Anda di halaman 1dari 3

B.

Norma - Norma Yang Umum Pada Taraf Internasional

K. Bertenz berpendapat bahwa pandangan yang menganggap norma –norma moral relative
saja tidak bisa dipertahankan, namun norma-norma moral yang bersifat absolute juga tidak
bisa diterapkan dengan mutlak. Lalu, apa yang harus dilakukan apabila di bidang bisnis
norma-norma moral di Negara lain berbeda dengan norma-norma yang kita anut. Salah satu
masalah besar yang sudah lama disoroti serta didiskusikan dalam etika filosofis adalah relatif
tidaknya norma-norma moral. Richard De George membicarakan tiga jawaban atas
pertanyaan tersebut, yang kesemuanya ada benar maupun salahnya. Jawaban-jawaban
tersebut adalah:

1. Menyesuaikan Diri

Pandangan ini artinya adalah menyesuaikan diri di tempat ia berada. “Dimana bumi
berpijak, disitu langit dijunjung”.

2. Rigorisme Moral

Pandangan kedua memilih arah terbalik. Pandangan ini dapat disebut

rigorisme moral´, karena mau mempertahankan kemurnian etika yang sama seperti di
negerinya sendiri.

3. Imoralisme Naif

Sedangkan menurut pandangan ketiga, dalam bisnis internasional kita tidak perlu
berpegang pada norma-norma etis. Mereka berpendapat kita harus mematuhi ketentuan
hukum yang berlaku, tetapi selain itu, kita tidak perlu mematuhi norma-norma moral.

Kasus: Bisnis dengan Afrika Selatan yang Rasistis

Di sini kita mempelajari kasus Afrika Selatan ini sebagai contoh usaha memperdamaikan
pandangan "menyesuaikan diri" dengan pandangan rigorisme sampai pemilihan umum
multi ras yang pertama berlangsung pada 1994, Afrika Selatan mempunyai sistem politik
yang didasarkan atas diskriminasi: ras (apartheid), artinya dalam segala hal mayoritas kulit
hitam (83 persen dari penduduk) dibedakan dan dipisahkan dari minoritas kulit putih.
Perlu ditekankan lagi bahwa sistem apartheid ini didasarkan atas undang-undang Afrika
Selatan sejak 1948.
Misalnya, ada perumahan khusus untuk kelompok kulit putih. Jika ada orang kulit hitam
yang mempunyai uang
cukup untuk membeli rumah di daerah khusus untuk kulit putih, hal itu tetap dilarang.
Fasilitas umum juga semua dipisahkan untuk kedua kelompok tersebut, seperti misalnya
bioskop, restoran, bis kota, kereta api, dan lain-lain. Di tempat kerja berlaku sistem yang
sama. Semua perusahaan diwajibkan untuk menyediakan fasilitas sendiri-sendiri untuk
kedua kelompok icu misalnya ruang kerja, kantin, lift, kamar kecil, dan sebagainya.
Sistem ini tentu saja mengakibatkan juga karyawan kulit putih dibayar dengan gaji lebih
tinggi dari karyawan kulit hitam untuk pekerjaan yang sama. Yang dipraktekkan di Afrika
Selatan pada waktu itu adalah diskriminasi ras terang-terangan. Dan setiap diskriminasi
tentu merupakan hal yang tidak etis. Dicantumkannya dalam sistem hukum tidak bisa
mengubah kualitas etisnya.

Kebijakan apartheid di Afrika Selatan ini menimbulkan kesulitan moral yang besar
untukperusahaan - perusahaan asing yang mengandalkan bisnis di Afrika Selatan. Mereka
diwajibkan untuk mengikuti sistem apartheid juga dalam pabrik-pabrik dan kantor-kantor
di Afrika Selatan.1

C. Aspek-aspek Etis dari Korporasi Multinasional

Korporasi multinasional adalah perusahaan yang mempunyai investasi langsung


dalam dua negara atau lebih. Jadi, perusahaan yang mempunyai hubungan dagang
dengan luar negeri, dengan demikian belum mencapai status korporasi multinasional
(KMN), tetapi perusahaan yang memiliki pabrik di beberapa negara termasuk di
dalamnya.

1. Dengan kegiatannya korporasi multinasional itu harus memberi kontribusi kepada


pembangunan negara di mana ia beroperasi.

2. Korporasi multinasional harus menghormati Hak Asasi Manusia dari semua


karyawannya

3. Korporasi multinasional harus membayar pajak yang “fair”.

1
Rahmadhabia, Gema. "Norma Moral dan Etika dalam bisnis Internasional". Dalam http://gema-
rahmadhania.blogspot.com/2018/04/norma-moral-dan-etika-dalam-bisnis.html?m=1 . Diakses 14 April 2023
4. Jika suatu korporasi multinasional membangun pabrik yang beresiko tinggi, ia wajib
menjaga supaya pabrik itu aman dan dioperasikan dengan aman.

5. Korporasi multinasional harus bekerja sama dengan pemerintah setempat dalam


mengembangkan dan menegakkan “background institutions” yang tepat.

6. Negara yang memiliki mayoritas saham sebuah perusahaan harus memikul tanggung
jawab moral atas kegiatan dan kegagalan perusahaan tersebut.

7. Jika suatu korporasi multinasional membangun pabrik yang beresiko tinggi, ia wajib
menjaga supaya pabrik itu aman dan dioperasikan dengan aman.

8. Dalam mengalihkan teknologi beresiko tinggi kepada negara berkembang, korporasi


multinasional wajib merancang kembali sebuah teknologi demikian rupa, sehingga
dapat dipakai dengan aman dalam negara baru yang belum berpengalaman2

2
Mahanani, Estu., et all. (2022). Bisnis Internasional. CV. MEDIASAINS INDONESIA

Anda mungkin juga menyukai