Anda di halaman 1dari 11

Etika dalam Bisnis Internasional

1. Nur Fauziah
2. Hasna Adhara
3. Supriatin
4. Faruk Amirullah
Etika dalam Bisnis Internasional
Sudah sejak dahulu kala bisnis pada waktu itu masih terbatas pada
“perdagangan” yang menjadi sarana penting untuk mendekatkan negara-
negara dan bahkan kebudayaan-kebudayaan yang berlain-lainan.
Hubungan perdagangan dengan pengertian “asing” rupanya masih
membekas dalam bahasa Indonesia, karena salah satu arti “dagang”
adalah “orang dari negeri asing”. Dengan sarana transportasi dan
komunikasi yang kita miliki sekarang, bisnis internasional bertambah
penting lagi. 
Norma-Norma Moral yang Umum Pada Taraf Internasional

1). Menyesuaikan diri


bisnis harus menyesuaikan diri dengan norma yang berlaku di tempat itu.
2). Rigorisme moral
mempertahankan kemurnian etika yang sama seperti di negerinya
sendiri, menyesuaikan diri dengan norma etis di tempat lain, namun masih
mempertahankan norma aslinya yang dirasa baik
3). Imoralisme naif
hanya memenuhi ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku secara
internasional, tidak terlalu memperhatikan norma negara lain
Kasus Bisnis dengan Afrika Selatan yang rasistis
Setelah kita mempelajari dua pandangan tentang peranan etika dalam
bisnis internasional ini, perlu kita simpulkan bahwa tidak satu pun di
antaranya bisa dipertahankan.
Dalam pandangan “menyesuaikan diri” dapat kita hargai perhatian untuk
peranan situasi. Situasi yang berbeda-beda memang mempengaruhi
kualitas etis suatu perbuatan, tetapi tidak sampai menyingkirkan sifat
umum dari norma-norma moral, seperti dipikirkan pandangan pertama ini.
Pandangan kedua, rigorisme moral, terlalu ekstrem dalam menolak
pengaruh situasi, sedangkan mereka benar dengan pendapat bahwa kita
tidak meninggalkan norma-norma moral di rumah, biola kita berangkat
bebisnis ke luar negeri. Norma-norma moral mempunyai sifat universal.
Dalam etika jarang prinsip-prinsip moral bias diterapkan dengan mutlak,
karena kondisi konkret sering kali sangat kompleks. Hal ini dapat diilustrasikan
pada bisnis internasional dengan Afrika Selatan  yang mempunyai sistem
politik didasarkan pada diskriminasi ras (Apartheid) bahkan sistem Apartheid
ini didasarkan atas Undang-undang Afrika Selatan sejak 1948.
Kebijakan Apartheid Afrika Selatan menimbulkan kesulitan moral untuk
perusahaan asing yang mengadakan bisnis di Afrika Selatan karena mereka
wajib mengikuti sistem Apartheid. Dalam mencari jalan keluar dari dilema ini
banyak perusahaan Barat memegang pada The Sullivan Principles yang
dirumuskan dan dipraktekkan oleh Leon Sullivan.

Prinsip-prinsip Sullivan :
1. Leon Sullivan sebagai General Motors tidak akan menerapkan undang-
undang Apartheid.
2. Menghapus undang-undang Apartheid.
Masalah “dumping” dalam bisnis
internasional

Salah satu topik yang jelas termasuk etika bisnis internasional adalah dumping
produk, karena praktek kurang etis ini secara khusus berlangsung dalam hubungan
dengan negara lain. Yang dimaksudkan dengan dumping adalah menjual sebuah
produk dalam kuantitas besar di suatu negara lain dengan harga di bawah harga
pasar dan kadang-kadang malah di bawah biaya produksi.
Dapat dimengerti bahwa yang merasa keberatan terhadap praktek dumping ini
bukannya para konsumen, melainkan para produsen dari produk yang sama di
negara di mana dumping dilakukan. Para konsumen justru merasa beruntung –
sekurang-kurangnya dalam jangka pendek – karena dapat membeli produk dengan
harga murah, sedangkan para produsen menderita kerugian, karena tidak sanggup
menawarkan produk dengan harga semurah itu.
Aspek-aspek etis dari korporasi multinasional
Fenomena yang agak baru di atas panggung bisnis dunia adalah korporasi
multinasional, yang juga disebut korporasi transnasional. Yang dimaksudkan dengannya
adalah perusahaan yang mempunyai investasi langsung dalam dua negara atau lebih. 
1.  Korporasi multinasional tidak boleh dengan sengaja mengakibatkan kerugian
langsung.
2. Korporasi multinasional harus menghasilkan lebih banyak manfaat daripada kerugian
bagi negara dimana mereka beroperasi.
3. Dengan kegiatannya korporasi multinasional itu harus memberi kontribusi kepada
pembangunan negara dimana dia beroperasi.
4. Korporasi multinasional harus menghormati HAM dari semua karyawannya.
5. Sejauh kebudayaan setempat tidak melanggar norma-norma etis, korporasi
multinasional harus menghormati kebudayaan lokal itu dan bekerja sama dengannya,
bukan menantangnya.
6. Koorporasi multinasional harus membayar pajak yang “fair”
7. Koorporsi multinasional harus bekerja sama dengan pemerintah setempat
dalam mengembangkn dan menegakkan “backgroud institutions” yang
tepat
8. Negara yang memiliki mayoritas sham sebuah perusahaan harus memikul
tanggung jawab moral atas kegiatan dan kegagalan perusahaan tersebut.
9. Jika suatu korporasi multinasional membangun pabrik yang berisiko tinggi,
ia wajib menjaga supaya pabrik itu aman dan dioperasikan dengan aman.
10. Dalam mengalihkan teknologi berisiko tinggi kepada negara berkembang,
korporasi multinasional wajib merancang kembali sebuah teknologi
demikian rupa, sehingga dapat dipakai dengan aman dalam negara yang
belum berpengalaman.
Masalah Korupsi dalam taraf Internasional

Korupsi dalam bisnis tentu tidak hanya terjadi pada taraf


internasional, namun perhatian yang diberikan kepada masalah
korupsi dalam literatur etika bisnis terutama diarahkan kepada
konteks internasional.
Skandal Suap Lockheed
Lockheed adalah produsen pesawat terbang Amerika Serikat
yang melakukan suap ke berbagai Negara dengan tujuan agar
produknya dapat di pasarkan, lalu terbulaka kasus ini dan dimuat
diberbagai media massa yang menimbulkan reaksi cukub hebat.
Lockheed merasa keberatan dengan Undang-undang anti suap
di Amerika. Terdapat dua keberatan yang sering ditemukan yaitu :
1. Undang-undang ini mempraktekkan semacam imprealisme etis.
2. Undang-undang ini merugikan bisnis Amerika, karena
melemahkan daya saingnya.
SEKIAN,
TERIMAKASIH.

Anda mungkin juga menyukai