Bisnis Internasional
Yakni bisnis yang kegiatannya melewati batas-batas negara.
Definisi ini termasuk perdagangan internasional, pemanufakturan di luar
negeri serta industri jasa, seperti: transportasi, perbankan, pariwisata,
konstruksi, hiburan dan lain-lain.
etis karena hal itu akan merugikan posisinya dalam kompetisi dengan
pihak bisni lain.
1. Menyesuaikan Diri
Apabila kegiatan di tempat lain, bisnis harus menyesuaikan diri
dengan norma-norma etis yang bertaku ditempat itu. Hakekatnya norma
moral berlaku di seluruh dunia, namun norma non moral untuk perilaku
manusia bisa berbeda diberbagai negara. Misalnya norma sopan santun
dan norma hukum biasanya berbeda satu negara dengan negara lain.
Satu kasus dalam konteks ini adalah diskriminasi terhadap pekerja
wanita, khususnya masalah gaji.
Perusahaan di negara A mempunyai pabrik di negara B, dimana
terdapat kebiasaan membayar lebih rendah kepada wanita daripada
kepada laki-laki rneskipun kinerjanya sama. Di Negara A hal itu dilarang
menurut hukum. Dari segi ekonomis, bagi perusahaan tentu lebih
menguntungkan mengikuti kebisaan di negara B, karena dapat menekan
biaya produksi. Membayar gaji lebih rendah adalah diskriminasi dan
bertentangan dengan keadilan.
Prinsip keadilan adalah "equal pay for equal work" Kalau negara B
tidak peduli dengan prinsip itu, perusahaan dari negara A harus
melontarkan kritiknya agar keadilan berlaku.
3. Imoralisme Naif
Menurut pandangan ini dalam bisnis internasional tidak perlu pada
norma-norma etika. Memang, mereka berpendapat; kita harus memenuhi
ketentuan-ketentuan hukum (itupun sejauh ketentuan-ketentuan itu
ditegakkan di negara bersangkutan), tetapi selain itu, kita tidak terikat oleh
norma-norma moral. Malah jika perusahaan terlalu memperhatikan etika;
ia akan berada pada posisi yang merugikan, sebaliknya jika perusahaan
tidak melakukan hal itu (scrupulous) akan berada pada posisi
menguntungkan.
Contohnya: di negara dimana korupsi merajalela, mengapa kita
tidak ikut dalam memberi suap atau komisi kepada aparat, sebab hal itu
sudah menjadi kebiasaan umum. Pendapat semacam itu tidak merupakan
argumen yang mutlak karena masalah moral bukannya kebiasaan yang
lain dalam masyarakat, melainkan boleh tidaknya dipandang dari sudut
norma etika. Ada juga perusahaan atau pribadi yang punya keberanian
untuk menolak suap, komisi dan sebagainya, Mereka bisa melakukan
clean business, misalnya perusahaan IBM.
KASUS BISNIS DI AFRIKA SELATAN
DITANDAI DENGAN RASISTIS (apartheid)
Leon Sullivan adalah pendeta Baptis (Kulit Hitam) sebagai anggota
Direksi General Motor di AS. KetIka perusahaannya menghadapi dilemma:
meneruskan kegiatannya di Afrika Selatan atau tutup, Sullivan
mengusulkan untuk tetap melanjutkan kegiatan dengan tujuan
memperbaiki nasib golongan kulit hitam.
2 syarat diajukannya (Prinsip-prinsip Sullivan):
1. GM dalam pabrik-pabriknya di Afsel tidak akan menerapkan undang-
undang apartheid.
2. GM akan berusaha terus pada kesempatan apa saja di Afsel maupun
forum Internasional agar apartheid dihapus.
Solusi ini bisa dilihat sebagai usaha untuk mencari jalan tengah
antara pandangan "menyesuaikan diri" dan "rigorisme moral", dan ini
sebagian besar berhasil dijalankan di Afsel.
(2) KMN harus menghasilkan Iebih banyak manfaat daripada kerugian bagi
menjaga supaya pabrik itu aman dan dioperasikan dengan aman pula.
(9) Dalam mengalihkan teknologi berisiko tinggi kepada negara
berkembang, KMN wajib merancang kembali sebuah teknologi
demikian rupa, sehingga dapat dipakai dengan aman dalam negara
baru yang belum berpengalaman.
Tujuh norma pertama berlaku untuk semua KMN, sedangkan tiga
aturan terakhir terutama dirumuskan untuk industri berisiko khusus seperti
pabrik kimia atau instalasi nuklir.