Anda di halaman 1dari 7

Dilema Ibu Bekerja:

Dirundung Cemas dan


Rasa Bersalah
Blanca Eschbach, 32 tahun, berpose dengan bayi perempuannya, Olivia, pada hari pertamanya
kembali bekerja setelah cuti melahirkan selama 10 minggu, di San Antonio, Texas, 4 Maret
2019.

Teruskan








Lihat komentar
Print
LONDON (REUTERS) —
Banyak ibu baru di seluruh dunia diliputi kecemasan dan rasa bersalah karena
harus meninggalkan bayi-bayi mereka ketika kembali bekerja. Beberapa
cemas kebijakan nasional tentang persalinan menggambarkan masyarakat
yang lebih mementingkan produktivitas daripada membesarkan anak.

Dalam serangkaian wawancara untuk Reuters dalam rangka peringatan Hari


Perempuan Sedunia yang jatuh pada 8 Maret, para ibu mulai dari Amerika
Serikat ke Uruguay ke Afrika Selatan dan Singapura, mengungkapkan
kekhawatiran mereka tentang berhenti bekerja karena harus melahirkan dan
merawat bayi mereka.

Laporan Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD)


pada 2016 menemukan bahwa di antara negara-negara OECD, para ibu rata-
rata mendapat 18 minggu cuti melahirkan dengan digaji.
Tatiana Barcellos, 37 tahun, pegawai negeri di Kantor Jaksa Federal, bersama bayinya yang
berusia 8 bulan, Alice, dan suaminya, Marcelo Valenca, 39 tahun, pada hari pertama Tatiana
kembali bekerja, di Rio de Janeiro, Brasil, 28 Januari 2019.

Namun jangkanya bervariasi. Beberapa negara, seperti Inggris dan Rusia,


memberikan cuti melahirkan lebih banyak beberapa bulan atau bahkan
beberapa tahun. Amerika Serikat adalah satu-satunya negara yang tidak
memberikan hak cuti hamil secara nasional yang dijamin hukum dan tetap
digaji.

Blanca Eschbach, seorang ibu dari San Antonio, Texas yang baru melahirkan,
kembali bekerja setelah cuti melahirkan 10 minggu.

“Saya merasa sebagai masyarakat, kita lebih mementingkan produktivitas di


atas kehidupan keluarga,” kata Eschbach. “Anda merasa diburu-buru untuk
segera kembali bekerja.”
BACA JUGA:

ILO: Kesenjangan Gender Masih Lebar dalam Dunia Kerja

Eschbach menuturkan dia ingin bisa lebih lama berada di rumah bersama
anaknya. Idealnya 16 minggu. Tapi keluarganya tidak mampu bila dia harus
cuti untuk waktu yang lama.

Tatiana Barcellos, 37 tahun, seorang pegawai negeri sipil yang bekerja di


Kantor Jaksa Federal di Brasil, mengatakan kepada Reuters bahwa dia “cemas
dan khawatir” ketika kembali bekerja. Dia khawatir “ketidakhadiran saya akan
membuat bayi saya stress.”
Ferzanah Essack, 36, seorang pengembang perangkat lunak dan suaminya, Hassan Essack, 37
tahun, yang berprofesi sama berpose dengan bayi Salma yang berusia 4,5 bulan pada hari
pertama kembali bekerja di Cape Town, Afrika Selatan, 18 Februari 2019.

Di Belanda, Lucie Sol, seorang pekerja sosial berusia 32 tahun dan ibu dari
bayi Lena Amelie, mengatakan kembali bekerja “membuatnya sangat merasa
bersalah.”

“Saya merasa bersalah meninggalkan dia,” kata Lucie Sol kepada Reuters.
“Dia baru berumur lima setengah bulan. Jadi saya ingin selalu dekat
dengannya.”

Sol mengambil cuti ekstra selama tiga bulan hingga memperpanjang cuti
melahirkan menjadi total 27 minggu. Pasangan Sol, Rudie Jonkmans,
mendapat dua hari cuti resmi ayah dan menambah tiga minggu waktu liburan
untuk keluarganya. Cuti resmi untuk ayah di Belanda sudah diperpanjang
menjadi lima hari.
BACA JUGA:

Pemimpin Global: Meningkatnya Populisme Kikis Hak-hak


Perempuan

Di Belarus, keadaan sedikit berbeda untuk Alesia Rutsevitch, yang kembali


bekerja sebagai dokter mata setelah melahirkan putranya tiga tahun lalu.

Menurut ketentuan resmi cuti persalinan di Belarusia, para ibu tetap


menerima gaji bulanan rata-rata selama 70 hari sebelum melahirkan dan 56
hari setelah melahirkan. Cuti untuk merawat anak bisa diambil hingga
maksimum tiga tahun setelah melahirkan oleh kerabat yang bekerja atau wali
anak. Penerima manfaat cuti melahirkan dibayar dengan jumlah bayaran
tetap sesuai dengan jumlah anak dalam keluarga.
Dokter mata Alesya Rutsevich, 28 tahun, dan suaminya, Pyotr, 28, seorang programmer,
bersama anak laki-laki mereka Daniil, 3 tahun, berfoto di rumah mereka dalam pekan Alesya
kembali bekerja di Minsk, Belarusia, 23 Februari 2019.

Rutsevich mengatakan dia bahagia bisa punya waktu banyak untuk merawat
bayinya dan memuji kebijakan negaranya.

“Durasi cuti untuk merawat anak sudah optimal,” kata Rutsevich. “Saya
percaya dalam tiga tahun, anak sudah tumbuh, kesehatan dan perilakunya
membaik.”
BACA JUGA:

Punya Anak Mahal, Makin Banyak Warga Korsel Pilih Hewan


Peliharaan

Ferzanah Essack, seorang pengembang perangkat lunak dan ibu berusia 36


tahun di Afrika Utara, mengatakan hukum di negara itu memberikan empat
bulan cuti melahirkan. Tapi pemberi kerja tidak diwajibkan membayar
karyawan selama masa cuti. Para ayah juga mendapatkan 10 hari cuti
merawat anak.

Essack mengatakan dia “sangat khawatir” kembali bekerja. Namun bayinya,


Salma, akan dirawat oleh ibunya dan ibu mertuanya.

“Kami membayar (perawatan anak) dengan cinta dan banyak ciuman,”


katanya. “Dengan banyak cinta karena para nenek.” [ft]

https://www.voaindonesia.com/a/dilema-ibu-bekerja-dirundung-cemas-dan-rasa-
bersalah/4817021.html

Anda mungkin juga menyukai