Anda di halaman 1dari 16

BAB VII

EMPAT PERJALANAN MENUJU


KESEMPURNAAN
Pembahasan secara terperinci berkenaan tentang empat perjalanan ini, setahu saya
untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh sang pemilik otoritas Shadr Al-Muta’alihin,
Marhum Muhammad Ibnu Ibrahim Shadruddin Syirazi (Mulla Sadra-1571-1640
M)─hanya Allah dan Rasul-nyalah yang mengetahui kedudukan-Nya─dalam buku beliau
“Al-Asfaru Al-Arbaah”. Buku tersebut membahas secara filosofis (baca pula: secara
akliah) empat tahap perjalanan para urafa’. Tetapi menurut para filosof yang sekaligus
urafah, jika buku ini diteliti secara cermat, akan ditemukan bahwa buku ini menerangkan
pula sebuah perjalanan yang syuhudi atau perjalanan ruhaniah. Karena buku inilah yang
menggabungkan kaum irfan dan para filsuf (urafa dan filosof). Persis figur dari Mulla
Sadra sendiri seorang filosof sekaligus irfan. Meminjam istilah Ayatullah Jawadi Amuli,
bahwa : “Bukan seorang filosof yang tidak irfan. Dan bukan seorang irfan yang tidak
filosof ”
Al-Asfar dicetak dalam sembilan jilid, yang masing-masing jilidnya kurang lebih
setebal 400 halaman. Di Iran, Ayatullah Jawadi Amuli─Semoga Allah memanjangkan
umur beliau─sebagai pengajar terkemuka Al-Asfar, hanya mengajarkan 100 halaman tiap
tahunnya. Jika Al-Asfar terdiri atas sembilan jilid dan tiap jilidnya 400 halaman berarti
butuh waktu 36 tahun untuk menamatkannya. Ini pun belum terhitung anjuran-anjuran
yang harus dipenuhi seseorang sebelum mempelajari Al-Asfar baik secara umum maupun
secara khusus. Yang mana anjuran tersebut dipesankankan oleh Mulla Sadra sendiri.
Adapun anjuran secara umum dan secara khusus yang kami kutib dari buku Logika dan
Filsafat karangan Guru kami Hujjatul Islam Hasan Abu Ammar yakni:
Anjuran Umum
1. Bahasa Arab. Dari Sharaf, Jurumiah, Quthrunnadah, syarh Ibnu Aqil atau Suyuti
sampai pada Mughni al-labib. (Waktunya + / - tiga sampai empat tahun)
2. Logika. Dari Klulashah sampai Mudhaffar atau Hasyiah. (+/- dua sampai tiga
tahun)
3. Ilmu kalam. Daru Babu Al-Hadi ‘Asyr sampai Syahru al-tajrid. (+/- dua sampai
tiga tahun)
4. Ilahiyatnya Ibnu Sina. Kurang lebih satu sampai dua tahun.
5. Isyarat Wa Al-Tambihatnya Ibnu Sina yang juga kurang lebih satu sampai dua
tahun. Atau mempelajari Bidayatu Al-Hikmah dan Nihayatul Al-Hikmah
karangan Ayatullah Allamah Thabathabai yang bisa memakan waktu dua sampai
tiga tahun.
Anjuran Khusus
1. Pembersihan jiwa dari dosa, makruh dan mubah. Kalau anda bertanya apakah
mereka tidak makan dan minum? Jawabnya adalah sama seperti kita, yakni makan
dan minum. Tapi makan dan minumnya mereka hanya kebutuhan jasmani saja
tanpa dicampuri rasa suka dan senang sedikitpun kepada makanan dan minuman
yang mereka makan dan minum. Begitu pula pekerjaan-pekerjaan mereka yang
lain.
2. Menguatkan dasar-dasar ma’rifah dan hikmah (filsafat). Sebab jika tidak, maka
bangunan yang akan dibangun di atasnya akan mudah runtuh dan dijatuhkan.
3. Tidak menyibukkan pada kata-kata sufi gadungan. Bukan sufi yang urafah.
4. Tidak condong pada kata-kata para mutafalasifah (kefilosof-filosofan). Karena
dapat menjadi fitnah yang menyesatkan.

Jika kita melihat anjuran sebelum dan saat mempelajarinya hingga tamatnya Al-
Asfar, kita membutuhkan waktu kurang lebih 50 tahun. Ini belum melihat anjuran-
anjuran khusus. Sehingga sangat mustahillah saya yang hina ini membicarakan sebuah
karya yang sangat agung tersebut. Jangankan Al-Asfar, logika saja belepotan. Jangankan
untuk meninggalkan yang makruh dan mubah, yang wajib saja jarang dilaksanakan.
Hidup saya ini, masih dihabiskan dengan perbuatan maksiat. Dan hanya Allah pulalah
yang mengetahui seberapa besar maksiat yang saya telah buat. Sehingga jangankan untuk
mempelajarinya, untuk melihat bukunya pun hewan seperti saya ini tidak layak. Tetapi
dibalik kehewanan saya, dibalik kemaksiatan saya, masih tersimpan keinginan besar
untuk mengecap barang sedikit saja karya yang sangat agung itu. Karena saya tahu bahwa
Allah Maha Rahman dan Rahim yang mampu menunjuki jalan pada hambanya yang di
kehendakinya, jika hambanya menghendaki jalan tersebut.
Berdasarkan ini pula kita tidak perlu untuk berkecil hati dan ciut nyali melihat
waktu yang begitu lama dalam mempelajari Al-Asfar. Karena tidak jarang orang-orang
yang dikasihi oleh Allah bisa dengan singkat menguasai Al-Asfar. Hal ini telah terbukti,
banyak diantara guru-guru kita hanya sembilan tahun telah menguasai Al-Asfar. Bahkan
tidak tertutup kemungkinan hanya tiga hari atau bahkan enam jam telah menguasainya.
Dan ini tentunya tergantung sebab penyiap dan sebab pemberinya─Semoga kita layak
bermimpi menempati kedudukan tersebut.
Berhubung dengan ketidaklayakan diri saya dalam membahas─meskipun secara
singkat saja tentang tema ini. Olehnya itu ijinkan saya bertawassul pada guru-guru kami,
utamanya Ayatullah Murtadha Muthahhari─Semoga Allah menempatkannya pada jajaran
orang yang syahid di karbala─Karena melalui buku (Manusia Seutuhnya) karangan
beliau saya sedikit mendapatkan gambaran, meskipun secara ringkas tentang empat tahap
perjalan tersebut. Yang dalam tema ini kita sebut dengan “Empat Perjalanan Menuju
Kesempurnaan”. Dan saya pun akan menambahkan penjelasannya berdasarkan pendapat
guru-guru kami yang lain, lebih khusus lagi Hujatul Islam Hasan Abu Ammar,
tentunya dengan penambahan dan perubahan seperlunya. Adapun Empat tahap perjalan
tersebut :

TAHAP PERTAMA: PERJALANAN MANUSIA DARI DIRI MENUJU TUHAN


Dalam tahapan pertama ini seseorang harus berjalan dengan meninggalkan alam
materi menuju alam mitsal (malakut). Dari alam mitsal menuju alam akal. Serta dari alam
akal menuju Allah. Maksud dari kata meninggalkan adalah meningalkan dalam hati.
Artinya rasa suka dan senang selain dari pada Allah dihilangkan dalam hatinya. Sehingga
hati menjadi bersih selain-Nya.
Telah barang tentu, jika kita masih memiliki rasa suka kepada materi─sekecil
apapun, maka kita tidak akan pernah mampu memasuki alam malakut secara sempurna.
Kita boleh saja tetap makan, minum, dll, namun hati kita harus dihampakan dari semua
itu sehingga keluar dari sentuhan materi. Setelah itu barulah kita dapat secara sempurna
memasuki alam malakut yang mana kenikmatannya berupa pengetahuan akan alam
materi.
Bagi orang yang memasuki alam ini, khususnya yang sempurna, mestilah
mengetahui rahasia seluruh rahasia alam materi baik yang telah terjadi maupun yang
sedang dan belum terjadi. Karena di alam inilah terletak kitab Qadha dan Qadar. Namun
kitab ini tidak menentukan.
Untuk meninggalkan alam ini hati kita haruslah dibersikan dari kesukaan akan
hal-hal yang ajaib (ajaib versi alam materi) dan berbagai kenikmatan di dalamnya.
Misalnya, syuhud, mukasyafah, karomah, bidadari ataupun kenikmatan surga lainya. Bisa
juga kenikmatannya berupa pengetahuan akan rahasia alam materi. Yang kesemuanya ini
adalah merupakan jebakan alam malakut. Olehnya itu kita harus memandangnya sebagai
cobaan saja, bukan pemberian final. Sebab ini akan menjadi hijab bagi kita nantinya.
Orang arif menyebutnya sebagai hijab dari cahaya (Hujaba Al-nur) yang berada di balik
materi (hijab kegelapan). Imam Khomeni seringkali memperingatkan kita akan hijab ini,
beliau mengatakan bahwa hijab ini merupakan salah satu hijab paling tebal dan memiliki
jurang yang paling dalam bagi seorang pesuluk (baca : penempuh jalan spiritual).
Sudah menjadi kemestian bagi kita untuk memutuskan jaring jebakan alam
malakut ini. Bukan malah asyik memamerkan kelebihannya dengan menjadi dukun
berjubah wali. Atau bermain akrobat yang dibungkus dengan karomah. Bukan pula di
gunakan untuk menyembuhkan penyakit orang sementara dirinya pun masih sakit. Dan
sekiranya kita telah mampu melenyapkan rasa suka kita pada semua kenikmatan alam
malakut, maka kita akan memasuki tahap akhir pada perjalanan pertama ini, dengan
memasuki alam akal. Alam dimana beban dan bentuk serta sifat-sifat lain alam meteri
tidak dapat mengiringi. Jika di alam malakut hakikat manusia masih berbentuk, meskipun
tidak berbeban maka. Pada alam akal tidak ada bentuk apalagi beban.
Alam inilah yang dijuluki dengan “Jannatul Al-Muqarrabin“ Surga orang-orang
yang didekatkan. Yang letaknya di atas surga orang-orang mukminin atau surga orang-
orang beriman. Kenikmatan alam ini tidak ada bandinganya lagi. Namun itu pun masih
merupakan jebakan sehingga memaksa kita harus meninggalkannya untuk memasuki
kenikmatan paling hakiki yaitu “washlat” sampai pada Al-haq. Sehingga tidak ada lagi si
fulan yang berjalan. Melainkan yang ada hanya Allah.
Jika sekiranya kita telah mampu melakukan semua itu dan dengan selamat sampai
pada Allah, maka kala itulah kita telah memenuhi syarat paling minim untuk disebut
sebagi “Wali Allah”. sehingga derajat ini pun tidak berarti apa-apa lagi bagi kita. Karena
tentunya Allah lebih penting bagi kita.
Jadi ketika salah satu hadist berbunyi: “Cinta dunia pangkal dari segala
kesalahan” Bukanlah berarti cinta harta dan alam materi lainnya. Melainkan bermakna
suka atau cinta kepada yang rendah. Karena dunia sendiri bermakna kata rendah.
Sedangkan kita tahu bahwa selain Allah adalah rendah (baca pula: ketiadaan). Olehnya
itu surga jannatul mukarrabin, materi, hanya penghalang semata. Dari sinilah, maka tidak
heran jika setan dengan lantang berkata: ”Aku bersumpah dengan keagungan-Mu, maka
sungguh-sungguh akan kusesatkan mereka (manusia) kecuali hamba-hamba-Mu yang
tergolong mukhlasin (sangat ikhlas)”.
Di sisi lain, menyukai yang halal, ilmu-ilmu gaib, karomah, surga dan sebagainya
merupakan rangsangan dan anjuran dari Allah. Sehingga di sini terkesan adanya
kontradiksi. Namun bagi orang yang terbiasa belajar logika pastilah ia tidak kebingungan.
Ketahuilah, penyembahan terhadap Allah itu terdiri pula atas tingkatan-tingkatan. Yang
Menurut Imam Khomeni tingkatannya sebanyak hembusan nafas manusia.
Imam Ali KW telah membagi secara garis besar tiga tipe orang beribadah yakni:
“Ibadahnya seorang pedagang, ibadahnya seorang budak, dan ibadahnya seorang ikhlas
(baca : pencinta).” Dan orang yang beribadah atas dasar surga, menyumbang kemesjid
karena berharap pahala, atau berharap kenikmatan spiritual lainnya, adalah tak lebih dari
seorang pedagang. Yaitu berbicara untung dan rugi. Jika sekiranya tidak ada surga beserta
kenikmatannya pastilah orang pada level ini tidak akan mau beribadah. Selanjutnya, jika
ibadah yang kita lakukan dikarenakan takut sama neraka atau siksaan lainnya. Maka
ibadah kita tidak lebih dari seorang budak. Karena sebagaimana maklum, ciri khas dari
seorang budak yaitu terpaksa dalam melaksanakan sesuatu sehingga tanpa harus
mengetahui kenapa ia harus melakukannya. Tetapi sekiranya tidak ada neraka dan tidak
ada siksaan bagi orang yang berbuat dosa atau bahkan dosa pun tidak ada. Pastilah orang
tersebut tidak akan beribadah. Guru saya yang YM. YTC. Dimitri Mahayana─Semoga
Allah memanjangkan umur beliau─berkata: “Masih maukah kita tetap beribadah,
meskipun ibadah itu tidak lagi diwajibkan atas kita”.
Jadi, jika seseorang telah bertanya: “Apakah orang yang beribadah pada tipe
pedagang dan tipe budak dapat disebut kafir?” jawabannya; “Orang tersebut tetap dapat
disebut beriman dan tidak kafir. Tetapi jika parameter yang digunakan adalah tingkatan
ikhlas maka perbuatan itu bisa saja kafir. Cuma kafirnya bukan pada Allah tetapi pada
level keikhlasan”.
Ketauhilah, jika hati kita masih terdapat kecondongan selain dari pada Allah,
maka hal ini akan membuka ruang gerak dari pada iblis dengan berbagai jebakan-
jebakannya. Karena iblis tahu betul apa mau kita. Pengetahuan ini didapatkan karena iblis
berada pada alam malakut. Bahkan pernah menghuni surga. Sehingga jebakan yang iblis
lakukan sangat sulit untuk dibedakan.
Suka akan harta halal dan surga merupakan bahan bagi operasi iblis sekalipun
ibadah bagi kaum mukminin. Dengan memancing pada yang halal atau surga, manusia
dapat ditarik kepada yang haram atau neraka. Kesukaan kita terhadap pamrih atas
perbuatan yang kita lakukan, dapat membuat kita tergelincir pada lembah kehinaan iblis.
Mungkin kita bertanya: “Jika demikian halnya, lantas untuk apa Allah merangsang kita
dalam beribadah dengan menawarkan pamrih?” Yang pertama, orang yang berada pada
tipe pedagang dan budak pastilah tidak akan menyembah dan taat pada Allah tanpa
adanya ganjaran-ganjaran yang diberikan. Kedua, karena golongan ini belum sampai
pada tingkatan mukhlasin (tipe ketiga versi Imam Ali Kw). Yakni orang-orang yang taat
pada Allah meskipun tanpa surga dan neraka. Yang mana orang ini menyembah Allah
hanya dikarenakan Allah memang layak disembah. Imam Ali KW berkata; “Ya Allah
jadikan kami diantara orang-orang yang Engkau kosongkan dirinya untuk diri-Mu. Yang
Engkau ikhlaskan untuk memperoleh cinta dan kasih-Mu. Yang Engkau bersihkan
hatinya untuk cinta-Mu. Yang Engkau putuskan dari padanya segala sesuatu yang dapat
memutuskan hubungan dengan-Mu”.
Bagi para aulia meletakkan selain Allah dalam hati adalah dosa yang teramat
besar. Bahkan untuk mengakui eksistensi dirinya atau pun amal ibadahnya merupakan aib
yang sangat menjijikkan. Mungkin inilah yang disabdakan Nabi Muhammad SAW :
“Saya tidak pernah meyembah Allah sebagai mana layaknya Allah disembah”. Sungguh
sebuah kerendahan hati yang tak terukur nilai keikhlasannya.
Di kalangan para wali Allah, yang menjadi fokus bagi dirinya hanya Allah semata
sehingga melupakan dirinya. Hal ini telah membuat iblis beserta pasukannya tidak dapat
berkutik lagi buta. Karena jangankan Allah dapat dia kenali, alam akal pun iblis tak dapat
menyentuhnya. Olehnya itu, iblis tidak dapat berbuat apapun di alam sana. Bahkan
jangankan berbuat, berkhayal pun tentang alam akal tidak sanggup. Alam akal adalah
alam yang sangat gelap baginya. Sehingga bagaimana mungkin ia dapat bertingkah di
alam akal, begaimana mungkin ia dapat bertingkah di dalam hati para aulia yang telah
mengedapankan akalnya bahkan telah menyatu dengan akalnya.
Hal ini sangat logis. Karena jika kita hanya menginginkan Allah semata, maka
kita pun akan mencarinnya berdasarkan jalan yang ditetapkannya yaitu syariat. Atau
dengan mengikuti sepenuhnya perintah akal kita dengan melaksanakan segala yang
diinginkan Allah dan menjauhi segala larangan-Nya, karena Allah. Di sini, dengan
menggunakan akal kita pastilah tidak tertipu dengan jebakan iblis. Sehingga jadilah
perbuatan kita semuanya berbanding terbalik dengan keinginan iblis terhadap kita. Dan
berkatala iblis:
“Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku
akan menjadikan manusia memandang baik perbuatan maksiat di muka bumi, dan pasti
aku akan menyesatkan mereka semuanya. Kecuali hamba-hambamu yang muhklis
diantara mereka”. (QS. Al Hijr (15): 39-40).

Bagi orang yang telah sampai pada tahap ini, yakni dalam peristilahan “sampai
kepada Allah” atau “fana” (baca pula: Tengelam dalam ma’rifat) dengan meninggalkan
segala sesuatu selain-Nya sebagaimana yang telah kita bahas di atas, berarti ia telah
menyelesaikan perjalanan pertama dalam (Al-Asfar). Tetapi meskipun tahap ini adalah
baru tahap pertama dari Al-Asfar, bagi orang seperti saya ini hampir mustahil untuk
untuk mencapai derajat tersebut. Bahkan untuk dekat sama orang-orang yang telah
mencapai derajat ini, itu pun terlalu baik bagi diri yang teramat hina ini. Guru kami yang
tersayang Al Ustad. Haddad Alwi dalam salah satu syair shalawat beliau telah berkata:

“Tuhanku sekiranya saya tidak mampu menatap wajah-Mu, cukuplah bagiku menatap
wajah orang-orang yang mampu menatap wajah-Mu”.
TAHAP KEDUA: PERJALANAN BERSAMA ALLAH DI DALAM ALLAH
MENUJU ALLAH

Dalam perjalanan ini kita akan melakukan perjalanan yang tiada batasnya. Karena
sebagaimana maklum Allah tidak memiliki batas. Pada tahap ini apa yang diucapkan
Imam Ali KW sangatlah relevan yaitu: “Aduh….betapa sedikitnya bekal dan betapa
jauhnya perjalanan“. Pada tahap ini kita akan berjalan menelusuri asma-asma Allah.
Sehingga disamping kita fana dalam zatnya sebagaimana dalam perjalanan tahap
pertama, kita juga akan fana dalam sifat-sifat dan perbuatannya.
Perlu diketahui pula, bahwa fana di sini bukanlah berarti hilang. Seperti defenisi
fana yang telah beredar, meskipun itu keliru. Tetapi sekali lagi fana, berartikan suatu
keadaan dimana kita akan tenggelam dalam ma’rifat. Yakni tidak lagi melihat selain dari
Allah dalam zat, sifat dan perbuatan-Nya.
Fana dalam zat juga disebut derajat “Rahasia” (sir). Dan fana dalam sifat disebut
derajat “Tersembunyi” (khafi). Sedang derajat “Tersembunyinya-tersembunyi” adalah
fananya-fana. Dimana kita tidak lagi merasakan kefanaan. Karena ketika kita masih
merasakan fana sekalipun fana, berarti kita masih melihat keberadaan diri kita. Dalam
artian masih ada pengakuan terhadap eksistensi diri. Sebab perasaan ‘ada’ setelah adanya
si perasa. Olehnya itu dikalangan para aulia kesadaran akan kefanaan dalam tingkatan
terakhir ini mesti diabaikan, sehingga perhatiannya betul-betul tertuju pada Allah SWT.
Dengan ini maka perjalanan keduanya dapat dikatakan berakhir.
Karena nikmatnya bersama Allah pada perjalanan ini, tidak jarang para-para aulia
tidak mau lagi meneruskan peda tahap selanjutnya. Bisa jadi mereka menganggap bahwa
ini adalah puncak dari perjalanan. Dan anggapan seperti inilah merupakan cobaan yang
maha dasyat bagi seseorang pada derajat ini.

TAHAP KETIGA: PERJALANAN MANUSIA BERSAMA ALLAH MENUJU


MAKHLUKNYA

Jika pada tahap pertama kita berangkat dari terkungkung pada aneka ragam
kejamakan, kepluralitasan, kebermacam-macaman untuk mencapai ketunggalan realitas
dan sekiranya kita berhasil, maka kita akan fana dalam zat dan melanjutkannya pada fana
dalam sifat (asma-asmanya) dalam perjalan kedua. Tetapi pada tahap yang ketiga ini
setelah mencapai kefanaan zat dan sifat dan perbuatan, kita akan berusaha lagi kembali
melihat keaneka ragaman tadi. Kita mesti melihat semua makhluk Tuhan. Yakni alam
akal, alam malakut, dan alam materi, dengan tetap menjaga kefanaan terhadap zat dan
sifat dan perbuatan tadi. Sehingga jadilah diri kita “perpanjangan tangan Allah“ pada
ketiga alam tersebut. Sehingga kita tidak akan bergeming lagi dengan kenikmatan-
kenikmatan pada ketiga alam itu.
Jadi jika pada perjalanan pertama kenikmatan pada ketiga alam tersebut
merupakan gangguan sehingga kita akan berusaha menepisnya, namun pada tahap ketiga
ini semuanya itu tidak terasa nikmat lagi. Karena kita telah bersama dengan Allah sumber
dari segala sumber kenikmatan. Namun kenikmatan akan hal ini tidak membuat kita
lantas lupa terhadap perjalanan menelusuri ketiga alam tersebut. Sehingga selesailah
perjalanan ketiga ini.

TAHAP KE EMPAT: PERJALANAN MANUSIA DARI MAKHLUK BERSAMA


ALLAH MENUJU MAKHLUK

Perjalanan ketiga di atas merupakan awal dari perjalanan keempat ini. Karena
pada perjalanan ketiga dari Allah menuju makhluk. Sedangkan pada tahap ini perjalanan
pada sekitar makhluk saja. Namun tetap bersama Allah. Di tahap ini kita akan dengan
seksama memperhatikan makhluk beserta rahasia-rahasianya. Maka jika kita sampai pada
tahap ini, kita akan mengetahui semua rahasia dari pada makhluk. Oleh karena itu, jika
sekiranya Allah menghendaki maka kita akan di angkat sebagai seorang Rasul. Namun
ini semua mustahil, karena tidak ada lagi rasul setelah Nabi Muhammad SAW. Tetapi
meskipun secara kepangkatan kita bukan nabi, tetapi derajat kita berada pada derajat
kenabian. Hal ini sebagaimana yang telah dibahas pada BAB VI .
Olehnya itu, derajat ini sering juga disebut dengan derajat “wilayah” atau
“Imamah” Jika Allah mengangkat seseorang jadi imam. Sebagaimana yang terjadi pada
Imam Ali KW beserta sebelas Imam lainnya. Sedang jika Allah mengangkatnya sebagai
rasul maka derajatnya adalah derajat “Risalah” atau kerasulan.
Sebenarnya Imam itu sama dengan Nabi hanya saja tidak ada lagi Nabi setelah
Muhammad SAW. Sebagaimana sabda beliau:
“ Setelahku aku akan ada dua belas Imam. Yang pertama dari kami adalah Muhammad.
Yang terakhir dari kami adalah Muhammad. Diantara kami adalah Muhammad. Dan kami
semua adalah Muhammad. Karena kami semua adalah satu Nur ”.

“Aku akan digantikan oleh dua belas pemimpin agama, semuanya berasal dari Qurais”.
(Shahih Bukhari).
“ Aku dan Ali ibarat Harun disisi Musa, Hanya saja tidak ada Nabi setelahku”.

Inti dari perjalanan ini, yaitu bagaimana umat manusia dapat semuanya ikut serta
dalam takarrub ilallah atau melaksanakan perjalanan menuju Allah, sebagaimana
perjalanan pertama tadi. Mungkin inilah yang telah dilakukan Nabi Muhammad SAW
ketika beliau mengubah masyarakat jahilia menjadi masyarakat Madinah (baca pula:
masyarakat yang tercerahkan). Atau ketika Ayatullah Ruhullah Khomeni mengubah
masyrakat Iran dari kekuasaan Syah Iran yang diktator lagi biadab menjadi sebuah
pemerintahan yang berdasarkan kearifan. Seperti sekarang apa yang kita dapat saksikan
di Iran.
Kurang lebih itulah secara ringkasnya pembahasan empat perjalanan
kesempurnaan versi kami yang berdasarkan apa yang kami pahami dari penjelasan guru-
guru kami. Dan guru kami pun berdasarkan apa yang beliau pahami dari Kitab Al-Asfar
Al- Arbaa. Yang merupakan kitab Irfan sekaligus filsafati atau filsafat yang irfani.
Saya hanya mau bilang, jika sekiranya kita mencermati empat tahap dari perjalan
ini, maka akan kita dapatkan hakikat kajian sosiologis dan ilahiyah dimana pada
perjalanan ini terjawablah kebuntuan dari ajaran kerahiban, Budhaisme. Karena sekiranya
puncak dari perjalanan hanya menuju Tuhan. Maka kita tidak akan mengenal manusia
lagi. Bukankah semuanya akan terhenti pada perjalanan kedua.
Kebingungan paham materialis lebih khusus lagi kapitalis dan sosialis terjawab
pula di sini. Karena tidak mungkin mereka kaum kapitalis dan sosialis mampu
memberikan perubahan pada masyarakat sedangkan mereka pun belum berubah. Akan
dibawa kemana masyarakat ini nantinya. Apakah mereka menyuruh kita berangkat dari
materi dan mengajak kita ke materi untuk mencapai materi. Sementara kita pun tahu
bahwa materi adalah sesuatu yang tak sempurna. Di sisi lain kita selalu mendambakan
kesempurnaan!
Jadi selain kepalsuan yang dibungkus dengan retorika. Propaganda yang ditutupi
dalil teknologi. Opurtunitas berwajah pragmatis. Kehampaan dengan media modernitas.
Kebingungan dalam menghadapi hidup yang opiumnya pelampiasan akan hasrat sesaat.
Apa lagi yang bisa ditawarkan oleh mereka kaum materialis?
Hanya orang-orang yang telah mampu menyelamatkan dirinyalah yang mampu
menjamin keselamatan kita. Hanya orang yang memiliki cahayalah yang mampu
menerangi masyarakat.
Berangkat dari tesis ini, saya pribadi tidak pernah lagi berharap bahwa Negara
(Indonesia) kita akan menjadi lebih baik jika Negara ini masih dipimpin oleh orang-orang
yang kegelapan dan tak punya cahaya. Dan bagaimana mungkin saya dapat berharap
cahaya dari mereka sementara mereka tidak memiliki yang saya harapkan. Jangankan
untuk menerangi diri saya atau masyarakat. Untuk menerangi dirinyapun itu tidak ada..!!

WALLAHU A’LAM BISH -SHOWWAB

Penutup Dan Doa.

Pada akhir pembahasan ini saya mau menutupnya dengan sebuah cerita tentang
kisah sedih Ahlul Bayt. Kisah ini di ceritakan oleh Guru yang mulia Ayatullah Murtadha
Muthahhari dalam buku beliau Falsafah Akhlak. Sekaligus juga sebagai tawassul kepada
Sayyidah Fatimah Az-Zahra dan Imam Ali Kw.
Tiada satu pun orang yang meragukan kasih sayang antara Imam Ali dan Fatimah.
Kasih sayang mereka adalah kasih sayang yang amat bersejarah. Imam Ali berkata:
“Kami berdua bagaikan sepasang burung merpati, yang tidak kenal kata pisah. Tetapi
nasib telah memisahkan kami”. Sebagaimana maklum, Fatimah selalu dirundung duka
setelah kematian Rasulullah SAW. Dan tidak lama setelah kematian Rasul, beliau pun
menyusul ayahnya.
Kerap kali Imam Ali menziarahi kubur Fatimah pada malam hari. Beliau berdiri
agak jauh dari kuburnya seraya berbicara dengan Fatimah yang dicintainya. Beliau
bersalam, kemudian mengeluh dan meminta jawaban dari Fatimah: “Mengapa aku berdiri
bersalam pada istriku, sementara istriku tidak sudi menjawab salamku? Kekasihku,
mengapa engkau tak segera menjawab salamku? Apakah engkau tidak lagi menyayangiku
lantaran engkau telah pergi dariku?”
Kemudian Imam Ali menjawabnya seakan-akan Fatimah yang memberi jawaban
padanya: “Harapan macam apakah yang engkau tunggu dariku? Tidakkah engkau ketahui
bahwa aku berada di balik tanah”.
Diantara wasiat Fatimah Az-Zahra kepada Imam Ali sebelum beliau meninggal:
“Ali sayangku! Ketika engkau nanti telah usai menguburkan jasadku dan menutupi
kuburku dengan tanah, janganlah tergesa-gesa untuk pergi, tinggallah barang sejenak.
Karena pada saat itu, aku amat membutuhkanmu”.
Imam Ali menguburkan istrinya dengan tangannya sendiri, dan meratakan tanah
kubur istrinya. Bajunya kotor dengan debu. Dan beliau membersihkan debu yang
menempel pada bajunya itu. Lantas tibalah saatnya beliau berdiri sejenak. Ketika beliau
telah usai dari acara penguburan, tiba-tiba hatinya terasa sedih yang amat dalam. Kepada
siapa lagi beliau mengadukan kesedihannya? Namun untunglah Imam Ali teringat bahwa
kubur Rasulullah SAW berada dekat dari situ. Siapa lagi yang lebih baik dari beliau, pikir
Imam Ali. Lantas Imam Ali berkata: “Duhai Rasul! aku menyampaikan salam kepadamu
baik dari diriku juga putrimu”.
Menit-menit saat itu meluapkan kesedihan Imam Ali. Kemudian Imam Ali
melanjutkan ucapannya: “Duhai Rasullullah! sebentar lagi putrimu akan menceritakan
kepadamu mengenai apa yang diperbuat umatmu kepadanya”.
Semoga kita tidak termasuk sebagai umat yang dilaporkan Fatimah Az-Zahrah
kepada Rasulullah yang dikarenakan telah mengecewakan hati beliau. Bukankah Rasul
telah bersabda: “Barang siapa yang menyakiti Fatimah maka ia akan menyakitiku”.
Olehnya itu, sebagai doa penutup dalam tulisan ini, saya akan menuliskan doa
yang diajarkan Sayyidah Fatimah dan sebuah doa renungan Yaitu :
“Ya hayyu ya qayyum, birahmatika astajhitsu falatakilni ila nafsi tharfata ‘aynin,
wa ashlihli sya ‘ni kullahu.” ( Wahai yang hidup, wahai yang berdiri sendiri, dengan
kasihmu aku memohon perlindungan. Jangan tinggalkan diriku sendirian sekejap
matapun selamanya. Perbaikilah segalah urusanku).

“Tuhan-Ku ! Hatiku tertutupi, jiwaku ternodai, akalku terkalahkan, hawa nafsuku


menang, ketaatanku sungguh sedikit, ma’siatku sungguh banyak, lidahku terbiasa dengan
dosa-dosa. Bagaimanakah dayaku duhai yang Maha menutupi aib dan noda. Duhai yang
Maha mengetahui segala yang gaib, duhai yang menyingkap semua duka. Ampunilah
semua dosa-dosaku demi kehormatan Muhammad dan keluarga Muahammad. Duhai
yang Maha pengampun, duhai yang Maha, duhai yang Maha pengampun. Dengan
rahmat-Mu Ya Arhama Rahimin.

“ Wassalam ”
RIWAYAT SINGKAT PENULIS

Penulis lahir di Makassar 16 Agustus 1980 dia menamatkan pendidikan


SLTA pada SMU 1 Pangsid Kab Sidrap Sul-sel. Sekarang dia masih terdaftar
sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Nama lengkap
penulis adalah Muh. Ridwan. Z, tetapi lebih dikenal oleh temannya dengan
panggilan cidos. Dia tidak punya pengalaman organisasi yang berarti sehingga
dapat disebutkan disini, dan juga tidak memiliki prestasi akdemik yang
spektakuler. Singkatnya dia hanya seorang anak manusia biasa yang lahir dari
rahim ibunya yang tercinta, H. Singgara Dg. Bau. Melalui pasangan Ayahanda
tercinta M. Zainal Abidin. Ali Husainmagga. yang kali ini mencoba
berkhidmat─jika memang layak dikatakan berkhidmat─kepada saudara-
saudaranya baik yang ada dibelahan timur maupun di belahan barat yang bersedia
membuka lembaran-lembaran ini.
“Silahkan anda pergi ke ujung timur dan
ke ujung barat untuk mencari pengetahuan.
Tetapi bagaimanapun, kalian mesti akan
kembali kepada kami untuk menemukan
sebuah kebenaran”

(Imam Muhammad Al Baqir)

Anda mungkin juga menyukai