TINJAUAN PUSTAKA
11
12
1) Kualitas dan kemampuan pegawai. Yaitu hal – hal yang berhubungan dengan
pendidikan/pelatihan, etos kerja, motivasi kerja, sikap mental dan kondisi fisik
pegawai.
2) Sarana pendukung, yaitu hal yang berhubungan dengan lingkungan kerja
(keselamatan kerja, kesehatan kerja, sarana produksi, teknologi) dan hal – hal yang
berhubungan dengan kesejahteraan pegawai (upah/gaji, jaminan sosial, keamanan
kerja).
3) Supra sarana, yaitu hal – hal yang berhubungan dengan kebijaksanaan pemerintah dan
hubungan industrial manajemen.
Soedjono (2005) menyebutkan 6 (enam) kriteria yang dapat digunakan untuk
mengukur kinerja pegawai secara individu yakni :
1) Kualitas. Hasil pekerjaan yang dilakukan mendekati sempurna atau memenuhi tujuan
yang diharapkan dari pekerjaan tersebut.
2) Kuantitas. Jumlah yang dihasilkan atau jumlah aktivitas yang dapat diselesaikan.
3) Ketepatan waktu, yaitu dapat menyelesaikan pada waktu yang telah ditetapkan serta
memaksimalkan waktu yang tersedia untuk aktivitas yang lain.
4) Efektivitas. Pemanfaatan secara maksimal sumber daya yang ada pada organisasi
untuk meningkatkan keuntungan dan mengurangi kerugian.
5) Kemandirian, yaitu dapat melaksanakan kerja tanpa bantuan guna menghindari hasil
yang merugikan.
6) Komitmen kerja, yaitu komitmen kerja antara pegawai dengan organisasinya dan
7) tanggung jawab pegawai terhadap organisasinya.
kinerja secara langsung yang membentuk keberhasilan utama dan indikator kinerja
kunci
3) Mengukur tingkat capaian dan sasaran organisasi, menganalisis hasil pengukuran
kinerja yang dapat diimplementasikan dengan menbandingkan tingkat capaian tujuan
dan sasaran organisasi
4) Mengevaluasi kinerja dengan menilai kemajuan organisasi dan pengambilan
keputusan yang berkualitas, memberikan gambaran atau hasil kepada organisasi
seberapa besar tingkat keberhasilan tersebut dan mengevaluasi langkah apa yang
diambil organisasi selanjutnya
Pengukuran kinerja karyawan didasarkan dan disesuaikan dengan jenis pekerjaan
yang akan dinilai, dengan memperhatikan variabel pelaku (input), perilaku (process) dan
hasil kerja atau output (Sudarmanto, 2009):
1) Pengukuran kinerja dikaitkan dengan analisis pekerjaan, uraian pekerjaan
2) Pengukuran kinerja dilakukan dengan mengukur sifat / karakter pribadi (traits)
3) Pengukuran kinerja dilakukan dengan mengukur hasil dari pekerjaan yang dicapai
4) Pengukuran kinerja dilakukan dengan mengukur perilaku atau tindakan tindakan
dalam mencapai hasil
2.1.2.3. Pemimpin
Kata kunci penting dalam definisi kepemimpinan adalah pemimpin. Pemimpin adalah
tokoh atau elite anggota sistem yang dikenal dan berupaya mempengaruhi para pengikutnya
secara langsung atau tidak langsung. Pemimpin dapat dikelompokkan menjadi pemimpin
formal dan pemimpin informal. Pemimpin formal adalah pemimpin yang menduduki posisi
atau jabatan formal kepemimpinan dalam suatu organisasi formal yang didirikan berdasarkan
undang-undang atau peraturan negara atau peraturan perusahaan. Pemimpin formal diangkat
atau dipilih oleh mereka yang berhak mengangkat atau memilihmya. Pemimpin informal
adalah pemimpin yang tidak menduduki jabatan organisasi formal dalam sistem sosial, akan
tetapi mempunyai pengaruh terhadap para anggota sistem sosial.
Para peneliti umumnya berangggapan suatu kepemimpinan ditentukan oleh kualitas
pemimpinnya. Pendapat ini disebut Omnipotent view of leadership atau pandangan pemimpin
sangat menentukan kepemimpinan. Menurut pendapat ini, pemimpin yang baik dapat
mengubah besi menjadi emas. Pendapat yang sebaliknya adalah Impotent view of leadership
yang menyatakan bahwa pemimpin hanya mempunyai pengaruh kecil terhadap keberhasilan
kepemimpinan. Kesuksesan kepemimpinan ditentukan oleh banyak faktor, seperti para
pengikut, situasi lingkungan internal dan eksternal sistem sosial dan sumber kepemimpinan
yang tersedia.
Untuk menjadi pemimpin, orang harus memenuhi sejumlah persyaratan atau
kualifikasi tertentu (Wirawan, 2013):
1) Pemimpin adalah elite angggota sistem sosial yang mempunyai kualias pendidikan,
ekonomi, atau status sosial yang relatif lebih tinggi daripada anggota sistem sosial
lainnya.
2) Seorang pemimpin memerlukan kesehatan fisik dan jiwa yang prima. Jika seorang
pemimpin tidak sehat atau cacat fisik dan jiwanya, ia tidak dapat melaksanakan
fungsinya dengan baik dan akan sangat tergantung pada bantuan para pengikutnya.
3) Untuk menjadi pemimpin, orangperlu mempunyai kualitas psikologi tertentu, antara
lain memahami diri sendiri, keerdasan intelektual, kecerdasan emosional, kecerdasan
spiritual, kecerdasan sosial.
1) Menciptakan visi
2) Mengembangkan budaya organisasi
3) Menciptakan sinergi
4) Menciptakan perubahan
5) Memotivasi para pengikut
6) Memberdayakan pengikut
7) Mewakili sistem sosial
8) Membelajarkan organisasi
1) Kekuatan. kekuatan badaniah dan rokhaniah merupakan syarat yang pokok bagi
pemimpin sehingga ia mempunyai daya tahan untuk menghadapi berbagai rintangan.
2) Stabilitas emosi. pemimpin dengan emosi yang stabil akan menunjang pencapaian
lingkungan sosial yang rukun, damai, dan harmonis.
3) Pengetahuan tentang relasi. Pemimpin memiliki pengetahuan tentang sifat, watak, dan
perilaku bawahan agar bisa menilai kelebihan/kelemahan bawahan sesuai dengan
tugas yang diberikan.
4) Kejujuran. Pemimpin yang baik harus mempunyai kejujuran yang tinggi baik kepada
diri sendiri maupun kepada bawahan.
5) Obyektif. Pemimpin harus obyektif, mencari bukti-bukti yang nyata dan sebab
musabab dari suatu kejadian dan memberikan alasan yang rasional atas penolakannya.
6) Dorongan pribadi. Keinginan dan kesediaan untuk menjadi pemimpin harus muncul
dari dalam hati agar ikhlas memberikan pelayanan dan pengabdian kepada
kepentingan umum.
7) Keterampilan berkomunikasi. Pemimpin diharapkan mahir menulis dan berbicara,
mudah menangkap maksud orang lain, mahir mengintegrasikan berbagai opini serta
aliran yang berbeda-beda untuk mencapai kerukunan dan keseimbangan.
8) Kemampuan mengajar. Pemimpin diharapkan juga menjadi guru yang baik, yang
membawa orang belajar pada sasaran-sasaran tertentu untuk menambah pengetahuan,
keterampilan agar bawahannya bisa mandiri, mau memberikan loyalitas dan
partisipasinya.
9) Keterampilan sosial. Dia bersikap ramah, terbuka, mau menghargai pendapat orang
lain, sehingga ia bisa memupuk kerjasama yang baik.
10) Kecakapan teknis atau kecakapan manajerial. Pemimpin harus superior atau beberapa
kemahiran teknis tertentu.
Pemimpin memiliki kekuatan energi, daya tarik dan perbawa yang luar biasa untuk
mempengaruhi orang lain, sehingga ia mempunyai pengikut yang sangat besar jumlahnya
yang dapat dipercaya. Pemimpin memiliki banyak inspirasi, keberanian, dan berkeyakinan
teguh pada pendiriannya. Totalitas kepribadian pemimpin mencerminkan pengaruh dan
daya tarik teramat besar.
2) Tipe Paternalistis
Merupakan tipe kepemimpinan kebapakan, dengan sifat-sifat antara lain:
a) Menganggap bawahannya sebagai manusia yang belum dewasa atau anak sendiri
yang perlu dikembangkan.
b) Bersikap terlalu melindungi.
c) Jarang memberikan kesempatan kepada bawahan untuk mengambil keputusan
sendiri.
d) Jarang memberi kesemptan kepada bawahan untuk berinisiatif.
e) Selau bersikap maha tahu dan maha benar.
3) Tipe Militeris Bersifat militeris namun hanya gaya luarnya saja yang mencontoh gaya
militer. Tetapi jika dilihat lebih seksama tipe ini mirip sekali dengan tipe kepemimpinan
otoriter. Adapun sifat-sifat pemimpin yang militeris yaitu:
a) Lebih banyak menggunakan sistem perintah atau komando.
b) Menghendaki kepatuhan mutlak dari bawahan.
c) Senang dengan formalitas.
d) Menuntut adanya disiplin keras dan kaku dari bawahannya.
e) Tidak menghendaki saran atau usul dari bawahan.
f) Komunikasi searah
4) Tipe Otokratis
Tipe pemimpin ini menganggap bahwa pemimpin adalah merupakan suatu hak. Ciri-ciri
pemimpin tipe ini adalah sebagai berikut :
a) Menganggap bahwa organisasi adalah milik pribadi.
b) Mengidentikkan tujuan pribadi dengan tujuan organisasi.
c) Menganggap bahwa bawahan adalah sebagai alat semata-mata.
d) Tidak mau menerima kritik, saran dan pendapat dari orang lain karena dia
menganggap dialah yang paling benar.
e) Selalu bergantung pada kekuasaan formal.
f) Dalam menggerakkan bawahan sering mempergunakan pendekatan yang
mengandung unsur paksaan dan ancaman.
27
heroik atau yang luar biasa ketika mereka mengamati perilaku–perilaku tertentu dari
pemimpin mereka. Menurut Ivancevich, Konopaske, dan Matteson (2006) pemimpin
kharismatik adalah pemimpin yang mampu mewujudkan atmosfer motivasi atas dasar
komitmen dan identitas emosional pada visi, filosofi dan gaya mereka dalam diri
bawahannya.
kepada pemimpin, serta termotivasi untuk melakukan sesuatu melebihi dari apa yang
diharapkan (Yukl, 2010). Pemimpin tersebut meningkatkan kematangan dan bentuk ideal
para pengikut serta peduli terhadap pencapaian, aktualisasi diri, dan kesejahteraan orang lain,
organisasi dan masyarakat. Pengaruh ideal (idealized influence) dan kepemimpinan
inspirasional (inspirational leadership) ditunjukkan ketika pemimpin mengutarakan visi yang
diperlukan untuk masa depan, mengartikulasikan bagaimana visi itu dapat dicapai,
memberikan contoh untuk diikuti, menetapkan standar kinerja yang tinggi, memperlihatkan
determinasi dan kepercayaan diri. Stimulasi intelektual ditunjukkan ketika pemimpin
membantu atau mendorong para pengikutnya menjadi lebih inovatif dan kreatif.
Pertimbangan individual ditunjukkan ketika pemimpin memberikan perhatian dalam
pengembangan kebutuhan para pengikut dan mendukung serta melatih pengembangan dari
para pengikutnya. Pemimpin mendelegasikan tugas kepada pengikut sebagai kesempatan
untuk berkembang. Pemimpin yang bersifat transformasional dapat membuat bawahannya
bekerja lebih keras dan mau untuk bekerja lebih dari apa yang seharusnya mereka kerjakan.
Bass (1997) menyatakan bahwa kepemimpinan transformasional dapat membuat para
bawahan menjadi lebih terlibat dan peduli pada pekerjaannya, lebih banyak mencurahkan
perhatian dan waktu untuk pekerjaannya, dan menjadi kurang perhatiannya kepada
kepentingan-kepentingan pribadinya. Pemimpin transformasional dapat membuat bawahanya
mau untuk melakukan sesuatu melebihi kewajibannya.
Penyampaian inspirasi pemimpin transformasional kepada para pengikutnya adalah
suatu hal yang sangat penting dalam pencapaian tujuan organisasi. Penyampaian gambaran-
gambaran tentang perusahaan oleh pemimpin kepada bawahan akan menumbuhkan perasaan
pada para bawahan bahwa perusahaan sedang mengalami kemajuan. Penyampaian gambaran
tersebut juga memberi gambaran kepada para bawahan tentang posisi relatif perusahaan
terhadap tujuan yang hendak dicapai, dan bagaimana cara untuk mencapai tujuan tersebut.
Hal tersebut dapat membuat karyawan lebih mendapatkan kepuasan kerja sehingga
termotivasi untuk bekerja lebih keras untuk mencapai tujuantujuan yang telah ditetapkan
organisasi. Hal semacam ini juga dapat menumbuhkan pemahaman yang lebih jelas tentang
peran karyawan dalam pencapaian tujuan tersebut dan memberikan harapan pada para
karyawan akan masa depan yang lebih baik. Pemimpin yang menunjukan perilaku semacam
ini lebih disukai dan dipercaya oleh bawahannya. Rasa suka dan kepercayaan para bawahan
akan meningkatkan usaha tambahan dari para bawahan, guna mencapai tujuan yang telah
ditetapkan.
31
yang benar untuk melihat, berpikir, dan nuansa dalam kaitannya dengan mereka masalah)".
Berdasarkan pengertian tersebut budaya mengarahkan pada tiga elemen yaitu: 1) masalah
sosialisasi, dimana anggota-anggota baru dan kelompok berusaha untuk menemukan elemen-
elemen budaya, tetapi mereka mempelajarinya hanya sebatas pada permukaan saja. Untuk
memperoleh tingkat yang lebih dalam, mereka harus mencoba untuk memahami persepsi dan
perasaan yang muncul dalam situasi kritis atau mengobservasi dan menginterview anggota-
anggota lama untuk memperoleh pengertian yang akurat mengenai kebersamaan asumsi pada
tingkat yang lebih dalam, 2) masalah perilaku, dan definisi di atas tidak memasukkan pola
perilaku yang jelas seperti ritual-ritual.
Budaya organisasi adalah suatu persepsi bersama yang dianut oleh anggotaanggota
organisasi itu. Suatu sistem dari makna bersama (Robbins, 2006: 47). Budaya organisasi
secara sederhana sebagai “the way we do things around here.” Yang dimaksudkannya adalah
sebuah budaya organisasi mencerminkan “cara mereka melakukan sesuatu (membuat
keputusan, melayani orang, dsb), yang dapat dilihat dan dirasakan terutama oleh orang di luar
organisasi tersebut (Marvin Bower dalam Ruky, 2003: 88).
Setiap organisasi mempunyai budaya organisasi yang mempengaruhi semua aspek
organisasi dan prilaku anggotanya secara individual atau kelompok. Edgar H. Schein (2006:
47) mendefinisikan sebagai berikut pola asumsi dasar yang ditemukan atau dikembangkan
oleh suatu kelompok orang selagi mereka belajar untuk menyelesaikan problem-problem,
menyesuaikan diri dengan lingkungan eksternal dan berintegrasi dengan lingkungan internal.
Dalam kehidupan masyarakat sehari-hari tidak terlepas dari ikatan budaya yang diciptakan.
Ikatan budaya tercipta oleh masyarakat yang bersangkutan, baik dalam keluarga, organisasi,
bisnis maupun bangsa.
Budaya membedakan masyarakat satu dengan yang lain dalam cara berinteraksi dan
bertindak menyelesaikan suatu pekerjaan. Budaya mengikat anggota kelompok masyarakat
menjadi satu kesatuan pandangan yang menciptakan keseragaman berperilaku atau bertindak.
Seiring dengan bergulirnya waktu, budaya pasti terbentuk dalam organisasi dan dapat pula
dirasakan manfaatnya dalam memberi kontribusi bagi efektivitas organisasi secara
keseluruhan.
Berikut ini merupakan pengertian budaya menurut beberapa ahli:
a. Menurut Wood, Wallace, Zeffane, Schermerhorn, Hunt, Osborn (2001:391), budaya
organisasi adalah sistem yang dipercayai dan nilai yang dikembangkan oleh organisasi
dimana hal itu menuntun perilaku dari anggota organisasi itu sendiri.
34
b. Menurut Tosi, Rizzo, Carroll seperti yang dikutip oleh Munandar (2001:263), budaya
organisasi adalah cara-cara berpikir, berperasaan dan bereaksi berdasarkan pola-pola
tertentu yang ada dalam organisasi atau yang ada pada bagian-bagian organisasi.
c. Menurut Robbins (2006:289), budaya organisasi adalah suatu persepsi bersama yang
dianut oleh anggota-anggota organisasi itu.
d. Menurut Schein (2006:12), budaya organisasi adalah pola dasar yang diterima oleh
organisasi untuk bertindak dan memecahkan masalah, membentuk karyawan yang mampu
beradaptasi dengan lingkungan dan mempersatukan anggota-anggota organisasi. Untuk itu
harus diajarkan kepada anggota termasuk anggota yang baru sebagai suatu cara yang benar
dalam mengkaji, berpikir dan merasakan masalah yang dihadapi.
e. Menurut Cushway dan Lodge (2000), budaya organisasi merupakan sistem nilai organisasi
dan akan mempengaruhi cara mengerjakan pekrjaan dan cara para karyawan berperilaku.
Dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan budaya organisasi dalam penelitian ini
adalah suatu persepsi bersama yang dianut oleh anggota organisasi, yang kemudian
mempengaruhi cara bekerja dan berperilaku dari para anggota organisasi.
2.1.3.2 Dimensi Budaya
Organisasi Untuk mengetahui dan mempelajari budaya suatu organisasi ada beberapa
unsur atau variabel yang dapat digunakan. Ricardo and Jelly, dalam Sam Advance
Management Journal (2007) mengemukakan delapan dimensi untuk menilai budaya
organisasi/perusahaan yaitu:
a. Communications (Komunikasi). Dalam dimensi ini tercakup jumlah dan tipe sistem
komunikasi, serta jenis dan cara informasi yang dikomunikasikan. Termasuk juga dimensi
ini adalah: arah komunikasi top down atau bottom up, apakah komunikasi disaring atau
terbuka, apakah konflik dihindari atau dipecahkan, dan apakah jalur formal atau informal
yang digunakan untuk menyampaikan dan menerima komunikasi.
b. Training and Development (Pelatihan dan Pengembangan). Dalam hal ini apakah
managemen komited untuk menyediakan kesempatan untuk pengembangan diri bagi
karyawannya. Serta apakah pendidikan bagi karyawan ditujukan untuk kebutuhan
sekarang atau untuk masa datang. c. Reward (Penghargaan). Dalam hal ini perilaku apa
saja yang dihargai, tipe penghargaan yang digunakan, secara pribadi atau kelompok,
apakah semua karyawan berhak mendapat bonus, apakah kriteria untuk menilai kemajuan
karyawan dan lain-lain.
d. Decision Making (Pengambilan Keputusan). Dimensi ini diarahkan pada bagaimana
keputusan dibuat dan konflik dipecahkan, apakah keputusan cepat atau lambat, apakah
35
menata olah secara efektif masalah baru dan peluang apa saja yang akan mereka temui.
Kegairahan yang menyebar luas, satu semangat untuk melakukan apa saja yang dia hadapi
untuk mencapai keberhasilan organisasi. Para anggota ini reseptif terhadap perubahan dan
inovasi. Rosabeth Kanter mengemukakan bahwa jenis budaya ini menghargai dan mendorong
kewiraswastaan, yang dapat membantu sebuah organisasi beradaptasi dengan lingkungan
yang berubah, dengan memungkinkannya mengidentifikasi dan mengeksploitasi peluang
peluang baru. Contoh perusahaan yang mengembangkan budaya adaptif ini adalah Digital
Equipment Corporation dengan budaya yang mempromosikan inovasi, pengambilan resiko,
pembahasan yang jujur, kewiraswastaan, dan kepemimpinan pada banyak tingkat dalam
hierarki. 2.2.4 Memahami Perubahan Budaya Organisasi
Perubahan selalu terjadi, disadari atau tidak. Begitu pula halnya dengan organisasi.
Organisasi hanya dapat bertahan jika dapat melakukan perubahan. Setiap perubahan
lingkungan yang terjadi harus dicermati karena keefektifan suatu organisasi tergantung pada
sejauhmana organisasi dapat menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut. Pada dasarnya
semua perubahan yang dilakukan mengarah pada peningkatan efektiftas organisasi dengan
tujuan mengupayakan perbaikan kemampuan organisasi dalam menyesuaikan diri terhadap
perubahan lingkungan serta perubahan perilaku anggota organisasi (Robbins, 2003). Lebih
lanjut Robbins menyatakan perubahan organisasi dapat dilakukan pada struktur yang
mencakup strategi dan sistem, teknologi, penataan fisik dan sumber daya manusia.
Perubahan budaya organisasi di satu sisi dapat meningkatkan kinerja, namun Di sisi lain
dapat pula mengalami kegagalan apabila tidak dipersiapkan dan dikelola dengan benar.
Namun, apabila tidak melakukan perubahan budaya organisasi, sedangkan lingkungan
berubah, dapat dipastikan mengalami kegagalan. Paling tidak perubahan harus dilakukan
untuk dapat mempertahankan diri dari tekanan persaingan (Romli, 2011: 58).
Namun, yang perlu diwaspadai adalah mengetahui kapan waktu yang tepat untuk
melakukan perubahan budaya organisasi. Perubahan budaya organisasi diperlukan apabila
terjadi perkembangan lingkungan yang tidak dapat dihindari. Di sisi lain perubahan sering
menjadi kebutuhan internal organisasi, dirasakan sebagai kebutuhan. Dalam lingkungan yang
semakin kompetitif diperlukan peningkatan efisiensi untuk mempertahankan daya saing atau
meningkatkan pelayanan kepada pelanggan. Demikian pula diperlukan pemahaman tentang
bagaimana proses yang tepat untuk menjalankan perubahan organisasi dan hambatan apa
yang mungkin akan dihadapi. Kesalahan dapat berakibat pada timbulnya resistensi dan
kegagalan usaha perubahan budaya organisasi.
40
1. Observed behavioral regularities yakni keberaturan cara bertindak dari para anggota yang
tampak teramati. Ketika anggota organisasi berinteraksi dengan anggota lainnya, mereka
munkin menggunakan bahasa umum, istilah, atau ritual tertentu.
2. Norms yakni berbagai standar perilaku yang ada, termasuk di dalamnya tentang pedoman
sejauh mana suatu pekerjaan harus dilakukan.
3. Dominant values yakni adanya nilai-nilai inti yang dianut bersama oleh seluruh anggota
organisasi, misalnya tentang kualitas produk yang tinggi, absensi yang rendah atau
efisiensi yang tinggi.
4. Philosophy yakni adanya kebijakan-kebijakan yang berkenaan dengan keyakinan
organisasi dalam memperlakukan pelanggan dan karyawan.
5. Rules yaitu adanya pedoman yang kuat, dikaitkan dengan kemajuan organisasi.
6. Organization climate merupakan perasaan keseluruhan (anoverall “feeling”) yang
tergambarkan dan disampaikan melalui kondisi tata ruang, cara berinteraksi para anggota
organisasi, dan cara anggota organisasi memperlakukan dirinya dan pelanggan atau orang
lain (Romli, 2011: 48).
Teori Kepuasan Kerja Teori kepuasan kerja mencoba mengungkapkan apa yang
membuat sebagian orang lebih puas terhadap suatu pekerjaan daripada beberapa lainnya.
Teori ini juga mencari landasan tentang proses perasaan orang terhadap kepuasan kerja. Ada
beberapa teori tentang kepuasan kerja yaitu :
1) Two Factor Theory
Teori ini menganjurkan bahwa kepuasan dan ketidakpuasan merupakan bagian dari
kelompok variabel yang berbeda yaitu motivators dan hygiene factors. Ketidakpuasan
dihubungkan dengan kondisi disekitar pekerjaan (seperti kondisi kerja, upah, keamanan,
kualitas pengawasan dan hubungan dengan orang lain) dan bukan dengan pekerjaan itu
sendiri. Karena faktor mencegah reaksi negatif dinamakan sebagai hygiene atau
maintainance factors. Sebaliknya kepuasan ditarik dari faktor yang terkait dengan
pekerjaan itu sendiri atau hasil langsung daripadanya seperti sifat pekerjaan, prestasi
dalam pekerjaan, peluang promosi dan kesempatan untuk pengembangan diri dan
pengakuan. Karena faktor ini berkaitan dengan tingkat kepuasan kerja tinggi dinamakan
motivators.
2) Value Theory
Menurut teori ini kepuasan kerja terjadi pada tingkatan dimana hasil pekerjaan diterima
individu seperti diharapkan. Semakin banyak orang menerima hasil, akan semakin puas
dan sebaliknya. Kunci menuju kepuasan pada teori ini adalah perbedaan antara aspek
pekerjaan yang dimiliki dengan yang diinginkan seseorang. Semakiin besar perbedaan,
semakin rendah kepuasan orang.
2.1.4.2 Variabel Kepuasan Kerja
Menurut Mangkunegara (2006:117-119) kepuasan kerja berhubungan dengan variabel-
variabel seperti keluar masuk (turnover), tingkat absensi, umur, tingkat pekerjaan, dan
ukuran organisasi perusahaan. Hal ini menurut beliau sesuai dengan pendapat Keith Davis
bahwa “Job satisfication is related to a number of major employee variables, such as
turnover, absences, age, occupation and size of the organization in which an employee
works”. Untuk lebih jelasnya variabel - variabel tersebut adalah sebagai berikut :
1. Turnover Kepuasan kerja lebih tinggi dihubungkan dengan turnover pegawai yang rendah.
Sedangkan pegawai-pegawai yang kurang puas biasanya turnovernya lebih tinggi.
2. Tingkat Ketidakhadiran Kerja Pegawai-pegawai yang kurang puas cenderung tingkat
ketidakhadirannya (absen) tinggi. Mereka sering tidak hadir kerja dengan alasan yang
tidak logis dan subjektif.
43
3. Umur Ada kecenderungan pegawai yang tua lebih merasa puas dari pada pegawai yang
berumur relatif muda. Hal ini diasumsikan bahwa pegawai yang tua lebih berpengalaman
menyesuaikan diri dengan lingkungan pekerjaan, sedangkan pegawai usia yang lebih
muda biasanya mempunyai harapan yang ideal tentang dunia kerjanya. Sehingga apabila
antara harapannya dengan realita kerja terdapat kesenjangan atau ketidakseimbangan dapat
menyebabkan mereka menjadi tidak puas.
4. Tingkat Pekerjaan Pegawai-pegawai menduduki tingkat pekerjaan yang lebih tinggi
cenderung lebih merasa puas dari pada pegawai yang menduduki tingkat pekerjaan yang
lebih rendah. Pegawai-pegawai yang tingkat pekerjaannya lebih tinggi menunjukan
kemampuan kerja yang lebih baik dan aktif dalam mengemukakan ide-ide serta kreatif
dalam bekerja.
5. Ukuran Organisasi Perusahaan Ukuran organisasi perusahaan dapat mempunyai kepuasan
pegawai. Hal ini karena besar kecil perusahaann berhubungan pula dengan koordinasi,
komunikasi, dann partisipasi pegawai
hasil pelayanan yang diberikan oleh perawat/ didapatkan pasien jauh dibawah harapannya,
jika hasil pelayanan yang diberikan oleh perawat belum memenuhi harapan pasien maka
pasien akan merasa tidak puas terhadap pelayanan yang diterima pasien. Pelayanan akan
cukup memuaskan jika pelayanan yang diberikan oleh perawat sudah memenuhi sebagian
harapan pasien. Pelayanan akan memuaskan apabila pelayanan yang diberikan oleh
perawat sudah memenuhi harapan rata-rata pasien, sedangkan pasien akan merasa sangat
puas apabila pelayanan yang diberikan oleh perawat melebihi apa yang diharapkan pasien.
2.1.4.4 Indikator Kepuasan Kerja
Menurut Veithzal (2006:479) secara teoritis, faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
kepuasan kerja sangat banyak jumlahnya, seperti gaya kepemimpinan, produktivitas kerja,
perilaku, locus of control, pemenuhan harapan penggajian dan efektivitas kerja. Faktor-faktor
yang biasanya digunakan untuk mengukur kepuasan kerja seorang karyawan adalah sebagai
berikut :
1. Isi pekerjaan, penampilan tugas pekerjaan yang aktual dan sebagai kontrol terhadap
pekerjaan,
2. Supervisi,
3. Organisasi dan manajemen,
4. Kesempatan untuk maju,
5. Gaji dan keuntungan dalam bidang finansial lainnya seperti adanya insentif,
6. Rekan kerja,
7. Kondisi pekerjaan.
Selain itu, menurut Job Descriptive Index (JDI) faktor penyebab kepuasan kerja adalah
sebagai berikut :
1. Bekerja pada tempat yang tepat,
2. Pembayaran yang sesuai,
3. Organisasi dan manajemen,
4. Supervisi pada pekerjaan yang tepat,
5. Orang yang berada dalam pekerjaan yang tepat.
Salah satu cara untuk menentukan apakah pekerja puas dengan pekerjaannya ialah dengan
membandingkan pekerjaan mereka dengan beberapa pekerjaan ideal tertentu (teori
kesenjangan)
47
10) Kepuasan kerja merupakan fungsi sifat pribadi dan faktor genetik. Hal ini
menyiratkan perbedaan sifat individu mempunyai arti penting untuk menjelaskan
kepuasan kerja disampng karakteristik lingkungan pekerjaan.
Selain penyebab kepuasan kerja, ada juga faktor penentu kepuasan kerja. Diantaranya
adalah sebagi berikut :
1) Pekerjaan itu sendiri (work it self) Setiap pekerjaan memerlukan suatu keterampilan
tertentu sesuai dengan bidangnya masing-masing. Sukar tidaknya suatu pekerjaan
serta perasaan seseorang bahwa keahliannya dibutuhkan dalam melakukan pekerjaan
tersebut, akan meningkatkan atau mengurangi kepuasan.
2) Hubungan dengan atasan (supervision)
Kepemimpinan yang konsisten berkaitan dengan kepuasan kerja adalah tenggang rasa
(consideration). Hubungan fungsional mencerminkan sejauhmana atasan membantu
tenaga kerja untuk memuaskan nilai-nilai pekerjaan yang penting bagi tenaga kerja.
Hubungan keseluruhan didasarkan pada ketertarikan antar pribadi yang
mencerminkan sikap dasar dan nilai-nilai yang serupa, misalnya keduanya
mempunyai pandangan hidup yang sama. Tingkat kepuasan kerja yang paling besar
dengan atasan adalah jika kedua jenis hubungan adalah positif. Atasan yang memiliki
ciri pemimpin yang transformasional, maka tenaga kerja akan meningkat motivasinya
dan sekaligus dapat merasa puas dengan pekerjaannya.
3) Teman sekerja (workers)
Teman kerja merupakan faktor yang berhubungan dengan hubungan antara pegawai
dengan atasannya dan dengan pegawai lain, baik yang sama maupun yang berbeda
jenis pekerjaannya.
4) Promosi (promotion)
Promosi merupakan faktor yang berhubungan dengan ada tidaknya kesempatan untuk
memperoleh peningkatan karier selama bekerja.
5) Gaji atau upah (pay)
Merupakan faktor pemenuhan kebutuhan hidup pegawai yang dianggap layak atau
Menurut Mediawati (2000), menyebutkan bahwa puas atau tidak puasnya pasien
biasanya ditentukan oleh hal-hal meliputi mutu produk atau jasa, mutu pelayanan, harga,
waktu penyerahan, dan keamanan.
Semua faktor kepuasan pasien tersebut pada hakikatnya sangat berkaitan dan
ditentukan oleh mutu kerja para perawat, sehubungan dengan hal tersebut, pada dasarnya
kepuasan pasien dipengaruhi oleh faktor-faktor: teknologi, kemampuan kerja perawat,
49
kemauan perawat, dan lingkungan kerja perawat. Notoatmodjo (2003), berpendapat bahwa
faktor-faktor dasar yang mempengaruhi kepuasan yaitu :
1) Pengetahuan Tingkat pengetahuan seseorang dapat mempengaruhi prilaku individu,
yang mana makin tinggi tingkat pengetahuan seseorang tentang kesehatan, maka
makin tinggi untuk berperan serta.
2) Kesadaran Bila pengetahuan tidak dapat dipahami, maka dengan sendirinyatimbul
suatu kesadaran untuk berprilaku berpartisipasi
3) Sikap positif Sikap merupakan reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup
terhadap suatu stimulus atau objek. Sedangkan salah satu kompensasi dari sikap yang
positif adalah menerima (receiving), diartikan bahwa orang mau dan memperhatikan
stimulus yang diberikan.
4) Sosial ekonomi Pelayanan yang diberikan oleh perawat sesuai dengan biaya yang
telah dikeluarkan oleh pasien. Semakin tinggi biaya yang dikeluarkan oleh pasien
maka semakin baik pelayanan yang diberikan.
5) Sistem nilai Sistem nilai seseorang pasien sangat mempengaruhi seseorang pasien
untuk mempersepsikan pelayanan kesehatan yang diberikan.
6) Pemahaman pasien tentang jenis pelayanan yang akan diterimanya Tingkat
pemahaman pasien terhadap tindakan yang diberikan akan mempengaruhi tingkat
kepuasan seseorang terhadap tindakan.
7) Empati yang ditujukan oleh pemberi pelayanan kesehatan, sikap ini akan menyentuh
emosi pasien. Faktor ini akan berpengaruh terhadap tingkat kepatuhan pasien
(compliance).
Menurut Budiastuti (2002) mengemukakan bahwa pasien dalam mengevaluasi
kepuasan terhadap jasa pelayanan yang diterima mengacu pada beberapa faktor, yaitu:
1) Kualitas produk atau jasa
2) Pasien akan merasa puas bila hasil evaluasi mereka menunjukkan bahwa produk atau
jasa yang digunakan berkualitas. Persepsi konsumen terhadap kualitas produk atau
jasa dipengaruhi oleh dua hal yaitu kenyataan kualitas produk atau jasa yang
sesungguhnya dan komunikasi perusahan terutama iklan dalam mempromosikan
rumah sakitnya. Dalam hal pelayanan di rumah sakit aspek klinis, yaitu komponen
yang menyangkut pelayanan dokter, perawat dan terkait dengan teknis medis adalah
produk atau jasa yang dijual (Lusa, 2007).
3) Kualitas pelayanan
50
4) Kualitas pelayanan memegang peranan penting dalam industri jasa. Pelanggan dalam
hal ini pasien akan merasa puas jika mereka memperoleh pelayanan yang baik atau
sesuai dengan yang diharapkan. Mutu pelayanan kesehatan yang dapat menimbulkan
tingkat kepuasan pasien dapat bersumber dari faktor yang relatif spesifik, seperti
pelayanan rumah sakit, petugas kesehatan, atau pelayanan pendukung (Woodside,
1989). Prioritas peningkatkan kepuasan pasien adalah memperbaiki kualitas
pelayanan dengan mendistribusikan pelayanan adil, palayanan yang ramah dan sopan,
kebersihan, kerapian, kenyamanan dan keamanan ruangan serta kelengkapan,
kesiapan dan kebersihan peralatan medis dan non medis (Marajabessy, 2008).
5) Faktor emosional
6) Pasien yang merasa bangga dan yakin bahwa orang lain kagum terhadap konsumen
bila dalam hal ini pasien memilih rumah sakit yang sudah mempunyai pandangan
“rumah sakit mahal”, cenderung memiliki tingkat kepuasan yang lebih tinggi. Selain
itu, pengalaman juga berpengaruh besar terhadap emosional pasien terhadap suatu
pelayanan kesehatan (Robert dan Richard, 1991). Perasaan itu meliputi senang karena
pelayanan yang menyenangkan, terkejut karena tak menduga mendapat pelayanan
yang sebaik itu, rasa tidak menyenangkan dan kekecewaan terhadap suatu pelayanan
tertentu sangat mempengaruhi pemilihan terhadap rumah sakit.
7) Harga
8) Harga merupakan aspek penting, namun yang terpenting dalam penentuan kualitas
guna mencapai kepuasan pasien. Meskipun demikian elemen ini mempengaruhi
pasien dari segi biaya yang dikeluarkan, biasanya semakin mahal harga perawatan
maka pasien mempunyai harapan yang lebih besar. Sedangkan rumah sakit yang
berkualitas sama tetapi berharga murah, memberi nilai yang lebih tinggi pada pasien.
9) Biaya
10) Mendapatkan produk atau jasa, pasien yang tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan
atau tidak perlu membuang waktu untuk mendapatkan jasa pelayanan, cenderung puas
terhadap jasa pelayanan tersebut. Menurut, Lusa (2007) , biaya dapat dijabarkan
dalam pertanyaan kewajaran biaya, kejelasan komponen biaya, biaya pelayanan,
perbandingan dengan rumah sakit yang sejenis lainnya, tingkat masyarakat yang
berobat, ada tidaknya keringanan bagi masyarakat miskin,dan sebagainya. Selain itu,
efisiensi dan efektivitas biaya, yaitu pelayanan yang murah, tepat guna, tidak ada
diagnosa dan terapi yang berlebihan juga menjadi pertimbangan dalam menetapkan
biaya perawatan.
51
Menurut Malayu S.P. Hasibuan (2004:203) kepuasan kerja karyawandipengaruhi oleh faktor-
faktor :
1.Balas jasa yang layak dan adil
2.Penempatan yang tepat sesuai dengan keahlian
3.Berat-ringannya pekerjaan
4.Suasana dan lingkungan pekerjaan
5.Peralatan yang menunjang pelaksanaan pekerjaan
6.Sikap pemimpin dalam kepemimpinannya
7.Sifat pekerjaan monoton atau tidak
Menurut Stephen Robbins (2003:108) ada empat faktor yang kondusif bagi tingkat kepuasan
kerja karyawan yang tinggi, yaitu :
a.Pekerjaan yang secara mental menantang
Orang lebih menyukai pekerjaan-pekerjaan yang memberi mereka peluanguntuk
menggunakan keterampilan dan kemampuan mereka dan menawarkansatu varietas tugas,
kebebasan dan umpan balik tentang seberapa baiknyamereka melakukan itu. Karakteristik-
karakteristik ini membuat pekerjaanmenjadi menantang secara mental
b.Imbalan yang wajarKaryawan menginginkan sistem panggajian yang mereka anggap
tidak ambigu, dan sejalan dengan harapan mereka. Bila pembayaran itu kelihatanadil
berdasarkan pada permintaan pekerjaan, tingkat keterampilan individu,dan standar
pembayaran masyarakat, kepuasan mungkin dihasilkan.
c.Kondisi lingkungan kerja yang mendukungkaryawan merasa prihatin dengan kondisi
lingkungan kerja mereka jikamenyangkut masalah kenyamanan pribadi maupun masalah
kemudahan untuk dapat bekerja dengan baik. Banyak studi yang menunjukan bahwa para
karyawanlebih menyukaii lingkungan fisik yang tidak berbahaya atau yang nyaman.
Selainitu kebanyakan karyawan lebih suka bekerja tidak jauh dari rumah, dalam
fasilitasyang bersih dan relatif modern, dengan alat dan perlengkapan yang memadai.
d.Rekan kerja yang suportif Dari bekerja orang mendapatkan lebih dari sekedar uang atau
prestasi-prestasi yang berwujud, bagi sebagain karyawan kerja juga dapat
mengisikebutuhan akan interaksi social. Oleh karena itu, tidak heran jika seorangkaryawan
memiliki rekan kerja yang suportif dan bersahabat dapat meningkatkankepuasan kerja
mereka.
Perilaku dari bos seseorang juga merupakan penentu utama kepuasan.Studi-studi
umumnya menemukan bahwa kepuasan kerja ditingkatkan bikapenyelia langsung memahami
dan secara bersahabat, memberikan pujian ataskinerja yang baik, mendengarkan pendapat
52
2) Pelibatan Kerja
Hal ini menunjukkan kenyataan dimana individu secara pribadi dilibatkan dengan peran
kerjanya. Karena pelibatan kerja mempunyai hubungan dengan kepuasan kerja, dan
peran atasan/manajer perlu didorong memperkuat lingkungan kerja yang memuaskan
untuk meningkatkan keterlibatan kerja pekerja.
3) Organizational citizenship behavior
Merupakan perilaku pekerja di luar dari apa yang menjadi tugasnya.
4) Organizational commitment
Mencerminkan tingkatan dimana individu mengidentifikasi dengan organisasi dan
mempunyai komitmen terhadap tujuannya. Antara komitmen organisasi dengan kepuasan
terdapat hubungan yang siknifikan dan kuat, karena meningkatnya kepuasan kerja akan
menimbulkan tingkat komitmen yang lebih tinggi. Selanjutnya komitmen yang lebih
tinggi dapat meningkatkan produktivitas kerja.
5) Ketidakhadiran (Absenteisme)
Antara ketidakhadiran dan kepuasan terdapat korelasi negatif yang kuat. Dengan kata
lain apabila kepuasan meningkat, ketidakhadiran akan turun.
6) Perputaran (Turnover)
Hubungan antara perputaran dengan kepuasan adalah negatif. Dimana perputaran dapat
mengganggu kontinuitas organisasi dan mahal sehingga diharapkan atasan/manajer dapat
meningkatkan kepuasan kerja dengan mengurangi perputaran.
7) Perasaan stres
Antara perasaan stres dengan kepuasan kerja menunjukkan hubungan negatif dimana
dengan meningkatnya kepuasan kerja akan mengurangi dampak negatif stres.
8) Prestasi kerja/kinerja
Terdapat hubungan positif rendah antara kepuasan dan prestasi kerja. Dikatakan
kepuasan kerja menyebabkan peningkatan kinerja sehingga pekerja yang puas akan lebih
produktif. Di sisi lain terjadi kepuasan kerja disebabkan oleh adanya kinerja atau prestasi
kerja sehingga pekerja yang lebih produktif akan mendapatkan kepuasan
dari kepuasan kerja hanya jika tenaga kerja mempersepsikan bahwa apa yang telah
dicapai perusahaan sesuai dengan apa yang mereka terima (gaji/upah) yaitu adil dan
wajar serta diasosiasikan dengan performa kerja yang unggul. Dengan kata lain bahwa
performansi kerja menunjukkan tingkat kepuasan kerja seorang pekerja, karena
perusahaan dapat mengetahui aspek-aspek pekerjaan dari tingkat keberhasilan yang
diharapkan.
2) Ketidakhadiran (Absenteisme)
Menurut Porter dan Steers, ketidakhadiran sifatnya lebih spontan dan kurang
mencerminkan ketidakpuasan kerja. Tidak adanya hubungan antara kepuasan kerja
dengan ketidakhadiran. Karena ada dua faktor dalam perilaku hadir yaitu motivasi
untuk hadir dan kemampuan untuk hadir. Sementara itu menurut Wibowo (2007:312)
“antara kepuasan dan ketidakhadiran/kemangkiran menunjukkan korelasi negatif”.
Sebagai contoh perusahaan memberikan cuti sakit atau cuti kerja dengan bebas tanpa
sanksi atau denda termasuk kepada pekerja yang sangat puas.
3) Keluarnya Pekerja (Turnover)
Sedangkan berhenti atau keluar dari pekerjaan mempunyai akibat ekonomis yang
besar, maka besar kemungkinannya berhubungan dengan ketidakpuasan kerja.
Menurut Robbins (1998), ketidakpuasan kerja pada pekerja dapat diungkapkan dalam
berbagai cara misalnya selain dengan meninggalkan pekerjaan, mengeluh,
membangkang, mencuri barang milik perusahaan/organisasi, menghindari sebagian
tanggung jawab pekerjaan mereka dan lainnya.
4) Respon terhadap Ketidakpuasan Kerja
Menurut Robbins (2003) ada empat cara tenaga kerja mengungkapkan ketidak puasan
yaitu:
a) Keluar (Exit) yaitu meninggalkan pekerjaan termasuk mencari pekerjaan lain.
b) Menyuarakan (Voice) yaitu memberikan saran perbaikan dan mendiskusikan
masalah dengan atasan untuk memperbaiki kondisi.
c) Mengabaikan (Neglect) yaitu sikap dengan membiarkan keadaan menjadi
lebih buruk seperti sering absen atau semakin sering membuat kesalahan.
d) Kesetiaan (loyality) yaitu menunggu secara pasif samapi kondisi menjadi lebih
baik termasuk membela perusahaan terhadap kritik dari luar.
55
kerja. Karena kepuasan dengan pengawasan berkorelasi secara signifikan dengan motivasi,
para manager disarnkan untuk mempertimbangkan bagaimana perilaku mereka
mempengaruhi kepuasan kerja. Para manager secara potensial meningkatkan motivasi para
karyawan melalui berbagai usaha untuk meningkatkan kepuasan kerja.
Beberapa konsekuensi lainnya dari kepuasan kerja menurut Robbins dan Judge (2008)
adalah kepuasan kerja dengan ketidakhadiran. Hal ini logis jika karyawan yang tidak puas
dengan pekerjaannya akan cenderung melalaikan pekerjaannya karena alasan-alasan yang
membuat dia tidak puas terhadap pekerjaannya. Selanjutnya kepuasan Kerja dengan
perputaran karyawan. Karyawan yang tidak puas akan cenderung berusaha meninggalkan
pekerjaannya dan mencari pekerjaan lain yang dirasa lebih menarik. Selanjutnya kepuasan
kerja karyawan dengan kepuasan pelanggan. Karyawan yang puas dengan pekerjaanya akan
cenderung bekerja dengan sepenuh hati dan melakukan pekerjaannya dengan sebaik
mungkin, hal ini tentu akan memberikan dampak yang baik bagi kepuasan pelanggan.
Terakhir kepuasan kerja dengan perilaku menyimpang (indisiplin) karyawan. Seperti yang
telah dijelaskan sebelumnya, karyawan yang tidak puas terhadap pekerjaannya mungkin saja
menujukkan perilaku-perilaku untuk mengekspresikan ketidakpuasannya, salah satunya ialah
dengan melakukan penyimpangan-penyimpangan.
Menurut Strauss dan Sayles (dalam Handoko, 2001) kepuasan kerja juga penting
untuk aktualisasi, karyawan yang tidak memperoleh kepuasan kerja tidak akan pernah
mencapai kematangan psikologis, dan pada gilirannya akan menjadi frustasi. Karyawan yang
seperti ini akan sering melamun, mempunyai semangat kerja yang rendah, cepat lelah dan
bosan, emosi tidak stabil, sering absen dan melakukan kesibukan yang tidak ada
hubungannya dengan pekerjaan yang harus dilakukan.