Anda di halaman 1dari 22

ETIKA DALAM BISNIS INTERNASIONAL

(BY: FENS ALWINO)

 
I. Introduksi

Sejak zaman Yunani kuno, bisnis/ perdagangan,


merupakan sarana penting utk pertukaran ilmu
pengetahuan, ekonomi, matematika, filsafat, ilmu
perbintangan, dll.
Pasar merupakan instrumen utk hubungan
politik, kebudayaan, dan pertukaran ilmu
pengetahuan. Secara historis, perdagangan
adalah faktor penting pergaulan bangsa-bangsa.
Perdagangan sanggup menjembatani jarak jauh,
dan menjalin komunikasi serta hubungan baik
antara manusia.
Di era globalisasi ini, kegiatan ekonomi mencakup
seluruh dunia, sehingga hampir semua negara
tercantum dalam pasar, dan merasakan pasang
surutnya pasar ekonomis. Globalisasi ekonomi
membawa manfaat tapi juga mudarat.
- Globalisasi dpt meningkatkan rasa
persaudaraan dan kesetiakawanan antar bgs2.
- Benturan politik dan ekonomi melahirkan
permusuhan terutama antara negara2 industri
maju dengan negara berkembang dan yg masih
terbelakang. Oki, nternasionalisasi bisnis harus
menampilkan aspek etis.
II. Norama2 Moral Umum dlm Bisnis Internasional
2. 1. Menyesuaikan diri
Ketika sedang menjlnkn bisnis di daerah atau
negara lain, sgt ptg utk menyesuaikan diri dgn
norma2 yg berlaku di t4 itu. Memang masalahnya
adalah relativisme moral, yakni norma2 tersebut
bisa bertentangan juga dgn nilai2 universal. Itulah
sebabnya, pandangan ini tdk slu diterima. Oki,
harus tetap dibedakan bhw, norma2 moral berlaku
di seluruh dunia, sedangkan yang non-moral bisa
berbeda –beda di setiap negara.
Mis: dlm hal penggajian, tdk boleh didasrkn pd
faktor SARA.
2.2. Rigorisme moral
Pandangan ini mempertahankan kemurnian
etika, persis yg sama seperti di dalam negeri
sendiri. Pandangan ini akan sulit
dipertahankan, karena situasi berbeda akan
mempengaruhi keputusan moral kita.
Umumnya, pengawasan pelaksanaan bisnis,
jauh lebih ketat dan efisien di negara2 maju
drpd negara berkembang.
Perusahaan yg sdh maju akan dirugikan jika ia
harus menerapkan semua peraturan yang
berlaku di negerinya sendiri ketika ia
beroperasi di negara berkembang.
2.3. Immoralisme Naif
Pandangan ini dikemukakan oleh De George. Ia
mengatakan bhw dlm bisnis international,
perusahan tdk perlu berpegang pd norma2 etik.
Krn perusahaan yg terlalu memperhatikan etika,
pasti mengalami kerugian. Karena ”Semua
perusahaan melakukan hal itu”.
Argumen tsb tidak meyakinkan karena bisnis
menuntut kejujuran dan nama baik. Jika dua
prinsip ini diabaikan, perusahan pasti kehilangan
trust.
2.4. Kasus bisnis dengan Afrika Selatan yang rasistis
Kasus bisnis Afrika Selatan merupakan contoh usaha
memperdamaikan pandangan “menyesuaikan diri”
dengan pandangan ‘rigorisme moral’. Pd Pemilu I di
Afsel (1994), politik distrimanasi masih kuat Politik
didasarkan pd diskriminasi ras, yaitu pemisahan
antara mayoritas kulit hitam dengan minoritas kulit
putih.
Sistem apartheid ini didasarkan pd UU tahun 1948.
Dampak sistem ini adlh bhw karyawan kulit putih
mendapat gaji yang lebih besar dari karyawan kulit
hitam. Fasilitas umum spt lift, toilet, kantin, dll
dibedakan antara ras kulit putih dan ras kulit hitam
Ada dua hal yg kita petik dr kasus ini:
- Pandangan “menyesuaikan diri” mengatakan
perusahaan asing tidak ada masalah dalam hal
mengikuti sistem apartheid yang diwajibkan
pada saat itu.
- Rigorisme moral menolak dengan tegas untuk
melibatkan diri dalam sistem kemasyarakatan
yang tidak etis itu. Dalam mencari jalan keluar
dalam dilemma ini perusahaan barat berpegang
pada “The Sullivan Principles” yang dipraktekan
pertama kali oleh perusahaan Amerika yaitu
General Motors.
Leon Sullivan selaku dewan direksi GM mengusulkan
agar GM tetap berbisnis di Afrika Selatan, dengan
catatan harus menambahkan 2 syarat.
- Tidak menerapkan undang undang apartheid tersebut
karena dianggap tidak adil. Jadi, mereka
mempraktekan ketidakpatuhan pasif.
- General Motors (GM) akan berusaha terus pd
kesempatan apa saja di Afrika Selatan maupun dlm
forum international bhw sistem apartheid itu harus
dihapus. Pd akhirnya banyak perusahaan Amerika yg
mengikuti The Sullivan Principles ini. Solusi dari GM
itu bisa dilihat sbg usaha utk mencari jalan tengah
antara pandangan “menyesuaikan diri” dan rigorisme
moral.
GM, di satu pihak tetap beroperasi di AfSel, dan dgn itu
mendukung pemerintah yg rasistis itu, tetapi di lain
pihak mereka menolak utk mempraktekan diskriminasi
ras dalam pabrik dan kantor mereka sendiri.
Setelah 10 tahun (1987) beroperasi, Sullivan
berpandangan bhw prinsip tsb tdk berhasil ddlm
mempengaruhi politik pemerintah kulit putih di AfSel.
Ia pun meminta perusahaan Amerika utk menghentikan
bisnis di AfSel.
Dari segi etika prinsip Sullivan merup contoh yg
menarik untuk membahas tentang pemecahan yg
seimbang antara dua ekstrem.
“Yg buruk di negara berkembang tdk perlu diikuti, yg
baik dr negeri sendiri dibawa utk diterapkn”
III. “DUMPING” DALAM BISNIS INTERNATIONAL

Dumping adalah usaha menjual produk dlm


kuantitas besar di suatu negara lain dgn harga di
bawah pasar dan kadang di bawah biaya
produksi. Dari segi konsumen hal ini tentu
sangat menguntungkan karena membeli suatu
produk di harga yang murah, sedangkan
produsen menderita kerugian karena tidak
sanggup menawarkan produk dengan harga
semurah itu.
Motif Dumping:
- Penjual/Produsen mempunyai persediaan barang yg ‘terlalu
besar’, sehingga ia memutuskan untuk menjual produk
bersangkutan di bawah harga.
- Motif yang lebih buruk adalah melakukan dumping untuk
melakukan monopoli. Monopoli tersebut dilakukan dengan
cara memberikan harga semurah murahnya ke konsumen
lain dengan harapan pesaing atau competitor bisnisnya
mengalami kebangkrutan akibat persaingan harga. Setelah
pesaing bisnis mengalami kebangkrutan maka Perusahaan
yang melakukan monopoli tsb dpt menaikan harga sesuka
hatinya.
Dgn dumping ia bersedia merugi utk jangka pendek, namun ia
meraup keuntungan sebesar besarnya dalam jangka panjang.
Di USA, monopoli spt ini dilarang, ada UU anti-trust dan anti-
monopoli.
Dumping melanggar etika karena:
• Merugikan konsumen karena konsumen
membeli barang murah yang tidak tahan
lama.
•  Dumping merupkan bentuk monopoli yg
mengabaikan kompetisi secara fair.
IV. Aspek2 etis Korporasi Multinasional (KMN)

Korporasi multinasional adlh perusahan yg mempunyai


investasi langsung dalam dua negara atau lebih.
Perusahaan yg mempunyai hub dagang dgn luar negeri,
belum tentu statusnya adlh korporasi multinasional,
tetapi perusahaan yang memiliki pabrik di beberapa
negara merup KMN.
KMN memiliki kekuatan ekonomis yang besar dan
beroperasi di berbagai tempat yang berbeda serta
mempunyai mobilitas yang tinggi. Oki, KMN
merupakan ancaman bagi negara-negara berkembang.
Dia bisa merusak atau melemahkan industri2 dalam
negeri.
Belum ada hukum internasional tentang KMN. De George coba
merumuskan 10 aturan etis KMN. 7 aturan pertama berlaku
untuk semua KMN sedangkan 3 terakhir untuk industri berisiko
khusus spt pabrik kimia atau instalasi nuklir.

01. Korporasi multinasional tidak boleh dgn sengaja


mengakibatkan kerugian langsung
Mis: seorang pengusaha piyama anak di AS membuat baju
piyama tahan api yg terbuat dr serat asbes. Oleh karena asbes
berbahaya, pemerintah AS kemudian melarang produk tsb dijual.
Lantas, pengusaha itu tidak mau rugi total, barang itu dijual ke
negara yang miskin spy uangnya bisa balik biarpun tidak utuh.
Menjual piyama berbahaya itu ke negara lain, sedangkan itu
tidak boleh dijual di Negara sendiri merupakan tindakan
dumping dan merugikan langsung orang lain karena
menggunakan bahan berbahaya.
02. Korporasi multinasional harus menghasilkan lebih
banyak manfaat daripada kerugian bagi Negara di mana
mereka beroperasi
Tindakkan yang mengakibatkan kerugian bagi Negara yg
mereka tempati merupakan tindakan tidak etis. Akan
tetapi kadang-kadang pertimbangannya adalah
berdasarkan etika utilitarianisme.

03. Korporasi multinasional itu harus memberi kontribusi


kepada pembangunan negara dimana ia beroperasi
Dalam konteks ini perlu ditekankan lagi bahwa
“pembagunan” harus dimengerti menurut maksud
negara berkembang itu sendiri, bukan menurut
interpretasi KMN atau negara asalnya.
04. Korporasi multinasional harus menghormati
Hak Asasi Manusia dari semua karyawannya
Norma ini perlu disebut secara eksplisit,
terutama tentang upah dan kondisi kerja.

05. Sejauh kebudayaan setempat tidak melanggar


norma2 etis, korporasi multinasional harus
menghormati kebudayaan lokal itu dan bekerja
sama dgn mereka, bukan menentang mereka.
KMN harus menghormati dan menyesuaikan diri
dengan nilai budaya setempat dan tidak
memaksakan nilai-nilainya sendiri.
06. Korporasi multinasional hrs membayar pajak yg “fair”
Di negara maju dalam hal membayar pajak diawasi dgn
ketat dan efisien pada taraf nasional. Tetapi untuk taraf
internasional di negara berkembang seperti KMN, sistem
pemungutannya masih lemah dan peraturan hukum yg
menunjang belum cukup.
07. Korporasi multinasional hrs bekerja sama dgn
pemerintah set4 dlm mengembangkan dan menegakkan
“background institutions” (institusi penunjang) yg tepat
De George mengatakan “background institutions” di
negara berkembang masih lemah. Harus ada kerja sama
dgn dinas perpajakan, komisi Hukum dan HAM, dll. De
George mengatkn KMN sanggup memberi kontribusi besar
dlm mengembangkan institusi2 sejenis bagi negara
berkembang yg ingin menciptakannya.
08. Negara yang memiliki mayoritas saham sebuah
perusahaan harus memikul tanggung jawab moral atas
kegiatan dan kegagalan perusahaan tersebut.
Tanggung jawab moral harus dipikul oleh pemilik
mayoritas saham. Sering sekali KMN yang bertanggung
jawab tersebut kabur dan para korban tidak menerima
ganti rugi.
09. Jika suatu korporasi multinasional membangun pabrik
yg berisiko tinggi, ia wajib menjaga supaya pabrik itu
aman dan dioperasikan dengan aman.
KMN bertanggung jawab untuk membangun pabrik yang
aman dan melatih serta membina sebaik mungkin
mereka yang akan mengoperasikan pabrik itu. Mis yg
berurusan dgn instalasi nuklir. Jika terjadi kebocoran,
dampaknya akan sgt luas dan fatal.
10. Dalam mengalihkan teknologi berisiko tinggi
kepada negara berkembang, korporasi multinasional
wajib merancang kembali sebuah teknologi
sdemikian rupa, sehingga dapat dipakai dengan
aman dalam negara baru yang belum
berpengalaman.
Teknologi memungkinkan beberapa alternatif dalam
membangun suatu sistem. Kecenderungan orang
adlh memilih alternatif yang paling murah. Menurut
norma ini prioritas harus diberikan kepada
keamanan. Kalau mungkin, teknologi harus
dirancang sesuai dengan kebudayaan dan kondisi
setempat, sehingga terjamin keamanan optimal.

Anda mungkin juga menyukai