Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

PSIKOLOGI KOGNITIF - ATENSI

Disusun oleh:
Siti Khadijah (2106779421)
Indriani Rusydi (2106779346)

PASCASARJANA MATRIKULASI PSIKOLOGI TERAPAN


FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS INDONESIA
2022
TINJAUAN PUSTAKA
BAGIAN: BECOMING PARENTS
Oleh:

BAB I – PENDAHULUAN
Temuan ilmiah terkini setuju bahwa salah elemen-elemen yang membentuk
kesehatan jangka panjang, kesejahteraan, dan produktivitas dibentuk pada 2-3 tahun
pertama kehidupan seorang anak. Pengalaman-pengalaman dan paparan yang diterima
pada fase awal kehidupan ini membentuk perkembangan biologis, psikologis, dan
fungsional yang berdampak sepanjang hidup (Richter et al., 2019).
Periode awal ini dipengaruhi oleh lingkungan sekitar dan proses parenting yang
diterima seorang anak. Parenting berperan dalam mengakomodasikan proses interaksi
antara orang tua dan anak untuk membantu optimalnya pertumbuhan dan perkembangan
(Puspitasari et al., 2020). Parenting memengaruhi setiap aspek perkembangan anak,
termasuk aspek fisik, emosional, sosial, dan kognitif (Setyowati et al., 2017).
Makalah ini menyajikan proses menjadi orang tua dengan fokus pada usia bayi
dan toddler. Selain berisi seputar teori dan hasil penelitian secara global. Tinjauan
pustaka ini juga berupaya membahas beberapa aspek parenting pada usia tersebut
disesuaikan dengan situasi parenting di Indonesia.

BAB II – TINJAUAN PUSTAKA

A. Kesiapan dalam Menjadi Orang Tua


Berbagai orang tua dapat memiliki alasan yang hampir serupa mengenai
alasan memiliki anak, tetapi hampir tiap orang tua berbeda dalam hal kesiapan,
upaya yang dilakukan, dan sumber daya yang tersedia untuk anak-anak mereka.
Bahkan sebelum anak lahir, cara seseorang atau keluarga mempersiapkan
kehamilan mencerminkan kemampuan pemecahan masalah dan perencanaan
yang nantinya menjadi pondasi untuk perkembangan anak (Brooks, 2013).
Para ahli menyimpulkan beberapa kualitas-kualitas yang sebaiknya
dimiliki seseorang sebelum pada akhirnya memiliki anak. David Lykken
mengemukakan bahwa orang dewasa yang siap menjadi orang tua adalah
mereka yang berusia di atas 18 tahun, sudah menikah, memiliki pekerjaan, dan
tidak memiliki riwayat kekerasan. Christoph Helnicke menyatakan tiga ciri
psikologis orang tua yang menjadi landasan perilaku parenting optimal, yakni
perasaan orang tua akan self-esteem, kapasitas menjalin hubungan positif dengan
orang lain, dan kapasitas untuk memecahkan masalah secara fleksibel (Brooks,
2013).
Studi pada ibu berusia muda juga menilai kesiapan kognitif untuk
mengasuh sebagai salah satu syarat kesiapan menjadi orang tua (Brooks, 2013).
Usia orang tua, terutama ibu, memiliki hubungan yang sangat bermakna dengan
proses parenting dan kesehatan anak secara umum. Kehamilan dan memiliki
anak pada usia belia berhubungan dengan luaran kesehatan dan kualitas hidup
yang lebih buruk akibat ketidaksiapan secara psikologis dan medis. Perempuan
yang melahirkan pada usia 10-14 tahun memiliki risiko 5 kali lebih tinggi untuk
meninggal dibandingkan perempuan berusia 20-24 tahun. Tak hanya itu,
masalah ini juga menyebabkan angka drop out sekolah tinggi, tingginya angka
kekerasan dalam rumah tangga, dan taraf sosial ekonomi yang rendah
(Priohutomo, 2018).

B. Situasi Parenting di Indonesia


Beberapa dari kehamilan kenyataannya tidak direncanakan sebelumnya,
baik pada pasangan yang sudah menikah atau yang belum. Kehamilan yang
tidak direncanakan berhubungan dengan asuhan prenatal ibu yang buruk pada
tiga bulan pertama. Selain itu, orang tua yang tidak merencanakan kehamilan
juga cenderung akan melanjutkan perilaku kebiasaan yang tidak sehat seperti
merokok dan mengonsumsi alkohol. Mereka memiliki risiko lebih tinggi
melahirkan bayi yang prematur, berat lahir rendah, atau kecil masa kehamilan.
Tak hanya itu, angka keberhasilan menyusui juga didapatkan lebih rendah
dibanding mereka yang merencanakan kehamilan. Namun, apabila ibu menjalani
asuhan kehamilan yang tepat pada seluruh trimester, maka tidak didapatkan
adanya perbedaan antara kehamilan yang direncanakan maupun tidak (Brooks,
2013).
Secara klasik dan kebanyakan, struktur keluarga terdiri dari pasangan
dua orang dewasa yang telah menikah. Namun, seiring dengan perubahan
struktur sosial terutama di negara barat, terjadi perubahan struktur keluarga.
Meskipun struktur pasangan menikah masih menjadi tipe terbanyak sebesar
60%, tetapi angka ini menurun dari 89% pada tahun 1970. Hal ini diakibatkan
munculnya berbagai struktur keluarga baru seperti pasangan yang tinggal
bersama tanpa ikatan (cohabitating), ibu yang tidak menikah dan tidak
berpasangan, ayah tunggal, dan lain-lain. Struktur keluarga yang berbeda-beda
ini memengaruhi proses parenting dan perkembangan anak pada akhirnya.
Brooks (2013) mengelompokkan calon struktur orang tua ke dalam 7 kelompok
berikut: pasangan orang tua yang menikah, pasangan tinggal bersama, ibu yang
tak menikah dan tak berpasangan, ayah tunggal, orang tua yang merencanakan
bayi dengan persiapan seksama, orang tua yang memisahkan pernikahan dengan
parenting, serta unwanted parenting (Brooks, 2013).
Berdasarkan data dari BKKBN, di Indonesia didapatkan bahwa
mayoritas anak tinggal bersama dengan bapak dan ibu kandung (84,33%) diikuti
oleh struktur lain seperti tinggal bersama ibu kandung (8,34%), bapak kandung
(2,51%), dan dengan keluarga lain (4,76%) (Tri Windiarto et al., 2019).

C. Menjadi Orang Tua pada Masa Bayi/Infant


Menjadi orangtua adalah hal yang membahagiakan sekaligus
mengkhawatirkan. Karena menjadi orangtua dengan memiliki bayi yang baru
saja lahir adalah sebuah tantangan bagi siapa pun yang baru saja melahirkan,
mengadopsi anak, dan lain sebagainya. Bayi dalam masa awal
perkembangannya akan sangat bergantung pada orangtua dan orang dewasa
disekitarnya. Karena bayi hanya dapat menghabiskan waktunya untuk tidur dan
menangis saat mengkomunikasikan segala hal yang ingin ia sampaikan. Bayi
baru lahir selalu lebih banyak menghabiskan waktunya untuk tidur dan
menangis. Bayi setidaknya tidur mencapai 16 sampai dengan 18 jam dalam
sehari, dengan rata-rata bayi tidur 20-22 jam sehari. Sedangkan bayi menangis
dalam sebelas menit setiap jamnya. Artinya bayi akan menangis selama 2 jam
setiap harinya, dan 3 jam per hari selama enam pekan pertama kehidupannya.
Jadi bila bayi Anda di rumah menangis dalam waktu-waktu tersebut Anda tidak
perlu cemas dan gelisah. Karena hal tersebut adalah hal yang wajar terjadi.
Bayi baru lahir perlu ditenangkan oleh orang dewasa disekitarnya,
terutama orangtua mereka. Jika kita mampu menenangkan bayi maka hal itu
dapat membantunya dalam beradaptasi dengan dunia yang baru saja mereka
mulai.

1. Early social reactions

 Bayi datang ke dunia terprogram untuk merespons manusia.


 Bayi dapat melihat paling jelas pada jarak 8–10 inci, jarak rata-rata wajah
orang tua dari bayinya saat digendong, mendengar paling baik dalam
jangkauan suara manusia, dan bergerak mengikuti irama bicara manusia.
Mereka mengenali suara Ibu mereka, dan dengan cepat menunjukkan
preferensi untuk wajah Ibu. Karena yang paling dekat selama masa ini
biasanya adalah Ibu. Ibu menyusui, menggendong lebih sering, bermain
lebih lama, memandikan, dan melakukan banyak aktivitas bersama bayi
mereka.
 Bayi dapat merespon tangisan bayi lainnya
 Pada masa 1 tahun awal kehidupan bayi dapat merespon dengan cara
menangis. Bila ada bayi lain menangis maka bayi pun akan merespon
dengan tangisan.
 Bayi dapat mengimitasi ekspresi wajah orangtua, seperti menjulurkan
lidah, mengedipkan kelopak mata, atau membuka dan menutup mulut
mereka.
 Karena bayi lebih sering mengkomunikasikan diri dengan cara menangis
dan terkadang tangisan itu tidak kunjung mereda. Maka dr. Karp (Lissak,
2018) menjelaskan beberapa langkah yang dapat diikuti oleh para
orangtua yang memiliki bayi agar bayinya dapat tenang.

Dr. Karp memiliki 5 langkah-langkah program yang spesifik, yaitu: (1)


Dibedong, (2) Posisi menggendong dengan posisi ke perut bagian dalam, (3)
Memberikan suara ssshhh pada bayi, (4) Menggendong mereka dengan disertai
timangan, ayunan, bergoyang, dan lainnya, dan (5) Memberikan bayi dot atau
memberikan ASI

2. Early Parent-Child Relationships

 Positive moods
Perasaan orangtua akan sangat mempengaruhi perkembangan dan
pertumbuhan anak pada masa 1 tahun pertama dikehidupannya ini.
Orangtua yang selalu bahagia maka anak bayi merekapun akan tumbuh
menjadi bayi yang bahagia. Begitupun dengan orangtua yang selalu
memberikan ekspresi tersenyum maka anak bayi merekapun akan
tumbuh menjadi bayi yang memiliki perasaan positif.
 Social partners
Orangtua adalah sebagai partner sosial anak. Orangtua dapat memberikan
beberapa stimulus pada masa 1 tahun awal kehadirannya ini seperti,
ekspresi wajah, gerak tangan, intonasi suara, atau permainan ciluk ba.
 Parent as a reference
Orangtua dimasa awal ini adalah menjadi orangtua yang setiap apapun
yang orangtua lakukan akan ditiru, akan dicontoh karena orangtua
menjadi refrensi anak untuk melakukan segala aktifitasnya. Contohnya
saja jika orangtua tidak menyukai terhadap suatu benda maka anak pun
akan menjauhi benda tersebut. Jika orangtua takut terhadap binatang
tertentu maka anakpun akan takut terhadap binatang tersebut.

3. Coparenting

Orangtua bertugas sebagai orangtua yang sama-sama merasa


bertanggung jawab dan berkoordinasi dalam pengasuhan anak. Coparenting
adalah kunci penting dalam pengasuhan (Feinberg, 2002). Misalnya
orangtua bekerjasama dalam mengatur bayi dalam hal waktu, makan,
pendidikan dan tahap perkembangannya.

4. Managing When Babies Are Born Prematurely

 Positive vibes parents


Orangtua yang memiliki anak dengan riwayat premature harus berperan
menjadi orangtua pendukung. Orangtua mendukung kesuksesan
perkembangan bayi seutuhnya. Memikirkan hal-hal positif dan
mengembangkan anak ke arah yang positif. Maka jika perasaan orangtua
yang melahirkan anak premature baik, bahagia, selalu berpikiran terbuka,
fokus ke arah positif maka anak premature tersebut pun akan tumbuh
dengan baik. Bahkan tidak menutup kemungkinan akan sama hal nya
dengan anak pada umumnya yang tidak lahir dengan riwayat premature.
 Anggapan negatif tentang bayi premature
Anak premature seringkali dianggap lebih kecil, kurang lucu, dan kurang
disukai oleh orang pada umumnya. Namun hal itu tidaklah sepenuhnya
benar. Jika oarngtua mengmbangkan diri untuk bersikap optimis maka
akan menuai hal yang baik. Namun jika orangtua pesimis maka anak
akan tumbuh dan berkembang dengan sisi pesimis orangtuanya.
 Over protective
Anak premature sering kali dibesarkan, dididik dengan perawatan dan
pengawasan yang terlalu ketat. Hal tersebut mungkin baik untuk
pertumbuhan anak pada saat bayi awal, yaitu ketat dalam pengawasan
pemberian makan, gizi, klo diawal2 bagus, klo berlanjut justru akan
membuat anak tertekan.

D. Perkembangan pada Dua Tahun Pertama

1. Physical and Neurophysiological Development

 Infant tumbuh dari 21 inci saat lahir sampai dengan 33 inci sampai usia 2
tahun & lahir dengan berat 29 pounds.
 3 Bulan (Tiga Bulan):
 The increased cortical and subcortical neural:
Orangtua meningkatkan kemampuan sensorik dan koordinasi anak.
Pada masa ini infant memiliki waktu tidur yang lebih lama di siang
hari dan lebih terampil dalam memanipulasi (main ciluk ba, meraka
bisa berpura-pura menangis) dan bermain dengan mainan dan benda-
benda yang dimainkan oleh orangtua.
 8 Bulan (Delapan Bulan):
 Development of the prefrontal cortex:
Infant mulai berkembang bertahap, mulai bisa duduk sendiri,
merangkak, dan akhirnya berjalan saat usia mereka antara sepuluh
dan delapan belas bulan.
2. Intellectual Development
 Teori: Piaget menekankan perubahan kapasitas anak untuk
menggabungkan stimulasi dan eksplorasi aktif dunia. Maksudnya dalah
bayi belajar dari tindakan tubuh mereka sendiri. Misalnya seperti
memainkan jarinya sendiri, melihat kekanan dan ke kiri, dll.
 6 Bulan:
 Tertarik pada suara perubahan mobil. Anak usia 6 bulan jika
mendengar suara klakson mobil yang sama yang sering dia dengar
maka ia akan jenuh. Namun anak akan interest saat mendengan
bunyi klakson mobil lainnya yang berbeda dari yang biasa ia dengar.
 Sebuah stimulus baru atau familiar
Anak diberikan mainan segitiga dan kotak. Ketika segitiga lebih sulit
ia gerakkan dibandingkan kotak maka anak akan bosan dan ia akan
menunjukkan ketertarikannya pada mainan kotak yang lebih mudah
baginya untuk dimainkan.
 8 atau 9 Bulan:
 Understanding concept: bayi bergerak dan menjelajahi objek,
mereka membentuk niat dan tujuan (misalnya, mendapatkan mainan,
memegang kucing).
 Finger: memasukkan jari ke mulut mereka untuk mengisap
 Object: Bayi meraih benda-benda di sekitar, memanipulasinya,
melihat cara kerjanya,
 Observe: Mengamati saat mereka menjatuhkan benda ke lantai atau
melemparkan benda ke dalam air.
 Melihat kearah yang orangtua tunjukan dan melakukan yang
orangtua perintahkan.

3. Language Development
 Bayi:
Bayi menunjukkan bahasa dengan menangis dan juga tersenyum. Bila ia
lapar ingin menyusu maka ia menangis, dan saat bayi sudah kenyang
maka ia akan tersenyum.
 5 Bulan:
Anak akan menggunakan vocal atau suara mereka untuk menarik
perhatian orangtua atau orang dewasa yang ada di sekelilingnya.
 8 Bulan:
Anak usia 8 bulan sudah dapat mengingat atau mengeluarkan suara dan
dua atau tiga suku kata. Meski terpenggal-penggal, namun ini
menandakan perkembangan bahasanya telah meningkat dibandingkan
bulan-bulan sebelumnya. Seperti ma-ma atau da-da-da, I-bu atau Ba-ba,
Nda atau Mi.

4. Emotional Development
 Bayi:
Three general states: contentment (kepuasan), alert interest
(kewaspadaan), dan distress/irritability (kesusahan/lekas marah). Maka
orangtua dapat menjadi pelindung bagi sang anak.
 3-4 Bulan:
Pada usia ini emosional anak bertahap akan berubah dari contentment
kepada kenyamanan, distress kepada kesedihan, dan marah adalah
respon atas frustasi yang anak rasakan. Orangtua harus selalu
memberikan stimulus kepada anak, untuk mengafirmasi perasaan-
perasaan anak. Karena pada tahap ini perkembangan otak anakpun belum
sepenuhnya sempurna. Maka masih banyak hal yang belum dapat mereka
hubungkan satu dengan yang lainnya. Misalnya anak akan marah-marah
saat orangtua terlambat memberikan ASI pada mereka. Tugas orangtua
adalah mengafirmasi dan menanyakan perasaan serta mengiyakan
perasaannya dengan lisan.
 7-8 Bulan:
Anxiety: Anak akan merasakan kecemasan terhadap hal-hal baru. Seperti
kehadiran orang baru (orang asing) yang ia temui, lingkungan baru yang
ia singgahi, dan lain sebagainya. Orangtua dapat memberikan
pemahaman kepada anak secara bertahap dan memberikan edukasi
terhadap hal yang akan baru mereka temui atau kunjungi.

 Empathy Newborns: menangis ketika melihat atau mendengar bayi lain


menangis, lebih suka hal yang menyenangkan untuknya. Contohnya
lebih menyukai mainan yang mudah daripada mainan yang sulit.
 Happiness and Affection: Tidak ada kamus gagal menurut anak. Ingat
betapapun kerasnya seorang anak bekerja keras untuk menguasai setiap
tahap perkembangannya seperti merangkak atau berjalan, maka mereka
tidak pernah putus asa atau menyerah.

5. Development of the Self

 Birth-4 Bulan:
Pada tahap ini orangtua dapat menstimulus bayi mereka dengan
menggerakkan tangan anak untuk bertepuk, berolahraga dll, memberikan
mainan dengan suara atau benda lembut untuk digenggam. Karena pada
usia ini bayi dapat mengoordinasikan respons visual, sensorik, dan
motorik dan mulai melakukan aktivitasnya sebagai bayi. Misalnya,
membuat gerakan bergerak atau membuat orang tua tertawa.
 4-10 Bulan:
Orangtua dapat meningkatkan perkembangan anak sebagai seorang anak
yang bisa melakukan sesuatu (merangkak, merambat, berdiri dan
berjalan). Orangtua adalah sebagai mitra sosial anak. Karena pada tahap
ini bayi memiliki rasa diri yang meningkat sebagai pelaku dan mitra
sosial yang melekat pada orang tua. Ketika pengasuh bereaksi positif
terhadap tawaran perhatian bayi, bayi memiliki rasa kontrol yang lebih
besar atas peristiwa.
 10-15 Bulan:
Orangtua sebagai landasan dasar anak untuk bereksplorasi di dunia. Bayi
menjadi semakin berbeda dari pengasuh (baik itu orangtua sendiri atau
pengasuhnya) dan menemukan rasa yang lebih besar dari diri mereka
sendiri sebagai agen yang membuat sesuatu terjadi. Contohnya berikan
mereka mainan pengelompokan warna, susunan meninggi, memanjat,
melompat, main perosotan, atau makan sendiri dll maka mereka sudah
dapat membuat dan melakukannya sendiri. Meskipun terikat pada orang
tua, mereka pindah, menggunakan orang tua sebagai basis aman untuk
eksplorasi di dunia. Orangtua tetap selalu memberikan pengawasan
kepada anak.

6. Development of Self-Regulation

 3 Bulan:
Bayi mengatur keadaan bangun dan tidur serta jumlah rangsangan yang
mereka dapatkan; mereka juga menenangkan diri.
Orangtua harus membangunkan anak mereka saat anak mereka masi
tertidur setiap 2 jam sekali. Menggendong, membedong, atau
mengayunkannya saat mereka manangis sebagai bentuk menenangkan
anak.
 3-9 Bulan:
Bayi memodulasi aktivitas sensorik dan motorik dan terus menenangkan
diri, mengalihkan pandangan dari apa yang mengganggu mereka atau
mengisap jari atau tangan. Saat mereka menjangkau, membentuk niat,
dan mengembangkan rasa diri yang belum sempurna, kapasitas mereka
untuk mengendalikan mulai muncul. Maka orangtua dapat memberi
stimulus untuk perkembangannya dengan memberikan alat peraga,
mainan dll.
 9-18 Bulan:
Bayi menunjukkan kesadaran akan tuntutan sosial atau tugas dan mulai
menuruti permintaan orang tua mereka. Saat bayi bertindak, menyelidiki,
dan mengeksplorasi, kesadaran mereka mulai muncul. Tren ini berlanjut
di tahun kedua. Orangtua dapat memberikan anak perintah 1, kemudian
secara bertahap 2 perintah sekaligus atau 3.

7. Peer Relations
Anak-anak memperhatikan teman sebaya, tersenyum dan melirik mereka.
Orangtua dapat merangsang perkembangannya dengan mengikut sertakan anak
dalam permaina teman sebaya.

E. Menjadi Orang Tua pada Masa Toddler

Terdapat dua fokus utama parenting pada usia toddler, yakni membentuk
ikatan emosional/attachment dan melatih regulasi diri. Attachment adalah ikatan
emosional yang menyatukan anak dengan orang tua sebagai sumber keamanan
utama anak. Pada usia toddler, orang tua sebaiknya menciptakan suasana yang
saling memahami satu sama lain dengan cara selalu ada untuk anak dan
menerapkan pola pengasuhan sensitif akan kebutuhan anak. Suasana ini akan
menjadi dasar yang aman agar anak dapat percaya diri melakukan eksplorasi
dunia sekitar (Brooks, 2013).
Salah satu tantangan pada usia toddler adalah menyeimbangkan antara
memberi dukungan pada anak tetapi sambil tetap harus menjaga kemampuan
kemandirian anak yang sedang meningkat. Oleh karenanya, orang tua
diharapkan selalu berada dalam jangkauan interaksi anak untuk memberi
dukungan. Namun, perlu diingat bahwa bantuan yang diberikan orang tua harus
berada dalam porsi yang tepat sehingga anak tetap dapat mempelajari cara untuk
memecahkan masalah (Brooks, 2013).
Pada fase toddler, orang tua membantu anak untuk memiliki kemampuan
mengontrol perilakunya sendiri. Dalam menumbuhkan kemampuan regulasi diri,
pertama-tama orang tua sebaiknya memicu kepatuhan pada anak. Kepatuhan ini
dapat dimulai dengan menciptakan atmosfer saling memahami dan kepatuhan
reseptif. Adanya ikatan emosional akan membuat suasanya dimana anak akan
lebih patuh. Ketika ketidakpatuhan terjadi, penalaran dan penjelasan yang
menghasilkan sharing of power akan menciptakan rasa saling menghargai antara
anak dan orang tua. Tak hanya itu, orang tua juga dapat melakukan beberapa
tindakan untuk menumbuhkan kontrol diri dan regulasi diri seperti modeling,
menciptakan pola rutinitas, tindakan preventif yang dapat memicu masalah, dan
percakapan tentang aturan dan alasan dibaliknya, yang dilakukan dalam situasi
tenang.
Aturan-aturan yang diciptakan orang tua umumnya mengikuti
kemampuan toddler yang semakin meningkat. Temuan yang didapat dari
penelitian dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Penerapan Aturan Berdasarkan Usia Anak

Usia Fokus utama penerapan aturan


13 Keamanan anak, keamanan orang lain (misal: tidak memukul,
bulan menendang, atau menggigit, dan kepemilikan
18 Fokus sebelumnya ditambah dengan perilaku ketika makan, inhibisi
bulan perilaku atau penundaan aktivitas, dan perawatan diri tahap awal
24 Perilaku sopan dan membantu melakukan pekerjaan rumah (misal:
bulan membereskan mainan)
Tak hanya apa yang dilakukan oleh orang tua, tetapi temperamen anak
juga memengaruhi apa yang orang tua lakukan dalam dua tahun pertama. Orang
tua dapat menggunakan strategi parenting yang sesuai dengan temperamen
anaknya. Namun, pada seluruh jenis temperamen, didapatkan bahwa pola
parenting yang keras ternyata tidak bermanfaat untuk kelompok manapun
(Tabel 2).

Tabel 2. Pengaruh Temperamen terhadap Parenting

Anak yang penakut Anak yang Anak bermasalah


dan inhibited pemberani temperamental
Deskripsi Anak yang penakut Anak pemberani ini Anak dengan
biasanya responsif biasanya penuh masalah
terhadap instruksi energi, penuh rasa temperamental
dan aturan dari orang
ingin tahu, dan
tua mandiri
Parenting Dukungan yang Akan lebih Orang tua akan
yang lembut dibutuhkan mengikuti aturan lebih efektif dalam
dianjurkan untuk mendukung apabila orang tua menciptakan
anak menciptakan hubungan yang
menginternalisasi hubungan yang hangat, sensitif,
aturan yang diberikan
dekat, hangat, dan dan harmonis.
orang tua harmonis karena Suportif secara
anak akan lembut tetapi tegas
mengikuti aturan dalam aturan akan
demi menjaga membantu anak
hubungan yang melakukan strategi
harmonis tersebut coping
Parenting Penggunaan kekuatan Anak tipe ini gagal Disipin yang
yang tak secara keras justru mengikuti aturan asertif, kuat, dan
dianjurkan akan menyebabkan dengan metode keras tidak
anak stress secara disiplin restriktid membantu anak
emosional sehingga dan asertif tipe ini dalam
malah tidak dapat meregulasi reaksi
memahami aturan dan perilaku

Selain memicu kepatuhan dan menerapkan aturan, bermain ternyata


memiliki efek penting dalam regulasi diri. Baik bermain bersama keluarga,
bermain menggunakan objek mainan, serta bermain peran, semuanya memiliki
dampak yang positif terhadap perkembangan anak (Brooks, 2013).
Riset menemukan bahwa keikutsertaan dalam permainan yang produktif
dan interaktif pada usia dini menumbuhkan kemampuan kontrol diri dan
menurunkan risiko masalah perilaku di kemudian hari (Brooks, 2013). Tak
hanya itu, jumlah waktu yang dihabiskan oleh orang tua dan anak dalam
bermain juga memiliki asosiasi positif dengan perilaku anak, nilai sekolah, dan
kemampuan kognitif anak. Selain bermanfaat untuk anak, proses bermain
bersama juga meningkatkan kebahagiaan yang dimiliki oleh orang tua (Fallesen,
2020).

F. Dukungan kepada Orang Tua terkait Proses Parenting

Mayoritas orang tua, meskipun mereka yang berkecukupan, mengalami


tekanan dalam proses melakukan parenting sehingga seluruh keluarga mendapat
manfaat dari layanan suportif. Di Amerika Serikat, program parenting untuk
orang tua baru atau yang sedang menunggu persalinan mendapatkan manfaat
berupa penurunan berkurangnya tekanan, meningkatnya kemampuan sebagai
orang tua, dan memperbaiki kesehatan mental. Selain program parenting secara
umum, didapatkan pula program bertujuan khusus seperti program untuk
membantu orang tua dalam menangani tangisan bayi dan kesulitan tidurnya,
serta program yang ditujukan pada orang tua dengan faktor risiko kekerasan
anak (Brooks, 2013).
Di Indonesia sendiri, upaya pemerintah dalam mendukung proses
parenting yang dilakukan oleh orang tua atau keluarga diatur dalam Peraturan
Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional nomor 12 tahun
2018 tentang Pengelolaan Bina Keluarga Balita Holistik Integratif (BKB HI).
Program ini melatih kader dan orang tua dengan tujuan meningkatkan kualitas
anak melalui pemberian akses informasi, pendidikan, penyuluhan, dan
pelayanan tentang perawatan, pengasuhan, dan perkembangan anak.
Adapun materi yang dilingkupi oleh program ini terdiri dari 13 materi,
yakni: (1) perencanaan hidup berkeluarga dan harapan orang tua terhadap masa
depan anak, (2) memahami konsep diri yang positif dan konsep pengasuhan, (3)
memahami peran orang tua dan keterlibatan ayah dalam pengasuhan, (4)
menjaga kesehatan anak usia dini, (5) pemenuhan gizi anak usia dini, (6)
pembiasaan perilaku hidup bersih dan sehat, (7) stimulasi rangsangan
perkembangan gerakan kasar dan halus, (8) stimulasi komunikasi aktif, pasif,
dan kecerdasan, (9) stimulasi perkembangan kemampuan menolong diri sendiri
dan tingkah laku sosial, (10) pengenalan kesehatan reproduksi anak usia dini,
(11) perlindungan anak, (12) menjaga anak dari pengaruh media, dan (13)
pembentukan karakter anak usia dini (BKKBN, 2018).
Sebuah penelitian yang menilai efektivitas program Bina Keluarga Balita
untuk usia anak 6-24 bulan di Indonesia mendapatkan perbaikan pada skor pola
asuh gizi, pola asih, dan tumbuh kembang pada kelompok yang mendapatkan
intervensi tersebut (Wahyuni et al., 2014).

DAFTAR PUSTAKA
BKKBN. (2018). Peraturan Kepala Badan Kependudukan Dan Keluarga Berencana
Nasional Tentang Pengelolaan Bina Keluarga Balita Holistik Integratif. In BKKBN
(pp. 1–43). https://jdihn.go.id/files/241/PERKA 12 2018_opt.pdf
Brooks, J. (2013). The Process of Parenting (9th ed.). The McGraw-Hill Companies,
Inc.
Fallesen, P. (2020). Family type and parents’ time with children: Longitudinal evidence
for Denmark. Acta Sociologica, 63(4), 361–380.
https://doi.org/10.1177/0001699319868522
Lissak, G. (2018). Adverse physiological and psychological effects of screen time on
children and adolescents: Literature review and case study. Environmental
Research, 164(January), 149–157. https://doi.org/10.1016/j.envres.2018.01.015
Priohutomo, S. (2018). Mencegah Pernikahan Anak Melalui Program KKBPK (pp. 1–
47).
https://www.bkkbn.go.id/po-content/uploads/2018.03.10.Banjarmasin.MENCEGA
H_PERKAWINAN_ANAK_MEL_PROG_KKBPK.pdf
Puspitasari, M. D., Rahmadhony, A., Prasetyo, S., & Fadila, W. (2020). Early childhood
parenting practices in Indonesia. Population Review, 59(2), 139–155.
https://doi.org/10.1353/prv.2020.0006
Richter, L., Black, M., Britto, P., Daelmans, B., Desmond, C., Devercelli, A., Dua, T.,
Fink, G., Heymann, J., Lombardi, J., Lu, C., Naicker, S., & Vargas-Barón, E.
(2019). Early childhood development: an imperative for action and measurement at
scale. BMJ Global Health, 4(Suppl 4), 154–160. https://doi.org/10.1136/bmjgh-
2018-001302
Setyowati, Y. D., Krisnatuti, D., & Hastuti, D. (2017). Pengaruh Kesiapan Menjadi
Orang Tua dan Pola Asuh Psikososial Terhadap Perkembangan Sosial Anak.
Jurnal Ilmu Keluarga Dan Konsumen, 10(2), 95–106.
https://doi.org/10.24156/jikk.2017.10.2.95
Tri Windiarto, Yusuf, A. H., Nugroho, S., Latifah, S., Solih, R., & Hermawati, F.
(2019). Profil Anak Indonesia Tahun 2019. In D. Romadhon, I. M. Surbakti, M. T.
Nuryetty, W. Winarsih, N. Iriana, S. Angraini, S. Dewi, & A. Raharjo (Eds.),
Kementerian Pemerdayaan Perempuan dan Perlindngan Anak (KPPPA) (2018th
ed.). https://www.kemenpppa.go.id/lib/uploads/list/15242-profil-anak-indonesia_-
2019.pdf
Wahyuni, A., Sulistiyani, & Ratnawati, L. Y. (2014). Dampak Program Bina Keluarga
Balita ( BKB ) Terhadap Tumbuh Kembang Anak Balita 6-24 Bulan. Pustaka
Kesehatan, 2(1), 79–86.

Anda mungkin juga menyukai