Anda di halaman 1dari 11

Norma, Moral dan Etika Bisnis dalam

Bisnis Global
1. Etika dalam Bisnis Internasional

Dilihat dari perspektif sejarah, perdagangan merupakan faktor penting dalam pergaulan
antar bangsa-bangsa. Sejarawan besar dari Skotlandia, William Roberson (1721-1793)
menegaskan bahwa perdagangan memperlunak dan memperhalus cara pergaulan manusia.
Begitupun menurut filsuf dan ahli ilmu politik Perancis, Montesquieu (1689-1755) yaitu hampir
menjadi gejala umum bahwa di mana adat istiadat bersifat halus, di situ ada perdagangan, dan
dimana ada perdagangan di situ adat istiadat bersifat halus. Yang pasti perdagangan sanggup
menjembatani jarak jauh dan menjalin komunikasi serta hubungan baik antara manusia.

Hubungan yang sudah memiliki tradisi lama itu kini tampak dengan cara baru. Dengan sarana
transportasi dan komunikasi yang dimiliki sekarang bisnis menjadi lebih penting lagi. Namun
gejala globalisasi ekonomi jika dipandang dari sudut moral memiliki sisi negatif dan positif. Di
satu pihak meningkatkan rasa persaudaraan dan kesetiakawanan antara bangsa-bangsa dan
demikian melanjutkan tradisi perdagangan internasional sejak dulu. Di lain pihak bisa berakhir
dalam suasana konfrontasi dan permusuhan karena mengakibatkan pertentangan ekonomi dan
perang dagang melihat kepentingan-kepentingan raksasa yang dipertaruhkan di situ. Berikut
beberapa masalah moral yang khusus berkaitan dengan bisnis pada taraf internasional :

1. Norma-Norma Moral yang Umum pada Taraf Internasional

Salah satu masalah besar yang sudah lama disoroti serta didiskusikan dalam etika
filosofis adalah relatif tidaknya norma-norma moral. Richard De George membicarakan 3
jawaban atas masalah itu. Tiga-tiganya ada benarnya dan ada salahnya, tapi secara menyeluruh
tidak bisa diterima. Berikut ketiga jawaban :

1. Menyesuaikan diri

Untuk menunjukan sikap yang tampak dalam pandangan pertama bahasa Indonesia
menggunakan peribahasa “Di mana bumi berpijak, disana langit dijunjung”. Maksudnya kalau
sedang mengadakan kegiatan di tempat lain, bisnis harus menyesuaikan diri dengan norma-
norma yang berlaku di tempat itu.

Kebenaran yang terkandung dalam pandangan ini maksudnya norma-norma moral yang penting
berlaku di seluruh dunia. Sedangkan norma-norma non-moral untuk perilaku manusia bisa
berbeda diberbagai tempat. Sehingga memperhatikan situasi yang berbeda turut mempengaruhi
keputusan etis.
2. Rigorisme moral

Pandangan ini dapat disebut rigorisme moral karena mau mempertahankan kemurnian etika yang
sama seperti di negerinya sendiri. Mereka mengatakan bahwa perusahaan di luar negeri hanya
boleh melakukan apa yang boleh dilakukan di negaranya sendiri dan justru tidak boleh
menyesuaikan diri dengan norma etis yang berbeda di tempat lain.

Mereka berpendapat bahwa apa yang dianggap baik di negerinya sendiri, tidak mungkin menjadi
kurang baik di tempat lain. Kebenaran yang dapat ditemukan dalam pandangan ini adalah bahwa
kita harus konsisten dalam perilaku moral kita. Norma-norma etis memang bersifat umum. Yang
buruk di suatu tempat tidak mungkin menjadi baik dan terpuji di tempat lain.

3. Imoralisme naif

Menurut pandangan ini dalam bisnis internasional tidak perlu berpegang pada norma-norma
etika. Memang harus memenuhi ketentuan-ketentuan hukum (sejauh ketentuan itu ditegakan di
negara bersangkutan) tetapi tidak terikat oleh norma-norma moral. Malah jika perusahaan terlalu
memperhatikan etika, ia berada dalam posisi merugikan karena daya saingnya akan terganggu.
Perusahaan lain yang tidak begitu scrupulous atau cermat dengan etika akan menduduki posisi
yang lebih menguntungkan.

4. Kasus : bisnis dengan Afrika Selatan yang rasistis

Kasus ini sebagai contoh usaha memperdamaikan pandangan menyesuaikan diri dengan
pandangan rigorisme moral. Karena sampai pemilu multi-ras yang pertama berlangsung tahun
1994, Afrika Selatan mempunyai sistem politik yang didasarkan atas diskriminasi ras
(apartheid). Kebijakan itu menimbulkan kesulitan moral yang besar untuk perusahaan-
perusahaan asing yang mengadakan bisnis di Afrika Selatan. Mereka diwajibkan untuk
mengikuti sistem apartheid juga dalam pabrik-pabrik dan kantor-kantor. Mengelola perusahaan
atas dasar diskriminasi merupakan hal yang tidak etis. Maka jalan keluarnya banyak perusahaan
Barat memegang pada The Sullivan Principles yang untuk pertama kalinya dirumuskan dan
dipraktekan oleh perusahaan mobil Amerika, General Motors. Leon Sullivan adalah pendeta
Baptis (kulit hitam) dan anggota dewan direksi General Motors di Amerika Serikat mengusulkan
untuk meneruskan perusahaannya di Afrika Selatan dengan ditambah 2 syarat yang bertujuan
untuk memperbaiki nasib golongan kulit hitam di sana. Pertama, General Motors dan pabriknya
tidak akan menerapkan UU apartheid karena tidak adil. Kedua, General Motors akan berusaha
terus pada kesempatan apa saja di Afrika Selatan sendiri maupun dalam forum internasional,
agar UU apartheid itu dihapus.

2. Masalah Dumping dalam Bisnis Internasional


Dumping adalah menjual sebuah produk dalam kuantitas besar di suatu negara lain dengan harga
di bawah harga pasar dan kadang-kadang malah di bawah biaya produksi. Para konsumen justru
merasa beruntung sekurang-kurangnya dalam jangka pendek karena dapt membeli produk
dengan harga murah, sedangkan para produsen menderita kerugian karena tidak sanggup
menawarkan produk dengan harga semurah itu.

Report this ad

Dumping produk bisa terjadi karena si penjual mempunyai persediaan terlalu besar, sehingga ia
memutuskan untuk menjual produk bersangkutan di bawah harga saja. Motif lebih jelek adalah
berusaha untuk merebut monopoli dengan membanting harga. Sebenarnya praktek dumping
produk itu tidak etis karena melanggar etika pasar bebas. Kelompok bisnis yang ingin terjun ke
dalam bisnis internasional dengan sendirinya melibatkan diri untuk menghormati keutuhan
sistem pasar bebas.

Kriteria yang dipakai untuk menentukan ada tidaknya dumping, Kwik Kian Gie menegaskan
bahwa menekan harga ekspor dengan memberikan upah yang tidak adil menurutnya tergolong
dumping juga. Jika faktor penyusutan aktiva sepenuhnya dibebankan kepada harga produk yang
dijual di dalam negeri sedangkan faktor itu tidak dikalkulasikan dalam harga ekspor, keadaan itu
harus dinilai sebagai dumping. Dalam hal dumping satu faktor biaya tertentu yaitu penyusutan
aktiva tetap harus sama standarnya. Untuk standar upah buruh harus ada batasan minimumnya.

Sulit memang menentukan adanya dumping. Bertumpu pada kesadaran tidaklah cukup,
dibutuhkan suatu pengertian jelas yang diterima secara internasional dan suatu prosedur obyektif
yang menerapkannya. Meskipun dalam organisasi perdagangan dunia (WTO) telah dibuat
sebuah dokumen tentang dumping, tetapi hanya sebagai model untuk membuat peraturan hukum
di negara-negara anggotanya.

3. Aspek-Aspek Etis dari Korporasi Multinasional

Fenomena yang agak baru di atas panggung bisnis dunia adalah korporasi multinasional
(multinational corporations) / korporasi transnasional (transnational corporations). Yaitu
perusahaan yang memiliki inventasi langsung dalam 2 negara / lebih. Jadi, perusahaan yang
mempunyai hubungan dagang dengan luar negeri tapi belum mencapai status korporasi
multinasional (KMN), namun perusahaan yang memiliki pabrik di beberapa negara termasuk
didalamnya. Bentuk pengorganisasian KMN bisa berbeda-beda. Biasanya perusahaan di negara
lain sekurang-kurangnya untuk sebagian dimiliki oleh orang setempat sedangkan manajemen dan
kebijakan bisnis yang umum ditanggung oleh pimpinan perusahaan di negara asalnya. KMN
pertama kali muncul tahun 1950-an dan mengalami perkembangan pesat.

Karena memiliki kekuatan ekonomis yang sering kali sangat besar dan beroperasi di berbagai
tempat yang berbeda dan memiliki mobilitas tinggi KMN menimbulkan masalah etis tersendiri.
Terutama dipraktekan di negara berkembang yang sebagian lemah terhadap yang kuat.
Negara berkembang sudah mengambil berbagai tindakan untuk melindungi dirinya. Misalnya
tidak mengizinkan masuk KMN yang bisa merusak / melemahkan suatu industri dalam negeri.
Mengizinkan jika mayoritas saham (sekurang-kurangnya 50,1 %), berada dalam tangan warga
negara setempat. Ada juga beberapa usaha internasional untuk membuat kode etik bagi kegiatan
korporasi multinasional di dunia ketiga seperti Guidelines for Multinational Enterprises dari
Organization for Economis Coorporations and Development (OECD) (1976 direvisi 1984) dan
aturan-aturan yang diusulkan oleh Commission on Transnational Corporations dari PBB (1990).
Tetapi peraturan itu hanya bersifat anjuran dan belum dapat dipaksakan.

Karena kekosongan hukum pada taraf internasional itu, kesadaran etis bagi KMN lebih
mendesak lagi. De George telah berusaha menjawab konteks bisnis dengan negara-negara
berkembang. Ia merumuskan 10 aturan etis yang dianggap paling mendesak. Tujuh norma
pertama berlaku untuk semua KMN sedangkan 3 aturan terakhir terutama dirumuskan untuk
industri beresiko khusus seperti pabrik kimia / instalasi nuklir. Berikut usulan De George :

1. Koorporasi multinasional tidak boleh dengan sengaja mengakibatkan kerugian langsung.

Dengan sengaja mengakibatkan kerugian bagi orang lain selalu merupakan tindakan yang tidak
etis. Norma pertama ini mengatakan bahwa suatu tindakan tidak etis, bila KMN dengan tahu dan
mau mengakibatkan kerugian bagi negara biarpun tidak dengan sengaja atau langsung- menurut
keadilan kompensatoris ia wajib memberi ganti rugi.

1. Koorporasi multinasional harus menghasilkan lebih banyak manfaat daripada kerugian bagi
negara dimana mereka beroperasi.

Report this ad

Hampir semua kegiatan manusia mempunyai akibat jelek,bisnis tidak tekecuali. Norma kedua
menuntut secara menyeluruh akibat- akibat baik melebihi akibat- akibat jelek. Norma ini tidak
membatasi diri pada segi negatif, tapi memerintahkan sesuatu yang positif da ditegasakan lagi
bahwa yang positif harus melebihi yang negatif.

1. Dengan kegiatannya korporasi multinasional itu harus memberi kontribusi kepada


pembangunan negara dimana dia beroperasi.

KMN harus menyumbangkan juga pada pembangunan negara berkmbang. KMN harus bersedia
melakukan alih teknologi dan alih keahlian.

1. Korporasi multinasional harus menghormati HAM dari semua karyawannya.

KMN harus memperhatikan tentang upah dan kondisi kerja di negara berkembang.

1. Sejauh kebudayaan setempat tidak melanggar norma-norma etis, korporasi multinasional


harus menghormati kebudayaan lokal itu dan bekerja sama dengannya, bukan
menantangnya.
KMN akan merugikan negara dimana ia beroperasi, jika ia tidak menghormati kebudayaan
setempat.KMN harus menyesuaikan diri dengan nilai- nilai budaya setempat dan tidak
memaksakan nilai-nilainya sendiri.

1. Koorporasi multinasional harus membayar pajak yang “fair”

Setiap perusahaan multinasional harus membayar pajak menurut tarif yang telah ditentukan
dalam suatu negara. KMN akan mendukung dibuatnya dan dilaksanakannnya peraturan
internasional untuk menentukan pembayaran pajak oleh perusahaan-perusahaan internasional.

1. Koorporasi multinasional harus bekerja sama dengan pemerintah setempat dalam


mengembangkan dan menegakkan “backgroud institutions” yang tepat

Yang dimaksud “background institutions” adalah lembaga- lembaga yang mengatur serta
memperkuat kegiatan ekonomi dan industri suatu negara.

1. Negara yang memiliki mayoritas saham sebuah perusahaan harus memikul tanggung jawab
moral atas kegiatan dan kegagalan perusahaan tersebut.

Norma ini mengatakan bahwa tanggung jawab moral harus dipikul oleh pemilik mayoritas
saham.

1. Jika suatu korporasi multinasional membangun pabrik yang berisiko tinggi, ia wajib menjaga
supaya pabrik itu aman dan dioperasikan dengan aman.

Yang membangun pabrik-pabrik berisiko tinggi harus juga merundingkan prosedur- prosedur
keamanan bagi mereka yang menjalankan pabrik tersebut. KMN bertanggung jawab untuk
membangun pabrik yang aman dan melatih serta membina secara sebaik mungkin mereka yang
akan mengoperasikan pabrik itu.

1. Dalam mengalihkan teknologi berisiko tinggi kepada negara berkembang, korporasi


multinasional wajib merancang kembali sebuah teknologi demikian rupa, sehingga dapat
dipakai dengan aman dalam negara yang belum berpengalaman.

Menurut norma ini prioritas harus diberikan kepada keamanan. Kalau mungkin, teknologi harus
dirancang sesuai dengan kebudayaan dan kondisi stempat, sehingga terjamin keamanan optimal.

Sepuluh norma yang diuraikan di atas bisa bermanfaat untuk menciptakan suatu kerangka moral
bagi kegiatan-kegiatan KMN yang melihat status internasionalnya sering kali belum begitu
terkait dengan peraturan-peraturan hukum. Akan lebih berguna lagi jika KMN-KMN mengikat
diri dengan kode etik yang relevan untuk bidang tertentu dengan berpegang pada norma-norma
itu.

Report this ad
4. Masalah Korupsi pada Taraf Internasional

 Skandal suap Lockheed dan usaha mencegah terjadinya kasus serupa


 Pemakaian uang suap bertentangan dengan etika

1. Peranan Etika dalam Bisnis

Jika perusahaan ingin mencatat suksses dalam bisnis menurut Richard De George membutuhkan
3 hal pokok yaitu produk yang baik, manajemen yang mulus, dan etika. Guna memperoleh
produk yang baik, si pebisnis bisa memanfaatkan seluruh perangkat ilmu dan teknologi modern.
Guna mencapai manajemen yang mulus, si pebisnis bisa memakai sepenuhnya ilmu ekonomi dan
teori manajemen. Namun dibandingkan dengan segala usaha dan program yang diadakan untuk
meningkatkan kemampuan manajemen dan bisnis, etika daam bisnis masih sangat terbatas.
Tetapi yang penting sekarang peranan etika mulai diakui dan diperhatikan. Berikut adalah
kesimpulan umum tentang berbagai aspek dari peranan etika dalam bisnis:

1. Bisnis Berlangsung dalam Konteks Moral

Ternyata makin maju suatu masyarakat, makin besar pula ketergantungan satu sama lain
dibidang ekonomi. Bisnis merupakan suatu unsur mutlak dalam masyarakat modern. Tetapi
kalau merupakan suatu fenomena sosial yang begitu hakiki, bisnis tidak dapat dilepaskan dari
aturan-aturan main yang selalu harus diterima dalam pergaulan sosial, termasuk juga aturan-
aturan moral. Berikut adalah beberapa pendapat yang masih menyangkal perkaitan etika dengan
bisnis:

 Mitos mengenai bisnis amoral

Sebagaimana fungsi khusus matahari adalah memancarkan cahaya serta panas dan di situ tidak
masuk faktor etika, demikian juga pebisnis membatasi diri pada tugasnya saja. Richard De
George menyebut pandangan itu the myth of amoral business, mitos yang mengatakan bahwa
bisnis itu amoral saja. Dalam bisnis orang menyibukan diri dengan jual beli, membuat produk /
menawarkan jasa dengan merebut pasaran dan mencari untung tetapi orang tidak berurusan
dengan etika / moralitas.

Bahwa bisnis itu sendiri netral terhadap moralitas jadi amoral merupakan suatu mitos / cerita
dongeng saja, berarti tidak benar. George mengatakan bahwa mitos itu telah ditinggalkan karena
nilai-nilai moral tidaklah kalah penting. De George menemukan 3 gejala dalam masyarakat yang
menunjukan sinarnya mitos tersebut. (1) dalam media massa sering diberi liputan luas kepada
skandal-skandal di bidang bisnis. Bisnis ternyata disoroti tajam oleh masyarakat. Masyarakat
tidak ragu-ragu mengaitkan bisnis dengan moralitas. (2) Bisnis diamati dan dikritik oleh semakin
banyak LSM terutama LSM konsumen dan LSM pecintan lingkungan hidup yang berkaitan
dengan etika. (3) Bisnis sendiri mulai prihatin dengan dimensi etis dalam kegiatannya. Hal itu
tamapak dalam refleksi yang mereka buat mengenai aspek-aspek etis dari bisnis melalui
konferensi, seminar, artikel dalam surat kabar, timbulnya kode-kode etik yang disusun oleh
semakin banyak perusahaan dll.

Kini telah terbentuk keyakinan cukup mantap bahwa bisnis tidak terlepas dari segi moral. Bisnis
tidak saja berurusan dengan angka penjualan (sales figures) / adanya profit pada akhir tahun
anggaran. Good bussiness memiliki juga suatu makna moral.

 Mengapa bisnis harus berlaku etis?

Bertanya mengapa bisnis harus berlaku etis sebetulnya sama dengan bertanya mengapa manusia
pada umumnya harus berlaku etis. Bisnis hanya merupakan suatu bidang khusus dari kondisi
manusia yang umum. Secara singkat ada 3 jawabannya berasal dari agama, filsafat modern dan
filsafat Yunani Kuno:

 Tuhan adalah hakim kita

Menurut agama, sesudah kehidupan jasmani manusia hidup terus dalam dunia baka di mana
Tuhan sebagai Hakim Maha Agung akan menghukum kejahatan yang pernah dilakukan dan
mengganjar kebaikan. Walaupun tentu sangat diharapkan setiap pebsinis akan dibimbing oleh
iman kepercayaannya menjadi tugas agama (bukan etika filosofis) mengajak para pemeluknya
untuk tetap berpegang pada motivasi moral itu.

 Kontrak sosial

Hidup dalam masyarakat berarti mengikat diri untuk berpegang pada norma-norma dan nilai-
nilai tersebut. De George menerapkan pandangan itu atas sektor bisnis. De George menegaskan:
morality is the oil as well as the glue of society and therefore of business. Minyak pelumas
karena moralitas memperlancar kegiatan bisnis dan semua kegiatan lain dalam masyarakat. Lem
karena moralitas mengikat dan mempersatukan orang-orang bisnis seperti juga semua anggota
masyarakat lainnya. Moralitas merupakan syarat mutlak yang harus diakui semua orang jika kita
ingin terjun dalam kegiatan bisnis.

 Keutamaan
Menurut Palto dan Aristoteles keutamaan sebagai disposisi tetap untuk melakukan yang baik
adalah penyempurnaan tertinggi dari kodrat manusia. Manusia yang berlaku etis adalah baik
begitu saja, baik secara menyeluruh bukan menurut aspek tertentu saja. Mestinya pebisnis
menjalankan pekerjaannya dengan baik serta jujur. Karena jika ia berada di luar moral
community, ia membuang martabatnya sebagai manusia sehingga ia tidak bisa lagi disebut
makhluk moral.

2. Kode Etik Perusahaan

1. Manfaat dan kesulitan aneka macam kode etik perusahaan

Suatu fenomena yang masih agak baru adalah kode etik tertulis untuk sebuah perusahaan.
Fenomena itu mulai mencuat dalam dasawarsa 1970-an karena terjadinya skandal korupsi dalam
kalangan bisnis. Baru setelah itu timbul keinsafan untuk mencegah terjadinya hal negatif itu.
Perkembangan itu mulai tampak di Amerika Serikat kemudian diikuti Inggris dan negara-negara
Eropa Barat lainnya.

Pada kenyataannya kode etik perusahaan ada beraneka ragam. Patrick Murphy menggunakan
istilah umum ethics statements dan membedakan 3 macam. Pertama, terdapat value statements
atau pernyataan nilai. Dokumen seperti itu singkat saja dan melukiskan apa yang dilihat oleh
perusahaan sebagai misinya. Jadi nilai-nilai yang dikemukakan sering kali lebih luas daripada
nilai-nilai etis saja. Kedua, ada corporate credo atau kredo perusahaan. Yang biasanya
merumuskan tanggung jawab perusahaan terhadap para stakeholder khususnya konsumen,
karyawan, pemilik saham, masyarakat umum, dan lingkungan hidup.

Pernyataannya sering kali lebih panjang dan meliputi beberapa alinea tetapi masih tergolong
singkat. Ketiga, terdapat kode etik (dalam arti sempit) disebut juga code of conduct atau code of
ethical conduct. Menyangkut kebijakan etis perusahaan berhubungan dengan kesulitan yang bisa
timbul (dan mungkin di masa lampau pernah timbul). Umumnya lebih panjang dan bervarisi dari
dua tiga halaman sampai menjadi buku kecil berisikan sekitar 50 halaman.

Kadang-kadang perushaan hanya memiliki 1 macam pernyataan etika itu atau dua atau malah
tiga. Pembuatan kode etik adalah cara ampuh untuk melembagakan etika dalam struktur dan
kegiatan perusahaan. Manfaat kode etik perusahaan dapat dilukiskan sebagai berikut:

 Kode etik dapat meningkatkan kredibilitas suatu perusahaan.


 Kode etik dapat membantu dalam menghilangkan grey area / kawasan kelabu di bidang etika.
 Kode etik dapat menjelaskan bagaimana perusahaan menilai tanggung jawab sosialnya.
 Kode etik menyediakan bagi perusahaan dan dunia bisnis pada umumnya kemungkinan untuk
mengatur dirinya sendiri.

Membuat sebuah kode etik ternyata tidak merupakan solusi yang cukup untuk memecahkan
semua kesulitan moral bagi perusahaan. Tidak mengherankan jika kode etik perusahaan menuai
kritik juga berikut ini:
 Kode etik perusahaan sering kali merupakan formalitas belaka.
 Banyak kode etik perusahaan dirumuskan dengan terlalu umum, sehingga tidak menunjukan
jalan keluar bagi masalah konkret yang dihadapi oleh perusahaan.
 Kritik yang paling berat adalah bahwa jarang sekali tersedia enforcement untuk kode etik
perusahaan.

Kode etik perusahaan tetap berguna untuk merumuskan standar etis yang jelas dan tegas untuk
semua karyawan dan jangkauan tanggung jawab sosial perusahaan. Hanya perlu dicari lagi jalan
keluar untuk menjamin keefektifan kode etik. Berikut faktor-faktor yang dapat membantu agar
usaha itu berhasil:

 Kode etik sebaiknya dirumuskan berdasarkan masukan dari semua karyawan sehingga
mencerminkan kesepakatan semua pihak yang terikat olehnya.
 Harus dipertimbangkan dengan teliti bidang-bidang apa dan topik-topik mana sebaiknya
tercakup oleh kode etik perusahaan.
 Kode etik perusahaan sewaktu-waktu harus direvisi dan disesuaikan dengan perkembangan
intern maupun ekstern.
 Yang paling penting adalah bahwa kode etik perusahaan ditegakan secara konsekuen dengan
menerapkan sanksi.

1. Ethical Auditing

Suatu inisiatif yang menarik adalah pemeriksaan atas kinerja etis dan sosial perusahaan oleh
sebuah institut independen. Di Amerika Serikat inisiatif itu baru dilaporkan dalam dasawarsa
1980-an, sedangkan di Eropa baru tampak akhir-akhir ini. Selain ethical auditing dipakai juga
nama ethical accounting, social auditing, stakeholder auditing, social performance report dll.
Tentang isinya bervariasi kadang-kadang aspek etis diperikasa dalam kerangka sosial yang lebih
luas. Tapi bisa juga dari segi etika disoroti dengan eksplisit terutama jika kode etik perusahaan
menjadi obyek langsung dari pemeriksaan.

Untuk menilai kinerja finasnial sebuah perusahaan sudah lama ada standar-standar acounting
yang diterima secara nasional dalam suatu negara dan malah secara internasional. Untuk menilai
kualitas manajemen sudah terbentuk standar juga seperti ISO 9000. Kode etik tidak lagi sebatas
perhiasan saja. Pemeriksaan atas kinerja etis dan sosial itu tidak saja dilakukan terhadap
perusahaan tapi juga terhadap organisasi nirlaba. Organisasi-organisasi seprti itu pun harus
berpegang pada standar-standar etis, entah mereka memiliki kode etik tertulis atau tidak.

1. The Body Shop sebagai contoh

The body shop adalah sebuah perusahaan internasional yang berasal dari Inggris dan
bergerak di bidang kosmetika serta toiletries. Perusahaan ini didirikan oleh Anita Roddick pada
tahun 1976, dan dua puluh tahun kemudian sudah memiliki omzet setengah milyar dollar AS.
Kini memiliki toko tersebar di seluruh dunia, antara lain sekitar 300 toko di Amerika Serikat.
Perusahaan ini selalu menitikberatkan manajemen yang etis. First and foremost are the values
merupakan ungkapan terkenal dari Anita Roddick. Rupanya Roddick pula yang pertama kali
melontarkan gagasan mengenai audit sosial dan etis.

Setiap 2 tahun The Body Shop membiarkan dirinya diaudit dari segi sosial dan etis. Audit
pertama dilakukan oleh Institute of Social and Ethical Accountability dan diterbitkan dengan
judul The Values Report 1995 (1996). Values Report itu terdiri dari 3 pernyataan yang
membahas kinerja perusahaan di bidang sosial (HAM, kesehatan dan keselamatan kerja,
diskriminasi dll), di bidang lingkungan hidup dan di bidang perlindungan binatang (masalah
yang aktual khususnya untuk perusahaan kosmetika). Values Report membedakan 10 macam
stakeholders dan membuat wawancara serta angket di antara mereka serta menentukan indikator-
indikator kinerja. Manajemen diberi kesempatan untuk menanggapi kelemahan dengan
merumuskan Next Steps. Dalam audit berikutnya diperiksa lagi bagaimana rencana ditidaklanjuti
dan laporan akhir dipublikasikan (bersama dengan ringkasan dan lembar khusus untuk
karyawan) dan diharapkan komentar dari luar.

3. Good Ethics, Good Business

Rupanya dalam dunia bisnis kini telah terbentuk sikap lebih positif. Sudah tertanam keinsafan
bahwa bisnis harus berlaku etis demi kepentingan bisnis itu sendiri. Terdengar semboyan baru
seperti Ethics pay (etika membawa untung), Good business is ethical business, Corporate ethics:
a prime business assets. Dalam buku populer yang ditulis oleh Kenneth Blanchard dan Norman
Vincent Peale tentang etika bisnis tertulis dengan huruf besar: Integrity pays! You dont have to
cheat to win (Integritas moral membawa untung! Tidak perlu Anda menipu untuk menang).

Sukses perusahaan menjadi penyebab dan bukan akibat dari perhatiannya untuk etika. Kendati
tidak ada jaminan mutlak, pada umumnya perusahaan yang etis adalah perusahaan yang
mencapai sukses juga. Berikut adalah beberapa catatan sebagai penutup yang menjabarkan etika
dalam bisnis:

1. Etika bisnis hanya bisa berperan dalam suatu komunitas moral. Moralitas bukan hanya
merupakan suatu komitmen individual saja, tetapi tercantum dalam suatu kerangka sosial.
Kalangan bisnis sebagai keseluruhan harus berusaha mengubah haluan moral dan menuntut
agar penguasa di atas menjamin suatu kerangka moral yang sehat. Namun membangun suatu
etika bisnis yang baik tetap akan merupakan suatu perjuangan berat tetapi perjuangan juga
yang sangat diperlukan.
2. Orang yang berpendapat dengan berpegang pada “etika pasti kalah” kemungkinan besar terlalu
menitikberatkan jangka pendek dalam proses berbisnis dan mengabaikan jangka panjang,
padahal jangka panjang yang justru paling hakiki untuk berhasil dalam bisnis.
3. Mereka yang meragukan perlunya etika dalam bisnis, sebaiknya tidak melupakan sejarah
industrialisasi dan khusunya perjuangan anatara liberalisme dan sosialisme yang berlangsung
disitu. Para pekerja harusnya diakui sebagai stakeholders yang paling penting dan menjadi trade
mark dari industri yang dibangun.
4. Akhirnya yang belum diyakinkan tentang pentingnya etika dalam bisnis perlu
mempertimbangkan persepsi dunia luar tentang kinerja bisnis Indonesia. Dalam forum
internasional Indonesia dinilai termasuk negara yang paling korup. Sejak beberapa tahun ada
cara lebih obyektif lagi untuk memandang kenyataan itu. Lembaga Transparency International
yang berkedudukan di Berlin, Jerman setiap tahun mempublikasikan Corruption Perceptions
Index (Indeks Persepsi Korupsi). Lembaga ini mendapat kredibilitas internasional dan bekerja
sama dengan beberapa instansi internasional yang penting. Dalam indeks mereka sudah
beberapa tahun berturut-turut tampak bahwa Indonesia dipandang sebagai salah satu negara
yang paling korup di dunia. Tahun 1999, Indonesia menempati urutan ke 97 dalam daftar 99
negara dengan skor 1,7 pada skala 10. Jelas jika kekurangan moralitas dalam kegiatan bisnis
yang berlangsung terus semua sebagai bangsa kalah terhadap negara-negara tetangga dan
negara-negara lebih jauh yang berhasil menjalankan ekonominya dengan efisien. Realisasi AFTA
dan APEC tinggal beberapa tahun lagi. Seperti halnya dengan ekonomi, moralitas pun
merupakan suatu kenyataan universal yang berdampak universal pula.

Anda mungkin juga menyukai