Anda di halaman 1dari 31

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dunia fandom tidak bisa lepas dari berbagai macam interaksi yang terjadi di
dalamnya. Interaksi yang terjadi melibatkan sosok idola dengan penggemar (fans),
atau antar sesama penggemar. Fans menjadi sosok yang aktif dalam memberikan
tanggapan terhadap apa yang dilakukan idolanya. Mereka adalah pihak yang
selalu memberikan respon atas peristiwa yang menimpa sosok idola, baik hal
positif maupun negatif. Keterlibatan inilah yang mempengaruhi perilaku fans
dalam membangun interaksi dengan sosok idola yang saling dipertemukan
melalui konten media. Sosok idola digambarkan sebagai pusat kehidupan yang
dikelilingi oleh fans-nya. Semakin dalam dan jauh fans terlibat, semakin sulit bagi
mereka untuk melepaskan diri dari dunia fandom.
Keterlibatan fans dapat dilihat melaui kegiatan mereka dalam mengolah
konten media. Fans yang dikategorikan sebagai audiens aktif, membentuk
komunitas yang terdiri dari sesamanya untuk mengonsumsi dan memproduksi
konten media dalam kurun waktu yang lama. Hal ini memicu mereka untuk tidak
hanya memproduksi konten media yang disukai, namun juga mendistribusikan
kepada sesama fans dalam jangkauan wilayah yang lebih luas. Hubungan fans
yang semakin dekat dengan konten media inilah yang dapat menimbulkan
fanatisme.
Fanatisme merupakan perilaku yang mencerminkan citra fans. Fans
dikategorikan sebagai kumpulan individu dengan obsesi berlebihan terhadap
sosok yang diidolakan. Obsesi yang berlebihan ini seringkali ditunjukan dengan
perilaku yang menyimpang. Mereka melibatkan diri secara mendalam dan
melakukan segala aktivitas untuk memenuhi hasrat mereka sebagai fans. Fans
juga terkenal sensitif dalam menanggapi berbagai isu yang menimpa idolanya.
Mereka tidak akan tinggal diam, bahkan cenderung memberi respon agresif.
Fans Kpop adalah salah satu kelompok fandom dengan fanatisme tinggi.
Sejak tahun 2014, dating scandal yang melibatkan para idol menjadi isu yang

1
sering muncul di pemberitaan. Para pelaku hiburan Korea Selatan tertangkap
kamera sedang menjalin hubungan romantis secara terang-terangan dengan
seseorang dari profesi yang sama. Namun, berita tersebut tidak mendapat
tanggapan baik dari para penggemar. Fans justru menentang hubungan tersebut
dengan sikap yang ditunjukkan melaui internet, khususnya di media sosial. Media
sosial menjadi arena pertarungan bagi fans untuk menyerang idolanya dengan
berbagai hujatan.
Fans yang menentang hubungan idolanya memiliki kecenderungan untuk
memasangkan idol yang mereka sukai dengan idol lain. Kemarahan yang muncul
mengungkapkan bahwa seharusnya OTP (One True Pairing) mereka menjadi
kenyataan. Isu dating scandal dikaitkan dengan shipping yang mereka bentuk.
Fans akan lebih senang dan rela apabila idola mereka menjalin hubungan
romantis dengan idol lain yang bahkan berada dalam satu group yang sama. Fans
seperti inilah yang juga merangkap sebagai One True Pairing Shipper. Shipping
culture sendiri tergolong sebagai budaya populer dalam fandom Kpop. Fans yang
menganut slash pairing akan memasangkan dua orang idol yang mereka sukai,
yang biasanya berasal dari band yang sama. Fans memahami interaksi yang
terjadi diantara kedua idol tersebut sebagai hubungan romantis melebihi sesuatu
yang platonis. Dalam fandom Kpop, salah satu bukti adanya kecenderungan slash
shipping dapat dilihat dari tagar fanfiction terpopuler dalam asianfanfics. Dari 100
tags terpopuler, sepuluh diantaranya merupakan nama pairing yang terdiri atas
sembilan pairing sesama laki-laki dari boyband dan satu pairing sesama
perempuan dari girlband, serta tidak ditemukan hetpairing yang menduduki
peringkat pencarian teratas.
Para shipper bertemu dan berinteraksi melalui media sosial. Di media sosial,
mereka bisa dengan bebas untuk mengekspresikan diri mereka terhadap sesuatu
yang mereka senangi. Mereka tidak hanya berekspresi tentang diri sendiri, tetapi
juga saling berinteraksi dengan shipper lain yang mereka temui di sana. Terdapat
kelompok shipper yang tidak mengakui diri mereka sebagai shipper secara terang-
terangan, sehingga mereka cenderung lebih aktif di media sosial. Terdapat banyak

2
sekali shipping fandom yang terbentuk di media sosial untuk mewadahi aktivitas
yang mereka lakukan.
Shipper secara aktif melakukan aktivitasnya di media sosial. Mereka
membentuk fan page sebagai media berbagi konten media yang disukai, serta
memproduksi sendiri konten tersebut. Shipper menuangkan imajinasi mereka
terhadap pairing tertentu dengan cara memproduksi konten berupa teks, gambar,
dan video. Para shipper banyak berinteraksi di media sosial, terlihat dari akun fan
page para shipper yang mampu memiliki jumlah followers hingga puluhan ribu
dan mengalami peningkatan dalam waktu yang cepat. Di sisi lain, terdapat pula
shipper yang hanya mengonsumsi konten yang ada, mereka tidak aktif
berkontribusi untuk fandom.
Shipper berinteraksi untuk saling membanggakan pairing yang mereka bentuk,
sehingga muncul rivalitas di dalamnya. Hal ini memicu munculnya perilaku
hostile di media sosial. Perbedaan pairing antara satu fans dengan yang lain
banyak memicu perselisihan dan perdebatan. Para shipper kemudian tidak lagi
memandang shipping sebagai respon terhadap konten media, melainkan pasangan
yang ada dalam kenyataan. Hal inilah yang mendasari terjadinya shipping war
antar shipper. Fans secara sungguh-sungguh mendeklarasikan hubungan pairing
yang mereka sukai sebagai yang paling nyata dibandingkan yang lain. Faktor
kesenangan bukan lagi menjadi dasar shipping, beberapa shipper menganggap
pairing favorit mereka memiliki hubungan khusus yang nyata, dan hal tersebut
harus mendapatkan dukungan dari fans. Media sosial menjadi tempat bagi mereka
melakukan flaming untuk menjatuhkan satu sama lain. Fans shipper yang fanatik
akan semakin gencar melancarkan serangan untuk membela OTP-nya. Dalam
internet, mereka cenderung santai, tidak merasa terkekang, dan lebih terbuka
dalam mengekspresikan diri (Suler, 2004: 321).
Perilaku shipper di media sosial erat kaitannya dengan loyalitas terhadap
produk, yang dalam hal ini adalah OTP. Mereka melakukan kegiatan produksi,
konsumsi, dan distribusi konten media melalui media sosial. Terdapat suatu
hubungan antara fans sebagai shipper dengan konten media yang mereka sukai,
sehingga menimbulkan fanatisme. Fanatisme inilah yang mendasari perubahan

3
perilaku dalam diri shipper. Hubungan antara tingkat fanatisme fans sebagai
shipper dengan perilakunya di media sosial adalah objek yang menjadi kajian
utama dalam penelitian ini.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, maka rumusan masalah
dalam penelitian ini adalah:
Apakah tingkat fanatisme One True Pairing shipper dalam fandom Kpop
berpengaruh terhadap perilakunya bermedia sosial?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh tingkat
fanatisme terhadap perilaku media sosial One True Pairing shipper yang terjadi
dalam fandom Kpop.

D. Manfaat Penelitian
1. Bagi ilmu komunikasi, penelitian ini dapat dijadikan referensi untuk topik
penelitian yang sejenis dan menambah wawasan peneliti lain, khususnya
terkait studi fandom dan perilaku bermedia sosial.
2. Bagi masyarakat umum, penelitian ini dapat memberikan tambahan
pengetahuan tentang pengaruh fanatisme fans musik Kpop terhadap
perilaku dalam media sosial.

E. Objek Penelitian
Penelitian ini mereplikasi dari penelitian yang sudah ada sebelumnya, berjudul
Konsumsi Berbasis Fantisme oleh Pulung Setiosuci Perbawani, S.IP, MM. Objek
dalam penelitian ini yang berbeda, yaitu perilaku bermedia sosial penggemar,
khususnya dalam aktivitas shipping. Penggemar Kpop dipilih karena mereka
memiliki budaya shipping yang kuat. Fans Kpop sangat aktif dalam berkegiatan
di media sosial untuk mendukung OTP mereka.

4
Penelitian ini terfokus pada perilaku bermedia sosial para shipper. Perilaku
mereka yang aktif di media sosial memunculkan beragam aktivitas dengan
intensitas yang tinggi. Fans sebagai shipper aktif mengonsumsi karya-karya hasil
olahan dari teks media asli. Mereka juga membuat konten baru dan melakukan
distribusi. Selain itu fans secara aktif ikut memberi tanggapan serta membuka
forum untuk membahas suatu isu atau sekedar berbincang. Media sosial menjadi
sarana utama bagi mereka untuk bebas berekspresi.

F. Kerangka Teori
1. Fans sebagai Audiens Aktif
Istilah “fan” muncul pertama kali pada akhir abad ke-19 untuk menyebut
sekelompok individu yang menggemari olahraga (pada saat itu baseball) namun
kemudian terus berkembang hingga ke ranah hiburan (Jenkins, 1992: 12). Fans
juga didefinisikan sebagai sebuah komunitas yang membangun pemujaan kolektif
atas seorang “bintang” selebriti. Fans adalah orang-orang yang memakai warna
tim favorit mereka, orang-orang yang merekam atau mengunduh acara televisi
agar bisa ditonton berulang kali, mereka yang rela antri berjam-jam untuk tiket
konser, dan mereka yang bisa menjelaskan setiap detail dari tokoh yang
diidolakan (Lewis, 1992: 1). Singkatnya, fans adalah sekumpulan orang yang
memiliki antusiasme yang besar terhadap suatu hal yang mereka gemari dan
mereka juga target dari paparan media.
Menjadi seorang fans berarti tidak hanya menjadi penonton, melainkan juga
menerjemahkan ke dalam aktivitas budaya dengan cara berbagi pendapat dan
pandangan dengan sesama, serta ikut ke dalam komunitas fans yang memiliki
ketertarikan yang sama (Jenkins, 2006: 40). Artinya, fans adalah sosok yang aktif,
yakni mereka memiliki kegiatan dengan sesamanya. Mereka berdiskusi, sharing,
dan bergabung dalam komunitas untuk membahas minat mereka. Kebiasaan ini
dimulai dari sekedar berbagi informasi, hingga pada akhirnya membuat kelompok
khusus yang juga dapat memproduksi konten fans.
Jenkins dalam Textual Poachers mendefinisikan fans sebagai konsumen aktif
dari produk media yang mengonstruksikan kultur dan subkultur mereka sendiri

5
dari budaya populer (Meyer dan Tucker, 2007: 103). Menurut Sullivan (2013:
191), fans secara emosional melekat dengan media kesukaan mereka dengan
berpikir tentang plot, karakter, dan pesan dari teks media yang bersangkutan
secara mendalam. Mereka juga berhubungan dengan fans lainnya untuk
mendiskusikan objek afeksi mereka dan membangun komunitas interpretif di
sekitar program media tertentu. Jenkins (1992: 23) menjelaskan bahwa fans
adalah mereka yang membaca teks dengan tepat dan dapat menyajikan kembali
dengan gaya yang berbeda. Fans dikatakan telah merubah budaya menonton
menjadi budaya partisipasi. Dari sini dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan
antara bagaimana lingkungan memandang fans dan keadaan yang terjadi dalam
sebuah fandom.
Fandom muncul sebagai wadah yang menaungi fans untuk saling
berinteraksi. Fans tergabung di fandom dalam melakukan kegiatannya sebagai
fans yaitu saling bertukar ide dan gagasan hingga pada hasil karya yang mereka
produksi. Fandom bisa dikatakan sebagai dunia baru yang terbentuk mulai dari
skala regional hingga pada tingkat internasional. Hal ini bergantung pada seberapa
luas sosok yang dikagumi dapat memberi pengaruhnya kepada fans.
Fans dicirikan sebagai mereka yang terobsesi dengan hal-hal bersifat trivia,
selebriti, dan koleksi; sebagai orang aneh; sebagai perempuan yang kelebihan
berat badan, pelaku perceraian, dan perempuan single (Jenkins, 1992: 11). Dapat
dilihat mereka cenderung mencari tempat yang berisikan orang-orang dengan
minat dan pemikiran yang sama. Kehidupan seseorang di fandom (utamanya di
dunia maya) bisa sangat berbeda dengan kehidupan di dunia nyata. Hal ini
dikarenakan beberapa fans cenderung menjadikan fandom sebagai tempat untuk
terbebas dari isolasi sosial yang mereka alami.
Fandom pada dasarnya merupakan suatu ikatan sosial. Di dalamnya terdapat
sesuatu yang mengikat anggotanya. Keaktifan para fans dapat ditinjau dari
partisipasi mereka dalam fandom. Fandom memberikan tempat bagi fans untuk
mengeluarkan segala bentuk kesenangan mereka dan mempertemukan orang-
orang dengan minat yang sama. Keberadaan internet saat ini sangat mendukung
kegiatan fans sebagai audiens yang aktif. Mereka tidak hanya menjadi konsumen

6
atas konten media namun secara aktif melakukan produksi dan juga distribusi
terhadap konten media.

a. Keterlibatan dan fanatisme fans


Keterlibatan digambarkan sebagai relevansi yang dirasakan individu dari
suatu objek berdasarkan kebutuhan, nilai, dan minat (Zaichkowsky, 1985:
324). Selain itu, Rothschild (1984: 217) mendeskripsikan keterlibatan sebagai
suatu keadaan motivasi, gairah, atau kepentingan. Kedua hal tersebut
menjelaskan bahwa keterlibatan merupakan perasaan individu terhadap suatu
objek yang sesuai dengan kebutuhan atau minat masing-masing atau
sekelompok individu. Keterlibatan biasa dikaitkan dengan perilaku konsumsi,
keduanya dinilai memiliki hubungan yang signifikan dalam diri seseorang
yang terlibat didalamnya. Dijelaskan bahwa orang yang memiliki tingkat
keterlibatan lebih tinggi cenderung lebih aktif mencari informasi dan ekstensif
sebelum membuat keputusan (Laurent and Kapferer, 1985: 291).
Keterlibatan adalah tentang sejauh mana konsumen memandang objek
yang mereka senangi sebagai pusat dari kehidupan mereka, dan melihat objek
tersebut sebagaimana bermakna, menarik, dan penting bagi mereka
(Zaichowsky, 1985). Keterlibatan adalah kedalaman seseorang dalam
merespon suatu objek atau kegiatan melalui perspektif masing-masing.
Pengalaman berbeda yang dirasakan setiap orang juga membedakan sejauh
mana mereka melibatkan diri dalam suatu objek yang digemari. Fans adalah
contoh nyata perilaku melibatkan diri ke dalam objek yang disenangi yaitu
fandom. Mereka tidak hanya berperilaku secara fisik yang digambarkan
melalui kegiatan, namun juga secara emosional dengan objek yang mereka
gemari.
Semakin tinggi tingkat keterlibatan fans ke dalam objek yang mereka
gemari, semakin besar pula usaha mereka dalam proses pengumpulan
informasi yang relevan. Segala indikator keterlibatan ada pada tahapan sejauh
mana mereka berusaha menemukan informasi terkait dengan apa yang
dibutuhkan dan inginkan. Dalam era serba internet seperti saat ini, sangat

7
mudah bagi fans untuk menggali informasi mendalam mengenai sosok yang
mereka gemari khususnya melalui media sosial. Keberadaan media sosial
memberikan fasilitas untuk membangun jaringan antar fans. Pada akhirnya
terbentuk jaringan fans dalam dunia maya yang juga melakukan fungsi lain
seperti halnya distribusi karya, sharing, dan memperbarui informasi.
Tingginya tingkat keterlibatan fans dapat diasosiasikan dengan tingkat
kepentingan, hubungan pribadi, dan konsekuensi yang melekat pada objek.
Tingkat kepentingan menjelaskan tentang bagaimana suatu objek dapat
menjadi sangat penting dalam kehidupan fans sehingga mereka tidak bisa
melepaskannya. Hubungan pribadi menjelaskan lebih kepada hubungan
emosional fans dengan sosok yang dikagumi. Selanjutnya konsekuensi,
merupakan akibat yang ada pada objek yang harus ditanggung oleh fans
karena telah melibatkan diri dan melekat bersama. Intinya ketiga hal tersebut
kemudian membentuk suatu loyalitas fans terhadap idolanya. Loyalitas ini
kemudian dapat dilihat dari sikap dan perilaku fans dalam melakukan kegiatan
seperti menghadiri konser, menyaksikan tayangan idola, mengunduh tayangan
untuk dapat dilihat kembali, update tentang jadwal idola, dan senantiasa
mempertahankan tradisi menyebarkan informasi dan berdiskusi dengan
sesama untuk membahas idolanya.
Budaya fans bukan sekedar sebuah komunitas, lebih dari itu dapat
dikatakan sebagai hierarki sosial di mana mereka tidak hanya berbagi minat
yang sama namun juga bersaing dalam pengetahuan, akses lebih dalam
fandom, dan status (Hills, 2002: 20). Mereka yang memiliki akses lebih
menduduki kasta yang lebih tinggi dalam hierarki yang mereka bentuk.
Mereka tidak hanya mengonsumsi namun juga memberikan kontribusi untuk
berbagi konten dengan sesama fans. Kedekatan fans dengan konten media
inilah yang memunculkan perilaku fanatik.
Perilaku fanatik dapat diidentifikasi dari sejauh mana fans sebagai
individu menerima pengaruh sosial dari lingkungannya (fandom). Untuk itu,
tingkat fanatisme dapat dijabarkan melalui konsep proses perubahan perilaku
(process of attitude change) yang dikemukakan oleh Kelman (1958). Menurut

8
konsep ini, terdapat tiga tingkatan kategori pengaruh sosial yang merubah
perilaku individu. Berikut tingkatan yang dimaksud meliputi:
 Compliance
Individu menerima pengaruh sosial karena adanya keinginan untuk
mendapatkan pengakuan atau reaksi menyenangkan dari orang-orang
dalam kelompoknya.
 Identification
Individu menerima pengaruh sosial karena ingin membangun atau
meningkatan pemaknaan diri untuk dapat berhubungan dengan orang-
orang di dalam kelompoknya.
 Internalization
Individu menerima pengaruh sosial karena konten (gagasan dan aksi) dari
perilaku yang diinduksi dalam dirinya mempu membuatnya menghargai
diri sendiri

b. Aspek negatif perilaku fans dalam fandom


Fans cenderung dimaknai secara negatif, berasal dari kata “fanatik” yang
diambil dari Bahasa latin “fanatikus” yang berarti antusiasme yang tinggi akan
pemujaan. Menurut Oxford Latin Dictionary, fanatikus merupakan
sekelompok individu yang terilhami dari ritual orgiastic (berpesta pora) dan
antusiasme yang terlampau tinggi (Jenkins, 1992: 12). Hal ini sangat identik
dengan pemujaan yang berlebihan akan sesuatu. Pengertian serupa juga
dikemukakan oleh stigma yang dibuat media massa dominan yang
memandang fans identik dengan bahaya, keabnormalan, dan kebodohan.
Fans digambarkan sebagai sekelompok orang yang memiliki obsesi
berlebihan terhadap suatu sosok idola. Mereka rela melakukan apapun untuk
tetap bisa bersama dengan idolanya. Media mendukung konstruksi negatif
fans dengan menayangkan sisi gelap fans terhadap khalayak. Fans
ditampilkan sebagai kelompok menyimpang, mereka berlaku buruk dan
bahkan berbahaya (Jenson, 1992: 9). Fans cenderung ditampilkan seolah-olah
tidak memiliki kehidupan lain dan hanya terpusat kepada sosok idola.

9
Fandom dalam lingkungan dinilai sebagai subkultur menyimpang yang
muncul dari hegemoni media. Characterization of fandom as pathology is
based in, supports, and justifies elitist and disrespectful beliefs about our
common life (Jenson 1992: 10). Fans memerlukan tempat untuk dapat
menyalurkan hasratnya dalam mengagumi sosok idola dengan segala
aktivitasnya. Internet kemudian menjadi tempat yang tepat untuk mereka
dapat mengekspresikan diri sebagai fans. Mereka bisa melakukan segala hal
berkaitan dengan idolanya tanpa perlu takut akan adanya tekanan sosial dari
masyarakat. Hal ini dikarenakan adanya dimensi lain dalam media baru yang
bisa mereka bentuk.
Keberadaan fans tentu juga akan memunculkan antifans. Kebalikan dari
fans, antifans adalah kelompok individu yang cenderung memiliki antusiasme
untuk membenci kelompok, individu, atau benda yang memiliki fans.
Jonathan Gray (2014) mendeskripsikan antifans sebagai audiens yang secara
keras menolak teks yang diberikan, aliran (genre), dan kepribadian
(personality). Fanatisme yang ditonjolkan oleh fans cenderung memicu
kemunculan antifans. Hal ini karena adanya rivalitas atau gangguan dari
kedua pihak yang saling berlawanan. Belum lagi para antifans sengaja
mencari celah untuk meningkatkan kemarahan mereka terhadap suatu objek
(Gray, 2003: 70). Perselisihan dua kubu inilah kemudian yang seringkali
menimbulkan konflik dan berakhir dengan fanwar.
Fanwar dilakukan dalam bentuk flaming yang dilakukan oleh dua kubu.
Flaming secara dominan menggambarkan sebuah perilaku hostile dalam
berkomunikasi di mana kata-kata tidak sopan, kasar, dan saling menghina
digunakan untuk memprovokasi atau mencelakai orang lain (Jonsson, 2015:
27). Gray mengungkapkan bahwa hal ini didasarkan pada kebencian para anti-
fans terhadap sesuatu. Kebencian ini kemudian menimbulkan niat untuk saling
melukai satu sama lain melalui media komunikasi.
Faktanya, flaming lebih banyak terjadi di internet daripada bertatap muka
di dunia nyata. Di internet fans bisa mengeluarkan segala macam cercaan dan
hujatan tanpa perlu khawatir mendapatkan sanksi sosial di dunia nyata.

10
Mereka didukung dengan fitur anonimitas yang memungkinkan untuk
mengekspresikan opini yang mengundang (Kiesler dalam Jonsson, 2015: 27).
Fans bisa dengan bebas membagikan pemikiran mereka tanpa ada bayang-
bayang rasa takut dari konsekuensi sosial yang seharusnya mereka terima di
dunia nyata. Untuk itu, flaming di internet cenderung tergambar secara anarkis
dengan menggunakan kata-kata yang tidak pantas.
Baik di dunia nyata atau di dunia maya, fans tetap dipandang sebagai
sekumpulan orang yang memiliki perilaku menyimpang. Fandom sebagai
subkultur dari hegemoni media dan budaya konsumtif mewadahi para
penggemar yang sarat akan perilaku fanatik. Fanatisme fans inilah yang sering
diasumsikan menjadi dasar perilaku aktif fans di internet. Kelompok fans
identik dengan perilakunya yang sangat aktif dalam menggunakan internet.
Bentuk kegiatan fans dalam fandom di internet juga tidak bisa dikatakan wajar
bagi sebagaian orang yang tidak pernah terlibat didalamnya.

2. Shipping Culture dalam Fandom


Shipping berasal dari kata “relationship” yang merujuk pada bentuk
dukungan terhadap berbagai macam hubungan (relationship), lebih lanjut
dijelaskan terdapat pairing yang berarti memasangkan satu individu dengan
individu lain (Acton, 2013). Shipper adalah sebutan untuk fans dari pasangan
tertentu dalam serial televisi (Lachonis, Johnston. 2012: 111). Para shipper
(pelaku shipping) mendorong dan menunjukkan kepada orang lain betapa mereka
menyukai pasangan pairing tertentu dan bagaimana mereka terlihat cocok satu
sama lain. Secara umum, kegiatan shipping banyak dilakukan untuk karakter fiksi.
Namun, ada beberapa fans melakukan shipping pada subyek nyata seperti
selebritis. Hal ini merupakan reaksi dari penggemar dalam menanggapi perilaku
idolanya yang saling menunjukan rasa kasih sayang pada beberapa momen yang
disaksikan.
“Play enables the exploration of that tissue boundary between fantasy and
reality between the real and the imagined, between the self and the other. In
play we have a lisence to explore, both our selves and our society. In play we
investigate culture, but we also create it.” (Silverstone, 1999: 64)

11
Fans berhak untuk mengeksplorasi imajinasi mereka sesuai dengan apa yang
mereka inginkan. Hal ini berlaku juga dalam mengolah konten media, fans
‘bermain’ dengan karakter dalam konten media yang mereka sukai. Salah satu
wujudnya adalah dengan kemunculan shipping culture, di mana fans bebas
memasangkan idola yang mereka sukai. Lebih jauh, mereka bisa membuat alur
cerita baru sesuai dengan imajinasi yang mereka miliki terhadap sosok idola yang
mereka sukai. Hal ini didasarkan kepada kebebasan mereka untuk memberi
respon terhadap konten media tanpa ada yang mampu membatasi.
Fans sebagai audiens seringkali melakukan interpretasi kembali terhadap
konten media dan menciptakan respon berupa produk kultural mereka sendiri
(Sullivan, 2013: 192). Ini dapat ditinjau melalui tingkat aktivitas fans dalam
mengolah teks asli. Menurut Jenkins, fans juga menggunakan media yang berbeda
untuk membantu mereka mengkonstruksikan pemahaman kreatif yang mereka
miliki terhadap teks favorit mereka. Semua tindakan ini berkontribusi terhadap
pemahaman yang lebih dalam terhadap teks asli (Sullivan, 2013: 203).
Fans sebagai shipper telah banyak mengonsumsi teks media dalam kurun
waktu yang lama. Konsumsi terhadap teks ini kemudian akan secara alami
mendorong aktivitas produksi di luar teks yang asli (Jenkins, 2005: 251). Fans
mulai membuat karya mereka sendiri, menulis cerita fiksi, dan berpartisipasi
dalam fandom seperi slash fandom (Wood, 2006: .405). Produksi yang paling
biasa temui ada fan-art yang berupa karya 2D, fan-video karya yang memuat
momen para idol dalam sebuah video, dan fan fiction yang berupa teks. Diantara
produk fans tersebut, fan fiction adalah yang paling banyak ditemui. Mereka
membuat dan membaca fanfiction untuk menyalurkan hasrat mereka akan pairing
yang mereka sukai. Banyak fans yang tidak hanya mengonsumsi konten media,
namun juga melakukan produksi. Mereka saling berbagi dalam komunitas yang
dibentuk untuk mengonstruksi suatu pesan sehingga sesuai dengan apa yang
mereka harapkan.
Beberapa paparan di atas membuktikan bahwa fans sebagai audiens aktif dan
ikut serta dalam pembentukan pesan. Mereka tidak hanya diam menerima pesan
yang ada namun secara kreatif juga ikut berkontribusi dalam pembuatan pesan

12
baru. Pesan baru ini tentu kemudian disesuaikan dengan minat serta ketertarikan
yang berbeda. Produsen pesan bisa saja mengonstruksi teks sedemikian rupa agar
makna yang diinginkan bisa terlihat dengan jelas, namun bagaimanapun juga
audiens yang memiliki kontrol terhadap bagaimana teks tersebut dimaknai
(Croteau dan Hoynes, 2003: 266). Hal ini sudah jelas menerangkan keterlibatan
fans sebagai audiens aktif mengolah konten media.
Shipper biasa menyebut pairing yang mereka gemari dengan istilah OTP
(One True Pairing). OTP sendiri mengandung pengertian bahwa hanya ada satu
pasangan yang mereka sukai dibandingkan dengan pasangan (pairing) yang lain.
Terdapat Canon OTP yang merupakan pasangan asli yang dibentuk dalam konten
media seperti Romeo dan Juliet. Di sisi lain terdapat fanon yang merupakan OTP
yang dibentuk fans karena alasan tertentu. Mereka memasangkan sesuai dengan
apa yang mereka lihat dan rasakan, fanon biasa juga dikenal dengan sebutan crack
pairing.
Di era digital seperti sekarang ini, internet berperan penting dalam distribusi
konten media. Internet tidak hanya menyediakan akses untuk media erotis, namun
juga memberikan kesempatan bagi mereka yang ingin membuat karya-karya
erotis dalam bentuk fan-art atau fanfiction dan mendistribusikannya (Wood, 2006:
409). Hal ini kemudian dijadikan peluang bagi fans untuk menggali imajinasi
mereka dan diwujudkan dalam bentuk karya yang bisa disebarluaskan kepada
orang-orang yang memiliki minat sama. Karya slash merupakan hasil dari
imajinasi fans atas perilaku aktif mereka sebagai audiens dalam mengolah konten
media.
“Shippers can be hugely supportive of the show their favorite ship is on, or
they can rip the show to shreds because they don’t like how their favorite
ship is being handled. There is nothing quite as brutal in the land of online
forums as a shippergroup scorned – and they have long memories.”
(Lachonis, Johnson. 2012: 111-112)
Kegiatan shipper terlihat di internet, khususnya media sosial. Mereka sebagai
audiens aktif senantiasa menyalurkan kesenangan mereka, termasuk persaingan
dengan shipper lain. Shipping adalah hal yang sangat bergantung pada presepsi
masing-masing dalam menanggapi konten media. Shipper akan bersikap buruk

13
apabila bertemu dengan shipper lain dari OTP yang berbeda. Persaingan ini
mereka wujudkan dengan perilaku hostile yang ada diinternet. Menurut Lachonis
dan Johnson (2012: 112) shipping dipengaruhi dari sejauh mana fanatisme
terhadap pairing yang menurut mereka menarik. Sikap fanatik fans kemudian
diasumsikan membentuk perilaku mereka di internet.
Para shipper berkompetisi untuk menunjukkan bahwa OTP mereka yang
terbaik dan paling real. Dalam serial televisi, hal ini ditentukan di akhir cerita di
mana karakter tersebut menentukan siapa yang menjadi pasangannya. Namun, hal
ini berbeda dengan shipping yang terjadi pada selebritis. Tidak ada ujung dari
perselisihan para shipper di mana preferensi dan fanatisme terhadap OTP menjadi
satu-satunya hal yang mendasari perilaku mereka. Secara aktif mereka
mengumpulkan momen yang terjadi antara karakter yang mereka pasangkan dan
membuat karya dari bahan yang mereka kumpulkan. Mereka membuat fan-art,
fan-video, fan fiction, dll. Hal ini dilakukan disamping untuk kesenangan juga
untuk membuktikan bahwa OTP mereka tetap ada walau dalam cerita atau realita
tidak dipertemukan.
Pada dasarnya, shipping adalah suatu budaya dalam fandom yang nyata
keberadaannya. Fans memiliki preferensi dalam menyikapi suatu konten media.
Fans sebagai shipper mengolah konten media sesuai dengan apa yang mereka
inginkan. Karya yang mereka buat kemudian didistribusikan melalui internet.
Dalam internet, khususnya sosial media, mereka aktif menunjukkan kegiatan
mereka sebagai shipper. Kegiatan tersebut bertujuan untuk mempertahankan
bahwa OTP mereka tetap ada. Hal ini kemudian yang menimbulkan persaingan
antar shipper yang sangat banyak dijumpai di media sosial. Media sosial sudah
menjadi tempat bagi mereka untuk bertemu dan bersaing serta melakukan segala
aktivitasnya.

3. Kpop Fandom
Korea Selatan memulai soft diplomacy dengan menyebarkan budayanya sejak
tahun 1970. Berawal dari keikutsertaannya di berbagai ajang internasional seperti
International Music Festival di Jepang tahun 1970 hingga menjadi tuan rumah

14
untuk penyelenggaraan Olympic Games pada tahun 1988. Melalui berbagai event
tersebut nama Korea Selatan semakin dikenal oleh banyak negara di dunia.
Kesempatan ini kemudian dimanfaatkan Korea Selatan sebagai batu loncatan
untuk bisa lebih menyebarkan pengaruh budayanya ke seluruh dunia (Song, 2016:
27). Inilah yang kemudian menjadi awal mula kelahiran Kpop.
Kpop generasi pertama muncul pada awal tahun 1990-an. Sebelumnya,
industri musik Korea Selatan sangat bergantung kepada stasiun televisi yang ada.
Hanya jenis musik tertentu yang mendapatkan izin untuk dapat ditayangkan di
saluran televisi, yaitu yang dinilai sesuai dengan minat penonton kala itu. Menurut
Lee (dalam Tuk, 2012: 11), Kpop muncul karena adanya perkembangan ekonomi
yang pesat di Korea Selatan. Hal ini menyebabkan banyak usaha yang
berkembang, termasuk industri hiburan. Sejak saat itu stasiun televisi mulai
memberi kebebasan untuk artis-artis dari agensi independen untuk bisa tampil di
stasiun televisi.
Sejak awal kemunculannya, hallyu khususnya Kpop, terbukti memberi
pengaruh besar terhadap perekonomian Korea Selatan. Penghasilan negara terus
mengalami peningkatan sejak tahun 1998. Pada tahun 2015, Korea Selatan
memiliki jumlah GDP negara sebesar 1.4 triliun USD di mana sebanyak 25%
(348.25 milyar USD) berasal dari GNP (Gross National Product). Jumlah yang
besar jika dibandingkan dengan populasi Korea Selatan yang hanya sekitar 50.62
juta jiwa. Jumlah tersebut berhasil menempatkan Korea Selatan sebagai negera
berpenghasilan tertinggi ke-13 di dunia hingga periode akhir 2015.
“Kpop is a carefully manufactured hybridized pop product that combines both
East and West as well as global and local cultural aspects. The main reason
for such strategic cultural hybridization is to meet the complex desires of
various consumer groups, which maximizes capitalist profit.” (Jung, 2011)

William Tuk (2012: p11) mendefinisikan Kpop sebagai musik yang


diproduksi dan dibawakan orang Korea Selatan. Namun, nilai jual Kpop bukan
hanya terletak pada jenis musik yang diproduksi, namun juga lebih kepada siapa
yang membawakan musik tersebut. Visual yang menarik dan penampilan
memukau di panggung adalah yang menjadi nilai jual utama. Terdapat kelompok
pemuda dan pemudi tergabung dalam suatu boyband dan girlband membawakan

15
nyanyian lengkap dengan tarian di atas panggung. Kelompok bernyanyi ini
memikat banyak sekali hati penggemar karena bakat dan visual yang mereka
tampilkan. Kpop sangat identik dengan sosok boyband dan girlband, walau di
dalamnya juga terdapat band dan soloist.
“Around the world, pop consumers are increasingly accessing popular
products through social media. Online fan groups of Korean popular music
(Kpop) in Asia have dynamically and transculturally circulated their product
through social media such as Facebook and Twitter.” (Jung, 2011)
Fans berperan besar dalam penyebaran dan peningkatan eksistensi Kpop di
mata dunia. Aktivitas mereka di internet memiliki pengaruh signifikan dalam karir
idolanya. Kegiatan fans di media sosial menjadi aspek penting, selain konsumsi
mereka terhadap produk yang berkaitan dengan idol. Popularitas idol dihitung dari
hashtag, jumlah viewer di Youtube, dan seberapa aktif fans melakukan vote. Hal
ini kemudian berakibat terlihatnya kegiatan fans di dunia maya, seperti adanya
trending topic, hasil pencarian tertinggi di search engine, hingga most viewed
video di Youtube. Semakin kentara kegiatan Kpop fans di internet, semakin luas
pula akses bagi orang lain untuk melihat tayangan dan memberi pengetahuan
mengenai jenis musik yang baru. Kpop adalah suatu contoh nyata kesuksesan
yang dapat dicapai dengan menyesuaikan produk dengan value dan karakteristik
dari media sosial (Song. 2016: 111).
Kepopuleran Kpop sudah menjangkau hingga skala internasional. Dapat
dilihat dari partisipasinya di ajang penghargaan internasional. Seperti contoh EXO
yang bersaing dengan dengan Justin Bieber dan One Direction pada European
Music Award 2013 dalam nominasi Best Worldwide Act Award. Selain itu mulai
bermunculan Kpop idol yang go international dengan merilis album di Amerika
Serikat seperti Wonder Girls (2009) dan CL 2NE1 (2016). Beberapa juga
melakukan kolaborasi dengan artis barat. Artis Kpop juga menggelar tour konser
di berbagai negara dan menjaring animo besar dari para penggemarnya. Sebagai
musik, Kpop mendapat pengakuan secara internasional, terbukti dari mulai
masuknya BTS sebagai musisi Kpop ke dalam 200 Billboard chart. Dari segi
penjualan album fisik juga ditemukan nilai yang fantastis, salah satunya boyband

16
EXO yang berhasil menjual 1.000.000 copies album selama tiga tahun berturut-
turut.
Fans Kpop membentuk komunitas di dunia nyata dan dunia maya. Mereka
saling bekerja sama untuk berbagi pengetahuan dan konten yang berhubungan
dengan idola mereka (Leung, 2012: 69-70). Para fans membentuk subkultur yang
berisikan mereka yang mempunyai minat yang besar terhadap Kpop. Di dunia
nyata, mereka mengadakan acara gathering sesama fans untuk dapat berdiskusi
dan bersenang-senang bersama. Perkumpulan ini melakukan segala macam
kegiatan seperti menggalang donasi, fans support ketika idola mereka melakukan
suatu kegiatan tertentu, hingga menonton konser bersama. Kpop fans juga
memiliki intensitas tinggi dalam menjalankan aktivitas di dunia maya. Mereka
tidak hanya berdiskusi namun juga berbagi berbagai produk yang berhubungan
dengan idola mereka. Keberadaan konvergensi media menyebabkan para fans
dengan mudah memindah dan merubah bentuk file ke dalam berbagai bentuk pada
platform media yang ada. Tujuannya agar fans yang lain dapat dengan mudah
mengakses dan menikmati tayangan atau karya dari idolanya. Pada satu sisi, ini
merupakan pembajakan, namun di sisi lain menyebabkan Kpop dengan mudah
tersebar luas. Namun, ada hal yang perlu digarisbawahi, bahwa konten yang
dibagikan oleh fans bukan merupakan refleksi popularitas Kpop di mata dunia,
namun lebih kepada alat penggerak produksi dan popularitas.
Sebagaimana fans Kpop pada umumnya yang fanatik (Tuk, 2012: 41-42).
Semakin dekat hubungan emosi antara fans dengan idolanya akan berpotensi
menimbulkan fanatisme yang besar. Mereka seakan larut dalam kehidupan sosok
idola dan menjadikanya sebagai pusat kehidupan .Terdapat pula nilai-nilai yang
diproduksi oleh Kpop yang tertanam dengan kuat dalam diri penggemarnya.
Nilai-nilai tersebut meliputi kerja keras dan hasrat yang besar dari sebuah
kelompok idola. Hal ini kemudian yang memunculkan loyalitas tinggi di mana
fans banyak melibatkan diri dalam Kpop.

17
4. Fanatisme Shipper dalam Perilaku Bermedia Sosial
Shipper dapat digolongkan ke dalam tingkatan lebih tinggi dari sekedar fans.
Mereka didapati lebih banyak mengolah konten media menjadi sesuai dengan apa
yang mereka harapkan. Tidak hanya sampai di situ, shipper juga mendistribusikan
karyanya melalui media sosial. Keberadaan media sosial telah banyak membantu
produksi dan distribusi konten media yang sudah diolah. Sehingga, muncul
interaksi antar sesama shipper melalui media sosial.
The way that a certain television viewer’s perception of a scene is tainted by
the amount of devotion they feel for their favorit ship is truly fascinating
(Lachonis, Johnson. 2012: 112). Tingkat kedekatan shipper dengan konten media
yang tinggi menimbulkan fanatisme. Fanatisme ini merupakan sikap yang mereka
tunjukkan terhadap keberadaan OTP mereka. Seregina (2011) menjelaskan bahwa
fanatisme adalah perasaan adiktif atau perilaku obsesif yang berasal dari perasaan
positif karena yang dicari berupa kepuasan, penemuan jati diri, dan perasaan
memiliki. Perilaku tersebut kemudian dapat dilihat melalui aktivitas yang mereka
lakukan di media sosial.
Media sosial menjadi tempat para shipper berekspresi. Mereka meluapkan
segala hal yang berkaitan dengan pairing favorit mereka di media sosial. Mereka
memproduksi konten dari hasil mengolah teks media asli, berbagi kesenangan
dengan pembahasan tentang pairing yang mereka sukai, hingga berperilaku
agresif dalam rangka mempertahankan pairing favorit. Semakin tinggi tingkat
fanatisme mereka, diasumsikan semakin tinggi pula frekuensi dan volume
kegiatan yang mereka lakukan di media sosial.
Nilai dari frekuensi dan volume perilaku media sosial berdasarkan fanatisme
oleh shipper tersebut akan diidentifikasi dan dijabarkan melalui konsep loyalty
behaviour yang dikemukakan oleh Hess dan Story (2006). Penggunaan media
berkaitan erat dengan loyalitas terhadap suatu brand, dalam hal ini OTP. Loyalitas
dalam konsep ini merupakan suatu bentuk komitmen yang berdasarkan pada
kepercayaan (trust-based commitment). Pada dasarnya penggunaan media sosial
oleh shipper dapat juga digolongkan dalam perilaku konsumsi. Konsumsi atas
media sosial oleh para shipper dilakukan atas dasar kepercayaan mereka terhadap

18
pairing yang mereka bentuk. Berikut kategori yang digunakan dalam memahami
konsep ini:
- Primary loyalty behaviour
Perilaku loyal terhadap suatu brand untuk memenuhi kepuasan pribadi.
Loyalitas primer diukur dari banyaknya frekuensi dan volume dalam
mengakses media sosial, meliputi:
 Frekuensi dalam mengakses media sosial
 Intensitas berhubungan dengan orang lain di media sosial
 Mencari konten media melalui media sosial
 Pengorbanan yang dilakukan berkaitan dengan keperluan media sosial
 Keinginan untuk sharing di media sosial
- Secondary loyalty behaviour
Loyalitas dalam memberikan dukungan atas brand tertentu yang digambarkan
dari perilaku di media sosial, meliputi:
 Kesenangan untuk memberi rekomendasi melalui media sosial
 Memproduksi atau posting konten media melalui media sosial
 Selektif dalam memilih paparan media terkait dengan informasi di
media sosial
 Berperilaku hostile yang bertujuan untuk membela di media sosial

G. Kerangka Konsep
Perilaku shipper di media sosial yang aktif dapat dilihat dari seberapa tinggi
tingkat fanatisme mereka terhadap OTP mereka. Shipper bukan sekedar fans
biasa, namun mereka merupakan tingkatan lebih lanjut karena lebih banyak
mengonsumsi konten media. Hubungan tersebut yang kemudian akan diteliti
dalam penelitian ini. Berikut bagan yang dapat menjelaskan konsep dari penelitian
ini:

19
Gambar 1.1 Kerangka Konsep
Konsep perilaku shipper akan dijabarkan melalui konsep proses perubahan
perilaku (process of attitude change) yang dikemukakan oleh Kelman (1958).
Konsep ini akan menjelaskan tentang tingkat fanatisme yang diartikan sebagai
sejauh mana menjadi shipper mempengaruhi kehidupan individu sehari-hari
khususnya dalam fandom. Berikut penggolongan yang dilakukan untuk
membedakan tingkat fanatisme shipper:
- Compliance
Penggemar melakukan shipping atas idola mereka karena mereka ingin
mendapatkan pengakuan atau reaksi dari lingkungan sosial tempatnya
bernaung, seperti halnya fandom.
- Identification
Mereka yang melakukan shipping berhasil untuk mendapatkan relasi atau
menjalin hubungan sosial dengan lingkungannya sehingga merasa bisa
memberi pemaknaan diri yang memuaskan.
- Internalization
Mereka yang melakukan shipping memunculkan ide dan aksi perilaku
yang diinduksi dalam dirinya untuk kemudian mampu untuk menghargai
diri sendiri.

Sedangkan untuk mengidentifikasi perilaku shipper di media sosial, akan


digunakan konsep loyalty behaviour miliki Hess dan Story (2006). Konsep ini
akan dikaitkan dengan perilaku yang mereka tunjukkan di media sosial. Hal
ini juga mencangkup konsumsi mereka dalam menggunakan media sosial,
dalam hal ini shipping. Berikut penggolongannya:

20
- Primary loyalty behaviour
Loyalitas yang diukur dari banyaknya frekuensi dan volume dalam
mengakses media sosial, seperti:
 Frekuensi dalam mengakses media sosial
 Intensitas berhubungan dengan shipper lain di media sosial
 Mencari konten shipping melalui media sosial
 Pengorbanan waktu yang dilakukan berkaitan dengan keperluan
shipping di media sosial
 Keinginan untuk sharing di media sosial
- Secondary loyalty behaviour
Loyalitas dalam mendukung pairing tertentu yang digambarkan dalam
perilaku di media sosial, meliputi:
 Kesenangan untuk merekomendasikan pairing melalui media sosial
 Memproduksi atau posting konten shipping melalui media sosial untuk
dapat dinikmati shipper lain
 Selektif dalam memilih paparan media terkait dengan informasi di
media sosial
 Berperilaku hostile untuk membela pairing yang disukai di media
sosial

Pada penelitian sebelumnya, konsep ini digunakan untuk mengukur


konsumsi berupa produk (merchandise). Konsep yang sama digunakan pada
penelitian ini untuk mengidentifikasi perilaku konsumsi media sosial. Oleh
karenanya, dilakukan modifikasi konsep agar sesuai dengan kebutuhan dan
tujuan melalui pembuatan kuisioner. Selanjutnya, akan dilakukan analisis
berupa uji regresi korelasi untuk mencari hubungan variabel X terhadap
variabel Y, uji korelasi, dan uji deskriptif (crosstab).

21
H. Operasional Konsep

Variabel Konsep Dimensi Indikator Skala


 Tidak menggolongkan diri sebagai shipper. Ordinal
 Dorongan lingkungan untuk menjadi shipper
Compliance  Hanya mendapatkan konten shipping
 Shipping hanyalah sebuah bentuk fanservice
 Tertutup mengenai identitasnya sebagai shipper.
Perubahan
 Shipping sebagai kesenangan/hiburan Ordinal
perilaku
Tingkat  Shipping sebagai sarana pergaulan
(Process of
Fanatisme Identification  Shipping bermanfaat bagi kehidupan
Attitude
 Mendapat keuntungan dari shipping
Change)
 Shipping sebagai bahan pembicaraan
 Senang mengakses konten shipping Ordinal
 Membela pairing yang disukai
Internalization
 Membenci pairing yang melibatkan seorang dari OTP.
 Saya berharap pairing yang sukai menjadi nyata

22
 Meyakini bahwa OTP memiliki hubungan khusus di dunia
nyata.
 Memprioritaskan mengakses konten shipping pada saat Ordinal
Frekuensi
mengakses media sosial
 Intensitas berkomunikasi dengan shipper lain Ordinal
Intensitas  Intensitas memberikan komentar
 Intensitas menanggapi komentar
Primary Loyalty
Pencarian  Mencari konten shipping dengan menggunakan hashtag Ordinal
Behaviour
 Waktu yang dikorbankan untuk mengakses konten shipping di Ordinal
Pengorbanan
Perilaku di media sosial
Media Sosial  Membagi post yang disukai Ordinal
 Memberikan like
Berbagi
 Mengunduh konten shipping
 Mengunggah konten shipping
 Merekomendasikan pairing kepada teman fandom Ordinal
Secondary
 Membagikan fan work sebagai alat untuk merekomendasikan
Loyalty Rekomendasi
 Membagikan link untuk merekomendasikan
Behaviour

23
 Membuat post klarifikasi tentang pairing yang disukai Ordinal
Produksi
 Mengunggah konten shipping untuk dinikmati shipper lain
 Perasaan terganggu dengan akun shipper yang memuat pairing Ordinal
yang tidak disukai
Paparan selektif
 Hanya mengikuti akun yang memuat pairing yang disukai
 Mem-block akun yang memuat pairing yang dibenci
 Meninggalkan komentar agresif Ordinal
Membela
 Terlibat dalam shipping war di media sosial

24
I. Definisi Operasional
Suatu konsep untuk dapat diteliti secara empiris, harus dioperasionalisasikan
dengan merubahnya menjadi variabel (Effendi, 1989: 39). Dari konsep yang
memiliki variasi nilai, peneliti telah menentukan dimensi-dimensi yang
digunakan. Definisi operasional berikut akan membantu dalam menjelaskan
konsep yang digunakan:
1. Variabel Tingkat Fanatisme
Variabel tingkat fanatisme shipper adalah variabel independen (X),
berperan sebagai variabel yang mempengaruhi variabel dependen.
Dimensi yang digunakan untuk mengukur tingkat fanatisme shipper
adalah:
a. Compliance
Individu menerima pengaruh sosial karena adanya keinginan untuk
mendapatkan pengakuan atau reaksi menyenangkan dari orang-orang
dalam kelompoknya.
b. Identification
Individu menerima pengaruh sosial karena ingin membangun atau
meningkatan pemaknaan diri untuk dapat berhubungan dengan orang-
orang di dalam kelompoknya.
c. Internalization
Individu menerima pengaruh sosial karena konten (gagasan dan aksi)
dari perilaku yang diinduksi dalam dirinya mempu membuatnya
menghargai diri sendiri
2. Variabel Perilaku Bermedia Sosial
Variabel perilaku bermedia sosial ini merupakan variabel dependen (Y).,
yaitu variabel yang dipengaruhi oleh variabel independen. Dimensi yang
digunakan untuk mengukur variabel perilaku bermedia sosial adalah
sebagai berikut:

25
a. Primary Loyalty Behaviour
- Frekuensi
Frekuensi waktu mengakses media sosial.
- Intensitas
Intensitas berhubungan dengan orang lain di media sosial.
- Pencarian
Mencari konten shipping di media sosial.
- Berbagi
Membagikan konten shipping di media sosial.
- Pengorbanan
Hal-hal yang dikorbankan dalam mengakses media sosial untuk
keperluan shipping.
b. Secondary Loyalty Behaviour
- Rekomendasi
Merekomendasikan OTP dengan berbagai hal melalui media sosial.
- Produksi
Memproduksi konten media untuk dinikmati orang lain di media
sosial.
- Paparan selektif
Memilih informasi shipping yang diinginkan di media sosial.
- Membela
Membela pairing yang disukai dengan perilaku hostile di media
sosial.

J. Hipotesis
Dari kerangka yang telah diuraikan di atas, maka hipotesis daari penelitian ini
adalah:
H0: Tingkat fanatisme shipper tidak memiliki hubungan korelasional dengan
perilaku bermedia sosialnya.
H1: Tingkat fanatisme shipper memiliki hubungan korelasional perilaku
bermedia sosialnya.

26
K. Metodologi
1. Metode Penelitian
Peneliti menggunakan metode survei eksplanatif untuk menjawab masalah
yang telah dirumuskan. Metode dipilih karena sesuai dengan tujuan penelitian,
yaitu untuk menjelaskan hubungan kausal antara variabel-variabel melalui
pengujian hipotesa (Singarimbun, 1989: 5). Dalam penelitian ini menghubungkan
pengaruh tingkat fanatisme terhadap perilaku bersosial media shipper. Perilaku
shipper dalam menggunakan internet termasuk didalamnya aspek penggunaan
teknologi akan dijelaskan melalui hubungan-hubungan yang terjadi antar
variabel.

2. Populasi dan Sampel


Populasi dalam penelitian ini adalah penggemar Kpop di Indonesia.
Sedangkan untuk sampel diambil dari penggemar yang melakukan shipping.
Namun, hingga saat ini belum diketahui jumlah pasti dari penggemar Kpop di
Indonesia. Maka dari itu, dalam pengambilan sampel, peneliti mencari populasi
dari jumlah pengguna internet di Indonesia tahun 2014 untuk kemudian dicari
jumlah sampel yang dinilai representatif. Sampel kemudian akan disaring
kembali melalui pertanyaan diskriminan yang membedakan layak atau tidaknya
menjadi sampel. Menurut data yang disampaikan oleh KOMINFO, terdapat 82
juta pengguna internet di Indonesia dan sebanyak 95% digunakan untuk
keperluan media sosial. Jumlah ini yang akan dihitung dengan rumus Solvin
untuk mendapatkan jumlah sampel yang diperlukan.

𝑁
𝑛=
1 + 𝑁(𝑒)2

82.000.000
𝑛=
1 + (82.000.000 𝑥 (0,05)2 )

𝑛 = 400

27
Keterangan :
N = Ukuran populasi
n = Ukuran sampel
e = Persentase kelonggaran ketidaktelitian karena kesalahan (batas
kesalahan) pengambilan sampel yang masih bisa ditolerir. Dalam
penelitian ini sebesar 5%.

Berdasarkan hasil dari perhitungan di atas, maka didapatkan sampel sebanyak


400 orang dari total populasi pengguna internet di Indonesia tahun 2014.

3. Teknik Pengambilan Sampel


Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah non probability
sampling. Metode ini memungkinkan untuk setiap sampel dari populasi tidak
memiliki peluang yang sama untuk dipilih menjadi sampel. Sedangkan untuk
pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampling. Teknik ini dipilih
karena tidak ditemukan jumlah pasti atas penggemar Kpop secara general (tidak
per fandom) dan adanya variasi dalam shipping. Purposive sampling sangat cocok
digunakan untuk mendapatkan sampel yang berasal dari satu kelompok tertentu
di masyarakat. Peneliti dalam mencari sampel akan langsung kepada
perkumpulan shipper di media sosial. Penelitian akan lebih mudah jika data yang
diteliti diambil melalui penyortiran dengan pertanyaan determinan yang lebih
dulu dilakukan sebelum data diolah.

4. Teknik Pengumpulan Data


Penelitian ini menggunakan dua jenis data yaitu data primer dan sekunder
sebagai dasar. Berikut adalah teknik pengumpulan data yang akan dilakukan oleh
peneliti:
a. Data Primer
Data utama yang digunkan dalam penelitian dan didapatkan secara
langsung dari subjek penelitian. Data ini merupakan hasil dari penyebaran
kuisioner terhadap sampel yang bertindak sebagai subjek penelitian.

28
Sampel yang digunakan adalah 400 orang, diambil dari total populasi
pengguna internet di Indonesia.
b. Data Sekunder
FGD akan dilakukan untuk dapat memahami dan menjadi sumber data
sekunder bagi peneliti, peserta akan dipilih lima orang dari responden yang
telah mengisi kuesioner dengan kriteria sebagai berikut:
- Laki-laki atau perempuan
- Usia 18-25 tahun
- Aktif melakukan shipping
- Aktif baik mengonsumsi maupun memproduksi konten media
- Perwakilan dari setiap kategori yaoi, yuri, dan hetpairing
- Secara aktif menggunakan media sosial, termasuk untuk keperluan
shipping
Selain FGD, peneliti juga akan dibantu dengan data lain berupa ragam
literatur, seperti buku, jurnal, artikel, internet dan sumber lain yang
berhubungan.

5. Uji Validitas dan Reliabilitas


Validitas menunjukan sejauh mana suatu alat pengukur mampu mengukur apa
yang ingin diukur (Ancok,1989: 122). Uji Validitas dilakukan menggunakan
Pearson Correlation Test pada software SPSS. Peneliti akan melakukan uji coba
pada 40 responden untuk melihat validitas dari indicator yang digunakan.
Indicator dinyatakan valid apabila dalam perbandingan, nilai Rhitung > Rtabel.
Validitas menjadi penting karena terkandung makna tingkat kesesuaian hasil
penelitian atau cerminan keadaan yang sesungguhnya dalam hasil penelitian yang
dilakukan (Idrus, 2009: 124).
Reliablitas adalah istilah yang dipakai untuk menunjukkan sejauh mana suatu
hasil pengukuran relatif konsisten apabila pengukuran diulangi dua kali atau lebih
(Acok, 1989: 122-123). Uji Reliablitas ditinjau dari seberapa besar nilai dalam
Cronbach Alpha. Instrument penelitian dinyatakan reliabel apabila memenuhi
nilai Cronbach Alpha > 0.6.

29
6. Teknik Analisis Data
a. Analisis Korelasi
Analisis korelasional digunakan untuk mendeteksi sejauh mana variasi-
variasi pada suatu faktor berkatitan dengan varias-variasi pada faktor lain
berdasarkan pada koefisien korelasi (Suryabrata, 1994:24). Analisis korelasi
dilakukan untuk mengetahui hubungan antar variabel.
Asosiasi antara dua variabel diukur dengan koefisien korelasi. Besarnya
koefisien berkisar antara +1 sampai -1. Koefisien korelasi menunjukkan
kekuatan hubungan linear dan arah hubungan dua variabel acak. Untuk
memudahkan untuk menginterpretasi, berikut kriteria yang digunakan
menurut Sarwono (2006: 87):

0 : Tidak ada korelasi


>0 – 0,25 : Korelasi sangat lemah
>0,25 – 0,5 : Korelasi cukup
>0,5 – 0,75 : Korelasi kuat
> 0,75 – 0,99 : Korelasi sangat kuat
1 : Korelasi sempurna

a. Analisis Regresi
Penelitian menggunakan analisis regresi, yaitu analisis untuk mengetahui
hubungan pengaruh antar variabel. Jenis yang digunakan adalah regresi linear
untuk mencari hubungan linier antara variabel independen (X) dan dependen
(Y). Kedua variabel dinyatakan memiliki hubungan yang linier jika memiliki
nilai Sig. Linearity < 0,05. Untuk mendapatkan hasil tersebut, peneliti akan
melakukan pengolahan data dengan software SPSS.

30
b. Analisis Deskriptif
Analisis deskriptif akan menjelaskan informasi yang didapatkan dan tidak
untuk menarik kesimpulan apapun. Analisis deskriptif yang akan digunakan
adalah mean dan crosstab. Keduanya untuk menggambarkan responden
dengan kecenderungan yang perlu untuk ditampilkan dalam penelitian ini.
Analisis deskriptif akan diperoleh melalui software SPSS.

31

Anda mungkin juga menyukai