Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Syariat Islam adalah peraturan hidup yang datang dari Allah swt, ia adalah pedoman
hidup bagi seluruh umat manusia. Sebagai pedoman hidup ia memiliki tujuan utama yang
dapat diterima oleh seluruh umat manusia. Tujuan diturunkannya syariat Islam adalah untuk
kebaikan seluruh umat manusia. Dalam ruang lingkup ushul fiqh tujuan ini disebut dengan
maqashid as-syari’ah yaitu maksud dan tujuan diturunkannya syariat Islam.
Secara bahasa maqashid syari’ah terdiri dari dua kata yaitu maqashid dan syari’ah.
Maqashid berarti kesengajaan atau tujuan, maqashid merupakan bentuk jama’ dari maqsud
yang berasal dari suku kata Qashada yang berarti menghendaki atau memaksudkan.
Maqashid berarti hal-hal yang dikehendaki dan dimaksudkan.
Sedangkan Syari’ah secara bahasa berarti “Jalan menuju sumber air”, jalan menuju
sumber air dapat juga diartikan berjalan menuju sumber kehidupan.
Maqashid Syari’ah adalah konsep untuk mengetahui hikmah (nilai-nilai dan sasaran
syara' yang tersurat dan tersirat dalam Al-Qur’an dan Hadits). yang ditetapkan oleh Allah swt
terhadap manusia adapun tujuan akhir hukum tersebut adalah satu, yaitu mashlahah atau
kebaikan dan kesejahteraan umat manusia baik di dunia (dengan Mu’amalah) maupun di
akhirat (dengan ‘aqidah dan Ibadah). Sedangkan cara untuk tercapai kemaslahatan tersebut
manusia harus memenuhi kebutuhan Dharuriat (Primer), dan menyempurnakan kebutuhan
Hajiyat (sekunder), dan Tahsiniat atau kamaliat (tertier).
Secara umum tujuan syariat Islam dalam menetapkan hukum-hukumnya adalah untuk
kemaslahatan manusia seluruhnya, baik kemaslahatan di dunia maupun kemashlahatan di
akhirat. Dalam makalah ini akan di paparkan tentang aplikasi filsafat hukum islam dalm
bidang fikih lainnya, filsafat hukum islam dalam bidang muamalah, munakahat, jinayah dan
siyasah.
B. Rumusan masalah
1. Apa bentuk aplikasi filsafat hukum islam dalam bidang muamalah?
2. Apa bentuk aplikasi filsafat hukum islam dalam bidang munakahat?
3. Apa bentuk aplikasi filsafat hukum islam dalam bidang jinayah?
4. Apa bentuk aplikasi filsafat hukum islam dalam bidang siayasah?
C. Tujuan pembahasan
1. Mengetahui bentuk aplikasi filsafat hukum islam dalam bidang muamalah
2. Mengetahui bentuk aplikasi filsafat hukum islam dalam bidang munakahat
3. Mengetahui bentuk aplikasi filsafat hukum islam dalam bidang jinayah
4. Mengetahui bentuk aplikasi filsafat hukum islam dalam bidang siayasah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Aplikasi filsafat hukum islam dalam bidang muamalah
Bank Syariah mulai dikembangkan lagi sebagai solusi atas ketidakmampuan sistem ekonomi
yang sedang berjalan selama ini dalam menghadapi permasalahan ekonomi yang semakin
banyak dan komplek. Praktik dan prinsip kerja syariah tentunya dilandasi oleh nilai-nilai
Islam yang terkandung di dalam Al-Qur’an, Hadits, dan sumber-sumber hukum Islam
lainnya. Memang hal ini akan terlihat sarat nilai, namun segala nilai Islam ini sesungguhnya
bersifat positif sekaligus normatif dalam praktik pada kehidupan nyata. Dalam perspektif
sistem perbankan ruang lingkup perbankan syariah bersifat universal yaitu meliputi kegiatan
usaha komersial (commercial banking) dan investasi (investment banking).1Awal berdirinya
bank syariah ditujukan untuk mencapai dan mewujudkan kesejahteraan umat secara luas
dunia dan akhirat. Dengan mengacu pada tujuan utama ini, istilah Maqashid Syari‟ah
menjadi sandaran utama dalam setiap pengembangan operasional dan produk-produk yang
ada di bank syariah. Oleh karena itu, semua pihak yang bekerja dalam bidang perbankan
syariah harus bisa memahami betul apa dan bagaimana praktik dari prinsip maqashid syariah.
Seperti yang telah dipaparkan di atas bahwa maqashid syariah (menuju syariah) dapat dicapai
dengan terpenuhinya lima kebutuhan dasar manusia. Terdapat tiga tingkatan kebutuhan pada
manusia, yaitu: dharruriyyat (primer), hajjiyat (sekunder), dan tahsiniyyat (tersier).
Manusia tidak diwajibkan untuk memenuhi ketiga tingkatan kebutuhan, tetapi
diwajibkan untuk dapat memenuhi dengan baik kebutuhan dasar atau yang disebut dengan
kebutuhan dharruriyyat. Maksud memenuhi dengan baik di sini adalah bahwa dalam
pemenuhannya harus diusahakan dengan cara-cara yang baik, benar, dan halal. Apabila
manusia dapat terpenuhi kebutuhan dasarnya tersebut, inilah yang dimaksud dengan
maqashid syariah. Kebutuhan dasar manusia tersebut terbagi dalam lima hal, yaitu: pertama,
menjaga agama (ad-din). Kedua, menjaga jiwa (an-nafs). Ketiga, menjaga akal pikiran (al-
aql). Keempat, menjaga harta (al-maal). Kelima, menjaga keturunan (an-nasl)
Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa maqashid syariah dapat dicapai dengan
terpenuhinya kelima kebutuhan dasar manusia tersebut. Begitu juga dalam sistem ekonomi
yang hendak dibangun. Sistem ekonomi dikatakan sukses berjalan apabila bisa
mensejahterakan masyarakatnya dan masyarakat dikatakan sejahtera apabila kebutuhan
dasarnya tersebut terpenuhi. Jadi, sistem ekonomi beserta institusi-institusinya harus bisa

1
Achmad Baraba, Prinsip Dasar Operasional Perbankan Syariah, Buletin Ekonomi Moneter
dan Perbankan, Vol.2 No.3, 1999. Hal. 65
mengupayakan hal ini untuk mencapai tujuan utamanya, yaitu social welfare. Berbagai jenis
pembiayaan yang ditawarkan oleh perbankan syariah sebenarnya sangat mendukung kegiatan
ekonomi dan industri. Tujuan dan fungsi perbankan syariah adalah kemakmuran ekonomi
yang meluas, keadilan sosial ekonomi dan distribusi pendapatan serta kekayaan yang merata.
Final goal atau tujuan utama tersebut dapat diusahakan salah satunya dalam sistem
perbankan dimana saat ini sudah mulai banyak instansi berlomba-lomba mendirikan
perbankan Islam untuk mencapai kemajuan ekonomi yang sesungguhnya. Dalam bank
syariah, dalam hal ini dicontohkan Bank Muamalat Indonesia.

B. Aplikasi filsafat hukum islam dalam bidang munakahat

Hukum Islam memiliki tujuan mewujudkan kemaslahatan manusia (maqasid al-


syariah) di dunia dan kebahagiaan di akhirat.Perwujudan ini ditentukan oleh harmonisasi
hubungan antara manusia baik secara individu maupun kolektif, serta hubungan manusia
dengan alam sekitarnya .Hubungan tersebut seperti halnya dalam perkawinan, karena
perkawinan merupakan salah satu media agar dapat saling mengenal antara yang satu dengan
yang lain (Surah a- Hujarat 13). Hal ini menunjukkan bahwa Islam agama fitrah, sehingga
pelarangan sesama jenis (LGBT) sudah sesuai fitrah manusia, LGBT juga terbukti menjadi
salah satu penyebab munculnya penyakit HIV AIDS dan penyakit menular seksual .
Juga Islam menganjurkan nikah agar terhindar dari penyimpanganpenyimpangan
seksual senantiasaselalu terjadi, baik berupa delik perzinaan, lesbian maupun berbentuk
homoseksual2. Hikmah yang terbesar dalam pernikahan ialah menjaga dan memelihara
perempuan yang bersifat lemah dari kebinasaan .Perempuan dalam sejarah digambarkan
sebagai makhluk yang sekadar menjadi pemuas hawa nafsu kaum laki-laki atau Al-Istimta'u
ditinjau dari aspek filologi berarti al intifa'u yaitu mencari dan mengharap manfaatdan
kelezatan .Perkawinan adalah pranata yang menyebabkan seorang perempuan mendapatkan
perlindungan dari suaminya .Keperluan hidupnya wajib ditanggung oleh suaminya.
Pernikahan juga berguna untuk memelihara kerukunan anak cucu (keturunan), sebab kalau
tidak dengan nikah, anak yang dilahirkan tidak diketahui siapa yang akan mengurusnya dan
siapa yang bertanggung jawab menjaga dan mendidiknya
Nikah juga dipandang sebagai kemaslahatan umum, akan terjaga shwat dari yang
diharamkan (zina), sebab kalau tidak ada pernikahan, manusia akan mengikuti hawa nafsunya
sebagaimana layaknya binatang, dan denga sifat itu akan timbul perselisihan, bencana, dan

2
Syarifuddin, Tinjauan Fiqh Terhadap Homoseksual, Dosen Fakultas sains dan Teknologi
UIN Suska Riau, Al-Fikra: Vol 9, No 1 (2010) dan Desember Vol 15, No 2 (2016). Hal. 105
permusuhan antara sesama manusia, yang mungkin juga dapat menimbulkan pembunuhan
yang maha dasyat.Tujuan pernikahan yang sejati dalam Islam adalah pembinaan akhlak
manusia dan memanusiakannya serta menjauhkan dari perzinahan, sehingga hubungan yang
terjadi antara dua gender yang berbeda dapat membangun kehidupan baru secara sosial dan
cultural. Hubungan dalam bangunan tersebut adalah kehidupan rumah tangga dan
terbentuknya generasi keturunan manusia yang memberikan kemaslahatan bagi masa depan
masyarakat dan Negara).
Dengan perkawinan maka tujuan dari Maqashid Syariah itu sendiri dapat terpenuhi
yaitu dapat terjaganya keturunan-keturunan yang sah. Maqashid syariah dalam hifzhuan-Nasl
(memelihara keturunan atau kehormatan) adalah pada tingkatan hajiyat, maka menikah
adalah keniscayaan, sebagai hajat fitrah manusia yang berpasang-pasangan (Surah al-Hujarat
13).Kaitan dengan permasalahan ini, bahwa syariat itu disyariatkan untuk kemaslahatan
hamba dunia akhirat, maka hukum juga demikian, sebab itu Kompilasi Hukum Islam
tentunya mempunyai nilai-nilai filosofis yang mengandung kemaslahatan untuk seluruh umat
Islam.Dalam kodifikasi serta unifikasi
hukum Islam di Indonesia, secara hirarki hukum Kompilasi Hukum Islam termasuk
menempati urutan paling akhir (Hirarki Perundangan Nasional).
C. Aplikasi filsafat hukum islam dalam bidang jinayah
Maqashid al-syari’ah yang sekarang berkembang menekankan kepada manusia
sebegai individu dan kurang diimbangi dengan manusia sebagai anggota komunitas. Barang
kali ini salah satu sebab yang menjadikan orang Islam kurang perhatian dan kesadarannya
terhadap pentingnya umat di dalam kehidupan ini. Hal ini juga dibuktikan dengan
menganggap lebih pentingnya fardh ‘ain dari pada fardh kifayah, sebagaimana yang
dikatakan oleh Imam al-Subki:
3
‫فرض الكفاية أفضل من فرض العين‬
Fardhu kifayah lebih utama dari fardhu ‘ain
Kata ‘ummat’ merupakan bahasa Arab dengan arti al-qasd (tujuan), yakni tujuan jalan
yang lurus (al-qasd al-thariq al-mustaqim), al-thariq (jalan), al-hin (masa), yaitu suatu kurun
dari manusia, setiap jenis dari hewan selain bani Adam disebut juga ummat, imam (ikutan),
dan arti asalnya adalah al-qamat (menuju, kemajuan). Berdasarkan arti tersebut, Ali Syari’ati
mendefinisikan umat adalah “kumpulan orang yang semuanya sepakat dalam tujuan yang

3
Imam Taj ad-Din ‘Abd al-Wahab Ibn Subky, Matan Jam’u al-Jawami’, (Semarang :Thoha
Putera, [t.th]), Juz 2: 78.
sama dan masingmasing membantu agar bergerak ke arah tujuan yang diharapkan atas dasar
kepemimpinan yang sama.”
Menurut Dedy, pengerian umat yang dikemukakan Syari’ati tampaknya terkesan
ekslusif, karena ia hanya mengambil arti generiknya tanpa melihat kekayaan maknanya.
Sehingga kelompok manusia yang tidak seakidah, baginya tidak disebut umat yang satu.
Namun demikian, karena ia sendiri melihat subtansinya, ia berhasil menunjukkan bahwa
istilah umat memang mengandung arti dinamis, bergerak, dan berhijrah menuju tujuan yang
jelas di bawah satu kepemimpinan dan petunjuk arah tujuannya, yaitu akidah. Kata ummah
yang sering disebut al-Qur’an dan hadis nabi SAW sudah di Indonesiakan menjadi umat.
Menurut A. Djazuli, bahwa kata ummah memiliki ruang lingkup yang berlapis.
Pertama, kata ummah bisa disamakan dengan makhluk tuhan, sehingga burung pun disebut
umat. Sebagaimana firman Allah (QS.6:38)
Dan Tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang
dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan
sesuatupun dalam Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.
Didukung oleh sabda Nabi: semut yang berkeliaran juga disebut umat dari
umat-umat Allah SWT (HR.Muslim).
Kedua, kata ummah berarti umat manusia secara keseluruhan, firman Allah (QS.2:213)
Manusia itu adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan), Maka Allah mengutus
Para Nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka kitab yang
benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka
perselisihkan. tidaklah berselisih tentang kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan
kepada mereka Kitab, Yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang
nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang
yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkann itu dengan
kehendak-Nya. dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan
yang lurus.
Ketiga, kata ummah berarti satu komunitas manusia, firman Allah (QS.21:92).
Sesungguhnya (agama Tauhid) ini adalah agama kamu semua; agama yang satu dan aku
adalah Tuhanmu, Maka sembahlah aku.
Dalam lapisan ini baru dibedakan antara umat Islam dengan umat nonmuslim.
4
‫أل صل في العالقة السلم‬

4
Abd al-Qadir Awdah, al-Tasyri’ al-Jina’i al-Islam Maqaranan bi al-Qanun al-Wadh’i,
(Mesir: Makhtabah al-‘Urubah, 1963), Juz I: 431.
Asal di dalam hubungan itu adalah kedamaian.
Selain itu, masih ada prinsip-prinsip lain. Di antaranya adalah al-‘adalah, karamah
insaniyah, tasamuh, ta’awun al-fadhilah (budi baik) dan huriyah. Prinsip-prinsip ini
mewarnai kehidupan umat, baik umat dalam arti luas, yaitu makhluh tuhan, maupun umat
dalam arti sempit, yaitu umat sebagai komunitas agama tertentu.
Konsep umat menjadi penting dalam kehidupan bersama, baik umat di dalam ruang
lingkup pertama, kedua, ataupun ketiga, yang memiliki keterkaitan yang erat dengan aspek-
aspek ekonomi, politik, dan sosial budaya suatu bangsa ataupun dunia internasional yang
dalam era globalisasi ini perannya sangat kuat dan interaksi menjadi sangat intensif.
zmenjaga keharmonisan hidup dan tertib kehidupan di dunia ini, rasanya perlu diangkat
konsep umat sebagi salah satu maqashid al-syari’ah.
Imam syathibi menyebutkan bahwa jinayat disyari’atkan untuk preventif dan
persuasif agar maqashid al-syari’ah tidak terganggu (min janib al-‘adam). Jadi, untuk
memelihara agama dilarang murtad; untuk memelihara akal, dilarang meminum minuman
yang memabukkan; untuk menjaga jiwa, dilarang membunuh; untuk memelihara keluarga
dan keturunan, dilarang zina; untuk memelihara harta, dilarang mencuri dan merampok. Ini
semua merupakan jarimah hudud.
D. Aplikasi filsafat hukum islam dalam bidang siayasah
Larangan al-baghyu adalah untuk memelihara umat. Di satu sisi, umat diwajibkan
bersatu. Sedangkan di sisi lain diharamkan tafaruq (bercerai berai). Karena itu, secara moral,
umat diwajibkan menegakkan ukhuwah dan dilarangnya permusuhan dan saling membenci.
A. Djazuli melanjutkan, tanpa hifzd al-ummah, akan sulit memahami kasus-kasus peperangan
atau pemberontakan. Keduanya terjadi karena masalah politik tidak bisa “diselesaikan melaui
sistem politik yang ada.”Perdamaian misalnya Perjanjian Hudaibiyah, Piagam Madinah,
Imamah dan masalah-masalah siyasah lainnya-termasuk juga soal keluarga berencana (KB),
trilogi Kerukunan, Hankamrata, Hak Azazi Manunsia (HAM), lingkungan hidup, lembaga-
lembaga OKI, PBB, BMI, dan Takaful. Dengan demikian, hifdz al-ummah menjadi
landasan filosofis bagi fiqh siyasah, baik siyasah dusturiyah, dauliyah, maupun
maliyah. Fiqh yang diperkenalkan oleh KH. Ali Yafie di Indonesia yang disebut “fiqih
sosial” yang pada intinya untuk merealisasikan kemaslahatan umum, menjadi tidak jelas
arahnya tanpa hifdz al-ummah dijadikan salah satu maqashid alsyari’ah. Dalam interaksi
antar umat yang berbeda agama, muslim menjalin ukhuwah insaniyah secara moral yang
diwujudkan dalam ta’awun insani dalam menghadapi berbagai masalah bersama atas dasar
persamaan kemanusian.
Dengan cara ini, rujukan tempat kembalinya adalah kesejajaran manusia sebagi
makhluk Allah SWT yang hidup di muka bumi. Hal ini tercermin antara lain dalam piagam
Madinah yang mengatakan bahwa muslim merupakan satu komunitas keumatan yang kuat,
saling menghormati antara muslim dan non muslim dan saling membantu menghadapi musuh
bersama serta menjamin keadilan dan persamaan di hadapan hukum. Dalam tahapan ini,
diharapkan terwujud baldah thayyibah, sebagaimana bunyi ayat:
Sesungguhnya bagi kaum Saba' ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman
mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka
dikatakan): "Makanlah olehmu dari rezki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah
kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan yang
Maha Pengampun".(QS.34:15)
Sebagai wujud tanggung jawab moral ini, banyak sekali hal-hal yang lebih rinci
disebut dalam al-Qur’an maupun hadis. Sebagai contoh, larangan menghina sesuatu kaum
terhadap kaum yang lain, larangan berprasangka buruk, di satu sisi; dan keharusan menjalin
hubungan baik dengan umat yang beradab di sisi lain. Dalam Bay’ah ‘Aqabah pun tercantum
janji yang bersifat moral. Di kalangan umat Islam sendiri banyak aturan yang setidaknya
memperkokoh ukhuwah insaniyah, seperti tergambar dalam shalat berjama’ah, infak, dan
sedekah sebagai ibadah maliyah ijtima’iyah dan bahkan ibadah haji yang dilakukan umat
Islam dari berbagai bangsa dan warna kulit. Dalam hal ini Nabi SAW bersabada:
5
‫ال فضل لع ربي على عجمي وال لعجمي على عربي إال بالتقوى‬
Tidak ada kelebihan bangsa Arab dari suku bangsa lainnya, dan tidak pula bangsa
lain atas bangsa Arab kecuali ketaqwaannya.
Umat, dalam ruang lingkup manusia, dibentuk berdasarkan kesamaan di antara
manusia. Oleh karena itu, dilarang mengganggu jiwa dan harta, kehormatan manusia tanpa
adanya landasan hukum yang sah, barangsiapa yang mengganggunya, maka akan
mendapatkan sanksi dan dimintai pertanggungjawabannya. Tawanan perang sekalipun, harus
diperlakukan sebagai manusia karena ia merupakan bagian dari umat manusia. Terciptanya
kehidupan yang damai di kalangan umat manusia adalah dharuriyah. Hajjiyah adalah upaya
penyelesaian konflik,semacam perjanjianperjanjian, yang merupakan kesepakatan bersama
dan harus ditaati bersama pula. Adapun tahsiniyah adalah perbuatan-perbuatan yang berupa
akhlak al-karimah terhadap sesama manusia.

5
Tengku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Filsafat Hukum Islam, (Semarang: Pustaka Rizki
Putra, 2013), cet ke-1: 59.
Setiap perbedaan perlu disikapi secara dewasa sebagai sebuah kewajaran dalam
dinamika hidup bermasyarakat, dan bahkan hal itu perlu dilihat sebagai sebuah keindahan.
Adapun persamaan-persamaan dan kesepakatan kesepakatan bersama merupakan suatu
keniscayaan, agar hidup dapat dirasakan sebagai sesuatu yang tertib, aman, dan damai
menuju kebahagiaan. Ditambahkan oleh Juhaya, bahwa pernyataan al-Syatibi tentang sasaran
maslahat yang secara harfiah disebut limashalih al-‘ibad, itu artinya adalah umat. Al-‘ibad
sebagai pihak yang seharusnya menikmati kemaslahatan itu, adalah sebutan lain untuk
manusia. Pengertian simboliknya adalah penikmat kemaslahatn itu bagi seluruh manusia
dalam kesendirian dan dalam kebersamaannya. Pada konteks inilah, sebutan al-‘ibad tampak
relevan dengan ummah (jamak al-‘umam), sehingga mashalih li al-‘ibad sama artinya dengan
mashlahah al-ummah.
Konsep umat secara antropologi menunjukkan ragam satuan komunitas dalam
wilayah (setting) budaya tertentu yang tergabung dalam umat itu, baik dari segi ras maupun
etnis. Konsep empiris umat adalah orang-orang yang tidak tebatas ragam vertikalnya (sejarah
generasi, dan keturunan) dan ragam horizontalnya (sosial, politik, budaya, dan ekonomi).
Konsep normatif umat adalah komunitas formal yang dilandasi oleh ikatan primordial agama,
bangsa, dan budaya. Rumusan konsep tentang umat menunjukkan adanya sekelompok
orang yang dibimbing oleh nilai dan norma budaya Islam. Jika kedua konsep empiris
maslahat itu digabungkan dengan konsep empiris umat, hukum Islam dapat direalisasikan
secara empiris dalam kenyataan untuk umat yang beragam akan tercapai fungsi Islam sebagai
rahmatan lil’alamin.6 Teori kemaslahatan umat ini dapat dijadikan sebagai metode dan teknik
dalam mengarahkan umat yang toleran dan memiliki kearifan moderat, sebagaimana firma
Allah dalam Surat Al-Baqarah: 2
Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan
pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad)
menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi
kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti
Rasul dan siapa yang membelot. dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa Amat berat,
kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan
menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada
manusia.

6
S. Praja, Juhaya, Teori Hukum Islam dan Aplikasinya, Bandung, Pustaka Setia, 2014, cet
ke-2
Yaitu umat yang mempunyai kapasitas melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar.
Sekalipun demikian, sikap toleran dan moderat itu dalam kesadaran berpegang teguh pada
poros Allah SWT. Sebagaimana firma Allah dalam surat Ali Imran: 103
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu
bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa
Jahiliyah)bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu
karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang
neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat
ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.
Sikap toleransi dan moderasi ini menjiwai dalam pergaulan kehidupan damai
antaretnis, budaya, ras, dan bangsa; syu’uba wa qaba’il, firman Allah dalam surat Al-
Hujura:13
Dan Dia telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi
semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-
benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir.
Dalam rangka membentuk masyarakt muslim moderat inilah diperlukan ijtihad
dengan mempertimbangkan maslahat umat. Masalah-masalah keumatan dalam kehidupan
masyarakat yang di dalam al- Qur’an dan hadis dalil-dalilnya tidak sebanyak masalah ibadah,
maka ruang lingkup ijtihad menjadi luas. Sekalipun demikian agar tidak keluar dari nilai-nilai
Islam, perlu dicari semangatnya yang tercermin dalam dalil-dalil kulliy, baik ayat-ayat al-
Qur’an atau hadis Nabi SAW, kaidah-kaidah kulliy yang sudah mapan, dan keterkaitannya
dengan maqashid al-syari’ah, termasuk hifdz al-‘ummah.
Tuntutan tanggung jawab manusia terhadap semua makhluk Allah SWT di muka
bumi ini karena kehidupan bersama ini dianalogikan oleh Djazuli dengan kehidupan di dalam
sebuah kapal.7 Semuanya dituntut untuk bertanggungjawab, agar setiap orang tidak merusak
kapal yang dapat menyebabkan tenggelamnya kapal tersebut. Dalam tata surya kapal itu,
dalam arti astronomi, adalah bumi ini. Oleh karena itu, manusia dilarang untuk merusak bumi
ini setelah bumi diciptakan dengan baik oleh Allah SWT. Karena ruang lingkup umat yang
paling luas adalah seluruh makhluk Allah SWT di muka bumi.
Hal ini sejalan dengan surat al-A’raf ayat 56 selengkapnya berbunyi:
Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah)
memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (Tidak akan diterima) dan

7
A. Djazuli, Fiqh Siyasyah, Bandung, Kencana, 2013, cet ke-5. Hal. 263
harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang
yang berbuat baik.(QS.7:5)
Selain manusia, cakupan umat diisyaratkan dalam berbagai ayat, bahkan surat, baik
yang berkaitan dengan hewani ataupun nabati (al-Tin, al-Baqarah, al- Naml, al-Ankabut, dan
al-Fil). Yang dharuriyah adalah keseimbangan hidup antara makhluk Allah SWT di muka
bumi, hajjiyah adalah pemanfaatan alam dengan tidak merusaknya, dan tahsiniyah adalah
bersikap ramah terhadap semua makhluk Allah di muka bumi. Oleh karena itu, tidak
mengherankan, apabila ada orang masuk surga hanya karena memberi minum anjing yang
kehausan, wanita yang masuk neraka akibat tidak memberi makan seekor kucing, larang
membuang air kecil di bawah pepohonan, dan larangan merusak (membakar) pepohonan,
sekalipun dalam keadaan perang.8
Hubungan kasih sayang (rahmah) tidak hanya berdasarkan moral dalam kehidupan
sesama manusia, tetapi juga melandasi hubungan dengan alam semesta, baik nabati maupun
hewani, mendasari hubungan moral semua makhluk Allah SWT di muka bumi sesuai dengan
misi Nabi Muhammad SAW sebagai pembawa rahmah bagi seluruh alam. Selain itu, sesuai
dengan hadis Nabi SAW, “Sayangi semua yang ada di muka bumi, Allah akan memberi
rahmat kepadamu.”
Dengan demikian, akan terwujud kehidupan yang marhamah di antara semua
makhluk di muka bumi. Namun, karena keserakahan manusia, telah banyak terjadi kerusak di
laut dan di darat dikarena ulah tangan manusia. Mengeksploitasi alam terlalu berlebihan
sehingga menggangu keseimbangan ekosistem alam. Terjadinya polusi udara, banjir, longsor,
polusi udara, kebakaran hutang, dan berbagai bencana lainnya. Itu semua disebabkan ulah
tangan jahilmanusia, sebagaimana yang diingatkan oleh Allah SWT. Akibat dari semua itu
terpulang juga kepada manusia.
Padahal manusia diberi misi khusus sebagai khalifah fil ardh. Suatu tugas dan
kehormatan teramat mulia yang tidak dibebankan pada malaikat sekali pun. Alam dan
lingkungannya merupakan kebutuhan manusia untuk melangsungkan kehidupan di muka
bumi. Oleh karena itu, memperhatikan lingkungan hidup dan menjaga kelestariannya juga
termasuk pada maslahat yang mesti didapatkan. Dalam istilahnya disebut hifdz al-bi’ah.
Didalam islam terdapat aturan, undang-undang dan budaya yang menjadi pedoman
utama tata kehidupan umat muslim secara keseluruhan, mulai dari hal-hal yang bersifat
individu hingga urusan sosial masyarakat secara luas. Sesuai dengan namanya, Islam adalah
keselamatan, kedamaian keselarasan dan kesejahteraan yang dibangun atas dasar ketaatan.

8
Ibid. H. 264
Islam hanya akan menjadi konsep belaka apabila tidak dibarengi dengan integralitas dan
perfeksitas Islam oleh para pemeluknya yang memiliki keimanan tersebut. Kasusnya dewasa
ini adalah, umat Islam sendiri enggan memakai ideologi Islam dalam kehidupannya sehari-
hari, baik itu dalam hal berperilaku, berilmu maupun beretika. Hal ini menjadikan ideologi
dan pemikiran-pemikiran Islam kurang bisa diterima oleh akademisi maupun non-akademisi,
banyak yang mengintegrasikan nilai islam dengan pengetahuan tetapi yang kita temukan
adalah adanya dua kebenaran yaitu kebenaran teologis dan kebenaran science, padahal
kebenaran yang mutlak itu adalah yang ada di dalam Quran dan Hadist.
Kembali ke Islam sebagai alamin konsep rahmatan lil ‘, artinya adalah Islam
mengutamakan nilai-nilai manfaat dalam mengatur obyek diatur. Dengan konsep ini Islam
mengatur bagaimana manusia harus hidup sosial, sehingga untuk menciptakan perdamaian,
kehidupan yang harmonis, adil dan makmur. Penerapan konsep ini dimaksudkan untuk
menjadi hubungan antara individu, masyarakat, dan bahkan antar negara meskipun mapan,
saling hak dan kewajiban terpenuhi dan bahwa tidak ada kepentingan partai terdzalimi oleh
kepentingan lainnya. karakter rahmatan Islam lil ‘Alamin juga menjadi solusi permasalahan
yang timbul karena perbedaan mendasar dalam kehidupan masyarakat, seperti dalam kasus
keyakinan, ras, budaya, fisik, dll Islam telah dimasukkan juga manusia yang tidak percaya
pada Allah sebagai Tuhannya, menengahi perbedaan dengan sangat sederhana dan mudah
dimengerti.
Tapi fakta bahwa seluruh penduduk dunia dibagi menjadi kelompok kelompok dan
daerah komunitas politik tertentu, dan ini menyebabkan perbedaan dalam gaya hidup atau
bahkan perspektif dalam politik. Menurut Aristoteles manusia politik (zoon politik) yang
sikap dan perilaku adalah elemen yang tak terelakkan dari politik, bahkan hari ini apa pun
bisa berada di politisasi agama bahkan di politisasi. Hal ini membuat kecenderungan
kebenaran politik tidak terlihat karena semua berpikir bahwa jika ada konflik dengan
pendapatnya (meskipun itu) ini disebut sebagai taktik politik, makhluk ini usia ini.
Diantara tujuan negara Indonesia yang telah jelas tercantum dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 alinea ke-4 adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan
memajukan kesejahteraan umum. Dalam hal ini Negara berkewajiban untuk melindungi
secara menyeluruh hak-hak warga Negara serta menjamin kesejahteraan mereka, termasuk
melindungi hak warga Negara untuk memilih dan menjalankan agama. Islam sebagai agama
yang dipeluk oleh mayoritas bangsa Indonesia telah memberikan andil yang sangat besar
dalam sejarah kemerdekaan serta terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia, selain
itu ummat Islam juga telah membuktikan kontribusinya dalam menjalankan dan menjaga
kedaulatan Republik Indonesia. Islam sebagai agama yang universal telah mengatur seluruh
aspek kehidupan, baik itu bersifat peribadatan (spiritual) ataupun kemasyarakatan (sosial)
dengan sesama muslim ataupun non muslim. Islam menganjurkan untuk menjalin hubungan
dengan tetangga walau berbeda agama, tidak boleh berlaku buruk (dzolim) kepada non
muslim, melarang keras memerangi non muslim kecuali jika mereka memerangi kaum
muslimin serta berlaku adil terhadap mereka 9.
Norma dan nilai-nilai yang ada pada Islam seharusnya bisa menjadi modal
terbentuknya suatu masyarakat yang memiliki identitas yang luhur serta bermartabat, apalagi
muslim di Indonesia sebagai mayoritas yang jumlahnya sekitar 85 persen dari jumlah total
warga Negara. Penerapan nilai-nilai Islam bisa dilakukan tanpa merekonstruksi
undangundang dan hukum yang telah ada, penerapan nilai-nilai Islam bisa dimulai dari
kesadaran dan pemahaman secara lebih mendalam bagi umat islam itu sendiri dalam
menjalankan kewajibannya kepada Allah SWT. Muslim yang mentaati Allah akan
menunjukan pada pribadinya, identitas yang baik dan luhur. Jika kita tarik ke wilayah
parlemen misalnya anggota eksekutif di pemerintahan yang menunjukkan identitas Islam
yang taat Agama, tidak akan korupsi, menghargai non-Muslim dsb itu menjadi karakter yang
mencerminkan identitas bangsa. Identitas tidak tertulis, tetapi menjadi budaya sehingga
berpengaruh pada kebiasaan yang dipandang bagus dan berkarakter baik oleh Muslim
maupun non-muslim. Apabila sudah dianggap baik maka akan diikuti dan dapat
mempengaruhi kearah kebaikan.
Sebenarnya nilai dan norma Islam sudah diterapkan pada hukum-hukum di Indonesia,
karena memang pembentukkan Negara ini mayoritas melibatkan ulama dan pahlawan-
pahlawan Muslim. Namun kita belum bisa

9
Bahrain, d. R. (2014, Desember 19). Bukti Toleransi Islam Terhadap Agama Lain.
Retrieved February 09, 2017, from muslim.or.id
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Bank Syariah mulai dikembangkan lagi sebagai solusi atas ketidakmampuan sistem
ekonomi yang sedang berjalan selama ini dalam menghadapi permasalahan ekonomi yang
semakin banyak dan komplek. Praktik dan prinsip kerja syariah tentunya dilandasi oleh nilai-
nilai Islam yang terkandung di dalam Al-Qur’an, Hadits, dan sumber-sumber hukum Islam
lainnya. Memang hal ini akan terlihat sarat nilai, namun segala nilai Islam ini sesungguhnya
bersifat positif sekaligus normatif dalam praktik pada kehidupan nyata.
Nikah juga dipandang sebagai kemaslahatan umum, akan terjaga shwat dari yang
diharamkan (zina), sebab kalau tidak ada pernikahan, manusia akan mengikuti hawa nafsunya
sebagaimana layaknya binatang, dan denga sifat itu akan timbul perselisihan, bencana, dan
permusuhan antara sesama manusia, yang mungkin juga dapat menimbulkan pembunuhan
yang maha dasyat.Tujuan pernikahan yang sejati dalam Islam adalah pembinaan akhlak
manusia dan memanusiakannya serta menjauhkan dari perzinahan, sehingga hubungan yang
terjadi antara dua gender yang berbeda dapat membangun kehidupan baru secara sosial dan
cultural.
Imam syathibi menyebutkan bahwa jinayat disyari’atkan untuk preventif dan persuasif
agar maqashid al-syari’ah tidak terganggu (min janib al-‘adam). Jadi, untuk memelihara
agama dilarang murtad; untuk memelihara akal, dilarang meminum minuman yang
memabukkan; untuk menjaga jiwa, dilarang membunuh; untuk memelihara keluarga dan
keturunan, dilarang zina; untuk memelihara harta, dilarang mencuri dan merampok. Ini
semua merupakan jarimah hudud.
landasan filosofis bagi fiqh siyasah, baik siyasah dusturiyah, dauliyah, maupun maliyah.
Fiqh yang diperkenalkan oleh KH. Ali Yafie di Indonesia yang disebut “fiqih sosial” yang
pada intinya untuk merealisasikan kemaslahatan umum, menjadi tidak jelas arahnya tanpa
hifdz al-ummah dijadikan salah satu maqashid alsyari’ah. Dalam interaksi antar umat yang
berbeda agama, muslim menjalin ukhuwah insaniyah secara moral yang diwujudkan dalam
ta’awun insani dalam menghadapi berbagai masalah bersama atas dasar persamaan
kemanusian.
B. Saran
Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita, jikalau terdapat kesalahan dimohon kepada
pembaca untuk mengkoreksinya
Daftar pustaka
Achmad Baraba, Prinsip Dasar Operasional Perbankan Syariah, Buletin Ekonomi
Moneter dan Perbankan, Vol.2 No.3, 1999.
Syarifuddin, Tinjauan Fiqh Terhadap Homoseksual, Dosen Fakultas sains dan
Teknologi UIN Suska Riau, Al-Fikra: Vol 9, No 1 (2010) dan Desember Vol 15, No 2
(2016).
Imam Taj ad-Din ‘Abd al-Wahab Ibn Subky, Matan Jam’u al-Jawami’, (Semarang
:Thoha Putera, [t.th]), Juz 2.
Abd al-Qadir Awdah, al-Tasyri’ al-Jina’i al-Islam Maqaranan bi al-Qanun al-
Wadh’i, (Mesir: Makhtabah al-‘Urubah, 1963), Juz I.
Tengku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Filsafat Hukum Islam, (Semarang: Pustaka
Rizki Putra, 2013), cet ke-1.
S. Praja, Juhaya, Teori Hukum Islam dan Aplikasinya, Bandung, Pustaka Setia,
2014, cet ke-2
A. Djazuli, Fiqh Siyasyah, Bandung, Kencana, 2013, cet ke-5.
Bahrain, d. R. (2014, Desember 19). Bukti Toleransi Islam Terhadap Agama
Lain. Retrieved February 09, 2017, from muslim.or.id

Anda mungkin juga menyukai