Anda di halaman 1dari 9

ETIKA DALAM BISNIS

INTERNASIONAL

Mata Kuliah : Etika Bisnis dan Profesi


Dosen : Yeni Alfiana, SE.M.Sc

Disusun Oleh :

Nama : Dian Thirysna Siahaan


NPM : 19210031
Semester/Kelas : V (Lima) / A (Ganjil Sore)

PROGRAM STUDI MANAJEMEN


FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS TAMANSISWA PALEMBANG
2021
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Secara umum bisnis dapat didefinisikan sebagai satu
prinsip standar atau moril diterapkan pada satu
organisasi bisnis. Untuk berkelakuan pada satu secara
etis dan secara sosial cara bertanggung-jawab harus
menjadi tanda dari tiap-tiap perilakunya businessperson,
domestik atau internasional. Masalah utama bangun dari
pertanyaan moral dari apa benar dan atau menyesuaikan
bersikap itu beberapa dilema untuk pemasar domestik.
Masalah dari etika bisnis adalah lebih rumit pada
bisnis internasional karena pertimbangan
menghargai perbedaan secara luas antara cultural group
berbeda. Apa itu bisa diterima di negara sesuatu dengan
sepenuhnya yang tidak dapat diterima pada negara lain.

Kegiatan bisnis yang meningkat di dunia modern ini,


telah menimbulkan tantangan baru, yaitu adanya
tuntutan praktik bisnis yang baik, etis, dan menjadi
dasar kehidupan bisnis yang dapat diterima oleh banyak
negara di dunia. Dalam kegiatan bisnis internasional,
perusahaan akan mampu bertahan apabila mampu
bersaing. Untuk dapat bersaing tentunya harus memiliki
daya saing, yang di antaranya dihasilkan dari
produktivitas dan efisiensi. Untuk itu diperlukan etika
dalam berusaha atau berbisnis, karena praktik usaha
yang tidak etis dapat menimbulkan kegagalan pasar,
mengurangi produktivitas dan meningkatkan
ketidakefisienan.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apakah yang di maksud dengan Etika dalam
Bisnis Internasional?
2. Bagaimana norma-norma moral yang umum pada
taraf internasional?
3. Apakah yang dimaksud “dumping” dalam Bisnis
Internasional?
4. Apa sajakah aspek etis dari korporasi
multinasional?

C. TUJUAN
1. Mengetahui maksud dari Etika dalam Bisnis
Internasional.

2
2. Memahami norma-
norma moral yang
umum pada taraf
internasional.
3. Mengetahui
pengertian
“dumping” dalam
Bisnis
Internasional.
4. Mengetahui aspek-
aspek etis dari
korporasi
multinasional.

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. ETIKA DALAM BISNIS INTERNASIONAL

Hubungan perdagangan dengan “asing” masih membekas dalam bahasa Indonesia, karena
salah satu arti dagang adalah orang dari negeri asing. Dengan sarana transportasi dan
komunikasi yang kita miliki sekarang, bisnis internasional menjadi semakin penting.
Berulang kali dapat kita dengar bahwa kini kita hidup dalam era globalisasi ekonomi,
kegiatan ekonomi mencakup seluruh dunia, sehingga hampir semua negara tercantum dalam
“pasar” sebagaimana dimengerti sekarang dan merasakan akibat pasang surutnya pasar
ekonomis. Gejala globalisasi ekonomi ini bisa berakibat positif maupun negatif. Disatu pihak
globalisasi dapat meningkatkan rasa persaudaraan dan kesetiakawanan antara bangsa-bangsa
dan dengan demikian melanjutkan tradisi perdagangan internasional sejak dulu. Di lain pihak,
gejala yang sama bisa berakhir dalam suasana konfrontasi dan permusuhan, karena
mengakibatkan pertentangan ekonomi dan perang dagang, melihat kepentingan-kepentingan
raksasa yang di pertaruhkan di situ.
Internasionalisasi bisnis yang semakin mencolok sekarang ini menampilkan juga aspek
etis yang baru. Tidak mengherankan jika terutama tahun-tahun terakhir ini diberi perhatian
khusus kepada aspek-aspek etis dalam bisnis internasional. Dalam bab ini akan dibahas
beberapa masalah moral yang khusus berkaitan dengan bisnis pada taraf internasional.

B. NORMA-NORMA MORAL YANG UMUM PADA TARAF INTERNASIONAL


Richard De George menjelaskan bahwa terdapat tiga hal yang harus kita lakukan jika di
bidang bisnis norma-norma moral di negara lain berbeda dengan norma-norma yang kita
anut, yaitu:
1. Menyesuaikan diri
Seperti peribahasa Indonesia: “Dimana bumi berpijak, disana langit dijunjung”.
Maksudnya adalah kalau sedang mengadakan kegiatan ditempat lain bisnis harus
menyesuaikan diri dengan norma-norma yang berlaku di tempat itu. Diterapkan di bidang
moral, pandangan ini mengandung relativisme ekstrem.
2. Rigorisme moral
Yang di maksud dengan rigorisme moral adalah mempertahankan kemurnian etika yang
sama seperti di negeri sendiri. De George mengatakan bahwa perusahaan di luar negeri hanya
boleh melakukan apa yang boleh dilakukan di negaranya sendiri dan justru tidak boleh
menyesuaikan diri dengan norma etis yang berbeda di tempat lain. Kebenaran yang dapat
ditemukan dalam pandangan rigorisme moral ini adalah bahwa kita harus konsisten dalam
perilaku moral kita. Norma-norma etis memang bersifat umum. Yang buruk di satu tempat
tidak mungkin menjadi baik dan terpuji di tempat lain.
3. Imoralisme naif
Menurut pandangan ini, dalam bisnis internasional tidak perlu kita berpegang pada
norma-norma etika. Memang kita harus memenuhi ketentuan-ketentuan hukum, tetapi selain
itu kita tidak terikat oleh norma-norma moral. Malah jika perusahaan terlalu memperhatikan
etika, ia berada dalam posisi yang merugikan, karena daya saingnya akan terganggu.
Perusahaan-perusahaan lain yang tidak begitu scrupulous dengan etika akan menduduki
posisi yang lebih menguntungkan. Sebagai argumen untuk mendukung sikap itu sering
dikemukakan: “semua perusahaan melakukan hal itu”.
4. Kasus bisnis dengan Afrika Selatan yang rasistis
Dalam etika jarang saja prinsip-prinsip moral dapat diterapkan dengan mutlak, karena
situasi konkret sering kali sangat kompleks. Salah satu contoh yang baik adalah bisnis
internasional dengan Afrika Selatan sampai negara itu meninggalkan politiknya yang rasistis.
Dalam mempelajari kasus Afrika Selatan ini sebagai contoh perdamaian antara pandangan
“menyesuaikan diri” dengan rigorisme moral.
Kebijakan apartheid yang diterapkan di Afrika Selatan ini menimbulkan kesulitan
moral yang besar untuk perusahaan-perusahaan asing yang mengadakan bisnis di Afrika
Selatan. Kebijakan apartheid sendiri adalah kebijakan yang membedakan dan memisahkan
segala hal mayoritas kulit hitam dengan minoritas kulit putih. Mereka diwajibkan untuk
mengikuti sistem apartheid juga dalam pabrik dan kantor di Afrika Selatan. Mengelola
perusahaan atas dasar diskriminasi merupakan perbuatan yang tidak etis.
Dalam mencari jalan keluar dari dilema ini banyak perusahaan barat memegang pada
The Sullivan Principles yang untuk pertama kali dirumuskan dan dipraktekkan oleh
perusahaan mobil Amerika, General Motors. Leon Sullivan adalah pendeta Baptis (kulit
hitam) dan anggota dewan direksi General Motors di Amerika Serikat. Ketika perusahaan
tersebut mengalami dilema dalam menjalankan bisnis di Afrika Selatan antara lanjut atau
tidak, Sullivan mengusulkan untuk meneruskannya dengan ditambah 2 syarat untuk bertujuan
memperbaiki nasib golongan kulit hitam disana. Syarat nya antara lain :

a. General Motors tidak akan menerapkan undang-undang apartheid, jadi mereka


mempraktekkan ketidakpatuhan pasif. Pemerintah Afrika Selatan membiarkan hal itu
terjadi karena jika perusahaan tersebut tidak meneruskan bisnis maka Afrika Selatan
akan mengalami kerugian ekonomis yang besar.
b. General Motors akan berusaha pada kesempatan apa saja, di Afrika selatan sendiri
atau dalam forum internasional, agar undang-undang apartheid itu dihapus.

Solusi yang dilakukan General Motors tersebut bisa dilihat sebagai usaha untuk mencari
jalan tengah diantara pandangan “menyesuaikan diri” dengan rigorisme moral.

C. MASALAH “DUMPING” DALAM BISNIS INTERNASIONAL

Yang dimaksudkan dengan dumping adalah menjual sebuah produk dalam kuantitas besar
di suatu negara lain dengan harga dibawah harga pasar dan kadang-kadang malah di bawah
biaya produksi. Yang akan merasa keberatan terhadap praktek dumping ini bukannya para
konsumen, melainkan para produsen dari produk yang sama di negara di mana dumping
dilakukan. Dumping produk bisa diadakan dengan banyak motif yang berbeda. Salah satu
motif adalah bahwa si penjual mempunyai persediaan terlalu besar, sehingga ia memutuskan
untuk menjual produk bersangkutan di bawah harga saja. Motif lebih jelek adalah berusaha
untuk merebut monopoli dengan membanting harga.
Praktek dumping produk itu tidak etis karena melanggar etika pasar bebas. Sebagaimana
doping dalam perlombaan olah raga harus dianggap kurang etis karena merusak kompetisi
yang fair, demikian juga praktek seperti dumping menghancurkan kemungkinan bagi orang
bisnis untuk bersaing pada taraf yang sama. Kalau dilakukan dengan maksud merebut
monopoli, dumping menjadi kurang etis juga karena merugikan konsumen. Akan tetapi, tidak
etis pula bila suatu negara menuduh negara lain mempraktekkan dumping, padahal
maksudnya hanya melindungi pasar dalam negerinya. Jika negara lain bisa memproduksi
sesuatu dengan harga lebih murah, karena cara produksinya lebih efisien atau karena bisa
menekan biaya produksi, kenyataan ini harus diterima oleh negara lain. Misalnya jika negara
berkembang sanggup memproduksi pakaian jadi dengan lebih murah karena biaya
produksinya kurang dikarenakan upah karyawan yang relatif kecil, hal itu tidak boleh dinilai
sebagai dumping. Tidak etis bila menuduh dumping semata-mata menjadi kedok untuk
menyingkirkan saingan dari pasar.
Melanjutkan perbandingan tadi, sebagaimana kita memiliki metode-metode yang objektif
dan pasti untuk membuktikan adanya praktek doping dalam bidang olah raga, demikian juga
kita membutuhkan prosedur yang jelas untuk memastikan adanya dumping. Kita
membutuhkan suatu instansi supranasional yang sanggup bertindak dan sekaligus diakui
sebagai wasit yang objektif. Tetapi dalam situasi dunia sekarang instansi seperti itu belum
dimungkinkan. Dalam rangka Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) telah dibuat sebuah
dokumen tentang dumping, tetapi hanya sebagai model untuk membuat peraturan hukum di
negara-negara anggotanya.

D. ASPEK-ASPEK ETIS DARI KORPORASI MULTINASIONAL

Yang dimaksud dengan korporasi multinasional adalah perusahaan yang mempunyai


investasi langsung dalam dua negara atau lebih. Jadi perusahaan yang mempunyai hubungan
dagang dengan luar negeri, dengan demikian belum mencapai status korporasi multinasional
(KMN), tetapi perusahaan yang memiliki pabrik di beberapa negara termasuk di dalamnya.
Kita semua mengenal KMN seperti Coca-Cola, Johnson & Johnson, AT & T, General Motors,
IBM, Mitsubishi, Toyota, Sony, Philips, Unilever yang mempunyai kegiatan di seluruh dunia
dan menguasai nasib jutaan orang.
Karena memiliki kekuatan ekonomis yang sering kali sangat besar dan karena beroperasi
di berbagai tempat yang berbeda dan sebab itu mempunyai mobilitas tinggi, KMN
menimbulkan masalah-masalah etis sendiri. Di sini kita membatasi diri pada masalah-
masalah yang berkaitan dengan negara-negara berkembang. Tentu saja, negara-negara
berkembang sudah mengambil berbagi tindakan untuk melindungi diri. Misalnya, mereka
tidak mengijinkan masuk KMN yang bisa merusak atau melemahkan suatu industri dalam
negeri. Beberapa negara berkembang hanya mengijinkan KMN membuka suatu usaha di
wilayahnya, jika mayoritas saham (sekurang-kurangnya 50,1%) berada dalam tangan warga
negara setempat.
Karena kekosongan hukum pada taraf internasional, kesadaran etis bagi KMN lebih
mendesak lagi. De George merumuskan sepuluh aturan etis yang dianggap paling mendesak
dalam konteks ini. Tujuh norma pertama berlaku untuk semua KMN, sedangkan tiga aturan
terakhir terutama dirumuskan untuk industri berisiko khusus seperti pabrik kimia atau
instalasi nuklir. Sepuluh aturan itu adalah:
1. Korporasi Multinasional tidak boleh dengan sengaja mengakibatkan kerugian
langsung.
2. Korporasi Multinasional harus menghasilkan lebih banyak manfaat daripada kerugian
bagi negara di mana mereka beroperasi.
3. Dengan kegiatannya, Korporasi Multinasional itu harus memberi konstribusi kepada
pembangunan negara di mana ia beroperasi.
4. Korporasi Multinasional harus menghormati Hak Asasi Manusia dari semua
karyawannya.
5. Sejauh kebudayaan setempat tidak melanggar norma-norma etis, Korporasi
Multinasional harus menghormati kebudayaan lokal itu dan bekerja sama dengannya,
bukan menentangnya.
6. Korporasi Multinasional harus membayar pajak yang “fair”.
7. Korporasi Multinasional harus bekerja sama dengan pemerintah setempat dalam
mengembangkan dan menegakkan “background institutions” yang tepat.
8. Negara yang memiliki mayoritas saham sebuah perusahaan memikul tanggung jawab
moral atas kegiatan dan kegagalan perusahaan tersebut.
9. Jika suatu Korporasi Multinasional membangun pabrik yang berisiko tinggi, ia wajib
menjaga supaya pabrik itu aman dan dioperasikan dengan aman.
10. Dalam mengalihkan teknologi berisiko tinggi kepada negara berkembang, Korporasi
Multinasional wajib merancang kembali sebuah teknologi demikian rupa, sehingga
dapat dipakai dengan aman dalam negara baru yang belum berpengalaman.
BAB III
PENUTUP
Etika adalah suatu kebiasaan dan tata cara hidup yang baik yang dianut suatu masyarakat
dan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Secara umum etika bisnis dapat
didefinisikan sebagai suatu standar atau prinsip moral yang diterapkan di dalam lembaga atau
organisasi bisnis dan perilaku yang dapat diterima (benar) atau tidak dapat diterima (salah)
dari orang-orang yang bergerak di dunia bisnis. Sedangkan, etika bisnis internasional terkait
dengan standar moral yang diterapkan di dalam kegiatan bisnis internasional. Melalui norma-
norma moral yang umum pada taraf internasional, Richard De George menjelaskan bahwa
terdapat tiga hal yang harus kita lakukan jika di bidang bisnis norma-norma moral di negara
lain berbeda dengan norma-norma yang kita anut, yaitu:
1. Menyesuaikan diri
Maksudnya adalah kalau sedang mengadakan kegiatan ditempat lain bisnis
harus menyesuaikan diri dengan norma-norma yang berlaku di tempat itu. Diterapkan
di bidang moral, pandangan ini mengandung relativisme ekstrem.
2. Rigorisme moral
Yang di maksud dengan rigorisme moral adalah mempertahankan kemurnian
etika yang sama seperti di negeri sendiri.
3. Imoralisme naif
Menurut pandangan ini, dalam bisnis internasional tidak perlu kita berpegang pada
norma-norma etika. Malah jika perusahaan terlalu memperhatikan etika, ia berada
dalam posisi yang merugikan, karena daya saingnya akan terganggu. Perusahaan-
perusahaan lain yang tidak begitu scrupulous dengan etika akan menduduki posisi
yang lebih menguntungkan. Sebagai argumen untuk mendukung sikap itu sering
dikemukakan: “semua perusahaan melakukan hal itu”.
Dari ketiga norma tersebut dapat dijadikan pertimbangan dalam menjalankan bisnis
internasional tentang apa yang seharusnya dilakukan suatu perusahaan dimana dia beroperasi.
DAFTAR PUSTAKA

Bertens, K.2013.Pengantar Etika Bisnis cetakan ke-12 (edisi revisi).Yogyakarta:Kanisius.


https://ekonomi.kompas.com/read/2018/01/26/151400026/sengketa-biodiesel-dengan-uni-
eropa-indonesia-akhirnya-menang.

Anda mungkin juga menyukai