Anda di halaman 1dari 11

TUGAS BESAR 1 CYBER CULTURE

HIPERREALITAS FANS KPOP


(Studi Kasus: Perilaku Konsumtif Terhadap Hal-hal Berbau K-Pop)

Disusun Oleh:
Anisah: 44220010026
Fithriyah: 44220010028
Tasya Putriana Nurhaliza: 44220010041
Indira Wahyu Isnaini: 44220010190

FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI


PROGRAM STUDI PUBLIC RELATIONS
UNIVERSITAS MERCU BUANA
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perkembangan musik modern di Korea Selatan, memiliki beberapa catatan sejarah yang
panjang. Hal ini dapat diamati melalui buku karya Keith Howard 2006, yang berjudul Korean Pop
Musik Riding the Wave. Dalam buku ini dideskripsikan secara historis bagimana dinamika
perjalanan musik pop Korea Selatan atau yang saat ini populer dengan sebutan K-Pop. Pada masa
pendudukan Jepang, yakni sekitar pada tahun 1910 - 1945 hingga pada tahun 1990- an
Zaini,2018501. Perkembangan musik Korea Selatan dimulai dari pengaruh musik tradisional
hingga musik yang bersifat universal atau umum, terutama musik Barat, yang juga turut memiliki
andil besar dalam membawa musik Korea menjadi populer hingga ke tingkat internasional seperti
sekarang ini.
Fenomena konsumsi penggemar K-Pop yang mulai tidak wajar yang dipengaruhi oleh
hiperrealitas. Daya tarik visual idola K-Pop yang ditampilkan media membuat penggemar
terlampau tinggi dalam berekspektasi terhadap apa yang mereka lihat sehingga mendorong
perilaku konsumsi produk yang berlebihan tanpa tujuan dan manfaat.
Berbicara soal fans K-pop, mereka pasti mengkonsumsi merchandise maupun album, tiket
konser, atau apapun itu yang berhubungan dengan idolanya. Hingga mereka memproduksi produk
atau sesuatu yang baru asal berhubungan dengan idolanya. Seperti dalam Linta Tartila, Skripsi
20142 mengatakan bahwa fans Kpop dianggap selalu bersikap berlebihan-lebihan, hingga bisa
dijuluki seperti orang gila, orang yang histeris, obsesif, adiktif, dan konsumtif. Sehingga biasanya
jika penggemar sudah seperti ini mereka disebut orang hyperkonsumeris dimana mengkonsumsi
sesuatu dengan berlebihan Sari, Thesis, 2013166. Hal ini juga ditulis oleh Pintani Linta Tartila
dengan judul Fanatisme Fans Kpop Dalam Blog Netizenbuzz bahwa fans k-pop biasanya akan
membuat atau membentuk forum-forum khusus yang akan mereka gunakan untuk melakukan
sharing secara beramai-ramai.
Penggemar K-Pop dikenal dengan tingkat loyalitas yang sangat tinggi. Bentuk dari
loyalitas yang ditunjukkan bukan hanya secara ekonomi tetapi juga waktu dan perbuatan.
Penggemar K-Pop rela menghabiskan berjam-jam waktunya untuk melihat kegiatan idolanya.
Penggemar juga rela menghabiskan uangnya bahkan mengorbankan kebutuhan pribadinya untuk
membeli segala sesuatu yang berhubungan dengan idolanya (Jeanette, 2018)
Kecintaan besar terhadap dunia K-pop ini kemudian dimanfaatkan oleh produsen K-Pop
untuk memunculkan berbagai produk-produk tentang K-Pop. Hal ini telah menunjukkan terjadinya
fetisisme komoditas yang merupakan upaya industri untuk menciptakan pemujaan yang salah
terhadap produk industri budaya kepada masyarakat. Pemujaan ini cenderung pada simbol dan
merek dari produk. Mereka akan digiring untuk merasakan kenikmatan semu dalam
mengkonsumsi produk industri budaya. Hal ini kemudian mendorong para remaja untuk
melakukan konsumsi dan peniruan terhadap K-Pop. Akibat sulitnya membedakan realitas semu
dan realitas nyata dari K-Pop, maka muncullah keinginan dari remaja untuk menggunakan
berbagai hal yang bernuansa K-Pop atau yang sedang 5 menjadi tren di kalangan idolanya.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah pada makalah ini adalah:
1. Bagaimana proses komunikasi yang terjadi diantara kalangan penggemar K-Pop?
2. Bagaimana implikasi hiperrealitas penggemar K-Pop di kehidupan sosial masyarakat?
3. Apakah ada dampak positif dan negatif, maupun perubahan sosial dari hiperrealitas
penggemar K-Pop di kehidupan sosial masyarakat?

1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan penulisan ini adalah sebagai berikut :
1. Menjelaskan bagaimana perilaku konsumsi dan produksi fans K-Pop

2. Mendeskripsikan faktor-faktor yang mempengaruhi Fans dalam memuja (adorable) budaya


K-Pop.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Hiperrealitas
Hiperrealitas merupakan istilah yang digunakan oleh Jean Baudrillard untuk menjelaskan
bagaimana realitas dapat dibuat oleh individu secara luas dan terang-terangan. Bagi Baudrillard
simulasi merupakan proses ataupun strategi intelektual yang dilakukan oleh individu tertentu,
sedangkan hiperrealitas adalah efek dari tindakan individu tersebut, keadaan, atau pengalaman
kebendaan dan atau ruang yang dihasilkan dari proses tersebut. Menurut Baudrillard, awal era
hiperrealitas ditandai dengan lenyapnya petanda, dan metafisika representasi, runtuhnya ideologi,
dan bangkrutnya realitas itu sendiri, yang kemudian diambil alih oleh duplikasi dan dunia nostalgia
serta fantasi. Tanda tidak lagi merepresentasikan sesuatu hal, oleh karena itu petanda sudah mati
(Piliang, 2003).

2.2 Fans K-Pop


Penggemar atau Fans dalam Bahasa Inggris memiliki sikap fanatik, yang menurut KBBI
adalah kepercayaan (keyakinan) yang sangat kuat terhadap suatu paham ajaran (politik, agama,
dsb). Salah satu ciri penggemar yang signifikan adalah sebagai suatu kefanatikan yang potensial.
Hal ini berarti penggemar sebagai suatu kelompok yang dapat dilihat sebagai perilaku yang
berlebihan dan berdekatan dengan kegilaan. Menurut Jenson, Fandom adalah sekumpulan fans
yang bergabung menjadi satu. Fandom adalah komunitas dimana para fans dapat membangun
identitas budaya melalui suatu ketertarikan yang sama. Seiring dengan berjalannya waktu,
representasi fandom mengalami perubahan. Jenkins (dalam Rayner, Wall, Kruger, 2004: 147)
mendeskripsikan bahwa fandom adalah sesuatu yang positif dan memberdayakan. Fandom adalah
salah satu cara di mana khalayak dapat menjadi aktif dan berpartisipasi dalam mengkreasikan
makna dari sebuah teks dalam media.
Menurut Siuda (2010) fans atau fandom K-Pop memiliki karakteristik sebagai pribadi yang
labil, sehingga dianggap sebagai orang yang menyimpang atau anti sosial yang sulit dalam
berinteraksi dengan orang lain. Lalu mengalami perubahan, fans K-Pop yang mulanya dianggap
hanya memiliki sifat konsumerisme dan fanatik, kini dilihat sebagai dianggap memiliki sifat
resistance terhadap media. Dapat dilihat bahwa fans sebagai individu atau kelompok yang aktif
dan kreatif. Aktif artinya fans tidak menerima begitu saja apa yang disajikan dari media. Asumsi
lain tentang fans K-Pop yang memandang bahwa fans merupakan target dan prioritas utama media.
Dapat dilihat fans K-Pop sebagai sebagai seseorang yang memiliki sifat konsumerisme emosional.
Fan memiliki keterlibatan emosional terhadap ketertarikan mereka (Sandvoss dalam Siuda: 2010).

2.3 Sifat Konsumtif


Menurut Lubis (Sumartono, 2002) sifat konsumtif adalah suatu perilaku yang tidak lagi
didasarkan pada pertimbangan yang rasional, melainkan karena keinginan yang sudah tidak
mencapai taraf tidak rasional lagi.

Jadi dapat dikatakan bahwa perilaku konsumtif sebuah kecenderungan seseorang yang berlebihan
dalam membeli suatu barang tidak terencana dan mereka lebih mengkedepankan keingannya
daripada kebutuhan yang pada akhirnya berakibat tidak rasional.

A. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Konsumtif

Mengutip buku Konsep Diri dan Konformitas Pada Perilaku Konsumtif Remaja, terdapat faktor
internal dan eksternal yang mempengaruhi perilaku konsumtif. Faktor-faktor yang mempengaruhi
perilaku konsumtif meliputi:

1. Faktor Internal
Faktor internal merupakan kepuasan untuk memberi suatu barang dan dipengaruhi oleh:
a. Motivasi, yaitu pendorong perilaku seseorang dalam melakukan pembelian atau
penggunaan jasa.
b. Harga diri, hal ini berpengaruh pada perilaku membeli. Orang dengan harga diri rendah
lebih mudah dipengaruhi daripada orang dengan harga diri tinggi.
c. Observasi. Sebelum membeli barang, orang akan melakukan pengamatan terhadap diri
sendiri dan orang lain mengenai suatu produk.
d. Proses belajar. Pembelian oleh konsumen termasuk dalam rangkaian proses belajar.
Pengalaman seseorang berpengaruh dalam menentukan barang yang akan dibeli.
Kepribadian, yaitu pola perilaku seseorang.
e. Konsep diri memuat ide, persepsi, dan sikap yang dimiliki seseorang tentang dirinya
sendiri.
2. Faktor Eksternal

Faktor eksternal dipengaruhi oleh kebudayaan, kelas sosial, kelompok referensi, dan keluarga.

a. Kebudayaan adalah hasil karya manusia, proses belajar, mempunyai aturan atau
berpola, bagian dari masyarakat, dan menunjukkan kesamaan tertentu tetapi
terdapat variasi dan terintegrasi secara keseluruhan.
b. Kelas sosial digolongkan menjadi tiga, yaitu golongan atas, menengah, dan bawah.
Penggolongan ini berdasarkan kekayaan, kekuasaan, kehormatan, dan ilmu
pengetahuan.
c. Kelompok referensi didefinisikan sebagai suatu kelompok orang yang
mempengaruhi sikap, pendapat, norma, dan perilaku konsumen. Pengaruh
kelompok referensi antara lain dalam menentukan produk dan merek yang
digunakan sesuai dengan aspirasi kelompok.
d. Keluarga, yaitu unit masyarakat terkecil yang perilakunya sangat mempengaruhi
dan menentukan keputusan seseorang dalam membeli barang.

B. Dampak Positif dan Negatif Perilaku Konsumtif

1. Dampak positif perilaku konsumtif meliputi:


a. Memberikan kepuasan bagi konsumen.
b. Memberikan keuntungan bagi produsen dan kegiatan ekonomi lain.
c. Meningkatkan perputaran roda perekonomian.

4. Dampak Negatif Perlaku Konsumtif:


a. Terjadi pemborosan.
b. Menimbulkan kesenjangan sosial.
c. Menimbulkan inflasi.
Berikut merupakan contoh dari perilaku konsumtif,

Contoh perilaku konsumtif di kalangan remaja, misalnya Anak remaja masa kini ingin sekali
terlihat keren dengan menggunakan barang-barang mewah demi sebuah gengsi, padahal perilaku
tersebut bukan kebutuhan mereka.

2.4 Proses Komunikasi Penggemar K-Pop


A. Pola Komunikasi Primer
Berdasarkan yang dikemukakan, proses komunikasi di dalam komunitas penggemar fans
Kpop berlangsung baik, mereka dapat mengungkapkan pemikiran mereka dengan baik tanpa
batasan-batasan, menyampaikan ide-ide berkaitan dengan kegiatan komunitas. Dalam hal
penggunaan lambang verbal yaitu bahasa, mereka cenderung memakai bahasa sehari-hari yaitu
bahasa Indonesia dan juga bahasa daerah ketika berkomunikasi satu sama lain. Bahasa Korea tidak
terlalu sering digunakan dan secara penuh, mereka hanya mengatakan kata-kata dasar bahasa
Korea yang mereka pahami saja di dalam percakapan.
Untuk lambang non-verbal yang cenderung muncul di dalam komunitas ini yaitu aegyo.
Terkadang para anggota komunitas berbicara dengan bergaya aegyo, yaitu gaya berbicara atau
berekspresi dalam gaya yang imut dan seperti anak kecil. hal lainnya yaitu seperti gaya berpakaian
mereka yang nyentrik meniru idolanya, penggunaan merchandise atau pernak-pernik K-pop seperti
lightstick. Gaya rambut yang diwarnai dengan warna yang tidak lumrah di Indonesia, warna-warna
terang seperti blonde dan juga ungu. Serta juga gerakan dance yang dilakukan para anggota saat
melakukan dance cover. Gestur heart sign biasanya muncul saat mereka berpose ketika berfoto.

B. Pola Komunikasi Sekunder


Bahwa di dalam komunitas soulmate, mereka menggunakan media daring melalui aplikasi
Instan Messenger untuk berkomunikasi satu sama lain seperti whatsapp dan line ketika mereka
tidak dapat berkomunikasi secara tatap muka. Pola komunikasi yang terjadi diantara komunitas
para penggemar K-Pop juga terjadi dalam aplikasi sosial media Twitter, yaitu mereka memiliki
bentuk komunikasi berupa adanya pola atau kebiasaan yang berulang bahwa mereka akan selalu
berkenalan dengan anggota lainnya ketika akan memulai sebuah interaksi. Pola komunikasi yang
lainnya yaitu para penggemar K-Pop adalah menggunakan pola komunikasi dua arah dimana
proses komunikasi yang dijalankan oleh komunitas ini menghasilkan timbal balik atau respon atau
tanggapan.

2.5 Implikasi Secara Sosial Kemasyarakatan


Penggemar K-Pop berhasil merepresentasikan penampilan idol Korea dari dunia simulacra
ke dalam dunia nyata, mendobrak citra lama sebagai sosok yang acuh, dan mengganti dengan citra
baru yang peduli akan penampilan melalui penggunaan produk kecantikan Korea. Idol Korea
menggeser pandangan maskulinitas tradisional di kalangan penggemar. Penilaian subjektif
penggemar pada citra laki-laki Korea menghasilkan karakteristik maskulinitas baru yang dikemas
dengan unsur kkotminam (lelaki cantik, imut, cute dan sexy). Keempat, hasil representasi tren
kecantikan Korea kedalam kehidupan sehari-hari memunculkan dampak positif bagi kalangan
penggemar Korea Bandung seperti memberi peluang usaha, menambah penghasilan, dan
memberikan pengetahuan seputar dunia kecantikan, dan dampak negatif seperti membuat
penggemar lebih konsumtif, waktu luang yang tidak produktif, serta memunculkan pro-kontra dari
orang disekitarnya.

2.6 Studi Kasus


Penyebaran Korean Wave atau Hallyu di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari
perkembangan musiknya yang disebut dengan Korean Pop (K-pop). Adanya K-pop di
Indonesia ini membuat banyaknya masyarakat yang menggemari musik dari Korea Selatan ini.
Para penggemar ini tersebar di seluruh di daerah sehingga para penggemar membentuk suatu
kelompok atau komunitas penggemar K-Pop. Menurut Storey (dalam Achmada & Sadewo, 2014)
konsumsi atas suatu budaya populer akan selalu memunculkan adanya kelompok
penggemar, bahwa penggemar adalah bagian paling tampak dari khalayak teks dan praktik
budaya pop.
Penggemar K-Pop dalam aktivitasnya berkaitan dengan aktivitas konsumsi (konsumtif)
yang didasari oleh motif kepuasan. Perilaku konsumtif ini didasari oleh keinginan diri sendiri akan
perasaan puas yang timbul setelahnya. Kegemaran yang berlebihan ini membuat remaja begitu
tertarik, begitu memuja, begitu mencintai idolanya sehingga mereka ingin memperlihatkan bahwa
mereka merupakan penggemar dengan cara melakukan imitasi maupun konsumsi atas segala
sesuatu mengenai K-Pop. Perilaku konsumsi yang dilakukan oleh penggemar K-pop umumnya
meliputi mengunduh video, membeli merchandise, dan menonton konser. Video yang mereka
unduh berupa video klip hingga video variety show. Sedangkan mengenai konsumsi merchandise
dapat bermacam-macam bentuknya seperti album, light stick, bahkan menonton konser yang harga
tiketnya terbilang mahal.

Menurut Jannah (2014) fanatisme yang dimiliki penggemar K-pop akan membuat mereka
termotivasi untuk membeli barang-barang yang berhubungan dengan idola, dimulai dari harga
yang terbilang normal sampai mahal. Fanatisme merupakan keyakinan luar biasa yang dimiliki
penggemar terhadap idolanya yang dapat dilihat dari tingkat antusiasme dan adanya solidaritas.
Perilaku konsumtif adalah perilaku membeli yang bukan atas dasar pertimbangan rasional
melainkan keinginan. Penggemar K-pop dengan fanatisme tinggi akan membeli barang-barang
yang berkaitan dengan idol K-pop sebagai manifestasi dari kecintaan yang luar biasa terhadap
idola sehingga akan berhubungan pula dengan perilaku konsumtif yang dimiliki.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dalam melihat bagaimana hubungan antara hiperrealitas penggemar K-Pop dengan
keputusan pembelian dapat ditarik kesimpulan konsumsi yang dilakukan oleh masyarakat post-
modern sekarang ini merupakan konsumsi tanda dan citra, Artinya, para penggemar K-Pop
membeli sebuah tanda atau simbol dari sebuah produk budaya yakni idola mereka, entah
merchandise K-Pop atau barang-barang yang sama dengan idola mereka tanpa memfungsikan
barang tersebut sesuai dengan nilai guna materialnya dan juga harga. Ketika kebutuhan dan nilai
guna suatu produk hilang dan hancur disaat semua orang mendefinisikan konsumsi hanya menuruti
hasrat dan juga fantasi yang mereka ciptakan.
Hiperrealitas penggemar K-Pop menunjukkan bahwa citra dan tanda yang berasal dari grup
idola mereka mendorong hasrat para penggemarnya untuk menjadi sama seperti idolanya. Bukan
hanya menjadi sama seperti idolanya, hiperrealitas juga membentuk sebuah realitas yang asli
menyatu dengan realitas palsu sehingga hal tersebut menjadi sulit dibedakan, penggemar terbiasa
dengan penampilan visual sempurna idola dan bentuk realitas semu tersebut pada akhirnya dapat
memunculkan perilaku konsumsi yang tidak wajar. Artinya, konsumsi yang dilakukan oleh
penggemar dalam membeli barang-barang K-Pop dan barang-barang yang sama dengan idolanya
hanya berdasarkan pada pemenuhan kepuasan untuk diri sendiri dan tidak disertai manfaat yang
jelas. Mereka hanya menginginkan kepuasan.

3.2 Saran
Berikut ini adalah saran yang dapat dibacakan kepada seseorang yang tertarik dengan topik
ini. Menumbuhkan kesadaran dalam diri pada fans K-pop tentang perilaku konsumtif. Fans K-
pop seharusnya menanamkan sikap disiplin seperti mengatur keuangan. Tidak terlalu
memfokuskan diri pada media sosial sehingga aktivitas serta tayangan yang dilihat oleh fans K-
pop tidak akan menimbulkan dampak yang terlalu merugikan di masa yang akan datang. Sehingga
fans K-pop tidak menjadi boros dalam membelanjakan uang sakunya untuk membeli barang-
barang yang sebenarnya kurang dibutuhkan dan hanya sebagai keinginan sesaat saja.
DAFTAR PUSTAKA

Hasby, F., & Budaya, F. I. P. (2013, June). Fanbase Boyband Korea: Identifikasi Aktivitas Penggemar
Indonesia. In Prosiding the 5th International Conference of Indonesian Studies:“Ethnicity and
Globalization”. 13—15 Juni 2013. Yogyakarta, Indonesia (pp. 155-164).
Sari, R. P. (2012). Fandom dan Konsumsi Media: Studi Etnografi Kelompok Penggemar Super Junior,
ELF Jogja. Jurnal Komunikasi, 6(2), 79-90.
Nursanti, M. I., & Lukmantoro, T. (2013). Analisis Deskriptif Penggemar K-pop sebagai Audiens Media
dalam Mengkonsumsi dan Memaknai Teks Budaya. Interaksi Online, 2(2).
GHAZWANI, S. A. (2019). Fanatisme Fandom ARMY (Adorable Representative MC For Youth)
Terhadap Boyband Korea Selatan, Bangtan Sonyeondan (BTS) Di Surabaya (Doctoral
dissertation, UNIVERSITAS AIRLANGGA).
Apriliani, I., Muharsih, L., & Rohayati, N. (2021). FANATISME DAN PERILAKU KONSUMTIF PADA
KOMUNITAS PENGGEMAR K-POP DI KARAWANG. Empowerment Jurnal Mahasiswa
Psikologi Universitas Buana Perjuangan Karawang, 1(1), 75-84.

Anda mungkin juga menyukai