Anda di halaman 1dari 2

Ada Apa dengan Masyarakat Modern

Indonesia?
22 April 2016 15:29 Diperbarui: 22 April 2016 15:33 427 0 0

Kini, zaman telah berubah drastis. Sisi individualistis sangat menonjol sekali dalam tatanan
masyarakat sosial. Terlihat sekali, bagaimana egosentris ditonjolkan hanya untuk kepentingan
pribadi tanpa pernah mau berpikir mengenai kepentingan orang banyak. Inilah suatu tanda yang
nyata bahwa budaya ketimuran yang menjadi ciri masyarakat Indonesia, untuk saat ini perlahan-
lahan mulai tergerus oleh efek pertukaran budaya yang merupakan dampak dari globalisasi,
khususnya dalam ranah ideologi.

Budaya Indonesia, yang katanya, menjunjung tinggi keramah tamahan, gotong royong, hanya
menjadi kata “pemanis” ditengah hirup pikuk kehidupan sosial yang tak menentu dan lebih tidak
manusiawi.

Hal-hal kecil saja, seperti membuang sampah pada tempatnya, mengantri, atau mengucapkan
“permisi” ketika melewati sekumpulan orang, kini sudah menjadi barang langka yang sepertinya
agak sulit untuk diucapkan atau dipraktekan oleh manusia modern yang sudah tergerus oleh arus
budaya ke-akuan yang kuat. Dari hal-hal kecil saja sudah tidak lagi diperhatikan, apalagi jika ia
memandang mengenai hal-hal besar lainnya.

Pandangan ke-akuan yang kuat sedikit demi sedikit akan melemahkan pandangan kultural
bangsa Indonesia mengenai arti dari suatu kata gotong royong. Gotong royong yang secara tidak
langsung menjadi bagian dari budaya bangsa ini, akan tergerus zaman jika budaya individu
mengakar pada diri orang-orang di Republik ini.

Pada dasarnya, aspek ke-akuan tidak akan pernah berkembang jika dapat diantisipasi se-dini
mungkin dari lingkungan sekitar, terlebih Indonesia merupakan negara dengan tingkat
pemahaman paternalistik yang cukup tinggi. Sekiranya lingkungan dapat mendeteksi hal ini
sedini mungkin. Namun kenyataan berkata lain, lingkungan justru menjadi faktor yang tidak
memiliki upadaya kuat dalam mengatasi problema individualistis yang kuat ini.

Hal yang perlu diingat adalah, bagaimana masalah kecil seperti ini yang notabene menjadi
landasan untuk menghadapi masalah yang lebih besar dan kompleks, hanya dijadikan sebagai
formalitas yang tidak pernah dikupas. Teori buang sampah pada tempatnya, yang sepertinya
menjadi teori usang tetap tidak dapat menarik minat para pelajar atau bahkan guru-gurunya
untuk membuang sampah pada tempatnya. Entah apa yang menjadikan teori ini seakan-akan
dikatakan sebagai teori yang sama halnya seperti teori-teori filsafat karya Aristoteles yang
pembahasannya terkesan “berat.”
Padahal hanya mengajarkan untuk membuang sampah pada tempatnya, tidak lebih dari itu.
Namun sulit sekali untuk dilakukan. Sama halnya dengan mengantri, baik mengantri ketika
membeli makanan atau ketika mengantri ketika membeli bahan bakar di SPBU. Ada sebagian
oknum masyarakat yang dengan santainya masuk kedalam antrian, padahal ia tahu bahwa ia
sudah mendahului orang yang sudah lama mengantri. Hal ini patut dicermati juga sebagai hal-hal
yang terlupakan dalam suatu kesatuan budaya timur.

Ini merupakan dampak konstruktif dari globalisasi, arus informasi yang mengalir cepat dari
seluruh dunia ke belahan dunia yang lain juga faktor pendukung yang tidak bisa tidak dihindari.
Dampak-dampak negatif ini sebenarnya bisa kita filter dengan pemahaman budaya yang kuat,
sekaligus diperkuat oleh faktor spiritual yang menjadi fondasi dasar dari lubuk hati seorang
manusia.

Begitulah keadaan masyarakat sosial kita saat ini. Kita tidak menampik hal ini, karena realita di
lapangan sudah menunjukkan hal ini. Dan tidak bisa kita bayangkan seandainya budaya
individualistis seperti ini dapat bertahan lama dan perlahan menjadi akar dari proses pemikiran
bangsa ini. Dimana hal itu akan membuat masyarakat kita menjadi individualistis dengan proses
berpikir pribadi dan sama sekali tidak akan pernah memperhatikan keadaan kelompok atau
mungkin negara tempat ia tinggal.

Anda mungkin juga menyukai