Anda di halaman 1dari 8

ETIKA DAN BISNIS INTERNASIONAL

William Robertson, sejarawan dari Skotlandia mengatakan bahwa


“perdagangan memperlunak dan memperhalus cara pergaulan manusia”.
Hubungan perniagaan dengan pengertian “asing” masih membekas
dalam bahasa Indonesia, karena salah satu arti "dagang" adalah "orang
dari negeri asing".
Dengan sarana transportasi dan komunikasi yang ada sekarang,
bisnis internsional bertambah penting. Berulang kali kita dengar bahwa
kini kita hidup di era globalisasi ekonomi; kegiatan ekonomi mencakup
seluruh dunia, sehingga hampir semua negara tercantum dalam "pasar"
sebagaimana dimengerti sekarang dan merasakan pasang surutnya pasar
ekonomis.
Memang benar, kenyataan itu tidak bisa dipungkiri. Tetapi
dipandang dari sudut moral, ada konsekuensinya juga. Gejala globalisasi
bisa berdampak positif juga negatif. Disatu pihak globalisasi dapat
meningkatkan rasa persaudaraan dan kesetiakawanan antar bangsa dan
dengan demikian melanjutkan tradisi perdagangan internasional sejak
dulu. Di lain pihak gejala yang sama bisa berakhir dalam suasana
konfrontasi dan permusuhan, karena mengakibatkan pertentangan
ekonomi dan perang dagang, melihat kepentingan-kepentingan raksasa
yang dipertaruhkan di situ.
Norma-norma moral yang umum pada taraf internasional. Apakah
norma-norma moral bersifat relatif atau absolut? Apa yang harus kita
lakukan, jika di bidang bisnis norma-norma moral di negara lain berbeda
dengan norma-norma yang kita anut sendiri?
Tiga jawaban menurut Richard De George:
1. Bahwa dalam bisnis internasional kita harus menyesuaikan dengan

norma-norma etis yang berlaku di negara lain dimana kita


berhubungan bisnis.
2. Bahwa kira harus berpegang pada norma-norma etis yang berlaku di

negara kita sendiri.


3. Bahwa bisnis di negara lain tidak perlu berpegang pada norma-norma

etis karena hal itu akan merugikan posisinya dalam kompetisi dengan
pihak bisni lain.

1. Menyesuaikan Diri
Apabila kegiatan di tempat lain, bisnis harus menyesuaikan diri
dengan norma-norma etis yang bertaku ditempat itu. Hakekatnya norma
moral berlaku di seluruh dunia, namun norma non moral untuk perilaku
manusia bisa berbeda diberbagai negara. Misalnya norma sopan santun
dan norma hukum biasanya berbeda satu negara dengan negara lain.
Satu kasus dalam konteks ini adalah diskriminasi terhadap pekerja
wanita, khususnya masalah gaji.
Perusahaan di negara A mempunyai pabrik di negara B, dimana
terdapat kebiasaan membayar lebih rendah kepada wanita daripada
kepada laki-laki rneskipun kinerjanya sama. Di Negara A hal itu dilarang
menurut hukum. Dari segi ekonomis, bagi perusahaan tentu lebih
menguntungkan mengikuti kebisaan di negara B, karena dapat menekan
biaya produksi. Membayar gaji lebih rendah adalah diskriminasi dan
bertentangan dengan keadilan.
Prinsip keadilan adalah "equal pay for equal work" Kalau negara B
tidak peduli dengan prinsip itu, perusahaan dari negara A harus
melontarkan kritiknya agar keadilan berlaku.
2. Rigorisme Moral (mempertahankan kemurnian etika negeri sendiri)
Pandangan kedua memilih arah terbalik. Dikatakan bahwa
perusahaan di luar negeri hanya boleh melakukan apa yang boleh
dilakukan di negaranya sendiri dan tidak boleh menyesuaikan diri dengan
norma etis yang berbeda di tempat lain. Mereka berpendapat apa yang
dianggap baik dinegerinya sendiri, akan baik pula di negara lain.
Pandangan ini sulit dipertahankan. Karena bagaimanapun di
negara Iain atau situasi setempat sudah pasti berbeda. Suatu perusahaan
dari negara maju akan dirugikan apabila di luar negeri harus menerapkan
semua peraturan yang berlaku dinegaranya sendiri. Mustahil perusahaan
asing di negara maju yang beroperasi di negara berkembang harus
membayar gaji yang sama tinggi seperti di negara asalnya. Di negara-
negara maju pun kadang bisa ditemukan perbedaan persepsi tentang apa
yang dianggap etis atau fidak.

3. Imoralisme Naif
Menurut pandangan ini dalam bisnis internasional tidak perlu pada
norma-norma etika. Memang, mereka berpendapat; kita harus memenuhi
ketentuan-ketentuan hukum (itupun sejauh ketentuan-ketentuan itu
ditegakkan di negara bersangkutan), tetapi selain itu, kita tidak terikat oleh
norma-norma moral. Malah jika perusahaan terlalu memperhatikan etika;
ia akan berada pada posisi yang merugikan, sebaliknya jika perusahaan
tidak melakukan hal itu (scrupulous) akan berada pada posisi
menguntungkan.
Contohnya: di negara dimana korupsi merajalela, mengapa kita
tidak ikut dalam memberi suap atau komisi kepada aparat, sebab hal itu
sudah menjadi kebiasaan umum. Pendapat semacam itu tidak merupakan
argumen yang mutlak karena masalah moral bukannya kebiasaan yang
lain dalam masyarakat, melainkan boleh tidaknya dipandang dari sudut
norma etika. Ada juga perusahaan atau pribadi yang punya keberanian
untuk menolak suap, komisi dan sebagainya, Mereka bisa melakukan
clean business, misalnya perusahaan IBM.

KASUS BISNIS DI AFRIKA SELATAN


DITANDAI DENGAN RASISTIS (apartheid)
Leon Sullivan adalah pendeta Baptis (Kulit Hitam) sebagai anggota
Direksi General Motor di AS. KetIka perusahaannya menghadapi dilemma:
meneruskan kegiatannya di Afrika Selatan atau tutup, Sullivan
mengusulkan untuk tetap melanjutkan kegiatan dengan tujuan
memperbaiki nasib golongan kulit hitam.
2 syarat diajukannya (Prinsip-prinsip Sullivan):
1. GM dalam pabrik-pabriknya di Afsel tidak akan menerapkan undang-
undang apartheid.
2. GM akan berusaha terus pada kesempatan apa saja di Afsel maupun
forum Internasional agar apartheid dihapus.
Solusi ini bisa dilihat sebagai usaha untuk mencari jalan tengah
antara pandangan "menyesuaikan diri" dan "rigorisme moral", dan ini
sebagian besar berhasil dijalankan di Afsel.

MASALAH “DUMPING" DALAM BISNIS INTERNASIONAL


Topik yang termasuk etika bisnis internasional adalah dumping,
praktek kurang etis ini berlangsung dalam hubungan dengan negara lain.
DUMPING adalah menjual sebuah produk dalam kuantitas besar di suatu
negara lain dengan harga di bawah harga pasar dan kadang-kadang
dibawah biaya produksi. Yang merasa keberatan dumping ini adalah para
produsen dari produk yang sama di negara di mana dumping dilakukan.
Para konsumen justru beruntung karena mendapat harga murah,
sedangkan para produsen merugi karena tidak sanggup menawarkan
produk dengan harga lebih murah.
Dumping produk bisa diadakan dengan banyak motif yang berbeda.
Salah satu motif adalah bahwa si penjual mempunyai persedian terlalu
besar, sehingga diputuskan untuk menjual dengan dibawah harga.
Daripada produknya sama sekali tidak terjual, lebih baik sekurang-
kurangnya bisa menutup biaya produksi, atau kemungkinan menghindari
kerugian lebih besar. Motif lebih jelek adalah berusaha untuk merebut
monopoli dengan membimbing harga.
Dengan harapan orang lain tidak mungkin lagi menjualnya, maka
untuk kemudian dia akan bebas menentukan harga setinggi-tingginya. (Di
negara maju seperti AS dan Eropa hal itu dilarang karena adanya
perundang-undangan anti trust dan anti monopoli. Mengapa praktek
dumping produk itu tidak etis. Jawabannya adalah karena dumping
melanggar etika pasar bebas. Karena memungkinkan merugikan orang/
perusahaan lain; kompetisi yang fair adalah prinsip dasar etika pasar
bebas.
Tidak etis pula bila suatu negara menuduh negara lain
mempraktekan dumping, padahal maksudnya hanya melindungi pasar
dalam negerinya. Kalau begitu, tuduhan dumping menjadi sekedar dalih
untuk memperbaiki posisinya sendiri di pasaran. Jika negara lain bisa
memproduksi sesuatu dengan harga lebih murah, karena cara produksinya
lebih efisien atau karena mampu menekan biaya produksi, kenyataan itu
harus diterima oleh semua negara lain. Jika negara-negara berkembang
sanggup memproduksi pakaian jadi dengan harga murah, itu dikarenakan
negara tersebut bisa menekan biaya produksi, misalnya karena upah
karyawan relatif kecil.
Hal itu tidak boleh dinilai sebagai dumping. Tidak etis bila menuduh
dumping semat-mata menjadi kedok untuk menyingkirkan saingan dari
pasar.
Tetapi kriteria apa harus dipakai untuk menentukan ada tidaknya
dumping? Misalnya, jika produsen sanggup mengekspor produknya ke luar
negeri dengan harga murah karena membayar upah terlalu kecil kepada
pekerja. Kwik Kian Gie menegaskan bahwa menekan harga ekspor
dengan memberi upah yang tidak adil, menurutnya dapat dikategorikan
dikategorikan sebagai dumping juga.

ASPEK ETIS DARI KORPORASI INTERNASIONAL


Fenomena yang agak baru di atas panggung bisnis global adalah
korporasi multinasional (multinational corporation) atau transnational
corporation. Ini dimaksudkan adalah perusahaan yang mempunyai
investasi langsung dalam dua negara atau lebih. Diartikan perusahaan yang
mempunyai hubungan dagang dengan luar negeri belum disebut sebagai
KMN, tetapi perusahaan yang memiliki pabrik di beberapa negara termasuk
didalamnya.
Contohnya, Coca Cola, GM, Toyota, Mitsubishi, Sonny, IBM, Philips,
Unilever, Bata dan sebagainya. Karena memiliki kekuatan ekonomis yang
seringkali sangat besar dan karena beroperasi di berbagai negara, sebab
itu mempunyai mobilitas tinggi, KMN menimbulkan masalah-masalah etis
sendiri, baik di negara maju maupun di negara berkembang. Tentu saja
masuknya KMN di negara berkembang baru diijinkan membuka suatu
usaha diwilayahnya jika mayoritas saham minimal 50,1% berada di tangan
negara setempat.
10 (SEPULUH) ATURAN ETIS YANG TERPENTING BAGI KORPORASI
MULTI NASIONAL (KMN) |De George)
(1) KMN tidak boleh dengan sengaja mengakibaikan kerugian langsung

(2) KMN harus menghasilkan Iebih banyak manfaat daripada kerugian bagi

negara dimana mereka beroperasi.


(3) Dengan kegiatannya KMN itu harus memberi kontribusi kepada

pembangunan negara dimana mereka beroperasi


(4) KMN harus menghormati HAM semua karyawannya

(5) Sejauh kebudayaan setempat tidak melanggar norma-norma etis, KMN

harus menghormati kebudayaan lokal itu dan bekerja sama


dengannya, bukan menentangnya
(6) KMN harus membayar pajak yang "fair".

(7) KMN harus bekerja sama dengan pemerintab setempat dalam

mengembangkan dan menegakkan "background institutions'' yang


tepat saham sebuah perusahaan harus memikul tanggung jawab moral
atas kegiatan dan kegagalan perusahaan tadi.
(8) Jika suatu KMN membangun pabrik yang berisiko tinggi ia wajib

menjaga supaya pabrik itu aman dan dioperasikan dengan aman pula.

(9) Dalam mengalihkan teknologi berisiko tinggi kepada negara


berkembang, KMN wajib merancang kembali sebuah teknologi
demikian rupa, sehingga dapat dipakai dengan aman dalam negara
baru yang belum berpengalaman.
Tujuh norma pertama berlaku untuk semua KMN, sedangkan tiga
aturan terakhir terutama dirumuskan untuk industri berisiko khusus seperti
pabrik kimia atau instalasi nuklir.
MASALAH KORUPSI PADA TARAF GLOBAL
Contoh yang paling terkenal Skandal suap Lockheed dan
Watergate
Mengapa pemakaian uang suap bertentangan dengan etika? 4
(empat) alasan praktek suap harus dianggap tidak bermoral:
1. Bahwa praktek suap itu melanggar etika pasar

2. Orang yang tidak berhak mendapat imbalan juga

3. Alasas uang suap diberikan dalam keadaan kelangkaan, Misalnya,

dalam keadaan kekurangan kertas seorang penerbit memberikan


suap dan ia mendapatkan kertas tersebut. Ini bertentangan dengan
asas keadilan
4. Praktek suap mengundang untuk melakukan perbuatan tidak etis
lainnya.

Anda mungkin juga menyukai