemen gerakannya, contoh pada gambar berikut :

Gambar 2.2 Tabel MTM

Keterangan : a = Kolom jarak


b = Kolom waktu untuk gerakan
c = Gerakan yang dilakukan oleh operator
d = Penjelasan untuk kolom c

Notasi umum pada MTM : a b c

Keterangan : a = Elemen gerak yang bekerja


b = Jarak yang ditempuh
c = Kelas dari gerakan yang bersangkutan
Contoh:
1. Menjangkau suatu benda yang tercampur dengan objek lain dan berjarak 4
R 4 C = 8,4 TMU = 8,4 x 0,0006 menit = 0,00504 menit
2. Memegang sebuah benda yang berbentuk silindris dengan diameter kurang dari
¼ inchi
G 1 C3 = 10,8 TMU = 10,8 x 0,0006 menit = 0,00648 menit

40
2.5 Pengukuran Waktu dengan Metode Maynard Operation Sequence Technique
(MOST)
MOST is a work measurement technique that concentrate on the movement of
objects. It was originally developed by H.B Maynard & Company Inc. and has three
version – Basic MOST (for the activities between 20s – 2 min), mini MOST (for the
activities shorter that 20s), and maxi MOST (for the activities above 2 min)
(Belokar, et al., 2012). Berdasarkan referensi tersebut, MOST didefinisikan sebagai
teknik pengukuran waktu yang berfokus pada perpindahan objek. MOST terdiri dari
3 versi, yaitu Basic MOST (untuk aktivitas antara 20 detik – 2 menit), mini MOST
(untuk aktivitas kurang dari 20 detik), dan maxi MOST (untuk aktivitas di atas 2
menit).
MOST (Maynard Operation Sequence Technique) adalah salah satu teknik
pengukuran kerja yang disusun berdasarkan urutan-urutan sub aktivitas atau gerakan
yang ditemukan oleh Kjell Zandin yang bekerja pada perusahaan H.B Maynard &
Company pada akhir tahun 1960. Sub aktivitas ini diperoleh dari gerakan-gerakan
yang memiliki pola berulang, seperti menjangkau, memegang, bergerak dan
memposisikan benda kerja. Konsep MOST didasarkan pada perpindahan objek.
Dalam konsep MOST< satuan kerja bukan merupakan gerakan dasar lagi, melainkan
kegiatan dasar (kumpulan-kumpulan gerakan dasar) yang berkaitan dengan
pemindahan objek (Munthe, 2009).
Pengukuran waktu yang bertujuan mengurangi aktivitas yang tidak produktif
serta peningkatan efisiensi kerja operator diimplementasikan melalui time study atau
Maynard Operation Sequence Technique (MOST) untuk menganalisis kegiatan yang
tidak produktif (NVA or non productive activities). Hasilnya terjadi peningkatan
efisiensi kerja operator melalui penghematan waktu kerja didasari pengukuran-
pengukuran yang tidak produktif (Pattiasina, et al., 2013).

41
2.5.1 Model Gerakan MOST
Secara umum, konsep MOST (Maynard Operation Sequence Technique)
mempunyai 2 model, yaitu :
1. Model Urutan Dasar (The Basic Sequence Models)
Berikut ini adalah model-model urutan dasar metode MOST (Maynard
Operation Sequence Technique) yang dibagi dalam beberapa urutan gerakan,
diantaranya:
a. Urutan Gerakan Umum (The General Move Sequence)
Model ini dipakai apabila terjadi perpindahan objek secara bebas, di
bawah kendali manual dan objek berpindah tanpa hambatan. Contoh:
kotak dipindahkan dari atas ke bawah meja.
Model urutan umum ini adalah :
ABG ABP A
Get Move Return
Keterangan :
A (Action Distance) : Jarak tempuh melakukan tindakan
B (Body Motion) : Gerakan badan
G (Gain Control) : Pengendalian objek
P (Place) : Menempatkan objek

b. Urutan Gerakan Terkendali (The Controlled Move Sequence)


Model ini menggambarkan perpindahan objek secara manual
dikendalikan oleh satu jalur. Gerakan objek dibatasi satu arah karena
adanya kontak dengan objek lain. Contohnya, mendorong kotak yang
cukup berat di atas meja kerja
Model urutan terkendali ini adalah :
ABG MXI A
Get Move Return
Keterangan :
A (Action Distance) : Jarak tempuh melakukan tindakan
B (Body Motion) : Gerakan badan
G (Gain Control) : Pengendalian objek

42
M (Move Controlled) : Gerakan terkendali
X (Process Time) : Waktu proses
I : Gerakan mengurut, mengatur atau penyesuaian
c. Urutan Pemakaian Peralatan (The Tool Use Sequence)
Model ini merupakan pengembangan model gerakan umum dengan
tambahan parameter yang menunjukkan pemakaian peralatan tangan atau
untuk kasus tertentu digunakan proses mental.
Model urutan pemakaian alat ini adalah :
ABG ABP * ABP A
Mencapai Objek/alat Menempatka n Peralatan Meletakkan Kembali

Parameter yang digunakan :


C (Cut) : Memotong benda kerja
S (Surface Treat) : Perlakukan permukaan benda kerja
M (Measure) : Pengukuran
R (Record) : Mencatat
T (Think) : Berpikir
F : Mengencangkan

2. Model Urutan Penanganan Peralatan (The Equipment Handling Sequence


Models)
Berikut ini adalah model-model urutan penanganan peralatan metode MOST
(Maynard Operation Sequence Technique) yang dibagi dalam beberapa
urutan gerakan, diantaranya :
a. Pemindahan dengan Crane Manual (The Manual Crane Sequence)
Model gerakan ini dipakai jika ada aktivitas pemindahan barang dengan
menggunakan crane secara manual.
Urutan aktivitas model ini adalah:
A T K F V L V P T A

43
Keterangan :
A : Jarak tempuh operator
T : Memindahkan crane dalam keadaan kosong
K : Menyambung atau melepaskan sambungan
F : Pembebasan objek
V : Gerakan vertical, menaikkan atau menurunkan objek
L : Gerakan dalam keadaan berbeban
P : Menempatkan objek pada posisi tertentu

b. Pemindahan dengan Crane Listrik Diesel (The Powered Crane Sequence)


Model gerakan ini berhubungan dengan aktivitas perpindahan objek
dengan bantuan crane listrik atau diesel.
Urutan model ini adalah:
A T K T P T A

Keterangan :
A : Jarak yang ditempuh operator kea tau dari panel ke crane
T : Perpindahan crane dengan atau tanpa beban
K : Menghubungkan atau melepaskan hubungan antara objek dan
crane
P : Menempatkan objek pada posisi tertentu

c. Pemindahan dengan Truk (The Truck Sequence)


Model gerakan ini menitikberatkan pemindahan material secara
horizontal dari satu lokasi ke lokasi lain dengan menggunakan peralatan
yang beroda. Peralatan beroda dibagi dua, yaitu truk yang dikendarai dan
truk yang disorong.
Model ini urutan ini adalah
A S T L T L T A

44
Keterangan :
A : Jarak yang ditempuh orang operator kea tau dari truk
S : Aktivitas untuk menyiapkan truk siap bergerak ditambah aktivitas
parker setelah mengakhiri perpindahan bahan
T : Pemindahan truk dengan atau tanpa beban
L : Pengambilan material pada lokasi awal atau penempatan material
pada lokasi akhir dengan menggunakan fork atau alat pengangkut
lainnya

2.5.2 Langkah-langkah Perhitungan


Langkah-langkah untuk proses perhitungan waktu menggunakan metode
MOST (Maynard Operation Sequence Technique) adalah sebagai berikut:
1. Tambahkan semua index untuk parameter yang ada di dalam kurung
2. Kalikan jumlah nilai index dengan frekuensi
3. Ubah ke dalam TMU (Time Measurement Unit) dengan mengalikan 10 atau
100 untuk perpindahan menggunakan crane listrik dan perpindahan
menggunakan truk.

45
2.5.3 Cara Menggunakan Tabel MOST
Berikut ini adalah cara menggunakan tabel MOST
Basic Most Data Card
ABG ABP A General Move
Get Put Return
Index A B G P Index
x 10 Action Distance Body Motion Gain Control Placement x 10
No Placement
0 < 2 in.(5 cm) No Body Motion No Gain Control Hold Hold 0
Toss
Grasp Light Object Lay Aside
1 Within Reach 1
Grasp Light Object Simo Loose Fit
Get Non-simo
Get Heavy/Bulky
Sit without Adjustment Loose Fit Blind
Get Blind
Stand without Place with Adjustments
3 1-2 Steps Get Obstructed 3
Adjustments Place with Light Pressure
Free Interlocked
Bend and Arise 50% occ Place with Double Placement
Disengage
Collect
Position with Care
Position with Precision
Position Blind
6 3-4 Steps Bend and Arise 6
Position Obstructed
Position with Heavy Pressure
Position with Intermediate Moves
Sit
10 5-7 Steps 10
Stand
Bend and Sit
Climb on
16 8-10 Steps Climb off 16
Stand and Bend
Through Door
Gambar 2.3 Tabel MOST

Contoh:
1. Bor diambil dari kotak perkakas sejauh 8 – 10 langkah oleh operator dan
diletakkan di lantai.
Penyelesaian :
Dilihat dari tabel urutan gerakan umum, maka urutan kegiatan yang terjadi
adalah :
A16 : berjalan 8 – 10 langkah menuju kota perkakas
B10 : posisi tubuh berdiri ketika mengambil bor dari kota perkakas
G3 : pengendalian pada sebuah objek berat
A16 : memindahkan objek sejauh 8 – 10 langkah ke tempat semula operator
berdiri

46
B6 : posisi tubuh bungkuk dan bangkit
P3 : menempatkan dan menyesuaikan objek
A0 : tanpa pengembalian objek ke tempat semula

Urutan Gerakan: A16 B10 G3 A16 B6 P3 A0


∑ TMU = {(16 + 10 + 3 + 16 + 6 + 3 + 0) x 1} x 10
∑ TMU = 540 TMU
Waktu Normal = 540 TMU x 0,0006 menit = 0,324 menit

2.5.4 Konversi TMU ke Satuan Waktu


Berikut ini adalah data konversi satuan TMU (Time Measurement Unit) ke
satuan waktu (Belokar, et al., 2012)
I TMU = 0,036 detik
= 0,0006 menit
= 0,00001 jam

III. OBJEK DAN PROSEDUR PRAKTIKUM


Pada praktikum ini akan dilakukan pengamatan dan perhitungan waktu studi
gerakan terhadap perakitan produk Mobil Bus Mainan.
3.1 Lay Out Perakitan Produk
Membuat lay out perakitan produk yang diamati, yang terdiri dari komponen-
komponen produk dan jarak antar komponen.

3.2 Tabel Studi Gerakan


Dari kegiatan perakitan produk, praktikan diharapkan mampu untuk membuat
tabel studi gerakan dengan menggunakan metode berikut :
1. Metode Therblig
2. Metode Work Factor (WF)
3. Method Time Measurement (MTM)
4. Metode Maynard Operation Sequence Technique (MOST)

47
3.3 Perhitungan Waktu Baku
Melakukan perhitungan waktu baku dengan menggunakan metode berikut:
1. Metode Work Factor (WF)
2. Method Time Measurement (MTM)
3. Metode Maynard Operation Sequence Technique (MOST)

IV. PERALATAN PRAKTIKUM


Alat-alat yang akan digunakan pada praktikum ini adalah :
1. Komponen Mobil Bus Mainan
2. Lembar pengamatan
3. Alat tulis
4. Tabel waktu gerakan Therblig, Work Factor (WF), Method Time
Measurement (MTM), dan Maynard Operation Sequence Technique (MOST)

48
MODUL IV
PENGUKURAN BEBAN KERJA DENGAN METODE
FISIOLOGI DAN RECOMMENDED WEIGHT LIMIT
(RWL)

I. TUJUAN PRAKTIKUM
Tujuan dari pelaksanaan praktikum ini adalah sebagai berikut:
1. Mampu memahami, melakukan dan menghitung pengukuran kerja suatu
pekerjaan dengan menggunakan metode fisiologi
2. Menentukan tingkat beban kerja berdasarkan kriteria fisiologi
3. Mampu menghitung besar energi yang dikeluarkan (energi expenditure),
konsumsi energi, menentukan konsumsi oksigen yang diperlukan, total
metabolisme tubuh, serta waktu kerja dan waktu istirahat yang ideal
berdasarkan energi yang dikeluarkan saat sedang bekerja.
4. Memahami konsep dan teknik RWL (Recommended Weight Limit) dalam
menganalisis sebuah pekerjaan Manual Material Handling (MMH).

II. LANDASAN TEORI


2.1 Fisiologi Kerja
Fisiologi kerja adalah studi tentang fungsi organ manusia yang dipengaruhi
stres otot. Saat seseorang melakukan kerja fisik diperlukan gaya otot, dan aktivitas
otot ini memerlukan energi dimana suplai energi memberi beban kepada sistem
pernafasan dan sistem kardiovaskular.
Sistem pernafasan dibebani oleh kerja fisik karena adanya peningkatan
ventilation (inhalation dan exhalation) untuk menyuplai kebutuhan oksigen pada otot
yang melakukan pekerjaan. Sedangkan pembebanan pada sistem kardiovaskular
dikarenakan jantung harus memompa lebih cepat untuk memberikan oksigen pada
otot yang terlibat melalui pembuluh darah.
Kesimpulannya bahwa saat tubuh melakukan kerja fisik akan terjadi
perubahan pada kecepatan denyut jantung dan konsumsi oksigen. Berikut ini adalah

49
tabel yang menunjukkan berat ringannya suatu pekerjaan dalam hubungannya
dengan perubahan konsumsi oksigen, kecepatan denyut jantung dan energi
expenditure (Sanders dkk, 1993).

Tabel 2.1 Kriteria Pekerjaan Berdasarkan Energi Expenditure, Denyut Jantung,


dan Konsumsi Oksigen
No Tangan Kiri Notasi Waktu
Notasi
(TMU)
1 Menjangkau A 20 D 86 A 24 D
Body
2 Memegang H1D 23 H1D
Body
3 Membawa A 20 D 86 A 24 D
Body
4 Mengarahkan A 20 D 86 A 24 D
Body ke
Landasan
5 Memegang H1D 23 H1D
SA 1
6 Memegang H1D 80 A 20 D
SA 1

Ketika seseorang mulai berkerja, denyut jantung dan tingkat konsumsi


oksigen meningkat sampai memenuhi kebutuhan. Peningkatan ini tidak terjadi tiba-
tiba, sehingga kebutuhan ini akan dipenuhi terlebih dahulu oleh energi yang
tersimpan di otot. Dengan cara yang sama, ketika seseorang berhenti bekerja,
kecepatan jantung dan konsumsi oksigen akan menurun secara perlahan-lahan
sampai kondisi normal. Untuk melakukan penilaian beban fisik dalam bekerja
dengan metode fisiologi maka pengukuran harus dimulai sebelum pekerja melakukan
pekerjaannya. Pengukuran terus dilakukan selama waktu bekerja sampai sebelum
variabel fisiologi kembali ke level awal.
Metode yang biasa dipakai untuk mengukur energy expenditure adalah
mengukur denyut jantung dengan memakai Omron meter. Kemudian dilakukan

50
penghitungan konsumsi energi (energy expenditure). Pengukuran seperti ini disebut
pengukuran langsung.
Selain mengukur secara langsung dengan mengetahui tingkat konsumsi
oksigen, dapat juga dilakukan pengukuran secara tidak langsung yaitu dengan
mengukur kecepatan denyut jantung seseorang. Kecepatan denyut jantung akan
meningkat saat seseorang bekerja, karena jantung harus memompa lebih cepat untuk
memberikan oksigen pada otot melalui pembuluh darah. Dengan kata lain denyut
jantung seperti sinyal yang menunjukkan adanya beban pada tubuh dan dapat
digunakan sebagai indeks untuk mengetahui fisiologi kerja.
Pengukuran energy expenditure dengan mengukur denyut jantung, lebih
sudah dilakukan dibanding mengukur perubahan konsumsi oksigen. Penting untuk
diingat bahwa pengukuran dilakukan sebelum dan sesudah bekerja.

2.1.1 Pengukuran Denyut Nadi


Pengukuran denyut nadi selama bekerja merupakan suatu metode untuk
menilai cardiovascular strain. Salah satu peralatan yang dapat digunakan untuk
menghitung denyut nadi adalah telemetry dengan menggunakan rangsangan Electro
Cardio Graph (ECG). Adapun persamaan yang digunakan untuk menentukan beban
kerja pada masing-masing stasiun ini dengan menggunakan metode Cardio Vascular
Load (CVL).
Pengukuran denyut jantung selama bekerja merupakan suatu metode umum
menilai cardiovascular strain dengan metode 10 denyut (Kilbon, 1992) dimana
dengan metode ini dapat dihitung denyut nadi sebagai berikut:

 Denyut  10 Denyut
Denyut Nadi     60
 Menit  Waktu Perhitunga n

Kepekaan denyut nadi terhadap perubahan pembebanan yang diterima tubuh


cukup tinggi. Denyut nadi akan segera berubah seirama dengan perubahan
pembebanan, baik yang berasal dari pembebanan mekanik, fisik maupun kimiawi
(Oemijati, 1995). Grandjean (2000) juga menjelaskan bahwa konsumsi energi sendiri
tidak cukup untuk mengestimasi beban kerja fisik. Beban kerja fisik tidak hanya

51
ditentukan oleh jumlah KJ yang dikonsumsi, tetapi juga ditentukan oleh jumlah otot
yang terlibat dan beban statis yang diterima serta tekanan panas dari lingkungan
kerjanya yang dapat meningkatkan denyut nadi.
Berdasarkan hal tersebut maka denyut nadi lebih mudah untuk menghitung
indeks beban kerja. Astrand & Rodahl (1997); Rodhal (1989) menyatakan bahwa
denyut nadi mempunyai hubungan linier yang tinggi dengan asupan oksigen pada
waktu kerja. Salah satu car ayang sederhana untuk menghitung denyut nadi adalah
dengan merasakan denyutan pada arteri radialis di pergelangan tangan.
Denyut nadi untuk mengestimasi indeks beban kerja fisik terdiri dari
beberapa jenis yang didefinisikan oleh Grandjean (2000). Berikut merupakan denyut
nadi untuk mengestimasi indeks beban kerja fisik :
1) Denyut nadi istirahat adalah rerata denyut nadi sebelum pekerjaan dimulai
2) Denyut nadi kerja adalah rerata denyut nadi selama bekerja
3) Nadi kerja adalah selisih antara denyut nadi istirahat dan denyut nadi kerja
Peningkatan dengut nadi mempunyai peran yang sangat penting di dalam
peningkatan cardiac output dari istirahat sampai kerja maksimum. Laju pemulihan
(recovery) denyut nadi dipengaruhi oleh nilai absolute denyut nadi pada
ketergantungan pekerjaan, tingkat kebugaran dan pemaparan lingkungan panas. Jika
pemulihan nadi tidak segera tercapai maka diperlukan redesain pekerjaan maupun
variabel keseluruhan dari variabel beban task (tugas), organisasi kerja dan
lingkungan kerja yang menyebabkan beban kerja tambahan.

2.1.2 Perhitungan Energy Expenditure


Secara garis besar, kegiatan-kegiatan kerja manusia dapat digolongkan
menjadi kerja fisik (otot) dan kerja mental (otak). Pemisahan ini tidak dapat
dilakukan secara sempurna, karena terdapatnya hubungan yang erat antara satu
dengan lainnya. Apabila dilihat dari energi yang dikeluarkan, kerja mental murni
relatif lebih sedikit mengeluarkan energi dibandingkan dengan kerja fisik.
Kerja fisik akan mengakibatkan perubahan pada fungsi alat-alat tubuh, yang
dapat dideteksi melalui :

52
a. Konsumsi oksigen
b. Denyut jantung (heart rate)
c. Peredaran udara dalam paru-paru
d. Temperature tubuh
e. Konsentrasi asam laktat dalam darah
f. Komposisi kimia dalam darah dan air seni
g. Tingkat penguapan dan faktor lainnya
Kerja fisik akan mengakibatkan pengeluaran energi yang berhubungan erat
dengan konsumsi energi. Konsumsi energi pada waktu kerja biasanya ditemukan
dengan cara tidak langsung, yaitu dengan pengukuran :
a. Kecepatan denyut jantung
b. Konsumsi oksigen

Gambar 2.1 Siklus Denyut Nadi (Grandjean, 1986)

Bilangan nadi atau denyut jantung merupakan peubah yang penting dan baik
dalam penelitian lapangan maupun dalam penelitian laboratorium. Dalam hal
penentuan konsumsi energi, biasanya digunakan parameter indeks kenaikan bilangan
kecepatan denyut jantung. Indeks ini merupakan perbedaan antara kecepatan heart
rate pada saat istirahat.
Untuk merumuskan hubungan antara energy expenditure dengan kecepatan
jantung, dilakukan pendekatan kuantitatif hubungan antara energy expenditure
dengan kecepatan jantung dengan menggunakan analisis regresi. Menurut Marks,

53
Sanders (1993) bentuk regresi hubungan energi dengan kecepatan denyut jantung
adalah regresi kuadratis dengan persamaan berikut:

Y =1,80411 – 0,0229038 X + 4,71733. 10-4 . X2


Dimana:
Y = Energi yang dikeluarkan (kilokalori per menit)
X = Kecepatan heat rate (denyut per menit)

2.1.3 Konsumsi Energi


Konsumsi energi terjadi di awal saat pekerjaan fisik di mulai. Semakin
banyak kebutuhan untuk aktivasi otot bagi suatu jenis pekerjaan, maka semakin
banyak pula energi yang akan dikonsumsi dan diekspresikan sebagai kalori kerja.
Kalori ini didapatkan dengan cara mengukur konsumsi pada saat bekerja
kemudian dikurangi dengan konsumsi energi pada saat istirahat atau pada saat
metabolisme basal. Kalori kerja ini menunjukkan tingkat ketegangan otot tubuh
manusia dalam hubungannya dengan :
1. Jenis kerja berat
2. Tingkat usaha kerjanya
3. Kebutuhan waktu istirahat
4. Efisiensi dari berbagai jenis perkakas kerja
5. Produktivitas dari berbagai variasi kerja.
Setelah besaran kecepatan denyut jantung disertakan dalam bentuk energi,
maka konsumsi energi untuk suatu kegiatan kerja tertentu bisa dituliskan dalam
bentuk matematis sebagai berikut:

KE = Et – Ei

Dimana :
KE = Konsumsi energi untuk satu kegiatan kerja tertentu (kilokalori)
Et = Pengeluaran energi pada saat waktu kerja tertentu (kilokalori)
Ei = Pengeluaran energi pada saat istirahat (kilokalori)

54
Dengan demikian, konsumsi energi pada waktu kerja tertentu merupakan
selisih antara pengeluaran energi pada waktu kerja tersebut dengan pengeluaran
energi pada saat istirahat.

2.1.4 Tingkat Energi


Terdapat tiga tingkat kerja fisiologis yang umum yaitu istirahat, limit kerja
aerobik dan kerja anaerobik. Pada tahap istirahat pengeluaran energi perlukan untuk
mempertahankan kehidupan tubuh yang disebut Tingkat Metabolisme Basal. Hal
tersebut mengukur perbandingan oksigen yang masuk dalam paru-paru dengan
karbondioksida yang keluar.
Berat tubuh dan luar permukaan adalah faktor penentu yang dinyatakan
dalam kilokalori/area permukaan/jam. Rata-rata manusia dengan berat badan 65 kg
dan mempunyai area permukaan 1,77 meter persegi memerlukan energi sebesar 1
kilokalori/menit. Kerja disebut aerobic bila suplai oksigen pada otot sempurna, jika
sistem kekurangan oksigen maka kerja menjadi anaerob. Hal ini dipengaruhi oleh
aktivitas fisiologis yang dapat ditingkatkan melalui latihan.

55
56
2.1.5 Konsumsi Oksigen
Jika 1 liter oksigen dikonsumsi oleh tubuh, maka tubuh akan memperoleh 4,8
Kkal. Pengertian 1 Kkal adalah jumlah panas yang dibutuhkan untuk menaikkan 1
liter air dari tubuh 14,5oC. pada orang yang bekerja brat, menurut Astrand yang
dikutip Eko Nurmianton (1998) bahwa kerja berat akan menyebabkan kekurangan
oksigen (oxygen debt) setelah 5 menit aktivitas berlangsung. Jika bekerja terus-
menerus, maka terjadi akumulasi oxygen debt yang selanjutnya terjadi metabolisme
aneorobik. Akumulasi kekurangan oksigen karena digunakan selama kerja akan
diterima (dipulihkan kembali) ketika beristirahat yang selanjutnya tubuh akan
menjadi segara kembali.
Selain denyut nadi dan kebutuhan energi dalam perancangan sistem kerja
juga perlu diperkirakan jumlah kebutuhan oksigen yang dapat dihitung sebagai
berikut:
Contoh kasus:
Kondisi saat work (Running Belt 3 km/jam) dengan waktu implementasi 5 menit.
Jika diketahui rata-rata heart rate 132 denyut/menit, maka dengan mengacu pada
tabel tingkat energi yang dikeluarkan, konsumsi oksigen (x) dapat dihitung dengan
persamaan berikut:
2,0  1.5 150  125

x  1.5 132  125
0.5 25

x  1.5 7
25x  37.5  3,5
25x  41
x  1,64 liter/meni t heavy

Gambar 2.4 Grafik Perubahan Konsumsi Oksigen

57
Lehman:
Energi yang dibutuhkan pada saat melakukan aktivitas pada running belt adalah:
1,64 liter/menit x 4,8 Kkal = 7,872 Kkal/menit.

2.1.6 Total Metabolisme (Total Metabolism)


Salah satu proses yang paling tinggi penting dalam badan manusia ialah
berubahnya energi kimia dari makanan menjadi panas dan tenaga mekanik. Makanan
dipecah di dalam usus menjadi senyawa kimia sederhana sehingga dapat diserap oleh
dinding alat pencerna sampai ke aliran darah. Bagian besar dari pecahan makanan
lalu diangkut ke hati untuk disimpan sebagai cadangan energi dalam bentuk glikogen
dan jika dibutuhkan lalu dilepaskan ke dalam aliran darah sebagian besar dalam
bentuk senyawa gula, yang mana dapat dilihat pada gambar berikut ini :

Gambar 2.5 Proses Metabolisme Tubuh

Segenap perubahan yang menyangkut bahan makanan itu disebut


metabolisme. Proses metabolik akan menghasilkan yang akan digunakan untuk kerja
mekanis melalui sarana kimiawi di dalam otot. Sedangkan yang dimaksud
metabolisme basal adalah konsumsi energi secara konstan pada saat istirahat dengan
perlu dalam keadaan kosong, yang mana tergantung pada ukuran berat badan dan
jenis kelamin.

58
Total metabolisme tubuh secara langsung dapat diukur melalui konsumsi
oksigen dengan persamaan sebagai berikut (Konz, 1996).

Tot Met = 60 Energy x Ox Uptk

Dimana :
Tot Met = Total Metabolism (total metabolisme)
Energy = Konsumsi Energi (Kkal/menit)
Ox Uptk = Oxygen Uptake (konsumsi energi) (Liter/Menit)

2.1.7 Jumlah Kebutuhan Kalori


Salah satu kebutuhan utama dalam pergerakan toto adalah kebutuhan akan
oksigen yang dibawa oleh darah ke otot untuk pembakaran zat dalam menghasilkan
energi. Sehingga jumlah oksigen yang dipergunakan oleh tubuh merupakan salah
satu indikator pembebanan selama bekerja. Dengan demikian setiap aktivitas
pekerjaan memerlukan energi yang dihasilkan dari proses pembakaran. Berdasarkan
hal tersebut maka kebutuhan kalori dapat digunakan sebagai indikator untuk
menentukan besar ringannya beban kerja. Berdasarkan hal tersebut menteri tenaga
kerja, melalui keputusan no 51 tahun 1999 menetapkan kalori untuk menentukan
berat ringannya seseorang.
Beban kerja ringan = 100 – 200 Kkal/jam
Beban kerja sedang = > 200 – 350 Kkal/jam
Beban kerja berat = > 350 – 500 Kkal/jam

Kebutuhan kalori dapat dinyatakan dalam kalori yang dapat diukur secara
tidak langsung dengan menentukan kebutuhan oksigen. Setiap kebutuhan oksigen
sebanyak 1 liter akan memberikan 4,8 Kkal (Suma’mun, 1989). Sebagai dasar
perhitungan dalam menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan oleh seseorang dalam
melakukan aktivitas pekerjaannya, dapat dilakukan melalui pendekatan atau taksiran
kalori menurut aktivitasnya.

59
Menurut Grandjean (1993) bahwa kebutuhan kalori seorang pekerja selam 24
jam ditentukan oleh tiga hal:
a. Kebutuhan kalori untuk metabolisme basal, dipengaruhi oleh jenis kelamin
dan usia.
b. Kebutuhan kalori untuk kerja, kebutuhan kalori sangat ditentukan dengan
jenis aktivitasnya, berat atau ringan.
c. Kebutuhan kalori untuk aktivitas lain-lain di luar jam kerja.
Kalori didapatkan dari sumber energi dari pada karbohidrat, lemak, protein.
Sumber-sumber energi ini akan diolah dalam tubuh menghasilkan TP, O2 dan H2O,
serta sisa-sisa metabolisme. Salah satu kebutuhan utama dalam pergerakan otot
adalah kebutuhan akan oksigen yang dibawa darah ke otot untuk pembakaran zat dan
energi. Jumlah kalori yang dibutuhkan dalam melakukan aktivitas berbanding lurus
dengan beratnya aktivitas yang dilakukan. Maka berdasarkan hal tersebut di atas
besarnya jumlah kebutuhan kalori dapat digunakan sebagai petunjuk dalam
menentukan berat ringannya satu pekerjaan.

Tabel 2.2 Kebutuhan Kalori Per Jam Berdasarkan Jenis Aktivitas


Kkal/Jam/Kg
No Jenis Aktivitas
Berat Beban
1 Tidur 0,98
2 Duduk dalam keadaan istirahat 1,43
3 Membaca dengan intonasi keras 1,50
4 Berdiri dalam keadaan tenang 1,50
5 Menjahit dengan tenang 1,59
6 Berdiri dengan konsentrasi terhadap suatu objek 1,63
7 Berpakaian 1,69
8 Menyanyi 1,74
9 Menjahit dengan mesin 1,93
10 Mengetik 2,00
11 Menyetrika dengan berat setrika ± 2,5 kg 2,06
12 Mencuci peralatan dapur 2,06
13 Menyapu lantai dengan kecepatan ± 38 kali/menit 2,41

60
14 Menjilid buku 2,43
15 Politian ringan 2,43
16 Jalan ringan dengan kecepatan ± 3,9 km/jam 2,86
17 Pekerjaan kayu, logam, dan pengecatan dalam industri 3,43
18 Politian sedang 4,14
19 Jalan agak capek dengan kecepatan ± 5,6 km/jam 4,28
20 Jalan turun tangga 5,20
21 Pekerjaan tukang batu 5,71
22 Politian berat 6,43
23 Penggergajian kayu secara manual 6,83
24 Berenang 7,14

Kebutuhan kalori per jam tersebut merupakan pemenuhan kebutuhan energi


yang dikeluarkan akibat beban kerja utama, sehingga masih diperlukan tambahan
kalori apabila terdapat beban kerja tambahan seperti: stasiun kerja yang tidak
ergonomis, sikap paksa waktu bekerja, suhu lingkungan yang panas dan lain
sebagainya.

2.1.8 Pengukuran Waktu Kerja dan Waktu Istirahat


Jika seorang bekerja pada tingkat energi di atas 5,2 Kkal per menit, maka
pada saat itu akan timbul rasa lelah (fatique). Menurut Murrel (1965) kita masih
mempunyai cadangan sebesar 25 Kkal sebelum munculnya asam laktat sebagai tanda
saat dimulainya waktu istirahat. Cadangan energi akan hilang jika kita bergerak dari
5,0 Kkal/menit. Selama periode istirahat, cadangan energi tersebut dibentuk kembali.
Untuk menghitung waktu kerja menggunakan rumus sebagai berikut :
25
Tw  menit
E5
Dimana:
E = Konsumsi energi selama pekerjaan berlangsung (Kkal/menit)
(E-5) = Habisnya cadangan energi (Kkal/menit)
Tw = Waktu kerja (working time) (menit)

61
Sedangkan untuk menghitung lamanya waktu istirahat yang dibutuhkan
adalah sebagai berikut:
T W  S
R menit
w  1,5
Dimana:
R = Istirahat yang dibutuhkan dalam menit
T = Total waktu kerja dalam menit
W = Konsumsi energi rata-rata untuk bekerja Kkal/menit
S = Pengeluaran energi rata-rata yang direkomendasikan dalam Kkal/menit

2.1.9 Fatigue (Kelelahan Fisik)


Fatigue adalah suatu kelelahan yang terjadi pada syaraf dan otot-otot manusia
sehingga tidak dapat berfungsi lagi sebagaimana mestinya. Makin berat badan yang
dikerjakan dan semakin tidak teraturnya pergerakan, maka timbulnya fatigue akan
lebih cepat. Timbulnya fatigue ini perlu dipelajari untuk menentukan tingkat
kekuatan otot manusia, sehingga kerja yang akan dilakukan atau dibebankan dapat
disesuaikan dengan kemampuan otot tersebut.
Barnes (1980) menggolongkan kelelahan dalam 4 hal tergantung darimana
hal ini dilihat, yaitu:
1. Merasa lelah
2. Kelelahan karena perubahan fisiologis dalam tubuh
3. Menurunnya kemampuan kerja
Ketiga hal tersebut pada dasarnya berkesimpulan sama, yaitu kelelahan
terjadi jika kemampuan otot telah berkurang dan lebih lanjut lagi mengalami
puncaknya bila otot tersebut sudah tidak mampu lagi bergerak (kelelahan sempurna).
Pada hakikatnya kekuatan dan daya tahan tubuh ini tidak hanya ditentukan
oleh otot saja, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor subyektif antara lain :
1. Besarnya tenaga yang dikeluarkan
2. Kecepatan
3. Cara dan sikap melakukan aktivitas
4. Jenis kelamin

62
5. Umur
Fatigue dapat ditentukan/diukur dengan :
1. Mengukur kecepatan heart rate dan pernapasan
2. Mengukur tekanan darah, peredaran udara dalam paru-paru, jumlah oksigen
yang dipakai, jumlah CO2 yang dihasilkan, temperature badan, komposisi
kimia dalam urine dan darah.
3. Menggunakan alat penguji kelelahan Riken Fatigue Indicator dengan
ketentuan pengukuran elektroda logam melalui tes variasi perubahan air liur
(saliva) karena lelah.

2.2 Recommended Weight Limit (RWL)


Dalam aktivitas produksi umumnya selalu ada aktivitas lifting (mengangkat)
dan pada industri kecil pada umumnya dilakukan secara manual. Misalnya
pengangkatan bahan baku dari gudang persediaan ke unit produksi, memindahkan
bahan setengah jadi dari satu mesin ke mesin yang lain dari satu unit produksi ke unit
produksi yang lain. Jenis pekerjaan ini merupakan pekerjaan berat, karena
melibatkan tenaga manusia untuk mengangkat beban tersebut, yang tidak jarang
tanpa memperhitungkan posisi saat mengangkat, berat beban yang diangkat sehingga
akan menimbulkan kecelakaan dalam industri. Kecelakaan dalam industri (industrial
accident) yang disebut sebagai “over exertion – lifting and carrying” yaitu kerusakan
jaringan tubuh yang diakibatkan oleh beban angkat yang berlebihan.
Recommended Weight Limit (RWL) merupakan rekomendasi batas beban
yang dapat diangkat oleh manusia tanpa menimbulkan cedera meskipun pekerjaan
tersebut dilakukan secara repetitive dan dalam jangka waktu yang cukup lama. RWL
ini ditetapkan oleh NIOSH (National Institute of Occupational Safety and Health)
pada tahun 1991 di Amerika Serikat. Persamaan NIOSH berlaku pada keadaan :
1. Beban yang diberikan adalah beban statis, tidak ada penambahan ataupun
pengurangan beban di tengah-tengah pekerjaan.
2. Beban diangkat dengan kedua tangan.
3. Pengangkatan atau penurunan benda dilakukan dalam waktu maksimal 8 jam.
4. Pengangkatan atau penurunan benda tidak boleh dilakukan saat duduk.

63
5. Tempat kerja tidak sempit.
Untuk hal tersebut dilakukan pendekatan terhadap batas beban yang
diperbolehkan diangkat, yang meliputi:
a. Batasan Legal (Legal Limitations)
b. Batasan Biomekanika (Biomechanichal Limitations)
c. Batasan Fisiologi (Physological Limitations)
d. Batasan Psiko-fisik (Physcho-physical Limitations)
Dalam melakukan evaluasi terhadap suatu pekerjaan pengangkatan beban
secara manual, NIOSH membuat suatu persamaan yang dapat membantu dalam
memberikan suatu nilai beban angkatan teoritis yang disarankan untuk pekerjaan
mengangkat benda, yang disebut dengan Recommended Weight Limit (RWL).
Tabel 2.3 Formulasi Persamaan RWL
(Application Manual for The Revised NIOSH Lifting Equation, 1994)
Komponen Metrik Us Customary
LC : Konstanta Pembenahan 23 kg 51 Lb
HM : Faktor pengali horizontal (25/H) (10/H)
VM : Faktor pengali vertikal VM = (1-0,003|V-75|) VM = (1-0,075|V-30|)
DM : Faktor pengali perpindahan DM = 0,82 + 4,5 /D DM = 0,82 + (1.8/D)
AM : Faktor pengali asimetrik AM = 1 – (0,0032 A) AM = 1 – 0,0032A
FM : Faktor pengali frekuensi Dari tabel Dari tabel
CM : Faktor pengali kopling Dari tabel Dari tabel

Persamaan RWL didefinisikan dengan persamaan berikut :

RWL = LC x HM x VM x DM x AM x FM x CM

Dengan :
RWL : Recommended Weight Limit
LC : Konstanta pembebanan
HM : Faktor pengali horizontal
VM : Faktor pengali vertikal
DM : Faktor pengali perpindahan

64
AM : Faktor pengali asimetrik
FM : Faktor pengali frekuensi
CM : Faktor pengali kopling

Sehingga persamaan RWL menjadi :


 25   4,5 
RWL  23   1  0,003 | V  75 |   0,82    1  0,0032A   FM  CM
H  D 

2.2.1 Definisi Lokasi Standar Pengangkatan


Lokasi standar pengangkatan beban disajikan dalam titik referensi tiga
dimensi untuk evaluasi sikap pengangkatan. Lokasi standar pengangkatan pada tahun
1981 adalah :
a. Lokasi vertikal = 75 cm dari lantai
b. Lokasi horizontal = 15 cm dari titik pusat antar siku tangan

Pada tahun 1991 terdapat perubahan menjadi


a. Lokasi vertikal = 75 cm dari lantai (tidak ada perubahan)
b. Lokasi horizontal = 25 cm dari titik pusat antar siku tangan

Perubahan pada lokasi horizontal menunjukkan bahwa pada penelitian


terbaru diketahui bahwa 25 cm merupakan jarak minimum horizontal yang
digunakan oleh sebagian besar pekerja dalam melakukan pekerjaan pengangkatan
beban, dengan tidak tergantung pada bentuk tubuh (Garg and Badger, 1986).
Adapun komponen-komponen pembentuk persamaan tersebut adalah (Application
Manual for The Revised NIOSH Lifting Equation, 1994) antara lain:
2.2.2 Konstanta Beban (LC)
Konstanta beban ditentukan berdasarkan maksimum beban yang diizinkan
untuk diangkat pada lokasi standar di bawah kondisi yang optimum. Pengertiannya
adalah pengangkatan dilakukan pada posisi sagittal, dengan frekuensi tidak terlalu
sering, coupling yang baik dan lokasi perpindahan ≤ 25 cm. pemilihan konstanta
beban didasarkan pada kriteria psiko-fisik dan biomekanik. Pada tahun 1991, Komite
NIOSH dari NIOSH mengestimasi bahwa pengangkatan beban ekuivalen dengan

65
konstanta beban dalam kondisi yang ideal dimana dapat diterima oleh 75% pekerja
wanita dan 90% pekerja pria dan gaya tekan pada ruas-ruas tulang belakang kurang
dari 3,4 kN.
Dalam persamaan yang telah direvisi tahun 1991, konstanta beban direduksi
dari 40 kg menjadi 23 kg. reduksi dilakukan karena bertambahnya jarak minimum
horizontal dari 15 menjadi 25 cm pada posisi standar pengangkatan. Konstanta beban
yang telah direvisi, menjadi 17 kg lebih ringan daripada sebelumnya. Namun dengan
direvisinya jarak minimum horizontal menjadi 25 cm maka sebenarnya reduksi
konstanta beban yang terjadi hanya sebesar 1 kg saja.
Konstanta beban menjadi dasar dalam menilai batas maksimum beban yang
dapat diterima oleh 75% pekerja wanita dan 90% pekerja pria pada pengangkatan
beban secara manual. Kesimpulan ini diperoleh berdasarkan penelitian Snook dan
Ciriello.

2.2.3 Faktor Pengali Horizontal (HM)


Studi tentang biomekanika dan psiko-fisik mengindikasikan bahwa semakin
besar jarak horizontal terhadap tulang belakang, maka semakin besar pula gaya tekan
terhadap lempeng (disk) dan menurunkan batas maksimum beban yang boleh di
angkat (Snook, Chaffin and Anderson 1984, Garg 1986). Tegangan kompresi axial
pada tulang belakang selama pengangkatan beban secara umum meningkat secara
proporsional dengan jarak horizontal antara beban dan tulang belakang. Untuk
melengkapi kriteria beban angkatan, pengali horizontal ditetapkan sebagai berikut:
HM = (25/H)
HM = Faktor pengali horizontal (Horizontal Multiplier)
H = Jarak horizontal dalam cm
HM = (10/H)
HM = Faktor pengali horizontal (Horizontal Multiplier)
H = Jarak horizontal dalam inchi
Nilai 25 (dalam cm) dan 10 (dalam inchi) pada persamaan di atas merupakan
jarak minimum horizontal yang digunakan oleh sebagian besar pekerja dalam
melakukan pekerjaan pengangkatan beban, dengan tidak tergantung pada bentuk

66
tubuh. Meskipun objek dapat dibawa dengan jarak kurang dari 25 cm (10 inchi) dari
mata kaki, namun kebanyakan objek tidak dapat diangkat tanpa ada gangguan dari
abdomen.

2.2.4 Faktor Pengali Vertikal (VM)


Studi tentang biomekanika menjelaskan bahwa terjadinya tegangan lumbar
yang meningkat pada pengangkatan yang makin mendekati lantai (Chaffin 1969,
Bean dkk, 1978). Studi-studi tentang fisiologi pengangkatan beban yang lebih
mendekati lantai menyebabkan peningkatan energi yang dikeluarkan (Fredrick 1985,
Garg dkk, 1978).
Walaupun tidak ada data empiris yang secara langsung menghubungkan suatu
nilai spesifik tertentu dengan pengangkatan beban yang mendekati lantai, komite
NIOSH pada tahun 1991 memberikan rekomendasi bahwa faktor vertikal
memberikan penurunan sebesar 22,5% terhadap nilai beban yang boleh di angkat.
Pengurangan yang rasional dari beban yang mulai diangkat diatas 75 cm dari lantai
adalah berdasarkan data empiris dari studi psiko-fisik. Studi ini mengindikasikan
bahwa maksimum beban yang boleh di angkat (MAWL) oleh pekerja akan menurun
sejalan dengan peningkatan jarak vertikal yang lebih dari 75 cm dari lantai (Snook
1978, Ayoub dkk 1978, Snook and Ciriello 1991).
Pada tahun 1991 komite NIOSH memilih nilai pengurang sebesar 22,5%
untuk mengurangi MAWL pada pengangkatan beban pada tingkat-bahu (shoulder
level) atau pada jarak vertikal 150 cm (60 inchi). Untuk pengangkatan beban tersebut
dari pengali vertikal adalah :
VM = (1 – 0,003 |V-75|)
VM = Faktor Pengali Vertikal (Vertical Multiplier)
V = Tinggi Vertikal dalam cm
VM = (1 – 0,0075 |V-30|)
VM = Faktor Pengali Vertikal (Vertical Multiplier)
V = Tinggi Vertikal dalam inchi

67
Nilai 75 dari 30 persamaan di atas merupakan pertimbangan dari “tinggi
sendi engsel (knuckle height)” rata-rata seorang pekerja (66 inchi atau ±165 cm) dan
berdasarkan data empiris dari studi psiko-fisik.
Jarak vertikal (V) dibatasi oleh permukaan lantai dan batas jangkauan vertikal
untuk mengangkat, yaitu 70 inchi atau 175 cm. pada gambar berikut dapat dilihat
pada jarak 70 inchi, nilai Vertical Multiplier (VM) akan mengalami penurunan. Hal
ini mengingat bahwa jangkauan vertikal rata-rata pekerja untuk mengangkat objek
adalah 70 inchi. Dan pada jarak ± 75 cm (30 inchi) nilai VM adalah 1, karena
berdasarkan rata-rata tinggi sendi engsel.

Gambar 2.6 Posisi Pengangkatan

Horizontal Location (H) : Jarak horizontal antara titik tengah mata kaki dengan
proyeksi titik tengah benda.
Vertical Location : Jarak antara kedua tangan dengan lantai
Vertical Travel Distance : Jarak perbedaan ketinggian vertikal antara
destination dan origin dari pengangkatan
Lifting Frequency (F) : Frekuensi angkatan per menit

68
2.2.5 Faktor Pengali Jarak (DM)
Hasil dari studi psiko-fisik memperkirakan terjadi penurunan 15% terhadap
MAWL ketika total jarak perpindahan mendekati maksimum (benda diangkat dari
lantai sampai ke bahu). Hasil ini juga mengidentifikasikan peningkatan kebutuhan
fisiologis sejalan dengan peningkatan jarak pengangkatan [Aquilano 1968, Khalik
dkk 1985], (Sumber: Application Manual for The Resived NIOSH Lifting Equation,
1994). Sehingga untuk pengangkatan, dimana total jarak perpindahan ≤ 25 cm (≤10
inchi) dan kenaikan kebutuhan fisiologisnya tidak signifikan, maka pengali haruslah
konstan.
Pengali jarak (DM) yang diterapkan pada tahun 1991 oleh komite NIOSH
adalah :
DM = 0,82 + (4,5/D)
DM = Faktor Pengali Jarak (Distance Multiplier)
D = Total Jarak Perpindahan dalam cm
DM = 0,82 + (1,8/D)
DM = Faktor Pengali Jarak (Distance Multiplier)
D = Total Jarak Perpindahan dalam inchi

2.2.6 Faktor Pengali Asimetri (AM)


Pengangkatan asimetri adalah pengangkatan beban yang tidak pada bidang
sagital atau pengangkatan dimana benda kerja ditempatkan membentuk terhadap
bidang sagital.
Sudut asimetri adalah sudut yang menunjukkan sejauh mana benda (objek)
dipindahkan dari depan (bidang mid-sagital) tubuh pekerja sampai ke titik tujuan.
Sudut asimetri terbuka antara garis asimetri dengan garis sagital yang diproyeksikan
pada bidang alas.
Gambar berikut membantu menjelaskan/mengilustrasikan mengenai
pengukuran sudut asimetri pada saat pengangkatan beban. Sampai kini masih sedikit
penyelidikan yang memberikan data hubungan antara pengangkatan asimetri dengan
kapasitas maksimum beban yang diizinkan untuk diangkat.

69
Gambar 2.7 Sudut Asimetri

1. “A” merupakan sudut asimetrik yang terbentuk antara garis asimetrik dan
pertengahan garis sagital.
2. Garis asimetrik adalah garis horizontal yang menghubungkan titik tengah
garis yang menghubungkan kedua atau kaki bagian dalam dan proyeksi titik
tengah beban pada lantai.
3. Garis sagital adalah garis yang melalui titik tengah kedua mata kaki bagian
dalam dan berada pada bidang sagital. Bidang sagital adalah bidang yang
tubuh netral (tangan berada di depan tubuh dan tidak ada perputaran pada
bahu dan kaki).
Maka pada tahun 1991, pengali asimetri ditentukan sebagai faktor pengali
yang mengurangi sekitar 30% dari beban yang boleh diangkat pada pengangkatan
dengan sudut pergerakan 90%.
Faktor pengali yang ditetapkan oleh Komite NIOSH adalah :
AM = 1 – (0.0032 A)
AM = Faktor Pengali Asimetri (Asymmetric Multiplier)
A = Sudut asimetri yang dibentuk

70
2.2.7 Faktor Pengali Coupling (CM)
Beban yang harus diangkat umumnya dilengkapi dengan suatu komponen
yang dimaksudkan sebagai alat pemegang pada saat pekerja hendak mengangkat
beban tersebut. Kegunaan dari komponen pelengkap ini adalah gar pekerja dapat
mengangkat beban dengan lebih baik. Selanjutnya komponen ini kita sebut sebagai
pemegang tangan (handle). Perpaduan kerja antara fungsi tangan pekerja dengan
handle yang ada inilah yang disebut dengan coupling.
Penyidikan psiko-fisik menemukan bahwa terjadi pengurangan MAWL, pada
pekerjaan pengangkatan beban yang tidak dilengkapi dengan handle yang baik [Garg
and Saxena 1980, Smith and Jiang 1984, Durry dkk 1989]. Walaupun penyelidikan
ini tidak secara tepat menentukan besarnya tingkat pengurangan yang terjadi, banyak
kesimpulan yang menyatakan bahwa untuk beban yang diangkat tanpa handle harus
dilakukan reduksi antara 7% hingga 11%. Faktor pengali coupling selengkapnya
disajikan dalam tabel 2.6 komite NIOSH juga membuat konsensus bahwa untuk
coupling yang kurang dari 10%. Jadi nilai faktor pengali (CM) adalah 1.00 atau 0.9
tergantung pada ketinggian vertikal dan kualitas coupling. Kategori kualitas coupling
adalah : baik, cukup atau kurang.

Tabel 2.4 Faktor Pengali Kopling


Coupling Type V < 75 cm V ≥ 75
Good 1.00 1.00
Fair 0.95 1.00
Poor 0.90 0.90

2.2.8 Faktor Pengali Frekuensi (FM)


Untuk persamaan yang dibuat tahun 1991 telah dilakukan terhadap penetapan
faktor pengali frekuensi dalam bentuk tabel. Untuk lebih jelasnya Table Frekuensi
Multiplier dapat dilihat pada lampiran faktor pengali frekuensi. Pada tabel tersebut
didasarkan pada dua set data, yaitu:
1. Data frekuensi pengangkatan dibawah 4 angkatan permenit menggunakan
data psiko-fisik dari Snock dan Cirello (1991) untuk memperoleh nilai FM.

71
2. Data dengan frekuensi diatas 4 angkatan permenit menggunakan persamaan
Gang (1976) dalam memprediksi pengeluaran energi pada pengangkatan
beban untuk memperoleh nilai FM.

Tabel 2.5 Faktor Pengali Frekuensi


Work Duration
Frek
≤ 1 jam 1 – 2 jam 2 – 8 jam
Lift/min
V < 75 V ≥ 75 V < 75 V ≥ 75 V < 75 V ≥ 75
0,2 1.00 1.00 0.95 0.95 0.85 0.85
0,5 0.97 0.97 0.92 0.92 0.91 0.91
1 0.94 0.94 0.88 0.88 0.75 0.75
2 0.91 0.91 0.84 0.84 0.65 0.65
3 0.88 0.88 0.79 0.79 0.55 0.55
4 0.84 0.84 0.72 0.72 0.45 0.45
5 0.80 0.80 0.60 0.60 0.35 0.35
6 0.75 0.75 0.50 0.50 0.27 0.27
7 0.70 0.70 0.42 0.42 0.22 0.22
8 0.60 0.60 0.35 0.35 0.18 0.18
9 0.52 0.52 0.30 0.30 0.00 0.15
10 0.45 0.45 0.26 0.26 0.00 0.13
11 0.41 0.41 0.00 0.23 0.00 0.00
12 0.37 0.37 0.00 0.21 0.00 0.00
13 0.00 0.34 0.00 0.97 0.00 0.00
14 0.00 0.31 0.00 0.97 0.00 0.00
15 0.00 0.28 0.00 0.97 0.00 0.00
> 15 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00

2.2.9 Lifting Index (LI)


Lifting Index (LI) merupakan rasio hasil perbandingan antara berat badan
terhadap nilai Recommended Weight. Limit (RWL). Lifting Index (LI) menyatakan
nilai estimasi relatif dari tingkat ketegangan fisik dalam suatu kegiatan pengangkatan
manual (Application Manual For the Resived NIOSH Lifting Equation, 1994). Nilai
estimasi tingkat ketegangan fisik tersebut dinyatakan sebagai hasil bagi antara nilai
beban angkat (load weight) dengan nilai RWL hasil perhitungan. Jadi nilai
persamaan LI dapat dirumuskan sebagai berikut:
Load weight L
LI  
Recommende d Weigh Limit RWL

Pengertian mengenai nilai Lifting Index (LI):


1. Ketika nilai LI > 1
Kondisi ini dapat menyebabkan peningkatan resiko cedera (low back pain)
pada beberapa pekerja.

72
2. Ketika nilai LI > 3
Kondisi ini dapat menyebabkan peningkatan resiko cedera (low back pain)
pada banyak pekerja.
3. Ketika nilai LI ≤ 1 :
Kondisi ini menyatakan bahwa suatu pekerja aman untuk dilakukan.

2.2.10 Rapid Entire Body Assessment (REBA)


Pada tahun 1995, McAtamney dan Hignett memperkenalkan metode Rapid
Entire Body Assesment (REBA). Rapid Entire Body Assessment adalah sebuah
metode yang dikembangkan dalam bidang ergonomic dan dapat digunakan secara
cepat untuk menilai posisi kerja atau postur leher, punggung, lengan, pergelangan
tangan, dan kaki seorang operator. Selain itu metode ini juga dipengaruhi oleh faktor
coupling, beban eksternal yang ditopang oleh tubuh serta aktivitas pekerja. Penilaian
dengan menggunakan REBA tidak membutuhkan waktu lama untuk melengkapi dan
melakukan scoring general pada daftar aktivitas yang mengindikasikan perlunya
pengurangan resiko yang diakibatkan postur kerja operator (Hignett & McAtamney,
2000).
Berikut adalah tahapan implementasi menggunakan Software REBA:
1. Pengambilan data postur kerja dengan menggunakan foto atau video.
Dengan melakukan perekaman atau pemotretan postur tubuh pekerja, maka dapat
diperoleh gambaran sikap pekerja dan leher, punggung, lengan, pergelangan
tangan hingga kaki secara terperinci. Hal ini dikarenakan untuk penelitian
diperlukan data yang detail, sehingga peneliti dapat menghasilkan data yang
akurat untuk tahap perhitungan bobot dan analisis.
2. Penentuan sudut-sudut dari bagian tubuh pekerja
Setelah hasil rekaman ataupun foto postur pekerja diperoleh, kemudian dilakukan
perhitungan terhadap besar sudut dari masing-masing segmen tubuh yaitu
punggung (batang tubuh),l leher, lengan atas, lengan bawah, pergelangan tangan,
dan kaki. Pada metode REBA segmen-segmen tubuh tersebut dibagi menjadi dua
kelompok, yaitu grup A dan B. Grup A meliputi punggung (batang tubuh), leher
dan kaki. Sementara grup B meliputi lengan atas, lengan bawah dan pergelangan

73
tangan. Dari data sudut segmen tubuh pada masing-masing grup dapat diketahui
skornya, kemudian dengan skor tersebut digunakan untuk melihat tabel A untuk
grup A dan tabel B untuk grup B agar diperoleh skor masing-masing tabel (data
terlampir).
3. Penentuan berat benda yang diangkat, coupling dan aktivitas pekerja (data
terlampir).
4. Perhitungan nilai REBA untuk postur yang bersangkutan
Output REBA berupa pengelompokan action level adalah sebagai berikut:

Tabel 2.6 Level Resiko dan Tindakan (REBA)


Action Level Skor REBA Level Resiko Tindakan Perbaikan
0 1 Bisa diabaikan Tidak perlu
1 2-3 Rendah Mungkin perlu
2 4-7 Sedang Perlu
3 8-10 Tinggi Perlu segera
4 11-15 Sangat tinggi Perlu saat ini juga

2.2.11 RULA (Rapid Upper Limb Assessment)


RULA atau Rapid Upper Limb Assessment dikembangkan oleh Dr. Lynn
McAtamney dan Dr. Nigel Corlett yang merupakan ergonom dari universitas di
Nottingham (University of Nottingham’s Institute of Occupational Ergonomics).
Pertama kali dijelaskan dalam bentuk jurnal aplikasi ergonomi pada tahun 1993.
Rapid Upper Limb Assessment adalah metode yang dikembangkan dalam
bidang ergonomi yang menginvestigasi dan menilai posisi kerja yang dilakukan oleh
tubuh bagian atas. Peralatan ini tidak memerlukan piranti khusus dalam memberikan
suatu pengukuran postur leher, penanggung dan tubuh bagian atas, sejalan dengan
fungsi otot dan beban eksternal yang ditopang oleh tubuh.
Penilaian dengan menggunakan software RULA membutuhkan waktu sedikit
untuk melengkapi dan melakukan scoring general pada daftar aktivitas yang
mengindikasikan perlu adanya pengurangan risiko yang diakibatkan pengangkatan
fisik yang dilakukan operator. RULA diperuntukkan dipakai pada bidang ergonomi
dengan bidang cakupan yang luas.

74
Teknologi ergonomi tersebut mengevaluasi postur (sikap), kekuatan dan
aktivitas otot yang menimbulkan cedera akibat aktivitas berulang (repetitive strain
injuries). Ergonomi diterapkan untuk mengevaluasi hasil pendekatan yang berupa
skor resiko antara satu sampai tujuh, yang mana skor tertinggi menandakan level
yang mengakibatkan resiko yang besar (berbahaya) untuk dilakukan dalam bekerja.
Hal ini bukan berarti bahwa skor terendah akan menjamin pekerjaan yang diteliti
bebas dari ergonomic hazards. Oleh sebab itu RULA dikembangkan untuk
mendeteksi postur kerja yang beresiko dan melakukan perbaikan sesegera mungkin.
RULA dikembangkan untuk memenuhi tujuan sebagai berikut:
1. Memberikan suatu metode pemeriksaan populasi pekerja secara cepat,
terutama pemeriksaan paparan (exposure) terhadap resiko gangguan bagian
tubuh atas yang disebabkan karena bekerja.
2. Menentukan penilaian gerakan-gerakan otot yang dikaitkan dengan Postur
kerja, mengeluarkan tenaga dan melakukan kerja statis dan repetitive yang
mengakibatkan kelelahan otot.
3. Memberikan hasil yang dapat digunakan pada pemeriksaan atau pengukuran
ergonomi yang mencakup faktor-faktor fisik, epidemiologi, mental,
lingkungan dan faktor organisasional dan khususnya mencegah terjadi
gangguan pada tubuh bagian atas akibat kerja.
RULA dikembangkan tanpa membutuhkan piranti khusus. Ini memudahkan
peneliti untuk dapat dilatih dalam melakukan pemeriksaan dan pengukuran tanpa
biaya peralatan tambahan. Pemeriksaan RULA dapat dilakukan di tepat yang terbatas
tanpa mengganggu pekerja. Pengembangan RULA terjadi dalam tiga tahap. Tahap
pertama adalah pengembangan untuk perekaman atau pencatatan postur kerja, tahap
kedua adalah pengembangan system pensokoran (scoring) dan ketiga adalah
pengembangan skala level tindakan yang memberikan suatu panduan terhadap level
resiko dan kebutuhan akan tindakan untuk melakukan pengukuran yang lebih
terperinci.
Terdapat 5 faktor eksternal yang dapat menjadi faktor resiko yang
berhubungan dengan terjadinya cedera pada tubuh bagian atas, yaitu :

75
1. Jumlah gerakan
2. Kerja otot statis
3. Beban
4. Dimensi peralatan
5. Lama kerja tanpa istirahat
Perbedaan-perbedaan yang terdapat pada setiap individu pekerja antara lain :
1. Postur tubuh
2. Kecepatan gerakan
3. Akurasi gerakan
4. Frekuensi dan lamanya delay
5. Umur dan pengalaman
6. Faktor sosial
Oleh sebab itu, RULA didesain untuk membahas faktor-faktor resiko di atas
terutama pada 4 faktor eksternal pertama. Adapun tujuan dari metode ini adalah
sebagai berikut:
1. Sebagai metode yang dapat dengan cepat mengurangi resiko cedera pada
pekerja, khususnya yang berkaitan dengan tubuh bagian atas.
2. Mengidentifikasikan bagian tubuh yang mengalami kelelahan dan
kemungkinan terbesar mengalami cedera.
3. Memberikan hasil analisa dan perbaikan.

Terdapat 3 langkah untuk mendapatkan hasil dari metode RULA :


1. Merekam postur tubuh ketika sedang bekerja
Bagian tubuh dianalisa meliputi: lengan (lengan atas), siku tangan (lengan
bawah), pergelangan tangan, leher, trunk dan kaki. Pada langkah ini, peneliti
merekam dan memasukkan data postur tubuh pekerja pada software RULA.
Kemudian, dari data tersebut dapat diketahui bagian tubuh yang mempunyai
kemungkinan terbesar mengalami cedera.
2. Menghitung nilai
Data hasil rekaman yang telah dimasukkan software, dihitung nilainya untuk
masing-masing bagian tubuh.

76
3. Action Level
Dari hasil nilai yang didapatkan, kemudian diklasifikasikan menurut action
level.
Tabel 2.7 Level Resiko dan Tindakan (RULA)
Action Level Skor Tindakan
1 1 atau 2 Bisa diterima jika tidak dipertahankan atau tidak berulang
dalam periode yang lama
2 3 atau 4 Diperlukan pemeriksaan lanjutan dan juga diperlukan
perubahan-perubahan
3 5 atau 6 Pemeriksaan dan perubahan perlu segera dilakukan
4 7 Kondisi ini berbahaya maka pemeriksaan dan perubahan
diperlukan dengan segera (saat itu juga)

III. OBJEK DAN PROSEDUR PRAKTIKUM


Pada praktikum ini praktikan akan melakukan dua kegiatan. Kegiatan untuk
mengukur beban fisik kerja dengan metode fisiologi dilakukan dengan aktivitas
squat jump. Pengambilan data denyut nadi dilakukan pada saat rest, work dan
recovery. Sedangkan pengukuran beban fisik kerja dengan metode RWL dilakukan
dengan aktivitas pengangkatan beban (material handling) dari origin ke destination
sesuai dengan jalur dan jarak yang ditetapkan oleh asisten laboratorium.

IV. PERALATAN PRAKTIKUM


Peralatan yang digunakan antara lain :
1. Stop watch
2. Alat tulis
3. Lembar Pengamatan
4. Lab Pro
5. EKG
6. Kardus yang telah diisi beban
7. Meteran

77
MODUL V
ERGONOMI LINGKUNGAN FISIK KERJA

I. TUJUAN PRAKTIKUM
Dari praktikum ini diharapkan praktikan mampu:
1. Menggunakan alat-alat yang digunakan dalam penelitian lingkungan fisik
kerja.
2. Melakukan pengukuran terhadap lingkungan fisik kerja (temperatur,
kelembaban, pencahayaan alami dan buatan, tingkat kebisingan serta kadar
debu).
3. Mengetahui pengaruh getaran mekanis terhadap produktivitas kerja manusia.
4. Mampu mengolah dan menganalisis hasil pengaruh lingkungan fisik kerja.
5. Mampu merancang tata letak fasilitas yang sesuai dengan lingkungan kerja
yang ideal berdasarkan pada hasil pengukuran.

II. LANDASAN TEORI


Dalam dunia kerja, kenyamanan kerja karyawan merupakan salah satu faktor
pendorong produktivitas kerja karyawan, yang hendaknya selalu diciptakan oleh
setiap perusahaan. Salah satu cara menciptakan kenyamanan kerja adalah dengan
memperbaiki kondisi tempat kerja. Robert Owen mengatakan: The volume and
quality of worker out-put were influence by working conditions and total
environment. Dampak pengelolaan lingkungan kerjaan perusahaan yang kurang baik
dapat menjadi salah satu penyebab stress yang dialami karyawan. Lingkungan kerja
meliputi lingkungan fisik dan psikis. Lingkungan fisik kerja hendaknya dirancang
dengan memperhatikan efek psikologis karyawan. Lingkungan psikis dapat
meningkatkan produktivitas kerja bila unsur komunikasi, partisipasi kerja karyawan
kesehatan kerja penyelesaian konflik dan pengembangan karier.
2.1 Tata Letak Fasilitas
Perancangan fasilitas yang umumnya digambarkan sebagai rencana lantai
merupakan suatu susunan fasilitas fisik untuk mengoptimalkan hubungan antara

78
manusia, aliran barang, aliran informasi, dan tata cara yang diperlukan untuk
mencapai tujuan. Dalam hal ini tujuannya adalah memperoleh hasil rancangan sistem
kerja yang baik.
Tujuan perancangan fasilitas untuk memudahkan proses, memelihara
keluwesan susunan fasilitas, menghemat pemakaian ruang dan memberikan
kemudahan, keselamatan dan kenyamanan dalam melakukan aktivitas. Jadi tujuan
perencanaan fasilitas secara umum adalah untuk meningkatkan efisiensi serta
efektivitas suatu proses atau aktivitas.
Prinsip-prinsip perancangan tata letak fasilitas adalah :
1. Prinsip penggunaan ruangan secara optimal yaitu tata letak yang baik adalah
yang dapat menggunakan luas ruang seefektif mungkin.
2. Prinsip aliran kerja yaitu aliran kerja diatur sedemikian rupa yang dapat
memungkinkan pergerakan orang dan barang tidak mengalami hambatan.
3. Prinsip minimasi jarak perpindahan yaitu prinsip ini dapat mengefisienkan
waktu transportasi manusia maupun barang.
4. Prinsip kepuasan dan kesamaan kerja yaitu tata letak fasilitas yang baik diatur
dengan mempertimbangkan adanya kesamaan pekerjaan (pengelompokan
fasilitas dan ruangan berdasarkan kesamaan pekerjaan pada satu ruangan) dan
menimbulkan kepuasan, kenyamanan serta keamanan bagi pekerja.
5. Prinsip integrasi total yaitu tata letak fasilitas yang dapat
mengintegrasikan/menyatukan manusia, alat, bahan, metoda, mesin dan ruang
sedemikian rupa, sehingga menghasilkan kompromi yang harmonis.
6. Prinsip keluwesan yaitu tata letak tersebut mempertimbangkan faktor
penyesuaian dan kelonggaran untuk manusia, mesin, dan kemungkinan
pengembangan masa datang.

2.2 Faktor Lingkungan Yang Mempengaruhi Perancangan Tata Letak Fasilitas


Faktor-faktor yang berpengaruh pada proses perancangan tata letak fasilitas
pada praktikum ini adalah temperatur udara, tingkat kebisingan, kadar kelembaban,
tingkat penerangan ruangan dan kadar debu ruangan.

79
2.2.1 Temperatur
Temperatur ruang dan kelembaban dapat mempengaruhi kenyamanan
pekerja. Suhu yang tinggi diiringi oleh peningkatan kadar kelembaban sehingga
pekerja lebih cepat merasa lelah.
Ticheur telah menyelidiki pengaruh temperatur terhadap produktivitas para
pekerja penenunan kepas, yang menyimpulkan bahwa tingkat produksi paling tinggi
dicapai pada kondisi temperatur antara 24oC – 27oC.

Tabel 2.1 Beberapa Harga Temperatur dan Pengaruhnya Terhadap Kondisi Tubuh
Temperatur Pengaruh
10o C Kelakuan fisik yang ekstrem mulai muncul

24o C Kondisi optimum


29,5o C Aktivitas mental dan daya tangkap menurun, mulai membuat kesalahan
dalam pekerjaan dan timbul kelelahan fisik
49o C Temperatur yang dapat ditahan sekitar 1 jam tetapi jauh di atas tingkat
kemampuan fisik dan mental

Dengan demikian untuk dapat mengendalikan suhu badan agar tetap konstan
dan untuk mengurangi pengaruh-pengaruh negatif yang muncul, misalnya kelelahan
fisik. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan, antara lain :
1. Pengendalian suplai darah kepada dan dari kulit. Jika kulit kedinginan, darah
akan membawa panas dari dalam badan (suhu inti) ke kulit, sedangkan darah
yang dingin dari kulit akan menarik diri ke bagian dalam badan. Di samping
itu, kulit akan menyempitkan pori-pori hingga penurunan suhu akan
terhambat.
2. Mengendalikan suhu dengan jalan berkeringat. Jika kulit kepanasan, darah
dari badan bagian dalam akan makin banyak mengalir ke bagian kulit dan
keringat akan mengalir keluar melalui kulit.
3. Meningkatkan produksi panas. Dengan menggerakkan otot (menggigil atau
olahraga) proses metabolisme akan menjadi lebih giat sehingga panas akan
lebih banyak dihasilkan. Sebaliknya, apabila produksi panas hendak

80
diturunkan, maka badan harus didinginkan agar proses katabolisme otot dan
organ-organ menjadi lebih besar.

2.2.1.1 Paparan Suhu Lingkungan


Tekanan panas memerlukan upaya tambahan pada anggota tubuh untuk
memelihara keseimbangan panas. Menurut Pulat (1992) bahwa reaksi fisiologis
tubuh (Heart Strain) oleh karena peningkatan temperatur udara di luar comfort zone
adalah sebagai berikut:
a. Vasodilatasi
b. Denyut jantung meningkat
c. Temperatur kulit meningkat
d. Suhu inti tubuh pada awalnya turun kemudian meningkat dll.
Menurut Tarwaka (2004) secara lebih rinci gangguan kesehatan akibat
pemaparan suhu lingkungan panas yang berlebihan dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Gangguan perilaku dan perfomansi kerja seperti terjadinya kelelahan, sering
melakukan aktivitas curian dll.
b. Dehidrasi
Dehidrasi adalah suatu kehilangan cairan tubuh yang berlebihan yang
disebabkan baik oleh penggantian cairan yang tidak cukup maupun karena
gangguan kesehatan. Pada kehilangan cairan tubuh < 1.5% gejalanya tidak
nampak, kelelahan muncul lebih awal dan mulut lebih kering.
c. Heat Rash
Keadaan seperti biang keringat atau keringat buntat, gatal kulit akibat kondisi
kulit terus basah. Pada kondisi demikian pekerja perlu beristirahat pada
tempat yang lebih sejuk dan menggunakan bedak penghilang keringat.
d. Heat Cramps
Merupakan kejang-kejang otot tubuh (tangan dan kaki) akibat keluarnya
keringat yang menyebabkan hilangnya garam natrium dari tubuh yang sering
kemungkinan besar disebabkan karena minum terlalu banyak dengan sedikit
garam natrium.

81
e. Head Syncope atau Fainting
Keadaan ini disebabkan karena aliran darah ke otak tidak cukup karena
sebagian besar aliran darah di bawah ke permukaan kulit atau perifer yang
disebabkan karena pemaparan suhu tinggi
f. Heat Exhaustion
Keadaan ini terjadi apabila tubuh kehilangan terlalu banyak cairan dan atau
kehilangan garam. Gejalanya mulut kering, sangat haus, lemah dan sangat
lelah. Gangguan ini biasanya banyak dialami oleh pekerja yang belum
beraklimatisasi terhadap suhu udara panas.

2.2.2 Kelembaban Ruangan


Dalam rancangan suatu ruangan, lembap nisbi mempunyai pengaruh yang
sangat kecil terhadap perasaan atas suhu dalam zona nyaman asalkan waktu
berlakunya tidak terlalu lama. Walaupun demikian, mutu bangunan harus tetap
dijaga agar air tanah tidak sampai merebes melalui dinding-dinding. Lembap tidak
berpengaruh dalam menentukan perasaan atas suhu, tetapi lebih berperan dalam
menurunnya daya tahan tubuh terhadap penyakit.
Di bawah ini ada beberapa catatan tentang suhu ruangan yang ideal untuk
suatu stasium kerja, yaitu :
1. Penggunaan AC
Jika menggunakan AC hendaknya selisih suhu antara luar ruang dengan
dalam ruang tidak lebih dari 4oC (Grandjean, 1987). Jika perbedaan suhu terlalu
besar, perasaan tidak nyaman akan banyak dirasakan oleh mereka yang keluar masuk
gedung. Jika memasuki ruang akan dirasakan dingin, jika keluar akan terasa lesu dan
habis tenaga. Perbedaan suhu dalam ruang dengan suhu luar ruang gedung
disarankan sebagai berikut:
Suhu luar gedung : 20o C 22o C 24o C 26o C 28o C 30o C 32o C
Suhu dalam gedung : 20o C 21o C 22o C 23o C 24.5o C 26o C 28o C

82
2. Beberapa contoh suhu yang diperkirakan cukup nyaman di berbagai keadaan :
Tabel 2.2 Angka Suhu Untuk Tingkat Kenyamanan Beberapa Keadaan
No Jenis Ruangan Suhu
1 Ruang pertemuan/rapat 20o - 22o
2 Ruang olahraga 19.5o – 22.3o
3 Ruang tunggu 26o - 27o
4 Ruang pertunjukan 24o - 26o
5 Ruang istirahat 27o
6 Kamar mandi 27o
7 Dapur/kafetaria 23o
8 Gudang 22o - 24o
9 Bengkel/reparasi 20o - 23o

2.2.3 Pencahayaan
Pencahayaan adalah faktor yang penting untuk menciptakan lingkungan kerja
yang baik. Lingkungan kerja yang baik akan dapat memberikan kenyamanan dan
meningkatkan produktivitas pekerja. Efisiensi kerja seorang operator ditentukan pada
ketepatan dan kecermatan saat melihat dalam bekerja, sehingga dapat meningkatkan
efektivitas kerja, serta keamanan kerja yang lebih besar.
Tingkat penerangan yang baik merupakan salah satu faktor untuk
memberikan kondisi penglihatan yang baik. Dengan tingkat penerangan yang baik
akan memberikan kemudahan bagi seorang operator dalam melihat dan memahami
display, simbol-simbol dan benda kerja secara baik pula. Indra yang berhubungan
dengan pencahayaan adalah mata. Karakteristik dan batasan daya lihat manusia
penting untuk dipahami oleh seorang desainer display.

2.2.3.1 Ciri-ciri Penerangan yang Baik


Penerangan yang mempengaruhi seorang pekerja untuk dapat melihat dengan
baik. Untuk dapat melihat dengan baik maka dibutuhkan suatu penerangan yang baik
pula. Ciri-ciri penerangan yang baik tersebut adalah :

83
1. Sinar/cahaya yang cukup
Sinar cahaya yang cukup akan mempengaruhi dan menentukan kemampuan
untuk melihat secara tepat. Selain cahaya yang cukup variabel untuk dapat
melihat secara tepat adalah ukuran objek yang dilihat, jarak mata ke objek,
kecepatan objek dan waktu lamanya penerangan. Untuk dapat melihat barang-
barang (objek) yang kecil diperlukan tambahan penerangan yang cukup dan
waktu yang agak lama. Peranan waktu yang dibutuhkan dalam melihat ini akan
bertambah penting bila objek yang dilihat dalam keadaan bergerak.
2. Sinar/cahaya yang tidak berkilau atau menyilaukan
Sumber-sumber glare:
a. Lampu yang dipasang terlalu rendah tanpa pelindung.
b. Jendela atau ventilasi cahaya yang langsung berhadap dengan mata.
c. Cahaya dengan tera yang berlebihan.
d. Pantulan dari permukaan terang.
e. Cahaya yang menyilaukan terjadi bila ada cahaya yang berlebihan diterima
oleh mata. Ada dua kategori cahaya yang menyilaukan (glare)
a) Discomfort glare yaitu cahaya yang tidak menyenangkan tetapi begitu
menanggu kegiatan visual.
b) Disability glare yaitu cahaya yang sangat mengganggu karena mata langsung
menerima silau cahaya yang dipancarkan.
Contoh: Menatap matahari
Efek : Merusak mata mungkin dapat menyebabkan kebutaan. Untuk
menghindari glare dapat dipasang pelindung pada sumber cahaya dapat
menyerap cahaya, memasang pelindung pada sumber cahaya dan
menghindari atau menjauhkan sumber cahaya yang berlebihan.
3. Kontras yang tepat
Untuk dapat melihat objek dengan jelas maka perlu kekontrasan. Kontras
yang kurang berakibat kesulitan untuk melihat benda tersebut, kontras yang
berlebihan pun akan mengakibatkan kesalahan dan kesulitan untuk melihat objek.
Background yang kacau sebaiknya dihindari. Untuk meningkatkan kekontrasan dapat

84
dilakukan dengan menambah tingkat terangnya cahaya yang dibutuhkan dan juga
pemilihan warna yang tepat.
4. Kualitas Pencahayaan (Brightness) yang tepat
Brightness yang tepat akan memberikan efek produktivitas yang tinggi pada
pekerja. Terangnya cahaya yang diperlukan oleh suatu objek tergantung pada
banyaknya cahaya yang dipantulkan dari objek tersebut ke mata kita. Penglihatan
ke suatu bagian sering tergantung dari perbedaan cahaya diantara bagian tersebut
dengan latar belakangnya. Perbedaan terangnya cahaya dapat dinyatakan sebagai
ratio atau perbandingan terangnya cahaya, makin besar perbedaan ratio makin cepat
tugas dilaksanakan. Untuk efisiensi dan mudahnya melihat maka penerangan
hendaknya mempunyai cahaya yang relatif uniform.
5. Pemilihan warna yang tepat
Pengaruh adanya warna akan dapat dirasakan dalam kemudahan melihat.
Warna dapat menimalisir kelelahan pada mata. Warna juga membawa efek
psikologis suatu ruangan, contoh ruangan dengan warna cerah akan menimbulkan
kesan yang lebih luas dibandingkan dengan warna-warna gelap. Pengaruhnya adanya
warna akan jelas, dalam keselamatan dan kemudahan dalam melihat. Jika diadakan
pengkoordinasian penerangan dengan baik, pemilihan warna yang baik maka akan
menimbulkan keadaan penglihatan yang cukup baik, yaitu akan mengurangi sinar
silau, mengawasi kontras yang tajam dan meminimalisir kelelahan mata.

2.2.3.2 Macam-macam Pencahayaan


a. Pencahayaan Alami Siang Hari (PASH)
Terang langit untuk pencahayaan alami dimana cahaya matahari yang
langsung tidak dikehendaki masuk ke dalam ruangan. Di dalam langit perancangan
ini adanya variabilitas keadaan langit yang sangat besar, diperlukan beberapa syarat
yang harus dipenuhi oleh keadaan langit untuk dipilih sebagai langit perancangan
ditetapkan:
1. Langit biru tanpa awan, atau
2. Langit yang seluruhnya tertutup oleh awan abu-abu putih

85
Langit perancangan ini memberikan tingkat pencahayaan minimum pada
titik-titik di bidang datar di lapangan terbuka sebesar 10000 lux. Pencahayaan alami
pada siang hari (PASH) yang merupakan peformansi lubang cahaya pada cahaya
alami melalui lubang cahaya merupakan akumulasi dari cahaya langit yang langsung
dan cahaya pantulan.
Faktor pencahayaan terdiri dari tiga komponen, yaitu:
1. Komponen Langit (Faktor Langit/FL) yaitu komponen pencahayaan
langsung dari langit.
2. Komponen Refleksi Luar (Faktor Refleksi Luar/FRL) yaitu komponen
pencahayaan yang berasal dari pantulan permukaan yang berada di luar
bangunan.
3. Komponen Refleksi Dalam (Faktor Refleksi Dalam/FRD) yaitu
komponen pencahayaan yang berasal dari refleksi permukaan-permukaan
di dalam ruangan.
Gambar di bawah ini menjelaskan faktor-faktor Pencahayaan di atas

Gambar 2.1 Komponen Faktor-Faktor Pencahayaan Dalam Suatu Ruangan

Keterangan : 1. Faktor Langit (FL)


2. Faktor Refleksi Luar (FRL)
3. Faktor Refleksi Dalam (FRD)

Karena FRL dan FDR mempunyai harga yang relatif kecil dan diperlukan
perhitungan yang cukup panjang untuk mendapatkannya, maka dalam kenyataan
sehari-hari kedua komponen refleksi ini sering tidak diperhitungkan dalam

86
perancangan dengan demikian faktor langit lebih sering digunakan dalam
perhitungan untuk menentukan letak dan ukuran lubang cahaya sebuah ruangan.
Faktor Langit, suatu titik pada suatu bidang dalam suatu ruangan adalah
angka perbandingan tingkat pencahayaan langsung dari langit di bidang tersebut
dalam tingkat pencahayaan oleh terang langit pada bidang datar di lapangan terbuka,
pada saat bersamaan. Angka ini (dinyatakan dalam %) yang merupakan suatu angka
yang karakteristik yang dapat digunakan untuk mengevaluasi keadaan PASH di
dalam suatu ruangan.
Besar kecilnya harga FL ini tergantung pada letak dan ukuran lubang cahaya
serta ada tidaknya penghalang (baik karena adanya bangunan/benda yang ada di luar
bangunan maupun bagian dari lubang cahaya itu sendiri, misalnya adanya
overhang/sirip). Dengan demikian dikenal suatu istilah lubang cahaya efektif, yaitu
bagian lubang cahaya dimana suatu titik dapat ‘melihat’ langit secara langsung.
Persyaratan besarnya FL untuk suatu berbeda-beda sesuai dengan fungsi
ruangan/bangunan tersebut. Sebagai contoh berikut ini adalah syarat teknis besarnya
faktor langit untuk bangunan sekolah.

Tabel 2.3 FL min pada TUU dan TUS untuk Bangunan Sekolah
No. Jenis Ruangan FL di TUU (%) FL di TUS (%)
1. R. Kelas Biasa 0,35 d 0,20 d
2. R. Kelas Khusus 0,45 d 0,20 d
3. Laboratorium 0,35 d 0,20 d
4. Bengkel 0,25 d 0,20 d
5. R. Olahraga 0,25 d 0,20 d
6. Kantor 0,35 d 0,15 d
7. Dapur 0,20 d 0,20 d

Keterangan :
TUU = itik Ukur Utama
TUS = Titik Ukur Samping
d = Jarak antara bidang cahaya dengan bidang dinding di seberangnya
Titik Ukur adalah titik pada bidang kerja di dalam ruangan yang keadaan
pencahayaan merupakan indikator keadaan pencahayaan alami siang hari untuk

87
ruangan tersebut. Ada dua macam titik ukur yaitu Titik Ukur Utama (TTU) dan Titik
Ukur Samping (TUS) yang letaknya di dalam ruangan adalah sebagai berikut :
1. Titik Ukur Utama (TUU)
a. Pada bidang kerja (bidang sejajar lantai dengan ketinggian 75 cm dari lantai.
b. Berjarak 1/3 d dari bidang lubang cahaya, dimana d adalah jarak bidang
lubang cahaya dengan dinding di seberangnya.
c. Terletak diantara kedua dinding samping.
2. Titik Ukur Samping (TUS)
a. Pada bidang kerja 9bidang sejajar lantai dengan ketinggian 75 cm dari lantai)
b. Berjarak 1/3 d dari bidang lubang cahaya, dimana d adalah jarak bidang
lubang cahaya dengan inding di sebelahnya.
c. Berjarak 50 cm dari kedua dinding samping.

Gambar 2.2 Cara Menentukan TUU dan TUS

b. Perancangan Pencahayaan Buatan


Persyaratan-persyaratan dalam sistem tata cahaya suatu bangunan atau
ruangan mencakup tiga aspek yaitu :
1. Tugas visual
2. Kenyamanan visual
3. Penampilan dan suasana ruangan yang ingin ditampilkan.
Terminologi tugas visual diartikan sebagai apa yang harus dilihat dalam arti
luas (dapat pula diartikan sebagai pekerjaan yang harus dilakukan). Ketiga
aspek tersebut saling bergantungan satu sama lain dimana tingkat

88
kepentingan atau urutan prioritasnya sangat bervariasi tergantung pada
aplikasinya.
Pemilihan lampu antara lain dipengaruhi oleh hal-hal berikut ini :
1. Tingkat pencahayaan yang dibutuhkan/disyaratkan.
2. Persyaratan efek warna (color rendering)
3. Pertimbangan struktur dan ruang (space)
4. Persyaratan khusus, misalnya bayangan, highlight
5. Biaya awal dan biaya operasional.
Tingkat kepentingan dari faktor-faktor diatas bervariasi sesuai dengan fungsi
ruangan. Misalnya, faktor 1) dan 5) sangat penting diperhatikan dalam merancang
sistem tata cahaya pada ruangan yang sangat luas dan membutuhkan tingkat
pencahayaan yang tinggi. Dalam hal ini lampu jenis pelepasan listrik lebih tepat
digunakan. Faktor 2) dan 4) merupakan hal yang penting untuk daerah display
(seperti etalase, ruang resepsionis, museum), dimana fleksibilitas dan “penekanan”
pada lokasi tertentu, kilauan, dan suasana santai dan menyenangkan sangat
diutamakan. Lampu jenis pijar merupakan pilihan yang tepat untuk keperluan ini.
Pemilihan Sistem Pencahayaan yang tersedia, untuk interior bangunan
industri dan komersial, dapat dikelompokkan sebagai berikut :
a) Pencahayaan umum (general overhead)
b) Pencahayaan setempat (localized general)
c) Pencahayaan gabungan (local plus general)
Iluminasi bekerja dalam ruang yang tenang akan berbeda dengan jika kita
bekerja dalam ruang yang remang-remang cahayanya. Beberapa faktor yang perlu
diperhatikan dalam iluminasi ialah: kadar cahaya, distribusi cahaya, sinar yang
menyilaukan. Pekerjaan yang memerlukan ketelitian dan kejelian mata menuntut
kadar cahaya yang lebih tinggi dibandingkan dengan pekerjaan-pekerjaan dimana
penglihatan yang tajam tidak begitu diperlukan.
Terlepas dari pertimbangan atas kualitas konstruksi yang antara lain meliputi
kemudahan dalam pemeliharaan, pemilihan iluminasi akan bergantung pada bentuk
distribusi cahaya yang diinginkan dan persyaratan yang ada. Misalnya untuk
bangunan industri dan komersil, jika tidak ada persyaratan khusus, iluminasi selain

89
harus dapat memberikan tingkat pencahayaan pada bidang horizontal sesuai dengan
standar, juga memberikan tingkat pencahayaan yang cukup memadai pada bidang
vertikal.
Pemilihan warna, erat kaitannya dengan iluminasi yaitu penggunaan warna
pada ruangan dan peralatan kerja. Warna dinding ruangan tempat kerja berpengaruh
terhadap kemampuan mata untuk melihat objek, warna di sekitar tempat kerja juga
berpengaruh secara psikologis bagi para pekerja. Menurut penyelidikan, setiap warna
memberikan pengaruh secara psikologis yang berbeda-beda terhadap manusia.
Banyak orang memberikan makna yang tinggi pada penggunaan warna atau
kombinasi yang tepat untuk ruangan. Beberapa manfaat dari penataan warna adalah :
a) Sebagai upaya menghindari ketegangan mata. Warna berbeda dalam
kemampuan pemantulan cahayanya, seperti : dinding yang putih
memantulkan cahaya yang lebih banyak daripada dinding yang berwarna
gelap.
b) Alat untuk menciptakan ilusi tentang besarnya dan suhu ruangan kerja, yang
memiliki efek psikologis, seperti:
 Ruangan kerja yang dicat dengan warna gelap menyebabkan ruangan
terasa menjadi lebih sempit dan tertutup dari yang sebenarnya.
 Sebaliknya dinding-dinding yang berwarna muda dan terang memberikan
rasa ruangan yang lebih luas dan terbuka.
Tabel berikut ini mengemukakan efek psikolog dari warna terhadap karyawan yang
bekerja.
Tabel 2.4 Efek Psikologis dari Warna
Sumber: A. Munandar, Psikologis Industri, 2001 hal. 4.14
Warna Efek jarak Efek suhu Efek psikis
Biru Jauh Sejuk Menenangkan
Hijau Jauh Sangat sejuk Sangat menenangkan
Merah Dekat Panas Sangat mengusik
Orange Sangat dekat Sangat panas Merangsang
Kuning Dekat Sangat panas Merangsang
Coklat Sangat dekat Netral Merangsang
Lembayung Sangat dekat Sejuk Agresif dan melesukan

Dengan adanya sifat-sifat warna tersebut, maka pengaturan warna ruangan tempat
kerja perlu diperhatikan, dalam arti luas harus disesuaikan dengan kegiatan kerjanya.

90
Perhitungan Pencahayaan Buatan
Metode Lumen, seperti yang telah disebutkan di atas bahwa metode Lumen
digunakan untuk menghitung jumlah luminer terpilih dan daya listrik yang
dibutuhkannya untuk menerangi ruangan tertentu. Metode ini memperhitungkan
jumlah cahaya yang diterima oleh bidang kerja yang meliputi:
a) Komponen cahaya langsung (dari luminer)
b) Komponen cahaya tidak langsung (yang berasal dari pantulan langit-langit,
dinding dan lantai). Jumlah cahaya yang diperlukan untuk mencapai bidang
kerja adalah sama dengan perkalian antara tingkat pencahayaan rata-rata (lux)
yang diisyaratkan dengan ruangan (m2). Secara sistematis, hal ini dapat
dituliskan sebagai berikut:
N .F .UF . LLF 
E
A
Keterangan :
E = Tingkat pencahayaan pada bidang kerja yang direkomendasikan (lux)
N = Jumlah lampu yang dibutuhkan
F = Fluks cahaya yang dihasilkan oleh setiap lampu.

Untuk lampu pelepasan listrik, umumnya nilai ini adalah nilai awal (100 jam)
yang dituliskan pada katalog atau kemasan lampu oleh produsen lampu
tersebut (Lux/m2).
UF = Utilization Factor menunjukkan proporsi jumlah cahaya dari luminer yang
sampai pada bendar kerja, baik komponen cahaya langsung dan komponen
cahaya tak langsung setelah pantulan.
LLF = Light Loss Factor, merupakan faktor-faktor kerugian cahaya yang
disebabkan atau berasal dari kondisi lampu.
A = : Luas ruangan (m2)
(UF) (LLF) = 0.5 – 1

Apabila besar-besaran E, F, UF, LLF, dan A diketahui, maka jumlah lampu N


yang diperlukan dan daya listrik yang diperlukan dapat dihitung, serta jumlah

91
luminer yang diperlukan (dalam hal pada setiap armatur terdapat lebih dari satu
lampu) juga dapat dihitung. Selanjutnya dapat direncanakan tata letak
pemasangannya dan juga pengelompokan penyalaannya.
Utilization Factor, sering juga disebut dengan Coefficient of Utility atau
koefiensi penggunaan. KF (Koefisien Faktor) merupakan besaran dengan nilai lebih
kecil dari 1 (satu) yang dipengaruhi oleh :
a. Bentuk distribusi (intensitas) cahaya dari luminer.
b. Ukuran ruangan.
c. Koefisien refleksi cahaya permukaan ruangan.

Pada umumnya distribusi intensitas cahaya luminer dapat diklasifikasikan


menjadi distribusi langsung, semi langsung, difus, semi tidak langsung dan tidak
langsung. Yang disebut pertama akan memberikan nilai UF yang terbesar.
Sedangkan yang disebut terakhir mempunyai nilai UF yang terkecil.
Light Loss Factor, adakalanya disebut sebagai Maintenance Factor, MF
sering disebut sebagai koefisien depresiasi, KD), merupakan besaran yang harus
diperhitungkan dalam metode lumen karena harga E pada persamaan matematis yang
diberikan adalah tingkat pencahayaan minimum yang harus selalu dipenuhi
sepanjang waktu. Jumlah cahaya yang akan dikeluarkan lampu akan berkurang
sebagai fungsi waktu, yaitu :
1. Umur lampu, makin tua umur lampu, maka jumlah cahaya yang dikeluarkan
akan berkurang.
2. Adanya akumulasi debu pada lampu atau luminer, serta permukaan ruangan
(langit-langit dan dinding).
3. Penurunan tegangan listrik yang seharusnya.
Pada umumnya untuk ruangan yang kebersihannya terpelihara dengan baik, dalam
perencanaan atau perhitungan pencahayaan buatan diambil harga (UF) (LLF) dapat
digunakan angka 0,5. Tingkat penerangan harus disesuaikan dengan jenis aktivitas
yang dilakukan. Langkah penentu tingkat penerangan yang sesuai adalah :
1. Menentukan tingkat iluminasi ideal. Nilai-nilai ini telah dibakukan dalam
literatur.

92
2. Menghitung tingkat penerangan ruangan yang diamati melalui kegiatan
praktikum. Cara pengambilan data dapat dilihat pada panduan praktikum.
3. Melakukan analisis untuk membandingkan kondisi aktual penerangan
ruangan terhadap harga iluminasi ideal yang telah baku agar dapat
menentukan teknik yang cocok untuk memperbaiki kondisi yang ada.

Tabel 2.5 Tingkat Pencahayaan


No Macam Pekerjaan Lux Contoh
1 Pencahayaan untuk daerah 20  Iluminasi minimum
yang tidak terus menerus 50  Parker dan daerah sirkulasi di dalam
dipergunakan ruangan
 Kamar tidur hotel
2 Pencahayaan untuk bekerja di 200  Membaca dan menulis yang tidak terus
dalam ruangan menerus
350  Pencahayaan untuk perkantoran,
pertokoan, membaca dan menulis
400  Ruang gambar
3 Pencahayaan setempat untuk 750  Pembacaan untuk koreksi tulisan
pekerjaan yang teliti 1000  Gambar yang sangat rinci dan presisi
2000

Adapun cara perhitungan kebutuhan luminaire umumnya dengan


menggunakan metode lumen, dengan persamaan sebagai berikut :
E. A
N
Ø.n.LLF . UF 
Dimana :
N = Jumlah Lumminaire (Rumah Lampu)
E = Kuat Penerangan
A = Luas Ruangan (m2
Ø = Jumlah Lumen Lampu/Lamp Luminous Flux
LLF = Utility Factor
N = Jumlah lampu dalam 1 titik lampu
Parameter tersebut diperoleh dari:
 E (Kuat Penerangan) diperoleh dari standar dari keperluan
berdasarkan tabel dari standar tingkat pencahayaan.

93
 Ø (Lumen Lampu) diperoleh dari katalog spesifikasi lampu yang akan
dipakai, disesuaikan dengan pemilihan lampu dengan fungsi desain
ruangan. Ø dapat dihitung dengan menggunakan rumus :
L
Ø  W
W

Contoh:
Untuk lampu PL 21 Watt dengan tipe ESSENTIAL 18 Watt CDL E27 220-
240V mempunyai Luminous Efficiency Lamp sebesar 61 Lm/w, jadi :
Ø = 21 x 61 = 1.281 Lumen
 UF (Utility Factor) tergantung dari faktor pemanfaatan
 LLF (Lost Light Factor) diperoleh dari tabel LLF

Tabel 2.6 Coefficients Of Utilization


(Untuk Pencahayaan Langsung)
High Reflectance Low Reflectance
Pattern Room Type
Room Finishes Room Finishes
Smaller (Low Ceiling) 0,70 – 0,80 0,60 – 0,70
Incandescent
Large (Low Ceiling) 0,85 – 0,90 0,80 – 0,85
Downlight
Larger (High Ceiling) 0,35 – 0,45 0,85 – 0,90
Smaller (Low Ceiling) 0,35 – 0,45 0,30 – 0,40
Flourescent
Larger (Low Ceiling) 0,50 – 0,60 0,45 – 0,50
(Prismatic Lens)
Larger (High Ceiling) 0,60 – 0,70 0,55 – 0,60
Smaller (Low Ceiling) 0,30 – 0,45 0,25 – 0,35
Flourescent
Larger (Low Ceiling) 0,55 – 0,65 0,45 – 0,55
(Parabolic Louver)
Larger (High Ceiling) 0,65 – 0,75 0,55 – 0,65

Tabel 2.7 Coefficients Of Utilization


(Untuk Pencahayaan Tidak Langsung)
High Reflectance Low Reflectance
Pattern Room Type
Room Finishes Room Finishes
Smaller (Low Ceiling) 0,35– 0,50 0,15 – 0,20
Flourescent
Large (Low Ceiling) 0,40 – 0,65 0,20 – 0,30
(Indirect Luminairies)
Larger (High Ceiling) 0,50 – 0,75 0,30 – 0,40
Smaller (Low Ceiling) 0,28 – 0,38 0,05 – 0,15
Flourescent
Larger (Low Ceiling) 0,40 – 0,55 0,10 – 0,20
(Prismatic Lens)
Larger (High Ceiling) 0,50 – 0,65 0,10 – 0,25

94
Tabel 2.8 Light Loss Factor
Room Category Elapsed Time (Months) LLF
0 – 12 0,98
Very Clean 13 – 24 0,94
25 – 36 0,90
0 – 12 0,90
Average Clealiness 13 – 24 0,88
25 – 36 0,85
0 – 12 0,82
Very Dirty 13 – 24 0,80
25 – 36 0,75

2.2.4 Kebisingan
Kebisingan merupakan bunyi yang dihasilkan oleh suatu objek (dari luar
maupun dalam sistem kerja). Gelombang suara yang dibawa udara menggetarkan
gelendang telinga dan dapat bersifat merusak jika telah mendekati ambang batas
kemampuan maksimal pendengaran manusia. Sedangkan ambang batas untuk
kebisingan adalah 85 dB. Pada nilai tersebut bisa menerima kebisingan kurang dari
8 jam tanpa merusak pendengaran. Suara bising dapat menghasilkan perhatian
pekerja (mengganggu konsentrasi).
Secara umum dampak kebisingan bisa dikelompokkan dalam dua kelompok
besar, yaitu :
1. Dampak auditorial (Auditorial effect)
Dampak ini berhubungan langsung dengan fungsi (perangkat keras)
pengengaran, seperti hilangnya/berkurangnya fungsi pendengaran, suara
dering, berfrekuensi tinggi dalam telinga.
2. Dampak non-auditorial (Non-auditory effect)
Dampak ini bersifat psikologis, seperti gangguan cara berkomunikasi,
kebingungan, stress, dan berkurangnya kepekaan terhadap masalah keamanan
kerja.
Ada tiga aspek yang menentukan kualitas suatu bunyi, yang bisa menentukan
tingkat gangguan manusia, yaitu : lama, intensitas, dan frekuensinya. Makin lama
telinga kita mendengarkan kebisingan, makin buruk akibatnya bagi kita, diantaranya
pendengar yang makin berkurang.

95
Intensitas biasanya diukur dengan satuan decibel (dB), yang menunjukkan
besarnya arus energi per satuan luas. Berikut ini ditunjukkan skala intensitas yang
biasa terjadi di suatu tempat atau akibat suatu alat/keadaan.

Tabel 2.10 Skala Intensitas Kebisingan

Tingkat pembicaraan dapat dikategorikan sebagai berikut :


 Percakapan biasa : 60 – 65 dB
 Percakapan di suatu seminar : 65 – 75 dB
 Berteriak : 80 – 85 dB
Untuk menghitung waktu maksimum yang diperkenankan bagi seorang
pekerja untuk berada dalam tempat kerja dengan tingkat kebisingan tidak aman
adalah sebagai berikut (formula yang telah ditetapkan oleh OSHA):

8
T
2 L  90 /5

96
Keterangan :
T = waktu maksimum dimana pekerja boleh berhadapan dengan
tingkat kebisingan (dalam jam)
L = Tingkat kebisingan (dB) yang dianggap berbahaya
5 = Exchange rate
Sebagaimana halnya dengan warna, suara dapat mempengaruhi produktivitas
karyawan. Pada umumnya, karyawan lebih menyukai suasana kerja yang nyaman
sehingga bekerja dengan rasa senang. Ketika suara yang timbul pada saat bekerja
mulai mengganggu, maka suara tersebut dapat dianggap sebagai kebisingan. Bising
dinyatakan oleh Mc Cormick sebagai suara yang memiliki hubungan informasi
dengan tugas atau aktivitas yang dilaksanakan oleh yang bersangkutan. Perusahaan
perlu mengusahakan pengurungan tingkat kebisingan untuk melindungi kesehatan.

2.2.4.1 Efek Fisiologi dari Kebisingan


Beberapa dampak kebisingan terhadap kinerja terjadi dalam beberapa bentuk:

a. Terganggu
Kebisingan yang terputus-putus pada tingkat kurang lebih 50 dB memiliki
pengaruh mengganggu yang lebih besar dari pada suara yang lebih kontinyu
walaupun intensinya lebih besar. Kebisingan dalam ruangan juga lebih mengganggu
bila dibandingkan dengan kebisingan di ruang terbuka. Demikian juga tingkat
frekuensi, semakin tinggi frekuensi semakin besar gangguan yang dirasakan.
b. Kebingungan
Timbul perasaan tanpa disadari akibat adanya kebisingan
c. Gangguan komunikasi
Untuk informasi yang sudah biasa diterima pemahaman pembicaraan tidak
tergantung bila surat pembicaran 10 dB diatas tingkat kebisingan informasi yang
tidak biasa dibutuhkan perbedaan sedikitnya 20 dB.
d. Perhatian
Kebisingan mempengaruhi tingkat perhatian seseorang.
e. Produktivitas

97
Tabel 2.11 Jenis Ruangan dan Ambang Batas Kebisingannya

Tipe Ruangan Ambang Batas Kebisingan (dB)


Ruangan Konferensi 35
Kantor 40
Laboratorium, Ruang Inspeksi 50
Kantin 50
Ruang Produksi 75
Ruang Mesin 90

Tujuan dilakukan pengukuran kebisingan adalah untuk memperoleh data


kebisingan sehingga ditentukan tingkat kebisingan dan perbaikan. Secara praktis
frekuensi bunyi dapat diukur secara langsung dengan suatu alat ukur yang disebut
Sound Level Meter.
Beberapa contoh kebisingan di antaranya adalah :
1. Kebisingan kontinyu dengan spektrum frekuensi yang luas, missal: kipas angin,
dapur pijar.
2. Kebisingan kontinyu dengan spectrum frekuensi yang sempit, misalnya: gergaji
sirkuler, katup gas dan lain-lain.
3. Kebisingan terputus-putus (intermittent), missal: lalu lintas, kapal terbang
4. Kebisingan impulsif, missal: pukulan tukul, tembakan bedil
5. Kebisingan impulsif berulang, missal: mesin tempat kerusakan
6. Kebisingan dapat berasal dari sumber eksternal (berasal dari luar bangunan atau
lokasi) missal kebisingan lalu lintas, industri lalu lintas, industri lain maupun dari
sumber internal, missal mesin gerinda, mesin bor. Pada perkantoran kebisingan
dapat timbul dari telepon, mesin ketik, printer dan perbicaraan orang.

98
2.2.4.2 Pengendalian Kebisingan
Untuk manajemen kebisingan perlu pengendalian secara teknik maupun
administratif.
1. Secara Teknik
a. Pengendalian suara
b. Pengendalian sepanjang jalur suara, yaitu dengan penempatan lapisan berpori
di sekeliling sumber suara akan membantu mengurangi kebisingan.
Pembentukan kotak (housing) mesin dengan bahan yang sesuai.
c. Penyumbatan telinga.
2. Pengendalian Secara Administratif
Hal ini memfokuskan pada manajemen, misalnya dengan diadakan rotasi
pekerja antar tempat bising dengan tempat kerja yang tenang. Pengendalian secara
administrative dan teknik sebaiknya digunakan secara bersamaan untuk mencapai
tujuan dalam pengendalian kebisingan.

2.2.4.3 Pengaruh Tingkat Kebisingan Pada Produktivitas


Telinga ternyata lebih sensitive pada frekuensi tinggi dibandingkan pada
frekuensi rendah. Dari penelitian dengan berbagai tingkat kebisingan dan dua macam
frekuensi dan intensitas bunyi (tinggi dan rendah serta macam pekerjaan) sederhana
dan rumit memberikan hasil:
1. Pada kebisingan dengan frekuensi rendah (suara diesel generator)
produktivitas kerja seseorang tidak berpengaruh oleh tingkat kebisingan (dB)
yang berbeda-beda, bila pekerjaan sederhana dan tidak memerlukan
konsentrasi tinggi. Pada pekerjaan yang rumit dan membutuhkan konsentrasi
tinggi. Pada pekerjaan yang rumit dan membutuhkan konsentrasi yang tinggi
produktivitas terpengaruh oleh tingkat kebisingan. Pada tingkat kebisingan 80
dB produktivitas kerja tertinggi karena pada kondisi ini kebisingan menjadi
simultan bagi pekerja dan menjadi pembangkit kesadaran.
2. Pada kebisingan dengan frekuensi tinggi (misal suara gergaji listrik),
gerinda). Produktivitas kerja terpengaruh oleh tingkat kebisingan (dB) yang
berbeda-beda baik untuk pekerjaan sederhana ampun rumit.

99
2.3 Kondisi Lingkungan Dilihat Secara Makro (Luar Ruangan) dan Mikro
(Dalam Ruangan) Sesuai dengan Standar Simultan
Pada tabel berikut ini dapat dilihat standar mikro dan makro untuk kondisi
lingkungan fisik sesuai dengan standar simulasi. Pengamatan di Indonesia (Asia)
menggunakan standar mikro.

Tabel 2.12 Standar Mikro dan Makro Lingkungan Fisik Kerja

NO URAIAN STANDAR MIKRO STANDAR MAKRO


1 Suhu Ruang 25oC - 26oC 40oC
2 Kelembaban 50 – 65% 30 – 40%
3 Radiasi Panas Maks 37oC ≤3000 (siang hari,
cerah, tidak berawan)
4 Kebisingan 45 – 50 dBA 80 – 90 dBA
5 Kecepatan Angin 0 Km/jam 10 Km/jam
6 Tekanan Udara 74 – 74,5 cm/Hg 74 – 74,5 cm/Hg
7 Debu Maks 0,36 mg/m /1 jam Maks 0,40 mg/m3/1 jam
3

8 Penerangan Ruangan 200 – 500 Lux

2.4 Penggunaan Software ErgoMaster 4.0 untuk Workstation Assessment


ErgoMaster is a suite of attractively price ergonomic analysis software
modules containing a broad range of features and capabilities. The system is easy to
use and produces easy to understand reports incorporating pictures or images of the
job task being analyzed or redesigned. The system’s application include ergonomic
analysis, risk factor identification, training, as well as job and workstation design. Its
suite of modules and tools assists in the analysis of lifting tasks, repetitive tasks,
awkward postures, office ergonomics and many other areas. The system allows users
to obtain images from a variety of popular packages and receive such images even
via the internet. The system includes a database, wich enables users to easily save
and retrieve their studies including the images.
The modul of workstation analyst provides tools for the valuation of
industrial and/or office environments for ergonomic risk factors. This includes the
assessment of furniture and equipment, these tools include workstation assessment,
video display assessment, tool/product assessment and discomfort survey. In the

100
workstation assessment modules contain sophisticated checklist and specific
information to perform specific analysis of tools and products, workstation, material
handlings and VDT displays. Each evaluation is setup as an evaluation wizard where
the user goes through a step-by-step process during the assessment, and at the end a
summary is generated bases on the selections made throughout the process.

III. OBEJEK DAN PROSEDUR PRAKTIKUM


Pada praktikum ini praktikan akan melakukan pengukuran terhadap faktor-
faktor yang mempengaruhi lingkungan fisik kerja di ruang yang diamati dalam
kondisi statis. Masing-masing shift akan mengamati dua ruangan dengan tipe yang
sama, dan setiap shift akan mengamati ruangan yang berbeda. Praktikan akan
mencatat hasil pengukuran lingkungan fisik yang diperoleh dari hasil pengukuran
dan penggunaan alat. Praktikan akan menggunakan software ErgoMaster sebagai
penilaian terhadap lingkungan kerja yang diamati. Ruangan yang diamati diantaranya
adalah Laboratorium Dasar Mesin, Laboratorium Dasar Proses Produksi,
Laboratorium Menggambar Teknik, RKTM1, RKTM2, Perpustakaan Elektro,
Laboratorium Logika Pemrograman Komputer, Ruangan Magister Elektro, Ruangan
Magister Manajemen, Kamoe Fotocopy.

IV. PERALATAN PRAKTIKUM


Peralatan yang digunakan antara lain :
1. Digital Light Meter
2. Micro Sound Level Meter
3. High Volume Air Samper (Higrometer)
4. Barometer
5. Altimeter
6. Termometer Suhu
7. Meteran

101
MODUL VI
ERGONOMI ANTROPOMETRI

I. TUJUAN PRAKTIKUM
Dari praktikum ini diharapkan praktikan mampu
1. Memanfaatkan data hasil pengukuran antropometri untuk kebutuhan
perancangan sistem kerja agar dapat menghasilkan rancangan kerja yang
efektif, aman, sehat, nyaman dan efisien (ENASE) dari suatu sistem kerja.
2. Menggunakan peralatan yang digunakan dalam penelitian Ergonomi
Antropometri.
3. Memahami interaksi antara manusia, mesin, peralatan, bahan, maupun
lingkungan kerjanya.
4. Memahami adanya sejumlah kelebihan dan keterbatasan yang dimiliki
manusia.
5. Menerapkan metode pengukuran antropometri (anthropometric methods)
dalam perancangan sistem kerja.
6. Menggunakan metode pengolahan data antropometri untuk mendapatkan
informasi valid dalam keperluan perancangan produk.

II. LANDASAN TEORI


2.1 Pengertian Antropometri
Istilah antropometri berasal dari kata “anthro” yang berarti manusia dan
“metri” yang berarti ukuran.l secara definitive antropometri dapat dinyatakan sebagai
suatu studi yang berkaitan dengan pengukuran bentuk, ukuran (tinggi, lebar) berat
dan lain-lain yang berbeda satu dengan lainnya (Sutalaksana, 1996).
Secara lebih luas digunakan sebagai pertimbangan ergonomis dalam proses
perencanaan produk maupun sistem kerja yang memerlukan interaksi manusia. Data
antropometri yang berhasil diperoleh akan diaplikasikan secara lebih luas antara lain
dalam hal perancangan areal kerja (work station), perancangan alat kerja seperti
mesin, equipment, perkakas (tools), perancangan produk-produk konsumtif seperti

102
pakaian, kursi, mejadi dan perancangan lingkungan fisik. Berdasarkan hal tersebut
maka dapat disimpulkan bahwa data antropometri akan menentukan bentuk, ukuran
dan dimensi yang tepat berkaitan dengan produk yang akan dirancang sesuai dengan
manusia yang akan mengoperasikan atau menggunakan produk tersebut (Nurmianto,
2003).
Antropometri dibagi menjadi dua bagian. Adapun bagian dari data
antropometri adalah sebagai berikut (Nurmianto, 2003):
1. Antropometri Statis
Statis lebih berhubungan dengan pengukuran ciri-ciri fisik manusia dalam
keadaan statis (dima) yang distandarkan. Dimensi yang diukur pada
antropometri statis diambil secara linier (lurus) dan dilakukan pada
permukaan tubuh pada saat diam. Terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi dimensi tubuh manusia, diantaranya: umur, jenis kelamin,
suku bangsa, pekerjaan.
2. Antropometri Dinamis
Antropometri dinamis lebih berhubungan dengan pengukuran ciri-ciri fisik
manusia dalam keadaan dinamis, dimana dimensi tubuh yang diukur
dilakukan berbagai posisi tubuh ketika sedang bergerak sehingga lebih
kompleks dan sulit dilakukan. Terdapat tiga kelas pengukuran dimanism,
yaitu :
a. Pengukuran tingkat keterampilan sebagai pendekatan untuk mengerti
keadaan mekanis dari suatu aktivitas
b. Pengukuran jangkau ruang yang dibutuhkan saat bekerja
Contoh: jangkau dari gerakan tangan dan kaki efektif pada saat bekerja,
yang dilakukan pada saat berdiri atau duduk
c. Pengukuran variabilitas kerja
Contoh: analisis kemampuan jari-jari tangan dari seorang juru ketik atau
operator komputer.
Data antropometri akan menentukan bentuk, ukuran, dan dimensi yang tepat
berkaitan dengan produk yang dirancang dan manusia yang akan memakai produk
tersebut, dalam hal ini kegiatan perancangan peralatan kerja ini harus mampu

103
mengakomodasikan dimensi tubuh dan populasi terbesar yang akan menggunakan
produk hasil rancangan tersebut.

2.2 Antropometri dan Aplikasinya dalam Perancangan Fasilitas Kerja


Manusia pada dasarnya akan memiliki bentuk, ukuran (tinggi, lebar, dsb),
berat dan lain-lain yang berbeda satu sama lainnya. Antropometri secara luas akan
digunakan sebagai pertimbangan ergonomic dalam proses perancangan produk
maupun sistem kerja yang akan memerlukan interaksi manusia.
Data antropometri yang berhasil diperoleh akan diaplikasikan secara luas
antara lain dalam hal:
1. Perancangan areal kerja (work station, interior mobil, dll)
2. Perancangan peralatan kerja seperti mesin, equipment, perkakas (tools) dan
sebagainya.
3. Perancangan produk konsumtif seperti pakaian, kursi, meja komputer, dan
sebagainya.
4. Perancangan lingkungan kerja fisik.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa data antropometri akan
menentukan bentuk, ukuran dan dimensi yang tepat yang berkaitan dengan produk
yang dirancang yang akan mengoperasikan atau menggunakan produk tersebut.
Dalam rakitan ini maka perancangan produk hasil mengakomodasikan dimensi tubuh
dari populasi terbesar yang akan menggunakan produk hasil rancangan tersebut.
Secara umum sekurang-kurangnya 90-95% dari populasi yang menjadi target dalam
kelompok pemakai suatu produk haruslah mampu menggunakan dengan selayaknya.
Dalam beberapa kasus tertentu ada beberapa produk yang dirancang fleksibel,
misalnya kursi mobil, dapat digerakkan maju mundur dan sudut sandarnya bisa
dirubah untuk menciptakan posisi nyaman. Rancangan produk yang dapat diatur
secara fleksibel jelas memberikan kemungkinan lebih besar bahwa produk terebut
akan mampu digunakan oleh setiap orang meskipun ukuran tubuh mereka berbeda-
beda.
Pada dasarnya peralatan pekerjaan yang dibuat dengan mengambil referensi
dimensi tubuh tertentu jarang sekali dapat mengakomodasikan seluruh range ukuran

104
tubuh dari populasi yang akan menggunakannya. Kemampuan menyelesaikan
(adjustability) suatu produk merupakan suatu prasyarat yang amat penting dalam
proses perancangannya terutama produk-produk yang berorientasi ekspor.
Karakteristik perancangan menurut Merris Asimow adalah :
1. Berorientasi pada tujuan
2. Variform, yaitu suatu tanggapan bahwa terdapat sekumpulan solusi yang
mungkin tidak terbatas, tetapi harus memiliki salah satu ide yang akan diambil
3. Pembatas, yaitu membatasi solusi pemecahan antara lain :
a. Hukum alam, seperti ilmu fisika, ilmu kimia dan lain-lain.
b. Ekonomis, pembiayaan atau ongkos dalam merealisir rancangan yang telah
dibuat
c. Pertimbangan manusia, sifat, keterbatasan dan kemampuan manusia dalam
merancang dan memakainya.
d. Faktor-faktor legalisasi, mulai dari model, bentuk sampai dengan hak cipta.
e. Fasilitas produksi, sarana dan prasarana yang dibutuhkan untuk menciptakan
yang telah dibuat.
f. Evolutif, berkembang terus mengikuti perkembangan zaman.
Menurut Merris Asimow, karakteristik perancangan merupakan karakteristik
yang harus dimiliki oleh seorang perancang. Di bawah ini adalah karakteristik yang
harus dimiliki seorang perancang:
1. Mempunyai kemampuan untuk meramalkan masalah yang mungkin akan
timbul.
2. Memiliki imajinasi untuk meramalkan masalah yang mungkin akan timbul.
3. Berdaya cipta
4. Mempunyai keahlian di bidang matematika, fisika, kimia tergantung dari
jenis rancangan yang dibuat.
5. Dapat mengambil keputusan yang terbaik berdasarkan analisis dan prosedur.
6. Terbuka terhadap kritik dan saran yang diberikan orang lain dan lain-lain.

105
2.3 Data Antropometri dan Cara Pengukurannya
Manusia pada umumnya berbeda dalam hal bentuk dan dimensi ukuran
tubuhnya. Disini ada beberapa faktor yang akan mempengaruhi ukuran tubuh
manusia, sehingga semestinya seorang perancang produk harus memperhatikan
faktor-faktor tersebut, antara lain:
1. Umur
Secara umum dimensi tubuh manusia akan tumbuh dan bertambah besar,
seiring dengan bertambahnya umur, menurut penelitian yang dilakukan oleh
A.F Roche dan G.H Davila (1972) di USA diperoleh kesimpulan bahwa laki-
laki dan tumbuh dan berkembang naik sampai dengan usia 21,2 tahun
sedangkan wanita 18 tahun.
2. Jenis kelamin (sex)
Dimensi ukuran tubuh laki-laki umumnya akan lebih besar dibandingkan
dengan wanita, terkecuali untuk beberapa bagian tubuh tertentu seperti
pinggul, dll.
3. Suku bangsa (ethnic)
Setiap suku bangsa akan memiliki karakteristik yang berbeda satu dengan
lainnya. Variasi dimensi akan terjadi, karena pengaruh etnis.
4. Posisi tubuh
Posisi tubuh (postur) akan berpengaruh terhadap ukuran tubuh. Oleh seba itu
posisi tubuh standar harus ditetapkan untuk survey pengukuran.
1) Pengukuran dimensi struktur tubuh (structural body dimension)
Di sini tubuh diukur dalam berbagai posisi standard an tidak bergerak
tetapi tegak sempurna.
2) Pengukuran dimensi fungsional tubuh (fungsional body dimension)
Di sini pengukuran dilakukan terhadap posisi tubuh pada saat berfungsi
melakukan gerakan-gerakan tertentu berkaitan dengan kegiatan yang
harus diselesaikan.
5. Pakaian
Hal ini juga merupakan sumber variabilitas yang disebabkan oleh
bervariasinya iklim/musim yang berbeda dari suatu tempat ke tempat yang

106
lainnya terutama untuk daerah dengan empat musim. Misalnya pada waktu
musim dingin manusia akan memakai pakaian yang relatif lebih tebal dan
ukuran yang relatif lebih besar. Ataupun untuk para pekerja di pertambangan
lepas pantai, pengecoran logam. Bahkan para penerbang dan astronotpun
harus punya pakaian khusus.
6. Faktor kehamilan pada wanita
Faktor ini sudah jelas akan mempunyai pengaruh perbedaan yang berarti
kalau dibandingkan dengan wanita yang tidak hamil, terutama yang berkaitan
dengan analisis perancangan produk (APP) dan analisis perancangan kerja
(APK).
7. Cacat tubuh secara fisik
Skala prioritas pada rancangan bangun fasilitas akomodasi untuk para
penderita cacat tubuh secara fisik sehingga mereka dapat ikut serta dapat
merasakan “kesamaan” dalam penggunaan jasa dari hasi8l ilmu ergonomic di
dalam pelayaran untuk masyarakat. Masalah yang sering timbul misalnya:
keterbatasan jarak jangkauan, dibutuhkan ruang kaki (knee space) untuk
desain kerja, lorong/jalur khusus untuk kursi roda, ruang khusus di dalam
lavatory, jalur khusus untuk keluar masuk perkantoran, kampus, hotel,
restoran, supermarket dan lain-lain.

2.4 Aplikasi Data Antropometri dalam Perancangan Produk/Fasilitas Kerja


Dalam antropometri yang menyajikan data ukuran dari berbagai macan
anggota tubuh manusia dalam persentil tertentu akan sangat besar manfaatnya pada
saat suatu produk ataupun fasilitas kerja akan dibuat agar rancangan produk nantinya
bisa sesuai dengan ukuran tubuh manusia yang akan mengoperasikannya, maka
prinsip-prinsip apa yang harus diambil dalam aplikasi data antropometri tersebut
harus ditetapkan terlebih dahulu seperti diuraikan berikut ini :
1. Prinsip perancangan produk bagi individu dengan ukuran yang ekstrem
Di sini perancangan produk dibuat agar bisa memenuhi dua sasaran produk,
yaitu:

107
a. Bisa sesuai untuk ukuran tubuh manusia yang mengikuti klasifikasi ekstrem
dalam arti terlalu besar atau kecil bila dibandingkan rata-ratanya.
b. Tetap bisa digunakan untuk memenuhi ukuran tubuh yang lain (mayoritas
dari populasi yang ada)
Menurut Sutalaksana (1996), agar dapat memenuhi sasaran pokok tersebut
maka ukuran yang diaplikasikan ditetapkan dengan cara :
a) Untuk dimensi minimum harus ditetapkan dari suatu rancangan produk
umumnya didasarkan pada nilai persentil terbesar, seperti 90, 95, 99. Contoh
pada kasus ini bisa dilihat pada penetapan ukuran minimal dari lebar dan
tinggi dari pintu darurat.
b) Untuk dimensi minimum yang harus ditetapkan diambil berdasarkan nilai
persentil yang paling rendah (persentil 1, 5, 10) dari distribusi data
antropometri yang adalah hal ini diterapkan sebagai contoh dalam penetapan
jarak jangkau dari suatu mekanisme control yang harus dioperasikan oleh
seorang pekerja.
Secara umum aplikasi data antropometri untuk perancangan produk ataupun
fasilitas kerja akan menetapkan nilai persentil 5 untuk dimensi maksimum dan 95
untuk dimensi minimumnya.

2. Prinsip perancangan produk yang bisa dioperasikan diantara rentang ukuran


tertentu.
Di sini rancangan bis diubah-ubah ukurannya sehingga cukup fleksibel
dioperasikan oleh setiap orang yang memiliki berbagai macam ukuran tubuh.
Dalam kaitannya untuk mendapatkan rancangan yang fleksibel semacam ini,
maka data antropometri yang umum diaplikasikan adalah dalam rentang nilai
persentil 5-95.
3. Prinsip perancangan produk dengan ukuran rata-rata
Dalam hal ini rancangan produk didasarkan terhadap rata-rata ukuran manusia
(persentil 50). Tentu saja prinsip ini memiliki banyak kekurangan karena hanya
bisa digunakan oleh 50 persen populasi walaupun dapat menghemat bahan baku.
Masalah pokok yang dihadapi dalam hal ini justru sedikit sekali merek ayang

108
berada dalam ukuran rata-rata. Di sini produk dirancang dan dibuat untuk merek
ayang berukuran rata-rata, sedangkan bagi yang memiliki ukuran ekstrem akan
dibuatkan rancangan tersendiri.
Berkaitan dengan aplikasi data antropometri yang akan diperlukan dalam
proses perancangan produk ataupun fasilitas kerja, maka ada beberapa saran atau
rekomendasi yang bisa diberikan sesuai dengan langkah-langkah seperti berikut:
1. Pertama kali terlebih dahulu menetapkan anggota tubuh yang menantinya
akan difungsikan untuk mengoperasional rancangan tersebut.
2. Tentukan dimensi tubuh yang penting dalam proses perancangan tersebut,
dalam hal ini juga diperhatikan apakah harus menggunakan structural body
dimension atau fungsional body dimension.
3. Tentukan populasi terbesar yang harus diantisipasi, diakomodasikan dan
menjadi target utama pemakai rancangan produk tersebut. Hal ini lazim
dikenal sebagai market segmentation, seperti produk mainan untuk anak-
anak, peralatan rumah tangga untuk wanita dll.
4. Tetapkan prinsip ukuran yang harus diikuti, apakah rancangan tersebut untuk
ukuran individual yang ekstrem, rentang ukuran yang fleksibel atau ukuran
rata-rata.
5. Pilih presentasi populasi yang harus diikuti; 90, 95, 99 ataukah nilai persentil
alin dikehendaki.
6. Untuk setiap dimensi tubuh yang telah diidentifikasikan selanjutnya pilih atau
tetapkan nilai ukurannya dari tabel data antropometri yang sesuai.
Aplikasikan data tersebut dan tambahkan faktor kelonggaran (allowness) bila
diperlukan seperti halnya tambahan ukuran akibat faktor tebalnya pakaian
yang harus dikenakan oleh operator, pemakaian sarung tangan, dll.

III. PENGUJIAN DATA ANTROPOMETRI


Berikut ini adalah pengujian data antropmetri dengan menggunakan uji
statistic, antara lain yaitu:

109
3.1 Uji Keseragaman Data
Uji keseragaman data berfungsi untuk memperkecil varian yang ada dengan
membuang data ekstrem. Jika ada data yang berada diluar batas kendali atas ataupun
batas kendali bawah maka data tersebut dibuang. Langkah pertama dalam uji
keseragaman ini adalah perhitungan mean dan standar deviasi untuk mengetahui
batas kendali atas dan bawah. Menurut Barnes (1980) rumus yang digunakan dalam
uji ini yaitu :
a. Mean (rata-rata/average)
Rata-rata (average) adalah nilai khas yang mewakili sifat tengah, atau posisi
pusat dari sekumpulan nilai data (Harinaldi, 2005).

X
 Xi  n
i 1
N
Keterangan: X = mean
Xi = data antropometri
N = banyaknya data

b. Standar deviasi (simpangan baku)


Standard deviation atau simpangan baku merupakan ukuran penyebaran yang
paling sering digunakan (Harinaldi, 2005).

 Xi - X 
2

σ
N 1
Keterangan : σ = standar deviasi
X = mean
Xi = data antropometri
N = banyaknya data

c. Tentukan tingkat kepercayaan untuk mendapat nilai Z


Contoh perhitungan dengan menggunakan tingkat kepercayaan 92%.l nilai Z
dicari dengan menggunakan Tabel 1.3 Walpole.

110
 0,08
  1 92   0,04
2 2
  0,08
Luas kurva = 0,92 + 0,04 = 0,96
Kemudian lihat di Tabel L3 Walpole, nilai yang mendekati 0,96 diperoleh
sebagai berikut.

Z1 = 1,75 X1 = 0,9599
Z2 = …… X1 = 0,9600
Z3 = 1,76 X1 = 0,9608

1,76  Z 0,9608  0,9600



1,76  1,75 0,9608  0.9599
1,76  Z 0,0008

1,76  1,75 0,0009
0,001548  0,0009Z  0,000008
Z  1,751

d. Hitung Batas Kontrol Atas (BKA) dan Batas Kontrol Bawah (BKB) dengan
rumus:
BKA = X + Z σ
BKB = X - Z σ
Jika ada data yang berada di luar batas kendali atas maupun atas kendali
bawah, maka data tersebut harus di eliminasi atau dihilangkan. Untuk dapat
melihat keseragaman data dapat digunakan peta kendali X .

3.2 Uji Kecukupan Data


Uji kecukupan data bertujuan untuk menentukan apakah jumlah data yang
digunakan sudah mewakili dari populasi yang diamati. Data dianggap cukup apabila
N’ < N. Uji kecukupan data bisa menggunakan rumus seperti di bawah ini :

111
 Z/α N X 2   X 2
2

N'  
 i  i 

  Xi 

Keterangan : N’ = jumlah data teoritis
N = jumlah data pengamatan
Z = tingkat kepercayaan
α = derajat ketelitian
Xi = jumlah data ke-i

3.3 Perhitungan Persentil


Perhitungan persentil bertujuan untuk mengetahui populasi pengguna pada
suatu produk/fasilitas. Rumusan persentil 5, persentil 50 dan persentil 95 adalah
sebagai berikut :

P5  X  Zσ
P50  X
P95  X  Zσ

Rumus persentil untuk data tidak normal :


 i.n  
 100   fn 
Pi  L i   k
 F 
 
Keterangan : Li = Batas bawah kelas boundaries
k = Panjang kelas interval
i = 1, 2, 3, …..99
F = Frekuensi kelas medina
∑f = Jumlah frekuensi sebelum kelas medina
n = Jumlah data

112
IV. OBJEK DAN PROSEDUR PRAKTIKUM
Pada praktikum ini praktikan akan melakukan perhitungan dan analisis
ergonomic antropometri terhadap produk yang ada di lingkungan sekitar.
Setiap praktikan melakukan pengukuran dimensi tubuh sesuai dengan daftar
yang ada pada lembar pengamatan, data pada lembar pengamatan setiap kelompok
yang telah diisi kemudian direkapitulasi.

V. PERALATAN PRAKTIKUM
1. Satu set alat ukur dimensi tubuh (antropometri) *disesuaikan
2. Meteran dan timbangan badan
3. Alat tulis dan lembar pengamatan

113

Anda mungkin juga menyukai