ABSTRACT
This research talked about ‘Tuan Tanah Kawin Muda’, painted by Djoko Pekik, with art history
as the basic approach and therefore using Erwin Panofsky’s iconography and iconology theory. Hi-
story research method followed with field data investigation, literature data, selection and critic, ana-
lysis and source interpretation purposing to get the synthesis, continue with historiography framing.
The result of this research contains; Preiconography descriptions explained the early textual aspect
idea, reveals communication and conflict between the two figures. Iconography analysis explained
about theme and concept, it tells about the oppression through economy asset, social, and cultural.
The creator thought about how to defend among the conflict. Iconology interpretation, explained the
art work symbolic value. Through the psychology experience and his social also cultural background,
conclude that this painting is a crystallization symbol of deprivation and defense from the suffering
poor people’s right.
ABSTRAK
Penelitian ini tentang lukisan Djoko Pekik yang berjudul ‘Tuan Tanah Kawin Muda’
yang dianalisis dengan pendekatan sejarah seni dan memakai teori ikonografi dan ikonolo-
gi Erwin Panofsky. Metode yang dipakai adalah metode sejarah dengan langkah pencarian
sumber di lapangan dan pustaka (heuristik), seleksi dan kritik, analisis dan interpretasi
sumber untuk menghasilkan sintesis, dan penyusunan historiografi. Hasil penelitian ini
berupa: Deskripsi pra ikonografi berisi tanggapan awal aspek tekstual, mengungkap ko-
munikasi dan konflik antara dua figur. Analisis ikonografis yaitu tentang tema dan konsep
penindasan kaum laki-laki pada perempuan lewat kekuasaan modal ekonomi, sosial dan
kultural. Konsep dasar penciptaannya tentang konflik antara kekuasaan yang menindas
dan hak yang harus dipertahankan. Interpretasi ikonologis yaitu tentang nilai simbolik
yang diungkap dalam lukisan. Lewat pengalaman psikologis pelukis dengan berbagai ke-
kerasan dan penderitaan, serta pandangan hidup dari latar belakang sosial dan kultural-
nya, maka lukisan ini merupakan kristalisasi simbol dari perampasan dan pertahanan hak
rakyat bawah yang menderita..
PENDAHULUAN
dang demikian, melihat keberadaan suatu
Keberadaan seni lukis tidak bisa seke- karya dalam konteks sejarah tentu juga
dar dilihat sebagai ungkapan artistik saja, melibatkan berbagai konteks sosiokultural
tetapi seharusnya juga dipandang sebagai yang membangunnya. Dalam sejarah seni
produk sosiokultural. Dengan cara pan- lukis modern Indonesia, pengkajian ten-
Panggung Vol. 23 No. 3, September 2013 237
tang periode Lekra masih sangat jarang problem-problem kemiskinan rakyat. Wa-
mendapat perhatian dari para sejarawan laupun ia bukan seorang ahli yang bisa
dan peneliti. Apalagi pada masa pemerin- menganalisis dengan ketat, tetapi kekuat-
tah Orde Baru sumber-sumber tentang an intuisi bersama empatinya membuka
Lekra sangat sulit didapatkan, karena se- kepekaan secara kritis pada makna-makna
lain banyak tokoh dan dokumennya yang di balik penderitaan rakyat yang menjadi
hilang, sumber di Arsip Nasional memang objek-objek yang diamati. Sejarah seni rupa
tidak dibuka oleh pemerintah. Dengan ber- Indonesia, bisa dilihat alur berkembangnya
bagai kondisi tersebut, pada masa sekarang ideologi kerakyatan mulai muncul pada
sangat sulit didapatkan adanya berbagai masa Persagi dan mencapai titik kulmi-
dokumentasi dan artefak seni lukis dari nasinya pada masa Lekra. Pada masa Orde
masa Lekra yang dapat diteliti atau dikaji. Baru ideologi tersebut melemah karena
Di antara kelangkaannya itu, lukisan mendapatkan stigma kiri, disusul pelarang-
Djoko Pekik dengan judul ‘Tuan Tanah an dan pembubaran PKI bersama Lekra
Kawin Muda’ (1964) menjadi penting ke- oleh pemerintah. Belakangan, pada akhir
beradaannya karena mewakili periode tahun 1970-an muncul lagi komitmen yang
tersebut. Lukisan ini diciptakan Djoko Pe- kuat terhadap isu kerakyatan, tetapi telah
kik, salah seorang anggota Sanggar Bumi menjadi isu sosial yang lebih kritis dalam
Tarung yang berada dalam naungan Lem- perspektif yang multidimensional pada seni
baga Seni Rupa di bawah Lekra yang pada rupa kontemporer. Menjadi menarik bahwa
pada masa itu tengah memperjuangkan Pekik sebagai pelukis yang berempati pada
paradigma estetik kerakyatan revolusioner. penderitaan rakyat ternyata mampu men-
Jika dilihat dari latar belakang pelukis dan transformasikan ide-ide kerakyatan tersebut
kurun waktu pembuatannya, maka lukisan pada zaman yang terus berubah.
itu bisa diduga tidak hanya sekedar meng- Setelah mengamati perjalanan itu, per-
ungkapkan berbagai simtom pelukisnya, lu adanya pengamatan atas fondasi ideolo-
tetapi dimungkinkan kepekatannya diwar- gi dan konteks-konteks yang membangun
nai pemikiran ideologis Lekra dan refleksi ‘Pekik’ pada masa mudanya, yaitu pada
kontekstual kondisi sosial pada waktu itu. masa pertama kali ia bersentuhan dengan
Djoko Pekik sebagai pelukis senior Indone- nilai-nilai artistik dan konsep-konsep yang
sia saat ini memang tetap konsisten dengan membentuknya, sehingga ia memiliki kon-
visi dan tema-tema kerakyatan yang tentu sistensi sampai pada masa tuanya. Meng-
tidak lepas dari masalah sosial politik yang amati problematika bahasa artistik, berba-
menjadi latar belakangnya. Dalam perjalan- gai konteks yang membangunnya, dan
annya sebagai seniman, visi dan tema-tema nilai simbolik yang merefleksikannya pada
tersebut diperjuangkan dalam tiga periode masa itu, dapat ditelaah karyanya yang
zaman, yaitu masa Orde Lama, Orde Baru, bertajuk ‘Tuan Tanah Kawin Muda’ (1964).
dan masa Reformasi yang mempunyai se- Karya ini menarik karena dari judulnya
mangat politik yang berbeda-beda. Sebagai telah menyiratkan pertanyaan atas fenome-
pelukis yang aktif dalam Sanggar Bumi na pertarungan kekuasaan, antara pemilik
Tarung di bawah Lekra, Djoko Pekik pada modal ekonomi dan kultural dengan sosok
masa Orde Baru akhirnya tetap mendapat wanita muda yang harus mau dinikahi. Se-
stigma politik kiri. cara visual karya ini memperlihatkan teka-
Djoko Pekik sebagai seniman yang teki bagaimana hubungan konsep dan
mempunyai empati kuat pada kehidup- penanda-penanda visual yang dibangun
an rakyat bawah tentu tidak lepas dari dalam lukisan itu.
pengamatan struktur yang membentuk Dari latar belakang tersebut, dapat diru-
Burhan: Ikonografi dan Ikonologi Lukisan Djoko Pekik 238
kapkan dalam lukisan tersebut? Adapun III. Makna intrinsik atau isi, Interpretasi iko-
menyusun dunia nilai nologis
tujuan penelitian ini yang pertama, adalah ‘simbolis’
untuk mengetahui berbagai penanda visu-
Tabel 1
al dalam lukisan ‘Tuan Tanah Kawin Muda’ Tahapan kajian Ikonografi dan Ikonologi
yang bersifat faktual dan ekspresional.
Kedua, untuk mengetahui tema dan kon-
sep apa yang membangun lukisan tersebut. Prinsip Korektif dari
Alat Interpretasi
Ketiga, untuk mengetahui nilai-nilai sim- Interpretasi (Sejarah Tradisi)
bolik apa yang ingin diungkapkan dalam Pengalaman prak- Sejarah seni (pandangan ke
tis (rasa familier dalam cara di mana, menurut
lukisan tersebut.
dengan objek dan kondisi sejarah yang berva-
Landasan Teori dalam penelitian ini peristiwa) riasi, objek dan peristiwa di-
menganalisis permasalahan karya ‘Tuan nyatakan alam bentuk
annya melalui aksi dan peristiwa tertentu. serta konsepnya dalam kebiasaan penga-
Hal itu dapat dilakukan dengan mengi- laman praktis. Lebih dari itu, diperlukan
dentifikasi konfigurasi unsur-unsur bentuk kebiasaan pengalaman melihat hubungan
murni atau membaca yang tampak seperti konsep dan tema dari karya seni yang di-
garis, bentuk, warna, material dan teknik, peroleh dari berbagai imaji, sumber literer,
serta objek-objek representasi alami seperti dan alegori (Panofsky, 1955: 35). Untuk
manusia, binatang, tumbuhan, dan benda mencapai ketajaman analisis ikonografi ini
peralatan. Makna ekspresional dipahami diperlukan kerangka konfirmasi dengan
dengan cara mengungkap empati dari ke- prinsip korektif interpretasi sejarah tipe.
mampuan mengamati kebiasaan dan rasa Yang dimaksud sejarah tipe yaitu kondisi-
familier terhadap objek dan peristiwa. kondisi sejarah yang mempengaruhi kon-
Mengidentifikasi hubungan antara bentuk- vensi suatu tema atau konsep yang dieks-
bentuk dan peristiwa-peristiwa yang dapat presikan dalam objek-objek dan peristiwa
menjadikan kualitas ekspresional sebagai spesifik dan berlaku pada suatu masa dan
karakter atau bahasa tubuh objek (Panof- wilayah tertentu (Panofsky, 1955: 40).
sky, 1955: 33-34). Tahap yang ketiga adalah tahap in-
Pencapaian ketajaman deskripsi teks- terpretasi ikonologis, yaitu tahapan yang
tual ini diperlukan kerangka konfirmasi paling esensial untuk memahami makna
dengan prinsip korektif interpretasi se- intrinsik atau isi dari sebuah karya seni.
jarah gaya. Pemahaman mengenai gaya Setelah melalui pemahaman lewat deskrip-
lukisan merupakan syarat mutlak dalam si pra-ikonografi dan analisis ikonografi,
sejarah seni rupa, sehingga memerlukan maka dalam tahap ini dibutuhkan kemam-
teori pendukung tentang gaya. Menurut puan mental yang disebut dengan intuisi
Feldman gaya lukisan dapat diklasifikasi- sintesis dalam memahami simbol. Intuisi
kan berdasarkan waktu, wilayah, teknik, sintesis menyangkut tendensi esensial
subject matter, dan sebagainya. Dalam teo- pemikiran psikologi personal dan weltan-
rinya, gaya bisa dibagi dalam empat sifat, schauung (pandangan hidup) pencipta karya
yaitu gaya ketepatan objektif, gaya su- (Ibid, 1955: 41). Sebagai teori bantunya
sunan formal, gaya emosi, dan gaya fan- dapat dipakai teori simbol seni Suzanne K.
tasi. Gaya ketepatan objektif mengungkap Langer. Simbol Seni yaitu bentuk ekspresi,
bentuk-bentuk yang cenderung merujuk sebagai jalinan antara sensibilitas, emosi,
pada fenomena alam (Feldman, 1967: 138- perasaan, dan kognisi impersonal, yang
204). Dalam penggambaran objek-objek merupakan ciri utama karya seni (Sudiarja,
dan peristiwa yang menyangkut masalah 1982: 75-78). Pencapaian ketajaman inter-
ketimpangan sosial, perbedaan kaya dan pretasi ikonologis ini diperlukan kerangka
miskin, serta politik, dalam sejarah seni konfirmasi dengan prinsip korektif inter-
rupa modern dapat dicermati dalam gaya pretasi sejarah kebudayaan yang memben-
realism sosial (Janson, 1977: 718). tuk simbol-simbol tersebut. Untuk itu perlu
Dalam tahap kedua, yaitu analisis iko- ditinjau melalui berbagai simtom yang ada
nografi, adalah tahap untuk mengidenti- di sekitar objek maupun penciptanya, yang
fikasi makna sekunder. Proses ini meru- merujuk pada psikologi dan pandangan
pakan pembacaan arti dari aspek-aspek hidup masyarakat penyangga-nya (Panof-
tekstual sebelumnya yang pada tahap ini sky, 1955: 41).
dihubungkan dengan tema dan konsep. Penelitian ini adalah penelitian kuali-
Untuk melihat itu, diperlukan pengamatan tatif dengan pendekatan sejarah seni. Teori
dengan melihat hubungan bentuk dan tema utamanya yaitu ikonografi dan ikonologi
Burhan: Ikonografi dan Ikonologi Lukisan Djoko Pekik 240
hingga sebagai gantinya sang kakek merasa objek dan peristiwa yang menyangkut ma-
bisa memiliki gadis itu. Dalam ekspresinya salah ketimpangan sosial, perbedaan kaya
gadis itu tampak tertekan, sehingga gesture dan miskin, serta politik, dalam sejarah
tubuhnya memperlihatkan gerak menghin- seni rupa modern dapat dicermati dalam
dar. Mungkin ia mengekspresikan kekha- gaya realisme sosial (Janson, 1977: 718). Se-
watiran pada semua haknya yang akan di- bagai pelukis yang hidup dalam semangat
rampas. Dalam lukisan ini walaupun gadis dan jiwa zaman dengan spirit kerakyatan
itu tampak berdandan dan memakai kain maka Djoko Pekik juga merasa relevan un-
kebaya hijau dan stagen merah yang me- tuk mengekspresikan jiwanya dalam karya-
narik, tetapi seluruh objek yang didominasi karya realisme sosial. Seperti halnya pada
dengan warna muram kecoklatan, menjadi- karya-karya Agus Djaja, Otto Djaja, dan
kan suasana dalam lukisan ini menjadi be- Djoni Sutrisno pada masa itu, Djoko Pekik
rat. Dalam karya lukisan cat minyak pada juga mengembangkan varian realisme so-
kanvas, dan ekspresi dari penguasaan ana- sial dengan ungkapan bentuk-bentuk realis
tomi yang terbatas serta naif, Djoko Pekik bercampur unsur naif.
mengungkapkan proses komunikasi yang Lukisan ‘Tuan Tanah kawin Muda’
terasa rawan dan mengandung konflik an- (1964) dengan adegan objek-objek dan situ-
tara sang kakek yang renta dan gadis muda asinya bisa dipandang sebagai peristiwa
belia itu. Ketegangan komunikasi tersebut yang diekspresikan dengan dipengaruhi
bisa dirasakan dari masing-masing ekspre- oleh kondisi sejarah. Dalam kesenian, kon-
si mereka. disi tersebut memperlihatkan munculnya
Pencapaian ketajaman deskripsi teks- sejarah gaya, atau kecenderungan gaya
tual ini diperlukan kerangka konfirmasi yang dianut banyak seniman. Dalam real-
dengan prinsip korektif interpretasi sejarah isme sosial ini berbagai objek yang meng-
gaya. Gaya ketepatan objektif mengung- ungkap kehidupan sehari-hari masyarakat
kap bentuk-bentuk yang cenderung meru- bawah, dalam penggambaran suka duka
juk pada fenomena alam (Feldman, 1967: yang bersifat satiris merupakan refleksi
138-204). Gaya ketepatan objektif meng- realitas sosial dalam sejarahnya. Berbagai
ungkap bentuk-bentuk repesentasional bentuk ekspresi itu bisa dilihat pada pe-
atau cenderung figuratif dalam seni rupa. lukisan para petani, nelayan, dan buruh
Walaupun tidak dengan bentuk dan teknik yang bekerja keras. Hal yang sering juga
realis, lukisan ini termasuk dalam gaya muncul adalah ekspresi bentuk-bentuk pe-
ketepatan objektif, dan mencampurkannya kerja perempuan baik dalam aktivitasnya
dengan unsur-unsur dekoratif serta pem- pada keluarga dengan anak-anaknya, baik
bentukan yang naif. Pelukis-pelukis Indo- sebagai buruh maupun sebagai pekerja
nesia pada periode tersebut mempunyai seks komersial.
kecenderungan gaya ungkap demikian. Dalam sejarah seni lukis Indonesia,
Dalam sejarah seni lukis Indonesia, dari pada masa Lekra perkembangan gaya
munculnya Persagi hingga tahun 1960-an, realisme sosial ini menjadi realisme so-
dunia seni lukis berkembang dengan para- sialis, karena untuk kepentingan mem-
digma estetik kerakyatan, yang mencari propagandakan ide-ide kaum sosialis.
idiom-idiom bentuk lewat realitas kehi- Dalam konteks Lekra penyebutan yang
dupan rakyat. Realisme sosial dengan ber- lebih populer adalah gaya realisme sosial
bagai variannya menjadi aliran dan gaya yang bersifat revolusioner. Tentu saja pada
yang menjadi pilihan dan dikembangkan masa ini tema-tema kerakyatan sebagian
para pelukis. Dalam penggambaran objek- berkembang menjadi revolusioner. Imple-
Burhan: Ikonografi dan Ikonologi Lukisan Djoko Pekik 242
pucat dan mengungkapkan kesedihan, ce- baru yang membawa citra sebagai seorang
laan, pertanyaan, serta kebencian. Secara feodal dan borjuis. Dalam seting ekonomi
keseluruhan lukisan ini mengekspresikan masyarakat desa yang miskin dan ma-
kemanusiaan yang dalam, sehingga bagai sih bercokolnya kebudayaan feodal, figur
buku penghidupan bagi yang membaca- semacam sang kakek sangat mudah mene-
nya” (Pane, 1941). barkan kekuasaannya di desa-desa. Lewat
Tema lukisan yang diusung Pekik ini perkawinannya yang banyak, kemewahan
bisa menimbulkan interpretasi ganda. Ka- dunia seks dan kenaikan derajat status so-
kek tua dengan wajah tegang, berbaring sialnya menjadi terpenuhi.
sambil menghitung jari bisa ditafsirkan Pemaparan tema lukisan Djoko Pekik
dengan makna dia menghitung hari penan- ‘Tuan tanah Kawin Muda’ (1964) yang telah
tian untuk dilayani, tetapi ditanggapi de- dirunut dari berbagai sumber mitologi, se-
ngan penolakan gadis muda dengan mem- jarah, dan berbagai alegori, dapat disim-
buang mukanya. Interpretasi berikutnya pulkan konsep yang dijadikan penciptaan,
yaitu kakek tua itu sedang sakit dan meng- sebenarnya mengungkap konsep dasar ten-
hitung hari dekat ajalnya. Dalam kekece- tang konflik atau pergulatan antara kekua-
waannya, mukanya tampak tegang karena saan yang menindas dan hak yang harus
sang gadis juga membuang muka dan ber- dipertahankan.
sikap tidak manis. Dalam seting lukisan Pencapaian ketajaman analisis ikono-
ini barang-barang yang menyertai sosok grafi ini diperlukan kerangka konfirmasi
kakek menunjukkan berbagai alegori dan dengan prinsip korektif interpretasi sejarah
status sosialnya. Meskipun bertubuh tinggi tipe. Yang dimaksud sejarah tipe yaitu kon-
kasar yang menampakkan sebagai orang disi-kondisi sejarah yang mempengaruhi
desa atau bekas pekerja, tetapi dengan jam tentang konvensi suatu tema atau konsep
tangan dan kain parang rusak yang dipakai yang diekspresikan dalam objek-objek dan
menunjukkan status sosial baru yang di- peristiwa spesifik dan berlaku pada suatu
milikinya. Demikian juga seting ruangnya masa dan wilayah (Panofsky, 1955: 40).
yang berisi ranjang besi berukir dan sepe- Konvensi tema dan konsep tentang kon-
rangkat gamelan, serta berbagai makanan flik, serta kekuasaan yang menindas pada
di meja menunjukkan kemampuannya se- masyarakat bawah seperti dalam lukisan
bagai tuan tanah di desa dengan dukungan Djoko Pekik, dalam perkembangan seni
modal ekonomi, sosial, dan budaya. Keme- lukis modern Indonesia paling banyak di-
wahan demikian hanya mampu dimiliki praktikkan di Yogyakarta pada tahun 1960-
sekaligus sebagai simbol masyarakat kaya, an. Berbagai tema dan konsep demikian
terlebih-lebih yang memuja kebudayaan sebenarnya merupakan pengembangan
feodal. Kepemilikan barang-barang seperti yang lebih tajam dari tema-tema kerakyat-
itu menjadikan adanya kondisi yang kon- an dari masa Persagi. Sampai pada masa
tras dengan masyarakat bawah di desa- kemerdekaan pelukis-pelukis yang banyak
desa, yang pada tahun 1960-an keadaan tergabung dalam sanggar, terutama sang-
ekonominya terpuruk sedemikian parah. gar Peloekis Rakjat dan Seniman Indonesia
Berbagai alegori yang menunjukkan status Muda mempraktikkan tema dan konsep
feodal sosok kakek menjadi kontras jika di- ini. Dalam perkembangannya tema dan
hubungkan dengan penanda fisik tubuhnya konsep kerakyatan ini tidak sekedar seba-
yang kasar dari masyarakat bawah. Oleh gai realisme sosial, tetapi dalam praktik-
karena itu, dalam kondisi ini figur terse- praktik tertentu menjadi realisme sosialis,
but justru ditampilkan sebagai orang kaya atau dikalangan pelukis sering disebut se-
Burhan: Ikonografi dan Ikonologi Lukisan Djoko Pekik 244
dukung ideologi politik kebudayaan yang manusia, atau rakyat bawah. Sebagaimana
revolusioner. Walaupun kesadaran politik dalam teori simbol seni Suzanne K. Langer,
seperti yang menjadi visi sanggar itu in- simbol seni merupakan bentuk ekspresi,
tensitas meresapnya tidak sama pada se- sebagai jalinan antara sensibilitas, emosi,
tiap anggota, namun semua anggota mem- perasaan, dan kognisi impersonal, yang
praktikkan konsep dan berbagai metode merupakan ciri utama karya seni (Sudiarja,
kerjanya. Selain kegiatan melukis bersama, 1982: 75-78), maka penghayatan atas real-
dalam sanggar banyak mendapat masukan itas dan empati pada penderitaan tersebut,
dari tokoh-tokoh Lekra. Salah satu metode pada suatu ketika memicu dorongan yang
kerjanya, yaitu ‘turun ke bawah’ merupa- kuat untuk melahirkan lukisan ‘Tuan Tanah
kan kegiatan nyata yang mengimplementa- Kawin Muda’ (1964). Terbangunnya kon-
sikan berbagai wacana revolusioner dalam sep dasar tentang konflik atau pergulatan
memahami kehidupan nyata rakyat jelata antara kekuasaan yang menindas dan hak
(Wawancara dengan Pekik, 1 September yang harus dipertahankan, Djoko Pekik
2013; Zaman Baru, 1961, Foulcher, 1986: 106- terpicu oleh peristiwa yang dilihatnya di
113). Brosot, seorang tuan tanah yang bernama
Amrus Natalsya dan Djoko Pekik mem- Haji Dawam Roji mengawini perempuan
praktikkan ‘turun ke bawah’ lewat mera- muda untuk menebus hutang keluarganya.
sakan langsung hidup bersama dengan ke- Kekerasan dengan perspektif patriarkhi itu
sulitan dan kesengsaraan para transmigran mendapatkan perlindungan juga dari aparat
di Lampung dalam waktu yang lama. De- kepolisian. Berdasarkan pengamatannya
ngan semangat yang sama, dan didorong pula, tuan tanah itu mempunyai banyak is-
pemikiran psikologi personal maupun tri muda dengan modus memberikan jerat
pandangan hidup yang dibutuhkan seba- pertolongan lewat kapital ekonomi, sosial,
gai dasar penciptaan karya, maka Djoko dan kultural yang dimilikinya (Wawancara
Pekik dan para anggota Sanggar Bumi Ta- dengan Pekik, 1 September 2013).
rung lainnya juga banyak mempraktikkan Pencapaian ketajaman interpretasi iko-
‘turun ke bawah’. Mereka menerapkan nologis ini diperlukan kerangka konfirmasi
jiwa dan pandangan hidup tersebut lewat dengan prinsip korektif interpretasi sejarah
bergabung dan menyatunya mereka dalam kebudayaan yang membentuk simbol-sim-
kehidupan dengan buruh petani di pantai bol tersebut. Dalam kerangka konfirmasi
Trisik, Brosot, Yogyakarta. Dalam meng- tersebut, lukisan ‘Tuan Tanah Kawin Muda’
hayati kemiskinan dan semangat hidup (1964), merupakan ekspresi Djoko Pekik
para buruh tani itulah, mereka juga sering yang juga merefleksikan nilai dan sejarah
melihat kesewenangan para juragan dan kebudayaan pada zamannya, maupun pan-
tuan tanah yang menguasai kehidupan dangan ideologis serta pengalamannya
masyarakat bawah tersebut (Wawancara semasa bergulat di sanggar Bumi Tarung.
dengan Pekik, 1 September 2013; Bintang Sanggar-sanggar yang tumbuh bagai jamur
Timur, 1964). di Yogyakarta pada masa itu, sarat dipe-
Dengan berbagai latar gejala sosial dan ngaruhi oleh berbagai kebijakan ekonomi
kultural, serta pengalaman pelukis berte- politik dan kebudayaan sebagaimana ma-
mu dengan peristiwa-peristiwa kekerasan tra kehidupan yang lain. Pada tahun 1946,
dan penderitaan yang menyentuh perasa- setahun setelah proklamasi kemerdekaan,
annya itu, maka lukisan yang dihasilkan ibukota Republik Indonesia pindah ke Yog-
merupakan kristalisasi simbol dari peram- yakarta karena Jakarta telah semakin berat
pasan dan upaya mempertahankan hak menahan serangan pendudukan kembali
Burhan: Ikonografi dan Ikonologi Lukisan Djoko Pekik 246
pasukan Belanda (Ricklefs, 1981: 203 dan cul sanggar lain, yaitu Pelukis Indonesia
208). Dalam kepindahan ibukota tersebut, (PI), Pelukis Indonesia Muda (PIM), Sang-
para pejabat, pemimpin politik, intelektual, gar Bambu, dan Sanggar Bumi Tarung.
budayawan dan aktivis pergerakan, serta Sanggar-sanggar tersebut relatif kecil teta-
seniman-seniman juga pindah ke Yogya- pi mempunyai pengaruh yang kuat dalam
karta. Dalam perpindahan itu pelukis-pe- kehidupan seni lukis, termasuk berbagai
lukis sebagian besar juga pindah ke Yogya- pergulatan pemikiran ideologis politik dan
karta, Solo, bahkan sampai ke Madiun. Di kesenian yang sedang menguat. Pada pasca
kota-kota tersebut mereka mulai memben- kemerdekaan, yaitu dari tahun 1950 sam-
tuk sanggar-sanggar untuk melanjutkan pai tahun 1960 upaya pencarian kepriba-
kehidupan, kreatifitas, dan perjuangan dian nasional dan penolakan kebudayaan
eksistensi mereka. Dalam kehidupan serba Barat dalam kesenian Indonesia terjadi
terbatas, suasana romantika perjuangan sangat intens. Pengaruh kebudayaan Barat
dan kebersamaan kebutuhan untuk saling tetap berlangsung tetapi terbelah menjadi
belajar, sanggar-sanggar pelukis menjadi dua azas, yaitu azas ‘seni untuk rakyat’
ruang sosial yang hidup dan menjadi ruang dan ‘seni untuk seni’ (Lombard, 1996: 187).
untuk mengaktualisasikan peran mereka. Berbeda dengan di Bandung yang lebih
Pada masa itu kehidupan seni lukis mendapat pengaruh azas seni untuk seni,
modern Indonesia yang masih sangat muda di Yogyakarta pelukis-pelukis tetap domi-
juga berada pada masa strum und drang. nan mempraktikkan seni untuk rakyat,
Dalam catatan kritikus Trisno Sumardjo, dengan aliran realisme. Dalam praktik ini-
para pelukis terdorong semangat muda lah paham seni untuk rakyat tersebut se-
dan keinginan yang besar untuk berperan bagian berkembang lagi dengan kekuatan
dan terlibat langsung pada perjuangan yang lebih revolusioner. Pelukis-pelukis
rakyat dan bangsa. Namun demikian, me- dari sanggar SIM dan Peloekis Rakjat, wa-
reka kebanyakan belum mempunyai pe- laupun tidak semua, kebanyakan berkarya
ngetahuan yang cukup, sehingga lebih me- dengan napas kerakyatan dalam aliran re-
nonjolkan kekuatan sebagai orang muda alisme sosial.
dan besarnya ekspresi (Sumardjo, 1953 dan Kehidupan politik di Indonesia semen-
Yuliman, 1976: 13). Sungguhpun demikian, jak tahun 1960-1965 menunjukkan persete-
dari para senior lahir juga karya-karya yang ruan antarpartai yang keras dan cenderung
sangat kuat menampilkan semangat nasi- semakin tidak bisa bersatu. Partai Komunis
onalisme kerakyatan, seperti Sudjojono le- Indonesia (PKI) berkembang menjadi par-
wat karya ‘Kawan-kawan Revolusi’ (1947), tai yang populis, dan mempunyai kekuatan
Affandi lewat Karya ‘Laskar Rakyat Meng- besar dalam bidang politik, kebudayaan
atur Siasat’ (1946), Dullah dalam karya dan kesenian, serta komunikasi di media
‘Persiapan Gerilya’, dan Hendra Gunawan massa, dibandingkan dengan partai-partai
dalam ‘Pengantin Revolusi’ (Burhan, 2013: lain. Dalam persaingan mendekati Presi-
23 dan 25). den Soekarno yang telah menggulirkan ke-
Pada perkembangan di akhir tahun bijakan politik Demokrasi Terpimpin dan
1950, kekuatan yang menghidupkan seni Manifestasi Politik (Manipol), PKI dengan
lukis Indonesia tetap bertumpu dan di- ide-ide revolusionernya lebih mempunyai
sangga oleh kehidupan sanggar-sanggar. kedekatan dan pengaruh yang besar dari-
Di Yogyakarta selain ada sanggar besar, pada partai-partai lainnya. Apalagi lewat
yaitu sanggar Peloekis Rakjat dan Seni- Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang
man Indonesia Muda, masih banyak mun- merupakan sub organisasi kebudayaannya,
Panggung Vol. 23 No. 3, September 2013 247