Jika kita melihat anjuran sebelum dan saat mempelajarinya hingga tamatnya Al-
Asfar, kita membutuhkan waktu kurang lebih 50 tahun. Ini belum melihat anjuran-
anjuran khusus. Sehingga sangat mustahillah saya yang hina ini membicarakan sebuah
karya yang sangat agung tersebut. Jangankan Al-Asfar, logika saja belepotan. Jangankan
untuk meninggalkan yang makruh dan mubah, yang wajib saja jarang dilaksanakan.
Hidup saya ini, masih dihabiskan dengan perbuatan maksiat. Dan hanya Allah pulalah
yang mengetahui seberapa besar maksiat yang saya telah buat. Sehingga jangankan untuk
mempelajarinya, untuk melihat bukunya pun hewan seperti saya ini tidak layak. Tetapi
dibalik kehewanan saya, dibalik kemaksiatan saya, masih tersimpan keinginan besar
untuk mengecap barang sedikit saja karya yang sangat agung itu. Karena saya tahu bahwa
Allah Maha Rahman dan Rahim yang mampu menunjuki jalan pada hambanya yang di
kehendakinya, jika hambanya menghendaki jalan tersebut.
Berdasarkan ini pula kita tidak perlu untuk berkecil hati dan ciut nyali melihat
waktu yang begitu lama dalam mempelajari Al-Asfar. Karena tidak jarang orang-orang
yang dikasihi oleh Allah bisa dengan singkat menguasai Al-Asfar. Hal ini telah terbukti,
banyak diantara guru-guru kita hanya sembilan tahun telah menguasai Al-Asfar. Bahkan
tidak tertutup kemungkinan hanya tiga hari atau bahkan enam jam telah menguasainya.
Dan ini tentunya tergantung sebab penyiap dan sebab pemberinya─Semoga kita layak
bermimpi menempati kedudukan tersebut.
Berhubung dengan ketidaklayakan diri saya dalam membahas─meskipun secara
singkat saja tentang tema ini. Olehnya itu ijinkan saya bertawassul pada guru-guru kami,
utamanya Ayatullah Murtadha Muthahhari─Semoga Allah menempatkannya pada jajaran
orang yang syahid di karbala─Karena melalui buku (Manusia Seutuhnya) karangan
beliau saya sedikit mendapatkan gambaran, meskipun secara ringkas tentang empat tahap
perjalan tersebut. Yang dalam tema ini kita sebut dengan “Empat Perjalanan Menuju
Kesempurnaan”. Dan saya pun akan menambahkan penjelasannya berdasarkan pendapat
guru-guru kami yang lain, lebih khusus lagi Hujatul Islam Hasan Abu Ammar,
tentunya dengan penambahan dan perubahan seperlunya. Adapun Empat tahap perjalan
tersebut :
Bagi orang yang telah sampai pada tahap ini, yakni dalam peristilahan “sampai
kepada Allah” atau “fana” (baca pula: Tengelam dalam ma’rifat) dengan meninggalkan
segala sesuatu selain-Nya sebagaimana yang telah kita bahas di atas, berarti ia telah
menyelesaikan perjalanan pertama dalam (Al-Asfar). Tetapi meskipun tahap ini adalah
baru tahap pertama dari Al-Asfar, bagi orang seperti saya ini hampir mustahil untuk
untuk mencapai derajat tersebut. Bahkan untuk dekat sama orang-orang yang telah
mencapai derajat ini, itu pun terlalu baik bagi diri yang teramat hina ini. Guru kami yang
tersayang Al Ustad. Haddad Alwi dalam salah satu syair shalawat beliau telah berkata:
“Tuhanku sekiranya saya tidak mampu menatap wajah-Mu, cukuplah bagiku menatap
wajah orang-orang yang mampu menatap wajah-Mu”.
TAHAP KEDUA: PERJALANAN BERSAMA ALLAH DI DALAM ALLAH
MENUJU ALLAH
Dalam perjalanan ini kita akan melakukan perjalanan yang tiada batasnya. Karena
sebagaimana maklum Allah tidak memiliki batas. Pada tahap ini apa yang diucapkan
Imam Ali KW sangatlah relevan yaitu: “Aduh….betapa sedikitnya bekal dan betapa
jauhnya perjalanan“. Pada tahap ini kita akan berjalan menelusuri asma-asma Allah.
Sehingga disamping kita fana dalam zatnya sebagaimana dalam perjalanan tahap
pertama, kita juga akan fana dalam sifat-sifat dan perbuatannya.
Perlu diketahui pula, bahwa fana di sini bukanlah berarti hilang. Seperti defenisi
fana yang telah beredar, meskipun itu keliru. Tetapi sekali lagi fana, berartikan suatu
keadaan dimana kita akan tenggelam dalam ma’rifat. Yakni tidak lagi melihat selain dari
Allah dalam zat, sifat dan perbuatan-Nya.
Fana dalam zat juga disebut derajat “Rahasia” (sir). Dan fana dalam sifat disebut
derajat “Tersembunyi” (khafi). Sedang derajat “Tersembunyinya-tersembunyi” adalah
fananya-fana. Dimana kita tidak lagi merasakan kefanaan. Karena ketika kita masih
merasakan fana sekalipun fana, berarti kita masih melihat keberadaan diri kita. Dalam
artian masih ada pengakuan terhadap eksistensi diri. Sebab perasaan ‘ada’ setelah adanya
si perasa. Olehnya itu dikalangan para aulia kesadaran akan kefanaan dalam tingkatan
terakhir ini mesti diabaikan, sehingga perhatiannya betul-betul tertuju pada Allah SWT.
Dengan ini maka perjalanan keduanya dapat dikatakan berakhir.
Karena nikmatnya bersama Allah pada perjalanan ini, tidak jarang para-para aulia
tidak mau lagi meneruskan peda tahap selanjutnya. Bisa jadi mereka menganggap bahwa
ini adalah puncak dari perjalanan. Dan anggapan seperti inilah merupakan cobaan yang
maha dasyat bagi seseorang pada derajat ini.
Jika pada tahap pertama kita berangkat dari terkungkung pada aneka ragam
kejamakan, kepluralitasan, kebermacam-macaman untuk mencapai ketunggalan realitas
dan sekiranya kita berhasil, maka kita akan fana dalam zat dan melanjutkannya pada fana
dalam sifat (asma-asmanya) dalam perjalan kedua. Tetapi pada tahap yang ketiga ini
setelah mencapai kefanaan zat dan sifat dan perbuatan, kita akan berusaha lagi kembali
melihat keaneka ragaman tadi. Kita mesti melihat semua makhluk Tuhan. Yakni alam
akal, alam malakut, dan alam materi, dengan tetap menjaga kefanaan terhadap zat dan
sifat dan perbuatan tadi. Sehingga jadilah diri kita “perpanjangan tangan Allah“ pada
ketiga alam tersebut. Sehingga kita tidak akan bergeming lagi dengan kenikmatan-
kenikmatan pada ketiga alam itu.
Jadi jika pada perjalanan pertama kenikmatan pada ketiga alam tersebut
merupakan gangguan sehingga kita akan berusaha menepisnya, namun pada tahap ketiga
ini semuanya itu tidak terasa nikmat lagi. Karena kita telah bersama dengan Allah sumber
dari segala sumber kenikmatan. Namun kenikmatan akan hal ini tidak membuat kita
lantas lupa terhadap perjalanan menelusuri ketiga alam tersebut. Sehingga selesailah
perjalanan ketiga ini.
Perjalanan ketiga di atas merupakan awal dari perjalanan keempat ini. Karena
pada perjalanan ketiga dari Allah menuju makhluk. Sedangkan pada tahap ini perjalanan
pada sekitar makhluk saja. Namun tetap bersama Allah. Di tahap ini kita akan dengan
seksama memperhatikan makhluk beserta rahasia-rahasianya. Maka jika kita sampai pada
tahap ini, kita akan mengetahui semua rahasia dari pada makhluk. Oleh karena itu, jika
sekiranya Allah menghendaki maka kita akan di angkat sebagai seorang Rasul. Namun
ini semua mustahil, karena tidak ada lagi rasul setelah Nabi Muhammad SAW. Tetapi
meskipun secara kepangkatan kita bukan nabi, tetapi derajat kita berada pada derajat
kenabian. Hal ini sebagaimana yang telah dibahas pada BAB VI .
Olehnya itu, derajat ini sering juga disebut dengan derajat “wilayah” atau
“Imamah” Jika Allah mengangkat seseorang jadi imam. Sebagaimana yang terjadi pada
Imam Ali KW beserta sebelas Imam lainnya. Sedang jika Allah mengangkatnya sebagai
rasul maka derajatnya adalah derajat “Risalah” atau kerasulan.
Sebenarnya Imam itu sama dengan Nabi hanya saja tidak ada lagi Nabi setelah
Muhammad SAW. Sebagaimana sabda beliau:
“ Setelahku aku akan ada dua belas Imam. Yang pertama dari kami adalah Muhammad.
Yang terakhir dari kami adalah Muhammad. Diantara kami adalah Muhammad. Dan kami
semua adalah Muhammad. Karena kami semua adalah satu Nur ”.
“Aku akan digantikan oleh dua belas pemimpin agama, semuanya berasal dari Qurais”.
(Shahih Bukhari).
“ Aku dan Ali ibarat Harun disisi Musa, Hanya saja tidak ada Nabi setelahku”.
Inti dari perjalanan ini, yaitu bagaimana umat manusia dapat semuanya ikut serta
dalam takarrub ilallah atau melaksanakan perjalanan menuju Allah, sebagaimana
perjalanan pertama tadi. Mungkin inilah yang telah dilakukan Nabi Muhammad SAW
ketika beliau mengubah masyarakat jahilia menjadi masyarakat Madinah (baca pula:
masyarakat yang tercerahkan). Atau ketika Ayatullah Ruhullah Khomeni mengubah
masyrakat Iran dari kekuasaan Syah Iran yang diktator lagi biadab menjadi sebuah
pemerintahan yang berdasarkan kearifan. Seperti sekarang apa yang kita dapat saksikan
di Iran.
Kurang lebih itulah secara ringkasnya pembahasan empat perjalanan
kesempurnaan versi kami yang berdasarkan apa yang kami pahami dari penjelasan guru-
guru kami. Dan guru kami pun berdasarkan apa yang beliau pahami dari Kitab Al-Asfar
Al- Arbaa. Yang merupakan kitab Irfan sekaligus filsafati atau filsafat yang irfani.
Saya hanya mau bilang, jika sekiranya kita mencermati empat tahap dari perjalan
ini, maka akan kita dapatkan hakikat kajian sosiologis dan ilahiyah dimana pada
perjalanan ini terjawablah kebuntuan dari ajaran kerahiban, Budhaisme. Karena sekiranya
puncak dari perjalanan hanya menuju Tuhan. Maka kita tidak akan mengenal manusia
lagi. Bukankah semuanya akan terhenti pada perjalanan kedua.
Kebingungan paham materialis lebih khusus lagi kapitalis dan sosialis terjawab
pula di sini. Karena tidak mungkin mereka kaum kapitalis dan sosialis mampu
memberikan perubahan pada masyarakat sedangkan mereka pun belum berubah. Akan
dibawa kemana masyarakat ini nantinya. Apakah mereka menyuruh kita berangkat dari
materi dan mengajak kita ke materi untuk mencapai materi. Sementara kita pun tahu
bahwa materi adalah sesuatu yang tak sempurna. Di sisi lain kita selalu mendambakan
kesempurnaan!
Jadi selain kepalsuan yang dibungkus dengan retorika. Propaganda yang ditutupi
dalil teknologi. Opurtunitas berwajah pragmatis. Kehampaan dengan media modernitas.
Kebingungan dalam menghadapi hidup yang opiumnya pelampiasan akan hasrat sesaat.
Apa lagi yang bisa ditawarkan oleh mereka kaum materialis?
Hanya orang-orang yang telah mampu menyelamatkan dirinyalah yang mampu
menjamin keselamatan kita. Hanya orang yang memiliki cahayalah yang mampu
menerangi masyarakat.
Berangkat dari tesis ini, saya pribadi tidak pernah lagi berharap bahwa Negara
(Indonesia) kita akan menjadi lebih baik jika Negara ini masih dipimpin oleh orang-orang
yang kegelapan dan tak punya cahaya. Dan bagaimana mungkin saya dapat berharap
cahaya dari mereka sementara mereka tidak memiliki yang saya harapkan. Jangankan
untuk menerangi diri saya atau masyarakat. Untuk menerangi dirinyapun itu tidak ada..!!
Pada akhir pembahasan ini saya mau menutupnya dengan sebuah cerita tentang
kisah sedih Ahlul Bayt. Kisah ini di ceritakan oleh Guru yang mulia Ayatullah Murtadha
Muthahhari dalam buku beliau Falsafah Akhlak. Sekaligus juga sebagai tawassul kepada
Sayyidah Fatimah Az-Zahra dan Imam Ali Kw.
Tiada satu pun orang yang meragukan kasih sayang antara Imam Ali dan Fatimah.
Kasih sayang mereka adalah kasih sayang yang amat bersejarah. Imam Ali berkata:
“Kami berdua bagaikan sepasang burung merpati, yang tidak kenal kata pisah. Tetapi
nasib telah memisahkan kami”. Sebagaimana maklum, Fatimah selalu dirundung duka
setelah kematian Rasulullah SAW. Dan tidak lama setelah kematian Rasul, beliau pun
menyusul ayahnya.
Kerap kali Imam Ali menziarahi kubur Fatimah pada malam hari. Beliau berdiri
agak jauh dari kuburnya seraya berbicara dengan Fatimah yang dicintainya. Beliau
bersalam, kemudian mengeluh dan meminta jawaban dari Fatimah: “Mengapa aku berdiri
bersalam pada istriku, sementara istriku tidak sudi menjawab salamku? Kekasihku,
mengapa engkau tak segera menjawab salamku? Apakah engkau tidak lagi menyayangiku
lantaran engkau telah pergi dariku?”
Kemudian Imam Ali menjawabnya seakan-akan Fatimah yang memberi jawaban
padanya: “Harapan macam apakah yang engkau tunggu dariku? Tidakkah engkau ketahui
bahwa aku berada di balik tanah”.
Diantara wasiat Fatimah Az-Zahra kepada Imam Ali sebelum beliau meninggal:
“Ali sayangku! Ketika engkau nanti telah usai menguburkan jasadku dan menutupi
kuburku dengan tanah, janganlah tergesa-gesa untuk pergi, tinggallah barang sejenak.
Karena pada saat itu, aku amat membutuhkanmu”.
Imam Ali menguburkan istrinya dengan tangannya sendiri, dan meratakan tanah
kubur istrinya. Bajunya kotor dengan debu. Dan beliau membersihkan debu yang
menempel pada bajunya itu. Lantas tibalah saatnya beliau berdiri sejenak. Ketika beliau
telah usai dari acara penguburan, tiba-tiba hatinya terasa sedih yang amat dalam. Kepada
siapa lagi beliau mengadukan kesedihannya? Namun untunglah Imam Ali teringat bahwa
kubur Rasulullah SAW berada dekat dari situ. Siapa lagi yang lebih baik dari beliau, pikir
Imam Ali. Lantas Imam Ali berkata: “Duhai Rasul! aku menyampaikan salam kepadamu
baik dari diriku juga putrimu”.
Menit-menit saat itu meluapkan kesedihan Imam Ali. Kemudian Imam Ali
melanjutkan ucapannya: “Duhai Rasullullah! sebentar lagi putrimu akan menceritakan
kepadamu mengenai apa yang diperbuat umatmu kepadanya”.
Semoga kita tidak termasuk sebagai umat yang dilaporkan Fatimah Az-Zahrah
kepada Rasulullah yang dikarenakan telah mengecewakan hati beliau. Bukankah Rasul
telah bersabda: “Barang siapa yang menyakiti Fatimah maka ia akan menyakitiku”.
Olehnya itu, sebagai doa penutup dalam tulisan ini, saya akan menuliskan doa
yang diajarkan Sayyidah Fatimah dan sebuah doa renungan Yaitu :
“Ya hayyu ya qayyum, birahmatika astajhitsu falatakilni ila nafsi tharfata ‘aynin,
wa ashlihli sya ‘ni kullahu.” ( Wahai yang hidup, wahai yang berdiri sendiri, dengan
kasihmu aku memohon perlindungan. Jangan tinggalkan diriku sendirian sekejap
matapun selamanya. Perbaikilah segalah urusanku).
“ Wassalam ”
RIWAYAT SINGKAT PENULIS