etis karena hal itu akan merugikan posisinya dalam kompetisi dengan
pihak bisni lain.
1. Menyesuaikan Diri
Apabila kegiatan di tempat lain, bisnis harus menyesuaikan diri
dengan norma-norma etis yang bertaku ditempat itu. Hakekatnya norma
moral berlaku di seluruh dunia, namun norma non moral untuk perilaku
manusia bisa berbeda diberbagai negara. Misalnya norma sopan santun
dan norma hukum biasanya berbeda satu negara dengan negara lain.
Satu kasus dalam konteks ini adalah diskriminasi terhadap pekerja
wanita, khususnya masalah gaji.
Perusahaan di negara A mempunyai pabrik di negara B, dimana
terdapat kebiasaan membayar lebih rendah kepada wanita daripada
kepada laki-laki rneskipun kinerjanya sama. Di Negara A hal itu dilarang
menurut hukum. Dari segi ekonomis, bagi perusahaan tentu lebih
menguntungkan mengikuti kebisaan di negara B, karena dapat menekan
biaya produksi. Membayar gaji lebih rendah adalah diskriminasi dan
bertentangan dengan keadilan.
Prinsip keadilan adalah "equal pay for equal work" Kalau negara B
tidak peduli dengan prinsip itu, perusahaan dari negara A harus
melontarkan kritiknya agar keadilan berlaku.
2. Rigorisme Moral (mempertahankan kemurnian etika negeri sendiri)
Pandangan kedua memilih arah terbalik. Dikatakan bahwa
perusahaan di luar negeri hanya boleh melakukan apa yang boleh
dilakukan di negaranya sendiri dan tidak boleh menyesuaikan diri dengan
norma etis yang berbeda di tempat lain. Mereka berpendapat apa yang
dianggap baik dinegerinya sendiri, akan baik pula di negara lain.
Pandangan ini sulit dipertahankan. Karena bagaimanapun di
negara Iain atau situasi setempat sudah pasti berbeda. Suatu perusahaan
dari negara maju akan dirugikan apabila di luar negeri harus menerapkan
semua peraturan yang berlaku dinegaranya sendiri. Mustahil perusahaan
asing di negara maju yang beroperasi di negara berkembang harus
membayar gaji yang sama tinggi seperti di negara asalnya. Di negara-
negara maju pun kadang bisa ditemukan perbedaan persepsi tentang apa
yang dianggap etis atau fidak.
3. Imoralisme Naif
Menurut pandangan ini dalam bisnis internasional tidak perlu pada
norma-norma etika. Memang, mereka berpendapat; kita harus memenuhi
ketentuan-ketentuan hukum (itupun sejauh ketentuan-ketentuan itu
ditegakkan di negara bersangkutan), tetapi selain itu, kita tidak terikat oleh
norma-norma moral. Malah jika perusahaan terlalu memperhatikan etika;
ia akan berada pada posisi yang merugikan, sebaliknya jika perusahaan
tidak melakukan hal itu (scrupulous) akan berada pada posisi
menguntungkan.
Contohnya: di negara dimana korupsi merajalela, mengapa kita
tidak ikut dalam memberi suap atau komisi kepada aparat, sebab hal itu
sudah menjadi kebiasaan umum. Pendapat semacam itu tidak merupakan
argumen yang mutlak karena masalah moral bukannya kebiasaan yang
lain dalam masyarakat, melainkan boleh tidaknya dipandang dari sudut
norma etika. Ada juga perusahaan atau pribadi yang punya keberanian
untuk menolak suap, komisi dan sebagainya, Mereka bisa melakukan
clean business, misalnya perusahaan IBM.
(2) KMN harus menghasilkan Iebih banyak manfaat daripada kerugian bagi
menjaga supaya pabrik itu aman dan dioperasikan dengan aman pula.