Anda di halaman 1dari 48

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Pustaka


2.1.1. Kinerja Karyawan
Keberhasilan suatu organisasi dipengaruhi oleh kinerja (job performance) karyawan,
untuk itu setiap perusahaan akan berusaha untuk meningkatkan kinerja karyawannya dalam
mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan. Budaya organisasi yang tumbuh dan
terpelihara dengan baik akan mampu memacu organisasi ke arah perkembangan yang lebih
baik. Di sisi lain, kemampuan pemimpin dalam menggerakkan dan memberdayakan
karyawan akan mempengaruhi kinerja.
Kinerja karyawan mengacu pada prestasi seseorang yang diukur berdasarkan standar
dan kriteria yang ditetapkan oleh perusahaan. Pengelolaan untuk mencapai kinerja sumber
daya manusia tinggi dimaksudkan guna meningkatkan perusahaan secara keseluruhan (Fuad
Mas’ud, 2004). Menurut Waldman (1994) kinerja merupakan gabungan perilaku dengan
prestasi dari apa yang diharapkan dan pilihannya atau bagian syarat-syarat tugas yang ada
pada masing-masing individu dalam organisasi. Sedangkan menurut Mangkunegara (2001)
kinerja dapat didefinfisikan sebagai hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dapat
dicapai oleh seseorang karyawan dalam melaksanakan tugas sesuai dengan tanggung jawab
yang diberikan kepadanya. Soeprihantono (1988) mengatakan bahwa kinerja merupakan hasil
pekerjaan seorang karyawan selama periode tertentu dibandingkan dengan berbagai
kemungkinan, misalnya standard, target/sasaran/kriteria yang telah ditentukan terlebih dahulu
dan telah disepakati bersama.
Kinerja merupakan hasil atau tingkatan keberhasilan seseorang secara keseluruhan
selama periode tertentu dalam melaksanakan tugas dibandingkan dengan standar hasil kerja,
target atau sasaran atau kriteria yang telah ditentukan terlebih dahulu dan telah disepakati
bersama (Rivai, 2004). Lebih lanjut Rivai menyatakan bahwa kinerja tidak berdiri sendiri tapi
berhubungan dengan kepuasan kerja dan kompensasi, dipengaruhi oleh keterampilan,
kemampuan dan sifat – sifat individu. Dengan kata lain kinerja ditentukan oleh kemampuan,
keinginan dan lingkungan. Oleh karena itu agar mempunyai kinerja yang baik, seseorang
harus mempunyai keinginan yang tinggi untuk mengerjakan dan mengetahui pekerjaannya
serta dapat ditingkatkan apabila ada kesesuaian antara pekerjaan dan kemampuan.
Menurut Simanjuntak (2001) kinerja dipengaruhi oleh:

11
12

1) Kualitas dan kemampuan pegawai. Yaitu hal – hal yang berhubungan dengan
pendidikan/pelatihan, etos kerja, motivasi kerja, sikap mental dan kondisi fisik
pegawai.
2) Sarana pendukung, yaitu hal yang berhubungan dengan lingkungan kerja
(keselamatan kerja, kesehatan kerja, sarana produksi, teknologi) dan hal – hal yang
berhubungan dengan kesejahteraan pegawai (upah/gaji, jaminan sosial, keamanan
kerja).
3) Supra sarana, yaitu hal – hal yang berhubungan dengan kebijaksanaan pemerintah dan
hubungan industrial manajemen.
Soedjono (2005) menyebutkan 6 (enam) kriteria yang dapat digunakan untuk
mengukur kinerja pegawai secara individu yakni :
1) Kualitas. Hasil pekerjaan yang dilakukan mendekati sempurna atau memenuhi tujuan
yang diharapkan dari pekerjaan tersebut.
2) Kuantitas. Jumlah yang dihasilkan atau jumlah aktivitas yang dapat diselesaikan.
3) Ketepatan waktu, yaitu dapat menyelesaikan pada waktu yang telah ditetapkan serta
memaksimalkan waktu yang tersedia untuk aktivitas yang lain.
4) Efektivitas. Pemanfaatan secara maksimal sumber daya yang ada pada organisasi
untuk meningkatkan keuntungan dan mengurangi kerugian.
5) Kemandirian, yaitu dapat melaksanakan kerja tanpa bantuan guna menghindari hasil
yang merugikan.
6) Komitmen kerja, yaitu komitmen kerja antara pegawai dengan organisasinya dan
7) tanggung jawab pegawai terhadap organisasinya.

2.1.2. Aspek-aspek Pengukuran Kinerja


Pengukuran terhadap kinerja perlu dilakukan untuk mengetahui apakah selama
pelaksanaan kinerja terhadap penyimpangan dari rencana yang ditentukan, apakah kinerja
dicapai sesuai jadwal yang ditentukan atau apakah hasil kerja telah dicapai sesuai yang
diharapkan. Pengukuran kinerja hanya dapat dilakukan terhadap kinerja yang terukur dan
nyata. Beberapa aspek yang mendasar dan paling pokok dalam pengukuran kinerja adalah
(Moeheriono, 2009):
1) Menetapkan tujuan, sasaran dan strategi organisasi, dengan menetapkan secara umum
apa yang diinginkan organisasi sesuai dengan tujuan, visi dan misinya
2) Merumuskan indikator kinerja dan ukuran kinerja, yang mengacu pada penilaian
kinerja secara tidak langsung, sedangkan indikator kinerja mengacu pada pengukuran
13

kinerja secara langsung yang membentuk keberhasilan utama dan indikator kinerja
kunci
3) Mengukur tingkat capaian dan sasaran organisasi, menganalisis hasil pengukuran
kinerja yang dapat diimplementasikan dengan menbandingkan tingkat capaian tujuan
dan sasaran organisasi
4) Mengevaluasi kinerja dengan menilai kemajuan organisasi dan pengambilan
keputusan yang berkualitas, memberikan gambaran atau hasil kepada organisasi
seberapa besar tingkat keberhasilan tersebut dan mengevaluasi langkah apa yang
diambil organisasi selanjutnya
Pengukuran kinerja karyawan didasarkan dan disesuaikan dengan jenis pekerjaan
yang akan dinilai, dengan memperhatikan variabel pelaku (input), perilaku (process) dan
hasil kerja atau output (Sudarmanto, 2009):
1) Pengukuran kinerja dikaitkan dengan analisis pekerjaan, uraian pekerjaan
2) Pengukuran kinerja dilakukan dengan mengukur sifat / karakter pribadi (traits)
3) Pengukuran kinerja dilakukan dengan mengukur hasil dari pekerjaan yang dicapai
4) Pengukuran kinerja dilakukan dengan mengukur perilaku atau tindakan tindakan
dalam mencapai hasil

2.1.3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja


Kinerja individu maupun kelompok kerja dalam organisasi menggambarkan kinerja
organisasi sesungguhnya. Untuk mencapai standar tertentu yang telah ditetapkan organisasi,
ada beberapa hal yang mempengaruhi individu maupun organisasi tersebut mencapai standar
kinerja atau hasil kerja tertentu. Menurut Simanjuntak, (2005) kinerja dipengaruhi oleh tiga
faktor yaitu:
1) Kompetensi Kompetensi adalah kemanpuan dan keterampilan individu melakukan
kerja yang terdiri atas:
a) Kemampuan dan keterampilan kerja yang dipengaruhi oleh kebugaran fisik dan
kesehatan jiwa individu, pendidikan, akumulasi pelatihan dan pengalaman
kerjanya
b) Motivation dan etos kerja yang dipengaruhi oleh latar belakang keluarga,
lingkungan masyarakat, budaya dan nilai-nilai agama yang dianutnya. Seseorang
yang memandang pekerjaan sebagai sebuah beban dan keterpaksaan akan
mempunyai kinerja yang rendah, dan sebaliknya, yang memandang pekerjaan
14

sebagai kebutuhan, pengabdian, tantangan dan prestasi, akan menghasilkan


kinerja yang tinggi.
2) Dukungan organnisasi Lingkungan organisasi dalam bentuk pengorganisasian,
penyediaan sarana dan prasarana kerja inspeksi, serta kondisi dan syarat kerja
mempengaruhi kinerja seseorang. Pengorganisasian dapat memberikan kejelasan,
kemudahan dan kenyamanan kerja, kondisi kerja mencakup kenyamanan dan
keselamatan kerja serta keamanan dan keharmonisan hubungan industrial.
3) Dukungan manajemen Kinerja organisasi dan kinerja individu juga bergantung pada
kemanpuan manajerial pimpinan atau manajemen dalam membangun sistem kerja dan
hubungan yang harmonis, dan mendunkung pengembangan kompetensi pekerja serta
menumbuhkan kompensasi dan memobilisasi seluruh tenaga kerja untuk bekerja
secara optimal. Dukungan manajemen dapat dilakukan dengan:
a) Mengidentifikasi dan mengoptimalkan pemanfaatan kekuatan, keunggulan dan
potensi individu
b) Mendorong individu untuk terus belajar meningkatkan wawasan dan pengetahuan
c) Membuka kesempatan individu untuk belajar baik melalui pendidikan maupun
pelatihan yang diprogramkan.
Menurut Simanjuntak (2005), kinerja dipengaruhi oleh tiga factor, sedangkan menurut
Mahmudi (2005), menyatakan ada lima faktor yang menpengaruhi kinerja yaitu:
1) Faktor personal atau individu meliputi pengetahuan, keterampilan, kemampuan,
kepercayaan diri, kompensasi yang dimiliki oleh setiap individdu
2) Faktor kepeminpinan meliputi kualitas manajer dan pimpinan dalam memberikan
dorongan, semangat, arahan dan dukungan kepada individu.
3) Faktor tim yang mencakup kualitas dukungan dan semangat, kepercayaan, keeratan
dan kekompakan yang diberikan terhadap sesama anggota tim
4) Faktor sistem, meliputi sistem kerja, fasilitas kerja, infrastruktur, proses organisasi
dan kultur kinerja dalam organisasi.
5) Faktor kontekstual (situasional), meliputi tekanan dan perubahan lingkungan eksternal
dan internal. Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja ini juga dapat dikatakan terdiri
dari faktor internal yang melekat pada individu karyawan dan faktor eksternal yang
berasal dari lingkungan di sekitar karyawan tersebbut baik dalam organisasi maupun
diluar organisasi.
15

2.1.4. Indikator Kinerja


Indikator kinerja (performance indicator) indikator kadang-kadang digunanakan
secara bergantian dengan pengukuran kinerja (performance measures), tetapi banyak pula
yang membedakannya. Pengukuran kinerja berkaitan dengan hasil yang dapat
dikuantitatifkan dan mengusahakan data setelah kejadian, sementara itu, indikator kinerja
dipakai untuk aktivitas yang dapat ditetapkan secara lebih kualitatif atas dasar prilaku yang
diamati (Wibowo, 2010). Menurut Mathis dan Jackson (2002) indikator kinerja dibagi atas
tiga yaitu:
1) Kualitas kerja. Menyediakan produk dan layanan yang berkualitas merupakan suatu
tuntutan bagi perusahaan agar perusahaan dapat bertahan hidup dalam berbagai
bentuk persaingan. Hasil kerja yang ideal juga menggambarkan kualitas pengelola
produk dan layanan dalam organisasi tersebut.
2) Kuantitas kerja. Perusahaan yang dapat memenuhi target yang telah ditetapkan
menunjukkan kemampuan perusahaan tersebut dalam mengelola sumber daya yang
dimiliki dalam mencapai tujuannya.
3) Waktu kerja. Kemampuan organisasi untuk menetapkan waktu kerja yang dianggap
paling efisien dan efektif pada semua level dalam manajemen. Waktu kerja
merupakan dasar bagi seorang karyawan dalam menyelesaikan suatu pekerjaan atau
layanan yang menjadi tanggung jawabnya.
4) Kerja sama dengan rekan kerja. Kerja sama merupakan tuntutan bagi keberhasilan
perusahaan dalam mencapai tujuan yang ditetapkan, sebab dengan adanya kerja sama
yang baik akan memberikan kepercayaan (trust) pada berbagai pihak yang
berkepentingan, baik secara langsung maupun tidak langsung dengan perusahaan.
Menurut Bernardin (2006), ada 6 dimensi yang dapat dijadikan sebagai tolok ukur
dalam menilai kinerja yaitu:
1) Kualitas (quality) terkait dengan proses atau hasil mendekati sempurna atau ideal
dalam memenuhi maksud atau tujuan.
2) Kuantitas (quantity) terkai dengan satuan jumlah yang dihasilkan 3) Waktu
(timeliness) yang diperlukan dalam menyelesaikan aktivitas atau menghasilkan
produk
3) Cost-effectiveness terkait dengan tingkat pengunaan sumber-sumber organisasi
(orang, uang, material) dalam memperoleh hasil
4) Need for supervision yang terkait dengan kemampuan individu dalam menyelesaikan
pekerjaan tampa intervensi dan asistensi pimpinan
16

5) Interpersonal impact terkait dengan kemampuan individu dalam meningkatkan


persamaan harga diri, keinginan baik dan kerja sama Dari dimensi tersebut, dua hal
terkait dengan aspek keluaran atau hasil pekerjaan yaitu kualitas hasil dan kuantitas
keluaran, dua hal terkait proses yakni penggunaan waktu dalam kerja dan efektivitas
biaya, sedangkan kebutuhan supervise dan dampak interpersonal terkait aspek
perilaku individu.

2.1.5. Penilaian Kinerja


Penilaian kinerja mengacu pada suatu sistem formal dan terstruktur yang digunakan
untuk mengukur, menilai dan mempengaruhi sifat-sifat yang berkaitan dengan pekerjaan,
perilaku dan hasil, termasuk tingkat ketidak hadiran (Rivai, 2005). Penilaian kinerja
merupakan metode evaluasi yang paling umum digunakan. Pada umumnya unsur-unsur yang
perlu dinilai dalam proses penilaian kinerja sebagai berikut.
1) Kesetiaan atau pengabdian, pengabdian yang dimaksud adalah sumbangan pikiran dan
tenaga yang ikhlas dengan mengutamakan kepentingan publik diatas kepentingan
pribadi.
2) Prestasi kerja adalah hasil baik dari segi kuantitatif maupun kualitatif yang dicapai
oleh seorang tenaga dalam melaksanakan tugas dan pekerjaan yang diberikan
kepadanya.
3) Tanggung jawab adalah kesanggupan seorang tenaga kerja dalam menyelesaikan
tugas dan pekerjaan yang diserahkan kepadanya dengan sebaik-baiknya dan tepat
waktu serta berani memikul resiko atas keputusan yang telah diambilnya atau
tindakan yang dilakukannya.
4) Ketaatan adalah kesanggupan seorang tenaga kerja untuk menaati segala ketetapan,
peraturan yang berlaku, menaati perintah atasan serta kesanggupan untuk tidak
melanggar larangan yang telah ditetapkan penilik sekolah baik yang tertulis maupun
lisan.
5) Kejujuran adalah ketulusan hati seorang tenaga kerja dalam melaksanakan tugas dan
pekerjaan serta kemampuan untuk tidak menyalah gunakan wewenang yang telah
diberikan kepadanya.
6) Kerja sama adalah kemampuan seorang tenaga kerja untuk bekerja bersamasama
dengan orang lain dalam menyelesaikan suatu tugas dan pekerjaan yang telah
ditetapkan, sehingga mencapai daya guna dan hasil guna yang sebesar-besarnya.
17

7) Prakarsa adalah kemampuan seorang tenaga kerja untuk mengambil keputusan,


langkah-langkah atau melaksanakan suatu tindakan yang diperlukan dalam
melaksanakan tugas pokok tanpa menunggu perintah dan bimbingan dari atasanya.
8) Kepemimpinan adalah kemampuan yang dimiliki seorang tenaga kerja untuk
meyakinkan orang lain (tenaga kerja lain) sehingga tenaga kerja lain tersebut dapat
dikearahkan secara maksimun untuk melakukan tugas pokok.

2.1.1.5. Tujuan Penilaian Kinerja


Tujuan pokok dari sistem penilaian kinerja adalah menghasilkan imformasi yang
akurat dan valid berkenaan dengan prilaku dan kinerja anggota organisasi. Menurut
Simamora (2004), tujuan diadakannya penilaian kinerja bagi para karyawan dibagi menjadi
dua yaitu:
1) Tujuan evaluasi. Seorang manajer menilai kinerja dari masa lalu seorang individu
untuk menilai kinerja dan dengan data tersebut berguna dalam keputusan-keputusan
promosi, demosi, terminasi dan kompensasi.
2) Tujuan pengembangan. Seorang manajer mencoba untuk meningkatkan kinerja
seorang individu dimasa yang akan datang. Penilaian kinerja yang dilakukan dapat
digunakan sebagai:
a) Sumber data untuk perencanaan ketenaga kerjaan dan kegiatan pengembangan
jangka panjang bagi organisasi
b) Nasehat yang perlu dilakukan terhadap penilik sekolah dalam organisasi
c) Alat untuk memberikan umpan balik yang memdorong kearah kemajuan dan
kemungkinan memperbaiki atau meningkatkan kualitas kerja individu.
d) Salah satu cara untuk menetapkan kinerja yang diharapkan dari seseorang yang
memegang tugas dan jabatan.
e) Landasan atau bahan informasi dalam pengambilan keputusan pada bidang
ketenaga kerjaan baik promosi, mutasi dan kegiatan lainnya.
Dalam kaitan dengan penilaian kinerja, Sedarmayanti (2009) mengemukakan manfaat
penilaian kinerja, adalah sebagai berikut:
1) Meningkatkan prestasi kerja inspeksi. Dengan adanya penilaian, baik pimpinan
maupun individu memperoleh umpan balik dan mereka dapat memperbaiki pekerjaan/
prestasinya.
2) Memberikan kesempatan kerja yang adil. Penilaian akurat dapat menjamin individu
memperoleh kesempatan menempati posisi pekerjaan sesuai kemampuannya.
18

3) Kebutuhan pelatihan dan pengembangan. Melalui penilaian kinerja, terdeteksi


individu yang kemampuannya rendah sehingga memungkinkan adanya program
pelatihan untuk meningkatkan kemampuan mereka.
4) Penyesuaian kompensasi. Melalui penilaian, pimpinan dapat memgambil keputusan
dalam menentukkan perbaikan pemberian kompensasi, dan sebagainya.
5) Keputusan prommosi dan emosi Hasil penilaian kinerja dapat digunakan sebagai
dasar pengambilan keputusan untuk mempromosikan atau memdemosikan individu.
6) Mendiagnosis kesalahan desain pekerjaan. Kinerja yang buruk merupakan suatu tanda
kesalahan dalam desain pekerjaan. Penilaian kinerja dapat membantu mendiagnosis
kesalahan tersebut.
7) Memimlih proses rekrutmen dan seleksi. Kinerja karyawan baru yang rendah dapat
mencerminkan adanya penyimpangan proses rekrutmen dan seleksi.

2.1.1.6. Metode Penilaian Kinerja


Metode penilaian kinerja pada umumnya dikelompokkan menjadi:
1) Penilaian performansi berdasarkan hasil (result-based performance Evaluation).
2) Tipe kriteria performansi ini merumuskan performansi pekerjaan berdasarkan
pencapain tujuan organisasi, atau mengukur hasil-hasil akhir (end result). Sasaran bisa
ditetapkan oleh manajemen atau oleh kelompok kerja, tetapi jika menginginkan agar
para karyawan meningkatkan produktivitas mereka, maka penetapan sasaran secara
partisipatif, dengan melibatkan para karyawan, akan jauh berdampak positif terhadap
peningkatan produktivitas organisasi. Para karyawan akan cenderung menerima
tujuan-tujuan itu sebagai tujuan mereka sendiri, dan merasa lebih bertanggung jawab
untuk dan selama pelaksanaan pencapaian tujuan-tujuan itu.
3) Penilaian performansi berdasarkan perilaku (behavior based performance evaluation).
Tipe kriteria performansia ini mengukur sarana (means) pencapaian sasaran (goals)
dan bukanya hasil akhir (end result). Dalam praktek, kebanyakan pekerjaan tidak
memungkinkan diberlakukannya ukuran performansia yang berdasarkan pada
obyektivitas, karena melibatkan aspekaspek kualitatirf. Standar-standar dimunculkan
dari diskusi-diskusi kelompok mengenai kejadian-kejadian kritis ditempat kerja.
Sesudah serangkaian session diskusi, skala dibangun bagi setiap dimensi pekerjaan
yang diharapkan mampu mengukur secara tepat mengenai apa yang akan diukur.
4) Penilaian performansi berdasarkan judgement (judgement-based performance
evaluation). Tipe kriteria performaansi yang menilai dan/atau mengevaluasi
19

performansi kerja karyawan berdasarkan deskripsi perilaku yang spesifik, quantity of


work, job knowledge, cooperation, initiative, dependability, personal qualities, dan
yang sejenis lainnya (Robbins 2001).

2.1.2. Gaya Kepemimpinan


2.1.2.1. Pengertian Kepemimpinan
Dunia bisnis yang dinamis selalu menuntut adanya inovasi dan perubahan agar bisa
bertahan di dalam lingkungan yang kompetitif, membuat perusahaan atau organisasi
membutuhkan pemimpin untuk menantang status quo, menciptakan visi masa depan,
memberikan inspirasi kepada para anggota organisasi, dan mengarahkan mereka agar mampu
mencapai visi tersebut. Kepemimpinan adalah kemampuan untuk mempengaruhi kelompok
guna mencapai sebuah visi atau serangkaian tujuan yang ditetapkan (Robbins dan Judge,
2008).
Menurut Ivancevich, Konopaske, dan Matteson (2006) kepemimpinan adalah proses
mempengaruhi orang lain untuk mendukung pencapaian tujuan organisasi yang relevan.
Organisasi membutuhkan kepemimpinan yang baik dan tepat untuk meraih efektivitas yang
optimal. Jackson, Schuler, dan Werner (2010) mengemukakan bahwa kepemimpinan yang
efektif adalah kepemimpinan yang memastikan para pegawai bekerja untuk mencapai hasil
yang sama dengan menetapkan visi, misi, dan nilai-nilai. Bersamasama visi, misi, dan nilai-
nilai suatu perusahaan, menbentuk suatu kerangka kerja yang mengarahkan pegawai ke satu
arah. Dari berbagai definisi yang dikemukakan, terdapat gambaran secara umum yang
menyatakan bahwa kepemimpinan adalah suatu proses dalam mengerahkan segenap
kemampuan seseorang untuk mempengaruhi, menggerakkan, mengarahkan orang lain dengan
menggunakan sumber daya yang tersedia dengan efisien dan efektif untuk mencapai suatu
tujuan tertentu.
Kepemimpinan merupakan suatu kemampuan seorang pemimpin dalam
mempengaruhi pegawainya untuk mencapai tujuan yang ditetapkan (Robbins, 2014).
Kepemimpinan berkaitan dengan kemampuan seseorang dalam mempengaruhi orang lain
untuk melakukan apa yang diinginkan oleh seorang pemimpin (Siagian, 2014). Selain itu
kepemimpinan diartikan juga sebagai proses mempengaruhi orang lain agar dapat memahami
pelaksanaan tugas yang baik dan proses untuk memfasilitasi pegawainya dalam mencapai
tujuan yang ditetapkan. Penjelasan di atas lebih menunjukkan bahwa kepemimpinan
merupakan proses yang lebih ditekankan pada hubungan antara pemimpin dan orang yang
dipimpin.
20

2.1.2.2. Syarat-syarat Kepemimpinan


Menurut Stogdill yang di kutip oleh Kartinin Kartono (2003;31) seorang pemimpin
harus memiliki beberapa kelebihan, yaitu :
1) Kapasitas : kecerdasan, kewaspadaan, kemampuan berbicara, keaslian dan
kemampuan menilai.
2) Prestasi : gelar kesarjanaan, ilmu pengethuan dan perolehan dalam olah raga.
3) Tanggung jawab : mandiri, berinisiatif, tekun, ulet, percaya diri, agresif, dan punya
hasrat untuk unggul.
4) Partisipasi : aktif, memiliki sosiabilitas tingg, mampu bergaul, koordinatif atau dapat
bekerjasama, mudah menyesuaikan diri, dan punya rasa humor.
5) Status : meliputi kedudukan sosial-ekonomi yang cukup tinggi, populer dan tenar.
Nightingale dan Schult dalam bukanya “Creative Thinking – How to win Ideas”, yang
dikutip oleh Kartini Kartono (2003;31) menuliskan bahwa syarat yang harus dimiliki seorang
pemimpin ialah :
1) Kemandirian, berhasrat memajukan diri sendiri.
2) Besar rasa ingin tahu, dan cepat tertarik pada manusia dan bendabenda.
3) Multi-terampil atau memiliki kepandaian beraneka ragam.
4) Memiliki rasa humor, antusiasme tinggi, suka berkawan.
5) Perfeksionis, selalu ingin mendapatkan yang sempurna.
6) Mudah menyesuaikan diri.
7) Sabar namun ulet.
8) Waspada, peka, jujur, optimistis, gigih, ulet realistis.
9) Komunikatif, serta pandai berbicara.
10) Berjiwa wiraswasta.
11) Sehat jasmaninya, dinamis sanggup dan suka menerima tugas yang berat , serta
berani mengambil resiko.
12) Tajam firasatnya, tajam dan adil pertimbangannya.
13) Berpengetahuan luas, dan haus akan ilmu pengetahuan
14) Memiliki motivasi tinggi, dan menyadari target atau tujuan hidupnya yang ingin
dicapai, dibimbing oleh idealisme yang tinggi.
15) Punya imajinasi tinggi, daya kombinasi, dan daya inovasi.
21

2.1.2.3. Pemimpin
Kata kunci penting dalam definisi kepemimpinan adalah pemimpin. Pemimpin adalah
tokoh atau elite anggota sistem yang dikenal dan berupaya mempengaruhi para pengikutnya
secara langsung atau tidak langsung. Pemimpin dapat dikelompokkan menjadi pemimpin
formal dan pemimpin informal. Pemimpin formal adalah pemimpin yang menduduki posisi
atau jabatan formal kepemimpinan dalam suatu organisasi formal yang didirikan berdasarkan
undang-undang atau peraturan negara atau peraturan perusahaan. Pemimpin formal diangkat
atau dipilih oleh mereka yang berhak mengangkat atau memilihmya. Pemimpin informal
adalah pemimpin yang tidak menduduki jabatan organisasi formal dalam sistem sosial, akan
tetapi mempunyai pengaruh terhadap para anggota sistem sosial.
Para peneliti umumnya berangggapan suatu kepemimpinan ditentukan oleh kualitas
pemimpinnya. Pendapat ini disebut Omnipotent view of leadership atau pandangan pemimpin
sangat menentukan kepemimpinan. Menurut pendapat ini, pemimpin yang baik dapat
mengubah besi menjadi emas. Pendapat yang sebaliknya adalah Impotent view of leadership
yang menyatakan bahwa pemimpin hanya mempunyai pengaruh kecil terhadap keberhasilan
kepemimpinan. Kesuksesan kepemimpinan ditentukan oleh banyak faktor, seperti para
pengikut, situasi lingkungan internal dan eksternal sistem sosial dan sumber kepemimpinan
yang tersedia.
Untuk menjadi pemimpin, orang harus memenuhi sejumlah persyaratan atau
kualifikasi tertentu (Wirawan, 2013):
1) Pemimpin adalah elite angggota sistem sosial yang mempunyai kualias pendidikan,
ekonomi, atau status sosial yang relatif lebih tinggi daripada anggota sistem sosial
lainnya.
2) Seorang pemimpin memerlukan kesehatan fisik dan jiwa yang prima. Jika seorang
pemimpin tidak sehat atau cacat fisik dan jiwanya, ia tidak dapat melaksanakan
fungsinya dengan baik dan akan sangat tergantung pada bantuan para pengikutnya.
3) Untuk menjadi pemimpin, orangperlu mempunyai kualitas psikologi tertentu, antara
lain memahami diri sendiri, keerdasan intelektual, kecerdasan emosional, kecerdasan
spiritual, kecerdasan sosial.

2.1.2.4. Fungsi Kepemimpinan


Kepemimpinan mempunyai fungsi tertentu yang berbeda satu sistem sosial dengan sistem
sosial lainnya. Secara umum, kepemimpinan mempunyai pola dasar fungsi sebagai berikut
(Wirawan, 2013):
22

1) Menciptakan visi
2) Mengembangkan budaya organisasi
3) Menciptakan sinergi
4) Menciptakan perubahan
5) Memotivasi para pengikut
6) Memberdayakan pengikut
7) Mewakili sistem sosial
8) Membelajarkan organisasi

2.1.2.5. Etika Kepemimpinan


Kepemimpinan yang etis adalah kepemimpinan yang mendemostrasikan perilaku
yang secara normatif tepat melaui tindakan-tindakan personal dan hubungan interpersonal,
promosi perbuatan seperti itu kepada para pengikut melalui komunikasi dua arah, penguatan,
dan pembuatan keputusan. Lebih lanjut Van den Ekker et al. (2009) menyatakan bahwa
kepemimpinan yang etis merupakan suatu konsep hubungan dalam pengertian kepemimpinan
etis dikonstruksi di dalam dan melalui interaksi-interaksi sosial dengan para pengikut.
Kepemimpinan merupakan wajah esensial dari budaya etika organisasi dan hanya
pemimpin yang dapat menempatkan etika pada agenda organisasi. Para manajer yang
bermoral secara sadar berupaya untuk mengmbangkan pengikutnya melakukan perilaku
bermoral dengan secara jelas menentukan standar, ekspektasi, dan peraturan dasar untuk
perilaku bermoral.
Menurut Van den Ekker et al. (2009), pemikiran manajer bermoral dibangun di atas
tiga konsep yaitu:
1) Panutan (role modelling) yang etis, baik pada level professional maupun level privat,
sehingga dapat dipercaya dan konsisten mengenai apa yang dikatakan dan tindak
lanjut pada apa yang mereka lakukan.
2) Pemakaian imbalan kepada tingkah laku yang tepat dan pendisiplinan atau hukuman
kepada penyimpangan, untuk memastikan bahwa para pengikut melaksanakan dtandar
moral dan mengetahui apa yang dianggap perilaku bermoral dan immoral.
3) Mengkomunikasikan mengenai etika dan nilai-nilai yang harus memandu keputusan-
keputusan dan tindakan-tindakan organisasi, mendorong keterbukaan dan membuat
para pengikut merasa nyaman untuk menyampaikan erita buruk.
23

2.1.2.6. Sifat-sifat Kepemimpinan


Upaya untuk menilai sukses atau gagalnya pemimpin itu antara laian dilakukan
dengan mengamati sifat-sifat dan kualitas perilakunya., yang dipakai sebagai kriteria untuk
menilai kepemimpinannya. Menurut Ordway Tead yang dikutip oleh Kartini Kartono
(2003;37-41) menjelaskan terdapat 10 sifat yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, yaitu
sebagi berikut :
1) Energi jasmaniah dan mental, yaitu mempunyai daya tahan, keuletan, kekuatan baik
jasmani maupun mental untuk mengatasi semua permasalahan.
2) Kesadaran akan tujuan dan arah, mengetahui arah dan tujuan organisasi, serta yakin
akan manfaatnya.
3) Antusiasme, pekerjaan mempunyai tujuan yang bernilai, menyenangkan,
memberikan sukses, dan dapat membangkitkan antusiasme bagi pimpinan maupun
bawahan.
4) Keramahan dan kecintaan, dedikasi pemimpin bisa memotivasi bawahan untuk
melakukan perbuatan yang menyenangkan semua pihak, sehingga dapat diarahkan
untuk mencapai tujuan.
5) Integritas, pemimpin harus bersikap terbuka; merasa utuh bersatu, sejiwa dan
seperasaan dengan anak buah sehingga bawahan menjadi lebih percaya dan hormat.
6) Penguasaan teknis, setiap pemimpin harus menguasai satu atau beberapa kemahiran
teknis agar ia mempunyai kewibawaan dan kekuasaan untuk memimpin.
7) Ketegasan dalam mengambil keputusan, pemimpin yang berhasil pasti dapat
mengambil keputusan secara cepat, tegas dan tepat sebagai hasil dari kearifan dan
pengalamannya.
8) Kecerdasan, orang yang cerdas akan mampu mengatasi masalah dalam waktu yang
lebih cepat dan cara yang lebih efektif.
9) Keterampilan mengajar, pemimpin yang baik adalah yang mampu menuntun,
mendidik, mengarahkan, mendorong, dan menggerakkan anak buahnya untuk
berbuat sesuatu.
10) Kepercayaan, keberhasilan kepemimpinan didukung oleh kepercayaan anak
buahnya, yaitu percaya bahwa pemimpin dengan anggota berjuang untuk mencapai
tujuan.
Hal yang sama disampaikan oleh George R. Terry yang dikutip oleh Kartini Kartono
(2003;41-43) tentang sepuluh sifat pemimpin yang unggul, yaitu:
24

1) Kekuatan. kekuatan badaniah dan rokhaniah merupakan syarat yang pokok bagi
pemimpin sehingga ia mempunyai daya tahan untuk menghadapi berbagai rintangan.
2) Stabilitas emosi. pemimpin dengan emosi yang stabil akan menunjang pencapaian
lingkungan sosial yang rukun, damai, dan harmonis.
3) Pengetahuan tentang relasi. Pemimpin memiliki pengetahuan tentang sifat, watak, dan
perilaku bawahan agar bisa menilai kelebihan/kelemahan bawahan sesuai dengan
tugas yang diberikan.
4) Kejujuran. Pemimpin yang baik harus mempunyai kejujuran yang tinggi baik kepada
diri sendiri maupun kepada bawahan.
5) Obyektif. Pemimpin harus obyektif, mencari bukti-bukti yang nyata dan sebab
musabab dari suatu kejadian dan memberikan alasan yang rasional atas penolakannya.
6) Dorongan pribadi. Keinginan dan kesediaan untuk menjadi pemimpin harus muncul
dari dalam hati agar ikhlas memberikan pelayanan dan pengabdian kepada
kepentingan umum.
7) Keterampilan berkomunikasi. Pemimpin diharapkan mahir menulis dan berbicara,
mudah menangkap maksud orang lain, mahir mengintegrasikan berbagai opini serta
aliran yang berbeda-beda untuk mencapai kerukunan dan keseimbangan.
8) Kemampuan mengajar. Pemimpin diharapkan juga menjadi guru yang baik, yang
membawa orang belajar pada sasaran-sasaran tertentu untuk menambah pengetahuan,
keterampilan agar bawahannya bisa mandiri, mau memberikan loyalitas dan
partisipasinya.
9) Keterampilan sosial. Dia bersikap ramah, terbuka, mau menghargai pendapat orang
lain, sehingga ia bisa memupuk kerjasama yang baik.
10) Kecakapan teknis atau kecakapan manajerial. Pemimpin harus superior atau beberapa
kemahiran teknis tertentu.

2.1.2.7. Teori-teori Kepemimpinan


Banyak orang yang telah melakukan penelitian dan studi tentang kepemimpinan dan
hasil dari penelitian tersebut berupa teori-teori tentang kepemimpinan. Salah satu orang yang
menegemukakan teoriteori tentang kepemimpinan adalah George R. Terry yang di kutip oleh
Kartini Kartono (2003;61-68) antara lain sebagai berikut:
1) Teori Otokratis Menurut teori ini kepemimpinan didasarkan atas perintah-perintah,
paksaan dan tindakan-tindakan yang arbitrer. Pemimpin melakukan pengawasan
25

yang ketat, agar semua pekerjaan berlangsung secara efisien. Kepemimpinannya


berorientasi pada struktur organisasi dan tugas-tugas.
2) Teori Psikologis Teori ini menyatakan bahwa fungsi seorang pemimpin adalah
memunculkan dan mengembangkan sistem motivasi terbaik, untuk merangsang
kesediaan bekerja dari para pengikut dan anak buah
3) Teori Sosiologis Kepemimpinan dianggap sebagai usaha-usaha untuk melancarkan
antar-relasi dalam organisasi dan sebagai usaha untuk menyelesaikan setiap konflik
organisatoris antara para pengikutnya agar tercapai kerja sama yang baik.
4) Teori Suportif Menurut teori ini para pengikut harus berusaha sekuat mungkin, dan
bekerja penuh gairah, sedang pemimpinnya akan membimbing dengan sebaik-
baiknya melalui policy tertentu.
5) Teori Laissez Faire Seorang pemimpin memberikan kebebasan seluas-luasnya
kepada para pengikutnya dalam menentukan aktivitasnya. Pemimpin tidak
berpartisipasi, kalaupun dilakukan partisipasi tersebut hampir tak berarti.
6) Teori Kelakuan Pribadi Kepemimpinan jenis ini akan muncul berdasarkan kualitas-
kualitas pribadi atau pola-pola kelakuan para pemimpinnya. Seorang pemimpin
selalu berkelakuan kurang lebih sama, yaitu: ia tidak melakukan tindakan-tindakan
yang identik sama dalam setiap situasi yang dihadapi.
7) Teori Sifat Pemimpin harus mempunyai sifat-sifat diantaranya memiliki intelegensi
tinggi, inisiatif, energik, kedewasaan emosional, persuasif, komunikatif,
kepercayaan diri, peka, kreatif, dan juga partisipasi sosial.
8) Teori Situasi Teori ini menjelaskan, bahwa harus terdapat daya lenting yang
tinggi/flexibilitas pada pemimpin untuk menyesuaikan diri terhadap tuntutan situasi,
lingkungan sekitar zamannya. Faktor lingkungan itu harus dijadikan tantangan untuk
diatasi.
9) Teori Humanistik Fungsi kepemimpinan menurut teori ini adalah merealisir
kebebasan manusia dan memenuhi segenap kebutuhan insani, yang dicapai melalui
interaksi pemimpin dengan bawahan

2.1.2.8. Tipologi Kepemimpinan


Terdapat banyak gaya yang digunakan untuk mengidentifikasi tipetipe
kepemimpinan. salah satunya tipologi menurut Kartini Kartono (2003;69-73) yang membagi
tipe kepemimpinan menjadi delapan tipe, antara lain :
1) Tipe Kharismatis
26

Pemimpin memiliki kekuatan energi, daya tarik dan perbawa yang luar biasa untuk
mempengaruhi orang lain, sehingga ia mempunyai pengikut yang sangat besar jumlahnya
yang dapat dipercaya. Pemimpin memiliki banyak inspirasi, keberanian, dan berkeyakinan
teguh pada pendiriannya. Totalitas kepribadian pemimpin mencerminkan pengaruh dan
daya tarik teramat besar.
2) Tipe Paternalistis
Merupakan tipe kepemimpinan kebapakan, dengan sifat-sifat antara lain:
a) Menganggap bawahannya sebagai manusia yang belum dewasa atau anak sendiri
yang perlu dikembangkan.
b) Bersikap terlalu melindungi.
c) Jarang memberikan kesempatan kepada bawahan untuk mengambil keputusan
sendiri.
d) Jarang memberi kesemptan kepada bawahan untuk berinisiatif.
e) Selau bersikap maha tahu dan maha benar.
3) Tipe Militeris Bersifat militeris namun hanya gaya luarnya saja yang mencontoh gaya
militer. Tetapi jika dilihat lebih seksama tipe ini mirip sekali dengan tipe kepemimpinan
otoriter. Adapun sifat-sifat pemimpin yang militeris yaitu:
a) Lebih banyak menggunakan sistem perintah atau komando.
b) Menghendaki kepatuhan mutlak dari bawahan.
c) Senang dengan formalitas.
d) Menuntut adanya disiplin keras dan kaku dari bawahannya.
e) Tidak menghendaki saran atau usul dari bawahan.
f) Komunikasi searah
4) Tipe Otokratis
Tipe pemimpin ini menganggap bahwa pemimpin adalah merupakan suatu hak. Ciri-ciri
pemimpin tipe ini adalah sebagai berikut :
a) Menganggap bahwa organisasi adalah milik pribadi.
b) Mengidentikkan tujuan pribadi dengan tujuan organisasi.
c) Menganggap bahwa bawahan adalah sebagai alat semata-mata.
d) Tidak mau menerima kritik, saran dan pendapat dari orang lain karena dia
menganggap dialah yang paling benar.
e) Selalu bergantung pada kekuasaan formal.
f) Dalam menggerakkan bawahan sering mempergunakan pendekatan yang
mengandung unsur paksaan dan ancaman.
27

5) Tipe Laissez faire


Pemimpin ini berpandangan bahwa umumnya organisasi akan berjalan lancar dengan
sendirinya karena para anggota organisasi terdiri dari orang-orang yang sudah dewasa
yang mengetahui apa yang menjadi tujuan organisasi, sasaran-sasaran apa yang ingin
dicapai, tugas apa yang harus ditunaikan oleh masing-masing anggota dan pemimpin
tidak terlalu sering intervensi.
6) Tipe Populistis
Tipe populistis ini berpegang teguh pada nilai-nilai masyarakat yang tradisional. Kurang
mempercayai dukungan dan bantuan kekuatan dari luar. Kepemimpinan jenis ini
mengutamakan penghidupan kembali kecintaan terhadap orgnisasi yang dipimpin.
7) Tipe Administratif
Kepemimpinan tipe administratif adalah keemimpinan yang mampu menyelenggarakan
tugas-tugas administrasi secara efektif.
8) Tipe Demokratis Kepemimpinan demokratis berorientasi pada manusia, dan memberikan
bimbingan yang efisien kepada para pengikutnya. Dari semua tipe kepemimpinan yang
ada, tipe kepemimpinan demokratis dianggap adalah tipe kepemimpinan yang terbaik.
Hal ini disebabkan karena tipe kepemimpinan ini selalu mendahulukan kepentingan
kelompok dibandingkan dengan kepentingan individu. Beberapa ciri dari tipe kepemimpinan
demokratis adalah sebagai berikut:
1) Dalam proses menggerakkan bawahan selalu bertitik tolak dari pendapat bahwa manusia
itu adalah mahluk yang termulia di dunia.
2) Selalu berusaha menselaraskan kepentingan dan tujuan pribadi dengan kepentingan
organisasi.
3) Senang menerima saran, kritik dan pendapat.
4) Mentolerir bawahan yang membuat kesalahan dan berikan pendidikan kepada bawahan
agar jangan berbuat kesalahan dengan tidak mengurangi daya kreativitas, inisiatif dan
prakarsa dari bawahan.
5) Lebih menitik beratkan kerjasama dalam mencapai tujuan
6) Selalu berusaha untuk menjadikan bawahannya lebih sukses daripadanya. g) Berusaha
mengembangkan kapasitas diri pribadinya sebagai pemimpin.

2.1.2.9. Kepemimpinan Kharismatik


Menurut house (dalam Judge,et al. 2006) kepemimpinan kharismatik adalah teori
kepemimpinan dimana para pengikut memandang sebagai kemampuan kepemimpinan yang
28

heroik atau yang luar biasa ketika mereka mengamati perilaku–perilaku tertentu dari
pemimpin mereka. Menurut Ivancevich, Konopaske, dan Matteson (2006) pemimpin
kharismatik adalah pemimpin yang mampu mewujudkan atmosfer motivasi atas dasar
komitmen dan identitas emosional pada visi, filosofi dan gaya mereka dalam diri
bawahannya.

2.1.2.10. Karakteristik – Karakteristik Pokok Pemimpin Kharismatik


Berdasarkan Conger dan Kanunggo (dalam Robbins dan Judge, 2008), terdapat beberapa
karakteristik–karakteristik pokok yang harus dimiliki oleh pemimpin kharismatik,
diantaranya :
1) Visi dan artikulasi, pemimpin memiliki visi yang dinyatakan sebagai sasaran ideal
yang mengharapkan masa depan lebih baik daripada status quo dan pemimpin mampu
mengklarifikasi pentingnya visi yang bisa dipahami orang lain.
2) Risiko pribadi, pemimpin kharismatik bersedia mengambil risiko pribadi yang tinggi,
menanggung biaya besar, dan berkorban untuk meraih visi tersebut.
3) Kepekaan terhadap kebutuhan pengikut, pemimpin kharismatik perseptif (sangat
pengertian) terhadap kemampuan orang lain dan responsif (cepat tanggap) terhadap
kebutuhan dan perasaan mereka.
4) Perilaku tidak konvensional (biasa). Pemimpin kharismatik memiliki perilaku yang
dianggap baru dan berlawanan dengan kebiasaan. Pemimpin kharismatik dapat
mempengaruhi pengikutnya melalui empat proses (Shamir, House, dan Arthur,
dikutip dari Robbins dan Judge, 2008). Proses pertama dimulai ketika sang pemimpin
mengutarakan visinya yang menarik secara jelas kepada pengikutnya. Kemudian
pemimpin mengkomunikasikan harapan akan kinerja yang tinggi dan mengungkapkan
keyakinan bahwa para pengikut dapat mencapai pengharapan itu. Hal itu akan
meningkatkan harga diri dan kepercayaan diri para pengikutnya. Kemudian pemimpin
menghantarkan nilai-nilai baru lewat kata dan tindakan. Pemimpin akan menunjukkan
contoh untuk ditiru para pengikutnya. Pada akhirnya, pemimpin kharismatik
melakukan pengorbanan diri dan terlibat dalam perilaku yang tidak biasa untuk
memperlihatkan keberanian dan keyakinannya akan visi tersebut.
29

2.1.2.11. Kepemimpinan Transaksional dan Transformasional


Menurut Robbins dan Judge (2008), pemimpin transaksional adalah jenis pemimpin
yang mengarahkan atau memotivasi pengikut mereka menuju ke sasaran yang telah
ditetapkan dengan memperjelas peran dan tugas mereka.
Pemimpin transaksional menurut Ivancevich, Konopaske, dan Matteson (2006) adalah
pemimpin yang membantu pengikutnya untuk mengidentifikasi apa yang harus dilakukan
untuk mencapai hasil yang diinginkan (output lebih berkualitas, peningkatan penjualan, atau
penurunan biaya produksi) dan memastikan pengikutnya memiliki sumber daya yang
diperlukan. Menurut Bass (1997) Kepemimpinan transaksional mengacu kepada hubungan
pertukaran (saling memberi) antara pemimpin dan pengikutnya untuk memenuhi
kepentingannya masing-masing. Hal ini mungkin digambarkan dengan bentuk penghargaan
kontingen, dimana pemimpin mengklarifikasi atau menjelaskan para pengikutnya melalui
arahan atau partisipasi tentang apa yang harus dilakukan pengikut untuk mendapatkan
penghargaan atas upayanya tersebut. Kepemimpinan transaksional mungkin menerapkan
manajemen pengecualian aktif dimana pemimpin mengamati kinerja pengikut dan
mengambil tindakan korektif apabila pengikut gagal memenuhi standar yang ditetapkan.
Kepemimpinan transaksional juga mungkin menerapkan bentuk kepemimpinan pasif dimana
pemimpin mempraktikkan manajemen pengecualian pasif dengan menunggu masalah muncul
sebelum mengambil tindakan korektif atau bahkan menerapkan laissez faire dan menghindari
mengambil suatu tindakan.
Sedangkan pemimpin transformasional menurut Robbins dan Judge (2008) adalah
pemimpin yang menginspirasi para pengikutnya untuk menyampingkan kepentingan pribadi
mereka demi kebaikan organisasi dan mereka mampu memiliki pengaruh yang luar biasa
pada diri pengikutnya. Pemimpin transformasional menurut Ivancevich, Konopaske, dan
Matteson (2006) adalah pemimpin yang memotivasi para pengikutnya untuk bekerja
mencapai sebuah tujuan, bukan untuk kepentingan pribadi jangka pendek dan untuk
mencapai prestasi dan aktualisasi diri, bukan demi perasaan aman dan kesejahteraan serta
mampu mengekspresikan visi yang jelas dan menginspirasi orang untuk menjulang mencapai
visi tersebut.
Menurut Bass (1997) Kepemimpinan transformasional mengacu kepada pemimpin
yang menggerakkan pengikutnya melampaui kepentingan pribadinya melalui idealized
influence (pengaruh ideal atau kharisma), inspiration (inspirasi), intellectual stimulation
(stimulasi intelektual), atau individualized consideration (pertimbangan bersifat individual).
Dengan pemimpin transformasional, pengikut merasa percaya, kagum, loyal, dan hormat
30

kepada pemimpin, serta termotivasi untuk melakukan sesuatu melebihi dari apa yang
diharapkan (Yukl, 2010). Pemimpin tersebut meningkatkan kematangan dan bentuk ideal
para pengikut serta peduli terhadap pencapaian, aktualisasi diri, dan kesejahteraan orang lain,
organisasi dan masyarakat. Pengaruh ideal (idealized influence) dan kepemimpinan
inspirasional (inspirational leadership) ditunjukkan ketika pemimpin mengutarakan visi yang
diperlukan untuk masa depan, mengartikulasikan bagaimana visi itu dapat dicapai,
memberikan contoh untuk diikuti, menetapkan standar kinerja yang tinggi, memperlihatkan
determinasi dan kepercayaan diri. Stimulasi intelektual ditunjukkan ketika pemimpin
membantu atau mendorong para pengikutnya menjadi lebih inovatif dan kreatif.
Pertimbangan individual ditunjukkan ketika pemimpin memberikan perhatian dalam
pengembangan kebutuhan para pengikut dan mendukung serta melatih pengembangan dari
para pengikutnya. Pemimpin mendelegasikan tugas kepada pengikut sebagai kesempatan
untuk berkembang. Pemimpin yang bersifat transformasional dapat membuat bawahannya
bekerja lebih keras dan mau untuk bekerja lebih dari apa yang seharusnya mereka kerjakan.
Bass (1997) menyatakan bahwa kepemimpinan transformasional dapat membuat para
bawahan menjadi lebih terlibat dan peduli pada pekerjaannya, lebih banyak mencurahkan
perhatian dan waktu untuk pekerjaannya, dan menjadi kurang perhatiannya kepada
kepentingan-kepentingan pribadinya. Pemimpin transformasional dapat membuat bawahanya
mau untuk melakukan sesuatu melebihi kewajibannya.
Penyampaian inspirasi pemimpin transformasional kepada para pengikutnya adalah
suatu hal yang sangat penting dalam pencapaian tujuan organisasi. Penyampaian gambaran-
gambaran tentang perusahaan oleh pemimpin kepada bawahan akan menumbuhkan perasaan
pada para bawahan bahwa perusahaan sedang mengalami kemajuan. Penyampaian gambaran
tersebut juga memberi gambaran kepada para bawahan tentang posisi relatif perusahaan
terhadap tujuan yang hendak dicapai, dan bagaimana cara untuk mencapai tujuan tersebut.
Hal tersebut dapat membuat karyawan lebih mendapatkan kepuasan kerja sehingga
termotivasi untuk bekerja lebih keras untuk mencapai tujuantujuan yang telah ditetapkan
organisasi. Hal semacam ini juga dapat menumbuhkan pemahaman yang lebih jelas tentang
peran karyawan dalam pencapaian tujuan tersebut dan memberikan harapan pada para
karyawan akan masa depan yang lebih baik. Pemimpin yang menunjukan perilaku semacam
ini lebih disukai dan dipercaya oleh bawahannya. Rasa suka dan kepercayaan para bawahan
akan meningkatkan usaha tambahan dari para bawahan, guna mencapai tujuan yang telah
ditetapkan.
31

2.1.2.12. Karakteristik Pemimpin Transaksional


Menurut Bass (1997), pemimpin transaksional memiliki karakteristik sebagai berikut :
1) Penghargaan bersyarat, menjalankan kontraktual pertukaran antara imbalan atas
upaya, menjanjikan penghargaan atas kinerja yang baik, dan mengakui pencapaian
yang diperoleh.
2) Manajemen dengan pengecualian (aktif) : mengamati dan mencari penyimpangan dari
aturan-aturan dan standar, serta melakukan tindakan perbaikan.
3) Manajemen berdasarkan pengecualian (pasif) : mengintervensi dilakukan hanya jika
standar tidak dipenuhi.
4) Laissez-faire : melepaskan tanggung jawab, menghindari pengambilan keputusan.

2.1.2.13. Karakteristik Pemimpin Transformasional


Menurut Bass (1997), pemimpin transformasional memiliki karakteristik-karakteristik
sebagai berikut :
1) Kharisma (pengaruh yang ideal) : memberikan visi dan rasa atas misi, menanamkan
kebanggaan, meraih penghormatan dan kepercayaan. Pemimpin menampilkan
keyakinan, menekankan kepercayaan, mengambil isu-isu yang sulit, menyajikan nilai-
nilai mereka yang paling penting, dan menekankan pentingnya tujuan, komitmen, dan
konsekuensi etis dari keputusan. Pemimpin seperti dikagumi sebagai pembangkit
panutan kebanggaan, loyalitas, kepercayaan, dan keselarasan tujuan bersama.
2) Motivasi yang isnpirasional : mengkomunikasikan harapan yang tinggi, menggunakan
simbol-simbol untuk memfokuskan pada upaya, menggambarkan tujuan penting
secara sederhana. Pemimpin mengartikulasikan visi menarik dari masa depan,
menantang pengikut dengan standar yang tinggi, berbicara optimis dengan antusias,
dan memberikan dorongan dan makna untuk melakukan tindakan yang diperlukan.
3) Stimulasi intelektual : meningkatkan kecerdasan, rasionalitas, dan pemecahan
masalah cermat. Pemimpin tidak terpaku oleh cara lama, tradisi, dan keyakinan.
Pemimpin mencoba merangsang perspektif baru dan cara melakukan sesuatu, serta
mendorong ekspresi ide dari bawahan.
4) Pertimbangan individual : memberikan perhatian pribadi, memperlakukan masing-
masing karyawan secara pribadi. Ikut melatih dan menasehati bawahannya.
Berhubungan atau berkomunikasi dengan bawahan secara personal,
mempertimbangkan kebutuhan, kemampuan, dan aspirasi mereka. Mendengarkan
dengan penuh perhatian pengembangan lebih lanjut tentang mereka. Dari beberapa
32

penelitian terdahulu, pendekatan kepemimpinan transformasional menunjukkan


bahwa pemimpin mampu secara jelas menjelaskan visinya, mampu memotivasi
karyawan dengan sikap yang baik, mampu menjelaskan peran mereka, dan mampu
membawa para karyawan mengeluarkan kinerja terbaiknya dengan memimpin dan
mengatur perilaku mereka (Podsakof et al, 1996; Tichy dan Devanna, 1986; Bennis
dan Nanus, 1985 dalam Khan et al, 2013).
2.1.3 Budaya Organisasi
2.1.3.1 Pengertian Budaya Organisasi
Budaya organisasi menyatakan suatu presepsi bersama yang dianut oleh anggotaanggota
organisasi itu. Ini dijadikan eksplisit bila kita mendefinisikan budaya sebagai suatu sistem
dari makna bersama (share). Oleh karena itu kita akan mengharapkan bahwa individu-
individu dengan latar belakang yang berlainan atau pada tingkat-tingkat yang berlainan dalam
organisasi itu akan cenderung memberikan budaya organisasi dalam istiliah-istilah yang
serupa. Kilmann, Saxton dan Serpa dalam Abdulkadir (2005: 48) mendefinisikan budaya
organisasi sebagai filosofi, ideologi, nilai, asumsi, keyakinan, harapan, sikap dan norma
bersama yang menyatukan sebuah organisasi. Kata budaya (culture) sebagai suatu konsep
yang berakar pada kajian atau disiplin ilmu antropologi. Kilmann, Saxton dan Serpa (2005:
48) mengartikan sebagai falsafah, ideologi nilai-nilai, anggapan keyakinan, harapan, sikap
dan norma yang dimiliki bersama dan mengikat suatu masyarakat. Di dalam literatur perilaku
organisasi definisi mengenai budaya organisasi sebagai pola nilai dan keyakinan bersama
yang membantu orang memahami fungsi organisasi dan memberi mereka norma bagi bagi
perilaku dalam organisasi.
Budaya organisasional mempengaruhi cara pikir secara sadar dan tidak sadar,
membuat keputusan dan cara yang mereka gunakan dalam menerima, merasakan dan
bertindak (Schein, 2006: 47). Istilah budaya organisasi atau budaya perusahaan merupakan
konsep yang sama yang dapat saling ditukarkan, berbagai definisi yang berbeda-beda pada
istilah budaya organisasi atau budaya perusahaan. Schein (2006: 48) dalam bukunya
Organizational Culture and Leadership mendefinisikan budaya organisasi sebagai "a pattern
of shared basic assumptions that the group learned as it solved its problem of external
adaptation and internal integration, that has worked well enough to be considered valid and,
therefore, to be taught to new members as the correct way to perceive, think, and feel in
relation to those problems (sebuah pola asumsi dasar bersama bahwa grup learned seperti
soal itu adaptasi eksternal dan integrasi internal, yang telah bekerja nah cukup untuk
dipertimbangkan valid dan, karena itu, untuk diajarkan kepada anggota baru sebagai cara
33

yang benar untuk melihat, berpikir, dan nuansa dalam kaitannya dengan mereka masalah)".
Berdasarkan pengertian tersebut budaya mengarahkan pada tiga elemen yaitu: 1) masalah
sosialisasi, dimana anggota-anggota baru dan kelompok berusaha untuk menemukan elemen-
elemen budaya, tetapi mereka mempelajarinya hanya sebatas pada permukaan saja. Untuk
memperoleh tingkat yang lebih dalam, mereka harus mencoba untuk memahami persepsi dan
perasaan yang muncul dalam situasi kritis atau mengobservasi dan menginterview anggota-
anggota lama untuk memperoleh pengertian yang akurat mengenai kebersamaan asumsi pada
tingkat yang lebih dalam, 2) masalah perilaku, dan definisi di atas tidak memasukkan pola
perilaku yang jelas seperti ritual-ritual.
Budaya organisasi adalah suatu persepsi bersama yang dianut oleh anggotaanggota
organisasi itu. Suatu sistem dari makna bersama (Robbins, 2006: 47). Budaya organisasi
secara sederhana sebagai “the way we do things around here.” Yang dimaksudkannya adalah
sebuah budaya organisasi mencerminkan “cara mereka melakukan sesuatu (membuat
keputusan, melayani orang, dsb), yang dapat dilihat dan dirasakan terutama oleh orang di luar
organisasi tersebut (Marvin Bower dalam Ruky, 2003: 88).
Setiap organisasi mempunyai budaya organisasi yang mempengaruhi semua aspek
organisasi dan prilaku anggotanya secara individual atau kelompok. Edgar H. Schein (2006:
47) mendefinisikan sebagai berikut pola asumsi dasar yang ditemukan atau dikembangkan
oleh suatu kelompok orang selagi mereka belajar untuk menyelesaikan problem-problem,
menyesuaikan diri dengan lingkungan eksternal dan berintegrasi dengan lingkungan internal.
Dalam kehidupan masyarakat sehari-hari tidak terlepas dari ikatan budaya yang diciptakan.
Ikatan budaya tercipta oleh masyarakat yang bersangkutan, baik dalam keluarga, organisasi,
bisnis maupun bangsa.
Budaya membedakan masyarakat satu dengan yang lain dalam cara berinteraksi dan
bertindak menyelesaikan suatu pekerjaan. Budaya mengikat anggota kelompok masyarakat
menjadi satu kesatuan pandangan yang menciptakan keseragaman berperilaku atau bertindak.
Seiring dengan bergulirnya waktu, budaya pasti terbentuk dalam organisasi dan dapat pula
dirasakan manfaatnya dalam memberi kontribusi bagi efektivitas organisasi secara
keseluruhan.
Berikut ini merupakan pengertian budaya menurut beberapa ahli:
a. Menurut Wood, Wallace, Zeffane, Schermerhorn, Hunt, Osborn (2001:391), budaya
organisasi adalah sistem yang dipercayai dan nilai yang dikembangkan oleh organisasi
dimana hal itu menuntun perilaku dari anggota organisasi itu sendiri.
34

b. Menurut Tosi, Rizzo, Carroll seperti yang dikutip oleh Munandar (2001:263), budaya
organisasi adalah cara-cara berpikir, berperasaan dan bereaksi berdasarkan pola-pola
tertentu yang ada dalam organisasi atau yang ada pada bagian-bagian organisasi.
c. Menurut Robbins (2006:289), budaya organisasi adalah suatu persepsi bersama yang
dianut oleh anggota-anggota organisasi itu.
d. Menurut Schein (2006:12), budaya organisasi adalah pola dasar yang diterima oleh
organisasi untuk bertindak dan memecahkan masalah, membentuk karyawan yang mampu
beradaptasi dengan lingkungan dan mempersatukan anggota-anggota organisasi. Untuk itu
harus diajarkan kepada anggota termasuk anggota yang baru sebagai suatu cara yang benar
dalam mengkaji, berpikir dan merasakan masalah yang dihadapi.
e. Menurut Cushway dan Lodge (2000), budaya organisasi merupakan sistem nilai organisasi
dan akan mempengaruhi cara mengerjakan pekrjaan dan cara para karyawan berperilaku.
Dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan budaya organisasi dalam penelitian ini
adalah suatu persepsi bersama yang dianut oleh anggota organisasi, yang kemudian
mempengaruhi cara bekerja dan berperilaku dari para anggota organisasi.
2.1.3.2 Dimensi Budaya
Organisasi Untuk mengetahui dan mempelajari budaya suatu organisasi ada beberapa
unsur atau variabel yang dapat digunakan. Ricardo and Jelly, dalam Sam Advance
Management Journal (2007) mengemukakan delapan dimensi untuk menilai budaya
organisasi/perusahaan yaitu:
a. Communications (Komunikasi). Dalam dimensi ini tercakup jumlah dan tipe sistem
komunikasi, serta jenis dan cara informasi yang dikomunikasikan. Termasuk juga dimensi
ini adalah: arah komunikasi top down atau bottom up, apakah komunikasi disaring atau
terbuka, apakah konflik dihindari atau dipecahkan, dan apakah jalur formal atau informal
yang digunakan untuk menyampaikan dan menerima komunikasi.
b. Training and Development (Pelatihan dan Pengembangan). Dalam hal ini apakah
managemen komited untuk menyediakan kesempatan untuk pengembangan diri bagi
karyawannya. Serta apakah pendidikan bagi karyawan ditujukan untuk kebutuhan
sekarang atau untuk masa datang. c. Reward (Penghargaan). Dalam hal ini perilaku apa
saja yang dihargai, tipe penghargaan yang digunakan, secara pribadi atau kelompok,
apakah semua karyawan berhak mendapat bonus, apakah kriteria untuk menilai kemajuan
karyawan dan lain-lain.
d. Decision Making (Pengambilan Keputusan). Dimensi ini diarahkan pada bagaimana
keputusan dibuat dan konflik dipecahkan, apakah keputusan cepat atau lambat, apakah
35

organisasi bersifat birokrasi, apakah pembuatan keputusan bersifat sentralisasi atau


desentralisasi.
e. Risk Taking (Pengambilan Resiko). Dalam dimensi ini dilihat apakah kreativitas dan
inovasi dihargai, apakah pengambilan resiko yang telah diperhitungkan didukung, apakah
ada keterbukaan terhadap ide-ide baru, untuk level mana manajemen mendukung saran-
saran untuk kemajuan, apakah karyawan dihukum karena mencoba ide-ide baru, atau
menanyakan cara-cara menerapkan ide-ide baru tersebut.
f. Planning (Perencanaan). Apakah perusahaan mengutamakan rencana jangka pendek atau
jangka panjang, apakah perencanaan bersifat reaktif atau proaktif, untuk tujuan apa
strategi, tujuan dan visi organisasi disampaikan pada karyawan, apakah proses
perencanaan bersifat informal atau terstruktur pada level apa karyawan komited terhadap
pencapaian strategi bisnis serta tujuan organisasi lain.
g. Team work (Tim Kerja). Dimensi berkaitan dengan jumlah, tipe dan keefektifan teamwork
dalam organisasi, juga termasuk kerjasama antar departemen, kepercayaan diantara
beberapa fungsi atau unit dan dukungan terhadap proses kerja.
h. Management Practice (Praktek Manajemen). Dalam dimensi ini diukur keadilan (fairness)
dan konsistensi sebagai landasan kebijakan, akses manajemen terhadap karyawan, tingkat
keamanan lingkungan kerja karyawan, serta bagaimana manajemen menghargai dan
mendukung perbedaan.
Dimensi training and development, consistency making, risk taking, planning dan
management practice yang dijadikan Ricardo (2007: 89) sebagai variabel penelitiannya, oleh
peneliti tidak dijadikan indikator karena hampir memiliki kesamaan dengan indikator dari
budaya organisasi yang digunakan oleh peneliti.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis juga sependapat atas teori yang diadaptasi
dari Jones (2005: 117) bahwa konsep budaya organisasi memang menyangkut lima hal
penting untuk dijadikan indikator dalam penelitian ini yang meliputi:
1. Komunikasi. sebagai upaya hubungan kerjasama, koordinasi untuk
kelangsungan/kelancaran pekerjaan,
2. Kreativitas. sebagai upaya mengembangkan inisiatif, ide, sebagai rasamemiliki jati diri
bagi dosen,
3. Imbalan. membantu stabilitas perusahaan karena menyangkut kesejahteraan dosen,
4. Orientasi pelanggan/mahasiswa. menyajikan pedoman perilaku sebagai hasil dari norma
perilaku yang sudah dibentuk untuk bisa mengenal pelanggan/mahasiswa,
36

5. Tim Kerja (team work). membantu mengembangkan rasa kekompakan dalam


meningkatkan efektivitas dan efisensi kerja.
Schein (2006: 56) mengemukakan bahwa budaya organisasi dapat dibagi ke dalam dua
dimensi yaitu :
(1) Dimensi external environments. yang didalamnya terdapat lima hal esensial yaitu: (a)
mission and strategy. (b) goals. (c) means to achieve goals. (d) measurement. dan (e)
correction.
(2) Dimensi internal integration yang di dalamnya terdapat enam aspek utama, yaitu : (a)
common language. (b) group boundaries for inclusion and exclusion. (c) distributing
power and status. (d) developing norms of intimacy, friendship, and love. (e) reward and
punishment. dam (f) explaining and explainable : ideology and religion.
Pada bagian lain, Schein (2006: 56) mengetengahkan sepuluh karateristik budaya
organisasi, mencakup : (1) observe behavior: language, customs, traditions. (2) groups
norms: standards and values. (3) espoused values: published, publicly announced values.
(4) formal philosophy: mission. (5) rules of the game: rules to all in organization. (6)
climate: climate of group in interaction. (7) embedded skills. (8) habits of thinking, acting,
paradigms: shared knowledge for socialization. (9) shared meanings of the group. dan (10)
metaphors or symbols.
Sementara itu, Fred Luthan (2005: 28) mengetengahkan enam karakteristik penting
dari budaya organisasi, yaitu : (1) obeserved behavioral regularities. yakni keberaturan
cara bertindak dari para anggota yang tampak teramati. Ketika anggota organisasi
berinteraksi dengan anggota lainnya, mereka mungkin menggunakan bahasa umum,
istilah, atau ritual tertentu. (2) norms. yakni berbagai standar perilaku yang ada, termasuk
di dalamnya tentang pedoman sejauh mana suatu pekerjaan harus dilakukan. (3) dominant
values. yaitu adanya nilai-nilai inti yang dianut bersama oleh seluruh anggota organisasi,
misalnya tentang kualitas produk yang tinggi, absensi yang rendah atau efisiensi yang
tinggi. (4) philosophy. yakni adanya kebijakan-kebijakan yang berkenaan dengan
keyakinan organisasi dalam memperlakukan pelanggan dan karyawan (5) rules. yaitu
adanya pedoman yang ketat, dikaitkan dengan kemajuan organisasi (6) organization
climate. merupakan perasaan keseluruhan (an overall “feeling”) yang tergambarkan dan
disampaikan melalui kondisi tata ruang, cara berinteraksi para anggota organisasi, dan cara
anggota organisasi memperlakukan dirinya dan pelanggan atau orang lain. Dari ketiga
pendapat di atas, kita melihat adanya perbedaan pandangan tentang karakteristik budaya
organisasi, terutama dilihat dari segi jumlah karakteristik budaya organisasi. Kendati
37

demikian, ketiga pendapat tersebut sesungguhnya tidak menunjukkan perbedaan yang


prinsipil.
Budaya organisasi dapat dipandang sebagai sebuah sistem. Mc Namara (2002: 98)
mengemukakan bahwa dilihat dari sisi input, budaya organisasi mencakup umpan balik
(feed back) dari masyarakat, profesi, hukum, kompetisi dan sebagainya. Sedangkan dilihat
dari proses, budaya organisasi mengacu kepada asumsi, nilai dan norma, misalnya nilai
tentang : uang, waktu, manusia, fasilitas dan ruang. Sementara dilihat dari output,
berhubungan dengan pengaruh budaya organisasi terhadap perilaku organisasi, teknologi,
strategi, image, produk dan sebagainya.
Sedangkan menurut Eugene McKenna dan Nic Beech (2000: 78) budaya organisasi
dimasukan ke dalam 5 indikator yaitu:
1. Filosofi Yakni adanya kebijakan-kebijakan yang berkenaan dengan keyakinan organisasi
dalam memperlakukan pelanggan dan karyawan
2. Nilai-nilai yaitu adanya nilai-nilai inti yang dianut bersama oleh seluruh anggota
organisasi, misalnya tentang kualitas produk yang tinggi, absensi yang rendah atau
efisiensi yang tinggi
3. Norma-norma yakni berbagai standar perilaku yang ada, termasuk di dalamnya tentang
pedoman sejauh mana suatu pekerjaan harus dilakukan
4. Aturan main Yaitu adanya pedoman yang ketat, dikaitkan dengan kemajuan organisasi
5. Tingkah laku khas yakni keberaturan cara bertindak dari para anggota yang tampak
teramati. Ketika anggota organisasi berinteraksi dengan anggota lainnya, mereka mungkin
menggunakan bahasa umum, istilah, atau ritual tertentu
2.2.3 Mengubah Budaya Organisasi
Dilihat dari sisi kejelasan dan ketahanannya terhadap perubahan, Kotter dan Heskett
(2005: 178) memilah budaya organisasi menjadi ke dalam dua tingkatan yang berbeda.
Dikemukakannya, bahwa pada tingkatan yang lebih dalam dan kurang terlihat, nilai-nilai
yang dianut bersama oleh orang dalam kelompok dan cenderung bertahan sepanjang waktu
bahkan meskipun anggota kelompok sudah berubah. Pengertian ini mencakup tentang apa
yang penting dalam kehidupan, dan dapat sangat bervariasi dalam perusahaan yang berbeda:
dalam beberapa hal orang sangat mempedulikan uang, dalam hal lain orang sangat
mempedulikan inovasi atau kesejahteraan karyawan.
Pada tingkatan ini budaya sangat sukar berubah, sebagian karena anggota kelompok
sering tidak sadar akan banyaknya nilai yang mengikat mereka bersama. Pada tingkat yang
terlihat, budaya menggambarkan pola atau gaya perilaku suatu organisasi, sehingga
38

karyawan-karyawan baru secara otomatis terdorong untuk mengikuti perilaku sejawatnya.


Sebagai contoh, katakanlah bahwa orang dalam satu kelompok telah bertahun-tahun menjadi
“pekerja keras”, yang lainnya “sangat ramah terhadap orang asing dan lainnya lagi selalu
mengenakan pakaian yang sangat konservatif. Budaya dalam pengertian ini, masih kaku
untuk berubah, tetapi tidak sesulit pada tingkatan nilai-nilai dasar. Pada bagian lain, John P.
Kotter dan James L. Heskett (2005: 142) memaparkan pula tentang tiga konsep budaya
organisasi yaitu : (1) budaya yang kuat. (2) budaya yang secara strategis cocok. dan (3)
budaya adaptif. Organisasi yang memiliki budaya yang kuat ditandai dengan adanya
kecenderungan hampir semua manajer menganut bersama seperangkat nilai dan metode
menjalankan usaha organisasi. Karyawan baru mengadopsi nilai-nilai ini dengan sangat
cepat. Seorang eksekutif baru bisa saja dikoreksi oleh bawahannya, selain juga oleh bossnya,
jika dia melanggar norma-norma organisasi.
Eugene McKenna dan Nic Beech (2000: 89) indikator budaya organisasi terbagi menjadi
lima bagian yaitu filosofi, nilai-nilai, norma-norma, aturan main dan tingkah laku khas. Gaya
dan nilai dari suatu budaya yang cenderung tidak banyak berubah dan akar-akarnya sudah
mendalam, walaupun terjadi penggantian manajer. Dalam organisasi dengan budaya yang
kuat, karyawan cenderung berbaris mengikuti penabuh genderang yang sama. Nilai-nilai dan
perilaku yang dianut bersama membuat orang merasa nyaman dalam bekerja, rasa komitmen
dan loyalitas membuat orang berusaha lebih keras lagi. Dalam budaya yang kuat memberikan
struktur dan kontrol yang dibutuhkan, tanpa harus bersandar pada birokrasi formal yang
mencekik yang dapat menekan tumbuhnya motivasi dan inovasi.
Budaya yang strategis cocok secara eksplisit menyatakan bahwa arah budaya harus
menyelaraskan dan memotivasi anggota, jika ingin meningkatkan kinerja organisasi. Konsep
utama yang digunakan di sini adalah “kecocokan”. Jadi, sebuah budaya dianggap baik apabila
cocok dengan konteksnya. Adapun yang dimaksud dengan konteks bisa berupa kondisi
obyektif dari organisasinya atau strategi usahanya.
Budaya yang adaptif berangkat dari logika bahwa hanya budaya yang dapat membantu
organisasi mengantisipasi dan beradaptasi dengan perubahan lingkungan, akan diasosiasikan
dengan kinerja yang superiror sepanjang waktu. Ralph Klimann menggambarkan budaya
adaptif ini merupakan sebuah budaya dengan pendekatan yang bersifat siap menanggung
resiko, percaya, dan proaktif terhadap kehidupan individu. Para anggota secara aktif
mendukung usaha satu sama lain untuk mengidentifikasi semua masalah dan
mengimplementasikan pemecahan yang dapat berfungsi. Ada suatu rasa percaya (confidence)
yang dimiliki bersama. Para anggotanya percaya, tanpa rasa bimbang bahwa mereka dapat
39

menata olah secara efektif masalah baru dan peluang apa saja yang akan mereka temui.
Kegairahan yang menyebar luas, satu semangat untuk melakukan apa saja yang dia hadapi
untuk mencapai keberhasilan organisasi. Para anggota ini reseptif terhadap perubahan dan
inovasi. Rosabeth Kanter mengemukakan bahwa jenis budaya ini menghargai dan mendorong
kewiraswastaan, yang dapat membantu sebuah organisasi beradaptasi dengan lingkungan
yang berubah, dengan memungkinkannya mengidentifikasi dan mengeksploitasi peluang
peluang baru. Contoh perusahaan yang mengembangkan budaya adaptif ini adalah Digital
Equipment Corporation dengan budaya yang mempromosikan inovasi, pengambilan resiko,
pembahasan yang jujur, kewiraswastaan, dan kepemimpinan pada banyak tingkat dalam
hierarki. 2.2.4 Memahami Perubahan Budaya Organisasi
Perubahan selalu terjadi, disadari atau tidak. Begitu pula halnya dengan organisasi.
Organisasi hanya dapat bertahan jika dapat melakukan perubahan. Setiap perubahan
lingkungan yang terjadi harus dicermati karena keefektifan suatu organisasi tergantung pada
sejauhmana organisasi dapat menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut. Pada dasarnya
semua perubahan yang dilakukan mengarah pada peningkatan efektiftas organisasi dengan
tujuan mengupayakan perbaikan kemampuan organisasi dalam menyesuaikan diri terhadap
perubahan lingkungan serta perubahan perilaku anggota organisasi (Robbins, 2003). Lebih
lanjut Robbins menyatakan perubahan organisasi dapat dilakukan pada struktur yang
mencakup strategi dan sistem, teknologi, penataan fisik dan sumber daya manusia.
Perubahan budaya organisasi di satu sisi dapat meningkatkan kinerja, namun Di sisi lain
dapat pula mengalami kegagalan apabila tidak dipersiapkan dan dikelola dengan benar.
Namun, apabila tidak melakukan perubahan budaya organisasi, sedangkan lingkungan
berubah, dapat dipastikan mengalami kegagalan. Paling tidak perubahan harus dilakukan
untuk dapat mempertahankan diri dari tekanan persaingan (Romli, 2011: 58).
Namun, yang perlu diwaspadai adalah mengetahui kapan waktu yang tepat untuk
melakukan perubahan budaya organisasi. Perubahan budaya organisasi diperlukan apabila
terjadi perkembangan lingkungan yang tidak dapat dihindari. Di sisi lain perubahan sering
menjadi kebutuhan internal organisasi, dirasakan sebagai kebutuhan. Dalam lingkungan yang
semakin kompetitif diperlukan peningkatan efisiensi untuk mempertahankan daya saing atau
meningkatkan pelayanan kepada pelanggan. Demikian pula diperlukan pemahaman tentang
bagaimana proses yang tepat untuk menjalankan perubahan organisasi dan hambatan apa
yang mungkin akan dihadapi. Kesalahan dapat berakibat pada timbulnya resistensi dan
kegagalan usaha perubahan budaya organisasi.
40

2.1.3.3 Model Perubahan Budaya


Sobirin (2005: 78) menyatakan ada dua faktor yang mendorong terjadinya perubahan,
yaitu faktor ekstern seperti perubahan teknologi dan semakin terintegrasinya ekonomi
internasional serta faktor intern organisasi yang mencakup dua hal pokok yaitu (1) perubahan
perangkat keras organisasi (hard system tools) atau yang biasa disebut dengan perubahan
struktural, yang meliputi perubahan strategi, stuktur organisasi dan sistem serta (2) Perubahan
perangkat lunak organisasi (soft system tools) atau perubahan kultural yang meliputi
perubahan perilaku manusia dalam organisasi, kebijakan sumber daya manusia dan budaya
organisasi.
Setiap perubahan tidak bisa hanya memilih salah satu aspek struktural atau kultural
saja sebagai variabel yang harus diubah, tetapi kedua aspek tersebut harus dikelola secara
bersama-sama agar hasilnya optimal. Namun demikian dalam praktek para pengambil
keputusan cenderung hanya memperhatikan perubahan struktural karena hasil perubahannnya
dapat diketahui secara langsung, sementara perubahan kultural sering diabaikan karena hasil
dari perubahan tersebut tidak begitu kelihatan. Untuk meraih keberhasilan dalam mengelola
perubahan organisasi harus mengarah pada peningkatan kemampuan dalam menghadapi
tantangan dan peluang yang timbul. Artinya perubahan organisasi harus diarahkan pada
perubahan perilaku manusia dan proses organisasional, sehingga perubahan organisasi yang
dilakukan dapat lebih efektif dalam upaya menciptakan organisasi yang lebih adaptif dan
fleksibel. Pertimbangannya, dengan diterapkannya modernisasi administrasi perpajakan, akan
terjadi perubahan organisasi dan perubahan itu sendiri tidak akan berhasil jika ada hambatan
yang datang dari manusia yang terlibat di dalamnya. Demikian juga halnya jika kebiasaan
manusia dan budaya organisasinya tidak diubah, perubahan organisasi tidak akan berhasil.
Kaitannya dengan perubahan organisasi yang dilakukan, baik aspek struktural
maupun aspek kultural keduanya harus diubah secara bersama-sama. Karena ketika terjadi
perubahan strategi sebagai akibat dari perubahan tujuan organisasi, akan berpengaruh
terhadap struktur dan sistem organisasi karena struktur dan sistem organisasi yang lama
sudah tidak sesuai lagi dengan lingkungan organisasi yang baru. Demikian pula halnya
dengan aspek sumber daya manusia dan budaya organisasinya harus diubah agar perubahan
strategi, struktur dan sistem organisasi dapat diimplementasikan
2.1.3.4Faktor-faktor yang Mempengaruhi Budaya Organisasi
Ada enam faktor penting yang mempengaruhi budaya organisasi, yaitu:
41

1. Observed behavioral regularities yakni keberaturan cara bertindak dari para anggota yang
tampak teramati. Ketika anggota organisasi berinteraksi dengan anggota lainnya, mereka
munkin menggunakan bahasa umum, istilah, atau ritual tertentu.
2. Norms yakni berbagai standar perilaku yang ada, termasuk di dalamnya tentang pedoman
sejauh mana suatu pekerjaan harus dilakukan.
3. Dominant values yakni adanya nilai-nilai inti yang dianut bersama oleh seluruh anggota
organisasi, misalnya tentang kualitas produk yang tinggi, absensi yang rendah atau
efisiensi yang tinggi.
4. Philosophy yakni adanya kebijakan-kebijakan yang berkenaan dengan keyakinan
organisasi dalam memperlakukan pelanggan dan karyawan.
5. Rules yaitu adanya pedoman yang kuat, dikaitkan dengan kemajuan organisasi.
6. Organization climate merupakan perasaan keseluruhan (anoverall “feeling”) yang
tergambarkan dan disampaikan melalui kondisi tata ruang, cara berinteraksi para anggota
organisasi, dan cara anggota organisasi memperlakukan dirinya dan pelanggan atau orang
lain (Romli, 2011: 48).

2.1.4 Kepuasan Kerja


2.1.4.1. Pengertian Kepuasan Kerja
Kepuasan kerja merupakan hal yang bersifat individual. Setiap individu mempunyai
(2005), bahwa kepuasan kerja sebagai efektivitas atau respons emosional terhadap berbagai
aspek pekerjaan. Definisi ini mengandung pengertian bahwa kepuasan kerja bukanlah suatu
konsep tunggal, sebaliknya seseorang dapat relatif puas dengan suatu aspek dari pekerjaannya
dan tidak puas dengan salah satu atau beberapa aspek lainnya. Sejalan dengan Kreitner dan
Kinicki, Robbins dan Judge (2008) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai suatu perasaan
positif tentang pekerjaan seseorang yang merupakan hasil dari sebuah evaluasi. Luthans
(2006) berpendapat bahwa kepuasan kerja adalah perasaan pekerja atau karyawan yang
berhubungan dengan pekerjaannya, yaitu merasa senang atau tidak senang, sebagai hasil
penilaian individu yang bersangkutan terhadap pekerjaannya. Berdasarkan definisi di atas
dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja adalah suatu perasaan yang menyokong atau tidak
menyokong seorang karyawan yang berhubungan dengan pekerjaannya maupun dengan
kondisi dirinya. Perasaan yang berhubungan dengan pekerjaan melibatkan aspek-aspek
seperti pekerjaan itu sendiri, upah atau gaji yang diterima, kesempatan promosi atau
pengembangan karir, hubungan dengan rekan kerja, penempatan kerja, pengawasan yang
diterapkan.
42

Teori Kepuasan Kerja Teori kepuasan kerja mencoba mengungkapkan apa yang
membuat sebagian orang lebih puas terhadap suatu pekerjaan daripada beberapa lainnya.
Teori ini juga mencari landasan tentang proses perasaan orang terhadap kepuasan kerja. Ada
beberapa teori tentang kepuasan kerja yaitu :
1) Two Factor Theory
Teori ini menganjurkan bahwa kepuasan dan ketidakpuasan merupakan bagian dari
kelompok variabel yang berbeda yaitu motivators dan hygiene factors. Ketidakpuasan
dihubungkan dengan kondisi disekitar pekerjaan (seperti kondisi kerja, upah, keamanan,
kualitas pengawasan dan hubungan dengan orang lain) dan bukan dengan pekerjaan itu
sendiri. Karena faktor mencegah reaksi negatif dinamakan sebagai hygiene atau
maintainance factors. Sebaliknya kepuasan ditarik dari faktor yang terkait dengan
pekerjaan itu sendiri atau hasil langsung daripadanya seperti sifat pekerjaan, prestasi
dalam pekerjaan, peluang promosi dan kesempatan untuk pengembangan diri dan
pengakuan. Karena faktor ini berkaitan dengan tingkat kepuasan kerja tinggi dinamakan
motivators.
2) Value Theory
Menurut teori ini kepuasan kerja terjadi pada tingkatan dimana hasil pekerjaan diterima
individu seperti diharapkan. Semakin banyak orang menerima hasil, akan semakin puas
dan sebaliknya. Kunci menuju kepuasan pada teori ini adalah perbedaan antara aspek
pekerjaan yang dimiliki dengan yang diinginkan seseorang. Semakiin besar perbedaan,
semakin rendah kepuasan orang.
2.1.4.2 Variabel Kepuasan Kerja
Menurut Mangkunegara (2006:117-119) kepuasan kerja berhubungan dengan variabel-
variabel seperti keluar masuk (turnover), tingkat absensi, umur, tingkat pekerjaan, dan
ukuran organisasi perusahaan. Hal ini menurut beliau sesuai dengan pendapat Keith Davis
bahwa “Job satisfication is related to a number of major employee variables, such as
turnover, absences, age, occupation and size of the organization in which an employee
works”. Untuk lebih jelasnya variabel - variabel tersebut adalah sebagai berikut :
1. Turnover Kepuasan kerja lebih tinggi dihubungkan dengan turnover pegawai yang rendah.
Sedangkan pegawai-pegawai yang kurang puas biasanya turnovernya lebih tinggi.
2. Tingkat Ketidakhadiran Kerja Pegawai-pegawai yang kurang puas cenderung tingkat
ketidakhadirannya (absen) tinggi. Mereka sering tidak hadir kerja dengan alasan yang
tidak logis dan subjektif.
43

3. Umur Ada kecenderungan pegawai yang tua lebih merasa puas dari pada pegawai yang
berumur relatif muda. Hal ini diasumsikan bahwa pegawai yang tua lebih berpengalaman
menyesuaikan diri dengan lingkungan pekerjaan, sedangkan pegawai usia yang lebih
muda biasanya mempunyai harapan yang ideal tentang dunia kerjanya. Sehingga apabila
antara harapannya dengan realita kerja terdapat kesenjangan atau ketidakseimbangan dapat
menyebabkan mereka menjadi tidak puas.
4. Tingkat Pekerjaan Pegawai-pegawai menduduki tingkat pekerjaan yang lebih tinggi
cenderung lebih merasa puas dari pada pegawai yang menduduki tingkat pekerjaan yang
lebih rendah. Pegawai-pegawai yang tingkat pekerjaannya lebih tinggi menunjukan
kemampuan kerja yang lebih baik dan aktif dalam mengemukakan ide-ide serta kreatif
dalam bekerja.
5. Ukuran Organisasi Perusahaan Ukuran organisasi perusahaan dapat mempunyai kepuasan
pegawai. Hal ini karena besar kecil perusahaann berhubungan pula dengan koordinasi,
komunikasi, dann partisipasi pegawai

2.1.4.3. Pengukuran Kepuasan Kerja


Menurut Luthans (2006) terdapat lima dimensi kepuasan kerja yang dapat
merepresentasikan respons kepuasan kerja karyawan, diantaranya yaitu:
1) Pembayaran gaji atau upah Sejumlah upah yang diterima dan tingkat dimana hal ini
bisa dipandang sebagai hal yang dianggap pantas dibandingkan dengan orang lain
dalam organisasi. Pegawai menginginkan sistem upah yang dipersepsikan adil, tidak
meragukan dan segaris dengan harapannya.
2) Pekerjaan itu sendiri Dalam hal dimana pekerjaan memberikan tugas yang menarik,
kesempatan untuk belajar, dan kesempatan untuk menerima tanggung jawab. Pegawai
cenderung lebih menyukai pekerjaan yang memberi kesempatan untuk menggunakan
kemampuan dan ketrampilan, kebebasan serta umpan balik. Karakteristik ini
membuat kerja lebih menantang. Pekerjaan yang kurang menantang akan
menciptakan kebosanan. Namun pekerjaan yang terlalu menantang dapat
menyebabkan frustasi dan perasaan gagal.
3) Rekan kerja Tingkat dimana rekan kerja pandai secara teknis dan mendukung secara
sosial. Bagi kebanyakan pegawai, kerja merupakan salah satu cara untuk memenuhi
kebutuhan interaksi sosial. Oleh karena itu mempunyai rekan kerja yang
menyenangkan dapat meningkatkan kepuasan kerja.
44

4) Kesempatan promosi Pada saat dipromosikan pegawai pada umumnya menghadapi


peningkatan tuntutan keahlian, kemampuan serta tanggungjawab. Sebagian besar
pegawai merasa positif jika dipromosikan. Dengan promosi memungkinkan
organisasi untuk mendayagunakan kemampuan dan keahlian pegawai setinggi
mungkin.
5) Pengawasan (Supervisi) Kemampuan penyelia untuk memberikan bantuan teknis dan
dukungan perilaku. Supervisi mempunyai peran yang penting dalam suatu organisasi
karena berhubungan dengan pegawai secara langsung dan mempengaruhi pegawai
dalam melakukan pekerjaannya. Pada umumnya pegawai lebih suka mempunyai
supervisi yang adil, terbuka dan mau bekerja sama dengan bawahan Kepuasan kerja
adalah suatu perasaan yang menyokong atau tidak menyokong seorang karyawan
yang berhubungan dengan pekerjaannya maupun dengan kondisi dirinya. Robbins dan
Judge (2008) menyatakan bahwa perasaan yang berhubungan dengan pekerjaan
melibatkan aspek-aspek seperti pekerjaan itu sendiri, upah atau gaji yang diterima,
kesempatan promosi atau pengembangan karir, hubungan dengan rekan kerja,
penempatan kerja, pengawasan yang diterapkan. Kepuasan kerja tidak hanya
berkaitan dengan kondisi pekerjaan. Kepribadian dari karyawan juga memainkan
sebuah peran dalam kepuasan kerja (Robbins dan Judge, 2008). Pegawai akan merasa
puas dalam bekerja apabila aspek-aspek pekerjaan dan aspek-aspek dirinya
menyokong dan sebaliknya jika aspek-aspek tersebut tidak menyokong, pegawai akan
merasa tidak puas.
6) Manfaat pengukuran kepuasan
Menurut Gerson (2004), manfaat utama dari program pengukuran adalah tersedianya
umpan balik yang segera, berarti dan obyektif. Dengan hasil pengukuran orang biasa
melihat bagaimana mereka melakukan pekerjaanya, membandingkanya dengan
standar kerja dan memutuskan apa yang harus dilakukan untuk melakukan perbaikan
berdasarkan pengukuran tersebut. Ada beberapa manfaat dari pengukuran kepuasan
antara lain sebagai berikut :
a) Pengukuran menyebabkan seseorang memiliki rasa berhasil dan berprestasi, yang
kemudian diterjemahkan menjadi pelayanaan yang prima kepada pelanggan.
b) Pengukuran biasa dijadikan dasar menentukan standar kinerja dan standar prestasi
yang harus dicapai, yang mengarahkan mereka menuju mutu yang semakin baik
dan kepuasan pelanggan yang semakin miningkat.
45

c) Pengukuran pemberian umpan balik segera kepada pelaksana, terutama bila


pelanggan sendiri yang mengukur kinerja pelaksana atau yang memberi
pelayanan.
d) Pengukuran memberitahu apa yang harus dilakukan untuk memperbaiki mutu dan
kepuasan pelanggan bagaimana harus melakukannya, informasi ini juga biasa
datang dari pelanggan.
e) Pengukuran memotivasi orang untuk melakukan dan mencapai tingkat
produktivitas yang lebih tinggi.
Menurut Azwar (1996), di dalam situasi rumah sakit yang mengutamakan pihak yang
dilayani, karena pasien adalah klien yang terbanyak, maka manfaat yang dapat diperoleh
bila mengutamakan kepuasan pasien antara lain sebagai berikut :
1) Rekomendasi medis untuk kesembuhan pasien akan dengan senang hati diikuti oleh
pasien yang merasa puas terhadap pelayanan rumah sakit.
2) Terciptanya citra positif dan nama baik rumah sakit karena pasien yang puas tersebut
akan memberitahukan kepuasannya kepada orang lain. Hal ini secara akumulatif akan
menguntungkan rumah sakit karena merupakan pemasaran rumah sakit secara tidak
langsug.
3) Citra rumah sakit akan menguntungkan secara sosial dan ekonomi. Bertambahnya
jumlah orang yang berobat, karena ingin mendapatkan pelayanan yang memuaskan
seperti yang selama ini mereka dengarkan menguntungkan rumah sakit secara sosial
dan ekonomi (meningkatkan pendapatan rumah sakit).
4) Berbagai pihak yang berkepentingan di rumah sakit, seperti perusahaan asuransi akan
lebih menaruh kepercayaan pada rumah sakit yang mempunyai citra positif.
5) Didalam rumah sakit yang berusaha mewujudkan kepuasan pasien akan lebih
diwarnai dengan situasi pelayanaan yang menjunjung hak hak pasien. Rumah sakitpun
akan berusaha sedemikian rupa sehingga malpraktek tidak terjadi.
Menurut Jacobalis (1989), untuk mengukur kepuasan pasien dapat digunakan sebagai
alat untuk evaluasi kualitas pelayanan kesehatan, evaluasi terhadap konsultasi intervensi
dan hubungan antara prilaku sehat dan sakit, membuat keputusan administrasi, evaluasi
efek perubahan dari organisasi pelayanaan, administrasi staf dan fungsi pemasaran serta
formasi etik profesional. 6. Klasifikasi kepuasan Menurut Nursalam (2003), untuk
mengetahui tingkat kepuasan pelanggan dapat diklasifikasikan dalam beberapa tingkatan,
sebagai berikut: sangat tidak memuaskan (1), tidak memuaskan (2), cukup memuaskan
(3), memuaskan (4), sangat memuaskan (5). Pasien akan merasa sangat tidak puas apabila
46

hasil pelayanan yang diberikan oleh perawat/ didapatkan pasien jauh dibawah harapannya,
jika hasil pelayanan yang diberikan oleh perawat belum memenuhi harapan pasien maka
pasien akan merasa tidak puas terhadap pelayanan yang diterima pasien. Pelayanan akan
cukup memuaskan jika pelayanan yang diberikan oleh perawat sudah memenuhi sebagian
harapan pasien. Pelayanan akan memuaskan apabila pelayanan yang diberikan oleh
perawat sudah memenuhi harapan rata-rata pasien, sedangkan pasien akan merasa sangat
puas apabila pelayanan yang diberikan oleh perawat melebihi apa yang diharapkan pasien.
2.1.4.4 Indikator Kepuasan Kerja
Menurut Veithzal (2006:479) secara teoritis, faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
kepuasan kerja sangat banyak jumlahnya, seperti gaya kepemimpinan, produktivitas kerja,
perilaku, locus of control, pemenuhan harapan penggajian dan efektivitas kerja. Faktor-faktor
yang biasanya digunakan untuk mengukur kepuasan kerja seorang karyawan adalah sebagai
berikut :
1. Isi pekerjaan, penampilan tugas pekerjaan yang aktual dan sebagai kontrol terhadap
pekerjaan,
2. Supervisi,
3. Organisasi dan manajemen,
4. Kesempatan untuk maju,
5. Gaji dan keuntungan dalam bidang finansial lainnya seperti adanya insentif,
6. Rekan kerja,
7. Kondisi pekerjaan.
Selain itu, menurut Job Descriptive Index (JDI) faktor penyebab kepuasan kerja adalah
sebagai berikut :
1. Bekerja pada tempat yang tepat,
2. Pembayaran yang sesuai,
3. Organisasi dan manajemen,
4. Supervisi pada pekerjaan yang tepat,
5. Orang yang berada dalam pekerjaan yang tepat.
Salah satu cara untuk menentukan apakah pekerja puas dengan pekerjaannya ialah dengan
membandingkan pekerjaan mereka dengan beberapa pekerjaan ideal tertentu (teori
kesenjangan)
47

2.1.4.5 Faktor Yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja


Menurut Luthans (2006), Faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja akan dapat
diketahui dengan melihat beberapa hal yang dapat menimbulkan dan mendorong kepuasan
kerja yaitu:
1) Faktor Psikologis, merupakan faktor yang berhubungan dengan kejiwaan karyawan
yang meliputi minat, ketentraman dalam bekerja, sikap terhadap kerja, bakat dan
keterampilan.
2) Faktor Sosial, merupakan faktor yang berhubungan dengan interaksi sosial baik
sesama karyawan dengan atasan maupun karyawan yang berbeda jenis pekerjaannya.
3) Faktor Fisik, merupakan faktor yang berhubungan dengan kondisi fisik lingkungan
kerja dan kondisi fisik karyawan, meliputi jenis pekerjaan, pengaturan waktu dan
waktu istirahat, perlengkapan kerja, keadaan ruangan, suhu, penerangan, pertukaran
udara, kondisi kesehatan karyawan, umur dan sebagainya.
4) Faktor Finansial, merupakan faktor yang berhubungan dengan jaminan serta
kesejahteraan karyawan yang meliputi sistem dan besarnya gaji, jaminan sosial,
macam-macam tunjangan, fasilitas yang diberikan, promosi dan sebagainya.
Menurut Kreitner dan Kinicki (2001; 225) faktor yang mempengaaruhi kepuasan kerja yaitu
sebagai berikut :
1) Pemenuhan kebutuhan (Need fulfillment)
2) Kepuasan ditentukan oleh tingkatan karakteristik pekerjaan memberikan kesempatan
pada individu untuk memenuhi kebutuhannya.
3) Perbedaan (Discrepancies)
4) Kepuasan merupakan suatu hasil memenuhi harapan. Pemenuhan harapan
mencerminkan perbedaan antara apa yang diharapkan dan apa yang diperoleh individu
dari pekerjaannya. Bila harapan lebih besar dari apa yang diterima, orang akan tidak
puas. Sebaliknya individu akan puas bila menerima manfaat diatas harapan.
5) Pencapaian nilai (Value attainment)
6) Kepuasan merupakan hasil dari persepsi pekerjaan memberikan pemenuhan nilai kerja
individual yang penting.
7) Keadilan (Equity)
8) Kepuasan merupakan fungsi dari seberapa adil individu diperlakukan di tempat kerja.
9) Komponen genetik (Genetic components)
48

10) Kepuasan kerja merupakan fungsi sifat pribadi dan faktor genetik. Hal ini
menyiratkan perbedaan sifat individu mempunyai arti penting untuk menjelaskan
kepuasan kerja disampng karakteristik lingkungan pekerjaan.
Selain penyebab kepuasan kerja, ada juga faktor penentu kepuasan kerja. Diantaranya
adalah sebagi berikut :
1) Pekerjaan itu sendiri (work it self) Setiap pekerjaan memerlukan suatu keterampilan
tertentu sesuai dengan bidangnya masing-masing. Sukar tidaknya suatu pekerjaan
serta perasaan seseorang bahwa keahliannya dibutuhkan dalam melakukan pekerjaan
tersebut, akan meningkatkan atau mengurangi kepuasan.
2) Hubungan dengan atasan (supervision)
Kepemimpinan yang konsisten berkaitan dengan kepuasan kerja adalah tenggang rasa
(consideration). Hubungan fungsional mencerminkan sejauhmana atasan membantu
tenaga kerja untuk memuaskan nilai-nilai pekerjaan yang penting bagi tenaga kerja.
Hubungan keseluruhan didasarkan pada ketertarikan antar pribadi yang
mencerminkan sikap dasar dan nilai-nilai yang serupa, misalnya keduanya
mempunyai pandangan hidup yang sama. Tingkat kepuasan kerja yang paling besar
dengan atasan adalah jika kedua jenis hubungan adalah positif. Atasan yang memiliki
ciri pemimpin yang transformasional, maka tenaga kerja akan meningkat motivasinya
dan sekaligus dapat merasa puas dengan pekerjaannya.
3) Teman sekerja (workers)
Teman kerja merupakan faktor yang berhubungan dengan hubungan antara pegawai
dengan atasannya dan dengan pegawai lain, baik yang sama maupun yang berbeda
jenis pekerjaannya.
4) Promosi (promotion)
Promosi merupakan faktor yang berhubungan dengan ada tidaknya kesempatan untuk
memperoleh peningkatan karier selama bekerja.
5) Gaji atau upah (pay)
Merupakan faktor pemenuhan kebutuhan hidup pegawai yang dianggap layak atau
Menurut Mediawati (2000), menyebutkan bahwa puas atau tidak puasnya pasien
biasanya ditentukan oleh hal-hal meliputi mutu produk atau jasa, mutu pelayanan, harga,
waktu penyerahan, dan keamanan.
Semua faktor kepuasan pasien tersebut pada hakikatnya sangat berkaitan dan
ditentukan oleh mutu kerja para perawat, sehubungan dengan hal tersebut, pada dasarnya
kepuasan pasien dipengaruhi oleh faktor-faktor: teknologi, kemampuan kerja perawat,
49

kemauan perawat, dan lingkungan kerja perawat. Notoatmodjo (2003), berpendapat bahwa
faktor-faktor dasar yang mempengaruhi kepuasan yaitu :
1) Pengetahuan Tingkat pengetahuan seseorang dapat mempengaruhi prilaku individu,
yang mana makin tinggi tingkat pengetahuan seseorang tentang kesehatan, maka
makin tinggi untuk berperan serta.
2) Kesadaran Bila pengetahuan tidak dapat dipahami, maka dengan sendirinyatimbul
suatu kesadaran untuk berprilaku berpartisipasi
3) Sikap positif Sikap merupakan reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup
terhadap suatu stimulus atau objek. Sedangkan salah satu kompensasi dari sikap yang
positif adalah menerima (receiving), diartikan bahwa orang mau dan memperhatikan
stimulus yang diberikan.
4) Sosial ekonomi Pelayanan yang diberikan oleh perawat sesuai dengan biaya yang
telah dikeluarkan oleh pasien. Semakin tinggi biaya yang dikeluarkan oleh pasien
maka semakin baik pelayanan yang diberikan.
5) Sistem nilai Sistem nilai seseorang pasien sangat mempengaruhi seseorang pasien
untuk mempersepsikan pelayanan kesehatan yang diberikan.
6) Pemahaman pasien tentang jenis pelayanan yang akan diterimanya Tingkat
pemahaman pasien terhadap tindakan yang diberikan akan mempengaruhi tingkat
kepuasan seseorang terhadap tindakan.
7) Empati yang ditujukan oleh pemberi pelayanan kesehatan, sikap ini akan menyentuh
emosi pasien. Faktor ini akan berpengaruh terhadap tingkat kepatuhan pasien
(compliance).
Menurut Budiastuti (2002) mengemukakan bahwa pasien dalam mengevaluasi
kepuasan terhadap jasa pelayanan yang diterima mengacu pada beberapa faktor, yaitu:
1) Kualitas produk atau jasa
2) Pasien akan merasa puas bila hasil evaluasi mereka menunjukkan bahwa produk atau
jasa yang digunakan berkualitas. Persepsi konsumen terhadap kualitas produk atau
jasa dipengaruhi oleh dua hal yaitu kenyataan kualitas produk atau jasa yang
sesungguhnya dan komunikasi perusahan terutama iklan dalam mempromosikan
rumah sakitnya. Dalam hal pelayanan di rumah sakit aspek klinis, yaitu komponen
yang menyangkut pelayanan dokter, perawat dan terkait dengan teknis medis adalah
produk atau jasa yang dijual (Lusa, 2007).
3) Kualitas pelayanan
50

4) Kualitas pelayanan memegang peranan penting dalam industri jasa. Pelanggan dalam
hal ini pasien akan merasa puas jika mereka memperoleh pelayanan yang baik atau
sesuai dengan yang diharapkan. Mutu pelayanan kesehatan yang dapat menimbulkan
tingkat kepuasan pasien dapat bersumber dari faktor yang relatif spesifik, seperti
pelayanan rumah sakit, petugas kesehatan, atau pelayanan pendukung (Woodside,
1989). Prioritas peningkatkan kepuasan pasien adalah memperbaiki kualitas
pelayanan dengan mendistribusikan pelayanan adil, palayanan yang ramah dan sopan,
kebersihan, kerapian, kenyamanan dan keamanan ruangan serta kelengkapan,
kesiapan dan kebersihan peralatan medis dan non medis (Marajabessy, 2008).
5) Faktor emosional
6) Pasien yang merasa bangga dan yakin bahwa orang lain kagum terhadap konsumen
bila dalam hal ini pasien memilih rumah sakit yang sudah mempunyai pandangan
“rumah sakit mahal”, cenderung memiliki tingkat kepuasan yang lebih tinggi. Selain
itu, pengalaman juga berpengaruh besar terhadap emosional pasien terhadap suatu
pelayanan kesehatan (Robert dan Richard, 1991). Perasaan itu meliputi senang karena
pelayanan yang menyenangkan, terkejut karena tak menduga mendapat pelayanan
yang sebaik itu, rasa tidak menyenangkan dan kekecewaan terhadap suatu pelayanan
tertentu sangat mempengaruhi pemilihan terhadap rumah sakit.
7) Harga
8) Harga merupakan aspek penting, namun yang terpenting dalam penentuan kualitas
guna mencapai kepuasan pasien. Meskipun demikian elemen ini mempengaruhi
pasien dari segi biaya yang dikeluarkan, biasanya semakin mahal harga perawatan
maka pasien mempunyai harapan yang lebih besar. Sedangkan rumah sakit yang
berkualitas sama tetapi berharga murah, memberi nilai yang lebih tinggi pada pasien.
9) Biaya
10) Mendapatkan produk atau jasa, pasien yang tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan
atau tidak perlu membuang waktu untuk mendapatkan jasa pelayanan, cenderung puas
terhadap jasa pelayanan tersebut. Menurut, Lusa (2007) , biaya dapat dijabarkan
dalam pertanyaan kewajaran biaya, kejelasan komponen biaya, biaya pelayanan,
perbandingan dengan rumah sakit yang sejenis lainnya, tingkat masyarakat yang
berobat, ada tidaknya keringanan bagi masyarakat miskin,dan sebagainya. Selain itu,
efisiensi dan efektivitas biaya, yaitu pelayanan yang murah, tepat guna, tidak ada
diagnosa dan terapi yang berlebihan juga menjadi pertimbangan dalam menetapkan
biaya perawatan.
51

Menurut Malayu S.P. Hasibuan (2004:203) kepuasan kerja karyawandipengaruhi oleh faktor-
faktor :
1.Balas jasa yang layak dan adil
2.Penempatan yang tepat sesuai dengan keahlian
3.Berat-ringannya pekerjaan
4.Suasana dan lingkungan pekerjaan
5.Peralatan yang menunjang pelaksanaan pekerjaan
6.Sikap pemimpin dalam kepemimpinannya
7.Sifat pekerjaan monoton atau tidak
Menurut Stephen Robbins (2003:108) ada empat faktor yang kondusif bagi tingkat kepuasan
kerja karyawan yang tinggi, yaitu :
a.Pekerjaan yang secara mental menantang
Orang lebih menyukai pekerjaan-pekerjaan yang memberi mereka peluanguntuk
menggunakan keterampilan dan kemampuan mereka dan menawarkansatu varietas tugas,
kebebasan dan umpan balik tentang seberapa baiknyamereka melakukan itu. Karakteristik-
karakteristik ini membuat pekerjaanmenjadi menantang secara mental
b.Imbalan yang wajarKaryawan menginginkan sistem panggajian yang mereka anggap
tidak ambigu, dan sejalan dengan harapan mereka. Bila pembayaran itu kelihatanadil
berdasarkan pada permintaan pekerjaan, tingkat keterampilan individu,dan standar
pembayaran masyarakat, kepuasan mungkin dihasilkan.
c.Kondisi lingkungan kerja yang mendukungkaryawan merasa prihatin dengan kondisi
lingkungan kerja mereka jikamenyangkut masalah kenyamanan pribadi maupun masalah
kemudahan untuk dapat bekerja dengan baik. Banyak studi yang menunjukan bahwa para
karyawanlebih menyukaii lingkungan fisik yang tidak berbahaya atau yang nyaman.
Selainitu kebanyakan karyawan lebih suka bekerja tidak jauh dari rumah, dalam
fasilitasyang bersih dan relatif modern, dengan alat dan perlengkapan yang memadai.
d.Rekan kerja yang suportif Dari bekerja orang mendapatkan lebih dari sekedar uang atau
prestasi-prestasi yang berwujud, bagi sebagain karyawan kerja juga dapat
mengisikebutuhan akan interaksi social. Oleh karena itu, tidak heran jika seorangkaryawan
memiliki rekan kerja yang suportif dan bersahabat dapat meningkatkankepuasan kerja
mereka.
Perilaku dari bos seseorang juga merupakan penentu utama kepuasan.Studi-studi
umumnya menemukan bahwa kepuasan kerja ditingkatkan bikapenyelia langsung memahami
dan secara bersahabat, memberikan pujian ataskinerja yang baik, mendengarkan pendapat
52

karyawan, dan menunjukan minatpribadi terhadap mereka.Kepuasan kerja dapat dirumuskan


sebagai respons umum pekerja berupaperilaku yang ditampilkan oleh karyawan sebagai
hasil persepsi mengenai hal-halyang berkaitan dengan pekerjaannya.
Seorang pekerja yang masuk dan bergabungdalam suatu organisasi/institusi/perusahaan
mempunyai seperangkat keinginan,kebutuhan , hasrat dan pengalaman masa lalu yang
menyatu dan membentuk suatuharapan yang diharapkan dapat dipenuhi di tempatnya bekerja.
Kepuasan kerjaakan didapat apabila ada kesesuaian antara harapan pekerja dengan
kenyataanyang ditemui dan didapatkannya dari tempatnya bekerja.Edwin B. Flippo
(1995:116), mengemukakan mengenai beberapakeinginan karyawan dalam suatu organisasi,
yaitu ;
(a) Upah,
(b) Keterjaminan Pekerjaan,
(c) Teman-teman sekerja yang menyenangkan,
(d) Penghargaan atas pekerjaan yang dilakukan,
(e) Pekerjaan yang berarti,
(f) Kesempatan untuk maju,
(g) Kondisi kerja yang nyaman,
(h) Kepemimpinan yang mampu dan adil,
(i) Perintah dan pengarahan yang masuk akal,
(j) Suatu organisasi yang relevan secara sosial.

2.1.4.5. Korelasi Kepuasan Kerja


Hubungan antara kepuasan kerja dengan variabel lain dapat bersifat positif atau negatif.
Kekuatan hubungan mempunyai rentang dari lemah dampai kuat. Menurut Kreitner dan
Kinicki (2001;226) Hubungan yang kuat menunjukkan bahwa atasan dapat mempengaruhi
dengan signifikan variabel lainnya dengan meningkatkan kepuasan kerja. Beberapa korelasi
kepuasan kerja sebagai berikut :
1) Motivasi
Antara motivasi dan kepuasan kerja terdapat hubungan yang positif dan signifikan.
Karena kepuasan dengan pengawasan/supervisi juga mempunyai korelasi signifikan
dengan motivasi, atasan/manajer disarankan mempertimbangkan bagaimana perilaku
mereka mempengaruhi kepuasan pekerja sehingga mereka secara potensial dapat
meningkatkan motivasi pekerja melalui berbagai usaha untuk meningkatkan kepuasan
kerja.
53

2) Pelibatan Kerja
Hal ini menunjukkan kenyataan dimana individu secara pribadi dilibatkan dengan peran
kerjanya. Karena pelibatan kerja mempunyai hubungan dengan kepuasan kerja, dan
peran atasan/manajer perlu didorong memperkuat lingkungan kerja yang memuaskan
untuk meningkatkan keterlibatan kerja pekerja.
3) Organizational citizenship behavior
Merupakan perilaku pekerja di luar dari apa yang menjadi tugasnya.
4) Organizational commitment
Mencerminkan tingkatan dimana individu mengidentifikasi dengan organisasi dan
mempunyai komitmen terhadap tujuannya. Antara komitmen organisasi dengan kepuasan
terdapat hubungan yang siknifikan dan kuat, karena meningkatnya kepuasan kerja akan
menimbulkan tingkat komitmen yang lebih tinggi. Selanjutnya komitmen yang lebih
tinggi dapat meningkatkan produktivitas kerja.
5) Ketidakhadiran (Absenteisme)
Antara ketidakhadiran dan kepuasan terdapat korelasi negatif yang kuat. Dengan kata
lain apabila kepuasan meningkat, ketidakhadiran akan turun.
6) Perputaran (Turnover)
Hubungan antara perputaran dengan kepuasan adalah negatif. Dimana perputaran dapat
mengganggu kontinuitas organisasi dan mahal sehingga diharapkan atasan/manajer dapat
meningkatkan kepuasan kerja dengan mengurangi perputaran.
7) Perasaan stres
Antara perasaan stres dengan kepuasan kerja menunjukkan hubungan negatif dimana
dengan meningkatnya kepuasan kerja akan mengurangi dampak negatif stres.
8) Prestasi kerja/kinerja
Terdapat hubungan positif rendah antara kepuasan dan prestasi kerja. Dikatakan
kepuasan kerja menyebabkan peningkatan kinerja sehingga pekerja yang puas akan lebih
produktif. Di sisi lain terjadi kepuasan kerja disebabkan oleh adanya kinerja atau prestasi
kerja sehingga pekerja yang lebih produktif akan mendapatkan kepuasan

2.1.4.6. Pengaruh Kepuasan Kerja


1) Terhadap Produktivitas
Orang berpendapat bahwa produktivitas dapat dinaikkan dengan
meningkatkan kepuasan kerja. Kepuasan kerja mungkin merupakan akibat dari
produktivitas atau sebaliknya. Produktivitas yang tinggi menyebabkan peningkatan
54

dari kepuasan kerja hanya jika tenaga kerja mempersepsikan bahwa apa yang telah
dicapai perusahaan sesuai dengan apa yang mereka terima (gaji/upah) yaitu adil dan
wajar serta diasosiasikan dengan performa kerja yang unggul. Dengan kata lain bahwa
performansi kerja menunjukkan tingkat kepuasan kerja seorang pekerja, karena
perusahaan dapat mengetahui aspek-aspek pekerjaan dari tingkat keberhasilan yang
diharapkan.
2) Ketidakhadiran (Absenteisme)
Menurut Porter dan Steers, ketidakhadiran sifatnya lebih spontan dan kurang
mencerminkan ketidakpuasan kerja. Tidak adanya hubungan antara kepuasan kerja
dengan ketidakhadiran. Karena ada dua faktor dalam perilaku hadir yaitu motivasi
untuk hadir dan kemampuan untuk hadir. Sementara itu menurut Wibowo (2007:312)
“antara kepuasan dan ketidakhadiran/kemangkiran menunjukkan korelasi negatif”.
Sebagai contoh perusahaan memberikan cuti sakit atau cuti kerja dengan bebas tanpa
sanksi atau denda termasuk kepada pekerja yang sangat puas.
3) Keluarnya Pekerja (Turnover)
Sedangkan berhenti atau keluar dari pekerjaan mempunyai akibat ekonomis yang
besar, maka besar kemungkinannya berhubungan dengan ketidakpuasan kerja.
Menurut Robbins (1998), ketidakpuasan kerja pada pekerja dapat diungkapkan dalam
berbagai cara misalnya selain dengan meninggalkan pekerjaan, mengeluh,
membangkang, mencuri barang milik perusahaan/organisasi, menghindari sebagian
tanggung jawab pekerjaan mereka dan lainnya.
4) Respon terhadap Ketidakpuasan Kerja
Menurut Robbins (2003) ada empat cara tenaga kerja mengungkapkan ketidak puasan
yaitu:
a) Keluar (Exit) yaitu meninggalkan pekerjaan termasuk mencari pekerjaan lain.
b) Menyuarakan (Voice) yaitu memberikan saran perbaikan dan mendiskusikan
masalah dengan atasan untuk memperbaiki kondisi.
c) Mengabaikan (Neglect) yaitu sikap dengan membiarkan keadaan menjadi
lebih buruk seperti sering absen atau semakin sering membuat kesalahan.
d) Kesetiaan (loyality) yaitu menunggu secara pasif samapi kondisi menjadi lebih
baik termasuk membela perusahaan terhadap kritik dari luar.
55

2.1.4.7. Meningkatkan Kepuasan Kerja


Menurut Riggio (2005), peningkatan kepuasan kerja dapat dilakukan dengan cara
sebagai berikut:
1) Melakukan perubahan struktur kerja, misalnya dengan melakukan perputaran
pekerjaan (job rotation), yaitu sebuah sistem perubahan pekerjaan dari salah satu tipe
tugas ke tugas yang lainnya (yang disesuaikan dengan job description). Cara kedua
yang harus dilakukan adalah dengan pemekaran (job enlargement), atau perluasan
satu pekerjaan sebagai tambahan dan bermacam-macam tugas pekerjaan. Praktik
untuk para pekerja yang menerima tugastugas tambahan dan bervariasi dalam usaha
untuk membuat mereka merasakan bahwa mereka adalah lebih dari sekedar anggota
dari organisasi.
2) Melakukan perubahan struktur pembayaran, perubahan sistem pembayaran ini
dilakukan dengan berdasarkan pada keahliannya (skill-based pay), yaitu pembayaran
dimana para pekerja digaji berdasarkan pengetahuan dan keterampilannya daripada
posisinya di perusahaan. Pembayaran kedua dilakukan berdasarkan jasanya (merit
pay), sistem pembayaran dimana pekerja digaji berdasarkan performancenya,
pencapaian finansial pekerja berdasarkan pada hasil yang dicapai oleh individu itu
sendiri. Pembayaran yang ketiga adalah Gainsharing atau pembayaran berdasarkan
pada keberhasilan kelompok (keuntungan dibagi kepada seluruh anggota kelompok).
3) Pemberian jadwal kerja yang fleksibel, dengan memberikan kontrol pada para pekerja
mengenai pekerjaan sehari-hari mereka, yang sangat penting untuk mereka yang
bekerja di daerah padat, dimana pekerja tidak bisa bekerja tepat waktu atau untuk
mereka yang mempunyai tanggung jawab pada anak-anak. Compressed work week
(pekerjaan mingguan yang dipadatkan), dimana jumlah pekerjaan per harinya
dikurangi sedang jumlah jam pekerjaan per hari ditingkatkan. Para pekerja dapat
memadatkan pekerjaannya yang hanya dilakukan dari hari Senin hingga Jum’at,
sehingga mereka dapat memiliki waktu longgar untuk liburan. Cara yang kedua
adalah dengan sistem penjadwalan dimana seorang pekerja menjalankan sejumlah jam
khusus per minggu (Flextime), tetapi tetap mempunyai fleksibilitas kapan mulai dan
mengakhiri pekerjaannya.
4) Mengadakan program yang mendukung, perusahaan mengadakan program-program
yang dirasakan dapat meningkatkan kepuasan kerja para karyawan, seperti; health
center, profit sharing, dan employee sponsored child care
56

2.1.4.8. Konsekuensi dari Ketidakpuasan Dan Kepuasan Kerja


Kepuasan kerja karyawan memberikan sejumlah konsekuensi ketika karyawan puas
dengan pekerjaan mereka dan juga konsekuensi ketika karyawan tidak puas dari pekerjaan
mereka. Ketidakpuasan kerja yang dialami oleh karyawan dapat ditunjukkan dalam beberapa
perilaku, Robbins dan Judge (2008) menjelaskan beberapa konsekuensi dari ketidakpuasan
kerja dalam sebuah kerangka sebagai berikut :
1) Keluar : perilaku yang ditujukan untuk meninggalkan organisasi, termasuk mencari
posisi baru dan mengundurkan diri
2) Aspirasi : perilaku yang ditujukan dengan secara aktif dan konstruktif berusaha
memperbaiki kondisi, termasuk menyarankan perbaikan, mendiskusikan masalah
dengan atasan dan beberapa bentuk aktivitas serikat kerja.
3) Kesetiaan : secara pasif tetapi optimistis menunggu membaiknya kondisi, termasuk
membela organisasi dan manajemennya untuk melakukan perbaikan atau hal-hal yang
seharusnya dilakukan.
4) Pengabaian : secara pasif membiarkan kondisi menjadi lebih buruk, termasuk
ketidakhadiran atau keterlambatan yang terus-menerus, kurangnya usaha, dan
meningkatnya angka kesalahan. Perilaku keluar dan pengabaian akan berpengaruh
dengan variabel-variabel kinerja organisasi seperti produktivitas, ketidakhadiran, dan
perputaran karyawan. Konsekuensi dari kepuasan kerja tentu akan menguntungkan
bagi organisasi.
Beberapa penelitian telah dilakukan bahwa kepuasan kerja berpengaruh positif terhadap
beberapa variabel kinerja, diantaranya:

2.1.4.8.1 Kepuasan Kerja dan Kinerja


Judge, et al. dalam Robbins dan Judge (2008), melakukan tinjauan dari 300 penelitian
tentang hubungan kepuasan kerja terhadap kinerja, tinjauan tersebut menunjukkan bahwa
korelasi antara kepuasan kerja dan kinerja cukup kuat. Organisasi yang memiliki karyawan
yang lebih puas cenderung lebih efektif dibandingkan organisasi yang memiliki karyawan
yang kurang puas.

2.1.3.7.2. Kepuasan dan Motivasi


Suatu penelitian meta analisis yang dilakukan oleh Kinicki, et al. dalam Robbins dan
Judge (2008), meliputi sembilan hasil analisis yang melibatkan 2.237 orang pekerja
mengungkapkan ada hubungan yang positif dan signifikan antara motivasi dan kepuasan
57

kerja. Karena kepuasan dengan pengawasan berkorelasi secara signifikan dengan motivasi,
para manager disarnkan untuk mempertimbangkan bagaimana perilaku mereka
mempengaruhi kepuasan kerja. Para manager secara potensial meningkatkan motivasi para
karyawan melalui berbagai usaha untuk meningkatkan kepuasan kerja.

2.1.4.8.2. Kepusan Kerja dan Keterlibatan dalam Pekerjaan


Keterlibatan dalam pekerjaan merupakan keterlibatan individu dengan peran dalam
pekerjaannya. Suatu meta analisis yang melibatkan 27.925 responden dari 87 penelitian yang
berbeda menunjukkan bahwa keterlibatan dalam pekerjaan memiliki keterkaitan dengan
kepuasan kerja (S, P, Brown dalam Robbins dan Judge, 2008).

2.1.4.8.3. Kepuasan Kerja dengan OCB


Kepuasan kerja dianggap sebagai prediktor kuat yang mempengaruhi organizational
citizenship behavior (OCB). Berdasarkan meta analisis yang mencakup 6.746 orang yang
terdiri dari 28 penelitian terpisah mengungkapkan adanya hubungan yang positif dan
signifikan antara perilaku sebagai anggota organisasi yang baik dengan kepuasan (Organ dan
Ryan, 1995) dalam Robbins dan Judge (2008). Robbins dan Judge (2008) menyatakan bahwa
adalah logis menganggap kepuasan sebagai predictor utama OCB, karena karyawan yang
puas cenderung akan berbicara positif mengenai organisais, membantu individu lain, dan
melewati harapan normal dalam pekerjaan mereka. Selain itu, karyawan yang puas mungkin
akan memberikan peran yang lebih karena merespon pengalaman positif mereka. Hal tersebut
juga sejalan dengan hasil penelitian Qamar (2012) yang menyatakan bahwa terdapat
hubungan signifikan antara kepuasan kerja dan komitmen organisasi dengan OCB. Kepuasan
kerja memiliki hubungan moderasi positif sedangkan komitmen organisasi memiliki
hubungan signifikan yang kuat terhadap OCB.

2.1.4.8.4. Kepuasan kerja dengan Komitmen


Organisasi Komitmen organisasi mencerminkan bagaimana individu
mengidentifikasikan dirinya dengan organisasi dan terikat dengan tujuantujuannya. Sebuah
meta analisis dari 68 penelitian mengungkapkan adanya hubungan yang kuat antara
komitmen dan kepuasan kerja (Tett dan Meyer, 1993). Para manager disarankan untuk
meningkatkan kepuasan kerja dengan tujuan mendapatkan tingkat komitmen yang lebih
tinggi. Maka manajemen seharusnya mendorong terciptanya sebuah atmosfer kerja dimana
karyawan merasa puas dengan pekerjaannya dan berkomitmen kepada organisasi.
58

Beberapa konsekuensi lainnya dari kepuasan kerja menurut Robbins dan Judge (2008)
adalah kepuasan kerja dengan ketidakhadiran. Hal ini logis jika karyawan yang tidak puas
dengan pekerjaannya akan cenderung melalaikan pekerjaannya karena alasan-alasan yang
membuat dia tidak puas terhadap pekerjaannya. Selanjutnya kepuasan Kerja dengan
perputaran karyawan. Karyawan yang tidak puas akan cenderung berusaha meninggalkan
pekerjaannya dan mencari pekerjaan lain yang dirasa lebih menarik. Selanjutnya kepuasan
kerja karyawan dengan kepuasan pelanggan. Karyawan yang puas dengan pekerjaanya akan
cenderung bekerja dengan sepenuh hati dan melakukan pekerjaannya dengan sebaik
mungkin, hal ini tentu akan memberikan dampak yang baik bagi kepuasan pelanggan.
Terakhir kepuasan kerja dengan perilaku menyimpang (indisiplin) karyawan. Seperti yang
telah dijelaskan sebelumnya, karyawan yang tidak puas terhadap pekerjaannya mungkin saja
menujukkan perilaku-perilaku untuk mengekspresikan ketidakpuasannya, salah satunya ialah
dengan melakukan penyimpangan-penyimpangan.
Menurut Strauss dan Sayles (dalam Handoko, 2001) kepuasan kerja juga penting
untuk aktualisasi, karyawan yang tidak memperoleh kepuasan kerja tidak akan pernah
mencapai kematangan psikologis, dan pada gilirannya akan menjadi frustasi. Karyawan yang
seperti ini akan sering melamun, mempunyai semangat kerja yang rendah, cepat lelah dan
bosan, emosi tidak stabil, sering absen dan melakukan kesibukan yang tidak ada
hubungannya dengan pekerjaan yang harus dilakukan.

Anda mungkin juga menyukai