Contoh Laporan Kasus Psikiatri
Contoh Laporan Kasus Psikiatri
I. IDENTITAS
Nn. E, perempuan, berusia 24 tahun, belum menikah, belum bekerja, suku Jawa-Sunda, agama
Islam, pendidikan terakhir Diploma 3 Manajemen Informatika, tinggal di Bekasi Timur
bersama kedua orangtua dan kakak perempuannya.
Pasien pertama kali datang ke Poli Jiwa Dewasa (PJD) RSCM pada tanggal 24 Maret 2010
diantar oleh kedua orangtuanya.
A. KELUHAN UTAMA
Takut dan cemas bila berhadapan dengan orang lain sejak 6 bulan sebelum datang ke Poli
Jiwa Dewasa (PJD) RSCM Jakarta.
5. Masa dewasa:
a. Riwayat pendidikan:
Setelah lulus SMU pasien melanjutkan kuliah di salah satu perguruan tinggi swasta
jurusan manajemen informatika. Menurut ayahnya, untuk pemilihan sekolah anak-
anaknya ia hanya menyarankan saja namun keputusan akhir tetap kepada anak-anaknya.
Pergaulan pasien semasa kuliah cukup baik. Pasien memiliki beberapa teman,
baik itu laki-laki maupun perempuan. Prestasi pasien selama di perguruan tinggi terhitung
biasa saja, tidak sebaik ketika ia duduk di bangku SMP maupun SMU. Semasa sekolah
pasien tidak pernah merasa takut dan cemas bila harus maju ke depan kelas bila disuruh
oleh gurunya. Pasien merasa percaya diri karena ia yakin mampu mengerjakannya.
Begitu juga ketika kuliah pasien tidak pernah tampil di depan kelas karena kegiatan
perkuliahannya lebih banyak menghadapi computer.
Ketika akhir semester (kurang lebih setahun yang lalu), pasien menghadapi ujian
sidang terbuka dan gagal. Saat itu pasien pertama kali merasa tidak sanggup tampil di
muka umum dan berhadapan dengan para penguji. Pasien merasa pusing, wajah terasa
panas, berdebar-debar, gemetar, keringat dingin, dan sakit perut sehingga pasien tidak
mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepadanya.
b. Riwayat pekerjaan:
Pasien pernah bekerja di bagian telemarketing di salah satu perusahaan asuransi selama 5
hari karena pasien merasa tidak mampu menghadapi klien.Sampai saat ini pasien belum
mendapatkan pekerjaan lagi karena pasien merasa takut dan cemas bila harus
menjalankan wawancara pekerjaan.
c. Riwayat perkawinan:
Pasien belum menikah.
d. Riwayat agama:
Pasien beragama Islam. Pasien rajin melaksanakan shalat lima waktu dan mengaji.
Menurut pasien menjalankan shalat dan mengaji adalah kewajiban sebagai seorang
muslim yang harus dijalankan.
e. Riwayat psikoseksual:
Ketika SMU pasien memiliki seorang teman laki-laki yang cukup dekat namun perasaan
senang terhadap laki-laki itu hanya dipendam saja di dalam hati. Teman laki-lakinya
itupun juga tidak pernah menyatakan apapun kepada pasien. Mereka berdua pernah
makan bersama di sebuah restaurant dan peristiwa tersebut sangat berkesan bagi pasien
hingga saat ini. Setelah lulus SMU mereka berpisah dan sudah tidak pernah berhubungan
lagi. Pasien sempat merasa kehilangan namun tidak sampai membuatnya sedih.
Menurut pasien ia terbuka dengan kedua orangtua dan kakaknya tentang
pergaulannya dengan laki-laki. Bila ia senang dan tertarik dengan seorang laki-laki maka
ia akan menceritakannya kepada mereka. Orangtua pasien hanya mengarahkan pergaulan
pasien namun masalah pendidikan seks tidak pernah diajarkan oleh kedua orangtuanya.
Ketika pasien mengalami haid pertama kali pada usia 12 tahun, pasien merasa
takut dan cemas. Ia menceritakan kejadian tersebut kepada ibunya dan ibu pasien hanya
f. Aktivitas sosial:
Ayah pasien mengajak pasien untuk mengikuti kegiatan pencak silat “Tiga Serangkai”
setiap seminggu sekali. Setelah setahun mengikutinya, pasien merasakan manfaat dari
kegiatan ini yaitu menjadi sehat, untuk perlindungan diri, latihan pernafasan, serta dapat
mengamalkan ajaran agama karena jurus-jurusnya menggunakan doa-doa Islam.
Menurut orangtuanya, dengan mengikuti kegiatan ini diharapkan pasien dapat
memiliki banyak teman dan meningkatkan rasa percaya dirinya. Ayahnya mengatakan
bahwa setiap kali latihan pasien selalu membuntuti kemanapun ayahnya pergi. Ia akan
merasa aman bila ada ayah disampingnya. Pasien tidak percaya diri bila harus memulai
pertemanan dengan orang lain karena ia takut salah bicara dan takut dinilai.
g. Riwayat hukum:
Pasien tidak pernah melanggar hukum atau berurusan dengan hal-hal yang berhubungan
dengan hukum.
E. RIWAYAT KELUARGA
55 th 52 th
28 th Nn.E, 24 th 22 th
Keterangan : : Pria
: Wanita
: Sudah meninggal
: Mengalami gangguan jiwa
Ayah pasien adalah anak kedua dari 4 bersaudara yang terlahir dari keluarga militer. Kakek
pasien seorang tentara yang mendidik anak-anaknya dengan tegas dan disiplin. Cara
mendidik anak ini diterapkan pula oleh ayah pasien kepada anak-anaknya. Menurut pasien,
walaupun ayahnya galak namun penuh perhatian terutama setelah pasien beranjak dewasa.
Ayah pasien sudah tidak bekerja lagi. Pekerjaan terakhirnya adalah sebagai tenaga akuntansi
di sebuah hotel di Jakarta pada tahun 2002 dan saat ini hanya tinggal di rumah saja. Ayah
pasien menjadi sering marah-marah terkait dengan masalah ekonomi keluarga.
Ibu pasien adalah seorang yang lemah lembut dan sabar. Saat ini ibu pasien berusia
52 tahun. Bekerja sebagai pegawai administrasi di RSCM sejak tahun 1981, Ibu pasien
merupakan anak keempat dari 6 bersaudara. Adik laki-laki dari ibu pasien mengalami
gangguan jiwa sejak usia remaja (sudah mengalami gangguan jiwa sekitar 30 tahun, tampak
sering bicara sendiri, tidak berkeluarga dan tidak memiliki pekerjaan).
Kakak pasien berusia 28 tahun, belum menikah dan saat ini bekerja sebagai karyawati
swasta. Kakak pasien sudah berencana akan menikah namun belum dipastikan waktunya
karena ia masih memikirkan kondisi ekonomi keluarga mereka.
Adik pasien berusia 22 tahun, saat ini kuliah jurusan sains teknologi di salah satu
perguruan tinggi swasta di Ciputat.
Saat ini pasien tinggal bersama kedua orangtua dan kakaknya di sebuah kompleks
perumahan di daerah Bekasi Timur. Adiknya menempati rumah kosong milik pamannya di
daerah Ciputat karena dekat dengan letak kampusnya.
Rumah ini merupakan rumah yang dimiliki orangtua pasien sejak pasien lahir,
berukuran kurang lebih 90 meter persegi. Rumah tersebut terbagi menjadi teras kecil di
depan rumah, ruang keluarga, tiga kamar tidur masing-masing berukuran kurang lebih 3x4
Orangtua pasien memahami bahwa ketakutan pasien dalam menghadapi orang lain yang baru
dikenalnya merupakan hal yang tidak wajar. Mereka juga mengerti istilah fobia yang dialami
pasien. Melihat kondisi pasien yang semakin parah membuat mereka segera membawanya
berobat ke poli jiwa dewasa di RSCM.
Keluarga pasien ingin pasien segera sembuh dari fobianya tersebut. Keluarga juga
berharap pasien segera mendapat pekerjaan untuk menunjang ekonomi keluarga karena
selama ini kakak dan ibu pasien yang bekerja sebagai tulang punggung keluarga. Ayah pasien
berharap pasien segera mendapatkan pekerjaan agar dapat menggantikan posisi kakaknya
sebagai pencari nafkah sehingga kakaknya dapat segera menikah.
A. DESKRIPSI UMUM
Penampilan:
Pasien seorang wanita, tampak sesuai dengan usia, perawakan agak gemuk, kulit sawo
matang, rambut diikat satu, berpakaian kaos berkerah warna merah, bercelana panjang
hitam dan memakai sepatu.
B. PEMBICARAAN
Pasien bercerita dengan spontan, kurang lancar, volume pelan, artikulasinya cukup jelas,
suara bergetar. Isi pembicaraan sedikit.
E. SENSORIUM
Kesadaran: sadar penuh (kompos mentis), 3P (pertahanan, pengalihan, dan
pemusatan) perhatian tidak terganggu.
Orientasi:
Waktu: baik, pasien mengetahui hari, tanggal, bulan dan tahun saat pemeriksaan.
Tempat: baik, pasien mengetahui tempat dimana dia berada saat pemeriksaan.
Orang: baik, pasien mengetahui nama kedua orangtuanya.
Konsentrasi dan perhatian: baik, pasien dapat merespons pertanyaan-pertanyaan
pemeriksa dan mendengar dengan seksama.
Kemampuan mengendalikan impuls: baik, selama wawancara pasien dapat duduk dengan
tenang.
B. STATUS NEUROLOGIS
GCS: E4 M6 V5
Gejala rangsang selaput otak: negatif
Tanda-tanda efek samping ekstrapiramidal:
Tremor tangan: negatif
Akatisia: negatif
Cara berjalan: normal
Keseimbangan: baik
Rigiditas: negatif
Motorik: kekuatan baik 5555 5555
5555 5555
Sensorik: baik
X. PROGNOSIS
1. Hal yang meringankan prognosis:
Tilikan pasien yang baik
Pasien memiliki motivasi yang kuat untuk sembuh.
Pasien disiplin dan koperatif dalam mengikuti program terapi.
XI. PENATALAKSANAAN
A. Farmakoterapi:
Fluoxetin 1x10 mg seminggu kemudian dinaikkan menjadi 1x20 mg.
Clobazam 2x10 mg 2 minggu kemudian tappering off.
B. Psikoterapi
1. Psikoedukasi:
Memberikan informasi kepada orangtua pasien tentang gangguan yang dialami pasien
serta penatalaksanaan yang akan diberikan sehingga proses terapi dapat berjalan sesuai
dengan jangka waktu yang telah disepakati bersama.
2. Psikoterapi suportif :
Memberikan kehangatan, empati, pengertian dan optimistik. Membantu pasien
mengidentifikasi dan mengekspresikan emosinya serta membantu untuk ventilasi.
3. Terapi relaksasi
Terapi ini bertujuan melatih agar pasien menjadi mudah untuk rileks dan dapat
mengendalikan tingkat kecemasannya. Pasien dilatih untuk dapat merelaksasi otot-otot
tubuhnya, dibantu untuk merasakan perbedaan otot-otot tubuh dalam keadaan tegang dan
rileks. Selanjutnya pasien diminta untuk mengulanginya sendiri di rumah. Selain itu
pasien juga dapat dilatih untuk latihan pernafasan. Pasien dapat diminta untuk menarik
nafas dalam hitungan satu kali dan membuang nafasnya dalam hitungan 3 kali yang dapat
diulang berkali-kali sampai pasien merasakan cemasnya berkurang. Hal ini dilakukan
karena pada pasien ini dapat terjadi hiperventilasi bila kecemasan dan ketakutannya
muncul maka latihan pernafasan ini diharapkan cukup efektif untuk mengatasinya.
CBT ini direncanakan selama 12 sesi, satu kali seminggu, satu jam setiap sesinya.4
Sesi 1-3: formulasi kasus, analisis perilaku dan persiapan kognitif untuk
restrukturisasi, melibatkan manipulasi safety behavior dan atensi.
Pada sesi pertama:
Pasien kurang koperatif dan menangis terus sehingga keterangan lebih banyak
didapat melalui alloanamnesis dengan kedua orangtua pasien.
Psikoedukasi kepada kedua orangtua pasien tentang rencana tatalaksana yang
akan diberikan yaitu 12 sesi dengan jangka waktu yang telah disepakati bersama.
Kontrol ulang 1 minggu lagi.
Situasi sosial:
takut dinilai oleh orang lain
takut gagal
takut tidak dapat menjawab
Naskah National Board Examination-290710 Hal. 21
pertanyaan yang diajukan kepadanya
takut dievaluasi/dinilai
Mengaktivasi asumsi pada pasien
Pasien senang karena sudah sanggup berhadapan dengan orang lain dan lebih
percaya diri.
Meneruskan terapi psikofarmaka.
Sesi 7-9: berlanjut dengan metode pertalian ulang antara kognitif dan perilaku, serta
memperkenalkan pada lingkungan diluar dirinya dan menerangkan bahwa tidak akan
terjadi katastrofi sosial.
XI. DISKUSI
Secara deskriptif, aksis I pada pasien ini adalah fobia sosial. Adanya riwayat pasien tampak
murung, sedih, menangis memikirkan keadaannya yang belum mendapatkan pekerjaan,
menjadi malas makan, sulit tidur dan malas melakukan kegiatan apapun yang terjadi dua
bulan yang lalu walaupun tidak berlangsung setiap hari..Hal ini menunjukkan adanya riwayat
gejala-gejala depresi pada pasien. Keluhan-keluhan tadi sudah tidak ada pada pasien, namun
perlu diperhatikan bahwa terdapat tendensi pasien ini akan mengalami depresi.
Menurut epidemiologi, fobia sosial lebih sering terjadi pada wanita daripada laki-laki.
Onset usia puncak pada usia belasan tahun, walaupun onset seringkali paling muda pada usia
5 tahun dan paling lanjut pada usia 35 tahun.5,6
Fobia sosial terpusat pada rasa takut diperhatikan oleh orang lain dalam
kelompok yang relatif kecil (berlawanan dengan orang banyak), yang menjurus kepada
penghindaran terhadap situasi sosial. Gambarannya dapat sangat jelas (misalnya hanya
terbatas pada makan di tempat umum, atau berbicara di depan umum, atau menghadapi jenis
Naskah National Board Examination-290710 Hal. 23
kelamin lain), atau dapat pula kabur (diffuse), yang mencakup hampir semua situasi sosial di
luar lingkungan keluarga. Pada berbagai latar belakang budaya tertentu, pandangan mata
secara langsung dapat merupakan hal yang menegangkan. Fobia sosial biasanya disertai
dengan harga diri yang rendah dan takut akan kritikan. Dapat juga tercetus sebagai keluhan
malu (muka merah), tangan gemetar, mual, ingin buang air kecil, dan kadang-kadang
individu bersangkutan merasa yakin bahwa salah satu dari manifestasi gejala sekunder dari
ansietas ini merupakan masalah utamanya; dalam hal demikian gejalanya dapat berkembang
menjadi serangan panik. Kecenderungan menghindar seringkali tampak jelas dan dalam
keadaan ekstrem dapat menjurus ke isolasi sosial yang total.1
Pada beberapa penelitian melaporkan bahwa kemungkinan adanya sifat
pada beberapa anak yang ditandai oleh pola inhibisi perilaku yang konsisten. Sifat tersebut
mungkin cukup sering pada anak-anak yang orangtuanya menderita gangguan panik dan
mungkin berkembang menjadi pemalu yang parah saat anak tumbuh menjadi besar.
Sekurangnya beberapa orang dengan fobia sosial mungkin mengalami inhibisi perilaku yang
terlihat selama masa anak-anak. Kemungkinan berkaitan dengan sifat tersebut, yang
diperkirakan didasarkan secara biologis. Terdapat data dengan dasar psikologis yang
menyatakan bahwa individu dengan fobia sosial memiliki orangtua yang kurang mengasuh,
lebih menolak, dan lebih overprotektif pada anak-anaknya dibandingkan orangtua lain. 5,6
Menurut latar belakang dinamik dan perkembangan, fobia merupakan ketakutan
patologis yang spesifik yang biasanya dimulai dengan serangan cemas. Fobia ini biasanya
irasional dan tanpa dasar. Terkadang disebut sebagai normal neurosis of childhood yang
umumnya terjadi selama periode oedipal conflict yaitu periode dimana seorang anak
menjalani hubungan emosional yang kompleks dengan orangtuanya pada usia 4-5 tahun.2
Selama seseorang masih dapat menghindari situasi atau obyek eksternal, maka akan menjadi
tersensitisasi dan akhirnya bebas dari ketegangan dan kecemasan.
Gejala yang muncul pada fobia dapat dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu:
1. teknik untuk menghindari apapun yang dapat mencetuskan kecemasan, dan setiap usaha
yang dilakukan pada setiap serangan kecemasan gagal untuk dihindari.
2. kecemasan yang dicetuskan oleh situasi atau obyek yang
mengkonfrontasinya.
CBT yang melibatkan restrukturisasi kognitif ditambah dengan pajanan lebih efektif dan
memberikan efek terapi yang besar, dibandingkan dengan pajanan sendiri atau social skills
training sendiri atau restrukturisasi kognitif sendiri.
Ketika memasuki situasi sosial yang mencetuskan kecemasan, keyakinan-keyakinan negatif
teraktivasi dan orang-orang dengan fobia sosial akan memikirkan tentang kemampuan
mereka untuk menciptakan kesan yang baik. Pemikiran ini bermanifestasi sebagai pikiran-
pikiran otomatis negatif (negative automatic thoughts), misalnya bagaimana kalau saya
gemetar?, Pikiran-pikiran otomatis negatif ini akan diikuti oleh pergeseran arah perhatian
yang memengaruhi seseorang menjadi self-conscious dan fokus perhatiannya inward kepada
gejala-gejala dan memberi kesan apa yang mereka pikirkan akan terlihat oleh orang lain.
Seseorang dengan kecemasan sosial mengambil kesimpulan bagaimana mereka
terlihat oleh orang lain berasal dari dalam dan terjadi dalam bentuk keluhan fisik (gejala-
gejala kecemasan). Citra diri biasanya merupakan suatu “perspektif pengamat” (“observer
perspective”) yang artinya melihat diri sendiri seolah-olah dari titik pandang orang lain. Pada
gambaran jenis ini, gejala-gejala kecemasan dan kekurangan diri terlihat sangat menyolok.
Contohnya seorang pasien merasa takut wajahnya akan memerah ketika ia berbicara dengan
atasannya, memiliki gambaran tentang dirinya bahwa seluruh wajahnya dari puncak dagu
Konseptualisasi kasus pada pasien dengan fobia sosial adalah sebagai berikut:4
Self-conscious
Safety Anxiety
behaviors
Contoh dari negative automatic thoughts adalah mereka akan lihat saya cemas, mereka akan
berpikir saya bodoh, setiap orang akan memperhatikan, saya akan kalah. Contoh dari self-
conscious adalah citra diri dengan tubuh kaku, wajah tegang, tangan gemetar, suara bergetar,
seperti robot. Contoh dari safety behaviors adalah wajah atau tubuh yang rileks, berjalan
secara santai, senyum, menghindari kontak mata, bicara pelan, sedikit bicara, mengajukan
pertanyaan. Dan manifestasi ansietas yang muncul adalah sakit perut, mulut kering, tegang,
panas, konsentrasi buruk.
Selain CBT, pasien juga dapat diberikan terapi relaksasi yang bertujuan melatih agar
pasien menjadi mudah untuk rileks dan dapat mengendalikan tingkat kecemasannya. Pasien
dilatih untuk dapat merelaksasi otot-otot tubuhnya, dibantu untuk merasakan perbedaan otot-
otot tubuh dalam keadaan tegang dan rileks. Selanjutnya pasien diminta untuk
mengulanginya sendiri di rumah. Selain itu pasien juga dapat dilatih untuk latihan
pernafasan. Pasien dapat diminta untuk menarik nafas dalam hitungan satu kali dan
membuang nafasnya dalam hitungan 3 kali yang dapat diulang berkali-kali sampai pasien
merasakan cemasnya berkurang. Hal ini dilakukan karena pada pasien ini dapat terjadi
hiperventilasi bila kecemasan dan ketakutannya muncul maka latihan pernafasan ini
diharapkan cukup efektif untuk mengatasinya.5,6
Pertemuan pertama:
Dokter (D): Selamat siang (tersenyum, sambil mengulurkan tangan mengajak pasien untuk
berjabat tangan). Mari silakan duduk (sambil mempersilakan pasien duduk).
Pasien (P): (membalas jabatan tangan dokter sambil menundukkan kepala). Terimakasih dok
(pasien duduk).
D: Apa yang bisa saya bantu E?
P: (pasien hanya menundukkan kepala).
D: Dengan siapa E datang kemari? (sambil memperhatikan wajah pasien yang selalu
menunduk).
P: Sama papa dan mama (suaranya lirih dan masih tetap dengan wajah menunduk).
D: Hmm...E sepertinya kurang nyaman ya? (sambil menyentuh punggung tangan
pasien untuk memberikan rasa tenang/empati).
P: (diam saja, tetap menunduk sambil meremas-remas tisu yang digenggamnya).
D: E... disini tidak ada orang lain kecuali saya dan E, jadi apapun yang ingin E sampaikan
disini akan menjadi rahasia kita berdua, tidak akan ada orang lain yang tahu (dengan
suara lembut).
P: (menatap wajah terapis dan mulai terisak-isak).
D: Ada apa E?
P: (menangis semakin terisak-isak).
Pertemuan kedua:
D: Selamat siang E (sambil tersenyum dan menyilakan pasien duduk).
P: Selamat siang dok (tersenyum kecil dan duduk di depan pasien).
D: Apa kabar?
P: Baik dok (sambil tersenyum malu-malu dan menatap pasien).
D: Hari ini E tampaknya lebih ceria ya...
P: Alhamdulillah dok...saya sudah lebih nyaman...maaf ya dok minggu lalu saya nangis di
depan dokter...
D: Kemarin itu E kayaknya belum nyaman ya...
P: Ya dok (menunduk).
D: Hmm...apa E sering seperti itu setiap bertemu dengan orang yang baru E kenal?
P: Ya dok (menatap pasien sambil malu-malu).
D: Bisa E ceritakan seperti apa?
P: Dulu saya tidak seperti ini dok...
D: Terus?
P: Baru akhir-akhir ini aja dok, kira-kira setahun belakangan ini. Awalnya waktu saya ujian
sidang akhir, saya cemas dan takut sekali menghadapi penguji. Jadinya saya gak lulus,
harus her deh.
D: Lalu?
P: Waktu her saya dikasih penguji yang baik-baik dan sabar dok, Alhamdulillah saya lulus.
Tapi nilai saya kurang bagus dok.
D: Apa yang E rasakan waktu itu?
P: Gak karuan dok. Kepala saya pusing, mukanya saya terasa panas, jantung berdebar-
debar, keringat dingin sampai sakit perut. Jadi gak bisa mikir dok.
D: Hmm... gak nyaman ya E?
P: Gak nyaman sekali dok...
D: Selain ujian sidang tadi, apa ada peristiwa lain yang membuat E merasakan hal seperti
tadi?
P: Ya dok...waktu saya melamar pekerjaan. (pasien menunduk lagi).
D: Bisa cerita lebih lanjut?
P: Enam bulan lalu...saya kerja ikut kakak saya di perusahaan asuransi. Saya kerja di bagian
Naskah National Board Examination-290710 Hal. 32
telemarketing. Saya harus menghubungi klien lewat telepon dan nawarin produk. Padahal
cuma lewat telpon dok, tapi saya groginya minta ampun. Setiap kali nelpon saya
langsung berdebar-debar, gemetar jadi bikin saya gak PD dok.
D: Apa yang E pikirkan waktu itu?
P: Saya takut gak bisa jawab pertanyaan klien, saya takut salah omong, saya takut dinilai
sama klien, saya ngerasa gak sanggup dok.
D: Hmm...begitu ya E...lalu?
P: Ya gitu deh dok....saya gak betah. Baru 5 hari kerja saya minta keluar aja.
D: Sekarang kerja dimana E?
P: Belum dok....saya udah coba ngelamar kerja dimana-mana tapi selalu gagal waktu
wawancara. Sama juga kayak waktu itu, saya selalu ngerasa gak sanggup ngadepin orang
lain yang baru saya kenal dok.
D: Ya...ya...
P: Saya pingin cepat dapat kerja dok, tapi saya takut dan cemas kalau harus wawancara.
Dokter bisa bantu saya?
D: Begini E...(mulai memberikan psikoedukasi tentang gangguan yang dialami pasien saat
ini, menilai motivasi pasien, menjelaskan tujuan dan cara pendekatan terapi, membuat
kontrak terapi, bersama-sama dengan pasien membuat formulasi kasus serta menganalisis
perilaku pasien).
Jadi nanti di rumah E membuat PR seperti yang saya ajarkan tadi ya…Minggu depan
datang kontrol lagi dan PRnya dibawa.
P: Insya Allah dok. Saya pingin cepat sembuh.
D: Bagus E….jangan lupa mempraktekkan teknik relaksasi kalau E merasa tidak nyaman ya.
P: Jadi minggu depan saya kesini lagi ya dok….dan obat ini saya minum juga ya
dok…Terimakasih dok (tersenyum sambil mengulurkan tangan untuk berjabat tangan).
D: Ya betul E….sampai ketemu minggu depan ya…(tersenyum sambil mengulurkan
tangan).
Pertemuan keempat:
P: Selamat siang dok (pasien memasuki ruang praktek dengan wajah ceria dan langsung
menghampiri meja dokter sambil mengulurkan tangan untuk bersalaman).
D: Selamat siang E.....wah tampak ceria sekali dan bersemangat ya...
P: Ya dok....terimakasih ya dok atas bantuan dokter saya kemarin bisa wawancara
pekerjaan.
D: Alhamdulillah....saya ikut senang mendengarnya E...bagaimana ceritanya E?
P: Saya melamar di sebuah perusahaan farmasi dan satu lagi di prabrik garmen.... Awalnya
saya cemas, tapi saya pikir untuk apa ya....saya coba relaksasi, membantu sekali dok...
Saya pikir kalau ini gagal saya akan terus mencoba dok...ya itung-itung latihan
wawancara ya dok (tertawa kecil).
D: (tersenyum)....jadi menurut E sudah ada kemajuan ya?
P: Banget dok. Ohya dok ini PR nya....(sambil menyerahkan buku PRnya).
Pertemuan ketujuh:
P: Selamat siang dok...(menyapa dengan lebih percaya diri)
D: Selamat siang E, apa kabar?
P: Alhamdulillah dok....saya sudah jauh lebih baik.
D: (tersenyum)....kira-kira kalau diberi nilai dari 0 sampai 10, dibanding dengan pertama
kali E datang kesini dengan yang sekarang, kondisi E ada di nilai berapa?
P: Hmmm...kira-kira 7 dok. Udah lumayan kan dok (sambil tersenyum senang).
D: Oh....bagus itu...
P: Saya juga sudah berani menyapa orang lain lebih dulu dan ngajak ngobrol dok, tapi
gak sering sih dok.
D: Baik sekali itu E....coba ceritakan...
P: Kalau saya naik kendaraan umum terus yang duduk disamping saya ibu-ibu atau
perempuan saya coba-coba ajak ngobrol.
D: Seperti apa E contohnya?
P: Ya seperti yang dokter ajarkan.....Ya saya tanya mau kemana bu? Rumahnya dimana? Ya
kayak gitu dok...Di tempat latihan pencak silat saya juga udah gak buntutin papa
terus...udah mulai berani ngajak ngobrol yang lainnya dok....Papa saya senang banget
dok...
D: Apa yang E rasakan saat itu?
P: Malu masih ada sedikit tapi saya coba lawan dok...saya pikir ngapain harus malu
ya... saya udah lebih PD lah dok...Saya juga sedikit-sedikit mulai berani natap mata
orang yang saya ajak ngomong....tadi saya kesini juga sendiri dok, saya berani gak usah
ditemenin mama lagi....
D: Bagus E....diteruskan ya...lama kelamaan E akan lebih bisa mengatasi kecemasan E ya...
P: Ya dok. Saya pingin cepat-cepat dapat kerjaan supaya bisa bantu mama dan kakak saya.
Kasihan dia mau nikah gak jadi-jadi karena saya belum kerja...
D: Ya...ya...
2. Newton D.S, Newton P.M. Erik H. Erikson. In: Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan and
Sadock’s Comprehensive Textbook of Psychiatry. Ed. 7th. Philadelphia: Lippincot Williams
& Wilkins, 2000.
4. Bond F.W, Dryden W. Handbook of Brief Cognitive Behaviour Therapy. London, UK:
John Willey&Sons Ltd, 2002.
5. Sadock B.J, Sadock V.A: Anxiety Disorders in Kaplan & Saddocks Comprehensive
Textbook of Psychiatry; Ed. 8th. Philadeldhia: Lippincott Williams & Wilkins, 2005.
6. Kaplan H.I, Saddock B.J: Anxiety Disorders in Kaplan & Saddocks Synopsis of Psychiatry;
Ed. 10th. Philadeldhia: Lippincott Williams & Wilkins, 2007.
7. Gabbard G.O. Psychodynamic Psychiatry in Clinical Practice, Ed. 3rd. American Psychiatric
Press, 2000.
8. Schneier F.R, Luterek J.A, Heimberg R.G, Leonardo E. Social Phobia. In: Stein D.J. Clinical
manual of anxiety disorders. Arlington: American Psychiatric Publishing Inc., 2004.