Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH ETIKA BISNIS DAN PROFESI

ETIKA DALAM BISNIS INTERNASIONAL

Dosen Pengampu : Drs. Didit Herlianto, M.Si

Disusun Oleh :

Dewi Rosanita 141200113

Adinda Shelomitha Aulia Putri 141200145

Cicillia Lola Wahyu Setyaningrum 141200217

KELAS A

PROGRAM STUDI MANAJEMEN

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” YOGYAKARTA

YOGYAKARTA

2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat dan
kasih-Nya kami dapat menyusun dan menyelesaikan makalah Etika Bisnis dan Profesi tepat
pada waktunya tanpa halangan suatu apapun. Makalah ini disusun sebagai pemenuhan tugas
Etika Bisnis dan Profesi yang akan membahas mengenai Etika dalam Bisnis Internasional

Terima kasih kami ucapkan kepada Bapak Drs. Didit Herlianto, M.Si. selaku dosen
mata kuliah Etika Bisnis dan Profesi yang telah membimbing kami dan memberikan tugas ini
sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami
tekuni serta semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah.

Kami harap makalah ini dapat berguna kelak di kemudian hari. Kami sadar bahwa
makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kritik dan
saran yang bersifat membangun untuk perbaikan makalah ini sangat kami harapkan. Jika ada
sesuatu yang kurang berkenan kami mohon maaf.

Yogyakarta, 24 April 2022

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................................... ii

DAFTAR ISI ....................................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ............................................................................................................ 1

1.2 Rumusan Masalah ....................................................................................................... 2

1.3 Tujuan ......................................................................................................................... 2

BAB II KAJIAN TEORITIS ................................................................................................ 3

2.1 Norma-Norma Moral yang Umum pada Taraf Internasional ........................................ 3

2.2 Masalah Dumping dalam Bisnis Internasional ............................................................. 6

2.3 Aspek-Aspek Etis dari Korporasi Multinasional .......................................................... 7

2.4 Masalah Korupsi pada Taraf Internasional ................................................................. 12

BAB III PEMBAHASAN .................................................................................................. 14

3.1 Kasus ........................................................................................................................ 14

3.2 Analisis Kasus ........................................................................................................... 17

BAB IV PENUTUP ........................................................................................................... 20

4.1 Kesimpulan ............................................................................................................... 20

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 22

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam bisnis etika berperan sangat penting ketika keuntungan bukan lagi satu-satunya
tujuan organisasi. Apabila moral merupakan sesuatu yang mendorong orang melakukan
kebaikan etika bertindak sebagai acuan yang merupakan kesepakatan secara rela dari
semua anggota kelompok. Bisnis yang bermoral akan mampu mengembangkan etika yang
menjamin kegiatan bisnis yang seimbang, selaras, dan serasi. Etika sebagai acuan dalam
suatu kelompok masyarakat akan dapat membimbing dan mengingatkan anggotanya pada
tindakan yang terpuji yang harus selalu dipatuhi dan dilaksanakan. Etika dalam bisnis
internasional tentu harus disepakati oleh orang-orang yang berada dalam kelompok bisnis
serta kelompok yang terkait lainnya.

Hubungan perdagangan dengan pengertian asing masih membekas dalam bahasa


Indonesia, karena salah satu arti dagang adalah orang dari negeri asing. Dengan sarana
transportasi dan komunikasi yang ada sekarang ini, bisnis internasional bertambah penting
lagi. Di era globalisasi ekonomi sekarang ini, kegiatan ekonomi mencakup seluruh dunia,
sehingga hampir semua negara tercantum dalam pasar internasional, sebagaimana yang
dipahami sekarang dan dirasakan akibat pasang surut pasar ekonomi. Gejala globalisasi
ekonomi berdampak positif dan negatif. Internasionalisasi bisnis yang semakin mencolok
juga akan menampilkan aspek etis baru. Tidak mengherankan jika beberapa tahun
belakangan ini aspek-aspek etis menjadi perhatian khusus dalam bisnis internasional.
Dalam bab ini akan dibahas beberapa masalah moral yang khusus berkaitan dengan bisnis
internasional.

Secara sederhana etika bisnis dapat diartikan sebagai suatu aturan yang tidak mengikat
karena bukan hukum, tetapi harus diingat dalam praktik bisnis sehari-hari etika bisnis
dapat menjadi batasan bagi aktivitas yang dijalankan. Etika bisnis sangat penting
mengingat dunia bisnis tidak terlepas dari elemen-elemen lainnya. Keberadaan bisnis
hakikatnya adalah memenuhi kebutuhan masyarakat. Bisnis tidak hanya mempunyai
hubungan dengan orang-orang maupun badan hukum sebagai pemasok, penyalur,
pemakai, dan lain-lain

1
1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana norma-norma yang umum pada bisnis taraf internasional?


2. Bagaimana masalah dumping dalam bisnis internasional ?
3. Apa saja aspek etis dari korporasi multinasional?
4. Bagaimana masalah korupsi pada taraf internasional?

1.3 Tujuan

1. Memahami norma-norma moral yang umum pada taraf internasional.


2. Memahami masalah dumping dalam bisnis internasional.
3. Mengetahui aspek-aspek etis dari korporasi multinasional.
4. Menganalisis masalah korupsi yang terjadi di taraf internasional dari aspek etika bisnis

2
BAB II
KAJIAN TEORITIS

2.1 Norma-Norma Moral yang Umum pada Taraf Internasional

Salah satu masalah besar yang sudah lama disoroti serta didiskusikan dalam etika
filosofis adalah relatif tidaknya norma-norma moral. Apakah norma-norma moral bersifat
relatif atau, sebaliknya, harus dianggap absolut? Kami berpendapat bahwa pandangan
yang menganggap norma-norma moral relatif saja tidak bisa dipertahankan. Namun
demikian, itu tidak berarti bahwa norma-norma moral bersifat absolut atau mutlak begitu
saja. Jadi, pertanyaan yang tidak mudah itu harus dijawab bernuansa. Masalah teoritis yang
serba kompleks ini kembali lagi pada taraf praktis dalam etika bisnis internasional. Apa
yang harus kita lakukan, jika di bidang bisnis norma-norma moral di negara lain berbeda
dengan norma- norma yang kita anut sendiri?

Richard De George membicarakan tiga jawaban atas pertanyaan tersebut yang pasti
tidak memuaskan. Tiga-tiganya ada benarnya dan ada salahnya, tapi secara menyeluruh
tidak bisa diterima. Jawaban pertama mengatakan bahwa bisnis internasional kita harus
menyesuaikan diri begitu saja dengan norma-norma etis yang berlaku di negara lain di
mana kita mempraktekkan bisnis. Sebaliknya, jawaban kedua menekankan bahwa selalu
kita harus berpegang pada norma-norma etis yang berlaku di negara kita sendiri, juga kalau
di negara lain ada norma-norma yang berbeda. Jawaban ketiga menandaskan bahwa bisnis
di negara lain tidak perlu berpegang pada norma-norma etis karena hal itu akan merugikan
posisinya dalam kompetisi dengan pihak bisnis lain. Mari kita menyelidiki lebih lanjut
ketiga pandangan ini, dengan menyimak secara khusus unsur kebenaran yang terkandung
didalamnya.

1. Menyesuaikan diri

Untuk menunjukkan sikap yang tampak dalam pandangan pertama, sama seperti
peribahasa Indonesia: "Di mana bumi dipijak, di sana langit dijunjung" Maksudnya
adalah: kalau sedang mengadakan kegiatan di tempat lain, bisnis harus menyesuaikan
diri dengan norma-norma yang berlaku di tempat itu. Diterapkan di bidang moral,

3
pandangan ini mengandung relativisme ekstrem. Tetapi kalau secara kritis, relativisme
norma moral itu tidak bisa diterima. Mustahillah bahwa pembunuhan atau pencurian
dilarang di satu tempat, sedangkan di tempat lain diperbolehkan. Norma-norma moral
yang penting berlaku di seluruh dunia.

Sedangkan norma-norma non-moral untuk perilaku manusia bisa berbeda di


pelbagai tempat. Itulah kebenaran yang terkandung dalam pandangan ini. Misalnya,
norma-norma sopan santun dan bahkan norma-norma hukum di semua tempat tidak
sama. Yang di satu tempat dituntut karena kesopanan, bisa saja di tempat lain dianggap
sangat tidak sopan. Tradisi dan adat kebiasaan bisa berbeda di tempat-tempat yang
berbeda. Kenyataan itu justru membuat pelbagai kebudayaan menjadi menarik bagi
kita. Dunia akan dirasakan monoton dan membosankan sekali, seandainya adat-istiadat
di semua kawasan sama. Bahwa norma-norma hukum berbeda, seringkali lebih
merepotkan karena akibatnya lebih besar, namun merupakan kenyataan juga. Tidak
mustahil bahwa dua negara mempunyai hukum yang berbeda-beda.

Lain halnya dengan norma-norma moral. Di sini tidak mungkin berpegang pada
prinsip 'When in Rome, do as the Romans do": Tidak mungkin bahwa menipu teman
bisnis di satu tempat dilarang, sedangkan di tempat lain diizinkan. Memang bisa terjadi
bahwa penipuan di satu tempat lebih banyak dipraktekkan daripada di tempat lain.
Statistik bisa menunjukkan hal itu. Namun demikian, hal seperti itu hanya mengatakan
sesuatu tentang kenyataan, bukan tentang norma. Ternyata di satu tempat itu penipuan
lebih banyak berlangsung (fakta), tapi itu tidak berarti bahwa di situ penipuan boleh
dilakukan juga (norma).

2. Rigorisme Moral

Pandangan kedua memilih arah terbalik. Pandangan ini dapat disebut "rigorisme
moral", karena mau mempertahankan kemurnian etika yang sama seperti di negerinya
sendiri. Mereka mengatakan bahwa perusahaan di luar negeri hanya boleh melakukan
apa yang boleh dilakukan di negaranya sendiri dan justru tidak boleh menyesuaikan diri
dengan norma etis yang berbeda di tempat lain.

Mereka berpendapat bahwa apa yang dianggap baik di negerinya sendiri, tidak
mungkin menjadi kurang baik di tempat lain. Pandangan ini juga sulit dipertahankan.
Mau tidak mau, perlu kita akui bahwa situasi setempat bisa saja berbeda dan hal itu

4
pasti mempengaruhi keputusan- keputusan moral kita. Di negara maju sering ada
instansi-instansi yang mengawasi pelaksanaan bisnis dengan lebih ketat dan efisien
daripada di negara berkembang, seperti misalnya tentang masalah keselamatan kerja,
perburuhan, keamanan produk, periklanan, dan sebagainya. Suatu perusahaan dari
negara maju dirugikan kalau di luar negeri harus menerapkan semua peraturan yang
berlaku di negerinya sendiri. Bukan saja di negara-negara berkembang, di negara-
negara maju pun kadang-kadang bisa ditemukan perbedaan persepsi tentang apa yang
dianggap etis atau tidak.

3. Imoralisme Naif

Pandangan ketiga oleh De George sendiri disebut "imoralisme naif". Menurut


pandangan ini dalam bisnis internasional tidak perlu kita berpegang pada norma-norma
etika. Memang - mereka berpendapat - kita harus memenuhi ketentuan-ketentuan
hukum (dan itupun hanya sejauh ketentuan-ketentuan itu ditegakkan di negara
bersangkutan), tetapi selain itu, kita tidak terikat oleh norma- norma moral. Malah jika
perusahaan terlalu memperhatikan etika, ia berada dalam posisi yang merugikan,
karena daya saingnya akan terganggu. Perusahaan- perusahaan lain yang tidak begitu
scrupulous dengan etika akan menduduki posisi yang lebih menguntungkan. Sebagai
argumen untuk mendukung sikap itu sering dikemukakan: "semua perusahaan
melakukan hal itu". Dalam negara di mana korupsi merajalela, mengapa kita tidak akan
ikut dalam memberi uang suap atau komisi kepada pegawai pemerintah atau karyawan
perusahaan, sebab praktek praktek seperti itu sudah menjadi kebiasaan umum?

Selain itu, mengatakan "tapi semua orang melakukan hal itu" di bidang moral tidak
merupakan argumen yang meyakinkan, karena dalam etika yang menentukan bukannya
kebiasaan yang lazim dalam masyarakat melainkan boleh tidaknya dipandang dari
sudut norma. Apalagi, tidak benar pula bahwa dalam negara-negara yang ditandai
suasana korupsi semua perusahaan dalam praktek-praktek tidak terpuji itu. Ada juga
yang mempunyai keberanian moral untuk menolak. Malah ada yang memilih tidak
melakukan bisnis sama kali, jika hal itu hanya mungkin dengan jalan komisi, uang
semir, pembayaran di luar prosedur resmi, dan lain sebagainya.

5
2.2 Masalah Dumping dalam Bisnis Internasional

Praktik dumping menjadi topik dalam etika bisnis internasional, praktik kurang etis
ini secara khusus berlangsung dalam hubungan dengan negara lain. Dumping ini adalah
menjual sebuah produk dalam kuantitas besar di negara lain dengan harga di bawah harga
pasar dan kadang dibawah biaya produksi. Para produsen dari produk yang sama di negara
di mana dumping dilakukan merasa keberatan akibat praktik dumping ini. Para konsumen
tidak merasakannya, justru merasa beruntung karena dapat membeli produk dengan harga
murah, sedangkan produsen menderita kerugian, karena tidak sanggup menawarkan
produk dengan harga yang murah.

Dumping produk dapat dilakukan dengan banyak motif berbeda, salah satunya penjual
mempunyai persediaan yang terlalu besar, sehingga memutuskan untuk menjual produk
bersangkutan dibawah harga. Daripada produknya tidak terjual, lebih baik sebagian biaya
dikembalikan, walaupun tetap merugi. Motif yang lebih buruk adalah berusaha merebut
monopoli dengan membanting harga. Produk ditawarkan dengan harga murah, sehingga
produsen negara lain merasa tidak mampu bersaing dan terpaksa menutup usaha. Setelah
monopoli diperoleh, pelaku dapat menentukan harga seenaknya. Jadi pelaku menderita
rugi sementara, agar dalam jangka panjang dapat meraup keuntungan sebesar mungkin. Di
negara maju, khususnya Amerika Serikat praktik ini dilarang karena adanya perundang-
undangan antitrust dan anti-monopoli, tetapi pada taraf internasional dumping ini lebih
sulit dikendalikan dan dibuktikan pada tahun 1980-an terjadi konflik bisnis antara Amerika
Serikat dan Jepang mengenai semikonduktor. Amerika menuduh Jepang ingin
menyingkirkan produk Amerika dari pasaran internasional dengan cara dumping, agar
memperoleh monopoli bisnis ini.

Praktik dumping produk ini tidak etis karena melanggar etika pasar bebas. Kelompok
bisnis yang ingin terjun ke bisnis internasional dengan sendiri akan melibatkan diri untuk
menghormati keutuhan sistem pasar bebas. Sebelumnya kita mengetahui bahwa kompetisi
yang fair merupakan prinsip dasar dari etika pasar bebas. Prinsip ini jelas dilanggar dengan
praktik dumping produk, yang menghancurkan kemungkinan bagi orang bisnis untuk
bersaing pada taraf yang sama. Jika dumping dilakukan untuk merebut monopoli, menjadi
kurang etis karena merugikan konsumen, walaupun konsumen untuk sementara dapat
membeli produk dengan harga murah, dalam jangka panjang akan dipaksa membayar

6
dengan harga yang lebih, apabila tidak ada pesaing lagi. Jadi dumping ini menjadi tidak
etis karena akibat buruk bagi konsumen.

Akan tetapi tidak etis juga jika suatu negara menuduh negara lain melakukan
dumping, yang nyatanya hanya melindungi pasar dalam negerinya. Tuduhan dumping
menjadi dalih untuk memperbaiki posisi di pasaran. Jika negara lain dapat memproduksi
sesuatu dengan harga lebih murah, karena efisiensi produksi atau dapat menekan biaya
produksi, sebuah kenyataan yang harus diterima semua negara. Beberapa dekade terakhir
negara maju menuduh negara berkembang melakukan dumping dengan produk seperti
pakaian jadi. Jika negara berkembang mampu memproduksi pakaian jadi dengan harga
lebih murah karena biaya produksinya kurang, misalnya karena upah karyawan relatif
kecil, hal ini tidak dapat dinilai sebagai dumping. Tidak etis bila menuduh dumping
semata-mata menjadi kedok untuk menyingkirkan pesaing di pasar.

2.3 Aspek-Aspek Etis dari Korporasi Multinasional

Fenomena agak baru di bisnis dunia adalah korporasi multinasional atau disebut juga
korporasi transnasional, yaitu perusahaan yang mempunyai investasi langsung pada dua
negara atau lebih. Jadi perusahaan mempunyai hubungan dagang dengan luar negeri belum
mencapai status korporasi multinasional (KMN), tetapi perusahan yang mempunyai pabrik
di beberapa negara termasuk didalamnya. Pengorganisasioan KMN dapat berbeda-beda,
biasanya perusahaan di negara lain setidaknya sebagian dimiliki orang setempat,
sedangkan manajemen dan kebijakan bisnis umum ditanggung oleh pimpinan perusahaan
di negara asalnya. KMN pertama kali muncul sekitar tahun 1950-an dan berkembang pesat.
KMN yang banyak dikenal adalah Coca-Cola, Johnson & Johnson, AT & T, Generals
Motors, IBM, Mitsubishi, Toyota, Sony, Philips, dan Unilever yang mempunyai kegiatan
diseluruh dunia dan menguasai nasib jutaan orang

Karena memiliki kekuatan ekonomis yang sering kali sangat besar dan karena
beroperasi di berbagai tempat yang berbeda dan sebab itu mempunyai mobilitas tinggi,
KMN menimbulkan masalah-masalah etis sendiri. Disini akan dibatasi pada masalh yang
berkaitan dengan negara berkembang. Tentu negara berkembang sudah mengambil
berbagai tindakan untuk melindungi diri. Misalnya, tidak mengizinkan masuk KMN yang
dapat merusak atau melemahkan suatu industri dalam negeri. Beberapa negara

7
berkembang hanya mengizinkan KMN membuka suatu usaha di wilayahnya, jika
mayoritas saham sekurang-kurangnya 50,1% berada dalam tangan negara setempat.

Karena kekosongan hukum pada taraf internasional, kesadaran etis bagi KMN lebih
mendesak lagi. De George merumuskan sepuluh aturan etis bagi KMN dalam konteks ini,
Tujuh norma pertama berlaku untuk semua KMN, sedangkan tiga aturan terakhir terutama
dirumuskan untuk industri berisiko khusus seperti pabrik kimia atau instalasi nuklir.
Sepuluh aturan itu adalah :

1. Korporasi multinasional tidak boleh dengan sengaja mengakibatkan kerugian langsung.

Tidak boleh dengan sengaja mengakibatkan kerugian langsung merupakan norma


moral umum dan tidak berlaku untuk KMN saja. Sengaja mengakibatkan kerugian bagi
orang lain merupakan tindakan tidak etis, kecuali dalam beberapa kasus eksepsional
seperti bela diri, bila ada alasan khusus untuk merugikan (malah membunuh) orang lain.
Namun, demikian norma ini perlu disebut disini pada tempat pertama, justru karena di
negara berkembang seperti yang disebutkan kerangka hukum sering tidak cukup dan
membiarkan tindakan yang tidak diizinkan di negara asalnya.

Norma pertama ini mengatakan bahwa suatu tindakan tidak etis, bila KMN dengan
tahu dan mau mengakibatkan kerugian bagi negara dimana ia beroperasi atau para
penduduknya. Jika KMN merugikan suatu negara walaupun tidak sengaja atau
langsung, menurut keadilan kompensatoris ia wajib memberi ganti rugi.

2. Korporasi multinasional harus menghasilkan lebih banyak manfaat daripada kerugian


bagi negara di mana mereka beroperasi.

Norma kedua melanjutkan dan merinci norma pertama, tidak cukup apabila KMN
tidak melakukan hal-hal buruk di negara lain, perlu juga melakukan sesuatu yang baik
dan yang baik itu harus melebihi yang buruk. KMN belum memenuhi kewajibannya,
jika hanya tercapai keseimbnagn antara akibat baik dan akibat buruk. Hampir setiap
kegiatan manusia mempunyai akibat buruk, tidak terkecuali bisnis. Hal ini tidak dapat
dihindarkan. Norma kedua ini menuntut agar secara menyeluruh akibat baik melebihi
akibat buruk. Norma ini tidak membatasi diri pada segi negatif (tidak boleh merugikan),
tetapi memerintahkan sesuatu yang positif (harus menghasilkan sesuatu yang baik) dan
ditegaskan bahwa yang positif harus melebihi yang negatif.

8
3. Dengan kegiatannya korporasi multinasional itu harus memberi kontribusi kepada
pembangunan negara dimana ia beroperasi.

Norma ketiga ini lebih konkret, bukan saja KMN harus menghasilkan lebih banyak
hal baik daripada hal yang buruk bagi negara berkembang, tetapi ia harus menyumbang
juga pada pembangunan. Hal ini berarti antara lain KMN harus bersedia melakukan alih
teknologi dan alih keahlian. Dalam konteks ini ditekankan bahwa pembangunan harus
dimengerti menurut negara berkembang itu sendiri, bukan menurut interpretasi KMN
atau negara asalnya, negara berkemabng sendirilah yang menentutkan tujuan dan
priortitasnya.

4. Korporasi multinasional harus menghormati Hak Asasi Manusia dari semua


karyawannya.

Norma keempat ini berlaku umum dan tidak khusus KMN saja, namun norma ini
perlu disebutkan secara eksplisit. Terutama tentang upah dan kondisi kerja, di banyak
negara berkembang HAM para pekerja dilanggar dengan membayar upah di bawah
upah minimum, mempekerjakan anak, atau praktik diskriminasi karena agama, ras,
gender, atau sebagainya. Bagi KMN sering kali sebenarnya menguntungkan bila
mereka menyesuaikan diri dengan keadaan itu, namun cara bertindak itu tidak etis.
Misalnya, dalam hal upah si pekerja memperoleh upah yang cukup untuk bisa hidup
secara layak bersama dengan keluarganya.

5. Sejauh kebudayaan tidak melanggar norma-norma etis, korporasi multinasional harus


menghormati kebudayaan lokal itu dan bekerja sama dengannya, bukan menantangnya.

Norma ini diturunkan dari norma pertama, KMN akan merugikan negara dimana ia
beroperasi, jika ia tidak menghormati kebudayaan setempat. Sebagai tamu yang baik,
KMN harus menyesuaikan diri dengan nilai-nilai budaya setempat dan tidak
memaksakan nilai-nilainya sendiri. Sering terdengar keluhan utamanya perusahaan
Amerika yang kurang peka terhadap norma ini, karena membanjiri negara lain dengan
the American way of life, dalam hal ini didahului oleh industri film dan media massa
internasional.

6. Korporasi multinasional harus membayar pajak yang fair.

9
Setiap perusahaan harus membayar pajak menurut tarif yang telah ditentukan dalam
suatu negara. Di negara maju, hal ini diawasi dengan ketat dan efisien pada taraf
internasional, tetapi kontrol ini tidak ada pada taraf internasional. Apa lagi, KMN
beroperasi di negara berkembang dimana sistem pemungutan pajak masih lemah dan
peraturan hukum yang menunjang belum cukup. Karena status perusahaan
internasional, KMN mempunyai banyak kemungkinan yang sering kali tidak legal
untuk menghindari membayar pajak atau membayar pajak sepenuhnya, seperti
mentransfer pembayaran, mencari tax haven yang lebih menguntungkan dan
sebagainya. Padahal, negara berkembang sangat membutuhkan uang pajak dari
perusahaan yang beroperasi di wilayahnya.

Karena alasan ini, lebih mendesak kesadaran moral KMN tentang kewajiban
membayar pajak, tetapi karena kemauan baik saja dalam hal ini pun tidak cukup. KMN
akan mendukung dibuat dan dilaksanakan peraturan internasional untuk menentukan
pembayaran pajak oleh perusahaan internasional.

7. Korporasi multinasional harus bekerja sama dengan pemerintah setempat dalam


mengembangkan dan menegakkan background institutions yang tepat.

Dalam seluruh bukunya De George menekankan pentingnya background institutions


yang menurutnya di negara berkembang masih lemah. Yang dimaksudkan istilah ini
adalah lembaga yang mengatur serta memperkuat kegiatan ekonomi dan industri suatu
negara, seperti dinas perpajakan, dinas bea cukai, instansi pengawasan keselamatan dan
kesehatan kerja, serikat buruh, perlindungan hak asasi, peraturan pemerintah yang
tepat, dan sebagainya.

8. Negara yang memiliki mayoritas saham sebuah perusahaan harus memikul tanggung
jawab moral atas kegiatan dan kegagalan perusahaan tersebut.

Sebuah KMN sering kali dimiliki oleh orang-orang dari beberapa negara, terutama
negara asal dan negara di mana sebuah pabrik atau perusahaan berdiri. Keadaan ini
membuat tanggung jawab menjadi lebih kompleks daripada dalam kasus suatu
perusahaan nasional. Jika terjadi kecelakaan di pabrik milik sebuah perusahaan
nasional, tidak akan timbul masalah tentang siapa yang harus bertanggung jawab.
Tetapi, jika terjadi kecelakaan di pabrik milik sebuah KMN, tanggung jawab itu sering
kali kurang jelas. Norma ini mengatakan bahwa dalam kasus seperti ini tanggung jawab

10
moral harus dipikul oleh pemilik utama saham. Norma seperti ini masuk akal, karena
perlu adanya satu pihak yang bisa ditunjuk sebagai penanggung jawab. Terkadang
situasi KMN seperti itu mengakibatkan tanggung jawab menjadi kabur dan para korban
tidak menerima ganti rugi. Prinsip ini bisa diterapkan pada kasus kecelakaan pabrik
pestisida Union Carbide di Bhopal, India, bulan Desember 1984.

9. Jika suatu korporasi multinasional membangun pabrik yang berisiko tinggi, ia wajib
menjaga supaya pabrik itu aman dan dioperasikan dengan aman

Norma ini dapat diturunkan dari kewajiban agar tidak merugikan. Membangun
sebuah pabrik dan setelah itu lepas tangan akan merugikan pihak lain, sama seperti
produsen yang membuat produk yang berbahaya, lalu tidak bertanggung jawab atas
konsekuensinya. Juga jika mayoritas saham berada di tangan negara kedua, tanggung
jawab akan tetap berlaku. Yang membangun pabrik berisiko tinggi harus merundingkan
prosedur-prosedur keamanan bagi mereka yang menjalankan pabrik tersebut. KMN
bertanggung jawab untuk membangun pabrik yang aman dan melatih serta membina
sebaik mungkin mereka yang akan mengoperasikan pabrik tersebut. Hal ini berlaku
secara khusus, jika yang dibangun adalah instalasi nuklir, karena kecelakaan akan
memiliki dampak luas yang jauh melampaui lokasi instalasi tersebut. Penerapan norma
ini mudah menghasilkan teknisi atau manajer di negara kedua merasa tersinggung
karena para ahli asing itu menimbulkan kesan bahwa mereka tidak menjamin
keselamatan. Namun demikian, kepekaan antar budaya tidak pernah mungkin menjadi
alasan bahwa keamanan dan keselamatan tidak terjamin secara optimal.

10. Dalam mengalihkan teknologi berisiko tinggi kepada negara berkembang, korporasi
multinasional wajib merancang kembali sebuah teknologi demikian rupa, sehingga
dapat dipakai dengan mana dalam negara baru yang belum berpengalaman.

Kerap kali teknologi memungkinkan beberapa alternatif dalam membangun suatu


sistem teknologis. Terdorong oleh pertimbangan ekonomis, biasanya orang cenderung
memilih alternatif yang paling murah. Menurut norma ini prioritas harus diberikan
kepada keamanan. Jika mungkin, teknologi harus dirancang sesuai dengan budaya dan
kondisi sekitar, sehingga keamanan terjamin optimal.

Sepuluh norma di atas bermanfaat untuk menciptakan suatu kerangka moral bagi
kegiatan-kegiatan KMN, yang melihat status internasionalnya sering kali tidak begitu

11
bergantung pada peraturan-peraturan hukum. Itulah sebabnya kerangka moral seperti
itu sangat dibutuhkan. Namun, hal itu tidak berarti bahwa kerangka moral ini sudah
lengkap. Pasti ada norma moral lain yang perlu dipatuhi oleh KMN, seperti juga oleh
pelaku- pelaku moral yang lain. Akan lebih berguna lagi jika KMN-KMN mengikat diri
dengan kode etik yang relevan untuk bidang tertentu dengan berpegang pada norma-
norma ini.

2.4 Masalah Korupsi pada Taraf Internasional

Korupsi dalam bisnis tidak hanya terjadi di taraf internasional, tetapi perhatian yang
diberikan kepada masalah korupsi dalam etika bisnis terutama mengarah pada konteks
internasional. Masalah korupsi dapat menimbulkan kesulitan moral yang besar bagi bisnis
internasional, karena di negara satu bisa saja dipraktekkan apa yang tidak mungkin
diterima di negara lain. Terutama karena timbul pertanyaan seperti: tidakkah orang harus
menyesuaikan diri dengan kebudayaan di negara lain, supaya bisnisnya lancar dan sukses?
Hal ini sesuai dengan peribahasa: “When in Rome, do as the Romans do"?. Contoh
kasusnya yang sering kita dengar yaitu kasus-kasus yang menyangkut perusahaan pesawat
terbang Lockheed berkaitan dengan skandal suap Lochkeed.

Mengapa pemakaian uang suap bertentangan dengan etika?

Empat alasan mengapa praktik suap harus dianggap tidak bermoral:

1. Bahwa praktik suap melanggar etika pasar. Ketika seseorang terjun dalam bisnis yang
didasarkan pada prinsip ekonomi pasar, dengan sendirinya akan mengikat diri untuk
berpegang pada aturan-aturan main pasar. Orang yang menyimpang dari aturan-aturan
itu akan curang. Hal itu tidak adil terhadap orang-orang lain yang tetap berpegang
pada aturan, sedangkan sistem ekonomi pasar sebagai seluruhnya memungkinkan
karena semua orang mematuhi aturan-aturannya. Pasar ekonomi merupakan kancah
kompetisi yang terbuka. Hal itu mengakibatkan antara lain bahwa harga produk
merupakan hasil pertarungan daya-daya pasar. Dengan praktek suap daya-daya pasar
dilumpuhkan dan para pesaing yang memiliki produk yang sama baik dengan harga
yang menguntungkan, tidak sedikit pun dapat mempengaruhi proses penjualan.
Karena itu baik yang memberi uang suap maupun yang menerimanya berlaku kurang
adil terhadap bisnis lain.

12
Masalahnya adalah bahwa semua pesaing yang mungkin memiliki produk yang tidak
kalah mutunya, begitu saja dari proses penjualan. Praktek suap itu sangat tidak adil
terhadap mereka. Segera bisa ditambah lagi, di sini kita menemui sebuah contoh yang
menunjukkan bahwa praktek bisnis yang tidak baik secara moral secara serentak juga
tidak baik dari segi ekonomi. Pasar yang didistorsi oleh praktik suap adalah pasar yang
tidak efisien. Karena praktek suap itu pasar tidak bekerja seperti seharusnya.

2. Bahwa orang yang tidak berhak, mendapat keuntungan juga. Dalam sistem ekonomi
kita, mereka yang bekerja atau berjasa mendapat keuntungan. Di sini tidak terjadi
balas jasa. Seandainya transaksi itu berlangsung secara normal, mereka tidak akan
menerima apa-apa. Mereka hanya mendapat uang itu karena menyalahgunakan
kekuasaan, dan dengan demikian merugikan rakyat dan negara.
3. Di mana uang suap diberikan dalam keadaan kelangkaan. Misalnya, dalam keadaan
kekurangan kertas seorang penerbit mendapat persediaan kertas baru dengan memberi
uang suap. Cara berbisnis itu melanggar alokasi yang adil. Penerbit itu tidak akan
menerima persediaan baru sebanyak itu, seandainya diikuti prosedur biasa. Membagi
barang langka dengan praktik suap mengakibatkan bahwa barang itu diterima oleh
orang yang tidak berhak menerimanya, sedangkan orang lain yang berhak tidak
kebagian. Hal itu jelas bertentangan dengan keadilan.
4. Bahwa praktik suap mengundang untuk melakukan perbuatan tidak etis dan ilegal
lainnya. Baik perusahaan yang memberi uang suap maupun orang atau instansi yang
menerimanya tidak bisa membukukan uang suap itu seperti seharusnya. Dalam
pembukuan perusahaan, uang itu dicantumkan sebagai pos lain (promosi, misalnya)
dan itu tentu saja berbohong. Dan karena tidak dicatat, si penerima tidak akan
membayar pajak tentang pendapatannya itu. Ia juga tidak bisa menggunakan uang itu
secara legal untuk investasi baru atau sebagainya. Dapat dikatakan, orang yang terlibat
dalam kasus suap, akan terlibat dalam tindakan kurang etis lainnya, karena harus terus-
menerus harus menyembunyikan keterlibatannya.

13
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Kasus

1. Kasus: bisnis dengan Afrika Selatan yang rasistis

Bisnis internasional dengan Afrika Selatan sampai negara itu meninggalkan


politiknya yang rasistis. Sampai pemilihan umum multi ras yang pertama berlangsung
pada tahun 1994, Afrika Selatan mempunyai sistem politik yang didasarkan atas
diskriminasi ras (apartheid), artinya dalam segala hal mayoritas kulit hitam (83 persen
dari penduduk) dibedakan dan dipisahkan dari minoritas kulit putih. Perlu ditekankan
lagi bahwa sistem apartheid ini didasarkan atas undang-undang Afrika Selatan sejak
1948. Misalnya, ada perumahan khusus untuk kelompok kulit putih. Jika ada orang kulit
hitam yang mempunyai uang cukup untuk membeli rumah di daerah khusus untuk kulit
putih, hal itu tetap dilarang. Fasilitas umum juga semua dipisahkan untuk kedua
kelompok tersebut, seperti misalnya bioskop, restoran, bis kota, kereta api, dan lain-
lain. Di tempat kerja berlaku sistem yang sama. Semua perusahaan diwajibkan untuk
menyediakan fasilitas sendiri-sendiri untuk kedua kelompok itu, misalnya ruang kerja,
kantin, lift, kamar kecil, dan sebagainya. Sistem ini tentu saja mengakibatkan juga
karyawan kulit putih dibayar dengan gaji lebih tinggi dari karyawan kulit hitam untuk
pekerjaan yang sama. Yang dipraktekkan di Afrika Selatan pada waktu itu adalah
diskriminasi ras terang-terangan. Dan setiap diskriminasi tentu merupakan hal yang
tidak etis.

Leon Sullivan adalah pendeta Baptis (kulit hitam) dan anggota dewan direksi
General Motors di Amerika Serikat. Ketika perusahaannya menghadapi dilema:
meneruskan kegiatan ekonomisnya di Afrika Selatan atau menghentikannya, Sullivan
mengusulkan untuk meneruskannya dengan ditambah dua syarat yang bertujuan
memperbaiki nasib golongan hitam di sana. Syarat-syarat itu kemudian dikenal sebagai
"Prinsip-prinsip Sullivan". Yang pertama adalah bahwa General Motors dalam pabrik-
pabriknya di Afrika Selatan tidak akan menerapkan undang-undang apartheid, karena
dinilai tidak adil. Jadi, mereka mempraktekkan ketidakpatuhan pasif. Pemerintah
Afrika Selatan yang rasistis itu terpaksa membiarkan perilaku nakal icu, karena - kalau

14
tidak - perusahaan itu akan pergi, dengan akibat negara akan mengalami kerugian
ekonomis yang besar. Syarat kedua adalah bahwa General Motors akan berusaha terus
pada kesempatan apa saja, di Afrika Selatan sendiri maupun dalam forum internasional,
agar undang-undang apartheid itu dihapus. Dengan demikian, biarpun karena
kehadirannya di Afrika Selatan dan pembayaran pajak pada kenyataannya mereka
membantu pemerintah kulit putih untuk mempertahankan kedudukannya, namun
mereka sekaligus memperjuangkan juga perubahan dalam politik rasistis itu.

2. Kasus Suap Lockheed

Sekitar 1970-an produsen pesawat terbang Amerika Serikat, Lockheed, terlibat


dalam beberapa kasus suap, ketika memasarkan pesawatnya. Pada kesempatan menjual
138 pesawat tempur F-104 Starfighter, Lockheed mengalirkan "hadiah" sebesar 1,1 juta
dolar Amerika kepada Pangeran Bernard, suami ratu Yuliana. Dan ada beberapa kasus
lain lagi. Di kemudian hari Lockheed mengakui bahwa sejak tahun 1970 ia telah
membuat "pembayaran khusus" yang bernilai 202 juta dolar Amerika di lima belas
negara.

Tetapi skandal Lockheed yang paling menarik perhatian terjadi di Jepang. Bulan
Agustus 1972 Carl Kotchian, president Lockheed dari 1967 sampai 1975, terbang ke
Tokyo untuk merundingkan penjualan pesawat penumpang yang baru, L-1011 TriStar,
kepada maskapai penerbangan domestik All Nippon Airways (ANA). Pada saat itu
Lockheed berada dalam kesulitan finansial yang besar. Setelah mengalami beberapa
kegagalan dengan produksi pesawat-pesawat lain, Lockheed mendekati tubir
kebangkrutan. Ia hanya bisa menghargai dengan pemerintah Jepang sebesar $ 250 juta
dari federal pada tahun 1971. Jadi, keberhasilan misi Kotchian di sangat penting untuk
masa depan Lockhe. Dalam negosiasi dengan pejabat-pejabat Jepang, Kotchian
memakai jasa seorang "perantara" Jepang. Dari orang ini ia mendengar bahwa ia harus
menjanjikan pembayaran $ 1,6 juta kepada kantor Perdana Menteri Tanaka. Kemudian
beberapa kali ia harus melakukan pembayaran lagi kepada presiden ANA dan pejabat-
pejabat Jepang lain juta sebagai uang suap dalam menjual 21 pesawat TriStar.
Seluruhnya Lockheed membayar $12,5.

Setelah kasus ini dilaporkan dalam pers internasional. Tanaka ditahan dan
diperiksa, semua pejabat yang terlibat kehilangan jabatannya. Di Amerika Serikat kasus

15
suap Lockheed ini menjadi salah satu skandal bisnis paling menggemparkan yang
dikenal dalam sejarah Amerika dan diperiksa oleh instansi kehakiman Amerika sampai
detail-detailnya. Carl Kotchian tidak ada pilihan lain daripada diri sebagai presiden
perusahaan Lockheed.

Sebagai tanggapan atas kasus-kasus suap serupa itu DPR Amerika Serikat
merancang undang-undang yang disebut "Foreign Corrupt Practices Act" dan
ditandatangani oleh Presiden Jimmy Carter pada tahun 1977. Dalam undang-undang ini
perusahaan Amerika dilarang untuk membayar suap sebagai pemasaran produk luar
negeri. Perusahaan yang melanggar dapat melakukan pembelaan denda sampai 1 juta
dolar dan pejabat perusahaan yang terlibat dalam kurungan sampai 5 tahun dan/atau
melakukan itu sampai 10.000 dolar.

3. Kasus Panama Papers

Panama Paper merupakan bocoran dokumen mengenai informasi dunia offshore


dari tahun 1977 hingga 2015. Dokumen berukuran 2,6 terabyte berisi 11,5 juta
dokumen rahasia dari 214.000 perusahaan luar negeri. Jumlah perusahaan aktif yang
dikelola mencapai puncaknya pada tahun 2009, yaitu sebanyak 80.000 perusahaan.
Lebih dari separuhnya didirikan di Kepulauan Virgin Britania Raya dan sisanya di
Panama, Bahama, Seychelles, Niue, dan Samoa. Tercatat, ada 4,8 juta e-mail; 3 juta
database; 2,1 juta dokumen PDF; 1,1 juta foto; 320.000 dokumen teks; dan 2.000-an
file lainnya. Dokumen ini diberikan oleh seorang sumber anonim kepada sebuah koran
dari Jerman Süddeutsche Zeitung pada bulan Agustus 2015 yang kemudian diteruskan
ke International Consortium of Investigative Journalists (ICIJ). Lebih dari 100
organisasi pers dari seluruh dunia menyelidiki jutaan data dokumen elektronik tersebut.
Dari dokumen-dokumen yang bocor mengindikasikan adanya usaha penghindaran
pajak dengan menggunakan jasa perusahaan Mossack Fonseca. Mossack Fonseca
adalah firma hukum dan penyedia jasa pengelolaan aset perusahaan yang berlokasi di
Panama yang didirikan pada tahun 1977 oleh Jürgen Mossack dan Ramón Fonseca.

Terungkap dalam Dokumen The Panama Papers, setidaknya 128 politikus dan
pejabat publik dari seluruh dunia yang namanya tercantum dalam jutaan dokumen yang
bocor. ICIJ secara bersama-sama membongkar dokumen Panama Papers dan
menemukan bahwa lebih dari 14.000 perusahaan yang terdaftar di Seychelles, sebuah

16
kepulauan di Samudra Hindia yang sering digambarkan sebagai surga pajak. Surga
pajak artinya di dalam jurisdiksi bernama “surga” tersebut, para penanam modal yang
menanamkan modalnya, begitu pula jika ada hasil yang timbul karena investasi
dimaksud, tidak dikenakan pajak.

Tokoh-tokoh dunia yang terlibat salah satunya adalah para rekan Presiden
Vladimir Putin, pelanggaran kode etik bisnis para petinggi FIFA, hingga
penyelewengan pajak beberapa pebisnis besar dunia bahkan mencakup pemain sepak
bola sekalipun. Lalu juga ada Perdana Menteri Islandia Sigmundur David
Gunnlaugsson, Presiden Tiongkok Xi Jinping, Perdana Menteri Inggris David
Cameron, juga beberapa nama pengusaha Indonesia, seperti Rini Soewarno, Ketua
BPK, Harry Azhar Aziz, dan Menteri Koordinator Bidang Hukum dan Keamanan
Luhut B. Panjaitan.

3.2 Analisis Kasus

1. Analisis Kasus bisnis dengan Afrika Selatan yang rasistis

Solusi dari General Motors itu bisa dilihat sebagai usaha untuk mencari jalan
tengah antara pandangan "menyesuaikan diri" dan rigorisme moral. Di satu pihak
mereka tetap tinggal di Afrika Selatan dan dengan itu mendukung pemerintah yang
rasistis itu, tetapi di lain pihak mereka menolak untuk mempraktekkan diskriminasi ras
di dalam pabrik dan kantor mereka sendiri.

Dalam pandangan "menyesuaikan diri" dapat kita hargai perhatian untuk peranan
situasi. Situasi yang berbeda-beda memang mempengaruhi kualitas etis suatu
perbuatan, tetapi tidak sampai menyingkirkan sifat umum dari norma-norma moral,
seperti dipikirkan pandangan pertama ini. Pandangan kedua, rigorisme moral, terlalu
ekstrem dalam menolak pengaruh situasi, sedangkan mereka benar dengan pendapat
bahwa kita tidak meninggalkan norma-norma moral di rumah, bila kita berangkat
berbisnis ke luar negeri. Norma- norma moral mempunyai sifat universal. Dalam etika
jarang saja prinsip-prinsip moral bisa diterapkan dengan mutlak, karena situasi konkret
seringkali sangat kompleks.

2. Analisis Kasus Suap Lockheed

17
Skandal suap Lockheed menjadi masalah korupsi pada taraf internasional.
Perbuatan seperti yang dilakukan pimpinan Lockheed menjadi sesuatu yang ilegal
dengan adanya undang-undang yang disebut “Foreign Corrupt Practices Act”. Tidak
ada negara yang menerima “uang suap” sebagai cara normal untuk menjalankan bisnis.
Hal itu tampak paling jelas dengan reaksi keras masyarakat Jepang terhadap kasus
Lockheed. Mereka patut mendapatkannya, karena praktek suap bertentangan dengan
hakikat bisnis itu sendiri.

Menurut pemikiran De George disebutkan alasan-alasan mengapa praktik suap


harus dianggap tidak bermoral atau tidak etis. Alasan yang berkaitan dengan kasus
Lockheed diantaranya: karena kasus suap Lockheed melanggar etika pasar, dimana
bisnis tersebut bermain curang. Sedangkan dalam sistem ekonomi pasar dimungkinkan
seluruh orang bersedia mematuhi aturan-aturannya. Kasus Lockheed juga tidak etis
karena orang yang tidak berhak, mendapat imbalan. Para pejabat Jepang yang
menerima uang suap, tidak pantas diberi imbalan. Mereka mendapat uang suap karena
menyalahgunakan kekuasaan, dengan demikian mereka merugikan rakyat dan negara
Jepang.

3. Analisis Kasus Panama Paper

Panama paper menunjukkan bagaimana pelanggaran keuangan orang-orang kaya


dan berkuasa di seluruh dunia dilakukan. Kasus Panama Paper ini berkaitan dengan
usulan De George mengenai “Korporasi multinasional harus membayar pajak yang
fair”. Mossack Fonseca sebagai pendiri sebuah firma hukum, seharusnya dapat
memberi jaminan kepada masyarakat mengenai pembentukan perusahaan dan
pembayaran pajak yang benar. Akan tetapi Mossack Foncesa malah membantu para
pemilik kekuasaan untuk menyelewengkan pajak dengan membentuk perusahaan
bodong.

Kasus ini juga juga berkaitan dengan penyadaran etika yang seharusnya
dilakukan oleh penemu, karyawan, maupun pemakai firma hukum ini. Karena mereka
mampu untuk bekerja beberapa tahun lamanya untuk mempermudah proses korupsi dan
penggelapan dana. Terkuaknya kasus Panama Paper yang melibatkan lebih dari 76
negara di dunia tentu saja mencoreng etika pelaksanaan politik dan bisnis yang ada di
dunia ini. Kasus ini menjadi pelanggaran etika berat, karena menyangkut kepercayaan

18
publik. Ketika publik sudah tidak percaya terhadap sistem dan penguasa, maka yang
terjadi hanyalah chaos di semua tempat.

Bocornya Panama Papers ini kemudian dijadikan upaya sistematis untuk


mempersiapkan global transparency system. Dimana kebijakan setiap otoritas
keuangan di berbagai negara untuk saling bertukar informasi, sehingga informasi
penimbun dana di suatu negara dapat dengan cepat diketahui oleh negara lain.

19
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Salah satu masalah besar yang menjadi sorotan dan didiskusikan dalam etika filosofis
adalah relatif tidaknya norma-norma moral. Pandangan yang menganggap norma-norma
moral relatif saja tidak bisa dipertahankan. Namun tidak berarti bahwa norma-norma moral
bersifat absolut. Pandangan-pandangan itu dibagi menjadi beberapa yaitu menyesuaikan
diri, rigorisme moral, dan imoralisme naif.

Masalah dumping dalam bisnis internasional, dumping produk menjadi topik dalam
etika bisnis internasional, karena praktik kurang etis ini secara khusu berlangsung dalam
hubunganya dengan negara lain. Dumping produk bisa diadakan dengan banyak motif
yang berbeda salah satunya, penjual yang mempunyai persedian barang yang terlalu besar,
sehingga memutuskan untuk menjual produk bersangkutan dibawah harga saja daripada
sama sekali tidak terjual setidaknya sebagian biaya produksi kembali walaupun tetap
merugi.

Aspek-aspek etis dari korporasi multinasional. Fenomena agak baru di bisnis dunia
adalah korporasi multinasional atau disebut juga, yaitu perusahaan yang mempunyai
investasi langsung pada dua negara atau lebih. Sepuluh aturan etis yang dianggap
mendesak adalah korporasi multinasional tidak boleh dengan sengaja mengakibatkan
kerugian, korporasi multinasional harus menghasilkan lebih banyak manfaat, korporasi
multinasional harus memberikan kontribusi kepada pembangunan, korporasi
multinasional harus menghormati Hak Asasi Manusia, korporasi multinasional harus
membayar pajak dengan fair, korporasi multinasional harus bekerja sama dengan
pemerintah mengembangkan dan menegakkan background institutions, jika korporasi
multinasional membangun pabrik yang berisiko ia wajib menjaga agar pabrik itu aman dan
dioperasikan dengan aman, dan dalam mengalihkan teknologi berisiko tinggi kepada
negara berkembang korporasi multinasional wajib merancang sebuah teknologi
sedemikian rupa, sehingga dapat dipakai dengan aman oleh negara baru yang belum
berpengalaman.

20
Masalah korupsi dalam taraf internasional, korupsi dalam bisnis tidak hanya terjadi di
taraf internasional, tetapi perhatian yang diberikan kepada masalah korupsi dalam etika
bisnis terutama mengarah pada konteks internasional. Masalah korupsi dapat
menimbulkan kesulitan moral yang besar bagi bisnis internasional, karena di negara satu
bisa saja dipraktekkan apa yang tidak mungkin diterima di negara lain. Menurut De George
terdapat empat alasan mengapa praktik suap harus dianggap tidak bermoral, bahwa praktik
suap itu melanggar etika pasar, bahwa orang yang tidak berhak mendapat keuntungan juga,
di mana uang suap diberikan dalam keadaan kelangkaan, dan bahwa praktik suap
mengundang untuk melakukan perbuatan tidak etis dan ilegal lainnya.

21
DAFTAR PUSTAKA

Bertens, 2013, Pengantar Etika Bisnis, Kanisius-Yogyakarta.

Bisma, Alfa. 2016. Indikasi Penghindaran Pajak dalam Panama Papers.


https://www.academia.edu/download/45763104/Indikasi_Penghindaran_Pajak_dalam
_Panama_Papers_-_Bisma_Alfa.pdf (diakses pada 24/04/2022 pukul 12.03)

Kameo, J. (2016). PANAMA PAPERS DAN DISKURSUS TENTANG PERLINDUNGAN


DATA DI INDONESIA: SUATU PERSPEKTIF TEORI KEADILAN
BERMARTABAT. Refleksi Hukum: Jurnal Ilmu Hukum, 10(1), 84-98.
https://doi.org/10.24246/jrh.2016.v10.i1.p84-98 (diakses pada 24/04/2022 pukul
11.51).

Purwanti, Asri. 2016. Analisis Kasus Panama Paper dari Segi Etika.
https://www.academia.edu/25734699/ANALISIS_KASUS_PANAMA_PAPER_DAR
I_SEGI_ETIKA (diakses pada 23/04/2022 pukul 22.30)

22

Anda mungkin juga menyukai