Anda di halaman 1dari 14

TUGAS MAKALAH

EVOLUSI
(ABKC 2605)

“EVOLUSI BERUANG MADU”

Disusun oleh :
Muhammad Agus Sarpani
(1610119210009)

Dosen pengasuh :
Dr. Dharmono, M. Si
Mahrudin, S. Pd., M. Pd
Maulana Khalid Riefani, S. Si., M. Sc

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI


JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN IPA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARMASIN
MEI
2019
KATA PENGANTAR

Assalmu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh.


Puji syukur saya panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas
limpahan nikmat dan karunia-Nya, sehingga saya dapat membuat dan
menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Meskipun masih jauh dari
kesempurnaan, karena sebagaimana kita ketahui bahwa kesempurnaan hanyalah
milik-Nya. Dengan segenap upaya dan usaha, saya berharap makalah ini dapat
memberikan sedikit ilmu bagi orang yang membacanya. Sholawat dan salam
semoga selalu terlimpahkan kepada baginda Rasulullah Muhammad SAW.
Beserta keluarga dan pengikut beliau hingga yaumil Akhir.
Penyusun menyadari dalam penyajian makalah ini tidak terlepas dari
kekurangan. Oleh karena itu, saya memohon kepada para pembaca untuk dapat
memberikan tanggapan atau masukan maupun saran yang sifatnya membangun
agar makalah ini menjadi lebih baik lagi.
Akhir kata, penyusun mengucapkan terima kasih kepada dosen pengasuh
dan teman-teman yang telah memberikan dorongan yang sangat berarti kepada
penyusun dalam pembuatan makalah ini.

Banjarmasin, Mei 2019

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i


DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
1.1 Latar belakang .......................................................................................... 1
1.2 Rumusan masalah ..................................................................................... 1
1.3 Tujuan penulisan ...................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................ 2
2.1 Sejarah Evolusi Beruang Madu ................................................................ 2
2.2 Proses Spesiasi Beruang Madu................................................................. 4
BAB III PENUTUP .............................................................................................. 10
3.1 Kesimpulan ............................................................................................. 10
3.2 Saran ....................................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 11

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Beruang madu (Helarctos malayanus) merupakan jenis beruang
terkecil yang tersebar di beberapa negara bagian Asia Tenggara dan Asia
Selatan, yaitu Thailand, Myanmar, Malaysia, Indonesia, Laos, Kamboja,
Vietnam, Bangladesh dan India. Di Indonesia beruang ini dapat ditemukan
di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Namun saat ini jenis beruang ini telah
mengalami banyak tekanan dan eksploitasi baik di Indonesia maupun di
negara lain. (Augeri, 2005).
Evolusi merupakan kata yang umum dipakai orang untuk menunjuk
adanya perubahan, perkembangan atau pertumbuhan secara berangsur-
angsur. Perubahan tersebut dapat terjadi karena pengaruh alam atau
rekayasa manusia. Teori evolusi sesungguhnya adalah sebuah hipotesis
tentang asal-usul mahluk hidup. Fakta bahwa banyak jenis mahluk hidup
yang ada disaat sekarang tidak dijumpai pada kehidupan di masa jutaan
bahkan milyaran tahun yang lalu (Widodo,2002).

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana sejarah evolusi beruang madu ?
2. Bagaimana proses spesiasi yang terjadi pada beruang madu ?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Mendeskripsikan sejarah evolusi beruang madu.
2. Menguraikan proses spesiasi beruang madu.

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Evolusi Beruang Madu


Suku Ursidae merupakan keturunan dari nenek moyang predator
pemanjat pohon (Miacidae) yang memiliki ukuran tubuh lebih kecil pada 25
juta tahun yang lalu (Herrero, 1999). Kedelapan jenis beruang modern saat
ini berasal dari Ursavus, yang berasal dari kawasan sub tropis Eropa pada
periode Miocene lebih dari 20 juta tahun yang lalu (Craighead, 2000). Ward
dan Kynaston (1995) menyatakan pada zaman Miocene tersebut, Ursavus
mengalami peningkatan ukuran tubuh dan mengalami pertumbuhan bentuk
gigi dari pemakan binatang (faunivorous) menjadi bentuk gigi yang seperti
sekarang dengan geraham yang melebar dan lebih datar. Menurut Augeri
(2005) perubahan bentuk gigi tersebut menjadikan beruang saat ini
frugivoirous dan herbivorous.

Gambar 1. Pohon Evolusi Beruang


Terdapat tiga jalur evolusi utama beruang modern yang berasal dari
Ursavus/Uraide (gambar 1). Panda merupakan jenis beruang modern yang
paling tua (Gittleman, 1999) yang terpisah dari Ursavus dan diturunkan dari
Agriarctos sekitar 20 juta tahun yang lalu (Ward dan Kynaston, 1995). Hasil

2
analisis molekuler diketahui bahwa Tremarctos ornatus merupakan beruang
modern tertua kedua (Waits dkk, 1999) yang terpisah dari Ursavus
elemensis sekitar 14 juta tahun yang lalu (Ward dan Kynaston 1995), saat
ini beruang tersebut hanya ditemukan di Amerika Selatan (Nowak, 1991).
Keturunan langsung dari jalur ketiga yang merupakan anak suku
Ursinae atau beruang ursine sejati adalah Protursus yang diturunkan dari U.
elemensis pada 12-10 juta tahun yang lalu. Sedangkan Ursus minimus yang
merupakan beruang ursine sejati pertama diturunkan dari Protorsus pada 5
juta tahun yang lalu (Ward dan Kynaston, 1995). Menurut Craighead (2000)
beruang madu yang hidup di Asia Tenggara adalah berasal dari garis
keturunan utama U. minimus sekitar satu juta tahun yang lalu setelah
Melursus ursinus (sloth bear) bercabang, tetapi filogenetik dari beruang
madu dalam Ursidae belum terlalu jelas. Hasil analisis mtDNA oleh Zhang
dan Ryder (1994) terindikasi bahwa beruang madu dan beruang hitam
Amerika (Ursus americanus) terpisah secara bersamaan setelah Melursus
ursinus dan kemudian menurunkan beruang hitam asia (Ursus thibetanus).
Beruang madu memiliki hubungan yang paling dekat dengan U. americanus
yang diketahui dari urutan DNA dari bagian lingkar D (D-loop), cytochrom
b, 12S rRNA, tRNApro dan tRNAthr (Zhang dan Ryder, 1994).
Namun Goldman dkk (1989) menyatakan bahwa jarak genetik antara
Helarctos malayanus dengan U. arctos (beruang cokelat himalaya) sebesar
0,026 yang lebih dekat daripada antara Helarctos malayanus dengan U.
thibethinus (0,037) dan antara Helarctos malayanus dengan M. ursinus
(0,050). Sehingga antara Helarctos malayanus dengan M. ursinus memiliki
perbedaan morfologi yang telah beradaptasi selama 5-7 juta tahun yang lalu.
Terdapat beberapa perbedaan pendapat mengenai marga Helarctos
bagi beruang madu. Meijaard (2004) menyatakan bahwa beruang madu
seharusnya termasuk dalam marga Ursus dengan nama spesies Ursus
malayanus. Berdasarkan variasi craniometrik dari spesimen beruang madu
di Asia Tenggara beruang madu di Borneo merupakan anak jenis tersendiri
dan mengusulkan nama Ursus malayanus euryspilus. Spesimen beruang

3
madu Borneo memiliki tubuh yang lebih kecil dan barisan gigi yang lebih
panjang. Sedangkan spesimen yang berasal dari Sumatera, Semenanjung
Malaysia dan Asia daratan tidak memiliki perbedaan yang signifikan dan
disebut Ursus malayanus malayanus. Namun Augeri (2005) menyatakan
bahwa dalam studi tersebut, jumlah dan jenis kelamin dari beruang madu
Borneo sangat terbatas. Selain itu variasi cranial bukanlah satu-satunya
pertimbangan taksonomi bagi pemisahan subspesies, pada Ursidae yang
paling utama adalah besarnya derajat perbedaan morfologi, variasi fisiologi
dan kemampuan reproduksi untuk menghasilkan keturunan yang fertil.

2.2 Proses Spesiasi Beruang Madu


Spesies baru dapat terbentuk dengan dua cara yang berbeda. Pada
evolusi vertical, atau anagenesis; suatu spesies secara bertahap menjadi
begitu berbeda dari bentukan awalnya sehingga pada akhirnya suatu spesies
baru tercipta. Proses ini mungkin saja terjadi berulang – ulang kali ,
melewati jutaan tahun sehingga spesies melalui beragam bentuk yang
berbeda menggantikan posisi pendahulunya. Sedangkan bentuk kedua yang
lebih umum terjadi dari spesiasi disebut kladiogenesis. Proses ini terjadi
ketika suatu spesies awal mulai mengalami percabangan menjadi sejumlah
galur genetic yang berbeda. Pada akhirnya masing – masing galur tersebut
berkembang menjadi spesies - spesies baru,
Begitu juga pada beruang, keanekaragaman beruang saat ini diyakini
bahwa pada awalnya beruang tersebut memiliki satu nenek moyang yang
sama. Jika ditinjau dari teori asal muasal keanekaragaman, keanekaragaman
pada beruang terjadi lebih mengarah kepada teori kladiogenesis. Proses ini
terjadi ketika suatu spesies awal mulai mengalami percabangan menjadi
sejumlah galur genetik yang berbeda. Pada beruang saat ini terdapat 2
spesies beruang yang memiliki fenotif yang nampak jelas berbeda. Spesies
beruang tersebut adalah beruang madu (Helarctos malayanus) dan beruang
kutub (Ursus maritimus) (gambar 2). Keduanya termasuk dalam famili
Ursidae. Perbedaan yang sangat mencolok pada beruang tersebut adalah

4
warna rambut kedua beruang tersebut yaitu hitam untuk beruang madu dan
putih untuk beruang kutub. Terjadinya spesiasi tersebut tentunya tidak serta
merta secara kebetulan terbentuk dengan sendirinya tentunya terdapat
penjelasan ilmiah yang dapat menjelaskan terjadinya hal tersebut.

Gambar 2. Beruang Madu dan Beruang Kutub


Proses spesiasi pada beruang dapat dijelaskan dengan teori adanya
jalur yang terpisah. Agar suatu spesies asli mengalami pemisahan galur –
galur yang terpisah haruslah terisolasi dalam cara yang dapat mencegah
mereka saling kawin. Mekanisme – mekanisme isolasi yang paling jelas
adalah penghalang fisik (physical barrier), seperti laut, pegunungan, yang
mampu merintangi aliran genetic diantara populasi – populasi yang berbeda
dari suatu spesies. Jika ditinjau dari salah satu syarat terjadinya spesiasi,
spesiasi pada beruang ini melalui beberapa tahapan isolasi dan berkaitan
dengan kondisi lingkungan (bumi) pada awalnya.
Pada awalnya nenek moyang beruang hidup secara 1 kelompok besar
di muka bumi ini. Dalam kondisi ini masih belum terjadi pemisahan galur –
galur (artinya belum terjadi suatu isolasi) sehingga kelompok ini masih
murni nenek moyang beruang. Dengan adanya perubahan lingkungan
misalnya bencana alam seperti glasiasi, vulkanisme, atau akibat pergesaran
benua, dan proses-proses lainnya menyebabkan perubahan global
menyebabkan suatu sekat antara kelompok – kelompok nenek moyang
beruang yang terpisah ini. Suatu spesies selalu menempati relung tertentu.
Suatu relung umumnya hanya dapat ditempati oleh satu jenis spesies saja.

5
Dalam hal ini setelah terjadi perubahan lingkungan, kelompok nenek
moyang beruang mengisi relung – relung di muka bumi ini untuk hidup dan
berkembang biak. Keberhasilan suatu organisme mengisi relung ditentukan
oleh seberapa besar kecocokan organisme tersebut dalam lingkungan
tersebut. Dan sekarang kita tahu bahwa habitat kedua beruang (beruang
madu (Helarctos malayanus) dan beruang kutub (Ursus maritimus)) sangat
berbeda. Habitat beruang madu terdapat di daerah hujan tropis Asia
Tenggara sedangkan beruang kutub terdapat di sekitar benua paling utara
bumi, yaitu benua Artik.
Mayoritas para ahli biologi berpandangan bahwa faktor awal dalam
proses spesiasi adalah pemisahan geografis, karena selama populasi dari
spesies yang sama masih dalam hubungan langsung maupun tidak langsung
gene flow masih dapat terjadi, meskipun berbagai populasi di dalam sistem
dapat menyimpang di dalam beberapa sifat sehingga menyebabkan variasi
intraspesies. Jika populasi yang semula kontinyu dipisahkan oleh geografis
sehingga terbentuk hambatan bagi penyebaran spesies, maka populasi yang
demikian tidak akan lagi bertukar susunan gennya dan evolusinya
berlangsung secara sendiri-sendiri. Seiring dengan berjalannya waktu, kedua
populasi tersebut akan makin berbeda sebab masing-masing menjalani
evolusi dengan caranya masing-masing.
Spesiasi pada beruang juga dapat dikatakan sebagai spesiasi non
simpatri. Spesiasi non simpatri adalah proses spesiasi yang terdapat dalam
area geografi yang berbeda dibandingkan dengan area geografi suatu spesies
yang paling berkerabat. Spesiasi tidak simpatri dapat dibagi tiga, yaitu
spesiasi alopatri (spesiasi yang terjadi di daerah yang berjauhan atau
berlainan dari satu spesies yang paling dekat hubungan kekerabatannya),
spesiasi parapatri (spesiasi terjadi di daerah yang bersebelahan dengan
daerah dari suatu spesies yang paling dekat hubungan kekerabatannya),
spesiasi peripatri (spesiasi yang terjadi di daerah pinggir dari daerah suatu
spesies yang paling dekat hubungan kekerabatannya).

6
Spesiasi secara alopatri pada beruang dapat dicontohkan dalam kasus
tupai antelope di Grand Canyon. Di mana pada tebing selatan hidup tupai
antelope harris (Ammospermophillus harris). Beberapa mil dari daerah itu
pada sisi tebing utara hidup tupai antelope berekor putih harris
(Ammospermophillus leucurus), yang berukuran sedikit lebih kecil dan
memiliki ekor yang lebih pendek dengan warna putih di bawah ekornya.
Ternyata di situ semua burung-burung dan organisme lain dapat dengan
mudah menyebar melewati ngarai ini, tetapi tidak dapat dilewati oleh kedua
jenis tupai ini.
Pengaruh isolasi geografis dalam spesiasi dapat terjadi karena adanya
pencegahan gene flow antara dua sistem populasi yang berdekatan akibat
faktor ekstrinsik (geografis). Setelah kedua populasi berbeda terjadi
pengumpulan perbedaan dalam rentang waktu yang cukup lama sehingga
dapat menjadi mekanisme isolasi instrinsik. Isolasi instrinsik dapat
mencegah bercampurnya dua populasi atau mencegah interbreeding jika
kedua populasi tersebut berkumpul kembali setelah batas pemisahan tidak
ada.
Perubahan waktu yang terjadi pada isolasi geografis menyebabkan
terjadinya isolasi reproduktif sehingga menghasilkan dua spesies yang
berbeda. Pada awalnya isolasi reproduksi muncul sebagai akibat adanya
faktor geografis, yang sebenarnya populasi tersebut masih memiliki potensi
untuk melakukan interbreeding dan masih dapat dikatakan sebagai satu
spesies. Kemudian kedua populasi tersebut menjadi begitu berbeda secara
genetis, sehingga gene flow yang efektif tidak akan berlangsung lagi jika
keduanya bercampur kembali. Jika titik pemisahan tersebut dapat tercapai,
maka kedua populasi telah menjadi dua spesies yang terpisah.
Dalam kasus ini setelah terjadi isolasi geografis dan reproduksi pada
beruang madu dan beruang kutub, keduanya tidak akan melakukan
perkawinan hal ini dikarenakan, tingkah laku berperan sangat penting dalam
hal courtship (percumbuan) dan perkawinan (mating) berperan dalam
pembentukan spesiasi. Misalnya musim perkawinan untuk beruang kutub

7
terjadi pada musim panas di kutub utara, yaitu antara bulan maret – juni
sedangkan beruang madu tidak mempunyai musim kawin tetapi perkawinan
dilakukan sewaktu-waktu terutama bila beruang madu betina telah siap
kawin. Tingkah laku juga berperan pada perkawinan acak antar spesies yang
berbeda sehingga perkawinan mendapat hambatan oleh terjadinya
inkompatibilitas beberapa perilaku sebagai dasar bagi suksesnya perkawinan
tersebut.
Adapun penghalang kedua beruang ini tidak dapat melakukan
perkawinan adalah sebagai berikut :
1. Stimulus visual
Bentuk, warna, dan karakter morfologi lain dapat mempengaruhi
stimulus visual. Dalam hal ini warna antara kedua beruang ini berbeda
(hitam untuk beruang madu dan putih untuk beruang kutub). Secara
morfologi, beruang madu memiliki panjang tubuhnya 1,40 m, tinggi
punggungnya 70 cm dengan berat berkisar 50 - 65 kg sedangkan
beruang kutub jantan memiliki berat antara 400 - 600 kilogram dan
kadang-kadang dapat mencapai lebih dari 800 kg dengan tinggi mencapai
lebih dari 2,5 meter. Sedangkan Beruang kutub betina hanya separuh dari
berat beruang jantan dengan berat antara 200 - 300 kg dan tinggi sekitar 2
meter.
2. Stimulus adaptif
Bunyi nyanyian atau suara lain yang spesifik berfungsi sebagai alat
komunikasi antar jenis kelamin yang mengarah pada proses terjadinya
perkawinan intra maupun interspesies.
3. Kematian zigot (zygotic mortality)
Sel telur yang telah dibuahi oleh sperma spesies lain (zigot hibrid)
seringkali tidak mengalami perkembangan regular pada setiap stadianya,
sehingga zigot tersebut mengalami abnormalitas dan tidak mencapai
tahapan maturitas yang baik atau mengalami kematian pada stadia awal
perkembangannya. Di antara banyak spesies katak yang termasuk dalam
genus Rana, beberapa diantaranya hidup pada daerah dan habitat yang

8
sama, dan kadang-kadang mereka bisa berhibridisasi. Akan tetapi
keturunan yang dihasilkan umumnya tidak menyelesaikan
perkembangannya dan akan mengalami kematian.

9
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Kedelapan jenis beruang modern saat ini berasal dari Ursavus, yang
berasal dari kawasan sub tropis Eropa pada periode Miocene lebih dari
20 juta tahun yang lalu. Pada zaman Miocene tersebut, Ursavus
mengalami peningkatan ukuran tubuh dan mengalami pertumbuhan
bentuk gigi dari pemakan binatang (faunivorous) menjadi bentuk gigi
yang seperti sekarang dengan geraham yang melebar dan lebih datar.
2. Spesiasi pada beruang terjadi karena adanya perubahan lingkungan yang
menyebabkan isolasi geografis, isolasi geografis ini akan menyebabkan
terpisahnya kelompok nenek moyang beruang sehingga dengan kondisi
lingkungan yang berbeda menyebabkan terjadinya spesiasi membentuk 2
spesies yang berbeda ( beruang madu (Helarctos malayanus) dan
beruang kutub (Ursus maritimus)), dengan adanya isolasi geografis juga
menyebabkan adanya isolasi reproduktif. Ketika telah terbentuk 2 spesies
yang berbeda, kedua spesies ini tidak akan melakukan perkawinan secara
alami hal ini dikarenakan terjadinya perbedaan tingkah laku akibat dari
isolasi geografis dan isolasi reproduktif.

3.2 Saran
Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kita sempurna, kedepannya
penulis akan lebih detail dan fokus dalam menjelaskan tentang makalah ini
dengan sumber-sumber yang lebih banyak yang tentunya dapat
dipertanggungjawabkan. Penulis berharap kritik dan saran yang membangun
untuk penulisan makalah yang lebih baik kedepannya. Semoga makalah ini
bermanfaat bagi penulis dan membaca.

10
DAFTAR PUSTAKA
Augeri, D.M. 2005. On The Biogeographic Ecology Of The Malayan Sun Bear. A
dissertation submitted to the University of Cambridge in partial
fulfilment of the conditions of application for the degree of Doctor of
Philosophy. Wildlife Research GroupDepartment of Anatomy

Craighead, L. 2000. Bears of the World. Voyageur Press, Inc.

Gittleman, J.L. 1999. Hanging Bears from Phylogenetic Trees: Investigating


Patterns of Macroevolution. Ursus, 11:29-40.

Goldman, D dkk. 1989. Molecular genetic-distance estimates among the Ursidae


as indicated by one- and two-dimensional protein electrophoresis.
Evolution.

Herrero, S. 1999. Introduction to Bears: Status Survey and Conservation Action


Plan. Pages 1-7, in: S. Servheen, S. Herrero, and B. Peyton (eds.).
Bears: Status Survey and Conservation Action Plan. IUCN, Gland,
Switzerland. 309 pp.

Meijaard, E. 2004. Craniometric Differences Among Malayan Sun Bears (Ursus


malayanus), Evolutionary and Taxonomic Implication. The Raffles
Bulletin of Zoology. National University of Singapore. 2004.

Nowak, R. M. 1991. Walker’s mammals of the world. Fifth edition. Johns


Hopkins University Press, Baltimore, Maryland.

Ratna, Chintia Dwi. 2013. Pembahasan Beruang. Diakses melalui


https://www.scribd.com/doc/180526542/PEMBAHASAN-
BERUANG pada tanggal 12 Mei 2019.

Sadikin, L.A. 2005. Keberadaan Mamalia Sedang Dan Besar di Kawasan Pinggir
Hutan dengan Metode “Camera Trap” di Air Dikit, Taman Nasional
Kerinci Seblat. Skripsi Sarjana Sains, Fakultas Biologi Universitas
Nasional, Jakarta.

Waits dkk. 1999. Rapid radiation events in the family Ursidae indicated by
likelihood phylogenetic estimation from multiple fragments of mtDNA.
Molecular Phylogenetics and Evolution.

Ward, P dan Kynaston, S. 1995. Bears of the World. Blandford, London. 191 pp.

Zhang, Y.-P., dan Ryder.O.A. 1994. Phylogenetic relationships of bears (the


Ursidae) infered from mitoch1ondrial DNA sequences. Molecular
Phylogenetics and Evolution.

11

Anda mungkin juga menyukai