Anda di halaman 1dari 123

ASUHAN KEPERAWATAN

PEMENUHAN KEBUTUHAN KEAMANAN DAN PERLINDUNGAN:


TERMOREGULASI DENGAN HIPERTERMIA PADA AN. F
DI RUANG MELATI RSUD dr. SOEDIRMAN KEBUMEN

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Akhir Ujian Komprehensif


Jenjang Pendidikan Diploma III Keperawatan

Disusun oleh :

Hendri Priyanto

A01301757

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH GOMBONG


PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN
2016

i
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING

Laporan Hasil Ujian Komprehensif telah Diterima dan Disetujui oleh


Pembimbing Karya Tulis Ilmiah Diploma DIII Keperawatan STIKES
Muhammadiyah Gombong pada :

Hari/Tanggal : 01 Agustus 2016


Tempat : STIKes Muhammadiyah Gombong

Pembimbing

( Bambang Utoyo, M.Kep. Ns)

ii
ASUHAN KEPERAWATAN
PEMENUHAN KEBUTUHAN KEAMANAN DAN PERLINDUNGAN:
TERMOREGULASI DENGAN HIPERTERMIA PADA AN. F
DI RUANG MELATI RSUD dr. SOEDIRMAN KEBUMEN

Yang dipersiapkan dan disusun oleh


Hendri Priyanto
A01301757
Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji
Pada tanggal 02 Agustus 2016

Susunan Dewan Penguji

1. Bambang Utoyo, M.Kep. Ns. (.........................)

2. Sawiji, S.Kep.Ns. M.Sc (.........................)

Mengetahui,

Ketua Program Studi DIII Keperawatan


STIKES Muhammadiyah Gombong

(Sawiji, S.Kep.Ns. M.Sc)

iii
Program Studi DIII Keperawatan
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Muhammadiyah
KTI, Agustus 2016
Hendri Priyanto1, Bambang Utoyo, M.Kep. Ns.2

ABSTRAK
ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN
KEBUTUHAN KEAMANAN DAN PERLINDUNGAN: TERMOREGULASI
DENGAN HIPERTERMIA PADA AN. F DI RUANG MELATI
RSUD dr. SOEDIRMAN KEBUMEN

LatarBelakang: Kebutuhan keamanan dan perlindungan thermoregulasi dengan hipertermi.


Kebutuhan termoregulasi: hipertermi merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang perlu
dipenuhi, karena jika tidak dipenuhi akan terjadi komplikasi yang dapat terjadi yaitu dehidrasi,
kekurangan oksigen, demam di atas 420C, dan kejang demam, hingga kematian.
Tujuan: Penulisan karya ilmiah ini yaitu untuk memberikan gambaran tentang asuhan
keperawatan kebutuhan keamanan dan perlindungan: thermoregulasi pada klien An. F dengan
hipertermi.
Pembahasan: Diagnosis keperawatan pada kasus ini adalah hipertermi berhubungan dengan
proses infeksi, Cemas berhubungan dengan status kesehatan dan Gangguan pola tidur
berhubungan dengan peningkatan suhu tubuh. Intervensi yang dilakukan berupa monitor suhu
klien, monitor tanda-tanda vital, sarankan untuk meningkatkan istirahat, berikan pengobatan untuk
mencegah terjadinya demam, kolaborasi pemberian obat, beri kompres hangat bila diperlukan,
bina hubungan saling percaya, berikan penyuluhan kesehatan, libatkan keluarga, berikan
lingkungan yang nyaman, berikan reinfocement untuk menggunakan sumber koping yang efektif,
anjurkan agar orang tua selalu disamping anak atau klien, jika perlu cek suhu, ganti pakaian klien
dengan bersih dan nyaman, libatkan keluarga untuk meninabobokan klien, anjurkkan untuk
istirahat, kolaborasi dalam pemberian obat. Implementasi yang sudah dilakukan berupa memonitor
tanda-tanda vital, memberikan infus paracetemol 4x300 mg, mengganti lagi dengan infus RL 18
tetes permenit, menyarankan untuk meningkatkan istirahat, memberikan lingkungan yang nyaman,
membina hubungan saling percaya. memberikan penyuluhan, melibatkan keluarga, memberikan
reinfocement untuk menggunakan sumber koping yang efektif,menganjurkan agar orang tua selalu
disamping anak, menganjurkan klien untuk istirahat.
Hasil: Evaluasi yang dilakukan selama dua hari ditemukan bahwa hipertermia itu terselesaikan,
kecemasan dan gangguan pola tidur yang sementara terselesaikan.

Kata kunci: kebutuhan rasa aman dan perlindungan, hipertemia, cemas, gangguan pola tidur.

1. Mahasiswa Program Studi DIII Keperawatan STIKES Muhammadiyah Gombong


2. Pembimbing Karya Tulis Ilmiah.

iv
DIPLOMA III OF NURSING PROGRAM
MUHAMMADIYAH HEALTH SCIENCE INSTITUTE OF GOMBONG
Nursing Care Report, August 2016
Hendri Priyanto1, Bambang Utoyo, M.Kep. Ns.2

ABSTRACT
NURSING CARE OF FULFILLING SECURE AND PROTECTION NEED,
THERMOREGULATION (HYPERTHERMIA) TOA CHILD “F” ATMELATI WARD
Dr. SOEDIRMAN STATE HOSPITAL OF KEBUMEN

Background: Secure and protection need, thermoregulation (hyperthermia). Thermoregulation


need of hyperthermia is one of the basic human needs needed to fulfill. Complications may occur
if it is not handled very well. They are dehydration, lack of oxygen, fever above 400C, febrile
seizures, and finally death.
Objective: to describe nursing care of fulfilling secure and protection need, thermoregulation
(hyperthermia) to a child “f” at Melati Ward Dr. Soedirman State Hospital of Kebumen.
Discussions: Nursing diagnoses were hyperthermia related to the infection process, anxious
related to health status, sleep pattern disorder related to an increase of body temperature.
Interventions were monitoring vitalsigns, suggesting to take more rest, providing treatment to
prevent the occurrence of fever, collaborating medicines as order, giving a warm compress as
necessary, building a trust relationship, giving health education, involving the patient’s family,
providing a comfortable environment, giving reinforcement to use effective coping resources,
suggesting that parentsshould always beside the child or client, keeping the patient clean and
comfort, involving the family to lull the patient. Implementations were monitorin vital signs,
giving paracetemol infusion of 4x300 mg, switching again to the infusion of RL 18 drops per
minute, recommending to increase more rest, providing a comfortable environment, building a
trust relationship, providing counseling, involving family, giving reinforcement to use effective
coping resources, recommending parents should always beside the child.
Results: the evaluation conducted for two days found that hyperthermia was resolved, anxiety and
sleeping pattern disorder were temporarily resolved.

Keywords: secure and protection need, hyperthermia, anxiety, sleeping pattern disorder

1. Students of Diploma III of Nursing Program Muhammadiyah Health Science Institute of


Gombong.
2. Lecturer, Diploma III of Nursing Program Muhammadiyah Health Science Institute of
Gombong.

v
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarakatuh


Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena
berkat, rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya
Tulis Ilmiah dengan judul Asuhan Keperawatan Pemenuhan Kebutuhan
Keamanan dan Perlindungan: Termoregulasi Dengan Hipertermia Pada An. F di
Ruang Melati RSUD Dr. Soedirman Kebumen
Dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini penulis banyak mendapat
bimbingan serta dukungan dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan
ini penulis mengucapkan terima kasih dan menyampaikan penghargaan yang
setinggi-tingginya kepada :
1. Bapak M. Madkhan Anis, S. Kep. Ners, selaku Ketua Sekolah Tinggi
Ilmu Kesehatan.
2. Bapak Sawiji, S.Kep.Ns, M.Sc selaku Ketua Program Studi DIII
Keperawatan yang telah memberikan kesempatan untuk dapat menimba
ilmu di STIKes Muhammadiyah Gombong.
3. Bapak Bambang Utoyo, S.Kep. Ns. M. Kep. selaku dosen pembimbing
serta penguji yang telah membimbing dengan cermat, memberikan
masukan-masukan, inspirasi, perasaan nyaman dalam bimbingan serta
memfasilitasi demi sempurnanya studi kasus ini.
4. Bapak dr. Bambang Suryanto, M.Kes selaku Direktur RSUD dr.
Soedirman Kebumen yang telah memberikan tempat dan kerjasama
dalam melaksanakan studi kasus.
5. Ibu Rini Amborowati, S.Kep. Ns selaku pembimbing di Ruang Melati
RSUD dr. Soedirman Kebumen yang telah memberikan bimbingan dan
kerjasama dalam melaksanakan studi kasus.
6. Ibu Nurlaila, M.Kep selaku pembimbing dari Sekolah Tinggi Ilmu
Kesehatan Muhammadiyah Gombong selama studi kasus di Ruang
Melati yang telah memberikan bimbingan dan dalam melaksanakan studi
kasus.

vi
7. Bapak Hendri Tamara, M.Kep, bapak Sarwono, SKM, bapak Bambang
Utoyo, M.Kep., Ns. Ibu Mardiati, M.Kep Sp. Kep J, dan Ibu Ernawati,
M.Kep selaku Pembimbing dari Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan
Muhammadiyah Gombong beserta seluruh staff dan karyawan yang telah
banyak membantu dalam penyelesaian laporan ini.
8. Kedua orang tua tercinta bapak Gatot Susilo dan ibu Sri Sugiarti yang
selalu memberikan kasih sayang, dukungan baik materi, moral maupun
spiritual dan banyak hal lain yang mungkin tidak bisa disebutkan satu
persatu.
9. Teman-teman seperjuanganku Heri Siswanto, Ikhlas Arif Mukhtamar,
Janrizky Praerda syandi, Imam sechudin, Imam Kurniawan, Ludi Nur
Kurniawan di kelas 3 B Program Studi DIII Keperawatan STIKes
Muhammadiyah Gombong yang senantiasa selalu membantu dan
mendukung penulis dalam memenuhi target dalam menempuh studi.
10. Kekasih tercinta Siti Mahfiyah, Amd. Keb. yang selalu memberikan
motivasi, perhatian dan kasih sayang sehingga makalah ini dapat
terselesaikan.

Penulis berharap karya tulis ilmiah ini dapat memberikan informasi


kepada pihak lain sehingga dapat memperluas pengetahuan tentang penyakit
febris. Walaupun dalam penulisan ini, penulis masih mempunyai banyak
kekurangan, tetapi dengan kekurangan tersebut penulis mendapatkan masukan
dari pihak lain sehingga penulis mampu melengkapinya dan menjadikan lebih
sempurna serta dapat dijadikan pembelajaran bagi penulis.
Semoga laporan studi kasus ini bermanfaat untuk perkembangan ilmu
keperawatan dan kesehatan. Amin.
Wassalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarakatuh

Gombong, 01 Agustus 2016

Penulis

vii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL............................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING .......................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ................................................... iii
ABSTRAK .............................................................................................. iv
ABSTRACK . ......................................................................................... v
KATA PENGANTAR ............................................................................ vi
DAFTAR ISI ........................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................... 1
A. Latar Belakang ..................................................................... 1
B. Tujuan ................................................................................... 4
C. Manfaat ................................................................................. 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................. 6
A. Konsep Termoregulasi ........................................................ 6
1. Definisi .......................................................................... 6
2. Jenis-Jenis Termoregulasi ............................................. 6
3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Suhu Tubuh ......... 7
4. Temperatur Suhu Tubuh ............................................... 8
B. Konsep Dasar Hipertermia ................................................... 9
1. Definisi Demam ............................................................ 9
2. Etiologi Demam ............................................................ 10
3. Dampak Demam............................................................ 12
4. Patofisiologi Demam ..................................................... 13
5. Klasifikasi Demam ........................................................ 14
6. Gambaran Klinis Demam ............................................. 16
7. Penanganan Demam ...................................................... 17
8. Pencegahan Hipertermia Pada Anak. ............................ 21
C. Inovasi Tindakan Dengan Bawang Merah ........................... 21
BAB III RESUME KEPERAWATAN ................................................... 24
A. Pengkajian ............................................................................. 24

viii
1. Identitas Klien ................................................................ ` 24
2. Riwayat Kesehatan ......................................................... 24
3. Pengkajian Fokus ........................................................... 25
B. Analisa Data .......................................................................... 27
C. Intervensi, Implementasi, Evaluasi ....................................... 27
BAB IV PEMBAHASAN ....................................................................... 31
A. Asuhan Keperawatan............................................................ 31
A. Analisa Inovasi Tindakan Keperawatan ............................... 39
Bab V PENUTUP ................................................................................... 42
A. Kesimpulan........................................................................... 42
B. Saran ..................................................................................... 43
DAFTAR PUSTAKA

ix
1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Berdasarkan penelitian dari Badan Kesehatan Dunia (WHO)
dijelaskan bahwa nilai kasus demam diseluruh dunia mencapai 18-34 juta
jiwa per tahun, anak merupakan paling rentang terkena demam, meskipun
gejala yang diderita anak bisa lebih ringan dari dewasa. Kejadian demam
banyak terjadi pada anak usia 5-19 tahun hampir disemua daerah. Sedangkan
di Indonesia yang merupakan negara berkembang tidak jarang ditemui anak
yang menderita demam, hal ini bisa terjadi karena adanya pergantian cuaca
dari musim hujan kemusim kemarau ataupun sebaliknya (Suriadi, 2010).
Sedangkan menurut hasil penelitian dari Departemen Kesehatan
Republik Indonesia tahun 2010 mengemukakan bahwa anak yang berusia 5
sampai 15 tahun angka kejadian demam yang terjadi mencapai 11,66% atau
28.594.060 orang. Dalam penelitian yang sudah dilakukan di RSUD Tugurejo
Semarang pada tahun 2010 kejadian demam pada anak sudah mencapai 971
pasien anak. (Nugroho, 2011).
Namun kania (2007) mengemukakan bahwa seringkali demam pada
anak menimbulkan rasa ketakutan yang berlebihan yang tersendiri (fobia)
bagi banyak ibu. Hasil penelitian menunjukkan hampir 80% orang tua
mempunyai fobia demam. Banyak orang tua yang mengira bahwa bila tidak
diobati, demam anaknya akan semakin tinggi. Karena teori ataupun ide yang
salah ini, banyak orang tua mengobati demam ringan yang sebetulnya tidak
perlu diobati.
Hipertermia merupakan suatu peningkatan suhu tubuh yang berkaitan
dengan ketidaksanggupan atau ketidakmampuan tubuh untuk menghilangkan
panas ataupun mengurangi produksi panas. Demam juga bisa diartikan
sebagai suatu gejala penyakit atau infeksi dimana ketika kondisi otak
membatasi suhu di atas pengaturan normal yaitu di atas 380C. Suhu tubuh
yang normal adalah antara 36ºC sampai 37ºC. Jika anak demam dengan

1
2

temperatur yang diukur melalui mulut atau telinga 37,8ºC atau melalui
rektum 38ºC dan 37,2ºC melalui ketiak, kemungkinannya anak terserang
demam. Anak-anak biasanya terserang demam lebih tinggi dari pada orang
dewasa. Akibat tuntutan peningkatan pengaturan tersebut maka tubuh akan
memproduksi panas. (Purwanti, 2008).
Penyebab demam umumnya karena adanya infeksi virus, paparan
panas yang berlebihan (overhating), adanya suatu pelepasan zat pirogen
(Pirogen adalah suatu zat yang menyebabkan demam atau bahan yang
dibentuk oleh mikroorganisme) dari dalam lekosit atau sel darah putih
(bertugas melindungi tubuh agar tahan menghadapi serangan kuman), adanya
proses infeksi, adanya peningkatan suhu pada 0-72 jam, dehidrasi atau
kekurangan cairan, menurunnya kemampuan untuk berkeringat, aktivitas
yang berlebihan, maupun dikarenakan gangguan sistem imun (Purwanti,
2008).
Dampak bisa ditimbulkan oleh adanya demam ada dua macam yaitu
sisi positif dan sisi negatif. Sisi positif demam adalah sebagai mekanisme
pertahanan yang dibutuhkan sebagai salah satu bentuk perlawanan tubuh
terhadap infeksi, namun terjadinya demam juga disertai dengan hal-hal yang
negatif. Sedangkan dampak negatif demam meliputi hal-hal yang harus
diberikan perhatikan yang tinggi pada orang tua yang di antaranya:
peningkatan resiko dehidrasi, kemungkinan bisa kekurangan oksigen, demam
di atas 420c sangat jarang sekali menyebabkan kerusakan neurologis
(kerusakan saraf), kejang demam, demam seringkali diikuti dengan gejala lain
seperti lemas, nyeri otot sakit kepala, dan menurunnya nafsu makan.
(Purwanti, 2008).
Awal mula terjadinya peningkatan suhu tubuh adalah ketika timbul
infeksi bakteri virus atau juga cidera jaringan yang menimbulkan radang atau
inflamasi (satu dari respon utama system kekebalan terhadap infeksi dan
iritasi). Akumulasi atau pengumpulan sel darah putih seperti monosit,
makrofag, sel T helper serta fibroblas (fibroblas merupakan suatu elemen
utama pada proses perbaikan untuk pembentukan protein struktural yang
3

berperan dalam pembentukan jaringan), sehingga timbul adanya pelepasan


pirogen endogen (faktor-faktor yang berasal dari dalam tubuh kita sendiri
sebagai reaksi kekebalan melawan kuman penyakit yang masuk ketubuh).
Adanya pelepasan pirogen endogen memicu pembentukan prostaglandin otak
dan merangsang hipotalamus untuk meningkatkan titik patokan suhu atau
yang disebut dengan set point. Sehingga akan mengakibatkan adanya
peningkatan suhu adan terjadilah demam. (Susanti, 2009).
Penanganan yang perlu dilakukan untuk mengatasi peningkatan suhu
ada beberapa cara yaitu dengan cara medis dan nonmedis, yang pertama
adalah dengan pemberian obat antipiretik seperti dengan ibuprofen,
paracetamol, asam mefenamat, aspirin. Cara yang kedua dengan cara fisik
seperti dengan kompres hangat, batasi aktifitas penderita yang demam, cegah
dehidrasi dll. Sedangkan cara yang ketiga adalah dengan cara herbal salah
satunya dengan kunyit. (Susanti, 2009).
Dalam hal inovasi keperawatan untuk menurunkan peningkatan suhu
tubuh menurut penelitian Rachmad (2013) mengemukakan bahwa ramuan
herbal peredam demam dengan bawang merah secara turun temurun sudah
diwariskan dan tak kalah manjur dari obat herbal yang lainnya. Disamping itu
bawang merah merupakan sayuran umbi yang cukup multiguna bawang
merah memiliki fungsi membantu mengatasi menurunkan suhu tubuh,
menurunkan kadar kolesterol, mengobati kencing manis, memacu enzim
pencernaan, batuk, peluruh haid, dan peluruh air seni. Sedangkan manfaatnya
adalah sebagai bumbu masakan, selain itu juga sebagai obat tradisional bias
menurunkan panas pada anak tanpa zat kimia dengan efek samping yang
minimal. Untuk itu inovasi tindakan keperawatan yang dilakukan oleh penulis
adalah dengan menggunakan bawang merah sebagai cara alternatif yang
mudah untuk mengatasi demam pada anak.
Dari hasil pengkajian yang sudah dilakukan penulis pada hari tanggal
31 Mei 2016 jam 15.00 WIB di ruang Melati RSUD dr. Soedirman
Kebumen, didapatkan hasil data obyektif diantaranya badan badan klien
panas dan kondisi klien nafsu makan menurun, klien juga sulit tidur. Selama
4

dikaji kondisi klien terlihat lemah. Klien hanya bisa berbaring di tempat tidur,
badan teraba hangat, mukosa bibir kering. Dari hasil pemeriksaan tanda tanda
vital didapatkan hasil tekanan darah 100/60 mmHg, nadi 105 kali permenit,
pernafasan 36 kali permenit, suhu: 38,2oC. Keadaan tersebut menandakan
peningkatan suhu tubuh yang dikatakan hipertermi.
Untuk itu penulis sangat tertarik untuk mengambil kasus ini dalam
suatu asuhan keperawatan yang berjudul “Asuhan Keperawatan Pemenuhan
Kebutuhan Kemanan dan perlindungan: Thermoregulasi Dengan Hipertermi
Pada An.F di Ruang Melati RSUD Dr. Soedirman Kebumen”.
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Tujuan umum penulisan karya tulis ini adalah untuk
mendeskripsikan atau menjelaskan asuhan keperawatan pemenuhan
keamanan dan perlindungan: termoregulasi dengan hipertermi pada An. F
di ruang Melati RSUD dr. Soedirman Kebumen.Mahasiswa mampu
memberikan wawasan dan pengetahuan tentang penanganan hipertermi
pada anak.
2. Tujuan Khusus
a. Mendeskripsikan pengkajian pada klien dengan gangguan
termoregulasi dengan hipertermi pada An. F
b. Mendeskripsikan analisa data dan diagnosa keperawatan pada klien
dengan gangguan termoregulasi dengan hipertermi pada An. F
c. Mendeskripsikan intervensi keperawatan dalam upaya pemenuhan
kebutuhan termoregulasi dengan hipertermi pada An. F
d. Mendeskripsikan implementasi keperawatan pada klien dengan
gangguan termoregulasi dengan hipertermi pada An. F
e. Mendeskripsikan evaluasi tindakan keperawatan pemenuhan
kebutuhan termoregulasi dengan hipertermi pada An. F
f. Mendeskripsikan analisa tindakan pada klien dengan gangguan
termoregulasi dengan kompres hangat, pemberian infus paracetamol
pada An. F
5

C. Manfaat
1. Manfaat Keilmuan
a. Bagi Instansi
Menjadi wacana dan bahan masukan dalam proses belajar mengajar
terhadap pemberian asuhan keperawatan pada klien dengan
pemenuhan kebutuhan temoregulasi
b. Bagi Rumah Sakit
Dapat digunakan sebagai masukan dalam menentukan tindakan
preventif dengan memberikan penyuluhan meliputi berbagai hal
yang dapat mencegah timbulnya penyakit demam
c. Bagi klien dan keluarga
Sebagai media informasi tentang demam dan cara penanganan
pasien demam serta peningkatan kebutuhan nutrisi pada anak yang
mengalami peningkatan suhu tubuh.
2. Manfaat Aplikatif
Manfaat aplikatif karya ilmiah ini diharapkan dapat memberikan
informasi mengenai inovasi keperawatan dengan cara alternatif dalam
menangani demam (hipertermia) pada anak yaitu dengan bawang merah.
DAFTAR PUSTAKA

Andre, Hanalde dkk. (2015). Perancangan Modifikasi Antena Kupu – Kupu


Panjang Dual Frekuensi Untuk Aplikasi Hypherthermi. Jurnal
Nasional Teknik Elektro. Program Studi Teknik Elektromedik
Politeknik Kesehatan Siteba, Padang. Vol: 4, No. 2, ISSN: 2302 -
2949
Herdman, T.H. & Kamitsuru, S. (Eds.). (2014). NANDA International Nursing
Diagnoses: Definitions & Classification, 2015–2017. Oxford: Wiley
Blackwell.
Howells, James. (2013). Excitability and the safety margin in human axons
during hyperthermia. The Journal of Physiology. Institute of
Clinical Neurosciences, Royal Prince Alfred Hospital and The
University of Sydney, Sydney, Australia.
Kania, Nia, (2010). Penatalaksanaan Demam Pada Anak,
http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2010/02/penatalaksan
aa n_demam_pada_anak.pdf. Diakses 11 Februari 2012
Moss, Ralph W. (2014). Narrowing The Gap: The Position Of Hyperthermia
Between Academic And Complementary Oncology. Oncothermia
Journal 10:33-33 Lemont PA, USA
Muhammad, Fatmawati. (2009). Efektifitas Kompres Hangat Dalam
Menurunkan Demam Pada Pasien Thypoid Abdominalis. Staf
Dosen Jurusan Keperawatan Politeknik Kesehatan Kemenkes
Gorontalo.
Nugroho, Taufan (2011). Asuhan Keperawatan Maternitas, Anak, Bedah dan
Penyakit Dalam. Yogyakarta: Nuha Medika
Pujiarto, Purnamawati Sujud, (2008). Demam Pada Anak, Yayasan Orangtua
Peduli, Jakarta Volume: 58. http://www.sehatgroup.web.id/?p=65.
Diakses 23 Juni 2012
Purwanti, Sri (2008). Pengaruh Kompres Hangat Terhadap Perubahan Suhu
Tubuh Pada Pasien Anak Hipertermia di Ruang Rawat Inap RSUD.
Dr. Moewardi Surakarta, Jurnal Ilmiah Kesehatan Vol 4. No 2.
ISSN: 2302 – 2949.
http://publikasiilmiah.ums.ac.id/bitstream/handle/123456789/484/2f.
pdf?sequen ce=1. Diakses 23 Juni 2012
Pusparini, Yesy (2014). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi kualitas Tidur
Pasien Di Ruang Intensif. Jurnal Kesehatan Komunitas Indonesia
Vol. 10. No. 2, RSUP DR. Hasan Sadikin, Bandung
Rachmad, (2013) Penentuan Efektivitas Bawang Merah Dan Ekstrak Bawang
Merah (Allium Cepa Var. Ascalonicum) Dalam Menurunkan Suhu
Bahan. Jurusan Fisika, Fakultas MIPA, UNHAS. Makassar
Suriadi, Yuliani (2010). Buku Pegangan Praktik Klinik Asuhan Keperawatan
Pada Anak. Edisi 2. Jakarta. Sagung seto hal 63-64
Suryono, dkk (2012). Efektifitas Bawang Merah Terhadap Penurunan Suhu
Tubuh Pada Anak Febris Usia 1 – 5 Tahun : Dosen Akper
Pamenang Pare Kediri.
Susanti, Nurlaili (2009). Efektifitas Kompres Dingin Dan Hangat Pada
Penataleksanaan Demam. Fakultas Sains dan Teknologi, UIN
Maliki Malang.
http://publikasiilmiah.uin.ac.id/bitstream/handle/123456789/287/sai
ntis.pdf?sequ ence=2. Diakses 23 Juni 2012
Szasz, A. (2007). Hyperthermia, A Modality In The Wings. St. Istvan University,
Budapest, Hungary. Volume 3 - Issue 1. [Downloaded free from
http://www.cancerjournal.net on Wednesday, June 22, 2016, IP:
36.81.10.11]
Wilkinson, Judith M. (2011). Buku Saku Diagnosis Keperawatan: Ed. 9 –
Jakarta: EGC.
SAP
(SATUAN ACARA PENYULUHAN)
DEMAM

Untuk Memenuhi Tugas Akhir Ujian Komprehensif


Jenjang Pendidikan Diploma III Keperawatan

Disusun oleh :

Hendri Priyanto

A01301757

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH GOMBONG

PROGRAM STUDI DII KEPERAWATAN

2016
SATUAN ACARA PENYULUHAN
TENTANG DEMAM FEBRIS

Bidang Studi : Keperawatan Anak


Topik : Gangguan Sistem Termoregulasi
Sub topik : Demam
Sasaran : Keluarga An. F
Hari/ tanggal : Rabu, 1 Juni 2016
Jam : 12.15 – 12.35 WIB
Waktu : 20 Menit
Tempat : Ruang Melati RSUD dr. Soedirman Kebumen

A. IDENTIFIKASI MASALAH
Berdasarkan penelitian dari Badan Kesehatan Dunia (WHO)
dijelaskan bahwa nilai kasus demam di seluruh dunia mencapai 18-34 juta
jiwa pertahun, anak merupakan paling rentang terkena demam, meskipun
gejala yang diderita anak bisa lebih ringan dari dewasa. Kejadian demam
banyak terjadi pada anak usia 5-19 tahun hampir disemua daerah.
Sedangkan di Indonesia yang merupakan negara berkembang tidak jarang
ditemui anak yang menderita demam, hal ini bisa terjadi karena adanya
pergantian cuaca dari musim hujan ke musim kemarau ataupun sebaliknya.
(Suriadi, 2010).
B. TUJUAN
1. Tujuan Instruksional Umum ( TIU )
Setelah mengikuti kegiatan penyuluhan diharapkan keluarga dapat
memahami dan mengerti tentang febris atau demam.
2. Tujuan Instruksional Khusus ( TIK )
Setelah mengikuti kegiatan penyuluhan, diharapkan keluarga mampu:
a. mengetahui tentang pengertian demam,
b. mengetahui tentang penyebab demam,
c. mengetahui tentang tanda dan gejala demam,
d. mengetahui tentang dampak demam,
e. mengetahui tentang cara mengatasi demam ketika dirumah,
f. mengetahui tentang pencegahan demam
C. Materi
1. Pengertian demam
2. Penyebab demam
3. Tanda dan gejala demam
4. Dampak demam
5. Cara penanganan demam dirumah
6. Pencegahan demam
D. Metode Penyuluhan
1. Ceramah
2. Tanya Jawab
E. Media
1. Materi SAP
2. Leaflat
3. Lembar balik
F. SETTING TEMPAT

Keterangan:

: keluarga klien : klien

: perawat
G. Kegiatan Pembelajaran
No. Waktu Kegiatan Penyuluhan Kegiatan Peserta
1 3 menit Pembukaan: Menjawab salam
1. Memberikan salam 2. Mendengarkan
2. Menjelaskan tujuan dan
pembelajaran memperhatikan
3. Kontrak waktu
4. Menyebutkan materi atau pokok
bahasan yang di sampaikan
2 10 menit Pelaksanaan materi: Menyimak dan
Menjelaskan materi penyuluhan memperhatikan
secara berurutan dan teratur.
Materi:
1. Pengertian demam
2. Penyebab demam
3. Tanda dan gejala demam
4. Dampak demam
5. Cara penanganan demam
dirumah
6. Pencegahan demam
3 5 menit Evaluasi : Bertanya dan
1. Menyimpulkan isi penyuluhan menjawab
2. Memberi kesempatan untuk pertanyaan
bertanya.
3. Memberikan kesempatan untuk
menjawab pertanyaan yang
dilontarkan.

4 2 menit Penutup: Menjawab salam


Mengucapkan terima kasih dan
mengucapkan salam.
H. Evaluasi
1. Metode evaluasi : Diskusi tanya jawab
2. Jenis pertanyaan : lisan
3. Jumlah soal : 3 pertanyaan
PERTANYAAN
1. Sebutkan 3 (tiga) dari penyebab demam?
2. Sebutkan 3 (tiga) bagaimana cara penanganan demam ketika
dirumah?
3. Sebutkan 3 (tiga) pencegahan demam?
JAWABAN
1. Penyebab demam adalah :
a. Adanya proses infeksi.
b. Terpajan pada lingkungan yang panas dalam waktu yang
lama (overhating) dan olah raga atau aktivitas yang
berlebihan akan meningkatkan suhu meningkat.
c. Penyakit atau trauma dapat mengganggu fungsi pengaturan
suhu tubuh.
2. Penanganan demam ketika dirumah meliputi :
a. Dengan berikan kompres hangat
b. Dengan memberikan banyak minum dan memberikan
minuman kesukaan seperti sari buah, minuman ion, juz, teh
manis, air susu, air limun, dll.
c. Ganti baju yang basah akibat keringat dengan baju tipis
bertujuan agar kulit terpapar oleh udara.
3. Pencegahan demam meliputi :
a. Jaga kondisi kesehatan lingkungan.
b. penyediaan air minum yang memenuhi syarat serta Makan
makanan yang bersih dan sehat.
c. Pembuangan sampah dan kotoran manusia pada tempatnya.
I. Pengesahan

Kebumen, 31 Juni 2016

Sasaran Mahasiswa

(Keluarga An. F) (Hendri Priyanto)

Mengetahui,

Pembimbing dan Penguji Dosen Pembimbing


Klinik Akademik

Rini Amborowati, S. Kep. Ns Nurlaila, M. Kep.Ns


J. Lampiran Materi
1. Pengertian demam
Demam bukanlah suatu penyakit. Demam bisa merupakan suatu
gejala penyakit atau infeksi dimana ketika kondisi otak membatasi suhu
di atas pengaturan normal yaitu di atas 380C. Suhu tubuh yang normal
adalah antara 36ºC sampai 37ºC. Jika anak Anda demam dengan
temperatur yang diukur melalui mulut atau telinga 37,8ºC atau melalui
rektum 38ºC dan 37,2ºC melalui ketiak, kemungkinannya anak Anda
terserang demam. Anak-anak biasanya terserang demam lebih tinggi
dari pada orang dewasa. Akibat tuntutan peningkatan pengaturan
tersebut maka tubuh akan memproduksi panas. (Purwanti, S., &
Ambarwati, W. N. 2008).
2. Penyebab demam
Menurut (Purwanti, S., & Ambarwati, W. N. 2008). Hipertermi
dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu :
a. Adanya proses infeksi. Infeksi tersebut seperti saluran nafas atas,
infeksi saluran kemih, otitis media (infeksi pada telinga), sinusitis
(peradangan di sekitar rongga hidung), pneumonia (radang paru-
paru), dan gastroenteritis. Infeksi tersebut karena adanya
mikroorganisme yang hidup dalam tubuh. Akibatnya akan
mengalami beberapa perubahan. Mikroorganisme tersebut
memperbanyak diri dengan caranya masing-masing dan
menyebabkan cedera jaringan dengan berbagai mekanisme yang
mereka punya, salah satunya adalah mengeluarkan toksin (zat
beracun).
b. Terpajan pada lingkungan yang panas dalam waktu yang lama atau
paparan panas yang berlebihan (overhating) bisa mengakibatkan
kehilangan cairan dan elektrolit secara berlebihan.. Karena dengan
kehilangan cairan dapat mempengaruhi mekanisme pengeluaran
panas.
c. Menurunnya kemampuan untuk berkeringat karena kehilangan
elektrolit.
d. Olah raga atau aktivitas yang berlebihan akan meningkatkan suhu
meningkat. Dengan kondisi tersebut akan mengakibatkan
kehilangan cairan dan elektrolit secara berlebihan.
e. Penyakit atau trauma dapat mengganggu fungsi pengaturan suhu
tubuh.
f. Reaksi imun. Reaksi imun atau respon imun merupakan sistem
kekebalan tubuh. Jika sistem kekebalan melemah, kemampuannya
untuk melindungi tubuh juga berkurang, termasuk virus yang
menyebabkan penyakit, akibatnya akan menyebabkan munculnya
infeksi atau penyakit defisiensi imun (aneka penyakit yang
memiliki satu atau lebih dari ketidaknormalan sistem imun).
3. Tanda dan gejala demam
Tanda dan gejala yang sering muncul pada penderita hipertermia
menurut Suriadi & Y. Rita. (2012) meliputi taki kardi, sakit kepala dan
pusing, kulit bisa kemerahan, teraba hangat, menggigil dan berkeringat,
peningkatan suhu tubuh, kehilangan nafsu makan dehidrasi, diare dan
muntah-muntah, batuk-batuk, badan lemah dan nyeri otot, jika demam
yang sangat tinggi antara 39,4ºc – 41,1ºc dapat menyebabkan halusinasi,
kebingungan, mudah marah, bahkan kejang-kejang.
4. Dampak demam
Menurut Saini dkk., (2009). mengemukakan bahwa dampak
negatif demam meliputi hal-hal yang harus diberikan perhatikan yang
tinggi pada orangtua yang , di antaranya:
a. Peningkatan resiko dehidrasi (kekurangan cairan tubuh). Terjadinya
dehidrasi disebabkan oleh peningkatan penguapan cairan tubuh saat
anak demam, sehingga anak bisa mengalami kekurangan cairan dan
merasa lemah.
b. Kemungkinan bisa kekurangan oksigen. Ketika demam, anak dengan
penyakit paru-paru atau penyakit jantung, pembuluh darah bisa
mengalami kekurangan oksigen sehingga penyakit paru-paru atau
kelainan jantungnya infeksi saluran napas akut.
c. Demam di atas 420C bisa menyebabkan kerusakan neurologis
(kerusakan saraf). Akan tetapi hal ini sangat jarang sekali terjadi.
Sampai saat ini belum ada bukti penelitian yang menunjukkan bahwa
demam di bawah 420C bisa menyebabkan kerusakan otak.
d. Kejang demam, disebabkan oleh suhu badan naik, demam tinggi dan
tidak mendapatkan perawatan yang semestinya. Namun Kejang
demam tidak menyebabkan gangguan neurologis (kerusakan saraf)
dan biasanya hilang dengan sendirinya.
e. Demam seringkali diikuti dengan gejala lain seperti lemas, nyeri otot
sakit kepala, dan menurunnya nafsu makan (anoreksia).
5. Cara penanganan demam dirumah
Ada beberapa penanganan dirumah menurut Fatmawati M.
(2009). yaitu:
a. Pemberian kompres hangat
Pemberian kompres hangat cukup mudah dilakukan, murah dan
aman.
b. Batasi aktifitas penderita yang demam, bertujuan untuk menghemat
energi dan menurunkan kebutuhan oksigen. Karena pada saat demam
metabolisme tubuh meningkat meskipun penderita tidak beraktifitas
pasti akan terasa capai sekali karena energi banyak digunakan.
anjurkan penderita banayk istirahat
c. Cegah dehidrasi (kekurangan Cairan) dengan memberikan banyak
minum dan memberikan minuman kesukaan seperti sari buah,
minuman ion, juz, teh manis, air susu, air limun, dll.
d. Ganti baju yang basah akibat keringat dengan baju tipis bertujuan
agar kulit terpapar oleh udara, karena udara dapat memindahkan
panas dan dapat membantu memberi rasa nayaman saat demam.
e. Atur suhu ruangan lebih dingin
Mengatur suhu ruangan lebih dingin dengan tujuan agar panas
berpindah ke ruangan. misalnya membuka jendela.
f. lakukan terapi aktifitas bermain di tempat tidur seperti mewarnai,
menonton TV, bercerita atau tidur ditemani orang tua.
6. Pencegahan demam
Menurut Isnayani. (2012). Dalam upaya pencegahan demam
(hipertermi) pada anak, perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. Jaga kondisi kesehatan lingkungan.
b. penyediaan air minum yang memenuhi syarat.
c. Pembuangan sampah dan kotoran manusia pada tempatnya.
d. Makan makanan yang bersih dan sehat
e. Jangan biasakan anak jajan sembarangan
f. Pemberantasan lalats seperti dengan kipas angin, lem lalat, lilin,
plastik bening yang diisi air, jeruk lemon, apel dan cengkeh, atau
gunakan obat atau semprotan pembasmi serangga

DAFTAR PUSTAKA

Purwanti, S., & Ambarwati, W. N. (2008). Pengaruh Kompres Hangat


Terhadap Perubahan Suhu Tubuh Pada Pasien Anak
Hipertermia di Ruang Rawat Inap RSUD Dr. Moewardi
Surakarta. Jurnal Ilmiah Kesehatan Vol 4. No 2. ISSN: 2302 -
2949
Isnayani. (2012). External Cooling in the Management of Fever. Clinical
Infectious Disease. Volume 31
Suriadi, Yuliani (2010). Buku Pegangan Praktik Klinik Asuhan
Keperawatan Pada Anak. Edisi 2. Jakarta. Sagung seto hal 63-
64
Fatmawati M. (2009). Efektifitas Kompres Hangat Dalam Menurunkan
Demam Pada Pasien Thypoid Abdominalis. Staf Dosen Jurusan
Keperawatan Politeknik Kesehatan Kemenkes Gorontalo.
55

EFEKTIFITAS KOMPRES DINGIN DAN HANGAT PADA


PENATALEKSANAAN DEMAM

Nurlaili Susanti

Fakultas Sains dan Teknologi, UIN Maliki Malang


email : dr.santie@gmail.com

ABSTRACT

Fever is a symptom that accompanies some infectious and non infectious


diseases. Fever cause metabolic consequences such as dehydration, increasing oxygen
consumption and metabolic rate. Treatment of fever can reduce patient discomfort and
another symptoms such as fatigue, myalgia, diaphoresis and chills.In addition to
antipyretic, the use of physical methods to reduce fever has been widely applied.
Physical methods of cooling are the treatment of choice for hyperthermia, but their
value in the treatment of fever remains uncertain. Fever treated with tepid-water
sponging and combined with antipyretic drugs are more effectively than those treated
with antipyretic drugs alone. Tepid-water sponging represents a simple, nonsedating
method to combat the metabolic impact of shivering and to induce cutaneous
vasodilatation that increases heat loss.

PENDAHULUAN dehidrasi atau kekurangan cairan, alergi


Demam diartikan sebagai respon maupun karena gangguan sistem imun.
fisiologis tubuh terhadap penyakit yang Gejala demam dapat dipastikan
di perantarai oleh sitokin dan ditandai dari pemeriksaan suhu tubuh yang lebih
dengan peningkatan suhu pusat tubuh tinggi dari rentang normal. Dikatakan
dan aktivitas kompleks imun. Demam demam, apabila pada pengukuran suhu
merupakan gejala yang menyertai rektal >38oC (100,4oF) atau suhu oral
beberapa penyakit infeksi maupun >37,8oC atau suhu aksila >37,2oC
penyakit radang non infeksi. Pada (99oF). Sedangkan pada bayi berumur
penyakit infeksi, demam dapat kurang dari 3 bulan, dikatakan demam
diakibatkan oleh infeksi virus yang apabila suhu rektal > 38oC dan pada
bersifat self limited maupun infeksi bayi usia lebih dari 3 bulan apabila suhu
bakteri, parasit, dan jamur. Demam aksila dan oral lebih dari 38,3oC.
dapat juga disebabkan oleh paparan Penatalaksanaan demam sangat
panas yang berlebihan (overhating), bermanfaat untuk mengurangi rasa tidak
nyaman yang dirasakan pasien. Selain
56
Efektifitas Kompres Dingin dan Hangat …

terapi simptomatis dan kausatif dengan Individu normal, rata-rata


menggunakan obat-obatan, demam temperatur oral untuk usia 18-40 tahun
dapat diturunkan dengan kompres kulit. adalah 36,8 ± 0,4 oC (98,2 ± 0,7 oF)
Telah dikenal dua macam cara kompres dengan level terendah pada pukul 6 pagi
kulit, yaitu kompres dingin dan kompres dan level tertinggi pada pukul 4 (37,7
o
hangat. Kompres dingin telah dikenal C / 99,9 oF) - 6 (37,2 oC / 98,9 oF) sore.
secara luas penggunaannya di oleh karena itu, suhu pagi hari > 37,2 oC
masyarakat dibandingkan kompres (98,9 oF) atau suhu sore hari > 37,7 oC
o
hangat. Tulisan ini akan mencoba (99,9 F) harus dipertimbangkan
mengulas efektifitas pemakaian sebagai demam. Temperatur rektal
kompres dingin dan hangat. Penjelasan secara umum lebih tinggi dari pada oral
yang mengacu pada proses fisiologis yaitu sekitar 0,6 oC (1,0 oF). Hal ini
yang terjadi pada pemakaian kompres disebabkan karena adanya pernafasan
diharapkan dapat memberikan dari mulut. Temperatur membran
gambaran mengenai efektifitas timpani lebih mendekati temperatur inti
pemakaian kompres dingin dan hangat tubuh, tetapi pemeriksaannya lebih sulit.
pada penatalaksanaan demam. Tubuh senantiasa berupaya untuk
mempertahankan set poin suhu pada
Temperatur Normal Tubuh kisaran 37oC, dengan variasi sirkadian <
1oC (36,3-37,2oC) pada pengukuran
Temperatur tubuh bervariasi
suhu aksila.
setiap saat pada suatu rentang normal
yang dikontrol oleh pusat termoregulasi Termoregulasi
yang berlokasi di hipotalamus. Tubuh
Tubuh memiliki mekanisme
secara normal mampu mempertahankan
untuk mempertahankan suhu pada
temperatur karena pusat termoregulasi
kondisi normal. Temperatur tubuh
hipotalamus menyeimbangkan produksi
dikontrol oleh pusat termoregulasi
panas berlebih yang dihasilkan dari
dalam hipotalamus yang menerima
aktivitas metabolisme di otot dan hepar
input dari 2 set termoreseptor yaitu
dengan kehilangan panas dari kulit dan
reseptor di hipotalamus sendiri yang
paru.
memonitor temperatur darah yang
melewati otak (temperature inti), dan

SAINSTIS. VOLUME 1, NOMOR 1, APRIL – SEPTEMBER 2012 ISSN: 2089-0699


57
Efektifitas Kompres Dingin dan Hangat …

reseptor di kulit (khususnya di tubuh) dipertahankan pada rentang yang sempit


yang memonitor temperatur eksternal. yaitu berfluktuasi 0,5° C dibawah normal
Kedua set informasi ini dibutuhkan agar pada pagi hari dan 0,5 ° C diatas normal
tubuh dapat membuat penyesuaian yang pada malam hari. Produksi panas
tepat. Pusat termoregulasi mengirim dipengaruhi oleh aktivitas metabolik
impuls ke beberapa efektor yang dan aktivitas fisik. Kehilangan panas
berbeda untuk menyesuaikan terjadi melalui radiasi, evaporasi,
temperatur tubuh. Termoregulasi masih konduksi dan konveksi. Dalam keadaan
belum berkembang dengan baik pada normal termostat di hipotalamus selalu
bayi baru lahir dan khususnya pada bayi diatur pada set point ± 37° C, setelah
prematur. informasi tentang suhu diolah di
hipotalamus selanjutnya ditentukan
Pada suhu lingkungan yang selalu
pembentukan dan pengeluaran panas
bervariasi, suhu tubuh secara normal
sesuai dengan perubahan set poin.

Heat balance

Heat Production Heat Loss

Metabolic Heat Production


Exercise Radiation

Shivering Conduction

Thyroxin Convection

Sympathetic Stimulation Evaporation

Q10 Effect

Gb. Pertukaran Panas antara tubuh dan lingkungan

SAINSTIS. VOLUME 1, NOMOR 1, APRIL – SEPTEMBER 2012 ISSN: 2089-0699


58
Efektifitas Kompres Dingin dan Hangat …

Hipotalamus posterior berperan dan eksogen. Pirogen eksogen adalah


meningkatkan produksi panas dan pirogen yang berasal dari luar tubuh
mengurangi pengeluaran panas. Bila terutama mikroba dan produknya seperti
suhu lingkungan lebih rendah dari suhu toksin. Contoh klasik dari pirogen
tubuh maka hipotalamus posterior eksogen adalah endotoksin
merespon dengan meningkatkan lipopolisakarida yang diproduksi oleh
produksi panas melalui peningkatan semua bakteri gram negatif. Endotoksin
metabolisme dan aktivitas otot rangka adalah substansi poten yang tidak hanya
dalam bentuk menggigil (shivering). sebagai pirogen tapi juga sebagai
Pengeluaran panas dikurangi dengan induser dari perubahan patologis yang
vasokontriksi pembuluh darah kulit bervariasi yang diobservasi pada infeksi
dan mengurangi produksi keringat Gram negatif. Grup lain dari substansi
oleh kelenjar keringat. Sedangkan bakteri yang menjadi pirogen yang
hipotalamus anterior berperan poten diproduksi oleh bakteri gram
menurunkan suhu tubuh dengan cara positif. Toksin dari TSS (Toxic Shock
mengeluarkan panas. Bila suhu Syndrome / TSST-1) dihubungkan
lingkungan lebih tinggi dari suhu tubuh dengan strain Stafilokokus aureus yang
maka hipotalamus anterior merespon diisolasi dari pasien dengan Toxic Shock
dengan meningkatkan pengeluaran Syndrome (TSS). TSST-1 dan
panas melalui vasodilatasi kulit dan enterotoksin lain dari S. aureus dan
menambah produksi keringat. eksotoksin dari Streptokokus grup A
bekerja sebagai toksin langsung tetapi
Patofisiologi Demam
juga berperan sebagai superantigen.
Peningkatan suhu tubuh terjadi Superantigen berperan dalam
akibat peningkatan set point. Infeksi pathogenesis infeksi gram positif yang
bakteri menyebabkan demam karena parah akibat interaksi dengan MHC
endotoksin bakteri merangsang sel PMN (Major Histocompatibility Complex) II
untuk menghasilkan pirogen endogen dan sejumlah sel T untuk melepaskan
yaitu interleukin-1, interleukin 6 atau sitokin pirogenik. Seperti endotoksin
TNF (tumor necrosis factor). Pirogen dari bakteri Gram negatif, toksin yang
adalah substansi yang menyebabkan diproduksi oleh Stafilokokus dan
demam. Pirogen terdiri dari endogen Streptokokus menyebabkan demam

SAINSTIS. VOLUME 1, NOMOR 1, APRIL – SEPTEMBER 2012 ISSN: 2089-0699


59
Efektifitas Kompres Dingin dan Hangat …

pada percobaan hewan yang diinjeksi dosis mikrogram/kg lebih dari


secara intravena dalam rentang nanogram/kg dosis IL-6 dibutuhkan
submikrogram/kg. untuk memproduksi demam pada
manusia. Meskipun demikian, sejumlah
Sitokin Pirogenik adalah pirogen
besar dari IL-6 bersirkulasi pada semua
endogen yang spesifik yang dilepaskan
penyakit demam dan IL-6 yang
sebagai respon terhadap pirogen
diinduksi oleh IL-1 atau kombinasi IL-1
eksogen. Sitokin adalah protein kecil
dan TNF dilaporkan secara klinis lebih
(BM 10-20.000 D) yang meregulasi
sering terukur. Tikus tanpa gen yang
proses imun, inflamasi dan
mengkode IL-6 tidak menimbulkan
hematopoietik. Sebagai contoh,
demam selama infeksi bakteri. Jadi,
stimulasi dari proliferasi limfosit selama
pada kebanyakan penyakit infeksi dan
respon imun vaksinasi adalah hasil dari
inflamasi, konsentrasi rendah dari IL-1
sitokin yang bervariasi mencakup IL-2,
dan TNF menginduksi sejumlah besar
IL-4, dan IL-6. sitokin yang disebut
dari IL-6 dan inilah sebagai pencetus
Granulocyte Colony Stimulating Factor
pusat di hipotalamus untuk mengontrol
(G-CSF) menstimulasi
suhu tubuh.
granulositopoiesis di sumsum tulang.
Beberapa sitokin menyebabkan demam Pirogen eksogen menginduksi
dan disebut sitokin pirogenik. sintesis dan pelepasan dari sitokin
pirogenik endogen. Kebanyakan
Ada beberapa sitokin pirogenik,
substansi pirogenik eksogen berasal dari
yaitu IL-1, IL-6 TNF dan CNTF
bakteri dan jamur, sedangkan virus
(neurotrophic factor). Interferon-alpha
menginduksi sitokin pirogenik dengan
dapat juga dipertimbangkan sebagai
menginfeksi sel. Demam juga dapat
sitokin pirogenik sejak memproduksi
diakibatkan oleh berbagai jenis penyakit
panas. pada faktanya, IL-1, IL-6, dan
inflamasi, trauma atau kompleks
TNF masing-masing diinjeksikan ke
antigen antibodi yang dapat
manusia dan menghasilkan demam. IL-
menginduksi produksi IL-1,TNF, dan
1 dan TNF adalah pirogen yang utama,
IL-6 yang merangsang hipotalamus
menghasilkan panas pada dosis rendah
untuk meningkatkan set point ke level
10 ng/kg (IV atau SC). IL-6 juga
demam.
merupakan pirogen tetapi membutuhkan

SAINSTIS. VOLUME 1, NOMOR 1, APRIL – SEPTEMBER 2012 ISSN: 2089-0699


60
Efektifitas Kompres Dingin dan Hangat …

Pirogen endogen bekerja di Demam memiliki tiga fase klinis


hipotalamus dengan bantuan enzim yaitu menggigil (chill), febris (fever)
siklooksigenase 2 (COX-2) membentuk dan kemerahan (flush). Pada fase
prostaglandin E2. Hal ini menyebabkan menggigil, temperatur inti tubuh naik
peningkatan level prostaglandin E2 dari menjangkau set poin suhu baru dengan
jaringan hipotalamus anterior dan vasokonstriksi perifer untuk
ventrikel III dimana konsentrasi mengurangi pengeluaran panas dan
tertinggi berada di sekitar organ peningkatan aktivitas otot (shivering)
vasculosum lamina terminalis yang untuk meningkatkan produksi panas.
jaringan kapilernya meluas ke sekeliling Pada fase febris terjadi keseimbangan
pusat termoregulasi hipotalamus. antara produksi dan kehilangan panas
Interaksi pirogen dengan endothelium pada set poin yang meningkat. Kulit
pembuluh darah circumventricular teraba hangat, kemerahan, dan kering.
hipotalamus adalah langkah awal untuk Ketika set poin kembali normal, tubuh
meningkatkan set point ke level demam. mempersepsikan dirinya menjadi terlalu
Sitokin pirogenik seperti IL-1, IL-6 dan panas, sehingga mekanisme mengurangi
TNF dilepaskan dari sel dan memasuki panas dimulai melalui vasodilatasi
sirkulasi sistemik dan menginduksi perifer dan berkeringat (diaphoresis).
sintesis PGE2 untuk mencetuskan
Penatalaksanaan Demam
demam. Sitokin pirogenik juga
menginduksi pembentukan PGE2 di Demam dihubungkan dengan
jaringan perifer. PGE2 di perifer dapat konsekuensi metabolik potensial
berkomunikasi dengan otak secara tidak meliputi dehidrasi, peningkatan
langsung untuk meningkatkan set poin konsumsi oksigen, dan laju
hipotalamus melalui beberapa cara, metabolisme. Untuk setiap peningkatan
diantaranya dengan menstimulasi satu derajat diatas 37oC terjadi
serabut saraf otonom dan melalui rute peningkatan konsumsi oksigen
vagal yang merupakan cara terbaik. sebanyak 13%. Hal ini dapat
Peningkatan PGE2 di perifer juga memperburuk insufisiensi paru dan
menyebabkan myalgia non spesifik dan jantung yang telah ada sebelumnya.
artralgia yang sering menyebabkan Demam yang berkepanjangan
demam. dihubungkan dengan peningkatan

SAINSTIS. VOLUME 1, NOMOR 1, APRIL – SEPTEMBER 2012 ISSN: 2089-0699


61
Efektifitas Kompres Dingin dan Hangat …

kebutuhan nutrisi yang mungkin tidak diimbangi oleh pengeluaran panas


bermasalah jika pasien mengalami tubuh. Oleh karena itu penatalaksanaan
penurunan nutrisi. Demam demam ditujukan untuk mengurangi
berkepanjangan juga menyebabkan produksi panas dan meningkatkan
kelemahan. pengeluaran panas tubuh. Peningkatan
pengeluaran panas tubuh dapat
Demam pada umumnya
dilakukan dengan meningkatkan radiasi,
dihubungkan dengan infeksi virus yang
konduksi, konveksi, dan evaporasi,
bersifat self limited. Penggunaan obat
diantaranya membuka pakaian atau
penurun demam (antipiretik) dalam hal
selimut yang tebal dan ganti dengan
ini dapat mengurangi gejala sakit
pakaian tipis agar terjadi radiasi dan
kepala, mialgia, dan arthralgia.
evaporasi. Meningkatkan aliran udara
Meskipun demam kemungkinan
dengan meningkatkan ventilasi ke
bermanfaat dalam meningkatkan
dalam rumah akan menyebabkan
pertahanan tubuh, tetapi perlu
terjadinya mekanisme konveksi. Selain
dipertimbangkan aspek kenyamanan
itu, dapat dilakukan upaya melebarkan
pasien. Penurunan demam membantu
pembuluh darah perifer dengan cara
mengurangi rasa tidak nyaman dan
menyeka kulit dengan air hangat (tepid-
gejala penyerta seperti kelemahan,
sponging) atau kompres hangat.
myalgia, diaphoresis dan menggigil.
Mendinginkan dengan air es atau
Terapi simptomatis demam tidak
alkohol kurang bermanfaat karena
berbahaya dan tidak memperlambat
mengakibatkan vasokonstriksi
penyembuhan infeksi bakteri maupun
pembuluh darah sehingga panas sulit
virus. Akan tetapi, ada situasi klinis
disalurkan baik lewat mekanisme
dimana observasi terhadap demam
evaporasi maupun radiasi. Selain itu,
memberi keuntungan diagnostik. Lama
pengompresan dengan alkohol dapat
demam dan karakteristik naik turunnya
terserap oleh kulit dan terhirup
dapat mengarahkan kecurigaan infeksi
pernafasan yang dapat menyebabkan
beberapa penyakit, seperti demam
keracunan alkohol dengan gejala
berdarah, demam thipoid, dll.
hipoglikemia, koma sampai kematian.
Secara umum demam terjadi Agar kadar elektrolit tidak meningkat
akibat peningkatan produksi panas yang saat terjadi evaporasi, maka seseorang

SAINSTIS. VOLUME 1, NOMOR 1, APRIL – SEPTEMBER 2012 ISSN: 2089-0699


62
Efektifitas Kompres Dingin dan Hangat …

yang mengalami demam harus Kortikosteroid juga bekerja dengan


mengkonsumsi cairan yang cukup. menghambat transkripsi mRNA untuk
sitokin pirogenik.
Penurunan produksi panas
diantaranya dapat dilakukan dengan Intervensi spesifik dalam
istirahat yang cukup agar laju penanganan demam adalah
metabolisme tubuh menurun. Pemberian mengidentifikasi etilogi yang mendasari
terapi simptomatik demam dengan terjadinya demam pada seorang pasien.
antipiretik seperti asetaminofen, aspirin Misalnya demam akibat infeksi bakteri,
atau abat anti inflamasi non steroid maka terapi kausatif adalah dengan
(NSAID) bekerja dengan menurunkan memberikan antibiotik. Sebelum
peningkatan set poin suhu di otak didapatkan hasil kultur, pemberian
dengan menghambat enzim terapi awal dengan antibiotik spektrum
siklooksigenase (COX). Sintesis PGE2 luas dianjurkan. Karena sekitar 70%
bergantung pada enzim siklooksigenase. penyebab demam tidak dapat
Penghambat COX, seperti NSAID, diidentifikasi, maka pemakaian
adalah antipiretik yang poten karena antibiotik awal berdasarkan
mengganggu perubahan asam pengetahuan mengenai spektrum anti
arakhidonat menjadi prostaglandin. mikroba dan resistensi antibiotik yang
Asetaminofen, penghambat COX yang dimiliki instansi pelayanan kesehatan.
lemah di jaringan perifer, dioksidasi di
Efektifitas Kompres Dingin dan
otak oleh sitokrom P-450 dan
Hangat Pada Penatalaksanaan
menghambat aktivitas COX. PGE2
Demam
tidak berperan pada termoregulasi
normal, berdasarkan pengamatan bahwa Telah lama dikenal pemakaian
penggunaan aspirin atau NSAID secara metode fisik dalam menurunkan
kronis tidak menurunkan temperatur inti demam. Metode fisik ini ditujukan
tubuh normal. Kortikosteroid juga untuk meningkatkan pengeluaran panas
merupakan antipiretik yang efektif yang baik secara konduksi, konveksi, maupun
menurunkan sintesis PGE2 dengan evaporasi. Metode yang umum dipakai
menghambat aktivitas fosfolipase A2, adalah kompres dingin. Akan tetapi,
yang dibutuhkan untuk melepaskan keuntungannya dalam terapi demam
asam arakhidonat dari membran. belum sepenuhnya dipahami. Kompres

SAINSTIS. VOLUME 1, NOMOR 1, APRIL – SEPTEMBER 2012 ISSN: 2089-0699


63
Efektifitas Kompres Dingin dan Hangat …

dingin adalah terapi pilihan untuk panas dan menghalangi pengeluaran


hipertermia yang ditandai oleh panas tubuh.
temperatur inti tubuh melampaui set
Selain kompres dingin, dikenal
poin termoregulasi. Berbeda dengan
pemakaian kompres hangat dalam
demam, shivering, vasokonstriksi kulit
tatalaksana demam. Kompres hangat
dan respon yang berhubungan dengan
adalah melapisi permukaan kulit dengan
perilaku meningkatkan temperatur inti
handuk yang telah dibasahi air hangat
untuk menjangkau peningkatan set poin
dengan temperatur maksimal 43oC.
suhu yang diakibatkan oleh kerja
Lokasi kulit tempat mengompres
pirogen di pusat termoregulasi. Selama
biasanya di wajah, leher, dan tangan.
hipertermia, penurunan produksi panas,
Kompres hangat pada kulit dapat
vasodilatasi, berkeringat dan respon
menghambat shivering dan dampak
perilaku bekerja untuk menurunkan
metabolik yang ditimbulkannya. Selain
temperatur tubuh. Jadi, pemakaian
itu, kompres hangat juga menginduksi
kompres dingin pada terapi hipertermia
vasodilatasi perifer, sehingga
tidak bertentangan dengan proses yang
meningkatkan pengeluaran panas tubuh.
ditimbulkan oleh pemakaian terapi yang
Penelitian menunjukkan bahwa
lain.
pemberian terapi demam kombinasi
Kompres dingin menurunkan antara antipiretik dan kompres hangat
temperatur kulit lebih cepat dari pada lebih efektif dibandingkan antipiretik
temperatur inti tubuh, sehingga saja, selain itu juga mengurangi rasa
merangsang vasokonstriksi dan tidak nyaman akibat gejala demam yang
shivering. Shivering mengakibatkan dirasakan. Pemakaian antipiretik dan
gangguan metabolisme karena kompres hangat memiliki proses yang
meningkatkan konsumsi oksigen dan tidak berlawanan dalam menurunkan
volume respirasi, meningkatkan temperatur tubuh. Oleh karena itu,
persentase karbon dioksida dalam udara pemakaian kombinasi keduanya
ekspirasi dan meningkatkan aktifitas dianjurkan pada tatalaksana demam.
sistem saraf simpatis. Oleh karena itu,
KESIMPULAN
kompres dingin kurang efektif dalam
tatalaksana demam karena selain kurang Dari penjelasan diatas, dapat
nyaman juga merangsang produksi ditarik kesimpulan bahwa pemakaian

SAINSTIS. VOLUME 1, NOMOR 1, APRIL – SEPTEMBER 2012 ISSN: 2089-0699


64
Efektifitas Kompres Dingin dan Hangat …

kompres dingin efektif untuk mengatasi Dalal, Shalini & Zhukovsky, Donna S.
2006. Pathophysiology and
hipertermia, karena dapat menurunkan
Management of Fever. The
temperature kulit dengan cepat. Akan Journal of Supportive Oncology.
Volume 4, Number 1: 9-16.
tetapi tidak efektif untuk mengatasi
demam karena memicu terjadinya Edwards, Helen E, et all. 2005. Fever
Management Practice : What
vasokonstriksi dan shivering. Paediatric Nurses Say. Nursing
Sedangkan pemakaian kompres hangat and Health Sciences. volume 3,
Number 3 : 119-130.
efektif untuk mengatasi demam memicu
Kayman H. 2003. Management of
vasodilatasi yang dapat meningkatkan
Fever: Making Evidence-based
pengeluaran panas tubuh. Pemakaian Decisions. Clinical Pediatrics.
Volume 42, Number 383.
kompres hangat dianjurkan sebagai
terapi kombinasi dengan antipiretik Kelly, Greg. 2006. Body Temperature
Variability (Part 1): A Review
untuk membantu menurunkan of the History of Body
temperature tubuh. Temperature and its Variability
Due to Site Selection, Biological
Rhythms, Fitness, and Aging.
DAFTAR PUSTAKA Alternative Medicine Review.
Volume 11, Number 4. Page
Axelrod, Peter. 2000. External Cooling 278-293.
in the Management of Fever.
Clinical Infectious Disease. Porat, Reuven & Dinarello, Charles A.
Volume 31 (Suppl 5) 2004. Pathophysiology and
Treatment of Fever in Adults,
Bajhatia, Neeraj, et all. 2009. Metabolic (Online),
Benefits of Surface Counter http://www.utdol.com/applicatio
Warming during Therapeutic n/topic/print.asp?
Temperature Modulation. file=othr_inf/16086. Diakses
Critical Care Medicine. Volume tanggal 1 September 2011.
37, Number 6 : 1893-1897.
Barone, James E. 2009. Fever : Fact and
Fiction. The Journal of Trauma.
Volume 67, Number 2 : 406-
409.
Boulant, Jack A. 2000. Role of the
Preoptic-Anterior Hypothalamus
in Thermoregulation and Fever.
Clinical Infectious Disease.
volume 31(suppl 5), page 157-
161.

SAINSTIS. VOLUME 1, NOMOR 1, APRIL – SEPTEMBER 2012 ISSN: 2089-0699


PENATALAKSANAAN DEMAM PADA ANAK

Oleh:
dr. Nia Kania, SpA., MKes 1

PENDAHULUAN
Demam pada anak merupakan hal yang paling sering dikeluhkan oleh orang tua mulai di
ruang praktek dokter sampai ke unit gawat darurat (UGD) anak, meliputi 10-30% dari jumlah
kunjungan. Demam membuat orang tua atau pengasuh menjadi risau.1,2 Sebagian besar anak-
anak mengalami demam sebagai respon terhadap infeksi virus yang bersifat self limited dan
berlangsung tidak lebih dari 3 hari atau infeksi bakteri yang tidak memerlukan perawatan di
rumah sakit. Akan tetapi sebagian kecil demam tersebut merupakan tanda infeksi yang serius
dan mengancam jiwa seperti pneumonia, meningitis, artritis septik dan sepsis. Hal ini
merupakan tantangan bagi dokter untuk mengidentifikasi penyebab demam tersebut.2,3
Pendekatan penatalaksanaan demam pada anak bersifat age dependent karena infeksi
yang terjadi tergantung dengan maturitas sistem imun di kelompok usia tertentu.3 Penilaian
awal pada saat anak dibawa ke rumah sakit akan membantu menentukan beratnya penyakit
anak dan urgensi pengobatannya.4
Berkaitan dengan hal tersebut diatas dalam sari kepustakaan ini akan di bahas
penatalaksanaan demam yang meliputi definisi dan patofisiologi demam, cara pengukuran,
penilaian awal, penatalaksaan demam dan kondisi khusus akibat demam.

DEFINISI
Menurut kamus kedokteran Stedman’s edisi ke-25, demam adalah peningkatan suhu tubuh
diatas normal (98,6o F/ 370 C). Sedangkan menurut edisi ke-26 dalam kamus yang sama,
demam merupakan respon fisiologis tubuh terhadap penyakit yang di perantarai oleh sitokin
dan ditandai dengan peningkatan suhu pusat tubuh dan aktivitas kompleks imun. Dalam
protokol Kaiser Permanente Appointment and Advice Call Center definisi demam untuk
semua umur, demam didefinisikan temperatur rektal diatas 380 C, aksilar diatas 37,50 C dan
diatas 38,2o C dengan pengukuran membran timpani 5 , sedangkan demam tinggi bila suhu
tubuh diatas 39,50 C dan hiperpireksia bila suhu > 41,10 C.3,6

PATOFISIOLOGI DEMAM
Suhu tubuh secara normal dipertahankan pada rentang yang sempit, walaupun terpapar suhu
lingkungan yang bervariasi. Suhu tubuh secara normal berfluktuasi sepanjang hari, 0,50 C
dibawah normal pada pagi hari dan 0,5 0 C diatas normal pada malam hari.3 Suhu tubuh diatur
oleh hipotalamus yang mengatur keseimbangan antara produksi panas dan kehilangan panas.
Produksi panas tergantung pada aktivitas metabolik dan aktivitas fisik. Kehilangan panas
terjadi melalui radiasi, evaporasi, konduksi dan konveksi. Dalam keadaan normal termostat di
hipotalamus selalu diatur pada set point sekitar 37 0 C, setelah informasi tentang suhu diolah di
hipotalamus selanjutnya ditentukan pembentukan dan pengeluaran panas sesuai dengan
perubahan set point. 5,7
Hipotalamus posterior bertugas meningkatkan produksi panas dan mengurangi
pengeluaran panas. Bila hipotalamus posterior menerima informasi suhu luar lebih rendah dari

1
Disampaikan pada acara Siang Klinik Penanganan Kejang Pada Anak, Bandung, 12 Februari 2007

1
suhu tubuh maka pembentukan panas ditambah dengan meningkatkan metabolisme dan
aktivitas otot rangka dalam bentuk menggigil dan pengeluaran panas dikurangi dengan
vasokontriksi kulit dan pengurangan produksi keringat sehingga suhu tubuh tetap
dipertahankan tetap. Hipotalamus anterior mengatur suhu tubuh dengan cara mengeluarkan
panas. Bila hipotalamus anterior menerima informasi suhu luar lebih tinggi dari suhu tubuh
maka pengeluaran panas ditingkatkan dengan vasodilatasi kulit dan menambah produksi
keringat.5,7
Umumnya peninggian suhu tubuh terjadi akibat peningkatan set point. Infeksi bakteri
menimbulkan demam karena endotoksin bakteri merangsang sel PMN untuk membuat pirogen
endogen yaitu interleukin-1, interleukin 6 atau tumor nekrosis faktor. Pirogen endogen bekerja
di hipotalamus dengan bantuan enzim siklooksigenase membentuk protaglandin selanjutnya
prostaglandin meningkatkan set point hipotalamus. Selain itu pelepasan pirogen endogen
diikuti oleh pelepasan cryogens (antipiretik endogen) yang ikut memodulasi peningkatan suhu
tubuh dan mencegah peningkatan suhu tubuh pada tingkat yang mengancam jiwa.5,7

PEMERIKSAAN FISIK DAN PENUNJANG


Pemeriksaan fisik pada anak demam secara kasar dibagi atas status generalis dan evaluasi
secara detil yang memfokuskan pada sumber infeksi.3 Pemeriksaan status generalis tidak dapat
diabaikan karena menentukan apakah pasien tergolong toksis atau tidak toksis. Penampakan
yang toksis mengindikasikan infeksi serius.8,9,10 McCarthy membuat Yale Observation Scale
untuk penilaian anak toksis. Skala penilaian ini terdiri dari enam kriteria berupa: evaluasi cara
menangis, reaksi terhadap orang tua, variasi keadaan, respon sosial, warna kulit dan status
hidrasi. Masing-masing item diberi nilai 1 (normal), 3 (moderat), 5 (berat).8,9

Tabel 1. The Yale Observation Scale

Pengamatan Normal (1) Gangguan ringan (3) Gangguan berat (5)

Kualitas tangisan Kuat atau senang Merengek atau terisak Lemah atau melengking

Stimulasi orang tua Tangisan segera Tangisan hilang timbul Terus menangis atau
berhenti/tidak menangis tangisan bertambah
keras

Variasi keadaan Bila bangun tetap Mata segera menutup Terus tertidur atau
terbangun atau bila tidur lalu terbangun atau Tidak terstimulasi
dan distimulasi anak terbangun dengan
segera bangun stimulasi yang lama

Warna kulit Merah muda Ekstremitas pucat Pucat

Hidrasi Kulit, mata normal, Membran mukusa Turgor kulit buruk


membran mukosa basah kering

Respons terhadap Senyum atau alert Segera tersenyum Tidak tersenyum,


kontak sosial (< 2 bln) atau segera alert tampak cemas, bodoh,
(< 2 bln) kurang berekspresi
Sumber: Lau AS dkk. 2002 9

2
Hasil studi prospektif penggunaan skala tersebut diatas, pada anak usia < 2 tahun
sebanyak 312 anak yang mengalami demam, anak yang mempunyai nilai lebih dari 16
ternyata menderita penyakit yang serius.9

Pemeriksaan penunjang dilakukan pada anak yang mengalami demam bila secara
klinis faktor risiko tampak serta penyebab demam tidak diketahui secara spesifik. Pemeriksaan
penunjang yang dapat dilakukan yaitu:
1. Pemeriksaan awal
Darah rutin, urin dan feses rutin, morfologi darah tepi, hitung jenis lekosit
2. Pemeriksaan atas indikasi
Kultur darah, urin atau feses, pengambilan cairan serebro spinal, toraks foto.6

PENATALAKSANAAN
Pada prinsipnya demam dapat menguntungkan dan dapat pula merugikan. Pada tingkat
tertentu demam merupakan bagian dari pertahanan tubuh antara lain daya fagositosis
meningkat dan viabilitas kuman menurun, tetapi dapat juga merugikan karena anak menjadi
gelisah, nafsu makan dan minum berkurang, tidak dapat tidur dan menimbulkan kejang
demam.3
Hasil penelitian ternyata 80% orangtua mempunyai fobia demam. Orang tua mengira
bahwa bila tidak diobati, demam anaknya akan semakin tinggi. Kepercayaan tersebut tidak
terbukti berdasarkan fakta. Karena konsep yang salah ini banyak orang tua mengobati demam
ringan yang sebetulnya tidak perlu diobati.1 Demam < 390 C pada anak yang sebelumnya sehat
pada umumnya tidak memerlukan pengobatan. Bila suhu naik > 39 0 C, anak cenderung tidak
nyaman dan pemberian obat-obatan penurun panas sering membuat anak merasa lebih baik.3
Pada dasarnya menurunkan demam pada anak dapat dilakukan secara fis ik, obat-
obatan maupun kombinasi keduanya.3,5

1. Secara Fisik
a) Anak demam ditempatkan dalam ruangan bersuhu normal
b) Pakaian anak diusahakan tidak tebal
c) Memberikan minuman yang banyak karena kebutuhan air meningkat
d) Memberikan kompres.

2. Obat-obatan
Pemberian obat antipiretik merupakan pilihan pertama dalam menurunkan demam dan sangat
berguna khususnya pada pasien berisiko, yaitu anak dengan kelainan kardiopulmonal kronis,
kelainan metabolik, penyakit neurologis dan pada anak yang berisiko kejang demam.3
Obat-obat anti inflamasi, analgetik dan antipiretik terdiri dari golongan yang
bermacam-macam dan sering berbeda dalam susunan kimianya tetapi mempunyai kesamaan
dalam efek pengobatannya. Tujuannya menurunkan set point hipotalamus melalui pencegahan
pembentukan prostaglandin dengan jalan menghambat enzim cyclooxygenase.7,11,12
Asetaminofen merupakan derivat para-aminofenol yang bekerja menek an
pembentukan prostaglandin yang disintesis dalam susunan saraf pusat. Dosis terapeutik antara
10-15 mgr/kgBB/kali tiap 4 jam maksimal 5 kali sehari. Dosis maksimal 90 mgr/kbBB/hari.
Pada umumnya dosis ini dapat ditoleransi dengan baik. Dosis besar jangka lama dapat

3
menyebabkan intoksikasi dan kerusakkan hepar. Pemberiannya dapat secara per oral maupun
rektal.11-13
Turunan asam propionat seperti ibuprofen juga bekerja menekan pembentukan
prostaglandin. Obat ini bersifat antipiretik, analgetik dan antiinflamasi. Efek samping yang
timbul berupa mual, perut kembung dan perdarahan, tetapi lebih jarang dibandingkan aspirin.
Efek samping hematologis yang berat meliputi agranulositosis dan anemia aplastik. Efek
terhadap ginjal berupa gagal ginjal akut (terutama bila dikombinasikan dengan asetaminopen).
Dosis terapeutik yaitu 5-10 mgr/kgBB/kali tiap 6 sampai 8 jam.11
Metamizole (antalgin) bekerja menekan pembentukkan prostaglandin. Mempunyai
efek antipiretik, analgetik dan antiinflamasi. Efek samping pemberiannya berupa
agranulositosis, anemia aplastik dan perdarahan saluran cerna. Dosis terapeutik 10
mgr/kgBB/kali tiap 6-8 jam dan tidak dianjurkan untuk anak kurang dari 6 bulan.
Pemberiannya secara per oral, intramuskular atau intravena.11
Asam mefenamat suatu obat golo ngan fenamat. Khasiat analgetiknya lebih kuat
dibandingkan sebagai antipiretik. Efek sampingnya berupa dispepsia dan anemia hemolitik.
Dosis pemberiannya 20 mgr/kgBB/hari dibagi 3 dosis. Pemberiannya secara per oral dan tidak
boleh diberikan anak usia kurang dari 6 bulan.11

KEADAAN KHUSUS AKIBAT DEMAM


 HIPERPIREKSIA
Hiperpireksia adalah keadaan suhu tubuh di atas 41,10 C. Hiperpereksia sangat berbahaya pada
tubuh karena dapat menyebabkan berbagai perubahan metabolisme, fisiologi dan akhirnya
kerusakan susunan saraf pusat.3 Pada awalnya anak tampak menjadi gelisah disertai nyeri
kepala, pusing, kejang serta akhirnya tidak sadar. Keadaan koma terjadi bila suhu >430 C dan
kematian terjadi dalam beberapa jam bila suhu 430 C sampai 450 C.14
Penatalaksanaan pasien hiperpireksia berupa:14
1. Monitoring tanda vital, asupan dan pengeluaran.
2. Pakaian anak di lepas
3. Berikan oksigen
4. Berikan anti konvulsan bila ada kejang
5. Berikan antipiretik. Asetaminofen dapat diberikan per oral atau rektal. Tidak boleh
memberikan derivat fenilbutazon seperti antalgin.
6. Berikan kompres es pada punggung anak
7. Bila timbul keadaan menggigil dapat diberikan chlorpromazine 0,5-1 mgr/kgBB
(I.V).
8. Untuk menurunkan suhu organ dalam: berikan cairan NaCl 0,9% dingin melalui
nasogastric tube ke lambung. Dapat juga per enema.
9. Bila timbul hiperpireksia maligna dapat diberikan dantrolen (1 mgr/kgBB I.V.),
maksimal 10 mgr/kgBB.

 KEJANG DEMAM
Kejang demam merupakan keadaan yang umum ditemukan pada anak khususnya usia 6 bulan
sampai 5 tahun. Insidensinya di Amerika sekitar 2-4% dari seluruh kelainan neurologis pada
anak.15 Walaupun 30% dari seluruh kasus kejang pada anak adalah kejang demam tetapi
masih banyak penyebab lain dari kejang sehingga kejang demam tidak dapat didiagnosis

4
sembarangan, karena penyebab lain demam dan kejang yang serius seperti meningitis harus
disingkirkan.4
Banyak klinisi yang mengobati demam dengan pemberian parasetamol untuk
mencegah kejang demam. Dari penelitian pada 104 anak, dimana satu kelompok diberikan
profilaksis parasetamol dan kelompok lain diberikan parasetamol secara sporadis didapatkan
hasil pemberian parasetamol profilaksis tidak efektif bila dibandingkan kelompok lainnya
dalam mencegah kejang demam yang rekuren.15 Sedangkan penelitian Uhari dkk.
menunjukkan pemberian asetaminofen dan diazepam per oral menunjukkan hasil yang baik
dalam mencegah rekurensi kejang demam.16

KESIMPULAN
Demam pada umumnya merupakan respon tubuh terhadap suatu infeksi. Umur anak dan tanda
serta gejala yang muncul sangat penting dalam menentukan kemungkinan adanya penyakit
yang serius. Penilaian awal akan membantu menentukan beratnya penyakit anak dan urgensi
pengobatannya. Pemberian antipiretik merupakan terapi alternatif dalam penatalaksanaan
demam pada anak.

5
DAFTAR PUSTAKA

1. Crocetti M, Moghbelli N, Serwint J. Fever phobia revisited: Have parental misconceptions


about fever changed in 20 years. Pediatric 2001(107); 1241-6.
2. Finkelstein JA, Christiansen CL, Platt R. Fever in Pediatric primary care:Occurrence,
management and outcome. Pediatrics 2000(105);260-6
3. Plipat N. Hakim S, Ahrens WR. The febrile child. Dalam: Strange GR, Ahrens WR,
Lelyveld S, Schafermeger RW, penyunting. Pediatric emergency medicine. Edisi ke-2.
New York:McGraw-Hill.2002; 315-24.
4. Dieckmann RA, Brownstein D, Gausche-Hill M. Dalam: Pediatric education for
prehospital professionals. American Acedemy of pediatric. Sudbury Massachusetts. Jones
and Bartlett Publihers. 2000;98-113
5. Kayman H. Management of Fever: making evidence-based decisions. Clin Pediatr. Jun
2003 (42); 383
6. Peters MJ, Dobson S, Novelli V, Balfour J, Macnab A. Sepsis and fever. Dalam: Macnab
AJ, Macrae DJ, Henning R, peny unting. Care of the critically ill child.
Philadelphia:Churchill livingstone. 1999; 112-7.
7. Victor Nizet, Vinci RJ, Lovejoy FH. Fever in children. Pediatr Rev. 1994 (15); 127-34.
8. McCarthy PL. Fever in infants and children. Dalam: Mackowiak, penyunting. Fever: basic
mechanism and management. Edisi ke-2. Philadelphia: Lippincott-Raven Publihers. 1997;
351-61.
9. Lau AS, Uba A, Lehman D. Infectious Diseases. Dalam: Rudolph AM, Kamei RK,
Overby KJ, penyunting. Rudolph’s fundamental of pediatrics. Edisi ke-2. New
York:McGraw-Hill. 2002;312-7.
10. Luszczak M. Evaluation and management of infants and young children with fever. Am
Fam Phys. 2001 (64); 1219-26
11. Paul A, Lusel. Analgesic, antipyretic and antiinflammatory agents and drugs employed in
the treatment of gout. Goodman and gilman’s the pharmacological basis of theurepeutics.
Edisi ke-9. Philadelphia:McGraw-Hill. 1996;617-32.
12. Shearn MA. Obat antiinflamasi non steroid; analgesik nonopiat;obat yang digunakan
dalam gout. Dalam: Katzung BG. Farmakologi dasar dan klinik. Jakarta:EGC. 1992; 474-
83.
13. Mortensen ME. Acetaminophen recommendation. Pediatric 2002;110:646.
14. Morriss FC. Abnormalities in temperature regulation. Dalam: Levin DL, Morris FC,
Moore GC, penyunting. A practical guide to Pediatric intensive care. St.Louis: Mosby
company. 1984; 120-3.
15. Offringa M, Moyer VA. Evidence based management of seizures associated with fever.
Br Med J 2001;323:1111-3.
16. Uhari M, Rantala H, Vainionpaa L, et al. Effect of acetaminophen and of low intermittent
doses of diazepam on prevention of recurrences of febrile seizures. J Pediatr
1995;126:991-5.

6
Lampiran 1. Algoritma Tatalaksana demam pada Anak < 3 tahun

Demam tanpa diketahui sumber infeksi

TidakToksis Toksis

Kondisi sosial untuk di follow-up


Rawat
Baik buruk pertimbangkan pemeriksaan
kultur darah,urin dan LCS
Antibiotika parenteral
Usia

3-36 bulan 1-3 bulan <1 bulan

Suhu > 39 Faktor risiko

Tidak Ya risiko rendah risiko tinggi

Rawat Jalan kultur urin* kultur urin


Kembali dievaluasi kultur feses**
Bila klinis memburuk toraks Foto***
Atau panas menetap kultur darah****
>48 jam Observasi ketat
Pertimbangkan pemberian
Antibiotika empirik
(kultur darah dan LCS
terlebih dahulu)
pertimbangkan
pemberian antibiotika empirik
(diambil darah untuk dikultur)

Rawat
Periksa kultur: Darah, urin dan LCS
Pertimbangkan antibiotika parenteral

* Jika anak laki-laki < 6 bulan, Perempuan < 2 tahun


** Jika diare berdarah atau lekosit > 5/lapang pandang besar
*** Jika ada takipne,batuk,ronki
**** Jika lekosit > 15.000/mm3

Sumber: Luszczak, 200110

7
Vol: 4, No. 2, September 2015 ISSN: 2302 - 2949

PERANCANGAN MODIFIKASI ANTENA KUPU – KUPU PANJANG


DUAL FREKUENSI UNTUK APLIKASI HYPHERTHERMIA

Hanalde Andre, Kiki Kananda, Agus Rahmad Timor , Khairullah,


Erliwati, Zulka Hendri
Program Studi Teknik Elektromedik
Politeknik Kesehatan Siteba Padang
Jl. Jhony Anwar No. 17A Lapai Padang
Hanalde.andre@gmail.com

Abstrak—Radiasi gelombang elektromagnetik pada alat terapi hypherthermia digunakan secara klinis
untuk memanaskan jaringan dalam tubuh manusia. Peningkatan temperatur tidak diikuti oleh jaringan luar
tubuh. Penggunaan gelombang elektromagnetik pada frekuensi 915 dan 2450 MHz telah terbukti dan
banyak digunakan dalam hypherthermia. Perancangan modifikasi antenna kupu – kupu panjang dilakukan
dengan simulasi menggunakan metoda elemen hingga. Hasil simulasi menunjukan modifikasi antenna
dapat bekerja pada kedua frekuensi hypherthermia. Bentuk optimal antena menghasilkan nilai return loss
(RL) -16.6295dB pada frekuensi 915 MHz dan -18.2697dB pada frekuensi 2450 MHz.

Kata Kunci : Hyperthermia, frekuensi ganda, Aplikasi Antena,

Abstract— Therapy device of Electromagnetic Wave radiation hypherthermia used clinically to heat
tissue in the human body. Increased temperatures are not followed by tissue outside the body. The use of
electromagnetic waves at frequencies 915 and 2450 MHz has been proven and widely used in
hypherthermia. The design modifications butterfly antenna done by simulation using finite element method.
The simulation results show the modification of antenna can work in both frequency hypherthermia.
Optimal shape of the antenna produce 'return loss' (RL) -16.6295 dB at a frequency of 915 MHz and -
18.2697 dB at frequency 2450 MHz.

Keywords : Hyperthermia, Dual Frequency, Antenna Application

1. PENDAHULUAN radiasi gelombang pendek yang dihasilkan


hyperthermia ke dalam jaringan dapat
Penggunaan gelombang elektromagnetik menstimulasi proses perbaikan, meningkatkan
telah teruji secara klinis dan terbukti dapat aktivitas obat, meningkatkan efisiensi pemulihan
digunakan dalam alat terapi kesehatan. Radiasi dari rasa sakit, membantu pengeluaran racun
gelombang elektromagnetik yang diradiasikan dalam tubuh, meningkatkan pergerakan tendon
terhadap tubuh dapat meingkatkan temperature dan mengurangi kekakuan dan sendi. Lebih
jaringan dalam tanpa mempengaruhi lanjut, hyphertherma dapamembantu
temperature kulit pasien. Salah satu aplikasi pengeringan jaringan local, meningkatkan
radiasi gelombang elektrmagnetik digunakan metabolisme dan perkembangan membran sel.
pada alat hypherthermia. Frekuensi yang umum telah digunakan dalam
Alat Hypherthermia dapat meningkatkan terapi kesehatan adalah 2450, 915, 434 (dengan
temperature jaringan hingga 40 – 45 oC dan pendingin permukaan) dan 27.12 MHz.[4]
umumnya digunakan sebagai alat terapi penyakit Perbedaan frekuensi ini disesuaikan dengan
kanker. Penggunaannya dikombinasikan dengan dalam jaringan yang ingin diterapi. Efisiensi
metode terapi lain, seperti kemoterapi. Butuh gelombang elektromagnetik berhubungan
waktu yang lama sebelum potensi hypherthermia dengan kemampuan alat untuk meningkatkan
dapat didemonstrasikan dalam penelitian. temperature pada kedalaman jaringan. [5-7]
Tujuan umum yang ingin didapatkan adalah Perangkat yang dapat digunakan untuk
untuk meningkatkan distribusi temperature yang meradiasikan gelombang elektromagnetik
homogen dalam tubuh tanpa meningkatkan adalah antenna. Berbagai jenis antenna telah
temperaur jaringan tubuh bagian luar.[1-3] diteliti dan digunakan pada aplikasi

Jurnal Nasional Teknik Elektro 207


Vol: 4, No. 2, September 2015 ISSN: 2302 - 2949

hypherthermia. Efisiensi dari gelombang  Hipertermia neonatal,


elektromagnetik yang diradiasikan sangat  Dehidrasi,
bergantung dari karakteristik antenna tersebut.  Heat stroke,
Pada penelitian in akan dirancang penggunaan  Renjatan hemorargik dan
antenna kupu – kupu panjang dengan dua ensefalopati,
frekuensi 2450 dan 915 MHz untuk aplikasi  Sudden infant death syndrome
hyperthermia [4]. (SIDS),
Perancangan antenna kupu – kupu panjang  Drug-induced hyperthermia.
menggunakan metode elemen hingga (finite
element method – FEM). Hasil simulasi 3. Penyebab tidak terklasifikasikan:
perbandingan karakteristik antenna kupu – kupu  Factitious fever,
panjang akan dibahas hingga didapatkan bentuk
 Induced illness dan Induced illness
antenna kupu – kupu panjang yang dapat
by proxy.
beroperasi pada frekuensi 2450 dn 915 MHz.

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Hipertermia


Hipertermia adalah kondisi kegagalan
pengaturan suhu tubuh (termoregulasi) akibat
ketidakmampuan tubuh melepaskan /
mengeluarkan panas (misal pada heat stroke)
atau produksi panas yang berlebihan oleh tubuh
dengan pelepasan panas dalam laju yang normal.
Hipertermia adalah peningkatan suhu tubuh
di atas titik pengaturan hipotalamusbila
mekanisme pengeluaran panas terganggu (oleh
obat dan penyakit) atau dipengarhuioleh panas
eksternal (lingkungan) atau internal (metabolik) Gambar 1. Terapi Hipertermi pada pasien.
Sengatan panas (heat stroke) per definisi adalah Sumber: [10]
penyakit berat dengan ciri temperatur inti > 40
derajat celcius disertai kulit panas dan kering 2.3 Penanganan Hipertermia
serta abnormalitas sistem saraf pusat seperti Hipertermia adalah peningkatan suhu
delirium, kejang, atau koma yang disebabkan sehingga inti dalam mengatasinya adalah
oleh pajanan panas lingkungan (sengatan panas pendinginan. Salah satu tindakan medis adalah
klasik) atau kegiatan fisik yang berat[7]. dengan memanfaatkanterapi hipertermia yang
disebut thermotherapy.
2.2 Penyebab Hipertermia Biasanya hipertermia digunakan bersamaan
Penyebab hipertermia dapat dibagi menjadi dengan terapi lain, misalnya radioterapi,
3 [1-3] : kemoterapi, atau imunoterapi, karena
hipertermia dapat membuat sel kanker lebih
1. Hipertermia karena peningkatan sensitif, bahkan dapat langsung menghancurkan
produksi panas antaranya: sel-sel kanker yang tidak dapatdihancurkan oleh
 Hipertermia maligna, radiasi. Ada banyak metode yang digunakan
 Neuroleptic malignant syndrome, untuk hipertermia. Berdasar luas area yang
 Serotonin syndrome, diterapi, terbagi atas hipertermia lokal,
 Drug-induced hyperthermia, hipertermia regional, dan hipertermia total
 Exercise-induced hyperthermia, (seluruh tubuh).
 Endocrine hyperthermia,
 Miscellaneous clinical disorders

2. Hipertermia karena penurunan


pelepasan panas antaranya:

208 Jurnal Nasional Teknik Elektro


Vol: 4, No. 2, September 2015 ISSN: 2302 - 2949

2.4 Antena Kupu-kupu tegangan input direfleksikan (dipantulkan),


Antena mikrostrip merupakan antena yang maka besar nilai koefisien refleksi adalah 1.
terbuat dari lapisan logam yang dipisahkan oleh Jika return loss diketahui impedansi input
bahan dielektrik. Beberapa keunggulan antena dinyatakan dalam persamaan
mikrostrip adalah memiliki struktur kecil, bobot
ringan, gain tinggi, efisiensi tinggi, bandwith  1  S11 
lebar, sederhana dan murah. zin  Z 0  
Antena Mikrostrip kupu-kupu adalah  1  S12 
Bentuk antena berstruktur kupu-kupu atau
dikenal juga dengan kupu-kupu merupakan Dengan Z0 adalah impedansi karakteristik.
pengembangan desain antena dari bentuk dasar
segitiga (triangel). Antena bowtie adalah pilihan Standing wave dapat terjadi jika frekuensi
yang baik untuk antena-antena ultra wideband gelombang datang (Vi) dan gelombang pantul
frekuensi (UWB). Yaitu antena dengan (Vr) sama. Tegangan maksimum gelombang
pencapaian radiasi pada pita lebar ataupun berdiri (Vmax) dihitung dengan persamaan
multiband. Antena dengan frekuensi multiband berikut dengan Ratio perbandingan tegangan
dan wideband memungkinkan antena dapat lebih tersebut sepanjang garis transmisi dalam VSWR.
bermanfaat, dikarenakan satu antena dapat
digunakan untuk meradiasikan ataupun Vmax  Vi  Vr
menangkap radiasi berbagai frekuensi[8][9].
Karena Kelebihan dari antenna kupu-kupu Vmin  Vi  Vr
VSWR  Vmax
tersebut, maka dimanfaatkan untuk digunakan V
min
pada alat terapi hipertermia, sehingga bisa
digunakan beberapa frekuensi dalam satu alat.
Harga VSWR antara 1 dan ∞ dimana nilai 1
2.5 Parameter Antena untuk antenna yang tidak ada pantulan
Untuk melihat apakah sebuah antenna didalamnya.
berkualitas tinggi atau tidak digunakan beberapa
parameter. Parameter yang bisa mempengaruhi 3. PERANCANGAN SIMULASI ANTENA
KUPU-KUPU UNTUK HYPERTHERMIA
kualitas antena antara lain koefisien transmisi,
refleksi, Return Loss (RL), impedansi, VSWR,
Perancangan pemanfaatan antenna kupu-
direktivitas, gain dan bandwith [11][12].
kupu untuk terapi hipertermia adalah dengan
menggabungkan kelebihan antenna kupu-kupu
Koefisien transmisi (St=S21) diperoleh dengan
pada alat terapi hipertermia. Sehingga untuk satu
alat dapat digunakan beberapa frekuensi terapi.
Vtrans
S21  Perancangan sebuah antenna kupu-kupu dengan
Vinput dua frekuensi 2450 MHz dan 915 MHz
menggunakan simulasi perangkat lunak.
Koefisien Refleksi (ρ= S11) Simulasi antenna disini menggunakan metode
elemen hingga (finite elemen method).
Vpantul
S11 
Vinput

dinyatakan dalam return loss (RL)

Return loss (dB) = -20 log10ρ

Jika daya dari tegangan input dipancarkan


semua, maka besar nilai koefisien refleksi Gambar 2. Antena Kupu – Kupu
adalah nol. Sebaliknya, jika semua daya dari

Jurnal Nasional Teknik Elektro 209


Vol: 4, No. 2, September 2015 ISSN: 2302 - 2949

Antena kupu-kupu tersebut akan 0


dimodifikasi membentuk antenna kupu-kupu

RL [dB]
panjang untuk mendapatkan hasil yang -10
maksimal dalam rentang frekunesi radiasinya. -20
Untuk modifikasi antenna kupu-kupu dilakukan -30
pada sisi tertentu yang menyangkut panjang dan -40

300
600
900
1200
1500
1800
2100
2400
2700
3000
luas tangkapan atau radiasi gelombang, yaitu sisi
flare angle dan side angle adapun bentuk sisi 9…
perancangan modifikasi antenna kupu-kupu Freq [MHz]
menjadi antenna kupu-kupu panjang seperti
terlihat pada gambar berikut. Gambar 5. Hasil Simulasi Return Loss |S11| Vs.
Frequency [Perbandingan Flare Angle Kupu –
Kupu Panjang]

Hasil pengujian sudut-sudut modifikasi


flare angle antena kupu-kupu dapat dilihat pada
gambar 5 diatas. Terlihat dengan jelas bahwa
hasil pengujian yang presisi untuk kedua titik
frekuensi yang diinginkan ditunjukkan oleh hasil
pengujian untuk sudut 150 derajat.

3.2 Modifikasi Side Angle


Langkah berikutnya adalah dengan
Gambar 3. Antena Kupu – Kupu Panjang melakukan modifikasi bagian side angle dari
antena. Sama halnya dengan modifikasi
Gambar 3 diatas menunjuk sisi-sisi flare sebelumnya, pengujian juga dilakukan
angle dan side angle dari antena yang akan menggunakan tiga variasi sudut dengan besar
dirancang hingga menemukan frekuensi yang sudut 10, 20 dan 30 derajat. Bentuk modifikasi
tepat sesuai yang diinginkan. side angle untuk ketiga sudut tersebut berurutan
adalah seperti gambar berikut.
3.1 Modifikasi Flare Angle
Modifikasi bagian flare angle antena
menggunakan beberapa titik pengujian. Pada
perancangan ini modifikasi flare angle
dilakukan untuk tiga variasi sudut pengujian. (a) (b) (c)
Sudut pengujian yang digunakan adalah 90, 120
dan 150 derajat. Bentuk modifikasi antena untuk Gambar 6. Modifikasi Side Angle
ketiga sudut berurutan terlihat pada gambar
dibawah. 0
-10
RL [dB]

-20
-30
(a) (b) (c) -40
300
600
900

1500

2700
1200

1800
2100
2400

3000

1…
Gambar. 4. Modifikasi Flare Angle 2…
Freq [MHz]
Gambar 7. Hasil Simulasi Return Loss |S11|
Vs. Frequency
[Perbandingan Side Angle Antena Kupu –
Kupu Panjang]

210 Jurnal Nasional Teknik Elektro


Vol: 4, No. 2, September 2015 ISSN: 2302 - 2949

Gambar 7 menunjukkan hasil pengujian


ketiga variasi sudut yang dimodifikasikan pada
antena kupu-kupu. Untuk hasil yang presisi
memenuhi kedua frekuensi 915 MHz dan 2450
MHz diperlihatkan oleh pengujian dengan sudut
10 derajat sesuai gambar 7.
Hasil modifikasi antena kupu-kupu yang
didapat dari hasil modifikasi flare angle dan side
angle untuk setiap variasi dirangkum dalam tabel
1 dibawah ini. Gambar 8. Antena Kupu Kupu Panjang

Tabel 1. Hasil Simulasi Return Loss in 915 Antena kupu-kupu panjang yang telah
MHz and 2450 Mhz dirancang untuk bekerja pada dua frekuensi
915MHz dan 2450 MHz diperlihatkan oleh
Antenna Return Loss [RL]
gambar 8 diatas.
Parameter 915 MHz 2450 Mhz
Flare Angle
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
90 Degree -13.8161 -3.1261
120 Degree -16.3864 -7.5353
Pengujian beberapa parameter untuk melihat
150 Degree -18.0334 -15.1285
kualitas antenna kupu-kupu panjang hasil
Side Angle rancangan adalah sebagai berikut.
10 Degree -18.0334 -15.1285
20 Degree -17.2404 -9.4930
4.1 Perhitungan Return Loss
30 Degree -14.8988 -7.2288
Perhitungan utama parameter sebuah
antenna dengan mengetahui Return Loss dari
Table 1 diatas secara detail menunjukkan antenna tersebut.
nilai RL (Return Loss) untuk masing-masing
modifikasi side angle dan flare angle. Nilai
terbaik yang menunjukkan kriteria RL adalah 0
yang bernilai ≤ -15dB. Dari nilai tersebut, maka -10
RL [dB]

dapat dilihat bahwa yang memberikan kriteria


kualitas antenna terbaik untuk kedua frekuensi -20
ang diinginkan ialah 150o untuk flare angle dan
-30
10o untuk side angle.
Setelah modifikasi antena kupu-kupu, maka -40
300
600
900
1200
1500
1800
2100
2400
2700
parameter hasil modifikasi tersebut akan 3000
digunakan untuk rancangan antena kupu-kupu B…
panjang. Parameter hasil modifikasi antena Freq [MHz]
kupu-kupu menjadi antena kupu-kupu panjang
yang telah dirancang untuk dilakukan pengujian
Gambar 9. Hasil simulaasi nilai Return Loss
kualitas antenanya ditunjukkan dalam Tabel 2.
(RL) antenna kupu – kupu (bowtie) dan kupu –
kupu panjang (Long Bowtie)
Tabel 2. Parameter Antena Kupu – Kupu
Panjang Hasil pengujian untuk Return Loss antenna
Parameter Nilai kupu-kupu panjang dibandingkan dengan
Length antenna 108 mm antenna kupu-kupu diperlihatkan oleh gambar.
Flare angle 150 degree Dari gambar 9 terlihat bahwa antenna kupu-kupu
Length Flare Angle 8 mm panjang hasil dimodifikasi bekerja pada dua
Side Angle 10 degree frekuensi yang diinginkan. Yaitu 915 MHz dan
Length Side Angle 40 mm 2450Mhz. Untuk nilai actual hasil pengujian RL
Length Round Corner 6 mm antenna kupu-kupu panjang dapat dilihat pada
Gap Distance 8 mm Tabel 3 berikut.
Impedance 50 ohm

Jurnal Nasional Teknik Elektro 211


Vol: 4, No. 2, September 2015 ISSN: 2302 - 2949

Tabel 3. Perbandingan hasil simulasi nilai Tabel 4. Perbandingan hasil simulasi nilai
Return Loss (RL) antenna pada frekuensi 915 impedansi antenna pada frekuensi 915 MHz dan
MHz dan 2450 Mhz 2450 Mhz
Return Loss [dB] VSWR
Antena Antena
915 MHz 2450 MHz 915 MHz 2450 MHz
Kupu – kupu -10.6595 -2.4024 Kupu –kupu 1.8293 7.2770
Kupu – kupu Kupu kupu
-16.6295 -18.2697 1.3458 1.2780
Panjang Panjang

Dari Tabel 3 dapat dilihat dengan jelas hasil Perhitungan nilai VSWR dari antenna
perbandingan antenna kupu-kupu dengan kupu-kupu panjang juga menunjukkan nilai yang
antenna rancangan kupu-kupu panjang. Hasilnya cukup baik seperti tercatat didata nilai Tabel 4
menunjukkan nilai yang sangat baik, dimana diatas. Nilai VSWR antenna yang berkualitas
nilai return loss dari antenna kupu-kupu panjang adalah bernilai 1. Sedangkan yang didapat masih
berada di nilai ≤ -15dB. Dimana nilai tersebut sedikit lebih sebesar 0.2 hingga 0.35 dari 1. Ini
menunjukkan RL antenna kupu-kupu panjang menunjukkan bahwa antenna kupu-kupu
berada pada kualitas baik sebuah antenna. panjang yang dirancnag masih terdapat sedikit
losses pantulan dari antenna meskipun kecil
4.2 Perhitungan VSWR sekali.
Pengujian parameter antenna berikut adalah
dengan menghitung nilai ratio perbandingan 4.3 Perhitungan Impedansi
tegangan sepanjang transmisi antenna. Parameter berikutnya adalah pengujian
impedansi dari antenna. Impedansi merupakan
10 parameter penting untuk membuat antenna dapat
B… dihubung dengan rangkaian luar. Semakin kecil
8 impedansi semakin kecil losses antenna dan
VSWR

6 semakin bagus kualitas antenna.


4
2 500
B…
Mag. Impedance

0 400
300
600
900
1200
1500
1800
2100
2400
2700
3000

300
200
[Ω]

Freq [MHz] 100


0
Gambar 10. Hasil simulaasi nilai VSWR
300
600
900
1200
1500
1800
2100
2400
2700
3000

antenna kupu – kupu (bowtie) dan kupu – kupu


panjang (Long Bowtie)
Freq [MHz]
Gambar 10 diatas menunjukkan hasil
Gambar 11. Hasil simulaasi nilai impedansi
pengujian VSWR kupu-kupu panjang hasil
antenna kupu – kupu (bowtie) dan kupu – kupu
modifikasi. Grafik yang dihasilkan
panjang (Long Bowtie)
menunjukkan perbedaan signifikan dengan
antenna kupu-kupu. Nilai VSWR yang
Dari gambar 11 diatas terlihat bahwa garis
dihasilkan terlihat stabil dan mendekati nilai 1
impedansi antenna kupu-kupu panjang berada
sesuai standar kualitas antenna. Berikut nilai
dibawah garis antenna kupu-kupu. Ini
VSWR untuk kedua frekuensi seting masing-
menunjukkan bahwa nilai impedansi yang kecil
masing antenna kupu-kupu dan antenna kupu-
dan bagus untuk antenna kupu-kupu panjang.
kupu panjang yang dirancang.
Adapun nilai aktualnya dapat dilihat pada Tabel
5 dibawah ini.

212 Jurnal Nasional Teknik Elektro


Vol: 4, No. 2, September 2015 ISSN: 2302 - 2949

Tabel 5. Perbandingan hasil simulasi nilai 32nd European Microwave Conference,


impedansi antenna pada frekuensi 915 MHz dan pp. 1-4, Sept 2002.
2450 Mhz [6] M. Converse, Bond, J. Essex, B.D. Veen,
Mag. Impedance [Ω] S.C. Hagness, “A computational study of
Antena ultra-wideband versus narrowband
915 MHz 2450 MHz
Kupu – kupu 57.0423 339.3099 microwave hyperthermia for breast
cancer treatment” IEEE Transactions on
Kupu Kupu Microwave Theory and Techniques, Vol.
47.4868 51.3574
Panjang 54 , Issue: 5, pp. 2169-2180, May 2006
[7] O. Isik, E. Korkmaz, S. Kara, M.A.
Nilai impedansi hasil pengukuran antenna Nassor, B. Turetken, “Development of a
kupu-kupu panjang mendekati nilai impedansi hyperthermia applicator with compact
saluran yang diinginkan. Diaman dalam simulasi microstrip antennas”, IEEE Antennas and
digunakan mendekati 50 ohm. Propagation Society International
Symposium (APSURSI), pp. 1-2, July
5. KESIMPULAN 2012
[8] Du Yong-Xing, Qin Ling, Xi Xiao-li,
Sebuah antenna untuk terapi hyperthermia “The Analysis and Simulation of
yang dapat bekerja dalam dua frekuensi telah Microstrip Spiral Antenna for Microwave
berhasil dibuat. Dengan pemanfaatan antenna ini Hyperthermia”, 3rd International
maka dapat dilakukan penghematan penggunaan Conference on Bioinformatics and
antenna dimana satu antenna bekerja dual Biomedical Engineering, ICBBE, pp. 1-4,
frekuensi pada alat terapi hyperthermia. Antenna June 2009.
kupu-kupu panjang yang telah dirancang dalam [9] Muhtadi, Didi, dkk, “Antena Mikrostrip
simulasi dapat bekerja pada frekuensi 915 MHz Slot Berstruktur Kupu-Kupu dengan
dan 2450MHz dengan nilai parameter kualitas Feeding Co-Planar Waveguide”.
antenna yang cukup baik. Program Studi Pascasarjana Fisika
FMIPA ITS Surabaya
DAFTAR PUSTAKA [10] http://www.asiancancer.com/indonesian/
cancer-treatment/thermal-therapy-for-
[1] P. Wust, B. Hildebrandt, Sreenivasa G., B. breast-cancer/ .diakses tanggal 14
Rau, J. Gellermann, H. Riess, R. Felix, P. Agustus 2015
M. Schlag, “Hyperthermia in combined [11] Andre, Hanalde., Kyayam, Umar.,
treatment of cancer,” The Lancet “Design of New Shape Printed Bowtie
Oncology,3(8), pp. 487–497, 2002. Antenna for Ultra High Frequency Partial
[2] M. H. Falk, R. D. Issels, “Hyperthermia Discharge Sensor in Gas Insulated
in oncology,” International Journal of Substations”. IEEE. 2013
Hyperthermia, 17(1), pp. 1–18, 2001. [12] Andre, Hanalde., Khayam, Umar.,
[3] Vrba, J., Oppl, L.. “Prospective “Antena Kupu-kupu sebagai sensor Ultra
Applications of Microwaves in High Frekuensi (UHF) untuk Mendeteksi
Medicine”. Microwave Techniques. Partial Discharge pada Gas Insulation
COMITE 2008. 2008 , pp: 1 – 4 Substation. JNTE Unand. 2013
[4] Du Yong-Xing, Xi Xiao-li and Guo Wei,
“The Design and Simulation of Two-
Biodata Penulis
Armed Spiral Antenna for Microwave
Hyperthermia”, 5th International
Hanalde Andre, Lahir di Rengat tahun 1986.
Conference on Bioinformatics and
Studi sarjana Teknik Elektro Universitas
Biomedical Engineering, (iCBBE), pp. 1-
Andalas pada tahun 2011. Kemudian Magister
4, May 2011
Teknik Elektro double degree Universitas
[5] K.Y. Yazdandoost, K. Sato, “Long
Andalas- ITB tahun 2013. Sekarang ini aktif
Rectangular Microstrip Antenna for
sebagai dosen Teknik Elektromedik di
Interstitial Microwave Hyperthermia”,
Politeknik Siteba Padang 2014.

Jurnal Nasional Teknik Elektro 213


Vol: 4, No. 2, September 2015 ISSN: 2302 - 2949

Kiki Kananda, Lahir di Kapau tahun 1988.


Studi sarjana Teknik Elektro Universitas
Andalas pada tahun 2011. Menamatkan
Magister Teknik Elektro Universitas Andalas
Padang tahun 2013. Sekarang ini aktif sebagai
dosen Teknik Elektromedik di Politeknik Siteba
Padang 2015.

Agus Rahmad Timor, Lahir di Bukitinggi


tahun 1977. Studi sarjana Teknik Elektro ST-
INTEN tahun 2001. Kini mengabdi di Poltekes
Siteba Padang sebagai Ketua Jurusan Teknik
Elektromedik.

Khairullah, Lahir di Padang tahun 1962. Studi


sarjana Teknik Elektro Universitas Bung Hatta
tahun 1993. Kini mengabdi di Poltekes Siteba
Padang sebagai Ketua Jurusan Teknik
Elektromedik.

Erliwati, Lahir di Padang tahun 1964. Studi


sarjana Teknik Elektro Universitas Bung Hatta
tahun 1993. Kemudian menamatkan Magister
Teknik Elektro Universitas Andalas tahun 2015.
Kini mengabdi di Poltekes Siteba Padang
sebagai Ketua Jurusan Teknik Elektromedik.

Zulka Hendri, Lahir di Koto Baru tahun 1985.


Studi sarjana Fakultas Teknik Universitas
Andalas pada tahun 2010. Menamatkan
Magister Teknik Elektro Universitas Andalas
Padang tahun 2014. Sekarang ini aktif sebagai
dosen Teknik Elektromedik di Politeknik Siteba
Padang 2014.

214 Jurnal Nasional Teknik Elektro


Efektifitas Kompres Hangat Dalam Menurunkan Demam
Pada Pasien Thypoid Abdominalis Di Ruang G1 Lt.2
RSUD Prof. Dr. H. Aloei Saboe Kota Gorontalo,

Fatmawati Mohamad
Email : rifka_waty@yahoo.co.id
Staf Dosen Jurusan Keperawatan Politeknik Kesehatan Kemenkes Gorontalo

ABSTRAK

Demam (hipertermi) adalah suatu keadaan dimana suhu tubuh lebih tinggi dari biasanya,
dan merupakan gejala dari suatu penyakit. Menurunkan atau tepatnya mengendalikan dan
mengontrol demam pada anak dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya adalah
dengan cara kompres hangat.
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi efektifitas kompres hangat dalam
menurunkan demam pada pasien thypoid abdominalis di Ruang G1(anak) Lt.2 RSUD. Prof. Dr.
Hi. Aloei Saboe Kota Gorontalo.
Metode penelitian yang digunakan adalah quasi eksperimen. Jumlah responden sebanyak
19 orang, yang diobservasi sebelum dan setelah dilakukan tindakan kompres hangat. Penelitian
ini menggunakan metode purposive sampling, dengan menggunakan kriteria inklusi. Analisis
data pada penelitian ini menggunakan uji statistik “Sign test.”
Hasil penelitian: ∑ b (x ; n , p) < 0,05 = ∑ b (5 ; 19 , ½) < 0,05 = 0,0318 < 0,05.
Kesimpulan; H0 ditolak, yang artinya tindakan kompres hangat efektif dalam menurunkan
demam pada pasien thypoid abdominalis di ruang G1(anak) Lt.2 RSUD. Prof. Dr. Hi. Aloei
Saboe Kota Gorontalo.

Kata Kunci : Kompres hangat, Thypoid Abdominalis, Demam

Masalah kesehatan anak merupakan pergantian musim yang umumnya disertai


salah satu masalah utama dalam bidang dengan berkembangnya berbagai penyakit.
kesehatan yang saat ini terjadi di negara Berbagai penyakit itu biasanya makin
Indonesia. Derajat kesehatan anak mewabah pada musim peralihan, baik dari
mencerminkan derajat kesehatan bangsa, musim kemarau ke penghujan maupun
sebab anak sebagai generasi penerus bangsa sebaliknya. Terjadinya perubahan cuaca
memiliki kemampuan yang dapat tersebut mempengaruhi perubahan kondisi
dikembangkan dalam meneruskan kesehatan anak. Kondisi anak dari sehat
pembangunan bangsa. Berdasarkan alasan menjadi sakit mengakibatkan tubuh bereaksi
tersebut, masalah kesehatan anak untuk meningkatkan suhu yang biasa disebut
diprioritaskan dalam perencanaan atau demam (hipertermi).
penataan pembangunan bangsa (Hidayat, Menurut Maryunani (2010), demam
2009). (hipertermi) adalah suatu keadaan dimana
Menjaga kesehatan anak menjadi suhu tubuh lebih tinggi dari biasanya, dan
perhatian khusus para ibu, terlebih saat merupakan gejala dari suatu penyakit.
Sebagian besar demam berhubungan dengan cukup besar. Selain itu, tindakan kompres
infeksi yang dapat berupa infeksi lokal atau hangat juga memungkinkan pasien atau
sistemik. Paling sering demam disebabkan keluarga tidak terlalu tergantung pada obat
oleh penyakit infeksi seperti infeksi saluran antipiretik.
pernafasan atas, infeksi saluran pernafasan Tindakan kompres hangat merupakan
bawah, gastrointestinal, dan sebagainya. Ada salah satu tindakan mandiri dari perawat,
beberapa kasus, penyakit infeksi yang tetapi sering diabaikan bahkan sering
menyerang sistem gastrointestinal pada anak- dibebankan pada keluarga pasien. Untuk dapat
anak, salah satunya adalah Thypoid mengangkat intervensi ini ke permukaan maka
Abdominalis atau dikenal dengan istilah perlu adanya upaya untuk membuktikan
demam tifoid. efektifitas dari tindakan ini dalam menurunkan
Badan Kesehatan Dunia (WHO) demam khususnya pada pasien anak penderita
memperkirakan terdapat sekitar 16-33 juta demam tifoid. Berdasarkan uraian tersebut
kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan diatas maka perlu adanya upaya untuk
kejadian 500-600 ribu per kasus kematian tiap membuktikan Efektifitas Kompres Hangat
tahun (R, Aden, 2010). Di Indonesia, demam Dalam Menurunkan Demam Pada Pasien
tifoid masih merupakan penyakit endemik dan Thypoid Abdominalis.
menjadi masalah kesehatan yang serius.
Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia tahun METODE PENELITIAN
2005, kasus demam tifoid menempati urutan Metode penelitian ini menggunakan metode
kedua dari data 10 penyakit utama pasien “Quasi Eksperimen” dimana peneliti ingin
rawat inap rumah sakit dengan persentase melihat sejauh mana efektifitas kompres
3,15%. hangat dalam menurunkan demam pada pasien
Berdasarkan data yang diperoleh dari thypoid abdominalis. Sampel dalam penelitian
RSUD. Prof. Dr. H. Aloei Saboe Kota ini sebanyak 19 orang dengan teknik
Gorontalo, tentang jumlah pasien demam pengambilan sampel menggunakan metode
tifoid yang dirawat di Ruang G1 (anak) Lt. 2 purposive sampling dengan
pada tahun 2011 yakni sebanyak 299 orang, mempertimbangkan kriteria inklusi dan
dengan persentase sekitar 14,1% dari total kriteria eksklusi. Kriteria inklusi yaitu: Pasien
keseluruhan pasien yang dirawat di Ruang G1 thypoid abdominalis yang mengalami demam
(anak) Lt. 2. (suhu >37,50C), Pasien demam tifoid yang
Menurunkan atau tepatnya belum diberi terapi antipiretik, Pasien demam
mengendalikan dan mengontrol demam pada tifoid yang mau dilakukan tindakan kompres
anak dapat dilakukan dengan berbagai cara, hangat, Keluarga dan pasien yang kooperatif
salah satunya adalah dengan cara kompres. dan Kriteria eksklusi yaitu Pasien thypoid
Selama ini kompres dingin atau es menjadi abdominalis yang tidak mengalami demam
kebiasaan yang diterapkan para ibu saat (suhu 36-37,50C), Pasien demam tifoid yang
anaknya demam. Namun kompres sudah diberi terapi antipiretik, Pasien demam
mengunakan es sudah tidak dianjurkan karena tifoid yang tidak mau dilakukan tindakan
pada kenyataannya demam tidak turun bahkan kompres hangat. Analisis data menggunakan
naik dan dapat menyebabkan anak menangis, analisis univariat dilakukan untuk
menggigil dan kebiruan, oleh karena itu, mendeskripsikan karakteristik sampel yang
kompres menggunakan air hangat lebih diukur dalam penelitian yaitu dengan cara
dianjurkan. Hal ini dilakukan juga karena menghitung nilai mean, minimum-maksimum,
tindakan kompres hangat lebih mudah dan standar deviasi dan analisis bivariat
dilakukan dan tidak memerlukan biaya yang dengan menggunakan uji tanda (sign test)
dengan tingkat kemaknaan α : 0,05 (Wilayah sesudah dikompres dibandingkan dengan suhu
Kritik: ∑ b (x ; n , p) < 0,05). anak sebelum dikompres. Hal ini
menunjukkan bahwa penurunan suhu antara
HASIL DAN PEMBAHASAN satu anak dengan yang lain memiliki variasi
nilai penurunan yang cukup berbeda.
Analisa bivariat menggunakan uji statistik: uji
Berdasarkan tabel di atas, hasil analisis data tanda (sign test) dengan menggunakan taraf
menunjukkan bahwa nilai rata-rata suhu tubuh nyata sebesar 0,05 (5%), dengan hasil/
responden sebelum perlakuan sebesar 38,4 ± kesimpulan yang ada diakui kebenarannya
0,70C. Sedangkan suhu tubuh responden sebesar 95%, dengan wilayah kritik: ∑ b (x ; n
setelah perlakuan sebesar 37,7 ± 1,00C. Jika , p) < 0,05, dengan hasil sebagai berikut:
dilihat dari standar deviasi ternyata ditemukan
variasi nilai yang lebih besar pada anak yang

Suhu Tubuh Suhu Tubuh


Inisial
No Lama Rawat Sebelum Setelah Tanda
Responden
Perlakuan Perlakuan

1 An. ZI Hari Ke-2 38,1 37 (+)


2 An. AR Hari Ke-3 37,7 36,2 (+)
3 An. SP Hari Ke-1 38,5 37,4 (+)
4 An. MS Hari Ke-3 37,7 36,8 (+)
5 An. SDA Hari Ke-0 39,5 39,5 (-)
6 An. NA Hari Ke-2 38 37,2 (+)
7 An. FT Hari Ke-1 38 37,5 (+)
8 An. MAO Hari Ke-2 38 37,1 (+)
9 An. SFT Hari Ke-1 38,4 37,5 (+)
10 An. HP Hari Ke-1 38 37,5 (+)
11 An. AB Hari Ke-1 38,1 37,4 (+)
12 An. ZM Hari Ke-3 37,7 36,9 (+)
13 An. TH Hari Ke-1 38,2 37,2 (+)
14 An. MZM Hari Ke-0 39,4 39 (-)
15 An. AH Hari Ke-0 39,5 39,2 (-)
16 An. BA Hari Ke-0 39,8 39,8 (-)
17 An. RCN Hari Ke-1 38,5 37,3 (+)
18 An. MS Hari Ke-1 38,2 37 (+)
19 An. AD Hari Ke-0 38,9 38,5 (-)

a. Ket:
x = 5 (banyaknya tanda positif atau negatif yang paling sedikit)
n = 19 (banyaknya sampel/ responden)
p = ½ (probabilitas/ peluang diterima atau ditolak H0)
b. Penyelesaian
= ∑ b (x ; n , p) < 0,05
= ∑ b (5 ; 19 , ½) < 0,05
= 0,0318
c. Kesimpulan
Dari cara penyelesaian di atas, didapatkan nilai ∑ b (x ; n , p) < 0,05 (0,0318 < 0,05).
Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa: pernyataan H0 ditolak, yang artinya
peryataan bahwa tindakan kompres hangat dapat menurunkan demam pada pasien
demam thypoid dapat diterima.

Berdasarkan hasil penelitian tentang kompres dilakukan tindakan kolaborasi dengan tim
hangat yang dilakukan pada 19 responden medis.
yang mengalami demam tifoid, terdapat 14 Tindakan kompres hangat merupakan tindakan
responden yang hasilnya menunjukkan yang cukup efektif dalam menurunkan
penurunan suhu tubuh dan 5 responden demam. Oleh karena itu, sebaiknya
lainnya tidak menunjukkan penurunan suhu penggunaan antipiretik tidak diberikan secara
tubuh. Hal ini dikarenakan, 5 responden otomatis pada setiap keadaan demam. Dalam
tersebut merupakan pasien dengan diagnosa hasil penelitian Purwanti (2008) ditekankan
demam thypoid H-0 yang masa infeksinya bahwa, obat penurun panas hanya diberikan
masih tinggi, dimana demam yang dialami pada anak dengan suhu di atas 38,50C atau bila
oleh pasien tersebut juga sulit untuk anak tersebut merasa tidak nyaman
menunjukkan penurunan suhu tubuh. Oleh (uncomfortable), selain dari itu sebaiknya
karena itu, untuk pasien dengan demam jangan dulu dilakukan pemberian antipiretik.
thypoid H-0 yang masa infeksinya maupun Hal ini senada dengan teori Hartanto (2003)
demamnya masih tinggi perlu diberikan terapi yang menekankan bahwa antipiretik hanya
antibiotik secara intensif dan terapi antipiretik diberikan untuk menurunkan suhu tubuh pada
jika perlu (demam > 38,50C). Hal ini sesuai anak dengan riwayat kejang demam
dengan teori Aden (2010) yang mengatakan sebelumnya, atau ditujukan untuk mencegah
antibiotik merupakan terapi yang efektif untuk terjadinya kejang demam yang sering dialami
demam tifoid. Tetapi, pemberian antibiotik balita umur 6 bulan sampai 6 tahun.
tidak secara otomatis menurunkan demam, Selain itu, penggunaan antipiretik secara
karena di dalam tubuh masih terjadi proses berkepanjangan dapat menimbulkan efek
kerja dari antibiotik dalam mematikan bakteri toksik bagi organ tubuh seperti yang
penyebab infeksi. dijelaskan oleh Pujiarto (2007) bahwa pada
Dalam melakukan penelitian, responden yang dasarnya tidak ada obat yang tidak berisiko
dijadikan sampel telah memenuhi kriteria menimbulkan efek samping. Pemberian obat
inklusi peneliti yaitu pasien yang belum demam bisa menimbulkan efek samping mulai
mengkonsumsi antipiretik pada saat akan dari nyeri dan perdarahan lambung (yang
dilakukan penelitian, sehingga dapat paling kerap), hepatitis (kerusakan sel hati
menunjukkan hasil yang akurat dari tindakan yang ditandai dengan peningkatan enzim
kompres hangat dan bukan efek dari hasil SGOT dan SGPT, pembengkakan dan rasa
pemberian antipiretik. Pemberian tindakan nyeri di daerah hati), gangguan pada sumsum
kompres hangat merupakan bagian dari tulang (produksi sel darah merah, sel darah
tindakan mandiri perawat yang termasuk aman putih dan sel trombosit tertekan), gangguan
dan tidak memiliki efek samping dalam fungsi ginjal, rasa pusing, vertigo, penglihatan
penatalaksanaannya. Sehingga perawat dapat kabur, penglihatan ganda (diplopia),
menerapkan tindakan mandirinya sebelum mengantuk, lemas, merasa cemas, dan
sebagainya. Risiko efek samping perdarahan hipotalamus dirangsang, sistem efektor
saluran cerna misalnya, akan meningkat bila mengeluarkan sinyal yang memulai
kita memakai lebih dari satu obat (misalnya berkeringat dan vasodilatasi perifer.
parasetamol dengan aspirin atau parasetamol Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh
dengan ibuprofen), pemakaian jangka panjang, pusat vasomotor pada medulla oblongata dari
atau pemakaian bersama dengan steroid. tangkai otak, dibawah pengaruh hipotalamik
Hasil penelitian tentang kompres hangat yang bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi.
dilakukan pada 19 responden yang mengalami Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan
demam tifoid, didapatkan 14 responden yang pembuangan/ kehilangan energi/ panas
mengalami penurunan suhu tubuh. Hal ini melalui kulit meningkat (berkeringat),
sesuai dengan hipotesis yang menyatakan diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh
bahwa kompres hangat dapat menurunkan sehingga mencapai keadaan normal kembali.
suhu tubuh pasien. Hasil ini didukung oleh Hal ini sependapat dengan teori yang
penelitian Nurwahyuni (2009) yang dikemukakan oleh Aden (2010) bahwa tubuh
menjelaskan bahwa terdapat mekanisme tubuh memiliki pusat pengaturan suhu
terhadap kompres hangat dalam upaya (thermoregulator) di hipotalamus. Jika suhu
menurunkan suhu tubuh yaitu dengan tubuh meningkat, maka pusat pengaturan suhu
pemberian kompres hangat pada daerah tubuh berusaha menurunkannya begitu juga
akan memberikan sinyal ke hipotalamus sebaliknya. .
melalui sumsum tulang belakang. Ketika
reseptor yang peka terhadap panas di
SIMPULAN   2. Bagi Rumah Sakit
Diharapkan dapat menjadi bahan masukan
Berdasarkan hasil penelitian dapat agar penerapan tindakan kompres hangat
disimpulkan bahwa tindakan kompres hangat di ruangan dapat dimaksimalkan,
efektif dalam menurunkan demam pada pasien sehingga dapat memotivasi tenaga
thypoid abdominalis di Ruang G1 Lt. 2 keperawatan yang ada di rumah sakit
RSUD. Prof. Dr. Hi. Aloei Saboe Kota untuk menerapkan tindakan mandiri
Gorontalo. sebelum tindakan kolaborasi.
Saran 3. Bagi Peneliti Selanjutnya
1. Bagi Keluarga Diharapkan untuk dapat melakukan
Diharapkan dapat menerapkan tindakan penelitian lanjutan dengan
kompres hangat pada perawatan pasien membandingkan tindakan kompres hangat
yang demam dan dapat menjadikannya dengan tindakan keperawatan lain dalam
sebagai tindakan yang pertama dan aman perawatan pasien demam tifoid.
dilakukan pada pasien di rumah sebelum
menggunakan terapi antipiretik.
 

DAFTAR PUSTAKA Anonimityb, 2009, Kompres Hangat,


Anonimitya, 2008, Mengatasi Demam Pada http://nursingbegin.com/kompres-
Anak, hangat/. Diakses 11 Februari 2012
http://majalahkesehatan.com/mengatasi-
demam-pada-anak/. Diakses 11 Februari Anonimityc, 2011, 10 Tanya Jawab Seputar
2012 Demam,
http://www.tabloidnova.com/Nova/Kese
hatan/Umum/10-Tanya-Jawab-Seputar- Notoatmodjo, 2010, Metodologi Penelitian
Demam/. Diakses 11 Februari 2012 Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta

Anonimityd, 2011, Metode Kompres Yang Nursalam, 2011, Konsep dan Penerapan
Tepat Untuk Menangani Demam, Metodologi Penelitian Ilmu
http://www.berbagaihal.com/2011/04/m Keperawatan, Salemba Medika, Jakarta
etode-kompres-yang-tepat-untuk.html
Diakses 11 Februari 2012 Nurwahyuni, Ika, 2009, Perbedaan Efek
Teknik Pemberian Kompres Hangat
Anonimitye, 2007 , Profil Kesehatan Pada Daerah Aksila dan Dahi
Indonesia 2005 Terhadap Penurunan Suhu Tubuh
http://www.riskesdas.litbang.depkes.go.i Pada Klien Demam di Ruang Rawat
d/download/profilkesehatanindonesia.pd Inap RSUP Dr. Sudirohusodo
f. Diakses 8 Februari 2012 Makassar,
http://publikasiilmiah.ums.ac.id/bitstrea
Engel, Joyce, 2008, Pengkajian Pediatrik, m/handle/123456789/484/skripsi.pdf?se
EGC, Jakarta quence=1. Diakses 23 Juni 2012

Hartanto, Sinarty, 2003, Anak Demam Perlu Purwanti, Sri, 2008, Pengaruh Kompres
Kompres?, Hangat Terhadap Perubahan Suhu
http://www.balipost.co.id/balipostcetak/ Tubuh Pada Pasien Anak Hipertermia
2003/9/7/kel4.html. Diakses 23 Juni di Ruang Rawat Inap RSUD. Dr.
2012 Moewardi Surakarta,
http://publikasiilmiah.ums.ac.id/bitstrea
Hidayat, A. Aziz Alimul, 2009, Pengantar m/handle/123456789/484/2f.pdf?sequen
Ilmu Kesehatan Anak untuk ce=1. Diakses 23 Juni 2012
Pendidikan Kebidanan, Salemba
Medika, Jakarta Pujiarto, Purnamawati Sujud, 2007, Demam
Pada Anak: Fever Is Functional,
, 2009, Metode http://www.sehatgroup.web.id/?p=65.
Penelitian Kebidanan dan Teknik Diakses 23 Juni 2012
Analisa Data, Salemba Medika, Jakarta
Prasetyo, Riski Vitria, 2009, Metode
Kania, Nia, 2010, Penatalaksanaan Demam Diagnostik Demam Tifoid Pada Anak.
Pada Anak, www.pediatrik.com/buletin/0622411441
http://pustaka.unpad.ac.id/wp- 8-f53zji.doc. Diakses 8 Februari 2012
content/uploads/2010/02/penatalaksanaa
n_demam_pada_anak.pdf. Diakses 11 R, Aden, 2010, Seputar Penyakit dan
Februari 2012 Gangguan Lain Pada Anak, SIKLUS,
Jogjakarta
Maryunani, Anik, 2010, Ilmu Kesehatan
Anak Dalam Kebidanan, TIM, Jakarta Sugiyono, 2010, Statistika Untuk Penelitian,
Alfabeta, Bandung
Ngastiyah, 2005, Perawatan Anak Sakit Edisi
2, EGC, Jakarta Susanti, Nurlaili, 2012, Efektifitas Kompres
Dingin dan Hangat Pada
Penatalaksanaan Demam,
http://publikasiilmiah.uin.ac.id/bitstream Tamsuri, Anas, 2006, Tanda-Tanda Vital
/handle/123456789/287/saintis.pdf?sequ Suhu Tubuh, EGC, Jakarta
ence=2. Diakses 23 Juni 2012
 
EFEKTIFITAS BAWANG MERAH TERHADAP PENURUNAN
SUHU TUBUH PADA ANAK FEBRIS USIA 1 – 5 TAHUN

Suryono* ; Sukatmi* ; Tinuk Dwi Jayanti**


*) Dosen Akper Pamenang Pare – Kediri
**) Perawat Magang RSUD Pare – Kediri

Fever are circumstances when individuals experiencing or at risk of increased body temperature
continuously for more than 37.80 C (1000F) per oral or 38.90 C (1010F) per rectal due to external factors) lt can
be said that normal body temperature when the temperature is 36.50 C - 37,50C. The purpose of this study is to
determine the effectiveness of red onion to the decrease of body temperature in children aged 1-5 years with
fever.
The research design used in this study is "Pre-experimental", One-Group-Post-Pre-Design Test.
Population of all children aged 1-5 years who have increased body temperature in the IHC Boegenvile 1 Hamlet
Village Tertek Pare District as much as 56 respondents, eight respondents sample taken with accidental
sampling technique. Data analysis was done by observation before and after treatment in April, 2010.
From the results showed that body temperature before administration of body temperature prior onions
were treated at 37.9750C after treatment of 37.5750 C, and the mean of the results of the settlement amounted to
0.4. Median body temperature and the mode of treatment was 380 C and body temperature after treatment was
37.6ºC.
From the above description can be concluded that after being given a ground onion and smeared
throughout the body, can be proven to decrease body temperature, which means onion effective in decreasing
body temperature in children aged 1-5 years with fever

Keywords: Fever, Onion

Latar Belakang Tertek Desa Tertek Kecamatan Pare, 10 ibu yang


Febris (panas) dapat didefinisikan keadaan ketika mempunyai anak usia 1 – 5 tahun berjumlah 6 (60%)
individu mengalami atau beriksiko mengalami anak yang mengalami panas bisa diberi tumbukan
kenaikan suhu tubuh terus menerus lebih dari 37,80C bawang merah 3 siung dioleskan ke punggung dan
peroral atau 37,90C per rectal karena faktor eksternal. dada anak, setelah diberi bawang merah panas bisa
(Tamsuri, 2006). Suhu tubuh dapat dikatakan normal turun dalam waktu 15 menit, 2 (20%) dibawa ke
apabila suhu 36,50C - 37,50C, febris 370C - 400C dan dokter,2 (20%) diberi obat bebas.
febris > 400C. Demam terjadi bila berbagai proses Dampak dari demam pada anak antara lain
infeksi dan non infeksi berinteraksi dengan dehidrasi (kekurangan cairan tubuh), kekurangan
mekanisme hospes. Pada perkembangan anak demam oksigen dan demam di atas 420C bisa menyebabkan
disebabkan oleh agen mikrobiologi yang dapat kerusakan neurologis. Anak dibawah 5 tahun (balita)
dikenali dan demam menghilang sesudah masa yang terutama antara umur 6 bulan dan 3 tahun berada pada
pendek. (Ann M Arvin, 2000). Di Indonesia yang antara umur 6 bulan dan 3 tahun berada pada resiko
merupakan negara berkembang tidak jarang ditemui kejang demam. Demam sering kali disertai dengan
anak yang menderita demam, hal ini bisa terjadi gejala lain seperti sakit kepala, nafsu makan menurun
karena adanya pergantian cuaca dari musim hujan ke (anoreksia), lemas dan nyeri otot. (Mansyur, 2009).
musim kemarau ataupun sebaliknya. Banyak orang tua panik bila mendapati suhu
Gambaran anak privalensi untuk ibu yang tubuh anaknya di atas rata-rata atau sering disebut
mempunyai anak usia 1 – 5 tahun, dari hasil demam. Sebagai pertolongan pertama, umumnya
wawancara yang dilaksanakan pada tanggal 13 diberikan obat penurun panas yang berbahan dasar
Oktober 2009 di Posyandu Boegenvile 1 Dusun kimia seperti golongan parasetamol, asam silisat,

Jurnal AKP 63 No. 6, 1 Juli – 31 Desember 2012


ibuprofen, dan lain-lain. Jarang sekali orang tua yang Metode Penelitian
langsung memberikan obat-obatan tradisional. Desain yang digunakan dalam penelitian ini
Padahal obat-obatan tradisional yang berasal dari adalah desain penelitian pra-eksperimental jenis one
tanaman obat ini tak kalah ampuhnya sebagai penurun group pre and post test.
suhu tubuh. Malah obat-obatan tradisional memiliki Variabel independent dalam penelitian ini adalah
kelebihan, yaitu toksitasnya relatif lebih rendah perlakuan pemberian bawang merah sedangkan
dibanding obat-obatan kimia. Jadi relatif lebih aman, variabel dependennya adalah suhu tubuh.
bahkan tidak ada efek samping bila penggunaannya Penelitian diselenggarakan di Dusun Tertek Desa
benar, kandungan obat bersifat kompleks dan organis. Tertek Kecamatan Pare pada bulan April 2010.
(Hariyono, 2008). Populasi penelitian ini adalah seluruh balita
Masyarakat di pedesaan yang keadaan sosial yang mengalami demam pada rentang waktu
ekonominya relatif menengah kebawah masih banyak penelitian. Peneliti menggunakan pendekatan
yang menggunakan bawang merah sebagai penurun Purposive sampling dengan jumlah sample yang
suhu tubuh dan daerah-daerah di Indonesia sering berhasil didapatkan sebanyak 8 responden. Sampel
menggunakan bawang merah untuk meredakan diambil berdasarkan kriteria panas baru (belum
demam pada anak, perut kembung, muntah-muntah, sampai 1 hari) dan belum mendapatkan pengobatan.
masuk angin dan batuk. Bawang merah mempunyai Pengumpulan data dilakukan dengan
banyak fungsi dalam pengobatan tradisional, bawang menggunakan thermometer yang diukur sebelum dan
merah juga bisa mengurangi resiko kolesterol, setelah perlakuan. Analisis data untuk mengetahui
serangan jantung, kanker hingga radang. Secara pengaruh bawang merah terhadap demam dilakukan
ilmiah kandungan sulfur dalam bawang merah yang dengan membandingkan suhu sebelum perlakuan dan
dikonsumsi secara teratur dapat menurunkan suhu setelah perlakuan dan dianalisis dengan
kolesterol dan menghilangkan gumpalan darah, menggunakan uji komparasi paired t-test dengan α =
sedangkan kandungan flavon-glikosida berfungsi 0,05.
sebagai anti radang dan pembunuh bakteri. Untuk
penurunan demam sendiri menggunakan umbi Hasil Penelitian
bawang merah kandungan kimianya minyak 1. Karakteristik responden berdasarkan umur balita
katsiri,metilaiin,dihidroaliin,zat pati, peptide,
kuersetin, sapoin, fitohormon dan vitamin). Manfaat 12,50%
bawang merah sudah banyak diketahui,di masyarakat 12,50%
sering digunakan sebagai bumbu masakan, selain itu
juga sebagai obat tradisional bisa menurunkan panas
pada anak tanpa zat kimia dengan efek samping yang
minimal (Hendro, 2009). 25,00%
50,00%
Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut maka 0-1 th 1-2 th 2-3 th > 3 th
identifikasi masalahnya adalah “Apakah bawang
merah efektif untuk menurunkan suhu tubuh pada .
anak febris usia 1 – 5 tahun di Posyandu Boegenvile 1 Dari diagram pie diatas menunjukkan bahwa
Dusun Tertek Desa Tertek Kecamatan Pare?”. sebagian besar responden berumur 4 tahun yaitu
(50%) dan yang terendah (12,5%) dari 8
Tujuan Penelitian responden.
Untuk mengetahui efektifitas bawang merah
dalam penurunan suhu tubuh pada anak febris usia 1 –
5 tahun di Posyandu Boegenvile 1 Dusun Tertek Desa
Tertek Kecamatan Pare.

Efektivitas Bawang Merah Terhadap Penurunan 64


Suhu Tubuh pada Anak Febris 1-5 Tahun ...
Suhu Suhu
Peru-
No Resp. Sebelum Sesudah
bahan
2. Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin tindakan tindakan
1 38 37,6 -0,4
2 38 37,6 -0,4
37,50%
3 38 37,6 -0,4
4 38 37,6 -0,4
5 38 37,6 -0,4
6 38 37,5 -0,5
7 37,9 37,5 -0,4
8 37,9 37,5 -0,4
62,50% Mean 37,98 37,58 -0,4
laki-laki perempuan
Median 38 37,6 -0,4
Modus 38 37,6 -0,4
Standar
0,046 0,046
Dari diagram pie diatas menunjukkan bahwa Deviasi
besar responden laki laki berjumlah (37,5 %) dan
responden perempuan berjumlah (62,5 %). Tabel diatas menunjukkan bahwa suhu tubuh
rata-rata sebelum diberi perlakuan sebesar
3. Karakteristik responden berdasarkan berat badan 37,9750c setelah diberikan perlakuan turun
menjadi 37,5750c, dengan standar defiasi sebesar
37,50% 0,046. Median dan Modus suhu tubuh sebelum
37,50%
diberi perlakuan sebesar 380c dan setelah diberi
perlakuan menjadi 37,600c. Kemudian data yang
sudah dikelompokkan untuk mengetahui
hubungan antara dua variabel yang diteliti dengan
menggunakan uji statistik dengan bantuan
25,00% software SPSS 14, dengan menggunakan analisis
statistik Uji T 2 sampel berpasangan didapatkan
10-13,5 kg 13,5-15,5 kg 15,5-19 kg
Signifikan P = 0,000 (<0,05) berarti P < ,
sedangkan t hitung sebesar 33,000 sehingga Ho
Dari diagram pie di atas menunjukkan
ditolak dan H1 diterima dengan demikian dapat
bahwa besar responden yang berat badan 13,5-
disimpulkan bahwa ada pengaruh dari pemberian
15,5 kg ada 2 anak (25,0%), berat badan 10,0-13.5
bawang merah terhadap penurunan suhu tubuh
kg ada 3 anak (37,5%), dan berat badan 15,5 -
pada anak febris usia 1-5 tahun di Posyandu
19,0 kg ada 3 anak (37,5%).
Boegenvile 1 Dusun Tertek Desa Tertek
Kecamatan Pare tanggal 15 April 2010. Interval
4. Suhu tubuh Balita
rentang penurunan suhu adalah dari 0,38294
Berdasarkan pengukuran terhadap suhu tubuh
sampai 0,4206, dengan tingkat kepercayaan
balita dengan demam sebelum dan setelah
sebesar 95%.
perlakuan didapatkan hasil sebagai berikut:

Jurnal AKP 65 No. 6, 1 Juli – 31 Desember 2012


Pembahasan metabolisme basal, rangsangan saraf simpatis,
1. Suhu tubuh sebelum diberi bawang merah pada hormone pertumbuhan, hormone tiroid, hormone
anak febris usia 1-5 tahun di Posyandu Boegenvile kelamin, demam (peradangan), status gizi,
1 Dusun Tertek Desa Tertek Kecamatan Pare. aktivitas, dan lingkungan. Sedangkan untuk umur
Berdasarkan tabel diatas menunjukkan bahwa anak dibawah 5 tahun (balita) terutama umur 6
sebelum diberi bawang merah dari 8 responden bulan dan 3 tahun berada antara umur 6 bulan dan
semua mengalami febris diantaranya 2 anak yang 3 tahun berada pada resiko kejang demam.
suhunya 37,90c (25,0%) dan 6 anak yang suhunya
38,0oc (75,0%). 2. Suhu tubuh setelah diberi bawang merah pada anak
Menurut teori febris adalah keadaan ketika febris usia 1-5 tahun di Posyandu Boegenvile 1
individu mengalami atau berisiko mengalami Dusun Tertek Desa Tertek Kecamatan Pare.
kenaikan suhu tubuh terus menerus lebih dari Berdasarkan Tabel menunjukkan bahwa
37,80C (1000F) per oral atau 38,90C (1010F) per setelah diberi bawang merah dari 8 responden
rectal karena faktor eksternal (Tamsuri, 2006). semua mengalami penurunan suhu tubuh menjadi
Suhu tubuh dapat dikatakan normal apabila suhu normal diantaranya 3 anak yang bersuhu 37,50°c
36,50C - 37,50C, febris 370C - 400C dan febris (37,50%) dan 5 anak yang bersuhu 37,60°c
>400C, dan seseorang biasa menyebut febris (62,50%). Data tersebut diatas menunjukkan
dengan demam. adanya penurunan suhu tubuh pada anak usia 1-5
Demam adalah peningkatan suhu tubuh diatas tahun setelah diberi terapi bawang merah. Salah
normal, pada anak-anak suhu tubuh normal satu cara untuk menurunkan suhu tubuh adalah
berkisar antara 360C sampai 37,50C (Dr, Irnawati, menurunkan vasodilatasi. Vasoditalasi disebabkan
2009) oleh hambatan dari pusat simpatis pada
Demam adalah kenaikan suhu tubuh yang hipotalamus posterior yang menyebabkan
ditengahi oleh kenaikan titik ambang relugasi vasokontriksi sehingga terjadi vasoditalasi yang
panas hipotalamus (Ann M. Arvin, 2000). kuat pada kulit, yang memungkinkan percepatan
Hasil peningkatan suhu tubuh pada anak yang perpindahan panas dari tubuh ke kulit.(Tamsuri,
mengalami febris usia 1-5 tahun diberikan 2006).
perlakuan, sebelum diberi perlakuan diobservasi Dalam bawang merah mengandung asam
terlebih dahulu. glutamate yang merupakan natural essence
Dari hasil analisa diatas dilakukan (penguat rasa alamiah), terdapat juga senyawa
pembahasan dari masing-masing variabel sesuai propil disulfide dan propil metil disulfide yang
dengan penelitian yang telah dilaksanakan. mudah menguap. Jika dimanfaatkan sesuai dosis
Berdasarkan tabel 4.1dapat diketahui distribusi yang tepat maka bawang merah dapat digunakan
suhu tubuh pada anak febris usia 1-5 tahun sebagai penurunan suhu tubuh khususnya pada
sebelum diberi bawang merah dari 8 responden anak usia 1-5 tahun yang mengalami peningkatan
semua mengalami febris diantaranya 2 anak yang suhu tubuh (Jaelani, 2007).
suhunya 37,900c (25,0%) dan 6 anak yang suhunya Peningkatan suhu tubuh setelah diberi terapi
38,0oc (75,0%). bawang merah dari 8 responden semua mengalami
Hasil suhu tubuh pada anak usia 1-5 tahun penurunan suhu tubuh menjadi normal diantaranya
yang mengalami peningkatan sebelum diberi 3 anak yang bersuhu 37,500c (37,50%) dan 5 anak
perlakuan diobservasi terlebih dahulu yang bersuhu 37,600c (62,50%). Hal tersebut
menggunakan Termometer, menunjukkan bahwa disebabkan karena bawang merah mengandung
anak usia 1-5 tahun mengalami peningkatan suhu asam glutamate yang merupakan natural essence
tubuh dengan suhu diatas 37,50c. Hal tersebut (penguat rasa alamiah), terdapat juga senyawa
disebabkan akibat tubuh terpapar infeksi propil disulfide dan propil metal disulfide yang
mikroorganisme (virus, bakteri, parasit). Demam mudah menguap dan baluran bawang merah
juga bisa disebabkan oleh faktor non infeksi seperti keseluruh tubuh akan menyebabkan vasodilatasi
kompleks imun, atau inflamasi peradangan yang kuat pada kulit, yang memungkinkan
lainnya. Faktor yang lain adalah Kecepatan percepatan perpindahan panas dari tubuh ke kulit.

Efektivitas Bawang Merah Terhadap Penurunan 66


Suhu Tubuh pada Anak Febris 1-5 Tahun ...
merah ke ubun-ubun anak, tunggu sampai 15 menit
3. Identifikasi penurunan suhu tubuh pada anak suhu tubuh anak akan segera turun. Maka dapat
febris usia 1-5 tahun yang diberi terapi bawang disimpulkan bahwa bawang merah efektif dalam
merah di Posyandu Boegenvile 1 Dusun Tertek penurunan suhu tubuh pada anak febris usia 1-5
Desa Tertek Kecamatan Pare. tahun dengan kandungan bawang merah asam
Terapi bawang merah diberikan pada 8 glutamate yang merupakan natural essence
responden diobservasi terlebih dahulu dan setelah (penguat rasa alamiah), terdapat juga senyawa
perlakuan diobservasi lagi sesuai dengan kriteria propil disulfide dan propil metal disulfide yang
inklusi dan eksklusi yang ditetapkan peneliti dari mudah menguap dan jika dimanfaatkan sesuai
populasi sejumlah 28 anak usia 1-5 tahun yang dosis yang tepat maka bawang merah dapat
mengalami peningkatan suhu tubuh di Dusun digunakan sebagai penurunan suhu tubuh
Tertek Desa Tertek Kecamatan Pare Tanggal 15 khususnya pada anak usia 1-5 tahun yang
April 2010. mengalami peningkatan suhu tubuh
Dapat dilihat bahwa setelah diberi bawang
merah dari 8 responden semua mengalami Kesimpulan
penurunan suhu tubuh menjadi normal diantaranya 1. Suhu tubuh sebelum diberi bawang merah pada
3 anak yang bersuhu 37,50°c (37,50%) dan 5 anak anak febris usia 1-5 tahun di Posyandu Boegenvile
yang bersuhu 37,600 (62,50%). Analisis yang 1 Dusun Tertek Desa Tertek Kecamatan Pare.
digunakan untuk mengetahui rentang penurunan Berdasarkan tabel 4.1 diatas menunjukkan bahwa
suhu tubuh pada anak adalah dengan menggunakan sebelum diberi bawang merah hasil maksimal
analisis Uji T 2 Sampel Berpasangan. Didapatkan 38,00c dan hasil terendahnya 37,90c, dapat ditarik
hasil Signifikan P = 0,000 (<0,05) berarti P < , kesimpulan hasil rata-rata 37,9750c (100%).
sedangkan t hitung sebesar 33,000 sehingga Ho 2. Suhu tubuh setelah diberi bawang merah pada anak
ditolak dan H1 diterima dengan demikian dapat febris usia 1-5 tahun di Posyandu Boegenvile 1
disimpulkan bahwa ada pengaruh dari pemberian Dusun Tertek Desa Tertek Kecamatan Pare.
bawang merah terhadap penurunan suhu tubuh Berdasarkan Tabel 4.2 menunjukkan bahwa
pada anak febris usia 1-5 tahun di Posyandu setelah diberi bawang merah dari 8 responden
Boegenvile 1 Dusun Tertek Desa Tertek semua mengalami penurunan suhu tubuh menjadi
Kecamatan Pare tanggal 15 April 2010. Interval normal diantaranya 3 anak yang bersuhu 37,500c
rentang penurunan suhu adalah dari 0,38294 (37,50%) dan 5 anak yang bersuhu 37,600c
sampai 0,4206, dengan tingkat kepercayaan (62,50%), dapat ditarik kesimpulan rata-rata
sebesar 95%. Febris cenderung lebih ke anak, penurunan suhu tubuh 37,5750c(100%).
perkembangan anak demam disebabkan pada agen 3. Identifikasi penurunan suhu tubuh pada anak
mikrobiologi yang dapat dikenali dan demam febris usia 1-5 tahun yang diberi terapi bawang
menghilang sesudah masa yang pendek (Ann M. merah di Posyandu Boegenvile 1 Dusun Tertek
Arvin, 2000). Desa Tertek Kecamatan Pare. Analisis yang
Dapat disimpulkan bahwa besar penurunan digunakan untuk mengetahui rentang penurunan
suhu tubuh pada anak febris usia 1-5 tahun setelah suhu tubuh pada anak adalah dengan menggunakan
diberikan terapi bawang merah pada penelitian ini analisis Uji T 2 Sampel Berpasangan. Didapatkan
tidak jauh berbeda dengan masyarakat pedesaan hasil Signifikan P = 0,000 (<0,05) berarti P < ,
yang masih menggunakan terapi bawang merah sedangkan t hitung sebesar 33,000 sehingga Ho
sebagai penurun suhu tubuh. Rentang penurunan ditolak dan H1 diterima dengan demikian dapat
suhu tubuh dari 0,8294 sampai 0,4206. Hal disimpulkan bahwa ada pengaruh dari pemberian
tersebut karena pengaruh dari pemberian terapi bawang merah terhadap penurunan suhu tubuh
bawang merah pada anak usia 1-5 tahun yang pada anak febris usia 1-5 tahun di Posyandu
mengalami peningkatan suhu tubuh, dengan Boegenvile 1 Dusun Tertek Desa Tertek
jumlah bawang merah 3 siung, tumbuk kasar Kecamatan Pare tanggal 15 April 2010. Interval
hingga pecah menjadi beberapa bagian, kemudian rentang penurunan suhu adalah dari 0,38294
balurkan keseluruh tubuh, letakkan sisa bawang

Jurnal AKP 67 No. 6, 1 Juli – 31 Desember 2012


sampai 0,4206, dengan tingkat kepercayaan DAFTAR PUSTAKA
sebesar 95%.
Anwar, Dessy (2001). Kamus Lengkap Bahasa Indonesia.
Saran Surabaya: Karya Abdirama
1. Bagi Orangtua Responden
Arikunto, Suharsimi, (2002), Prosedur Penelitian, Jakarta:
Ibu-ibu dan keluarga yang lain dapat PT. Rineka Cipta
memanfaatkan bawang merah sebagai terapi
penurunan suhu tubuh. Jaelani, (2007), Khasiat Bawang Merah. Yogyakarta:
2. Bagi Masyarakat Kanisius
Dapat sebagai pemilihan obat herbal untuk
terapi penyakit yang diderita. Dan obat yang Nursalam, (2003). Konsep dan Penerapan Metodologi
dipilih benar-benar aman dan sudah terbukti Penelitian Ilmu Keperawatan Pedoman Skripsi,
khasiatnya, salah satunya alternatif adalah bawang Tesis dan Instrumen Penelitian Keperawatan.
merah yang memang sudah terbukti untuk Surabaya: Salamba Medika
menurunkan suhu tubuh. Membudidayakan
bawang merah karena selain mudah juga banyak Notoatmodjo, S. (2005), Metode Penelitian Kesehatan.
Jakarta: Rineka Cipta
manfaatnya dan untuk bisnis juga menjajikan.
3. Bagi Posyandu Boegenvile Rahayu, Estu, (2007), Bawang Merah. Jakarta: Penebar
Agar mengadakan penyuluhan tentang Swadaya
pengobatan herbal kepada ibu-ibu yang datang ke
Posyandu mengerti tentang kegunaan dari bawang Supartini, Gupi, (2004), Konsep Dasar Keperawatan Anak.
merah sebagai penurun suhu tubuh. Jakarta: EGC
4. Bagi Institusi Pendidikan
Agar institusi pendidikan menyebarluaskan Tamsuri, Anas, (2006), Tanda-Tanda Vital Suhu Tubuh.
hasil penelitian ini kepada mahasiswa selanjutnya Jakarta: EGC
sehingga dalam penyusunan karya tulis lebih
mudah menggunakan penelitian tentang obat Wahap, Samik, (2000), Ilmu Penyakit Anak. Jakarta: EGC
herbal dan memberikan kesempatan untuk
Wasis, (2008), Pedoman Riset Praktis Untuk Perawat.
mahasiswa selanjutnya.
Jakarta: EGC
5. Bagi Peneliti
Dengan inovasi terbaru dibidang kesehatan Mansyur, (2009) Demam.www.Belahan Jiwa.
khususnya memperbanyak referensi dalam Blogspot.com (download : 2 Oktober 2009)
melakukan penelitian dan menggunakan alat ukur
yang validitasnya benar-benar terjamin. Untuk Hariyono (2008) Khasiat Bawang Merah. www.
peneliti dan peneliti selanjutnya karya tulis ini Ponorogozone (download : 12 Agustus 2008)
dapat digunakan sebagai informasi awal dan
tambahan literatur penelitian. Untuk selanjutnya Hendro (2009) Bawang Merah.www. Lempu (download :
peneliti bisa meneliti pemanfaatan lingkungan 20 Maret 2009)
sekitar misalnya sebagai obat-obatan.
Dr. Irnawati (2009) Demam .www .Sweetpeart (download :
29 Juni 2009)

Dr. Siswanto (2009) Terapi Bawang Merah.www. Vitazlife


(download : 3 September 2009)

Efektivitas Bawang Merah Terhadap Penurunan 68


Suhu Tubuh pada Anak Febris 1-5 Tahun ...
PENENTUAN EFEKTIVITAS BAWANG MERAH DAN EKSTRAK BAWANG MERAH (Allium
Cepa var. ascalonicum) DALAM MENURUNKAN SUHU BAHAN

Determination of Effectiveness Onion and Extract Onion (Allium Cepa var. Ascolonicum) into the
reducing Temperature of the Materials

Rachmad*), Dr. Sri Suryani, DEA*), Dr.Paulus Lobo Gareso, M.Sc*) Program Studi Fisika,
Jurusan Fisika, Fakultas MIPA, UNHAS Makassar

ABSTRAK

Penelitian ini dilakukan untuk mengukur waktu penurunan suhu campuran dengan bawang merah asli
dan ekstrak bawang merah dan mengukur pH bawang serta membadingkan antara bawang merah asli
dengan ekstrak bawang merah untuk mengetahui efektivitasnya dalam menurunkan suhu bahan. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa semakin besar massa bawang merah yang diberikan pada air hangat maka
semakin sedikit jumlah waktu yang dibutuhkan untuk menurunkan suhu campuran, sehingga semakin
efektif dalam menurunkan suhu. Besarnya nilai pH panas untuk bawang merah adalah 5 dan untuk pH
panas ekstrak bawang merah adalah 4,5, sebab pH tidak dipengaruhi oleh kandungan senyawa alliin.
Penurunan suhu untuk Bawang merah asli memiliki waktu yang relatif lebih sedikit atau waktu yang
diperlukan untuk menurunkan suhu lebih cepat, sedangkan untuk Ekstrak bawang merah memiliki waktu
yang relatif lebih banyak atau waktu yang diperlukan untuk menurunkan suhu lebih banyak jika
dibandingkan dengan Bawang merah asli. Sehingga dapat dikatakan bahwa bawang merah asli lebih
efektif dalam menurunkan suhu dibanding dengan ekstrak bawang merah, dengan kata lain ekstrak
bawang merah tidak mempunyai pengaruh dalam penurunan suhu bahan.

Kata Kunci : Efektivitas, Demam, Kalor, Waktu, Bawang Merah (Allium Cepa var. asclonicum), Air
(H2O), pH.

ABSTRACT

This research was conducted to measure the temperature of the mixture with a decrease in the original
onion and onion extract and measure the pH of onions and shallots comparing the original with onion
extract to determine its effectiveness in to the reducing temperature of the materials.
The results showed that the greater the mass of red onions given in warm water the less amount of time
required to lower the temperature of the mixture, making it more effective in to the reducing temperature
of the materials. The amount of heat for the pH value is 5 and the onions for onion extract heat pH is 4.5,
because the pH is not influenced by the content of compounds Alliin. Decrease the temperature to the
original Shallots have a relatively less or the time required to lower the temperature more quickly,
whereas onion extract had a relatively more or the time it takes to lower more temperature compared to
the original red onion. So it can be said that the original onion is more effective in lowering temperature
than onion extract, in other words the onion extract had no effect into the reduction temperature of the
materials.

Keywords: Effectiveness, Fever, Heat, Time, Red Onion (Allium Cepa var. Asclonicum),water (H2O),pH.

PENDAHULUAN kegunaan bawang merah (Allium Cepa var.


I.1. Latar Belakang ascalonicum) yang dapat dijadikan sebagai
Pengembangan ilmu pengetahuan pada kompres panas untuk menurunkan suhu tubuh
umumnya di bidang sains, terdapat berbagai (demam).
macam penemuan-penemuan yang telah Pertolongan pertama yang dilakukan oleh orang
dikemukakan oleh beberapa ilmuwan. Seringkali tua untuk mengatasi kenaikan suhu yang tinggi
manusia lupa akan banyak hal yang dapat tersebut pada umumnya adalah dengan
dikembangkan di alam semesta ini, misalnya memberikan obat penurun panas berbahan kimia
seperti golongan Paracetamol atau Asam II.3.1. Kapasitas Panas dan Panas Jenis
Salisilat. Tidak banyak orang tua zaman Bila energi panas ditambahkan pada suatu zat,
sekarang ini memberikan ramuan herbal. maka temperatur zat itu akan naik. (pengecualian
Padahal, ramuan herbal ini secara turun temurun terjadi selama perubahan fasa, seperti bila air
telah diwariskan dan tak kalah ampuh sebagai membeku atau menguap). Jumlah energi panas Q
peredam demam, misalnya bawang merah, air yang dibutuhkan untuk menaikkan temperatur
kelapa muda, lempuyang empirit, kunyit dan suatu zat adalah sebanding dengan perubahan
pegagan. temperatur dan massa zat yaitu :
I.2. Ruang Lingkup Q = C ∆T = mc ∆T (2.1)
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui dengan C adalah kapasitas panas zat, yang
efektivitas dari bawang merah dengan esktrak didefinisikan sebagai energi panas yang
bawang merah (Allium cepa var. ascalonicum) dibutuhkan untuk menaikkan temperatur suatu
sebagai obat tanaman yang berfungsi sebagai zat sebesar satu derajat. Panas jenis c adalah
penurun suhu bahan. kapasitas panas per satuan massa :
I.3. Rumusan Masalah 2.2)
Rumusan masalah dalam skripsi ini adalah : Satuan energi panas historis yaitu kalori, mula-
1. Mengukur waktu penurunan suhu campuran mula didefinisikan sebagai jumlah energi panas
air hangat dengan bawang merah (Allium yang dibutuhkan untuk menaikkan suhu sebesar
cepa var. ascalonicum), dan campuran air satu derajat Celcius (atau satu Kelvin, karena
hangat dengan ekstrak bawang merah perubahan satu derajat dalam Celcius maupun
2. Mengukur pH bawang merah (Allium cepa Kelvin adalah sama).
var. ascalonicum) dalam bentuk asli dan II.4. Bawang Merah
ekstrak. Bawang merah (Allium Cepa var. ascalonicum)
3. Membandingkan antara bawang merah merupakan sayuran umbi yang multiguna, dapat
dengan ekstrak bawang merah untuk digunakan sebagai bumbu masakan, sayuran,
mengetahui efektivitasnya dalam penyedap masakan, disamping sebagai obat
menurunkan panas. tradisional karena efek antiseptik senyawa anilin
dan alisin yang dikandungnya.
TINJAUAN PUSTAKA II.4.1. Fungsi Bawang Merah (Allium Cepa
II.1. Temperatur (suhu) var. ascalonicum)
Bila sebuah benda dipanaskan atau didinginkan, Dewasa ini kesehatan dalam tubuh sangat
sebagian dari sifat-sifat fisiknya berubah. penting, karena kesehatan tidak lagi mendekati,
Sebagai contoh, kebanyakan padatan dan cairan sebaliknya penyakit yang datang menggerogoti
memuai bila dipanaskan. Sifat fisis yang berubah tubuh seperti halnya polusi. Kini bawang merah
dengan temperatur dinamakan sifat termometrik, memberikan solusi yang merupakan salah satu
perubahan sifat termometrik menunjukkan alternatif yang dapat digunakan sebagai obat
perubahan temperatur benda. Misalkan sebatang kesehatan. Adapun fungsi dari bawang merah
tembaga didekatkan hingga bersentuhan dengan yaitu membantu mengatasi batuk (dahak),
batang besi dingin. Gambar di bawah ini menurunkan suhu tubuh, mengobati kencing
menunjukkan termometer air raksa yang terdiri manis (Diabetes Mellitus), dapat menurunkan
dari bola gelas dan pipa yang berisi sejumlah air kadar kolesterol, memacu enzim pencernaan,
raksa tertentu.(3) peluruh haid, dan peluruh air seni.(9)
II.2. Teori Dasar Kalor (Q)
Kalor atau Panas (Q) adalah bentuk energi yang METODOLOGI PENELITIAN
dipindahkan melalui perbedaan temperatur yang III.1. Tempat dan Waktu
berpindah dari benda yang mempunyai Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari
temperatur tinggi ke benda yang temperaturnya 2012 di Laboratorium Fisika Dasar FMIPA
lebih rendah. Jika suatu bahan menerima kalor, UNHAS, Jl. Perintis Kemerdekaan KM 11,
maka suhu benda atau bahan tersebut akan naik Tamalanrea, Makassar, Sulawesi Selatan.
atau wujud benda berubah, dan jika suatu benda III.2 Alat dan Bahan
melepas kalor, maka suhu benda atau bahan III.2.1 Alat
tersebut akan turun atau berubah. 1. Wadah
II.3. Formulasi Kalor 2. Thermometer
3. Gelas ukur 100 mL 5. Mencatat temperaturnya tiap 2 atau 3
4. Pipet tetes detik hingga suhu konstan (T3).
5. Neraca timbangan II.3.3 Mengukur pH Bawang Merah
6. Batang Pengaduk 1. Mengambil Bawang merah kemudian
7. Pemanas (Water heater/kompor listrik) dibakar dan ditimbang, lalu kepruk
8. Stopwatch sampai memipih dan dicampur dengan
9. pH Ukur minyak goreng atau minyak kelapa;
III.2.2. Bahan 2. Di ukur pH bawang merah dengan
1. Bawang Merah menggunakan pHmeter;
2. Ekstrak bawang merah II.3.4 Mengukur pH Ekstrak Bawang Merah
3. Air (H2O) 1. Mengambil Bawang merah yang telah di
4. Minyak Kelapa ekstrak ;
5. Tissue 2. Di ukur pH bawang merah dengan
III.3. Langkah Kerja menggunakan pHmeter;
II.3.1. Mengukur waktu penurunan suhu III.4. Bagan Alur Penelitian
sistem campuran air hangat dengan Bawang
Merah
1. Mengambil Bawang merah kemudian Mula
dibakar dan ditimbang, lalu kepruk i
sampai memipih dan dicampur dengan
minyak kelapa; - Bawang Merah (Allium
cepa)
2. Bawang merah tersebut kemudian diukur - Air Suling (H2O)
- Minyak Kelapa
suhunya; - Wadah
3. Air suling dituangkan kedalam wadah - pH Ukur
pencampuran + pengaduk yang sudah
ditimbang kemudian dipanaskan hingga
mencapai suhu 52 0C; Bawang Air Suling Ekstraksi
Merah dipanaskan Bawang
4. Mengukur temperatur air dalam wadah dibakar dengan suhu Merah
pencampuran dengan menggunakan 51oC

termometer; Dicampu
5. Mengambil 2 siung bawang merah yang r dengan
akan diukur kalor jenisnya, kemudian Minyak
Kelapa
memasukkan bahan yang sudah Menimbang Menimbang
ditimbang tersebut ke dalam kalorimeter; B. Merah E. B. Merah
dgn variasi dgn variasi
6. Mencatat temperaturnya tiap 2 atau 3 5gr, 10gr, 4,4gr, 9,1gr,
detik hingga suhu konstan. 15gr, 20gr, 13,6gr,
II.3.2. Mengukur waktu penurunan suhu 25gr 17,9gr,
22,3gr
sistem campuran air hangat dengan Ekstrak
Bawang Merah Pembaha
1. Menimbang bawang merah yang sudah di san
ekstrak kemudian diukur suhunya (T1);
2. Air suling dituangkan kedalam wadah Kesimpulan

pencampuran + pengaduk yang sudah


ditimbang kemudian dipanaskan hingga Selesa
mencapai suhu 52 0C; i
3. Mengukur temperatur air dalam wadah
pencampuran dengan menggunakan Gambar III.1 Bagan Alur Penelitian
termometer (T2);
4. Mengambil ekstrak bawang merah yang HASIL DAN PEMBAHASAN
akan diukur kalor jenisnya, kemudian IV.1 Hasil Penelitian
memasukkan bahan yang sudah IV.1.1 Pengukuran waktu penurunan suhu
ditimbang tersebut ke dalam kalorimeter; campuran air hangat dengan Bawang Merah
dan campuran air hangat dengan Ekstrak
Bawang Merah (Allium cepa var. Adapun hasil pengukuran pH bahan dapat dilihat
ascalonicum) pada tabel berikut ini :
Dari pengamatan yang dilakukan diperoleh hasil
seperti yang terlihat pada tabel IV. Adapun Tabel IV.3
langkah awal yang harus dilakukan untuk pH Bawang Merah (Allium cepa var.
mendapatkan data waktu penurunan suhu ascalonicum)
campuran air hangat dengan bawang merah pH
adalah disiapkan alat dan bahan. Alat yang Bawang Merah Ekstrak Bawang Merah
digunakan adalah wadah tempat meletakan air
hangat, thermometer untuk mengukur tinggi 5 4,5
rendahnya suhu benda atau sampel, stopwatch Sumber : Data Hasil Penelitian
untuk menghitung waktu selama sampel berada
dalam wadah, ketel uap untuk memanaskan air IV.2 Pembahasan
dengan hingga suhu mencapai 51oC, timbangan IV.2.1 Hubungan Massa Sampel Bawang
untuk menimbang massa benda atau sampel, Merah Terhadap Waktu Rata-rata
sedangkan bahan-bahan yang digunakan adalah Pada tabel IV.1 menunjukkan bahwa setiap
Bawang Merah dan Ekstrak Bawang Merah. penambahan sampel bawang merah dengan
massa 5 gram dibutuhkan waktu rata-rata sebesar
Tabel IV.1 dibawah ini menunjukkan data rata- 155 detik untuk menurunkan suhu 1oC dengan
rata hasil perhitungan pengambilan sampel kisaran waktu diantara 140-160 detik, sedangkan
bawang merah (Allium cepa) sebagai berikut : untuk sampel yang bermassa 10 gram
Tabel IV.1 dibutuhkan waktu rata-rata sebesar 131detik, dan
Data Sampel Bawang Merah (Allium cepa var. untuk penambahan berat sampel dengan massa
ascalonicum)dengan massa terhadap waktu 15 gram waktu rata-rata yang dibutuhkan untuk
rata-rata menurunkan suhu 1oC adalah 129 detik dengan
Massa (gram) Waktu (detik) kisaran waktu diantara 120-140 detik, dan untuk
5 155,00 sampel bawang merah dengan massa 20 gram
10 131,25
untuk menurunkan suhu 1oC dibutuhkan waktu
15 129,25
20 92,00 rata-rata sebesar 98 detik sedangkan untuk
25 88,50 sampel dengan massa 25 gram waktu yang
Sumber : Data Hasil Penelitian dibutuhkan adalah 89 detik. Perbedaan kelima
berat sampel lebih jelasnya dapat dilihat pada
Tabel IV.2 gambar Grafik IV.1 berikut ini :
Data Sampel Ekstrak bawang Merah (Allium
Bawang Merah (Allium cepa)
cepa var. ascalonicum) dengan massa
terhadap waktu rata-rata 200
Massa (gram) Waktu (detik)
Waktu (Detik)

150
4,50 171,50
9,10 147,50 100
13,60 163,75
17,90 193,50 50
22,30 182,75
Sumber : Data Hasil Penelitian 0
0 10 20 30
IV.1. 2. Pengukuran pH Bawang Merah dan Massa (gram)
Ekstrak Bawang Merah (Allium
cepa var. ascalonicum)
Gambar IV.1 Grafik Hubungan Massa
Setelah dilakukan pengambilan data waktu
Terhadap Waktu Rata-rata
penurunan suhu campuran air hangat dengan
Sampel Bawang Merah
bawang merah (Allium cepa var. ascalonicum)
dilanjutkan dengan mengukur pH bahan bawang Grafik diatas menerangkan bahwa makin besar
merah tersebut. Adapun alat yang digunakan massa yang diberikan pada sampel Bawang
untuk mengukur pH adalah pH meter air.
Merah maka waktu yang dibutuhkan untuk pada sampel ekstrak bawang merah tersebut, hal
menurunkan suhu 1oC akan semakin kecil. ini disebabkan ekstrak bawang merah tidak
memiliki lagi kandungan alliin yang berfungsi
IV.2.2 Hubungan Massa Sampel Ekstrak untuk menurunkan suhu. Senyawa alliin akan
Bawang Merah Terhadap Waktu menguap bila bawang tergerus pada suhu lebih
Rata-rata besar dari 20°C.
Tabel IV.2 menerangkan bahwa untuk berat Bawang merah sering digunakan untuk kompres.
sampel dengan massa 4,5 gram menunjukkan Hal ini disebabkan bawang merah mengandung
waktu yang dibutuhkan untuk menurunkan suhu senyawa Allylcysteine sulfoxide (Alliin) yaitu
sebanyak 1oC sebesar 172 detik dengan kisaran sejenis senyawa sulfur organik. Senyawa Alliin
waktu antara 150-200 detik sedangkan sampel mempunyai sifat mudah menguap pada suhu
dengan massa 9,1 gram menunjukkan penurunan 20°C hingga 40°C. Kandungan Alliin pada
waktu sebesar 148 detik yaitu dengan daerah bawang merah merupakan nomor dua terbanyak
kisaran antara 100-150 detik sedangkan untuk setelah bawang putih.
berat sampel dengan massa 13,6 gram terdapat Bawang merah bila digerus akan melepaskan
kenaikan waktu yang dibutuhkan untuk enzim alliinase yang berfungsi sebagai
menurunkan suhu 1oC sebesar 164 detik yang katalisator untuk alliin yang akan bereaksi
jauh lebih besar dibandingkan dengan berat dengan senyawa lainnya. Reaksi akan terjadi
sampel dengan massa 9,1 gram, sedangkan untuk secara cepat dalam waktu 10 – 60 detik. Agar
sampel ekstrak bawang merah dengan massa supaya reaksi ini tidak cepat terjadi, maka pada
17,1 gram terdapat pertambahan waktu yang gerusan bawang ditambahkan minyak. Di lain
jauh lebih besar dibandingkan dengan ke empat pihak, ekstrak bawang merah sudah tidak
berat sampel (4,5 gram, 9,1 gram, 13,6 gram, mengandung alliin atau dengan kata lain
22,3 gram) yaitu dengan waktu rata-rata sebesar senyawa alliin sudah terurai menjadi thiosulfinat.
194 detik, namun pada berat sampel 22,3 gram Akibatnya, fungsi penurunan suhu yang
terdapat penurunan waktu sebesar 183 detik. dilakukan oleh senyawa alliin sudah tidak ada.
Perbedaan kelima berat sampel Ekstrak Bawang Oleh sebab itu kalor jenis bawang merah ada
Merah lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar yaitu 0,9 kkal/kg°C (16), tetapi tidak ada untuk
grafik IV.2 berikut ini : ekstrak bawang merah. Lihat tabel IV.4. Bila
dibandingkan dengan es dalam fungsinya
Ekstrak Bawang Merah sebagai bahan penurun panas atau kompres,
250 maka bawang merah akan lebih baik, karena
nilai kalor jenisnya yang lebih besar dari es (0,5
200
kal/g.oC )(3). sehingga lebih bersifat isolator. Di
Waktu (Detik)

150 lain pihak, penggunaan ekstrak bawang merah


100
sebagai bahan penurun suhu tidak menghasilkan
efek, atau dengan kata lain penambahan ekstrak
50 bawang merah pada air hangat tidak akan
0 mempercepat penurunan suhu. Lihat tabel IV.4.
0 5 10 15 20 25
Massa (gram) Tabel IV.4
Data Waktu Penurunan Suhu dari Air
Gambar IV.2. Grafik Hubungan Massa Hangat Dibandingkan dengan Data Waktu
Terhadap Waktu Rata-rata Penurunan Suhu Campuran Air Hangat
Sampel Ekstrak Bawang dengan Ekstrak Bawang Merah.
Merah Campuran Ekstrak Air Hangat
Grafik diatas menerangkan bahwa untuk masing- (detik) (detik)
masing berat sampel memiliki variasi waktu 107 110
yang berbeda-beda untuk menurunkan suhu 175 173
197 199
sebanyak 1oC, setiap penambahan berat sampel
224 221
pada ekstrak bawang merah memiliki
Sumber : Data Hasil Penelitian
perpindahan waktu yang tidak teratur seiring
dengan bertambahnya massa yang diberikan
Tabel IV.5 sweetspearls.com/health, tanggal
Efektivitas Penurunan Suhu dari Bawang akses : 02 Juli 2011
Merah Asli dan Ekstrak Bawang Merah (3) Tipler, Paul A. 1991. Fisika untuk Sains dan
Bawang Merah Ekktrak Bawang Teknik Jilid I Edisi I. Jakarta :
(detik) Merah (detik) Erlangga.
0,282 0,973
(4) Mulyanto, dkk. 1992. Seri Fisika Perguruan
0,347 1,012
0,412 0,989 Tinggi Panas dan Termodinamika,
0,819 1,014 Jakarta : PT. Intan Pariwara.
Sumber : Data Hasil Penelitian (5) Tim Pengajar Fisika Dasar Universitas
Hasanuddin. 2007. Materi dan
PENUTUP Penuntun Perkuliahan Fisika Dasar
I. Makassar
V.1 Kesimpulan (6) Cromer, Alan H. 1994. Fisika Untuk Ilmu-
Dari hasil yang diperoleh pada penelitian ini ilmu Hayati edisi kedua. Yogyakarta:
dapat disimpulkan bahwa : Gadjah Mada University Press.
1. Semakin besar massa bawang merah yang (7) Hadi, Irwan. 2011. Mengukur Kalor Jenis
diberikan pada air hangat maka semakin Zat/Modul C Kalorimeter.
sedikit jumlah waktu yang dibutuhkan untuk Elib.unicom.ac.id/download.php,
menurunkan suhu campuran, sehingga tanggal akses : 10 Agustus 2011.
semakin efektif dalam menurunkan suhu. (8) Anonim, 1985, Materia Medika Indonesia,
2. Penurunan suhu untuk Bawang merah asli Jilid IV, Departemen Kesehatan RI,
memiliki waktu yang relatif lebih sedikit atau Jakarta, p.15-19.
dengan kata lain waktu yang diperlukan (9) Anonim. 2011. Demam Pada Anak,
untuk menurunkan suhu lebih cepat, http://repository.usu.ac.id/bitstream/
sedangkan untuk Ekstrak bawang merah 123456789/21445/4/Chapter%20II.p
memiliki waktu yang relatif lebih banyak df/, tanggal akses : 13 Agustus 2011.
atau dengan kata lain waktu yang diperlukan (10) Guyton A. C, Hall J. E. 2008. Buku Ajar
untuk menurunkan suhu lebih banyak jika Fisiologi Kedokteran Edisi 11.
dibandingkan dengan Bawang merah asli. Jakarta : EGC.
Sehingga dapat dikatakan bahwa bawang (11) Sudoyo A. W. dkk, 2007. Buku Ajar – Ilmu
merah asli lebih efektif dalam menurunkan Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV .
suhu dibanding dengan ekstrak bawang Jakarta : EGC.
merah, atau dengan kata lain ekstrak bawang
merah tidak mempunyai pengaruh dalam
penurunan suhu.
V.2 Saran
Bagi para peneliti selanjutya yang ingin meneliti
mengenai Bawang Merah (Allium cepa var.
ascalonicum) disarankan untuk dapat melakukan
penelitian pada sifat-sifat fisis lain yang terdapat
pada Bawang Merah misalnya koefisien gerak
bahan. Kepada Kepala laboratorium Fisika Dasar
diharapkan alat yang ada di Laboratorium Fisika
Dasar selayaknyalah diganti agar dapat lebih
mendukung penelitian selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA
(1) Dahlan, Sopiyudin. 2009. Laporan Bawang
Merah. www. scrib. Com /doc/
41158685/, tanggal akses : 05
Agustus 2011
(2) _____,2011. Bahan Dapur Untuk Redakan
Demam / woman Health. http : //
Open Journal of Biophysics, 2015, 5, 97-114
Published Online October 2015 in SciRes. http://www.scirp.org/journal/ojbiphy
http://dx.doi.org/10.4236/ojbiphy.2015.54009

Generalization of the Thermal Dose of


Hyperthermia in Oncology
Gyula Vincze, Oliver Szasz, Andras Szasz*
Szent István University, Gödöllő, Hungary
Email: *Szasz.Andras@gek.szie.hu

Received 3 July 2015; accepted 25 October 2015; published 28 October 2015

Copyright © 2015 by authors and Scientific Research Publishing Inc.


This work is licensed under the Creative Commons Attribution International License (CC BY).
http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/

Abstract
Hyperthermia has been a modality to treat cancer for thousands of years. During this time, inten-
sive efforts are concentrated on determining the dose of the proper treatment, but the dominantly
in vitro induced cellular death does not provide enough confidence for the clinical dosing. The
cell-death by heat-monotherapy applications in laboratory experiments is difficult to apply in the
complementary therapies in clinical applications. The newly developed nanotechnologies offer
completely new possibilities in this field as well. Modulated electro-hyperthermia (mEHT, trade-
name Oncothermia) is a nanoheating technology that has selective effects on membrane rafts and
on the transmembrane proteins. This effect is thermal. The thermal action is in nanoscopic range
which makes the phenomenon special. Our objective is to show the dose concept on this emerging
method.

Keywords
Thermal Dose, Oncothermia, Nano-Targeting

1. Introduction
Hyperthermia, as a treatment in oncology, has a thousand-year tradition [1]. It has tremendous fluctuations in its
applications and trusts in its efficacy [2]. This addresses serious questions: “Where are we?” [3], “Where are we
going?” [4]. One of the central problems of the hyperthermia in oncology is the dosing [5]. The problem of the
dose is very general due to that the temperature is the central parameter of this heating method. However, the
focusing of the energy-absorption doesn’t mean the focus of the temperature too, because the heat spread by
time is forced mainly by a very effective heat-exchanger: the blood-flow. Our objective in this paper is to clarify
the dosing which is based on the in vitro experiments of necrotic distortion fitting it to the Arrhenius plot. We
*
Corresponding author.

How to cite this paper: Vincze, G., Szasz, O. and Szasz, A. (2015) Generalization of the Thermal Dose of Hyperthermia in
Oncology. Open Journal of Biophysics, 5, 97-114. http://dx.doi.org/10.4236/ojbiphy.2015.54009
G. Vincze et al.

generalize this Arrhenius based on dosing, including the direct SAR, from the selectively targeting electric field.
Oncologic hyperthermia massively uses external heat transfer from the outside towards the inside. The clas-
sical solution is based on heat-conduction from the skin. The heat-conduction is robustly increased by heat-
convection of the induced intensive blood-flow in the skin.
The whole-body heating processes definitely follow this way, using the blood-flow in the subcutaneous capil-
lary-bed, transferring the absorbed energy all over the body [6]. The method has many early descriptions [7]-
[10]; but the dominant systemic hyperthermia method is based on the infra-red radiation by multi-reflecting fil-
tering [11] [12] or by water-filtering [13] [14].
Another type of oncological hyperthermia is not systemic. Its volume ranges widely: from regional to local,
from a part of the body to a nanoscopic targeting.
Their typical parameters are summarized in Table 1.
Thermodynamically, the systemic and loco-regional treatments differ from their heat-flow direction between
the tumor and its neighborhood. The blood-heating techniques pump heat-energy from blood to the tumor, while
the blood works opposite in the loco-regional heating, cooling the anyway heated tumor because it remains in
body temperature. The physiological limits are also different. While the systemic heating is limited at 42˚C, the
local one has no limit in the tumor. The temperature limit of loco-regional treatment is only keeping the healthy
vicinity of the tumor safe, as well as the skin, where the energy is pumped into the body.
Technically, the local deep-focusing is a great challenge. Most of the local treatments with deep focusing pos-
sibility use some kind of electromagnetic energy-absorption. Multiple new techniques are devoted to deliver the
proper energy for heating [15].
One of the earliest non-invasive deep heating is the simple inductive way, which is typically achieved by the
induction of eddy-currents in the body [16]-[18]. This method has low efficacy, but its non-invasive penetration
easily crosses over the body, and its focusing or selective orienting is not possible. Other loco-regional electro-
magnetic heating methods work by radiative [19]-[21], or by capacitive [22]-[24], technical solutions. These
non-invasive electromagnetic heating solutions use a wide range of frequencies, having definitely different ef-
fects and penetration depth to the body [14]. However, in most of the cases, the limited penetration depth is
enough for effective deep heating [25].
Interestingly, the trend of the modern hyperthermia is directed to the smaller targets. Their intensive locality
is somehow similar in this character to the original galvanic methods. The typical high-energy focusing can be
solved by microwaves [26] or very locally by interstitial heating invasively [27]. It delivers heat to the tumor
mass directly using a needle providing high frequency. Typically, this type of therapy is applied in an image
guided way. These ablation methods work by typical burn-necrosis basis, and the energy is typically provided
by impedance-heating with minimally invasive electrode insertion; there is no heat-flow through the skin. Some
typical applications are for liver [28], lung [29] [30], and breast [31]. Numerous ablative, interstitial hyperther-
mia combined with local irradiation are applied for brain tumors [32]-[35], and implant applications [36] [37],
and also combined with laser techniques [38] [39].
Some modern laser ablative techniques work with ultrafast pulses with ultra large energy-density flow. De-
pending on the pulse-duration, it can be a few 100 W/cm2 and in nano-seconds can go to 107 - 108 W/cm2 [40],
but the provided energy altogether reaches its maximum at a few tenths of watts. Their application for liver [41],
[42], is common. This emerging technology, together with the electroporation techniques, has been shifted
more-and-more to become the tool of surgery, applied it on intraoperative way, or applied by interventional ra-
diology, isolated a little bit from the general hyperthermia practices.
The photodynamic therapy (PDT) [43], uses heating of the micro-targets like photosensitized liposomes or
other photosensitizers [44], by infrared or visible radiation. The micro-absorption of the heat assists targeted

Table 1. Typical physical parameters of the basic hyperthermia-treatment categories.

Basic hyperthermia Typical absorbed energy density Typical operating


Typical treated mass [kg]
categories (SAR) [W/kg] temperature [˚C]

Systemic (blood-heating) 5 ÷ 10 38 ÷ 42 40 ÷ 100

Local/regional (tissue heating) 10 ÷ 50 40 ÷ 45 1 ÷ 25

Ablation (tissue burning) 5000 ÷ 25,000 60 ÷ 250 0.001 ÷ 0.02

98
G. Vincze et al.

drug-delivery, combined with the heat development. This could non-invasively treat shallow-seated tumors, only
the light-source has to be introduced invasively (mostly with optical fibers) for heating in depth.
There is a selective tumor targeting applied by temperature sensitive liposome-jacketed drug-delivery [45], as
well as the drug delivery with temperature activated nanoparticle complexes [46]. PDT can be applied with na-
noparticle administration too [47], when the particles are the real absorbers of the energy. The method is based
on artificially set nanoparticle concentration in the targeted volume [48] [49].
The disadvantage of the weak coupling of magnetic fields in direct inductive heating turns to an advantage
when artificial absorbers are applied. The energy absorption from the magnetic field is practically limited to
these magnetic absorbing centers, orienting the SAR where the artificially inserted magnetic materials are.
These materials will solely react with the electromagnetic fields, and their absorbed energy will be the source to
heat up their surroundings. The energy absorption could be absolute, precisely guided by the place of these ab-
sorbers. In order to improve the magnetic energy absorption within the target tissue, magnetic materials, such as
micro-particles [50] and ferrite rods [51], are usually injected into the targeted area [52], orienting the field to
the particles and massively absorbing the incident energy. The emerging application of magnetic treatments is
started by the nanoparticle magnetic suspensions [53] and other magnetic liquids.
Definite shifts of hyperthermia techniques have been made in the last decade, showing a trend to nanotech-
nology [54]. Applications of various nanoparticles for combined hyperthermia are new, emerging methods in
oncology [46]. In this method the nanoparticles (which are usually administered in a suspension [53]) are small
heat-absorbers. They are selectively heated up by an outside photo-energy or magnetic field [55], which acts ex-
clusively only on these nanoparticles. The trick here is the accurate targeting of the heat-absorption. The over-
heated nanoparticles soon give their heat-energy to their neighborhood and heatup the complete lesion in their
vicinity. A great deal of energy is pumped into these nanoparticles being able to heatup the complete mass, con-
taining a large amount of electrolytes. However, most of the electrolytes are uselessly heated up because the heat
has to be concentrated on the tumor cells and exclusively on their membranes to damage them. This request
needs a higher preciosity addressing the nanoparticles selectively on the surface of the tumor cells, which can be
made by antibody-nanoparticle conjugates [56]. It releases the therapeutic targets at the connected malignant
cells while minimizing off-target side effects. When the delivering nanoparticle—which is especially bonded to
the membrane of the malignant cell—is heated up by an outside field, it could have a double effect: damaging
the membrane by heat and/or release the drug that was delivered to the target [57]. Most of the nanoparticle
hyperthermia effects are subcellular, inducing intracellular action [58]; however, the efficacy of this treatment is
debated [59].
Based on nanotechnology, a new, emerging way is connected to various immune actions [60], which could be
applied in loco-regional hyperthermia, too. This transforms the modern local hyperthermia treatment completely
systemic [61] [62], reaching bystander and abscopal effects [63] [64], by production of the immune-stimulating
character for both the innate and adaptive immune system [65], and turning the oncologic hyperthermia to a
complex immune-therapy, attacking the far-distant metastases, named “immunotherm” therapy [66].

2. Dosing of Hyperthermia
Evaluating the success of hyperthermia’s definitive dose is mandatory. Experts agree that the reliable dosing de-
termines the future of oncologic hyperthermia [66].
The heating process is an energy transfer to the target. This energy could increase the temperature and could
make many other accompanied effects [67] [68]. Naturally, the medical expectation is definitely making chan-
ges in the target, killing the malignant cells in various ways. The cell killing obviously demand senergy, which
is delivered by the electromagnetic or mechanical (ultrasound) forms in most of the hyperthermia methods. The
temperature is the average energy that is provided to the target. When the target is large, it needs more heat-
energy to reach the same temperature than the small target. This is why we introduced the absorbed energy for
unit volume or unit mass, as we did in case of ionizing radiation: J/kg (= Gy). This is an exact dose that we can
use when we know the absorbed energy. However, the target is not isolated thermally, so it loses a lot of heat-
energy by heat-conduction to the neighbors, and by the intensive heat exchange of the blood-flow. Also, the
problematic point is the energy-delivery path. The energy is transported through the non-targeted volumes from
the surface to the target, losing a large amount of the energy out of the target. This is not only wasted energy, but
also a source of the thermal toxicity. The surface cooling makes the next complication, which sinks a lot of for-

99
G. Vincze et al.

warded energy to the cooler. These points request a local measurement in the target. What to measure? We
could measure the absorbed energy; or easier to measure, the temperature there, which we suppose has mono-
tonic calibration to the energy itself. So the temperature has a role of some kind of dosing by calibration to ab-
sorbed energy; also, it is a safety parameter with the help of which we can be sure that the target does not have
too toxic energy-exposition for the healthy tissue.
When the energy-absorption and the energy-distribution is heterogenic, and has fluctuations in the volume,
then the temperature measurement also has fluctuations, and we have to wait while the temperature is “equalized”
to become a steady-state condition, where the temperature can be regarded as constant. This process emphasizes
the time-parameter as important as the temperature itself in two ways: 1) Time duration and energy delivery are
linearly proportional; 2) Longer time spreads the energy, approaches equilibrium mostly by non-linear way.
Taking into consideration these parameters, complications grow with the heterogeneity of the absorbing target.
For example, in case of the nanoheating an extremely huge energy density is absorbed in a very small volume,
and the main heating effect is based on their heat-conductive environment.
For the proper dose definition, a well-defined goal (the expected effect) has to be described. The dose in this
case must be derived from various model systems (in silico, in vitro and in vivo), while clinicians apply this me-
thod at the patient’s bed. Unfortunately, the two approaches (experimental and medical) do not meet organically.
One of the multiple reasons of deviations is that the model systems are mostly treated by monotherapies, while
medical practice predominantly uses the oncologic hyperthermia as a complementary method together with one
or more “gold standards”. On the other hand, the biological variability is much more in the real treatment on
humans than in the models. During experimental trials we can investigate the basic (mainly molecular) mechan-
isms of hyperthermia, while the clinical applications are sharply connected to the various physiological reactions,
like the blood-flow, lymph-transports, and in consequence, the drug-delivery of chemotherapies, the oxygena-
tion for radio-sensitizing, etc. Some special functional parameters of the treated organ are used for control of the
in situ actions, but these methods are not at all standard enough to be used for dosing. The control of this type
gives important safety information to avoid or minimize the adverse reactions, but not appropriate to use as dose.
Some technical, mainly thermal parameters are also used to control the processes without proper dose. For ex-
ample, the highest temperature achieved is used [69], or the total heat-energy is counted [70], or the time of ex-
posure is chosen for characterization [71]. These methods are technically precise, but they are not enough to
characterize the biological response. While dosing we have to consider the complex physiological response of
the target, which drastically modifies the absorbed energy and the temperature.
The concept of oncological doses is based on the maximal tolerable dose determined by dose escalation,
measured in specific concentration of the drug (such as mg/m2), or specific energy of the radiation (such as Gy =
J/kg). The efficacy is measured mostly by the local control, the response rate, which is measured most frequent-
ly off-situ with imaging techniques. When the efficacy is measured on the survival or other long-time realization
of the development of the disease (much longer than the treatment is active), it would be too complex to verify it
as the dose, due to the fact that the interim control during the treatment process is mandatory.
The definition of the real dose must be based on the effect, which we expect by the application of the proper
dose. The dose of an action is measured by the final effect, which is made by a “tool” (such as drug concentra-
tion, radiation, temperature, etc.). The effect in our case is the selective distortion of the cancer cells. The defini-
tion of the distortion is the cell-death of malignant cells without harm (or less harm) in their healthy counterpart.
There are various possible ways of cell-killing in a wide range from necrosis to apoptosis, or autophagy, having
many variations of their “mixture”, called necroptosis, aptonecrosis, etc. [72]. These processes could happen on
avery different time-scale, depending on their regulatory pathways; and the necrotic cell-death could be com-
plexly regulated [73].
The inherent problem of dosing is that the quantity of the final result of the action of the tool is defined by the
tool itself (concentration, intensity, etc.). The way from the action to the result considered standard is too
rough—an oversimplified assumption in high complexity systems with high bio-variability.
The majority of physicians who are using heating techniques have a common view about the cellular damage,
stating its thermal behavior. However, the same forwarded energy exposition with identical energy-flow [W/m2]
can cause different energy-absorptions [74] depending on the given conditions [75] [76], the actual organ [77],
and also modified by the actual frequency [78].
The simplest thermodynamical way is of course to measure the temperature, and by the higher kinetic energy
that surmounts the energy barrier of the actual reactions. However, the heating differs in the target, even micro-

100
G. Vincze et al.

scopically, and the same temperature acts differently for the large complex chemical machinery of the cell. If the
temperature is high enough it acts for most of the possible reactions, irrespective of their state or actual needs.
Due to the overall excitations the desired selection vanishes. Energizing by temperature does not take into ac-
count the individual energy barriers of the various reactions or reaction cascades; it is an overall driving force to
react. It defines a certain probability of the effect of individual reactants. When the given reaction has the Ea
barrier height (activation energy), the reaction rate k (probability of overpassing the barrier) is proportional to
the exponential function of the ratio of the height of the barrier and the energy represented by the temperature
that can be described by the Arrhenius law
 E 
=k A exp  − a  (1)
 RG T 
where RG is a universal gas-constant (RG ≈ 8.3 [J/K/mol]). The excitation of the particles is temperature depen-
dent. The actual pre-exponential factor (A) and the Ea activation energy have to be determined on an experimen-
tal basis. The general basis of the chemical reaction-kinetics with temperature is the Arrhenius law. The ATP
synthesis is temperature dependent, also following the Arrhenius law [79].

3. Sapareto-Dewey’s Approximation of Dose of Thermal Damage


The theoretical model of the criteria of the cell-death is described by the
χ
N  →D (2)
simple reaction equation, which means the living cell N turns to (number of) dead one D by reaction rate χ. This
could be modelled by autolysis, having the linear decay equation
dC ( t )
= −χ C (t ) (3)
dt
where C ( t ) is the concentration of the living cells in t-time. The χ reaction rate could be given by the Arrhe-
nius Equation (1), so
Ea

χ = αe RG T
(4)
The thermo-dynamical measurement of necrotic hyperthermia treatments in-vitro accurately fits the Arrhenius
plot [80] [81]. The relevant reaction rate could be calculated from the slope of the survival rate by treatment
time.
Introducing the damage function
 C (0) 
Ω (t ) =
ln   (5)
 C (t ) 
It follows
dΩ ( t )
Ec

= αe RG T
(6)
dt
Knowing the relevant parameters, the thermal dose is calculable from this equation [82], as
Ec
t −
RG T (τ )
Ω (t ) =
∫αe dτ (7)
0

When the chemical or structural properties change, the value of Ec changes, too. Due to the linearity of the
Arrhenius plot and its reverse time dimension of χ, we introduce its reciprocal value as time constant [83] as
Θ =1 χ . When we have the ratio of two different time-constants as Θ (T1 ) Θ (T2 ) where T1 and T2 are close
to each other, then
(T2 −T1 )
Θ (T2 ) (T2 −T1 )  − a  Ψ T2  
Ea E Ea
RG T1T2 
− −
( 2 1) T −T
= e RGT1T=
2
 e RGT1T2  ≅ Ψ= = Ψ e  (8)
Θ (T1 )   Ψ T1
 
 

101
G. Vincze et al.

The thermal damage has a characteristic graph in dependence of 1/T as usually plotted by the Arrhenius con-
ditions
Ea
1 −
1 E 1
α e RGT → ln   =
= ln α − a (9)
Θ Θ RG T
In case of components of living materials (like proteins, cells, tissues) the ln(A) is approximated from the ex-
periments by linear dependence
α ξ Ea + ζ
ln= (10)
where ξ = 0.38 and ζ = −9.36 [84], or in other publication ξ = 3.832 and ζ = 10.042 [84] [85].
So the characteristic time is
 1 
ln (=
Θ)  − ξ  Ea − ζ (11)
 RG T 
Comparing the thermal cell damages to each other, we choose treatments made on T1 temperature by t1, time
and other one on T2 temperature by t2 duration. According to Equation (7) the thermal damage functions are
Ea
− t1
Ωt ( t1 , T1 )= α e RG T1
t1 =
Θ (T1 )
Ea
(12)
− t2
Ωt ( t2 , T2 )= α e RG T2
t2 =
Θ (T2 )
We consider two treatments thermally equal, when their thermal damages are equal. We can choose equiva-
lent times using Equation (12), when we would like to compare the effects of t1 − T1 and t2 − T2 time-temper-
ature pairs. Consequently, with the approximation in Equation (8), we get
t1 t Θ (T2 )
= 2 → t2 =t1 =t1Ψ T2 −T1 (13)
Θ (T1 ) Θ (T2 ) Θ (T1 )
If the reference-time and corresponding temperatures are tr and Tr respectively, then the iso-effective equiva-
lent time, which is necessary at the T-temperature would be
 Ea − a 
E
RG Tr2 
tr −
t= Θ (T ) = tr Ψ Tr −T Ψ = e
RG Tr T
≈e  (14)
Θ (Tr )  
When we choose t2 = tr as reference time at temperature T2 = Tr , we get a simple equation for isodose with
tr − Tr pair when we use t − T in actual treatment, according to Equation (13)
∆T
T −Tr
t = tr Ψ = QΨ Tr
where Q = tr Ψ Tr ≅ const. (15)
where ∆T = T − Tr . In this way, the equivalent time depends on the relative temperature difference by a pow-
er-law
 ∆T 
ln ( t ) =
ln ( Q ) +   ln ( Ψ ) (16)
 Tr 
In consequence of this tr reference choice, we can introduce a dose unit; when the heating is time-dependent,
summarizing all the intervals regarded as constant temperature, using steady-state approximation. This cumula-
tive value as “cumulative equivalent minutes” (CEM) is in steady-state
n
Tr −T ( ti )
=
CEM ∑ ti Ψ (17)
i =0

where ti are the times when the corresponding T(ti) regarded as constant. In a continuous change of the tempera-
ture, the sum is transformed to an integral

102
G. Vincze et al.

t t ∆T (τ )
Tr −T (τ )
CEM =∫ dτ Ψ =Q ∫ dτ Ψ Tr
(18)
0 0

where the treatment time t is conventionally measured in minutes. The general equivalent time CEM in Equation
(18) does not fix the reference for one definite cell-death, it is general for all the cases when the Arrhenius
process is valid.
When the activation energy is constant, the Arrhenius plot is linear by the reciprocal of the temperature.
However, when a drastic new reaction or phase transition happens the activation energy changes and the deriva-
tive of the Arrhenius curve is modified by the thermal load with increasing temperature. In this case, the anyway
linear dependence of the logarithm of reaction-rate to 1/T breaks, the slope of the line changes, and a kink occurs
on the Arrhenius plot [83]. When the transition is irreversible, the modified activation energy remains characte-
ristic in the temperatures, when the curve had another derivative anyway, establishing the basic of the step-down
heating [80]. In consequence of the kinked sequentially linear dependence the temperature of the time-constant
could also be easily plotted [83]. When one of the conditions of the 273 & T2 − 273 ≥ Tk or T1 − 273 &
T2 − 273 < Tk , [where Tk is the temperature (in Celsius units) T1-where the kink (Ea1 ↔ Ea2 transition) occurs]
relations are valid, we have
 − R ETa1T
e G 1 2 if T ≥ Tk Ψ1 if T ≥ Tk
=Ψ =  (19)
Ψ 2 if T < Tk
Ea 2
 − RGT1T2
e if T < Tk
The step-function form of Ψ is consequence of the kink measured in the Arrhenius plot at temperature Tk, [K].
Classic hyperthermia had chosen for standardization this t43 point. Conventionally, the value of Ψ is noted R in
this special necrosis-based standardization. By this choice, the reference point was definitely fixed as the ne-
crotic threshold in the special in vitro experiments [86]. In most cases of thermal necrotic cell-death, approved
mostly in in vitro experiments Tk = 316 K = 43˚C and Ψ1 = 0.5, Ψ2 = 0.25 [80], showing there is as large reduc-
tion as almost 1/3 of the activation-energy above this point [87] (Ψ denoted with R in this special case). The in
vivo model-experiments are near to this breaking point [88], due to the fact that it is connected to a lipid-phase
transition in a cell membrane. The reference values are connected tonecrosisat T2 = 43˚C, made during a treat-
ment-time t43. The dose of the actual treatment refers on the equivalent time of the treatment on other T temper-
ature (denoted by CEM43˚C) [89]. It could be calculated as
t
43−T (τ )
CEM43C = ∫ dτ R
0
(20)
0.5 if T ≥ 43C
R=
0.25 if T < 43C
which implies Ea(<43˚C) = 273 kcal/mol and Ea(≥43˚C) = 138 kcal/mol. The kink temperature of the Arrhenius plot
could vary by samples, and complementary or pre-treatments [90]. The most likely effect causing the kink is
well to the believed lipid phase transition observed around 42.5˚C [83], but other effects modifying other essen-
tial proteins are also possible. The choice of the 43˚C for the breakpoint was supported by the value of the
blood-flow contraction threshold, which is at about 42.5˚C [91], and also, it corresponds.
However, according to the various experiments below and above the breakpoint temperature, the activation
energies do not fit to the fixed R values. One well-accepted result [92] shows Ea1 = 365 kcal/mol ≈ 1527 kJ/mol
below this point, while above Ea2 = 148 kcal/mol ≈ 620 kJ/mol. These values implicate R(<43˚C) = 0.159; R(≥43˚C) =
0.474, instead of R(<43˚C) = 0.25; R(≥43˚C) = 0.5, respectively. The error is significantly robust (~36%), below the
breakpoint, showing that the non-necrotic damage cannot be described accurately with the classic CEM43˚C
dose.

4. Generalized Dose
The Arrhenius picture is useful for various heating induced changes in tissues and in physiological phenomena
[86]. The measured parameters in these biologically quite high temperatures are remarkably higher than those of

103
G. Vincze et al.

the simple chemical processes.


The cell-death could be performed by various parallel ways. Keeping the standard Arrhenius-based Henri-
que-Moritz model [93], we assume that all the cell-damages are necrotic, and could be modelled by parallel,
dominantly irreversible chemical reactions. However, there is a robust cellular reparation mechanism, which
blocks the cell-death in part of the cells. These cells are able to recover their damaged proteins by reparation
(mainly HSP chaperones are active in this effect), and survive the thermo-electro attack. Even a part of these
cells could become heat-resistant [94].
There are various kinds of the cell-deaths, having a huge variation of the activation energy, so the linear Arr-
henius plot with one single straight line and one breakpoint on it is too idealistic [95]. In most of the cases, the
thermal effects over the threshold are non-reversible. Such an obvious case is the burning (temperature induced
necrosis), which is sensed before it happens, the threshold for discomfort is 10 - 100 times lower than a thermal
dose for necrosis [96]. There is often not enough oxygen to accommodate the increased metabolic rate, resulting
in hypoxia [97] and anaerobe metabolism, producing lactate [98] and cell destruction by acidosis. As a conse-
quence, the concept of the irreversible phase-transition was developed and the treatment protocol became a
step-down heating [99]. This method is supposed to have an irreversible phase transition at 42.5˚C, and after
first overcoming this threshold, the treatment could be continued of a lower temperature, because the actual dis-
tortion (lowering the activation energy) is effective from that moment.
However, the definite phase-transition temperature (Arrhenius kink) changes by the chemotherapies [90], and
it strongly depends on the heating dynamism (slow and rapid) [100] and on the pre-heating conditions as well.
These facts predict a complex tissue dependent phase-transition (better to tell a chemical reaction); the drug me-
tabolism and the transition dynamism are definitely involved.
The above described dose idea does not cover all cell-damage processes. Ea could vary by the actual effects,
having not only a simple, immediate necrosis. In a simple case when the electromagnetic heating is applied, we
may suppose a deviation of the effects on at least two different groups; the dominant thermal changes, which
depend only on the absorbed energy (SAR) irrespective the source of the energy delivery. Another part of the
effect could depend on the mode of how the energy was delivered, that is, the actual electro-magnetic field,
which is the source of the interactive forces, could make special effects on the ionic charges and dipoles which
are the constructive elements of the biomatter. These effects are thermally induced, but not necessarily thermal.
They are behaving at least as phase-transition of first order, having so called “latent heat”. This means that after
reaching the transition temperature that value does not change until the transition process is completed. In this
interval the temperature will be independent from the pumped in SAR value. In this simplest case, when we di-
vide the cause of the cell-death on the purely thermal and non-thermal but thermally induced components, the
parallel reactions could be described as follows
t

k1

A At+ 
kt
→ At
k−t 1
←
n
(21)

k1
→ +
A n
A → An
n
kn

←
k−1

where A is the cell treated complexly, and Ai+ , ( i = t , n ) are their activated (transition) state, the purely thermal
component noted by subscript “t”, while the “non-thermal” with “n”, Ai , ( i = t , n ) is the death state of the cell.
The k1i , ( i = t , n ) is the transition-rate to the active state, while k−i 1 , ( i = t , n ) is transition-rate to the repaired
state, and ki , ( i = t , n ) is the transition-rate to death.
Note the “non-thermal” component is only apparently not thermal. It well depend on the heat-energy which is
needed for the chemical changes. This “latent heat” is energy associated with the energy of phase-change of the
substance and it occurs in case of every first-order phase-transition. In case of pure water the latent-heat at
melting of ice is 334 kJ/kg, while at the evaporation it is 2260 kJ/kg at 0˚C and 100˚C respectively. During of
the absorbing of the “latent heat” the temperature does not change, so it is better to use the statement of “actually
non-temperature dependent” [95] instead of the “non-thermal”, because during the absorbance process the tem-
perature remains constant. Anyway, all the “non-thermal” components have definite energy-exchange which is
thermal in the general meaning of thermodynamics.
Here, the dynamism of the processes is not included, and the time of staying in the actual state has no role.

104
G. Vincze et al.

What is probable, however, is that the electric excitation process definitely has a longer time than the thermal
one. The cross-effects are also not counted. The processes when one kind of excitation promotes the other one
are calculated only by their final death independently from the history of the process itself. We consider that the
thermal effects are dominantly necrotic, while the electrical one is dominantly necrotic, and note again that no
strict border exists between the processes, or between the thermal and electric excitation. There is a massive ap-
pearance of thermally induced electric and electrically induced thermal effects, making the complete process
complex. Applying a model of first order parallel reactions, the reaction-kinetic equations are
d [ A]
= −k1n [ A] + k−n1  An+ 
dt
(22)
d  An+ 
=k1n [ A] − k−n1  An+  − kn  An+ 
dt
Supposing the likely conditions of kn  k1n , and then the  An+  is probably stationer, so we get

d  An+ 
=k1n [ A] − k−n1  An+  − kn  An+  =0 (23)
dt
From this, the concentration of the cells in activated state is
kn
 An+  = n 1 [ A] (24)
k−1 + kn
With this, we get the following simple reaction-kinetic equation
d [ A] kk n
= − n 1
[ A] (25)
dt k +k
n
−1 n

Following this method, the second reaction of Equation (21) will be such a simple decay reaction equation
d [ A] kt k1t
= − [ A] (26)
dt k−t 1 + kt

After these calculations the cell damage could be described by the following irreversible parallel reaction
scheme

kn k1n
An
kn + k−n1

A (27)
t
kt k1
kt + k−t 1 At
which could be described by the following reaction-kinetic equations
d [ A]
− = K n [ A] + K t [ A]
dt
d [ An ]
= K n [ A]
dt
(28)
d [ At ]
= K t [ A]
dt
kn k1n kt k1t
=Kn = , K
k−n1 + kn k−t 1 + kt
t

where K n , K t would be the “apparent” reaction rates. Supposing the [ A=


n ]0 [=
At ]0 0 initial conditions, we
get the solution

105
G. Vincze et al.

[ A] = [ A]0 e−( K + K )t n t

K [ A]
=[ An ] n 0 1 − e−( K n + Kt )t 

(29)
K n + Kt
K t [ A]0
=[ At ] 1 − e − ( K n + Kt )t

K n + Kt  

From where the so-called “branching ratio” is


[ At ] = Kt (30)
[ An ] K n
This means that the concentration ratio of the death-cells depends only on the ratio of the apparent reaction
Kt
rates. When the does not depend on the temperature, then the concentration ratio in the parallel reaction
Kn
branches is constant, which means in our case that the ration of necrotic (caused by global SAR) and apoptotic
cell damage (caused by local SAR) is independent of the temperature. We suppose that the apparent reaction
rate also fulfils the Arrhenius law, then
Eai

=K i C=
ie
RG T
, ( i e, t ) (31)

where Ci is a constant, Eai is the cellular activation energy of i-th components, and R is the universal gas-con-
stant (R = 8.314 J/K/mole). Then the consequence is a fixed ratio
K t Ct
= (32)
K n Cn

Consequently, the global cell damage described by the first equation of Equation (28) has the following kinetic
equation
d [ A]  [ An ] 
E E
− a  Cn  − a
− = Ct e RGT 1 +  [=A ] C e RG T
1 +  [ A] (33)
 [ At ] 
t
dt  Ct 
where we used the branching ratio from Equation (30). Introducing the damage function as
 [ A] ( t 0 ) 
Ω (t ) =
ln 
 [ A] ( t )  (34)
 
where t0 is the starting time of the process (t0 = 0) and the a consequence of Equation (33) we get

dΩ ( t )  [ An ] 
E
− a
= Ct e RGT 1 +  (35)
dt  [ At ] 
With this, the damage function is calculable

 [A ] t
E
− a

Ω ( t ) = 1 + n  ∫ Ct e G ( ) dτ = Ω n ( t ) + Ωt ( t )
R T τ
 [A ] 
 t 0
(36)
[ An ] t C e− R T (τ ) dτ
Ea Ea
t −
RG T (τ )
Ωt ( t ) ∫ Ct e τ , Ωn ( t )
[ At ] ∫0 n
= d= G

where Ωt ( t ) is the thermal damage, and Ω n ( t ) is the “non-thermal” (but anyway thermally induced) dam-
age function. Consequently, the resultant damage function by means of the branching ratio could be expressed
by the thermal damage function

106
G. Vincze et al.

 [A ]
Ω ( t ) = Ω n ( t ) + Ωt ( t ) = Ωt ( t )  1 + n  (37)
 [A ] 
 t 

On the above basis we introduce the generalized iso-effect of the thermal dose. Treatments could be compared
by their efficacy, which has not only thermal, but “non-thermal” components, too. In this case
 [ An ]  − RGaT1
E
t
Ω ( t1 , T1 ) =
1 +  Ct e t1 =1
 [ At ]  Θ (T1 )
(38)
 [ An ]  − RGaT2
E
t
Ω ( t2 , T2 ) =
1 +  Ct e t2 =2
 [ At ]  Θ (T2 )

where the situation corresponds to the pure thermal case described in Equations (12) and (13) if the points of 1
and 2 are close to each other, and the coefficients of the exponential function are nearly equal. Consequently, the
isodose principle is identical with thermal despite of the additional (synergistic) effect of thermally induced, but
not directly temperature dependent factors.
According to Equation (38) and using the condition of the equivalence described above, the functions of
thermal damage at T − t pair of values compared to a reference pair Tr − tr are

t  [A ] t  [ A ]  Θ (T )
=  1 + n  r → t = tr  1 + n  (39)
 
Θ (T )  [ Ar ]  Θ (Tr )  [ A ]  Θ (T )
 r  r

In a cumulative approach, we get, similarly to Equation (18)


t
 [ An ]  T −T
CEM gen =∫ 1 + [ A ]  Ψ r dτ (40)
0 r 

where Ψ is a function determined by the Arrhenius law


Ea

RG Tr2
Ψ≅e (41)
When Ea and An are constants and the ∆T = T − Tr difference is not too large, then
t ∆T (τ )

CEM gen ≈ Qgen ∫ Ψ Tr


dτ (42)
0

where, Qgen is a generalized pre-factor

 [A ]
Qgen =tr 1 + n  Ψ Tr (43)
 [A ]
 r 

The general equivalent time CEMgen in Equation (40) does not fix the reference for one definite cell-death or
for definite duration of the process. The An/Ar ratio could be very high in special processes (like electroporation
[101] An/Ar ≈ 77). The cell-destroying process could be guided by very little temperature change with extra huge
thermal gradient on the plasma-membrane [102], which simply describes the full process “non-thermal”. These
effects are mostly induced by the frequency-dependent non-homogeneities in the distribution of induced and
absorbed RF E-field and specific absorption rate at cellular level [2].

5. Modulated Electro-Hyperthermia (Oncothermia)


Modulated electro-hyperthermia (oncothermia, OTM) is devoted to solve the currentproblems [95] [103]. On-
cothermia is a thermal process [104]. It uses nanoparticles (natural nanoclusters) as energy absorbers. These na-
turally presented nanoparticles (membrane clusters, rafts [105]) are non-artificial, well-studied nanoclusters in
the membranes of the cells. OTM selectively targets these nanoclusters [106]. The selection mechanism is based

107
G. Vincze et al.

on multiple effects [107] that cause effective changes in the targeted cell and in its immediate vicinity [108]. The
technical details are described elsewhere [14]. Their energy absorption induces heat in the membrane. The heat-
energy spreads all over the tumor and heats it up in an effective and well oriented way. Various complex signal
pathways of transduction networks of the selectively targeted malignant cells are excited by the heated rafts
[109], including the massive Ca2+ influx into the cytoplasm.
The apoptotic damage usually takes a longer time to be performed. Its usual visibility takes at least 24 h, and
could not be globally considered as simple Arrhenius plot, because this process is much more complex by its
chemical changes. The multiple processes that are needed for apoptosis [110] contain a cell shrinking, nucleus
condensing (pyknosis, time: 4 - 8 h), blebs on plasma-membrane, nucleus fragmenting (karyorrhexis, time: 10 -
24 h), and the appearance of apoptotic bodies (phagocyte engulf apoptotic bodies, time: 48 - 72 h). The pheno-
menon of “no return” is the release of Cytochrome C [111], which happens at least 4 h after the start of apopto-
sis with the help of outer signal pathway (oncothermia cell killing) [111]. We know it from the measurements,
that the Arrhenius plot is linear (no kink) below 42˚C, so oncothermia has to use this line for dose. However, the
Arrhenius curve is mostly measured in vitro, and the necrotic cell-death was considered as the dominant thermal
effect. The Arrhenius plot for thermally activated non-necrotic cell-killing has to describe the thermal behavior
of the “point of no return” where the process becomes irreversible and the cell is “committed to die” [111]. This
is the BAX pore formation on mitochondria and the release of Cytochrome C. We have to choose a parameter
characterizing a process of the non-necrotic cell-killing.
In case of oncothermia the physical character of the action is the electric field. This applied field increases the
temperature by:
• global absorption (general SAR), which is the overall absorbed energy of the target divided by its mass,
which is selected by impedance differences between the target and the normal tissue [112] uses certain Ca2+
influx and thermolysis [111].
This is because the thermal activation of transient receptor potentials (TRPs) has a crucial role in the apoptotic
cell-death, caused by modulated electric field [111]. However, we can assume that the synergy of the thermal
and electric effect and the induced damage function is proportional with each other. This was experimentally
proven at two temperature points (38˚C and 42˚C) [113]. Unfortunately, the exact cell-destruction mechanisms
are not known in both classical hyperthermia and oncothermia cases, but the possible proportion can lead us to
the oncothermia dose.
In cases of the modulated electrohyperthermia studies, the concentrations of the dead cells by thermal damage
is [At], and the concentration of the dead cells made by electric damage is [Ae], then the branching ratio by the
experiments [112] is

[ Ae ] ≈ 2 (44)
[ At ]
Using the Equations (37) and (44) we get
Ω ( t ) =Ω
3 t (t ) (45)

The combined thermal and electric effects have three times more cell distortion than the thermal has alone.
The selective and effective cell destruction makes a new kind of hyperthermia in oncology possible. This new
treatment could use the definite electric and thermal in homogeneities of the tumor to kill effectively the can-
cer-cells without hurting their healthy vicinity. This selective SAR process causes the strong synergy between
the direct thermal and indirect thermal (special electric field absorption) processes [113]. The thermal effect in
this case is different than in the classical hyperthermia heating. In the conventional approach the goal is the ho-
mogeneous temperature all over the tumor, while according to the cellular selectivity, oncothermia is not based
on the homogeneous heating. The specific absorption rate (SAR) is derived by the specialties of the cancer-cells
allowing to find them, and absorbed the SAR in that place. Due to this process the prospects of oncothermia is
huge even in those tumor cases, which are generally contraindicated for the overall heating of the mass; like
brain, eye, or other sensitive organs or inoperable cases. These sensitive places are treated with success with
oncothermia [95] [114] and even the bleeding tumors and the inflammatory cases can also be successfully
treated with the method [115].

108
G. Vincze et al.

6. Conclusion
Generalized dose has been introduced for the non-homogeneous temperature distribution including the electric
field absorption as a component of SAR. The generalization is discussed in the frame of thermal effects applied
in the Arrhenius thermal law. The dosing and efficacy of modulated electro-hyperthermia (oncothermia) are de-
scribed, and due to the non-homogeneous heating and selective targeting it is about three times higher than that
of the homogeneous classical mass-heating.

References
[1] Seegenschmiedt, M.H. and Vernon, C.C. (1996) A Historical Perspective on Hyperthermia in Oncology. In: Seegen-
schmiedt, M.H., Fessenden, P. and Vernon, C.C., Eds., Thermo-Radiotherapy and Thermo-Chemiotherapy, Springer,
Berlin Heidelberg, 3-46. http://dx.doi.org/10.1007/978-3-642-60938-1_1
[2] Roussakow, R. (2013) The History of Hyperthermia Rise and Decline. Conference Papers in Medicine, 2013, Article
ID: 428027.
[3] Baronzio, G., Jackson, M., Lee, D. and Szasz, A. (2013) Editorial of the Conference of the International Clinical
Hyperthermia Society 2012. Conference Papers in Medicine, 2013, Article ID: 690739.
[4] Szasz, A. (2013) “Quo Vadis” Oncologic Hyperthermia? Conference Papers in Medicine, 2013, Article ID: 201671.
[5] Jones, E., Thrall, D., Dewhirst, M.W. and Vujaskovic, Z. (2006) Prospective Thermal Dosimetry: The Key to Hyper-
thermia’s Future. International Journal of Hyperthermia, 22, 247-253. http://dx.doi.org/10.1080/02656730600765072
[6] von Ardenne, A. and Wehner, H. (2005) Extreme Whole-Body Hyperthermia with Water-Filtered Infrared-A Radiation.
Eurekah Bioscience Collection, Oncology, Landes Bioscience.
[7] Devrient, W. (1950) Überwärmungsbäder. Weber’s Verlag, Berlin.
[8] Fieber, H.F. (1957) Unspezifische Abwehrvorgänge, Unspezifische Therapie. Georg Thieme, Stuttgart.
[9] Lampert, H. (1948) Überwärmung als Heilmittel. Hippokrates, Stuttgart.
[10] Schmidt, K.L. (1987) Hyperthermie und Fieber. Hippokrates, Stuttgart.
[11] Heckel, M. (1990) Ganzkörperhyperthermie und Fiebertherapie—Grundlagen und Praxis. Hippokrates, Stuttgart.
[12] Heckel, M. (1992) Fiebertherapie und Ganzkörper-HT, Bessere Verträglichkeit und Effizienz durch thermoregulato-
risch ausgewogene, kombinierte Anwendung beider Verfahren. ThermoMed, No. 14, 19 p.
[13] Hildebrandt, B., Drager, J., Kerner, T., Deja, M., Löffel, J., Stroszczynski, C., et al. (2004) Whole-Body Hyperthermia
in the Scope of von Ardenne’s Systemic Cancer Multistep Therapy (sCMT) Combined with Chemotherapy in Patients
with Metastatic Colorectal Cancer: A Phase I/II Study. International Journal of Hyperthermia, 20, 317-333.
http://dx.doi.org/10.1080/02656730310001637316
[14] Wust, P., Riess, H. and Hildebrandt, B. (2000) Feasibility and Analysis of Thermal Parameters for the Whole-Body
Hyperthermia System IRATHERM. International Journal of Hyperthermia, 4, 325-339.
[15] Szasz, A., Szasz, O. and Szasz, N. (2006) Physical Background and Technical Realization of Hyperthermia. In: Baron-
zio, G.F. and Hager, E.D., Eds., Hyperthermia in Cancer Treatment: A Primer, Springer Science, Berlin, 27-59.
http://dx.doi.org/10.1007/978-0-387-33441-7_3
[16] Nishide, O.J.R. (1985) The Role of Magnetic Inductiontechniques for Producing Hyperthermia. In: Anghileri, L.J.,
Robert, J., Eds., Hyperthermia in Cancer Treatment, Vol. II, CRC Press, Boca Roton, 141-154.
[17] Nishide, S.M. and Ueno, S. (1993) A Method of Localized Hyperthermia by Using a Figure-of-Eight Coil and Short-
Circuit Rings. Proceedings of the 15th Annual International Conference of the IEEE Engineering in Medicine and Bi-
ology Society, San Diego, 31 October 1993, 1447-1448. http://dx.doi.org/10.1109/IEMBS.1993.979222
[18] Jojo, M., Murakami, A., Sato, F., Matsuki, H. and Sato, T. (2001) Consideration of Handy Excitation Apparatus for the
Inductive Hyperthermia. IEEE Transactions on Magnetics, 37, 2944-2946. http://dx.doi.org/10.1109/20.951355
[19] Dahl, O., Dalene, R. and Schem, B.C. (1999) Status of Clinical Hyperthermia. Acta Oncologica, 38, 863-873.
http://dx.doi.org/10.1080/028418699432554
[20] Senior, K. (2001) Hyperthermia and Hypoxia for Cancer-Cell Destruction. Lancet Oncology, 2, 524-525.
http://dx.doi.org/10.1016/S1470-2045(01)00470-3
[21] Wust, P., Hildebrandt, B., Sreenivasa, G., Rau, B., Gellermann, J., Riess, H., et al. (2002) Hyperthermia in Combined
Treatment of Cancer. Lancet Oncology, 3, 487-497. http://dx.doi.org/10.1016/S1470-2045(02)00818-5
[22] Szasz, A., Szasz, O. and Szasz, N. (2001) Electro-Hyperthermia: A New Paradigm in Cancer Therapy. Deutsche Zeits-
chrift für Onkologie, 33, 91-99. http://dx.doi.org/10.1055/s-2001-19447
[23] Szasz, A., Szasz, N. and Szasz, O. (2003) Hyperthermie in der Onkologie mit einem historischen Uberblick. Deutsche

109
G. Vincze et al.

Zeitschrift für Onkologie, 35, 140-154. http://dx.doi.org/10.1055/s-2003-43178


[24] Abe, M., Hiraoka, M., Takahashi, M., Egawa, S., Matsuda, C., Onoyama, Y., et al. (1986) Multi-Institutional Studies
on Hyperthermia Using an 8-MHz Radiofrequency Capacitive Heating Device (Thermotron RF-8) in Combination
with Radiation for Cancer Therapy. Cancer, 58, 1589-1595.
http://dx.doi.org/10.1002/1097-0142(19861015)58:8<1589::AID-CNCR2820580802>3.0.CO;2-B
[25] Nagy, G., Meggyeshazi, N. and Szasz, O. (2013) Deep Temperature Measurements in Oncothermia Processes. Confe-
rence Papers in Medicine, 2013, Article ID: 685264. http://dx.doi.org/10.1155/2013/685264
[26] Vargas, H.I., Dooley, W.C., Gardner, R.A., Gonzalez, K.D., Venegas, R., Heywang-Kobrunner, S.H. and Fenn, A.J.
(2004) Focused Microwave Phased Array Thermotherapy for Ablation of Early-Stage Breast Cancer: Results of Ther-
mal Dose Escalation. Annals of Surgical Oncology, 11, 139-146. http://dx.doi.org/10.1245/ASO.2004.03.059
[27] Ellis, L.M., Curley, S.A. and Tanabe, K.K. (2004) Radiofrequency Ablation of Cancer. Springer Verlag, New York,
Berlin.
[28] Goldberg, S.N., Gazelle, G.S., Solbiati, L., Livraghi, T., Tanabe, K.K., Hahn, P.F. and Mueller, P.R. (1998) Ablation
of Liver Tumors Using Percutaneous RF Therapy. American Journal of Roentgenology, 170, 1023-1028.
http://dx.doi.org/10.2214/ajr.170.4.9530053
[29] Okuma, T., Matsuoka, T., Yamamoto, A., Oyama, Y., Inoue, K., Nakmura, K. and Inoue, Y. (2007) Factors Contribut-
ing to Cavitation after CT-Guided Percutaneous Radiofrequency Ablation for Lung Tumors. Journal of Vascular and
Interventional Radiology, 18, 399-404. http://dx.doi.org/10.1016/j.jvir.2007.01.004
[30] Chhajed, P.N. and Tamm, M. (2003) Radiofrequency Heat Ablation for Lung Tumors: Potential Applications. Medical
Science Monitor, 9, ED5-7.
[31] Hall-Craggs, M.A. and Vaidya, J.S. (2002) Minimally Invasive Therapy for the Treatment of Breast Tumours. Euro-
pean Journal of Radiology, 42, 52-57. http://dx.doi.org/10.1016/S0720-048X(02)00019-0
[32] Seed, P.K. and Stea, B. (1996) Thermoradiotherapy for Brain Tumors. In: Seegenschmiedt, M.H., Fessenden, P. and
Vernon, C.C., Eds., Thermoradiotherapy and Thermochemotherapy, Vol. 2, Clinical Applications, Springer Verlag,
Telos, 159-173.
[33] Nakajima, T., Roberts, D.W., Ryan, T.P., Hoopes, P.J., Coughlin, C.T. and Trembly, S. (1993) Pattern of Response to
Interstitial Hyperthermia and Brachytherapy for Malignant Intracranial Tumor: A CT Analysis. International Journal
of Hyperthermia, 9, 491-502. http://dx.doi.org/10.3109/02656739309005047
[34] Iacono, R.P., Stea, B., Lulu, B.A., Celas, T. and Cassady, J.R. (1992) Template-Guided Stereotactic Implantation of
Malignant Brain Tumors for Interstitial Thermoradiotherapy. Stereotactic and Functional Neurosurgery, 59, 199-204.
http://dx.doi.org/10.1159/000098942
[35] Sneed, P.K., Gutin, P.H., Stauffer, P.R., Phillips, T.L., Prados, M.D., Weaver, K.A., et al. (1992) Thermoradiotherapy
of Recurrent Malignant Brain Tumors. International Journal of Radiation Oncology, Biology, Physics, 23, 853-861.
http://dx.doi.org/10.1016/0360-3016(92)90659-6
[36] Borok, T.L., Winter, A., Laing, J., Paglione, R., Sterzer, F., Sinclair, I. and Plafker, J. (1988) Microwave Hyperthermia
Radiosensitized Iridium-192 for Recurrent Brain Malignancy. Medical Dosimetry, 13, 29-36.
http://dx.doi.org/10.1016/S0958-3947(98)90109-1
[37] Moran, C.J., Marchosky, J.A., Wippold, F.J., DeFord, J.A. and Fearnot, N.E. (1995) Conductive Interstitial Hyper-
thermia in the Treatment of Intracranial Metastatic Disease. Journal of Neuro-Oncology, 26, 53-63.
http://dx.doi.org/10.1007/BF01054769
[38] Fan, M., Ascher, P.W., Schröttner, O., Ebner, F., Germann, R.H. and Kleinert, R. (1992) Interstitial 1.06 Nd:YAG La-
ser Thermotherapy for Brain Tumors under Real-Time Monitoring of MRI: Experimental Study and Phase I Clinical
Trial. Journal of Clinical Laser Medicine & Surgery, 10, 355-361.
[39] Kahn, T., Harth, T., Bettag, M., Schwabe, B., Ulrich, F., Schwarzmaier, H.J. and Mödder, U. (1997) Preliminary Expe-
rience with the Application of Gadolinium-DTPA before MR Imaging-Guided Laser-Induced Interstitial Thermothe-
rapy of Brain Tumors. Journal of Magnetic Resonance Imaging, 7, 226-229.
http://dx.doi.org/10.1002/jmri.1880070135
[40] Ara, G., Anderson, R.R. and Mandel, K.G. (1989) Irradiation of Pigmented Melanoma Cells with High-Intensity
Pulsed Radiation Generates Acoustic Waves and Kills the Cells. Lasers in Surgery and Medicine, 10, 52-59.
http://dx.doi.org/10.1002/lsm.1900100112
[41] Walser, E.M. (2005) Percutaneous Laser Ablation in the Treatment of Hepatocellular Carcinoma with a Tumor Size of
4 cm or Smaller. Journal of Vascular and Interventional Radiology, 16, 1427-1429.
http://dx.doi.org/10.1097/01.RVI.0000188755.61481.E8
[42] Pacella, C.M., Valle, D., Bizzarri, G., Pacella, S., Brunetti, M., Maritati, R., et al. (2006) Percutaneous Laser Ablation
in Patients with Isolated Unresectable Live Metastases from Colorectal Cancer: Results of a Phase II Study. Acta On-

110
G. Vincze et al.

cologica, 45, 77-83. http://dx.doi.org/10.1080/02841860500438029


[43] Wang, Y., Gonzalez, M., Cheng, C., Haouala, A., Krueger, T., Peters, S., et al. (2012) Photodynamic Induced Uptake
of Liposomal Doxorubicin to Rat Lung Tumors Parallels Tumor Vascular Density. Lasers in Surgery and Medicine, 44,
318-324. http://dx.doi.org/10.1002/lsm.22013
[44] Levy, J.G. (1994) Photosensitizers in Photodynamic Therapy. Seminars in Oncology, 21, 4-10.
[45] Torchilin, V.P. (2006) Multifunctional Nanocarriers. Advanced Drug Delivery Reviews, 58, 1532-1555.
http://dx.doi.org/10.1016/j.addr.2006.09.009
[46] Brannon-Peppas, L. and Blanchette, J.O. (2004) Nanoparticle and Targeted Systems for Cancer Therapy. Advanced
Drug Delivery Reviews, 56, 1649-1659. http://dx.doi.org/10.1016/j.addr.2004.02.014
[47] Chatterjee, D.K., Fong, L.S. and Zhang, Y. (2008) Nanoparticles in Photodynamic Therapy: An Emerging Paradigm.
Advanced Drug Delivery Reviews, 60, 1627-1637. http://dx.doi.org/10.1016/j.addr.2008.08.003
[48] Choi, J., Yang, J., Bang, D., Park, J., Suh, J.S., Huh, Y.M. and Haam, S. (2012) Targetable Gold Nanorods for Epi-
thelial Cancer Therapy Guided by Near-IR Absorption Imaging. Small, 8, 746-753.
http://dx.doi.org/10.1002/smll.201101789
[49] Jain, P.K., Huang, X., El-Sayed, I.H. and El-Sayed, M.A. (2008) Noble Metals on the Nanoscale: Optical and Photo-
thermal Properties and Some Applications in Imaging, Sensing, Biology, and Medicine. Accounts of Chemical Re-
search, 41, 1578-1586. http://dx.doi.org/10.1021/ar7002804
[50] Rand, R.W., Snow, H.D. and Brown, W.J. (1982) Thermomagnetic Surgery for Cancer. Journal of Surgical Research,
33, 177-183. http://dx.doi.org/10.1016/0022-4804(82)90026-9
[51] Matsuki, H., Satoh, T. and Murakami, K. (1990) Local Hyperthermia Based on Soft Heating Method Utilizing Tem-
perature Sensitive Ferrite-Rod. IEEE Transactions on Magnetics, 26, 1551-1553. http://dx.doi.org/10.1109/20.104442
[52] Gilchrist, R.K., Medal, R., Shorey, W.D., Hanselman, R.C., Parrott, J.C. and Taylor, C.B. (1957) Selective Inductive
Heating of Lymph Nodes. Annals of Surgery, 146, 596-606. http://dx.doi.org/10.1097/00000658-195710000-00007
[53] Jordan, A., Scholz, R., Wust, P., Faehling, H. and Felix, R. (1999) Magnetic Fluid Hyperthermia (MFH): Caner Treat-
ment with AC Magnetic Field Induced Excitation of Biocompatible Supermegnetic Nanoparticles. Journal of Magnet-
ism and Magnetic Materials, 201, 413-419. http://dx.doi.org/10.1016/S0304-8853(99)00088-8
[54] Bakht, M.K., Sadeghi, M., Pourbaghi-Masouleh, M. and Tenreiro, C. (2012) Scope of Nanotechnology-Based Radia-
tion Therapy and Thermotherapy Methods in Cancer Treatment. Current Cancer Drug Targets, 12, 998-1015.
http://dx.doi.org/10.2174/156800912803251216
[55] Jordan, A., Scholz, R., Maier-Hauff, K., Johannsen, M., Wust, P., Nadobny, J., et al. (2001) Presentation of a New
Magnetic Field Therapy System for the Treatment of Human Solid Tumors with Magnetic Fluid Hyperthermia. Jour-
nal of Magnetism and Magnetic Materials, 225, 118-126. http://dx.doi.org/10.1016/S0304-8853(00)01239-7
[56] Sperling, R.A., Gil, P.R., Zhang, F., Zanella, M. and Parak, W.J. (2008) Biological Applications of Gold Nanoparticles.
Chemical Society Reviews, 37, 1896-1908. http://dx.doi.org/10.1039/b712170a
[57] Secret, E., Smith, K., Dubljevic, V., Moore, E., Macardle, P., Delalat, B., et al. (2013) Antibody Porous Silicon Nano-
particles for Vectorization of Hydrophobic Drugs. Advanced Healthcare Materials, 40, 718-727.
http://dx.doi.org/10.1002/adhm.201200335
[58] Gordon, R.T., Hines, J.R. and Gordon, D. (1979) Intracellular Hyperthermia: A Biophysical Approach to Cancer
Treatment via Intracellular Temperature and Biophysical Alteration. Medical Hypotheses, 5, 83-102.
http://dx.doi.org/10.1016/0306-9877(79)90063-X
[59] Rabin, Y. (2002) Is Intracellular Hyperthermia Superior to Extracellular in the Thermal Sense? International Journal
of Hyperthermia, 18, 194-202. http://dx.doi.org/10.1080/02656730110116713
[60] Andocs, G., Meggyeshazi, N., Balogh, L., Spisak, S., Maros, M.E., Balla, P., et al. (2015) Upregulation of Heat Shock
Proteins and the Promotion of Damage Associated Molecular Pattern Signals in a Colorectal Cancer Model by Mod-
ulated Electrohyperthermia. Cell Stress and Chaperons, 20, 37-46. http://dx.doi.org/10.1007/s12192-014-0523-6
[61] Keisari, Y. (2013) Tumor Ablation, Effects on Systemic and Local Anti-Tumor Immunity and on Other Tumor-Mi-
croenvironment Interactions. The Tumor Microenvironment, Vol. 5, Springer, Dordrecht.
[62] Schroeder, A., Heller, D.A., Winslow, M.M., Dahlman, J.E., Pratt, G.W., Langer, R., et al. (2012) Treating Metastatic
Cancer with Nanotechnology. Nature Reviews Cancer, 12, 39-50. http://dx.doi.org/10.1038/nrc3180
[63] Qin, W., Akutsu, Y., Andocs, G., Suganami, A., Hu, X., Yusup, G., et al. (2014) Modulated Electro-Hyperthermia
Enhances Dendritic Cell Therapy through an Abscopal Effect in Mice. Oncology Reports, 32, 2373-2379.
http://dx.doi.org/10.3892/or.2014.3500
[64] Andocs, G., Meggyeshazi, N., Okamoto, Y., Balogh, L. and Szasz, O. (2013) Bystander Effect of Oncothermia. Con-
ference Papers in Medicine, 2013, Article ID: 953482. http://dx.doi.org/10.1155/2013/953482

111
G. Vincze et al.

[65] Meggyesházi, N., Andocs, G., Balogh, L., Balla, P., Kiszner, G., Teleki, I., et al. (2014) DNA Fragmentation and Cas-
pase-Independent Programmed Cell Death by Modulated Electrohyperthermia. Strahlentherapie und Onkologie, 10,
815-822. http://dx.doi.org/10.1007/s00066-014-0617-1
[66] Immunotherm (2014) Registered Trademark of Oncotherm Kft. Ref. No. 012226585.
[67] Szasz, A. and Vincze, G. (2006) Dose Concept of Oncological Hyperthermia: Heat-Equation Considering the Cell De-
struction. Journal of Cancer Research and Therapeutics, 2, 171-181. http://dx.doi.org/10.4103/0973-1482.29827
[68] Szasz, A. (2007) Hyperthermia, a Modality in the Wings. Journal of Cancer Research and Therapeutics, 3, 56-66.
http://dx.doi.org/10.4103/0973-1482.31976
[69] LeVeen, H.H., Wapnick, S., Picone, V., Folk, G. and Ahmed, N. (1976) Tumor Eradication by Radiofrequency Thera-
py. JAMA, 235, 2198-2200. http://dx.doi.org/10.1001/jama.1976.03260460018014
[70] Pettigrew, R.T., Gait, J.M., Ludgate, C.M. and Smith, A.N. (1974) Clinical Effects of Whole-Body Hyperthermia in
Advanced Malignancy. BMJ, 4, 679-682. http://dx.doi.org/10.1136/bmj.4.5946.679
[71] Johnson, H.J. (1940) The Action of Short Radio Waves on Tissues III. A Comparison of the Thermal Sensitivities of
Transplantable Tumors “in Vivo” and “in Vitro”. American Journal of Cancer, 38, 533-550.
[72] Linkermann, A. and Green, D.R. (2014) Necroptosis. The New England Journal of Medicine, 370, 455-465.
http://dx.doi.org/10.1056/NEJMra1310050
[73] Berghe, T.V., Linkermann, A., Jouan-Lanhouet, S., Walczak, H. and Vandenabeele, P. (2014) Regulated Necrosis: The
Expanding Network of Non-Apoptotic Cell Death Pathways. Nature Reviews Molecular Cell Biology, 15, 135-147.
http://dx.doi.org/10.1038/nrm3737
[74] van der Zee, J. (2005) Presentation on Conference in Mumbai. India.
http://www.google.com/#sclient=psy&hl=en&site=&source=hp&q=%22van+der+Zee%22+Mumbai+ext:ppt&btnG=G
oogle+Search&aq=&aqi=&aql=&oq=&pbx=1&bav=on
[75] Findlay, R.P. and Dimbylow, P.J. (2005) Effects of Posture on FDTD Calculations of Specific Absorption Rate in a
Voxel Model of the Human Body. Physics in Medicine and Biology, 50, 3825-3835.
http://dx.doi.org/10.1088/0031-9155/50/16/011
[76] Joo, E., Szasz, A. and Szendro, P. (2005) Metal-Framed Spectacles and Implants and Specific Absorption Rate among
Adults and Children Using Mobile Phones at 900/1800/2100 MHz. Electromagnetic Biology and Medicine, 25, 103-
112. http://dx.doi.org/10.1080/15368370600719042
[77] Wang, J.Q., Mukaide, N. and Fujiwara, O. (2003) FTDT Calculation of Organ Resonance Characteristics in an Ana-
tomically Based Human Model for Plane-Wave Exposure. Proceedings of Asia-Pacific Conference on Environmental
Electromagnetics, Hangzhou, 4-7 November, 126-129.
[78] Armstron Laboratory (1997) Radiofrequency Radiation Dosimetry Handbook. USAF School of Aerospace Medicine,
AFSC, Brooks Air Force Base. http://niremf.ifac.cnr.it/docs/HANDBOOK/chp1.htm
[79] Gillooly, J.F., Allen, A.P., Savage, V.M., Charnov, E.L., West, G.B. and Brown, J.H. (2006) Response to Clarke and
Fraser: Effects to Temperature on Metabolic Rate. Functional Ecology, 20, 400-404.
http://dx.doi.org/10.1111/j.1365-2435.2006.01110.x
[80] Lindholm, C.-E. (1992) Hyperthermia and Radiotherapy. PhD Thesis, Lund University, Malmo.
[81] Hafstrom, L., Rudenstam, C.M., Blomquist, E., Ingvar, C., Jönsson, P.E., Lagerlöf, B., et al. (1991) Regional Hyper-
thermic Perfusion with Melphalan after Surgery for Recurrent Malignant Melanoma of the Extremities. Journal of
Clinical Oncology, 9, 2091-2094.
[82] Chang, I.A. (2010) Considerations for Thermal Injury Analysis for RF Ablation Devices. The Open Biomedical Engi-
neering Journal, 4, 3-12. http://dx.doi.org/10.2174/1874120701004010003
[83] Dewey, W.C., Hopwood, L.E., Sapareto, S.A. and Gerweck, L.E. (1977) Cellular Responses to Combinations of
Hyperthermia and Radiation. Radiology, 123, 463-474. http://dx.doi.org/10.1148/123.2.463
[84] Pearce, J.A. (2012) Thermal Dose Models: Irreversible Alterations in Tissues. In: Moros, E.G., Ed., Physics of Thermal
Therapy. Fundamentals and Clinical Applications, Taylor and Francis, CRC Press, Boca Raton, 23-40.
[85] Wright, N.T. (2001) On a Relationship between the Arrhenius Parameters from Thermal Damage Studies. Journal of
Biomechanical Engineering, 125, 300-304. http://dx.doi.org/10.1115/1.1553974
[86] Sapareto, S.A. and Dewey, W.C. (1984) Thermal Dose Determination in Cancer Therapy. International Journal of
Radiation Oncology, Biology, Physics, 10, 787-800. http://dx.doi.org/10.1016/0360-3016(84)90379-1
[87] Pearce, J.A. (2009) Relationship between Arrhenius Models of Thermal Damage and the CEM 43 Thermal Dose. Pro-
ceedings of SPIE, Energy-Based Treatment of Tissue and Assessment V, 7181, Article ID: 718104.
http://dx.doi.org/10.1117/12.807999

112
G. Vincze et al.

[88] Urano, M. and Douple, E. (1994) Hyperthermia in Oncology. Vol. 4, Chemopotentiation by Hyperthermia, VSP
Utrecht, Tokyo, 173.
[89] Dewey, W.C. (1994) Arrhenius Relationships from the Molecule and Cell to the Clinic. International Journal of
Hyperthermia, 10, 457-483. http://dx.doi.org/10.3109/02656739409009351
[90] Urano, M. (1994) Thermochemotherapy: From in Vitro and in Vivo Experiments to Potential Clinical Application. In:
Urano, M. and Douple, E., Eds., Hyperthermia and Oncology, Vol. 4, VSP Utrecht, Tokyo, 169-204.
[91] Erdmann, B., Lang, J. and Seebass, M. (1998) Optimization of Temperature Distributions for Regional Hyperthermia
Based on a Nonlinear Heat Transfer Model. Annals of the New York Academy of Sciences, 858, 36-46.
[92] Lindholm, C.-E. (1992) Hyperthermia and Radiotherapy. PhD Thesis, Lund University, Malmo.
[93] Henriques, F.C. and Moritz, A.R. (1947) Studies of Thermal Injury I: The Conduction of Heat to and through Skin and
the Temperature Attained Therein. American Journal of Pathology, 23, 530-549.
[94] Watanabe, M., Suzuki, K., Kodama, S. and Sugahara, T. (1995) Normal Human Cells at Confluence Get Heat Resis-
tance by Efficient Accumulation of HSP72 in Nucleus. Carcinogenesis, 16, 2373-2380.
http://dx.doi.org/10.1093/carcin/16.10.2373
[95] Szasz, A., Szasz, N. and Szasz, O. (2010) Oncothermia—Principles and Practices. Springer, Heidelberg.
[96] Silbernagl, S. and Despopoulos, A. (2012) Taxchenatlas Physiologie. Thieme-Verlag, Stuttgart.
[97] Dewhirst, M.W., Ozimek, E.J., Gross, J. and Cetas, T.C. (1980) Will Hyperthermia Conquer the Elusive Hypoxic Cell?
Radiology, 137, 811-817. http://dx.doi.org/10.1148/radiology.137.3.7003650
[98] Vaupel, P.W. and Kelleher, D.K. (1996) Metabolic Status and Reaction to Heat of Normal and Tumor Tissue. In: See-
genschmiedt, M.H., Fessenden, P. and Vernon, C.C. Eds., Thermo-Radiotherapy and Thermo-Chemiotherapy, Vol. 1,
Biology, Physiology and Physics, Springer Verlag, Berlin, 157-176.
[99] Lindegaard, J.C. (1992) Thermosensitization Induced by Step-Down Heating. International Journal of Hyperthermia,
8, 561-582. http://dx.doi.org/10.3109/02656739209037994
[100] Hayashi, S., Kano, E., Hatashita, M., Othsubo, T., Katayama, K. and Matsumoto, H. (2001) Fundamental Aspects of
Hyperthermia on Cellular and Molecular Level. In: Kosaka, M., Sugahara, T., Schmidt, K.L. and Simon, E., Eds.,
Thermotherapy for Neoplasia, Inflammation, and Pain, Springer, Tokyo, 335-345.
http://dx.doi.org/10.1007/978-4-431-67035-3_38
[101] Weaver, J.C. and Chizmadzhev, Y.A. (1996) Theory of Electroporation: A Review. Bioelectrochemistry and Bioener-
getics, 41, 135-160. http://dx.doi.org/10.1016/S0302-4598(96)05062-3
[102] Garner, A.L., Deminsky, M., Necuales, V.B., Chashihin, V., Knizhnik, A. and Poatpkin, B. (2013) Cell Membrane
Thermal Gradients Induced by Electromagnetic Fields. Journal of Applied Physics, 113, Article ID: 214701.
http://dx.doi.org/10.1063/1.4809642
[103] Szasz, A. and Morita, T. (2012) Heat Therapy in Oncology—Oncothermia, New Paradigm in Hyperthermia. Nippon
Hyoronsha, Tokyo.
[104] Baronzio, G., Parmar, G., Ballerini, M., Szasz, A., Baronzio, M. and Cassutti, V. (2014) A Brief Overview of Hyper-
thermia in Cancer Treatment. Journal of Integrative Oncology, 3, 115. http://dx.doi.org/10.4172/2329-6771.1000115
[105] Rajendran, L. and Simons, K. (2005) Lipid Rafts and Membrane Dynamics. Journal of Cell Science, 118, 1099-1102.
http://dx.doi.org/10.1242/jcs.01681
[106] Szasz, O. and Szasz, A. (2014) Oncothermia—Nano-Heating Paradigm. Journal of Cancer Science & Therapy, 6, 117-
121. http://dx.doi.org/10.4172/1948-5956.1000259
[107] Szasz, A., Iluri, N. and Szasz, O. (2013) Local Hyperthermia in Oncology—To Choose or not to Choose? In: Huilgol,
N., Ed., Hyperthermia, InTech, Winchester, 1-82.
[108] Szasz, A., Vincze, G., Szasz, O. and Szasz, N. (2003) An Energy Analysis of Extracellular Hyperthermia. Electro-
magnetic Biology and Medicine, 22, 103-115. http://dx.doi.org/10.1081/JBC-120024620
[109] Szasz, A. (2013) Challenges and Solutions in Oncological Hyperthermia. Thermal Medicine, 29, 1-23.
http://dx.doi.org/10.3191/thermalmed.29.1
[110] Elmore, S. (2007) Apoptosis: A Review of Programmed Cell Death. Toxicologic Pathology, 35, 495-516.
http://dx.doi.org/10.1080/01926230701320337
[111] Chang, L.K., Putcha, G.V., Deshmukh, M. and Johnson Jr., E.M. (2002) Mitochondrial Involvement in the Point of No
Return in Neuronal Apoptosis. Biochimie, 84, 223-231. http://dx.doi.org/10.1016/S0300-9084(02)01372-X
[112] Szasz, A. (2014) Bioelectromagnetic Paradigm of Cancer Treatment-Oncothermia. In: Rosch, P.J., Ed., Bioelectro-
magnetic and Subtle Energy Medicine, Taylor and Francis Group, CRC Press, Boca Raton, 323-336.
[113] Andocs, G., Renner, H., Balogh, L., Fonyad, L., Jakab, C. and Szasz, A. (2009) Strong Synergy of Heat and Modulated

113
G. Vincze et al.

Electromagnetic Field in Tumor Cell Killing. Study of HT29 Xenograft Tumors in a Nude Mice Model. Strahlenthera-
pie und Onkologie, 185, 120-126. http://dx.doi.org/10.1007/s00066-009-1903-1
[114] Wismeth, C., Dudel, C., Pascher, C., Ramm, P., Pietsch, T., Hirschmann, B., et al. (2010) Transcarnial Electro-
Hyperthermia Combined with Alkylating Chemotherapy in Patients with Relapsed High-Grade Gliomas—Phase I
Clinical Results. Journal of Neuro-Oncology, 98, 395-405. http://dx.doi.org/10.1007/s11060-009-0093-0
[115] Jeung, T.S., Ma, S.Y., Yu, J. and Lim, S. (2013) Cases That Respond to Oncothermia Monotherapy. Conference Pa-
pers in Medicine, 2013, Article ID: 392480. http://dx.doi.org/10.1155/2013/392480

114
Hindawi Publishing Corporation
Conference Papers in Medicine
Volume 2013, Article ID 274687, 4 pages
http://dx.doi.org/10.1155/2013/274687

Conference Paper
Hyperthermia versus Oncothermia: Cellular Effects in
Cancer Therapy

Gyula P. Szigeti,1,2 Gabriella Hegyi,3 and Olivér Szasz4


1
Department of Physiology, University of Debrecen, Debrecen 4012, Hungary
2
Institute of Human Physiology and Clinical Experimental Research, Semmelweis University, Budapest 1094, Hungary
3
Department of Complementary and Alternative Medicine, University of Pécs, Pécs 7622, Hungary
4
Department of Biotechnics, St. Istvan University, Gödöllő 2103, Hungary

Correspondence should be addressed to Gyula P. Szigeti; szigeti.gyulapeter@gmail.com

Received 14 January 2013; Accepted 29 April 2013

Academic Editors: G. F. Baronzio, M. Jackson, and A. Szasz

This Conference Paper is based on a presentation given by Gyula P. Szigeti at “Conference of the International Clinical Hyperthermia
Society 2012” held from 12 October 2012 to 14 October 2012 in Budapest, Hungary.
Copyright © 2013 Gyula P. Szigeti et al. This is an open access article distributed under the Creative Commons Attribution License,
which permits unrestricted use, distribution, and reproduction in any medium, provided the original work is properly cited.

Hyperthermia means overheating of the living object completely or partly. Hyperthermia, the procedure of raising the temperature
of a part of or the whole body above the normal for a defined period of time, is applied alone or as an adjunctive with various
established cancer treatment modalities such as radiotherapy and chemotherapy. The fact that is the hyperthermia is not generally
accepted as conventional therapy. The problem is its controversial performance. The controversy is originated from the complica-
tions of the deep heating and the focusing of the heat effect. The idea of oncothermia solves the selective deep action on nearly
cellular resolution. We would like to demonstrate the force and perspectives of oncothermia as a highly specialized hyperthermia
in clinical oncology. Our aim is to prove the ability of oncothermia to be a candidate to become a widely accepted modality of the
standard cancer care. We would like to show the proofs and the challenges of the hyperthermia and oncothermia applications to
provide the presently available data and summarize the knowledge in the topic. Like many early-stage therapies, oncothermia lacks
adequate treatment experience and long-range, comprehensive statistics that can help us optimize its use for all indications.

1. Introduction the single temperature concept [4]. With this approach, onco-
thermia returned to the gold standards of the dose concepts in
In oncology, the term “hyperthermia” refers to the treatment medicine: instead of the parameter, which cannot be regarded
of malignant diseases by administering heat in various ways. as dose (the temperature does not depend on the volume or
Hyperthermia is usually applied as an adjunct to an already mass), oncothermia uses the energy (kJ/kg [=Gy]), like the
established treatment modality, where tumor temperatures in radiation oncology uses the same (Gy) to characterize the
the range of 40–46∘ C are aspired. Interstitial hyperthermia dosing of the treatment [5].
and whole-body hyperthermia are still under clinical inves-
tigation, and a few positive comparative trials have already
been completed. Parallel to clinical research, several aspects 2. The Concept of Hyperthermia
of heat action have been examined in numerous preclinical
studies [1–3]. The effectiveness of hyperthermia treatment is related to the
The traditional hyperthermia is controlled the only single temperature achieved during the treatment, as well as the
thermodynamic intensive parameter, with the temperature. length of treatment and cell and tissue characteristics. To
Oncothermia, which is a “spin-off ” form of the hyperthermia, ensure that the desired temperature is reached, but not
is based on the paradigm of the energy dose control, replacing exceeded, the temperature of the tumor and surrounding
2 Conference Papers in Medicine

tissues is monitored throughout the hyperthermia procedure. which may further sensitize tumor cells to hyperthermia in
The goal is to keep local temperatures under 44∘ C to avoid the sense of a positive feedback mechanism [18]. Relevant
damage to surrounding tissues and the whole body temper- pathogenic mechanisms leading to an intensified acidosis
atures under 42∘ C, which is the upper limit compatible with upon heat treatment (which is reversible after hyperthermia)
life [5]. are as follows:
(1) an increased glycolytic rate with accumulation of
lactic acid,
3. Cellular Mechanisms (2) an intensified ATP hydrolysis,
Induced by Hyperthermia (3) an increased ketogenesis with accumulation of ace-
The cellular effect of hyperthermia is more complicated [6, 7]. toacetic acid and B-hydroxybutyric acid,
Briefly, hyperthermia may kill or weaken tumor cells and is (4) an increase in CO2 partial pressures,
controlled to limit effects on healthy cells. Tumor cells, with a (5) changes in chemical equilibria of the intra- and extra-
disorganized and compact vascular structure, have difficulty cellular buffer systems, and
dissipating heat. Hyperthermia may therefore cause cancer-
ous cells to undergo apoptosis in direct response to applied (6) an inhibition of the Na+ /H+ antiporter in the cell
heat, while healthy tissues can more easily maintain a normal membrane [19, 20].
temperature. Even if the cancerous cells do not die outright, The ATP decline observed upon heat treatment is mostly due
they may become more susceptible to ionizing radiation to the following:
therapy or to certain chemotherapy drugs, which may allow
such therapy to be given in smaller doses. Intense heating (1) an increased ATP turnover rate (i.e., intensified ATP
will cause denaturation and coagulation of cellular proteins, hydrolysis). As a result of an increased ATP degra-
rapidly killing cells within the targeted tissue. A mild heat dation, an accumulation of purine catabolites has to
treatment combined with other stresses (excitation of the be expected together with a formation of H+ ions and
appropriate signal pathways) can cause cell death by apop- reactive oxygen species at several stages during degra-
tosis. dation to the final product uric acid,
The potential importance of the hyperthermia for cancer (2) a poorer ATP yield as a consequence of a shift from
treatment has been highlighted by Coffey et al. [6, 7]. Specif- oxidative glucose breakdown to glycolysis [18].
ically, the review addresses four topics: (1) hyperthermia-
induced cell killing, (2) vascular, (3) cellular and intracellular (4) Effects on Proteins That Contribute to Resistance to Other
mechanisms of thermal effects in the hyperthermia temper- Stresses, for Example, DNA Damage. At higher temperatures,
ature range, and (4) effects on proteins that contribute to inhibition of HSP-synthesis occurs above a distinct thresh-
resistance to other stresses, for example, DNA damage. old temperature. In general, the temperature, respectively,
thermal dose at which HSP-synthesis is inhibited in a given
(1) Hyperthermia-Induced Cell Killing. It has been long recog- experimental system varies between different cell types,
nized that hyperthermia in the 40–47∘ C temperature range but the respective threshold can be lowered when further
kills cells in a reproducible time- and temperature-dependent (proapoptotic) stimuli are added. As lack of HSP-synthesis is
manner. In the hyperthermic region, there are three cellular associated with exponential cell death, it is generally accepted
responses for thermal therapy: cytotoxicity, radiosensitization, that HSPs prevent cells from lethal thermal damage. Recently,
and thermotolerance [8, 9]. The intensity of cell death in an additional role has been ascribed to HSPs which should be
hyperthermia is shown as cell cycle dependence. Both S- of importance in hyperthermia as activators of the immune
and M-phase cells undergo a “slow mode of cell death” after system [21–24].
hyperthermia. Cells during G1-phase may follow a “rapid
mode of death” immediately after hyperthermia [10–12].
4. Problems with Hyperthermia
(2) Vascular. With higher heat temperatures, there is a
corresponding decrease in oxyhemoglobin saturation, and The high energy application could cause controversies: the
these changes will result in a decrease in overall oxygen high temperature burns the malignant cells, but it is missing
availability [13, 14]. This lack of oxygen will also give rise to selectivity. The healthy cells are damaged also, and the hyper-
a decrease in tumor pH and ultimately lead to ischemia and thermia starts unwanted physiological reactions as well as
cell death [15]. Normal tissues typically show a very different enlarged dissemination possibility. These conditions make
vascular response to heat, with flow essentially increasing as the hyperthermia effect not controlled.
the temperature increases [16, 17].

(3) Cellular and Intracellular Mechanisms of Thermal Effects 5. Change of Paradigm:


in the Hyperthermia: Cell Metabolism—Hypoxia, pH, ATP, The Concept of Oncothermia
and Its Consequences. Summarizing the relevant data, it can
be stated that tumor temperatures >42.5∘ C and appropriate Oncothermia technology heats nonequally, concentrating the
heating can reduce both intracellular and extracellular pH, absorbed energy to the intercellular electrolytes [25]. This
Conference Papers in Medicine 3

method creates inhomogeneous heating, microscopic tem- connections, which is also great success to save the life. The
perature differences far from thermal equilibrium. The def- built up connections could force not only the sticking
initely large temperature gradient between the intra- and together but also make bridges between the cells for infor-
extracellular liquids changes the membrane processes and mation exchange to limit the individuality and the competi-
ignites signal pathways for natural programmed cell death, tive behavior of the malignant cells. These are high efficacy
avoiding the toxic effects of the simple necrosis [25]. factors that favor oncothermia over its temperature-equi-
Oncothermia works with much less forwarded energy, by valent hyperthermia counterpart. They also produce higher
focusing energy directly on the malignant tissue using its concentration of HSPs in the outer membrane and in the
impedance selectivity even by cellular resolution. This effect extracellular matrix. The higher HSP concentration in the
is based on the low impedance of the tumor, due to its meta- vicinity of the malignant cells together with the changes of the
bolism, which is higher than that of its healthy counterpart adherent connections between the cells induces apoptosis.
[26]. For further information read the longer version of this
Based on microscopic effects, there not only the heating paper in [28].
which makes the effect but also the electric field itself has
a strong synergy with this, having significantly larger cell kil-
ling in malignancy at 38∘ C than the conventional hyperther- Acknowledgment
mia has on 42∘ C. The process is selective. The radiofrequency The authors acknowledge the experimental work and fruitful
current is choosing the “easiest” path to flow, and due to the discussions of Professor Dr. Andras Szasz, Dr. Nora Meggye-
high ionic concentration of the near neighborhood of malig- shazi, and Dr. Gabor Andocs.
nant cells, the current will be the densest at the tumor cells.
The experimental results well support this idea. In the case of
healthy cells, the load is equal for all the cells, no difference References
between the treated and control samples. When we gain the
metabolism (immortalized cells) but not yet malignant accel- [1] H. R. Moyer and K. A. Delman, “The role of hyperthermia in
optimizing tumor response to regional therapy,” International
eration, the effect is selectively higher but not significant.
Journal of Hyperthermia, vol. 24, no. 3, pp. 251–261, 2008.
However, when the malignancy is present, the cellular growth
is aggressive, and the selection becomes effective and kills the [2] H. Sahinbas, D. H. W. Grönemeyer, E. Böcher, and A. Szasz,
tumor cells without affecting the healthy ones in the cocul- “Retrospective clinical study of adjuvant electro-hyperthermia
treatment for advanced brain-gliomas,” Deutsche Zeitschrift fur
ture.
Onkologie, vol. 39, no. 4, pp. 154–160, 2007.
This electric field effect well demonstrates that the average
kinetic energy (temperature) has no decisional effect. The [3] B. B. Singh, “Hyperthermia—a new dimension in cancer treat-
main action is the targeted energy delivery, which could be ment,” Indian Journal of Biochemistry and Biophysics, vol. 27, no.
done on such low average energy as the standard healthy body 4, pp. 195–201, 1990.
temperature. [4] A. Szasz, “Physical background and technical realization of
hyperthermia,” in Locoregional Radiofrequency-Perfusional and
Wholebody Hyperthermia in Cancer Treatment: New Clinical
Aspects, G. F. Baronzio and E. D. Hager, Eds., pp. 27–59, Springer
6. Cellular Mechanisms Science; Eurekah.com, chapter 3, 2006.
Induced by Oncothermia [5] R. B. Roemer, “Engineering aspects of hyperthermia therapy,”
Annual Review of Biomedical Engineering, vol. 1, pp. 347–376,
Clinical oncothermia can induce the following cellular mech- 1999.
anisms.
[6] D. S. Coffey, R. H. Getzenberg, and T. L. Deweese, “Hyperther-
(1) Oncothermia Promotes the Programmed Cell Deaths of mic biology and cancer therapies: a hypothesis for the ‘Lance
Tumor. Detecting the double strains of DNA and measuring Armstrong effect’,” Journal of the American Medical Association,
vol. 296, no. 4, pp. 445–448, 2006.
the enzymatic labeled strain-breaks of DNA the apoptosis are
highly likely in oncothermia [27]. Consequently, the main [7] J. L. Roti, “Cellular responses to hyperthermia (40–46∘ C): Cell
effect in oncothermia is the apoptosis contrary to the con- killing and molecular events,” International Journal of Hyper-
ventional hyperthermia, which operates mainly by necrosis. thermia, vol. 24, no. 1, pp. 3–15, 2008.
Investigating the apoptosis by various methods (morphology, [8] H. H. Kampinga, J. R. Dynlacht, and E. Dikomey, “Mechanism
beta-catenin relocation, p53 expression, Connexin 43, Tunel, of radiosensitization by hyperthermia (43∘ C) as derived from
DNA-laddering, etc.), the effects are indicating the same studies with DNA repair defective mutant cell lines,” Interna-
apoptotic process. This process is nontoxic (no inflammatory tional Journal of Hyperthermia, vol. 20, no. 2, pp. 131–139, 2004.
reactions afterwards), promotes the immune reactions, and [9] A. Laszlo, “The effects of hyperthermia on mammalian cell
does not make processes against those. structure and function,” Cell Proliferation, vol. 25, no. 2, pp. 59–
87, 1992.
(2) Oncothermia Limits the Dissemination of Malignant Cell. [10] R. A. Coss, W. C. Dewey, and J. R. Bamburg, “Effects of hyper-
Oncothermia blocks the tumor cell dissemination, avoiding thermia on dividing Chinese hamster ovary cells and on micro-
their motility due to the lazy connections to the tumor. tubules in vitro,” Cancer Research, vol. 42, no. 3, pp. 1059–1071,
Oncothermia makes it by reestablishing the cellular 1982.
4 Conference Papers in Medicine

[11] K. C. Kregel, “Invited review: heat shock proteins: modifying [27] M. E. van Gijn, F. Snel, J. P. M. Cleutjens, J. F. M. Smits, and W. M.
factors in physiological stress responses and acquired thermo- Blankesteijn, “Overexpression of components of the Frizzled-
tolerance,” Journal of Applied Physiology, vol. 92, no. 5, pp. 2177– Dishevelled cascade results in apoptotic cell death, mediated by
2186, 2002. 𝛽-catenin,” Experimental Cell Research, vol. 265, no. 1, pp. 46–53,
[12] A. Westra and W. C. Dewey, “Variation in sensitivity to heat 2001.
shock during the cell-cycle of Chinese hamster cells in vitro,” [28] G. Hegyi, G. P. Szigeti, O. Szasz, and A. Szasz, “Hyperthermia
International Journal of Radiation Biology and Related Studies versus Oncothermia: cellular effects in cancer therapy,” Evi-
in Physics, Chemistry & Medicine, vol. 19, pp. 467–477, 1971. dence-Based Complementary and Alternative Medicine, vol.
[13] K. Iwata, A. Shakil, W. J. Hur, C. M. Makepeace, R. J. Griffin, and 2013, Article ID 672873, 12 pages, 2013.
C. W. Song, “Tumour pO2 can be increased markedly by mild
hyperthermia,” British Journal of Cancer, vol. 74, supplement 27,
pp. S217–S221, 1996.
[14] C. A. Vidair and W. C. Dewey, “Two distinct modes of hyper-
thermic cell death,” Radiation Research, vol. 116, no. 1, pp. 157–
171, 1988.
[15] B. Gyldenhof, M. R. Horsman, and J. Overgaard, “Hyper-
thermia-induced changes in the vascularity and histopathology
of a murine tumour and its surrounding normal tissue,” in
Hyperthermic Oncology, C. Franconi, G. Arcangeli, and R.
Cavaliere, Eds., vol. 2, pp. 780–782, Tor Vergata, Rome, Italy,
1996.
[16] P. Vaupel, F. Kallinowski, and P. Okunieff, “Blood flow, oxy-
gen and nutrient supply, and metabolic microenvironment of
human tumors: a review,” Cancer Research, vol. 49, no. 23, pp.
6449–6465, 1989.
[17] P. W. Vaupel, “Effects of physiological parameters on tissue
response to hyperthermia: new experimental facts and their
relevance to clinical problems,” in Hyperthermia Oncology, E. W.
Gerner and T. C. Cetas, Eds., pp. 17–23, Tucson Arizona Board
of Regents, Tucson, Ariz, USA, 1993.
[18] P. W. Vaupel and D. K. Kelleher, “Pathophysiological and vas-
cular characteristics of tumours and their importance for hyper-
thermia: heterogeneity is the key issue,” International Journal of
Hyperthermia, vol. 26, no. 3, pp. 211–223, 2010.
[19] A. Szentgyorgyi, Electronic Biology and Cancer, Marcel Dek-
kerm, New York, NY, USA, 1998.
[20] P. Vaupel and D. K. Kelleher, “Metabolic status and reaction to
heat of normal and tumor tissue,” in Thermoradiotherapy and
Thermochemotherapy, M. H. Seegenschmiedt, P. Fessenden, and
C. C. Vernon, Eds., vol. 1, pp. 157–176, Springer, New York, NY,
USA, 1995.
[21] B. Hildebrandt, P. Wust, O. Ahlers et al., “The cellular and mole-
cular basis of hyperthermia,” Critical Reviews in Oncology/
Hematology, vol. 43, no. 1, pp. 33–56, 2002.
[22] H. Kai, M. Ann Suico, S. Morino et al., “A novel combination of
mild electrical stimulation and hyperthermia: general concepts
and applications,” International Journal of Hyperthermia, vol. 25,
no. 8, pp. 655–660, 2009.
[23] S. Lindquist, “The heat-shock response,” Annual Review of Bio-
chemistry, vol. 55, pp. 1151–1191, 1986.
[24] T. Torigoe, Y. Tamura, and N. Sato, “Heat shock proteins and im-
munity: application of hyperthermia for immunomodulation,”
International Journal of Hyperthermia, vol. 25, no. 8, pp. 610–
616, 2009.
[25] G. Andocs, H. Renner, L. Balogh, L. Fonyad, C. Jakab, and A.
Szasz, “Strong synergy of heat and modulated electromagnetic
field in tumor cell killing,” Strahlentherapie und Onkologie, vol.
185, no. 2, pp. 120–126, 2009.
[26] G. Andocs, O. Szasz, and A. Szasz, “Oncothermia treatment of
cancer: from the laboratory to clinic,” Electromagnetic Biology
and Medicine, vol. 28, no. 2, pp. 148–165, 2009.
Journal of
Obesity

Gastroenterology The Scientific Journal of Journal of

Hindawi Publishing Corporation


Research and Practice
Hindawi Publishing Corporation
World Journal
Hindawi Publishing Corporation
Diabetes Research
Hindawi Publishing Corporation
Oncology
Hindawi Publishing Corporation
http://www.hindawi.com Volume 2013 http://www.hindawi.com Volume 2013 http://www.hindawi.com Volume 2013 http://www.hindawi.com Volume 2013 http://www.hindawi.com Volume 2013

International Journal of
Evidence-Based
Complementary and
Endocrinology Alternative Medicine
Hindawi Publishing Corporation
Hindawi Publishing Corporation Volume 2013 http://www.hindawi.com Volume 2013
http://www.hindawi.com

BioMed Research
International PPAR
Submit your manuscripts at Research
http://www.hindawi.com

Hindawi Publishing Corporation Hindawi Publishing Corporation


http://www.hindawi.com Volume 2013 http://www.hindawi.com Volume 2013

Clinical & MEDIATORS of

INFLAMMATION
Developmental
Immunology

Computational and
Oxidative Medicine and Mathematical Methods Journal of
Cellular Longevity
Hindawi Publishing Corporation
Hindawi Publishing Corporation
in Medicine
Hindawi Publishing Corporation
Ophthalmology
Hindawi Publishing Corporation
http://www.hindawi.com Volume 2013
Hindawi Publishing Corporation Volume 2013 http://www.hindawi.com Volume 2013 http://www.hindawi.com Volume 2013 http://www.hindawi.com Volume 2013
http://www.hindawi.com

ISRN ISRN ISRN ISRN ISRN


AIDS Biomarkers Addiction Anesthesiology Allergy
Hindawi Publishing Corporation Hindawi Publishing Corporation Hindawi Publishing Corporation Hindawi Publishing Corporation Hindawi Publishing Corporation
http://www.hindawi.com Volume 2013 http://www.hindawi.com Volume 2013 http://www.hindawi.com Volume 2013 http://www.hindawi.com Volume 2013 http://www.hindawi.com Volume 2013
-PENYULUHAN KESEHATAN-
-TENTANG DEMAM-
Untuk Memenuhi Tugas Akhir Ujian Komprehensif
Jenjang Pendidikan Diploma III Keperawatan

Disusun oleh :
Hendri Priyanto
A01301757
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH GOMBONG
PROGRAM STUDI DII KEPERAWATAN 2016
-PENG ERTIAN DEMAM-

Demam bisa merupakan suatu


gejala penyakit atau infeksi dimana
ketika kondisi otak membatasi suhu di
atas pengaturan normal yaitu di atas
380C.
Suhu tubuh yang normal adalah
antara

36ºC sampai 37ºC.

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH GOMBONG


PROGRAM STUDI DII KEPERAWATAN 2016
-PENYEBAB DEMAM-
1. Adanya proses infeksi
2. Terpajan pada lingkungan
yang panas dalam waktu yang lama
3. Olah raga atau aktivitas yang berlebihan
4. Menurunnya kemampuan untuk
berkeringat.
5. Penyakit atau trauma
6. Reaksi imun.
1 2

3 4 5 6
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH GOMBONG
PROGRAM STUDI DII KEPERAWATAN 2016
TANDA DAN GEJALA DEMAM
 Taki kardi
 pusing
 menggigil
 peningkatan
suhu tubuh
 kehilangan
nafsu makan

Dehidrasi, Diare dan muntah-muntah,


Batuk-batuk,
Badan lemah dan nyeri otot,
Bahkan kejang-kejang.

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH GOMBONG


PROGRAM STUDI DII KEPERAWATAN 2016
DAMPAK DEMAM

Peningkatan resiko dehidrasi Kemungkinan bisa Demam di atas 420C bisa menyebabkan
(kekurangan cairan tubuh) kekurangan oksigen. kerusakan saraf.

Kejang Demam
lemas Nyeri Otot Sakit Kepala Menurunnya Nafsu Makan

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH GOMBONG


PROGRAM STUDI DII KEPERAWATAN 2016
-CARA PENANGANAN DEMAM DIRUMAH-

Batasi aktifitas penderita yang demam dengan


cukup istirahat

Pemberian Kompres Hangat

Atur suhu ruangan lebih dingin,


misalnya membuka jendela.

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH GOMBONG


PROGRAM STUDI DII KEPERAWATAN 2016
Lanjutan..........

Memberikan Banyak Minum Dan Memberikan Minuman Kesukaan Seperti Sari Buah, Minuman Ion, Juz, Teh Manis, Air Susu, Air Limun, Dll.

Ganti baju yang basah akibat keringat dengan baju tipis lakukan terapi aktifitas bermain di tempat tidur seperti mewarnai, atau tidur
ditemani orang tua.

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH GOMBONG


PROGRAM STUDI DII KEPERAWATAN 2016
PENCEGAHAN DEMAM

Makan makanan yang bersih dan sehat


Pembuangan sampah
Jaga kondisi kesehatan lingkungan. dan kotoran manusia pada
tempatnya.

Pemberantasan lalat
seperti dengan kipas angin, lem lalat,
Jangan biasakan anak jajan sembarangan penyediaan air minum yang memenuhi syarat.
lilin, plastik bening yang diiisi air,
jeruk lemon, apel, atau gunakan obat
atau semprotan pembasmi serangga
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH GOMBONG
PROGRAM STUDI DII KEPERAWATAN 2016
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH GOMBONG
PROGRAM STUDI DII KEPERAWATAN 2016
2. Terpajan pada lingkungan
yang panas dalam waktu yang lama
LIFLET APA ITU DEMAM ? 3. Olah raga atau aktivitas yang berlebihan
4. Menurunnya kemampuan untuk
TENTANG DEMAM berkeringat.
5. Penyakit atau trauma
6. Reaksi imun.

Demam bisa merupakan suatu


gejala penyakit atau infeksi dimana ketika TANDA DAN GEJALA DEMAM
kondisi otak membatasi suhu di atas
Meliputi :
pengaturan normal yaitu di atas 380C.
Suhu tubuh yang normal adalah antara 1. Taki kardi
2. Pusing
36ºC sampai 37ºC.
3. Menggigil
4. Peningkatan suhu
tubuh
APA PENYEBAB DEMAM ? 5. Menurunnya
nafsu makan
Disusun oleh :
6. Dehidrasi,
Hendri Priyanto 1. Adanya proses infeksi
7. Diare dan
muntah-muntah,
8. Batuk-batuk,
9. Badan lemah
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan 10. nyeri otot,
Muhammadiyah Gombong 11. Bahkan kejang-
Program Studi DIII Keperawatan kejang.
2016
ion, juz, teh manis, air susu, air c. Pembuangann sampah dan kotoran
limun, dll. manusia pada
g tempatnya.

DAMPAK DARI DEMAM d. Ganti baju yang basah akibat d. Makan makanan yang bersih dan
sehat
1. Peningkatan resiko dehidrasi e. Jangan biasakan anak jajan
(kekurangan cairan tubuh) sembarangan
2. Kemungkinan bisa
kekurangan oksigen
3. Demam di atas 420C bisa menyebabkan
kerusakan saraf.
4. Kejang Demam keringat dengan baju tipis
5. Lemas e. Atur suhu ruangan lebih dingin
6. Nyeri Otot Sakit Kepala f. Pemberantasan lalats seperti
misalnya membuka jendela.
7. Menurunnya Nafsu Makan f. lakukan terapi aktifitas bermain di dengan kipas angin, lem lalat, lilin,
tempat tidur seperti mewarna, atau plastik bening yang diiisi air, jeruk

CARA PENANGANAN DEMAM tidur ditemani orang tua. lemon, apel dan cengkeh, atau
gunakan obat atau semprotan
DIRUMAH mencakup: pembasmi sersing
a. Pemberian kompres hangat PENCEGAHAN DEMAM
b. Batasi aktifitas dengan cukup
istirahat. a. Jaga kondisi kesehatan lingkungan.

c. Cegah dehidrasi (kekurangan


Cairan) dengan memberikan banyak
minum dan memberikan minuman b. penyediaan air minum yang
kesukaan seperti sari buah, minuman memenuhi syarat.

Anda mungkin juga menyukai