Anda di halaman 1dari 8

BAB 11

ETIKA DALAM BISNIS INTERNASIONAL

ANGGOTA KELOMPOK :

ACH. RIFKI FAJAR IRVANSYAH (2020210050)


FAUZAN RAMADHANI (2020210116)
MUHAMMAD BAHTIAR NASIR (2020210113)

FAKULTAS EKONOMI PRODI MANAJEMEN


UNIVERSITAS MADURA
2020-2021
A. Etika dalam Bisnis Internasional
Berulang kali dapat kita dengar bahwa kini kita hidup dalam era globalisasi
ekonomi: kegiatan ekonomi mencakup seluruh dunia, sehingga hampir semua negara
tercantum dalam “pasar” sebagaimana dimengerti sekarang dan merasakan akibat pasang
surutnya pasar ekonomis. Gejala globalisasi ekonomi ini bisa berakibat positif maupun
negatif. Disatu pihak globalisasi dapat meningkatkan rasa persaudaraan dan
kesetiakawanan antara bangsa-bangsa dan dengan demikian melanjutkan tradisi
perdagangan internasional sejak dulu. Di lain pihak, gejala yang sama bisa berakhir
dalam suasan konfrontasi dan permusuhan, kerna mengakibatkan pertentangan ekonomi
dan perang dagang, melihat kepentingan-kepentingan raksasa yang di pertaruhkan di situ.

Internasionalisasi bisnis yang semakin mencolok sekarang ini menampilkan juga


aspek etis yang baru. Tidak mengherankan jika terutama tahun-tahun terakhir ini diber
perhatian khusus kepada aspek-aspek etis dalam bisnis internasional. Dalam bab ini akan
dibaha beberapa masalah moral yang khusus berkaitan dengan bisnis pada taraf
internasional.

B. Norma-norma Moral yang umum pada taraf Internasional


Salah satu masalah besar yang sudah lama disoroti serta didiskusikan dalam etika
filosofis adalah relatif tidaknya norma-norma moral. Kami berpendapat bahwa
pandangan yang menganggap norma-norma moral relatif saja tidak bisa dipertahankan.
Namun demikian, itu tidak berarti bahwa norma-norma moral bersifat absolut atau tidak
mutlak begitu saja. Jadi, pertanyaan yang tidak mudah itu harus bernuansa. Masalah
teoritis yang serba kompleks ini kembali lagi pada taraf praktis dalam etika bisnis
internaasional. Apa yang harus kita lakukan ,jika norma di Negara lain berbeda dengan
norma yang dianut sendiri? Richard De George membicarakan tiga jawaban atas
pertanyaan tersebut, ada 3 pandangan mengenai pertanyaan di atas sebagai berikut :
a. Menyesuaikan Diri
Untuk menunjukkan sikap yang tampak pada pandangan ini menggunakan
peribahasa “Kalau di Roma, bertindaklah sebagaimana dilakukan orang roma”
Artinya perusahaan harus mengikuti norma dan aturan moral yang berlaku di
negara itu, yang sama dengan peribahasa orang Indonesia “Dimana bumi dipijak,
disana langit dijunjung”. Norma-norma moral yang penting berlaku di seluruh
dunia. Sedangkan norma-norma non-moral untuk perilaku manusia bisa berbeda
di berbagai tempat. Itulah kebenaran yang terkandung dalam pandangan ini.
Misalnya, norma-norma sopan santun dan bahkan norma-norma hukum di semua
tempat tidak sama. Yang di satu tempat dituntut karena kesopanan, bisa saja di
tempat lain dianggap sangat tidak sopan.
b. Regorisme Moral
Pandangan kedua memilih arah terbalik. Pandangan ini dapat disebut
“rigorisme moral”, karena mau mempertahankan kemurnian etika yang sama
seperti di negerinya sendiri. Mereka mengatakan bahwa perusahaan di luar negeri
hanya boleh melakukan apa yang boleh dilakukan di negaranya sendiri dan justru
tidak boleh menyesuaikan diri dengan norma etis yang berbeda di tempat lain.
Mereka berpendapat bahwa apa yang dianggap baik di negerinya sendiri, tidak
mungkin menjadi kurang baik di tempat lain.
Kebenaran yang dapat ditemukan dalam pandangan regorisme moral ini
adalah bahwa kita harus konsisten dalam perilaku moral kita. Norma-norma etis
memang bersifat umum. Yang buruk di satu tempat tidak mungkin menjadi baik
dan terpuji di tempat di tempat lain. Namun para penganut rigorisme moral
kurang memperhatikan bahwa situasi yang berbeda turut mempengaruhi
keputusan etis.
c. Imoralisme Naif
Menurut pandangan ini dalam bisnis internasional tidak perlu kita
berpegang pada norma-norma etika. Kita harus memenuhi ketentuan-ketentuan
hukum (dan itupun hanya sejauh ketentuan itu ditegakkan di negara
bersangkutan), tetapi selain itu, kita tidak terikat norma-norma moral. Malah jika
perusahaan terlalu memperhatikan etika, ia berada dalam posisi yang merugikan,
karena daya saingnya akan terganggu.
Kasus : Bisnis dengan Afrika Selatan yang Rasistis
Setelah kita mempelajari dua pandangan tentang peranan etika dalam
bisnis internasional ini, perlu kita simpulkan bahwa tidak satu pun di antaranya
bisa dipertahankan. Dalam pandangan “menyesuaikan diri” dapat kita hargai
perhatian untuk peranan situasi. Situasi yang berbeda-beda memang
mempengaruhi kualitas etis suatu perbuatan, tetapi tidak sampai menyingkirkan
sifat umum dari norma-norma moral, seperti dipikirkan pandangan pertama ini.
Pandangan kedua, rigorisme moral, terlalu ekstrem dalam menolak pengaruh
situasi, sedangkan mereka benar dengan pendapat bahwa kita tidak meninggalkan
norma-norma moral di rumah, biola kita berangkat bebisnis ke luar negeri.
Norma-norma moral mempunyai sifat universal.
Dalam etika jarang prinsip-prinsip moral bias diterapkan dengan mutlak,
karena kondisi konkret sering kali sangat kompleks. Hal ini dapat diilustrasikan
pada bisnis internasional dengan Afrika Selatan  yang mempunyai sistem politik
didasarkan pada diskriminasi ras (Apartheid) bahkan sistem Apartheid ini
didasarkan atas Undang-undang Afrika Selatan sejak 1948.
Kebijakan Apartheid Afrika Selatan menimbulkan kesulitan moral untuk
perusahaan asing yang mengadakan bisnis di Afrika Selatan karena mereka wajib
mengikuti sistem Apartheid. Dalam mencari jalan keluar dari dilema ini banyak
perusahaan Barat memegang pada The Sullivan Principles yang dirumuskan dan
dipraktekkan oleh Leon Sullivan. Prinsip-prinsip Sullivan :
1. Leon Sullivan sebagai General Motors tidak akan menerapkan undang-
undang Apartheid.
2. Menghapus undang-undang Apartheid.

C. Masalah “Dumping” dalam Bisnis Internasional


Salah satu topik yang jelas termasuk etika bisnis internasional
adalah dumpin produk, karena praktek kurang etis ini secara khusus berlangsung dalam
hubungan dengan negara lain. Yang dimaksudkan dengan dumpingadalah menjual
sebuah produk dalam kuantitas besar di suatu negara lain dengan harga di bawah harga
pasar dan kadang-kadang malah di bawah biaya produksi. Dapat dimengerti bahwa yang
merasa keberatan terhadap praktek dumping ini bukannya para konsumen, melainkan
para produsen dari produk yang sama di negara di mana dumping dilakukan. Para
konsumen justru merasa beruntung – sekurang-kurangnya dalam jangka pendek – karena
dapat membeli produk dengan harga murah, sedangkan para produsen menderita
kerugian, karena tidak sanggup menawarkan produk dengan harga semurah itu.

D. Aspek etis dari Korporasi Multinasional


Fenomena yang agak baru di atas panggung bisnis dunia adalah korporasi
multinasional, yang juga disebut korporasi transnasional. Yang dimaksudkan dengannya
adalah perusahaan yang mempunyai investasi langsung dalam dua negara atau lebih. Jadi,
perusahaan yang mempunyai hubungan dagang dengan luar negeri, dengan demikian
belum mencapai status korporasi multi nasional (KMN), tetapi perusahaan yang memilki
pabrik di beberapa negara termasuk di dalamnya.
Bentuk pengorganisasian KMN bisa berbeda-beda. Biasanya perusahaan-
perusahaan di negara lain sekurang-kurangnya untuk sebagian dimiliki oleh orang
setempat, sedangkan manajemen dan kebijakan bisnis yang umum ditanggung oleh
pimpinan perusahaan di negara asalnya. KMN ini untuk pertama kali muncul sekitar
tahun 1950-an dan mengalami perkembangan pesat. Contoh KMN seperti Coca-Cola,
Johnson & Johnson, General Motors, IBM, Mitsubishi, Toyota, Sony,Unilever yang
memiliki kegiatan di seluruh dunia dan menguasai nasib jutaan manusia.
Di bawah ini akan dibahas usulan De George tentang norma-norma etis yang
terpenting bagi KMN.
1. Koorporasi multinasional tidak boleh dengan sengaja mengakibatkan kerugian
langsung.
Dengan sengaja mengakibatkan kerugian bagi orang lain selalu merupakan
tindakan yang tidak etis. Norma pertama ini mengatakan bahwa suatu tindakan
tidak etis, bila KMN dengan tahu dan mau mengakibatkan kerugian bagi negara
biarpun tidak dengan sengaja atau langsung- menurut keadilan kompensatoris ia
wajib memberi ganti rugi.
2. Koorporasi multinasional harus menghasilkan lebih banyak manfaat daripada
kerugian bagi negara dimana mereka beroperasi.
Hampir semua kegiatan manusia mempunyai akibat jelek,bisnis tidak
tekecuali. Norma kedua menuntut secara menyeluruh akibat- akibat baik melebihi
akibat- akibat jelek. Norma ini tidak membatasi diri pada segi negatif, tapi
memerintahkan sesuatu yang positif da ditegasakan lagi bahwa yang positif harus
melebihi yang negatif.
3. Dengan kegiatannya korporasi multinasional itu harus memberi kontribusi
kepada pembangunan negara dimana dia beroperasi.
KMN harus menyumbangkan juga pada pembangunan negara berkmbang.
KMN harus bersedia melakukan alih teknologi dan alih keahlian.
4. Koorporasi multinasional harus menghormati HAM dari semua karyawannya.
KMN harus memperhatikan tentang upah dan kondisi kerja di negara
berkembang.
5. Sejauh kebudayaan setempat tidak melanggar norma-norma etis, korporasi
multinasional harus menghormati kebudayaan lokal itu dan bekerja sama
dengannya, bukan menantangnya.
KMN akan merugikan negara dimana ia beroperasi, jika ia tidak
menghormati kebudayaan setempat.KMN harus menyesuaikan diri dengan nilai-
nilai budaya stempat dan tidak memaksakan nilai-nilainya sendiri.
6. Koorporasi multinasional harus membayar pajak yang “fair”
Setiap perusahaan multinasional harus membayar pajak menurut tarif yang
telah ditentukan dalam suatu negara. KMN akan mendukung dibuatnya dan
dilaksanakannnya peraturan internasional untuk menentukan pembayaran pajak
oleh perusahaan- perusahaan internasional.
7. Koorporsi multinasional harus bekerja sama dengan pemerintah setempat dalam
mengembangkn dan menegakkan “backgroud institutions” yang tepat
Yang dimaksud “background institutions” adalah lembaga- lembaga yang
mengatur serta memperkuat kegiatan ekonomi dan industri suatu negara.
8. Negara yang memiliki mayoritas sham sebuah perusahaan harus memikul
tanggung jawab moral atas kegiatan dan kegagalan perusahaan tersebut.
Norma ini mengatakan bahwa tanggung jawab moral harus dipikul oleh
pemilik mayoritas saham.
9. Jika suatu korporasi multinasional membangun pabrik yang berisiko tinggi, ia
wajib menjaga supaya pabrik itu aman dan dioperasikan dengan aman.
Yang membangun pabrik- pabrik berisiko tinggi harus juga merundingka
prosedur- prosedur keamanan bagi mereka yang menjalankan pabrik tersebut.
KMN bertanggung jawab untuk membangun pabrik yang aman dan melatih serta
membina secara sebaik mungkin mereka yang akan mengoperasikan pabrik itu.
10. Dalam mengalihkan teknologi berisiko tinggi kepada negara berkembang,
korporasi multinasional wajib merancang kembali sebuah teknologi demikian
rupa, sehingga dapat dipakai dengan aman dalam negara yang belum
berpengalaman.
Menurut norma ini prioritas harus diberikan kepada keamanan. Kalau
mungkin, teknologi harus dirancang sesuai dengan kebudayaan dan kondisi
stempat, sehingga terjamin keamanan optimal.
Sepuluh norma tersebut bisa bermanfaat untuk menciptakan suatu kerangka moral
bagi kegiatan- kegiatan KMN

E. Masalah Korupsi dalam taraf Internasional


Korupsi dalam bisnis tentu tidak hanya terjadi pada taraf internasional, namun
perhatian yang diberikan kepada masalah korupsi dalam literatur etika bisnis terutama
diarahkan kepada konteks internasional. Masalah korupsi dapat menimbulkan kesulitan
moral besar bagi bisnis internasional, karena di negara satu bisa saja dipraktekkan apa
yang tidak mungkin diterima di negara lain. Berdasarkan pemikiran De George, terdapat
empat alasan mengapa praktek suap harus dianggap tidak bermoral.
 Alasan pertama dan paling penting adalah bahwa praktek suap itu melanggar etika
pasar. Kalau kita terjun dalam dunia bisnis yang didasarkan pada prinsip ekonomi
pasar, dengan sendirinya kita mengikat diri untuk berpegang pada aturan-aturan
mainnya. Pasar ekonomi merupakan kancah kompetisi yang terbuka. Hal itu
mengakibatkan antara lain bahwa harga produk merupakan buah hasil dari
pertarungan daya-daya pasar. Dengan praktek suap, daya-daya pasar dilumpuhkan
dan para pesaing mempunyai produk sama baik dengan harga lebih
menguntungkan, tidak sedikit pun dapat mempengaruhi proses penjualan. Karena
itu baik yang memberi suap maupun yang menerimanya berlaku kurang fair
terhadap orang bisnis lain. Pasar yang didistorsi oleh praktek suap adalah pasar
yang tidak efisien. Karena praktek suap itu, pasar tidak berfungsi seperti
semestinya.
 Alasan kedua adalah bahwa orang yang tidak berhak, mendapatkan imbalan juga.
Dalam sistem ekonomi kita, mereka yang bekerja atau berjasa mendapat imbalan.
 Alasan ketiga berlaku untuk banyak kasus suap di mana uang suap diberikan
dalam keadaan kelangkaan. Misalnya, dalam keadaan kekurangan kertas seorang
penerbit mendapatkan persediaan kertas baru dengan memberi uang suap.
Pembagian barang langka dengan menempuh praktek suap mengakibatkan bahwa
barang itu diterima oleh orang yang tidak berhak menerimanya, sedangkan orang
lain yang berhak menjadi tidak kebagian. Hal ini jelas bertentangan dengan asas
keadilan.
 Alasan terakhir adalah bahwa praktek suap mengundang untuk melakukan
perbuatan tidak etis dan ilegal lainnya. Baik perusahaan yang memberi uang suap
maupun orang atau instansi yang menerimanya tidak bisa membukukan uang suap
itu seperti mestinya. Secara tidak langsung, orang yang terlibat dalam kasus suap
akan terlibat dalam perbuatan kurang etis lainnya karena terpaksa terus-menerus
harus menyembunyikan keterlibatannya.

Anda mungkin juga menyukai