Anda di halaman 1dari 9

ISSN 2337-6686

ISSN-L 2338-3321

KAJIAN ESTETIKA DAN REALISME SOSIALIS


TIGA PATUNG MONUMEN (PATUNG SELAMAT DATANG,
PEMBEBASAN IRIAN BARAT DAN DIRGANTARA)
ERA SOEKARNO DI JAKARTA

Dianthus Louisa Pattiasina


Fakultas Seni Rupa Institut Kesenian Jakarta
E-mail: dianthuslouisa@yahoo.com

Abstrak: Tiga patung monumen; Patung Selamat Datang, Pembebasan Irian Barat dan Dirgantara di ibukota Jakarta ciptaan pematung Edhi
Sunarso yang digagas oleh Soekarno dianggap mengawali periode pertumbuhan seni patung Indonesia. Ketiga karya seni patung monumen
ini dianggap dipengaruhi serta mengusung konsep Realisme sosialis yang berkembang di tahun enampuluhan dan merupakan konsep berkesenian
yang diusung oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) serta disebarluaskan melalui Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) yang didukung oleh
pemerintah masa itu. Tujuan penulisan makalah ini untuk membahas: (1) ide dasar tiga patung monumen; Selamat Datang, Pembebasan Irian
Barat dan Dirgantara, karya seni pematung Edhi Sunarso, (2) asumsi mengenai pengaruh realisme sosialis terhadap tiga patung monumen
dalam estetika bentuk ekspresinya. (3) konstruksi ketiga patung tersebut dan kaitannya dengan citra bangsa Indonesia. Metoda yang digunakan
adalah kajian kepustakaan dengan pendekatan deskriptif, eksploratif. Dapat disimpulkan bahwa: (1) Pematung Edhi Sunarso berhasil mewujudkan
ide Bung Karno dengan kualitas estetika yang menunjukkan kekuatan ekspresi bentuk (power of expression), (2) Kekuatan atau power sebagai
konsep visual tiga patung monumen tersebut secara estetika justru memberikan pengayaan dan menunjukkan ekspresi bentuk yang spesifik
sejalan dengan tujuan dan gagasannya, (3) Ketiga patung monumen tersebut merupakan Karya seni sebagai upaya untuk mendukung gagasan
terbentuknya kesetaraan citra bagi bangsa Indonesia yang mengacu pada kebanggaan berbangsa (national pride) yang menjadi simbol kejayaan
bangsa, seperti umumnya yang ada di kota-kota besar dunia.

Kata kunci: monumen, estetika, realisme sosialis, kekuatan ekpresi bentuk.

Abstract: The three sculptural monuments namely ‘Selamat Datang’ statue, ‘Pembebasan Irian Barat’ statue, and ‘Dirgantara’ statue in
Jakarta, as the creation of the sculptor Edhi Sunarso which was initiated by Soekarno are considered as the initial growth of the Indonesian
sculpture art history. These three pieces of sculptural monument considered to be affected by socialist realism concept, grown in the years
of 60’s which was the concept of artistic creativity carried out by Partai Komunis Indonesia (PKI) and disseminated by Lembaga Kebudayaan
Rakyat (LEKRA) and supported by the government at that time. The objective of this writing is to discuss: (1) the ideas and the sculptor of
the three sculptural monuments; Selamat Datang statue, Pembebasan Irian Barat statue and Dirgantara statue (2) the assumptions regarding
the influence of socialist realism against the three sculptural monuments in aesthetic forms of expression, (3) the constructions of the three
statues related to the image quality of Indonesia. The conclusions are: (1) the sculptor Edhi Sunarso successfully embodies the idea of Bung
Karno in aesthetic qualities as a form of expression (power of expression). (2) The strength as the visual concept on those three statues
aesthetically shows and provides enrichment the specific form of expression in line with the purpose and the idea. (3) The constructions of
the three statues as an artwork as an effort in accordance to support the idea of image equality for Indonesia which refers to national pride
and was also as a symbol of national triumph which usually build in big cities of the world.

Key words: monument, aesthetic, socialist realism, power of expression.

PENDAHULUAN Dirgantara, tersebut tampak tegar dengan penggambaran


Latar belakang penulisan makalah ini adalah karakter militan yang tangguh, serta mengobarkan
keberadaan tiga buah patung monumen yaitu Patung semangat perjuangan. Wujud patung umumnya figuratif,
Selamat Datang, Patung Pembebasan Irian Barat dan menampilkan sifat-sifat keagungan serta kemegahan,
Patung Dirgantara. Hal ini merupakan sebuah fenomena sehingga dikatakan sebagai karya patung monumental.
yang tampil sebagai penggambaran jiwa pada zaman Kehadiran patung-patung figuratif ini dengan skala besar
pasca kemerdekaan Indonesia. Tujuan adanya ketiga yang ditempatkan di ruang terbuka dalam struktur kota
patung tersebut untuk memberi makna pada sebuah yang strategis pada masa itu, secara estetika memberi
peradaban bangsa serta nilai-nilai kebesaran suatu negara warna baru serta mendorong perkembangan seni patung
yang baru merdeka. Wujud ketiga sosok patung Selamat Indonesia.
Datang, Patung Pembebasan Irian Barat dan Patung Ketiga karya seni hasil tangan pematung Edhi

Jurnal Ilmiah WIDYA 53 Volume 2 Nomor 1 Maret-April 2014


Kajian Estetika dan Realisme Sosialis Tiga Patung Monumen (Patung Selamat Datang,
Dianthus Louisa Pattiasina, 53 - 61 Pembebasan Irian Barat dan Dirgantara) Era Soekarno di Jakarta

Sunarso yang mewarnai ibukota Jakarta tersebut adalah karya seni individual seniman dan tidak dipengaruhi oleh
wujud gagasan Presiden Soekarno, yang tampil dalam kepentingan pihak lain. Berbeda dengan patung yang
kesatuan unsur-unsur dan prinsip-prinsip estetis dengan dibuat berdasarkan pesanan, tentunya melibatkan pihak
fungsi sosial yang mengangkat aspek ideologi politik pemesan dalam hal bentuk ekspresinya. Seperti pada
pada masa sesudah kemerdekaan di era tahun 60 an. Pada patung monumen, umumnya mempunyai pesan tertentu
saat itu terjadi pergolakan politik yang mempengaruhi dan dijadikan simbol peringatan suatu peristiwa. Konsep
seluruh aspek sosial budaya masyarakat. Pemerintahan bentuk patung monumen mengusung sebuah gagasan dan
Soekarno dengan konsep pemersatu bangsa melahirkan tujuan yang mengandung nilai aspek fungsi sosial berupa
sistem Demokrasi Terpimpin untuk memperbaiki situasi deskripsi sosial maupun ekspresi ideologi politik.
kondisi sosial ekonomi masyarakat saat itu. Pada masa Dalam perkembangan seni patung modern Indonesia
itulah terdapat dua kubu yang saling bertentangan dan diketahui berbagai konsep bentuk serta gagasan individual
memilahkan hasil karya kreatif seniman. Kubu pertama dituangkan untuk mewujudkan karya-karya patung oleh
di bawah Lekra, yaitu organisasi kesenian yang berinduk beberapa seniman. Perwujudan bentuk-bentuk patung
pada Partai Komunis Indonesia (PKI) dan sangat monumen kemudian mengisi masa-masa awal
berpengaruh, mengusung konsep seni realisme sosialis
kemerdekaan sebagai periode awal pertumbuhan seni
dengan slogan “seni untuk rakyat”. Kubu kedua kelompok
patung modern Indonesia. Pembangunan patung monumen
Manifesto Kebudayaan, terdiri dari seniman-seniman
pasca perjuangan kemerdekaan terjadi antara tahun 1959
indepeden dengan karya seni yang dianggap kebarat-
sampai dengan tahun 1967. Jim Supangkat (1992; 46)
baratan dan borjuis. Munculnya kubu yang sangat
menguraikan bahwa pembangunan patung-patung
berpengaruh pada masa itu dengan konsep realisme sosialis
monumen ini terlaksana karena campur tangan pemerintah
diasumsikan mempengaruhi pula konsep bentuk karya-
dan karena adanya kedekatan antara Presiden Soekarno
karya seni patung monumen. Di samping peran dominan
dengan para seniman. Soekarno dikenal sebagai pencinta
Soekarno yang mendorong semangat rakyat dengan
seni dan diakui berhasil memadukan gagasan
menuangkan gagasan perjuangan melalui karya-karya
perjuangannya ke dalam karya seni patung. Kedekatan
visual tersebut.
Edhi Sunarso dengan Soekarno terungkap dan
Tujuan penulisan makalah ini untuk membahas: (1)
menampakkan ada kesepahaman dalam hal konsep bentuk
Ide dasar tiga patung monumen; Selamat Datang,
Pembebasan Irian Jaya dan Dirgantara karya seni pematung patung antara kedua tokoh ini. Kedekatan ini merupakan
Edhi Sunarso (2) asumsi mengenai pengaruh ideologi dasar terwujudnya gagasan besar Soekarno sebagai karya
realisme sosialis terhadap perubahan konsep bentuk seni monumental di Jakarta. Bung Karno tahu untuk
penciptaan tiga patung monumen karya Edhi Sunarso membedakan antara kesenangan dan selera pribadi serta
dalam estetika bentuk ekspresinya. (3) konstruksi ketiga sangat paham dengan proporsi bentuk.
patung dan kaitannya dengan citra bangsa Indonesia. Patung-patung peninggalan pemerintahan Soekarno
Metode penelitian dilakukan melalui kajian pustaka disebut sebagai karya seni monumental, karena
dengan pendekatan kualitatif menggunakan cara dekripsi mewujudkan kekuatan perjuangan dalam rangka
analisis. Pendekatan kualitatif dimaksud agar dapat membangun rasa kebanggaan dan kebangsaan (national
memahami dan menafsirkan makna dalam gejala sosial pride) bagi bangsa dan tanah air Indonesia. Soekarno
yang diteliti. melihat pentingnya membangun jati diri bangsa. Menurut
Soekarno bangunan monumental yang merepresentasikan
PEMBAHASAN pandangan hidup masyarakat dan karakter bumi Indonesia,
Gagasan dan Ideologi merupakan salah satu pilar penting untuk mendukung
Patung dengan fungsi ekspresi pribadi menghasilkan usaha tersebut (Taufik Adi Susilo, 2008:186).

Jurnal Ilmiah WIDYA 54 Volume 2 Nomor 1 Maret-April 2014


Kajian Estetika dan Realisme Sosialis Tiga Patung Monumen (Patung Selamat Datang,
Dianthus Louisa Pattiasina, 53 - 61 Pembebasan Irian Barat dan Dirgantara) Era Soekarno di Jakarta

Keagungan serta kemegahan yang ditampilkan secara Sanggar Pelukis Rakyat, sebuah sanggar yang didirikan
visual tersebut merupakan upaya pengakuan suatu bangsa oleh Hendra Gunawan di Yogyakarta. Perjalanan berkarya
kepada dunia. para seniman Pelukis Rakyat pada awalnya hanya
Menurut Agus Sachari (2007; 24) bahwa tanda-tanda menggeluti seni lukis, lalu mengalami perkembangan
peradaban berupa artifak visual itu merupakan sebuah dengan membuat karya-karya tiga dimensi sebagai upaya
fenomena yang menjadi indikator utama terjadinya mencari bentuk lain dalam proses penciptaannya. Patung-
perubahan-perubahan di lingkungan kehidupan bangsa patung ciptaan Edhi Sunarso yang paling menonjol pada
Indonesia. Soekarno berjasa menyumbangkan dasar saat itu. Karya fenomenal ciptaannya adalah “The
peradaban bangsa melalui visualisasi gagasannya berupa Unknown Political Prisoner” atau Tahanan Poltik Tak
Dikenal, tahun 1952, meraih penghargaan public ballot
karya-karya seni ruang publik di berbagai lokasi di kota
di London.
Jakarta.
Dalam berkarya Edhi Sunarso cukup peka terhadap
Pembuatan patung monumen pada masa itu memberi
lingkungannya. Mengangkat realitas sosial di sekitarnya,
dampak positif dalam mendorong perkembangan seni
menggambarkan penderitaan rakyat akibat peperangan
patung di Indonesia. G. Sidharta Soegiyo (1992; 64)
dan memberi gambaran situasi sosial masyarakat saat itu.
menyatakan bahwa semangat ini semakin tergugah ketika
Di samping itu beberapa karya patung pribadinya
Bung Karno, presiden pertama Republik Indonesia, pada
mengambil tema kehidupan sehari-hari, mengangkat
tahun 1962 berprakarsa mendirikan patung-patung di keindahan dan kelembutan sosok wanita serta
daerah-daerah umum di Jakarta, seperti di dalam dan di menghadirkan konsep bentuk yang tidak melulu realis
depan Hotel Indonesia (patung Selamat Datang), di namun sudah dalam bentuk-bentuk yang lanjut.
Lapangan Banteng (patung Pembebasan Irian Barat) dan Edhi Sunarso adalah pribadi yang kokoh, disiplin,
di Cawang (patung Dirgantara). rendah hati, pejuang yang melahirkan karya-karya besar
Menurut Marco Kusumawijaya (2006; 197, bahwa: dan tercatat dalam sejarah, bukan hanya dalam lingkup
“ ….di masa lampau kita memiliki patron seperti Soekarno, kota Jakarta, namun bagi Indonesia. Proses penciptaan
yang memperoleh hak istimewa untuk menyambung lidah
rakyatnya, merumuskan sendiri apa yang kiranya dirasakan patung-patung monumen di ibukota Jakarta, menunjukkan
secara kolektif oleh masyarakat. Tetapi hak tersebut diperoleh kepiawaiannya dalam kemampuan pemahaman bentuk
karena kompetensinya, lepas dari aliran seni rupa yang ia
sukai, Soekarno mempunyai selera yang baik dan mendalam.“
dan proporsi, kemampuan mengolah material, media dan
teknik, serta matang dalam membaca dan menerjemahkan
gagasan Soekarno bagi konsep bentuk ciptaaanya.
Sejarah dan latar belakang Edhi Sunarso
Edhi Sunarso melaksanakan pembuatan ketiga patung
Konsep Realisme Sosialis di Indonesia
monumen didorong oleh pertanyaan Soekarno tentang
Berkembangnya Realisme Sosialis di Indonesia,
“kebanggaan berbangsa” atau “national pride”, sehingga
tidak lepas dari perkembangan sosialisme sebagai paham
ia yakin dan sanggup melaksanakannya. Tantangan berat
di tanah air. Kelompok yang menyerap gaya estetik yang
dalam membuat patung monumen tersebut adalah ia harus sedang berkembang di Eropa Timur atau blok sosialis,
menggunakan media perunggu yang belum pernah seperti gaya realisme sosialis, yang banyak dijumpai pada
dilakukanya. Namun Edhi Sunarso tidak menyerah, karya desain grafis dan karya seni rupa pada umumnya.
baginya material, media dan teknik bukan hambatan untuk Gaya estetik yang diserap dari gaya-gaya yang berkembang
berkarya. Selain gigih juga mau belajar menguasai media di Eropa Timur, khususnya negara-negara sosialis, dapat
dalam proses penciptaan karyanya. Kebanggaan berbangsa dijumpai pada berbagai monumen kota, karya seni rupa,
itulah yang menjadi dasar kekuatan untuk mewujudkan poster, karikatur, dan lambang-lambang partai politik
ketiga patung monumen di ibukota Jakarta. Menurut Agus Sachari (2007;159-162-163) bahwa
Edhi Sunarso memulai karirnya dengan melukis di kepentingan aspek ideologi politik penguasa saat itu

Jurnal Ilmiah WIDYA 55 Volume 2 Nomor 1 Maret-April 2014


Kajian Estetika dan Realisme Sosialis Tiga Patung Monumen (Patung Selamat Datang,
Dianthus Louisa Pattiasina, 53 - 61 Pembebasan Irian Barat dan Dirgantara) Era Soekarno di Jakarta

berpengaruh terhadap kehidupan sosial budaya masyarakat. mandiri serta lepas dari pengaruh ideologi politik.
Begitu pun dalam hasil produk di bidang kesenian. Realisme Sosialis sebagai konsep berkesenian di
Dikemukakan oleh Agus, simbol visual kesahajaan Indonesia merupakan doktrin dari Partai Komunis
masyarakat miskin diwujudkan dalam bentuk alat pertanian Indonesia (PKI) yang lahir tahun 1950 dan disebarluaskan
sederhana, gambar petani bercaping, gambar antrian buruh, melalui Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA).
pakaian hitam, dan beberapa organisasipun menggunakan Semboyan para seniman kala itu “seni untuk rakyat”,
lambang “palu-arit”. Kondisi demikian banyak mengilhami dimanfaatkan oleh PKI untuk propaganda ideologi politik
para karikaturis untuk merepresentasikan simbol partai. Akhir tahun limapuluhan dan awal tahun
kerakyatan. Gambar semacam ini tersebar pada media enampuluhan, LEKRA sebagai organisasi kesenian
cetak dan pamflet politik yang mengandung propaganda berperan besar mempengaruhi seniman dan mendorong
akan pentingnya paham Sosialisme di Indonesia. serta menyerukan semangat realisme sosialis dan menolak
Komunisme dicanangkan sebagai suatu ajaran, serta bisa segala bentuk kebebasan ekpresi seniman yang dianggap
jadi diserap dalam kebudayaan. Pada periode ini karya kebarat-baratan.
seni rupa kerap dipergunakan sebagai alat untuk menyerang
kelompok yang berhaluan lain. Estetika Tiga Patung Monumen; Patung Selamat
Datang, Patung Pembebasan Irian Barat dan Patung
Menurut Goenawan Mohamad (Eka Kurniawan; Dirgantara
2006; xvi) bahwa dilihat sebagai bahan sejarah sastra Estetika pada karya seni patung Patung Selamat
dan seni, juga sebagai masalah pemikiran, Realisme Datang, Patung Pembebasan Irian Barat dan Patung
Sosialis amat penting, walaupun umurnya tidak panjang. Dirgantara mencakup nilai-nilai kedalaman artistik secara
Doktrin itu berbicara tentang masanya: inilah pegangan konsep bentuk tiga dimensional, dalam penjelajahan
resmi para seniman anggota Lekra di bawah patronase seniman menggali fantasi, imajinasi, dan emosi. Hal ini
Partai Komunis Indonesia, yang merupakan organisasi merupakan paduan kecakapan mengolah material dalam
dan gerakan terkuat di kalangan seniman Indonesia antara hal bentuk ungkapan ekpresinya. Karya seni patung
akhir 1950-an sampai dengan pertengahan 1960-an. merupakan wujud bentuk tiga dimensi, sehingga dapat
Meskipun tak dapat dikatakan Realisme Sosialis telah diamati secara berkeliling dan dapat diraba. Sebagai
dan dianut secara merata di kalangan Lekra pada masa bentuk tiga dimensi terikat dengan konsep ruang baik
awal kemerdekaan Indonesia, sebetulnya berkembang indoor maupun outdoor. Konsep ruang berkaitan dengan
konsep realisme sosial (tanpa “is”) di dalam karya seni penempatan patung dan tujuan pembuatan patung tersebut.
rupa terutama di antara para seniman Yogyakarta. Patung monumen berskala besar umumnya ditempatkan
Mengusung tema kerakyatan dan diwujudkan dalam di ruang kota terbuka dan luas yang disebut sebagai ruamg
bentuk karya seni yang menampilkan sosok manusia publik. Penempatan pada ruang publik tentunya
realis. Dasar pemikirannya sebagai alat perjuangan untuk mengundang interaksi antar masyarakat penikmat dengan
membebaskan rakyat miskin dari penderitaan akibat patung sebagai elemen estetik kota. Sehingga interaksi
penjajahan. Kemiskinan dan kehidupan rakyat kecil ini dengan pengamat harus memerhitungkan jangkauan jarak
banyak mengilhami bentuk-bentuk ciptaan pada seni lukis pandang yang terukur dan ideal.
maupun seni patung. Konsep “seni untuk rakyat” inilah Tiga patung monumen diletakkan pada ketinggian
yang dianut para seniman masa itu. Salah satunya adalah dengan pedestal rata-rata berukuran 20 meter yang
pelukis Affandi, yang jauh sebelum realisme sosialis, bertujuan untuk dapat terlihat dari jarak yang cukup jauh
lukisannya dikumandangkan selalu dekat dengan tema oleh para pengguna jalan pada masa itu. Bentuk-bentuk
kerakyatan. Menurut Kasman Ks (1992; 94), sikap Affandi sosok figur manusia merupakan obyek utama yang diolah
dalam memilih tema dan gaya, adalah sikap yang bebas, oleh pematung pada tiga patung monumen tersebut.

Jurnal Ilmiah WIDYA 56 Volume 2 Nomor 1 Maret-April 2014


Kajian Estetika dan Realisme Sosialis Tiga Patung Monumen (Patung Selamat Datang,
Dianthus Louisa Pattiasina, 53 - 61 Pembebasan Irian Barat dan Dirgantara) Era Soekarno di Jakarta

Pemilihan bentuk sosok didasari sikap agar ekspresi Asia. Patung Pembebasan Irian Barat (1963) representasi
patung dimengerti oleh orang banyak, sehingga ketiganya peristiwa sejarah memperjuangkan pembebasan Irian
diwujudkan melalui pengolahan bentuk yang menampilkan Barat dari tangan penjajah Belanda. Patung Dirgantara
kekuatan dan semangat, sesuai dengan semangat (1967) persembahan dan penghargaan Soekarno bagi
perjuangan saat itu. Angkatan Udara Republik Indonesia dengan cita-cita
Gagasan membangun tiga patung monumen di serta keyakinan mampu menguasai dirgantara,
ibukota Jakarta adalah dalam rangka merepresentasikan sebagaimana bangsa-bangsa maju di dunia. Ketiga patung
momen dan peristiwa penting bagi bangsa Indonesia. monumen dengan ciri spesifik dalam ekspresi gelora
Patung Selamat Datang (1962) dibangun dalam rangka semangat revolusi yang mewakili periode Soekarno
penyelenggaraan pesta besar olah raga bangsa-bangsa tersebut dapat dilihat melalui gambar berikut ini:

Gambar 1. Tiga Patung Monumen (dari kiri ke kanan): Patung Dirgantara, Patung Pembebasan Irian Barat, Patung Selamat Datang.
Sumber: Edhi Sunarso(2010:164)

Patung Selamat Datang sosok menunjukkan mimik muka berseri. Tangan kanan
Patung ini ditempatkan di bundaran jalan yang keduanya terangkat ke atas seolah melambai untuk
terletak di depan Hotel Indonesia yaitu di ujung jalan menyambut. Sementara tangan kiri sosok perempuan
Mohammad Husni Thamrin. Patung Selamat Datang menggenggam seikat bunga. Gestur kedua sosok berdiri
dibangun satu tahun setelah berjalannya pembangunan dengan tangan melambai dan seikat bunga pada tangan
Hotel Indonesia. Tujuan pembangunan patung Selamat yang lain jelas menggambarkan sebuah penyambutan.
Datang ini untuk menyambut delegasi dari Negara-negara Sosok laki-laki dan perempuan hadir sebagai ungkapan
peserta pesta olah raga “Asian Games IV”, tahun 1962 keramahtamahan di samping gambaran secara universal,
dan Games of the New Emerging Forces (GANEFO), kesejajaran laki-laki dan perempuan mewakili citra bangsa
tahun 1963, yang diselenggarakan di Jakarta. yang beradab.
Patung Selamat Datang menampilkan dua sosok Posisi berdiri kedua sosok patung dengan tangan
laki-laki dan perempuan, dengan posisi berdiri terangkat membentuk garis diagonal dari ujung jari tangan
berdampingan. Ditempatkan di atas pedestal berbentuk kanan sampai ke arah kaki kiri. Gestur patung ini
dua tiang kaki yaitu semacam gerbang sempit dengan menghadirkan kesan gerak secara disengaja untuk
ketinggian 20 meter yang terletak tepat di tengah-tengah mempertegas ungkapan bentuk yang dinamis. Gestur
bundaran. Secara visual tampak ekspresi wajah kedua pada patung figur manusia merupakan unsur yang dapat

Jurnal Ilmiah WIDYA 57 Volume 2 Nomor 1 Maret-April 2014


Kajian Estetika dan Realisme Sosialis Tiga Patung Monumen (Patung Selamat Datang,
Dianthus Louisa Pattiasina, 53 - 61 Pembebasan Irian Barat dan Dirgantara) Era Soekarno di Jakarta

terbaca dan memberi makna dalam kesatuan bentuk kejauhan. Penonjolan otot-otot lengan menunjukkan
ekspresi patung. Pengertian gestur secara umum adalah kekuatan dan gerak yang mempertegas memutus belenggu
suatu bentuk komunikasi non verbal yang terbaca melalui rantai. Rantai pada lengan yang terjuntai dan terayun ke
gerakan tubuh, untuk mengkomunikasikan pesan-pesan atas memperkuat kesan tersebut. Telapak tangan yang
atau dapat pula dilakukan sejalan dengan percakapan. terbuka lebar dibuat dengan kasar terlihat pada bagian
Mencakup pengertian gesture yaitu meliputi gerakan ruas-ruas jari, sehingga menyatu dengan gerak kekuatan
tangan, wajah, maupun bagian lainnya dari tubuh manusia tangan memutus rantai. Ruas-ruas tulang rusuk
(http://en.wikipedia.org/wiki/List_of_gestures). diperlihatkan, kerutan-kerutan kain celana dipertegas dan
Detail unsur-unsur estetis kedua sosok berupa tarikan otot-otot tubuh dibuat menonjol, sehingga gestur sosok
garis wajah, guratan rambut, tonjolan otot lengan, kerutan memperlihatkan ritme guratan-guratan yang tidak teratur.
serta kibaran pakaian membentuk kesatuan irama yang Gagasan perjuangan yang ditransformasikan melalui
menimbulkan kesan gerak. Prinsip kesatuan unsur estetis konsep bentuk patung Pembebasan Irian Barat ini
tersebut menguatkan gestur sosok dalam gerak semangat menyajikan pesan moral kepada masyarakat, sebagai
penyambutan, sebagai simbol selamat datang. Menurut peringatan peristiwa sejarah perjuangan. Di samping itu
uraian Jim Supangkat (1992; 49), bahwa tema dalam patung monumen secara umum mengusung fungsi sosial
patung monumen yang paling umum diolah adalah bentuk dengan aspek politik dan ideologi yang pada patung ini
sosok yang mencerminkan semangat. Untuk mencapai bertujuan mendorong semangat perjuangan dan kesatuan
kesan ini bentuk sosok dibuat dalam posisi bergerak: kaki bangsa Indonesia merdeka. Menurut But Muchtar (1992:
dan tangan mengembang, tubuh membungkuk setengah 36) bahwa pembangunan monumen tersebut dimaksudkan
berlutut atau separuh berlari, sehingga terlihat dinamis. untuk tujuan spiritual, menumbuhkan semangat patriotik,
kebersatuan dan kebersamaan dalam kehidupan sesuku,
Patung Pembebasan Irian Barat semasyarakat, seagama, sekerajaan, sebangsa, senegara,
Patung monumen ini berdiri tegar dengan mulut makna spiritual dapat tercapai jika lingkungan masyarakat
menganga di Lapangan Banteng, sebuah lapangan luas seiasekata, sependapat, sealiran, seideologi, singkatnya
yang dikelilingi oleh beberapa bangunan penting kota memiliki spirit yang sama. Sehingga patung Pembebasan
Jakarta. Bangunan yang mengelilingi patung monumen Irian Barat ini mengandung makna luas karena di dalamnya
ini di antaranya adalah Hotel Borobudur yang terletak di terkandung nilai spirit sebuah perjuangan seperti terlihat
sisi kiri, kemudian di bagian belakang terdapat bangunan pada gambar berikut:
Departemen Keuangan, di sebelah kanan adalah kompleks
Gereja Katholik Kathedral, di bagian muka menyerong
ke kanan terdapat bangunan Mesjid Istiqlal dan menyerong
ke kiri Departemen Agama. Gagasan membangun patung
untuk memperingati perjuangan membebaskan Irian Barat
dari penjajah Belanda, dicetuskan oleh Soekarno dalam
pidatonya di Yogyakarta pada pertengahan tahun 1962,
saat mencanangkan Trikora (Tiga Komando Rakyat).
Patung Pembebasan Irian Barat hadir berupa wujud
sosok laki-laki sedang berteriak, sehingga tampak ekspresi
wajah menyeringai. Kedua tangan terentang ke atas dan
kedua kaki membentang ke samping, sehingga
memperlihatkan siluet berbentuk huruf X dari arah Gambar 2. Patung Pembebasan Irian Barat, Perunggu, 1963

Jurnal Ilmiah WIDYA 58 Volume 2 Nomor 1 Maret-April 2014


Kajian Estetika dan Realisme Sosialis Tiga Patung Monumen (Patung Selamat Datang,
Dianthus Louisa Pattiasina, 53 - 61 Pembebasan Irian Barat dan Dirgantara) Era Soekarno di Jakarta

Patung Dirgantara penggagas yang senantiasa tampil semangat serta bergelora


Patung Dirgantara dibangun di atas bundaran jalan pada saat berpidato seperti tampak pada gambar berikut:
di Pancoran, depan Markas Besar Angkatan Udara
Republik Indonesia (MBAU-RI) saat itu. Posisi patung
membelakangi Jalan Raya Pasar Minggu. Arah muka
patung menghadap ke utara yang menunjukkan bahwa
arah patung-patung monumen gagasan Soekarno umumnya
menghadap ke arah istana presiden sebagai pusat
kekuasaan tertinggi negara, seperti juga pada kedua patung
monumen lainnya. Patung Dirgantara bukan dibangun
untuk mewakili suatu peristiwa sejarah. Namun patung
ini justru menjadi pengingat peristiwa G30S PKI karena
dibangun pada masa seputar meletusnya peristiwa tersebut
dan saat kejatuhan serta berpulangnya Presiden Soekarno.
Patung Dirgantara tampil dalam sosok figur laki- Gambar 3. Patung Dirgantara, Perunggu, 1963

laki telanjang, dengan seuntai kain terjuntai di bagian Menurut Sudarmadji (1991; 32) bahwa kekuatan
bahu dan pinggul yang tampak seolah tertiup angin. yang terbaca melalui patung monumen ini dengan
Ekspresi wajah keras, mulut mengatup, tatapan mata tajam mengemukakan rumusan isi karya patung dari seorang
menatap lurus ke depan. Otot-otot seluruh tubuh pematung Inggris, Henry Moore. Menurut Moore
Vitalitas harus hadir pada setiap karyanya. Bukan vitalitas
ditonjolkan secara berlebihan dari wajah sampai dengan
dari kehidupan keseharian, melainkan enerji yang eksplosif
bagian kaki. Posisi kaki sosok seolah sedang mengambil dari subyek seni itu sendiri.
ancang-ancang, seperti posisi atlet pelari jarak pendek Moore membedakan antara “beauty of expression”,
yang sedang bersiap dalam posisi start untuk bertanding dengan “power of expression”. dimana yang pertama
lari. Kedua kaki tertekuk, kaki kiri menekuk di depan, cenderung ke arah kenikmatan sensuil; sedang yang kedua
kaki kanan tampak dalam posisi hampir seperti berlutut. lebih dalam maknanya, merupakan spiritual vitality.
Tangan kanan menjulur ke depan seolah membentang, Kekuatan atau “power” sebagai konsep bentuk pada
menggapai dan meraih, serta melaju ke depan. Tangan tiga patung monumen secara estetika menunjukkan bentuk
kiri di tarik ke belakang sehingga tampil sebuah dinamika yang spesifik sejalan dengan gagasannya. Vitalitas yang
gerak. Gestur sosok demikian menjadi terbaca sebagai terpancar melalui bentuk maupun vitalitas spirit yang
gerak melaju akan melesat menuju angkasa. Sosok patung dikandungnya berhasil tampil sebagai ungkapan bentuk
terletak di atas pedestal melengkung berbentuk piph ekspresinya. Pematung Edhi Sunarso berhasil mewujudkan
sehingga memberi keuntungan bagi dinamika gerak laju ide Bung Karno dalam kualitas estetika sebagai kekuatan
dari gestur patung ini. ekspresi bentuk (power of expression) tanpa harus
Unsur estetis pada patung Dirgantara seperti pula menggali atau bertumpu pada konsep realisme sosialis.
pada patung Pembebasan Irian Barat secara spesifik terdiri Dampak pengaruh realisme sosialis bagi karya seni
dari guratan-guratan dan tonjolan otot-otot yang rupa maupun seni patung Indonesia masa itu memang
menampilkan ritme tidak teratur, serta kesan gerak dinamis. tidak luput dicurigai dan mendapat cap tersebut. Bahkan
Gestur sosok dengan karakter khas tersebut menunjukkan tiga patung monumen itu dianggap mengusung konsep
semangat serta kekuatan. Konsep bentuk keduanya yang didukung pemerintah masa itu. Menurut Asikin
mengungkapkan ekspresi menggelora dan membakar Hasan (2010; 7) bahwa patung monumen Selamat Datang
semangat, sebagaimana karakter Bung Karno sang karya Edhi Sunarso di Indonesia menyerupai patung

Jurnal Ilmiah WIDYA 59 Volume 2 Nomor 1 Maret-April 2014


Kajian Estetika dan Realisme Sosialis Tiga Patung Monumen (Patung Selamat Datang,
Dianthus Louisa Pattiasina, 53 - 61 Pembebasan Irian Barat dan Dirgantara) Era Soekarno di Jakarta

monumen karya Vera Mukhina (1937) di Moscow berjudul Apa yang dilakukan oleh Edhi Sunarso melalui karyanya
“Industrial Worker and Collective Farm Girl”, berwujud mengangkat simbol-simbol universal, di antaranya seikat
sosok laki-laki dan perempuan, yang bernafaskan realisme bunga, belenggu rantai, tonjolan otot-otot sebagai ekspresi
sosialis, sebagaimana tampak dalam kedua gambar berikut: bentuk masing-masing patung. Penggambaran sosok
difokuskan pada kekuatan atau “power”, berupa vitalitas
spirit maupun kekuatan ekspresi bentuk. Menghadirkan
semangat berupa spirit sebagai gambaran situasi sosial
budaya masyarakat masa itu.
Sejalan dengan pendapat Asikin, menurut Goenawan
Muhamad bahwa tidak dapat dikatakan doktrin tersebut
telah dianut secara merata di kalangan anggota Lekra,
sebagian besar angotanya hanya samar-samar mengertinya.
Semboyan “Seni Untuk Rakyat” bagi mereka sudah cukup,
dan memang lebih menarik dan lebih membuka pelbagai
kemungkinan tafsir yang dalam seni rupa menghasilkan
Gambar 4. Worker and Gambar 5. Patung Selamat
Collective Farm Girl. Datang. karya-karya yang sangat mengesankan dan jauh dari
Sumber: Vera Mukhina (1937) Sumber: Edhi Sunarso (1962)
keseragaman (Eka Kurniawan; 2006; xvi).
Menurut catatan kuratorial Asikin Hasan (Katalog Perbedaan spesifik karya-karya individual Edhi
Pameran Tunggal Retrospeksi, 2010;7) bahwa spontanitas, Sunarso dengan karya patung monumennya, menunjukkan
kewajaran dan kesederhanaan bentuk patung Selamat nilai estetika yang memberi makna pada kekuatan konsep
Datang memberikan kehangatan. Sementara karya Vera penciptaan pematung dalam membedakan antara karya
tampil dalam teknik tinggi, terukur, sempurna, cenderung dengan fungsi ekspresi pribadi dengan karya yang
menjadi sosok-sosok dingin tanpa emosi dengan citra berfungsi sosial. Sosok dalam karya pribadinya dibuat
yang melampaui realitas sesungguhnya. Tampak sebagai dengan mengangkat kualitas permukaan bentuk yang licin
manusia perkasa atau nyaris sebagai manusia agung. dan lebih menonjolkan sifat plastisitas. Ciptaannya berupa
Ulasan Asikin ini mengemukakan bahwa patung realisme sosok realis maupun sosok yang sudah didistorsi, di
sosialis di Rusia sebagai mesin propaganda pemerintah, antaranya berjudul “Mbok Drono”, cor semen (1952),
sedangkan di Indonesia proyek realisme sosialis atau “Nude”, kayu besi (1957), “Gadis Mandi”, batu cor (1959),
mirip seperti itu, tak lebih dari sebuah fragmen setengah menghadirkan tema kehidupan sehari-hari. Perubahan
hati. signifikan pada karya patung monumennya sehingga
Gagasan karya Vera, tidak jauh berbeda dengan tampak berbeda dengan karya pribadi didasari oleh
patung monumen yang dibangun di Jakarta tahun 1962, pemikiran yang berangkat dari ide dan gagasannya.
oleh pematung Rusia, Matvei Manizer dan Otto Manizer, Pematung dapat memilahkan gagasan bentuk keduanya.
yaitu Patung Pahlawan. Patung yang lebih dikenal sebagai Hal ini merupakan bukti kemampuan pemahaman
Patung Pak Tani, mengusung konsep realisme sosialis pematung untuk menuangkan gagasan dalam ungkapan
dengan tema perjuangan kelas petani. Mengangkat tokoh bentuk ekspresi karya patungnya.
petani membawa senjata, bukan cangkul, berbadan tegap Dengan patron Soekarno dan gagasan monumennya,
dan berisi, serta tokoh ibu dalam balutan kebaya. Keduanya menurut Jim Supangkat (1992; 47-48), bahwa upaya
ditampilkan dalam proporsi sempurna. Sosok patung pembuatan patung monumen itu mengalami kemajuan
membawa simbol-simbol dengan pesan khusus untuk pada patung-patung Edhi Soenarso. Pematung ini termasuk
sebuah tujuan dan cita-cita perjuangan paham sosialisme. yang terbanyak dalam membuat patung monumen serta

Jurnal Ilmiah WIDYA 60 Volume 2 Nomor 1 Maret-April 2014


Kajian Estetika dan Realisme Sosialis Tiga Patung Monumen (Patung Selamat Datang,
Dianthus Louisa Pattiasina, 53 - 61 Pembebasan Irian Barat dan Dirgantara) Era Soekarno di Jakarta

monumental di berbagai kota besar. Kapasitas Edhi pertama di Jakarta terbuat dari media perunggu, yang
Sunarso membangun patung-patung monumen bukan dibangun pasca kemerdekaan pada masa Soekarno,
hanya karena jumlah yang banyak. Namun karena menggantikan patung-patung peninggalan masa kolonial
kemampuannya menerjemahkan pesan pada ekspresi Belanda. (b) menjadi titik-titik orientasi ruang kota Jakarta,
bentuk patung monumen yang diciptakannya, merupakan yaitu sebagai penanda dan petanda yang memberikan
kualitas pembuktian mengapa karya ciptaannya tersebar nilai sejarah bagi perkembangan kota. (c) berlandaskan
di seluruh Indonesia. Begitupun kapasitas tiga patung keragaman ide yang menuju pada kesetaraan dengan
monumen ciptaannya yang digagas oleh Soekarno untuk negara-negara maju di dunia. (d) merupakan prinsip
ibukota Jakarta, hingga kini menjadi bangunan bersifat kesetaraan yang mengacu pada kebanggaan berbangsa
monumental. atau national pride menjadi simbol kejayaan bangsa
seperti umumnya dengan kota-kota besar di dunia dalam
PENUTUP mendirikan patung-patung perunggu.
Kesimpulan
1. Ide dasar konsep dan gagasan penciptaan tiga patung Saran-saran
monumen yang dituangkan sejalan dengan gagasan 1. Perlu suatu usaha memahami dan mendukung gagasan
pemesannya, Soekarno, dilakukan oleh Edhi Sunarso seni patung di Indonesia, sehingga menjadi karya seni
melalui: (a) penguasaan teknik dan material secara baik, yang secara universal yang dicatat dalam sejarah.
(b) matang dalam struktur karya tiga dimensi, baik detail 2. Perlu patung hendaknya meunujukkan suatu usaha
unsur-unsur estetis maupun prinsip pembentukannya. (c) mendukung gagasan terbentuknya kesetaraan citra bagi
Menghadirkan bentuk-bentuk baru sehingga menjadi bangsa Indonesia.
catatan bagi perkembangan sejarah seni patung Indonesia,
(d) tiga patung monumen Edhi Sunarso memberi tafsir DAFTAR PUSTAKA
Agus Sachari, Budaya Visual Indonesia, Penerbit Erlangga, Jakarta,
tentang kekuatan perjuangan dan kehangatan alam 2007
kemerdekaan. Bukan sebagai sosok-sosok dingin sempurna Eka Kurniawan, Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2006
tanpa emosi, sebagai propaganda perjuangan kelas yang Haji Masagung, Wasiat Bung Karno, Ketut Masagung Coporation,
Jakarta, 1998
dipaksakan melalui realisme sosialis. (e) Mempunyai Henry Arvon, Estetika Marxis, Resist book, Yogyakarta, 2010
kesamaan dalam pola pembangunannya yaitu berupa Hilda Soemantri, Visual Art Indonesian Heritage, Archipelago Press,
Editions of Didier Miller, Singapore,1998
konsep bentuk ukuran besar patung, penempatan di atas Marco Kusumawijaya, Kota Rumah Kita, Borneo Publications, Jakarta,
pedestal, tata letak, dan latar belakang gagasan mendirikan 2006
Mikke Susanto (ed), Edhi Sunarso Seniman Pejuang, Hasta Kreatifa
patung tersebut. Manunggal, Yogyakarta, 2010.
Soedarso SP. (ed), Seni Patung Indonesia, BP ISI Yogyakarta,
2. Terdapat pengaruh realisme sosialis yang justru memberi Yogyakarta, 1992
pengayaan secara estetika dalam hal kekuatan ekspresi Sudarmadji, Seni Rupa Indonesia Dalam Persoalan Dan Pendapat,
Balai Seni Rupa, Jakarta,1991
bentuk ketiga patung monumen karya Edhi Sunarso yang Suwarno Wisetrotomo (ed), Meniti Jalan Pembebasan, Hasta Kreatifa
Manunggal, Yogyakarta, 2010
hadir dalam semangat perjuangan bersama bangsa Taufik Adi Susilo, “Soekarno” Biografi Singkat 1901 – 1970, Garasi,
Indonesia yang merdeka yang berdampak pada: (a) Jogyakarta, 2008
Jim Supangkat, Seni Patung Indonesia, Gramedia Pustaka Utama,
Membangkitkan proses kreasi seniman dan memajukan Jakarta,1992
seni patung Indonesia, (b) menjadi catatan penting bagi William Fleming. Arts and Ideas, Holt, Rinehart and Winston, USA,
1980
pembuatan karya seni patung publik di Indonesia. Katalog Pameran Tunggal “Retropeksi” Edhi Sunarso, Jogja Gallery,
Yogyakarta, 2009
Ketiga patung monument tersebut menjadi penting bagi Katalog Pameran “Monumen” Edhi Sunarso, Komunitas Salihara,
perkembangan sejarah seni patung di Indonesia, dengan Jakarta, 2010
http://en.wikipedia.org/wiki/List_of_gestures
ciri-ciri sebagai berikut: (a) Merupakan patung publik http://www.artikata.com/arti-79476-gesture.html

Jurnal Ilmiah WIDYA 61 Volume 2 Nomor 1 Maret-April 2014

Anda mungkin juga menyukai