PENDAHULUAN
1
yang mencapai 86 %. Martens et al. (1995) menyatakan bahwa peningkatan
kelembaban dan curah hujan berbanding lurus dengan peningkatan kepadatan
nyamuk. Hal ini dapat mempengaruhi penyebaran penyakit menular,
termasuk penyakit tular vektor.
Nyamuk merupakan vektor yang berperan dalam penularan penyakit
yang disebabkan oleh parasit dan virus. Beberapa penyakit berbahaya seperti
malaria, demam berdarah, dan filariasis ditularkan oleh nyamuk dari genus
Anopheles, Aedes, dan Culex. Penyakit demam berdarah (DBD) sebagai salah
satu penyakit menular, sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan
masyarakat di Provinsi NTB karena penyebarannya yang cepat, berpotensi
kematian dan semua kabupaten/kota sudah pernah terjangkit DBD. Jumlah
kasus DBD pada tahun 2015 adalah 1.340 kasus, meningkat sangat signifikan
menjadi 3.385 kasus atau mengalami peningkatan sebesar 152,61 % di tahun
2016. Kasus terbanyak dilaporkan terjadi di Kabupaten Sumbawa, Lombok
Timur dan Kota Mataram (Dinas Kesehatan Provinsi NTB, 2017).
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota Mataram tahun 2015, jumlah
penderita demam berdarah di Kota Mataram mengalami peningkatan dari
tahun sebelumnya, yaitu sebanyak 215 penderita pada tahun 2014, meningkat
menjadi 481 penderita. Oleh karena itu, pengendalian penyakit demam
berdarah di Kota Mataram menjadi salah satu skala prioritas Dinas Kesehatan
Kota Mataram.
Selain nyamuk Anopheles dan Aedes, nyamuk Culex spp. juga
menjadi ancaman bagi kesehatan masyarakat. Nyamuk Culex diketahui
sebagai vektor penyakit Japanese Encephalitis, West Nile and St. Louis
Encephalitis Viruses, dan vektor cacing Wuchereria bancrofti yang
menyebabkan filariasis (Diaz et al., 2011). Muturi et al. (2016) melaporkan
bahwa dalam beberapa penelitian di tahun 2015 dan 2016, nyamuk ini diduga
sebagai vektor virus Zika karena kemampuannya mencerna partikel virus.
Penyebaran Culex spp. hampir merata di seluruh daerah di Indonesia
termasuk Pulau Lombok. Kelurahan Pejarakan Karya Kota Mataram memiliki
banyak areal persawahan yang memungkinkan terdapatnya genangan-
genangan air sebagai tempat perkembangbiakan nyamuk Culex. Selain itu,
2
daerah ini memiliki banyak saluran air atau selokan yang dijadikan tempat
pembuangan limbah rumah tangga. Eman et al. (2016) menyatakan bahwa
nyamuk Culex spp. menyukai habitat seperti daerah perairan yang
dikontaminasi dengan sampah rumah tangga dan sampah vegetasi.
Berdasarkan uraian di atas, maka diperlukan adanya pemahaman
tentang bioekologi nyamuk sebagai upaya untuk meningkatkan kewaspadaan
terhadap penyebaran penyakit tular vektor. Salah satu upaya yang telah
ditetapkan oleh Departemen Kesehatan RI adalah pengendalian habitat
nyamuk untuk menekan penyebaran penyakit tular vektor. Hal tersebut dapat
dilakukan melalui analisis ekologi nyamuk yang bertindak sebagai vektor di
Kelurahan Pejarakan Karya, Kota Mataram.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang muncul dari uraian di atas, di antaranya:
a. Spesies nyamuk apa saja yang dapat ditemukan di Kelurahan Pejarakan
Karya Kota Mataram?
b. Bagaimana karakteristik habitat nyamuk yang dijumpai di Kelurahan
Pejarakan Karya Kota Mataram?
c. Bagaimana keanekaragaman nyamuk di Kelurahan Pejarakan Karya Kota
Mataram?
1.3 Tujuan
a. Mengidentifikasi nyamuk yang ditemukan di Kelurahan Pejarakan Karya
Kota Mataram.
b. Mendeskripsikan karakter habitat nyamuk di Kelurahan Pejarakan Karya
Kota Mataram.
c. Menganalisis keanekaragaman nyamuk di Kelurahan Pejarakan Karya
Kota Mataram.
1.4 Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat di antaranya:
a. Dapat menjadi data awal guna memberikan informasi kepada masyarakat
mengenai daerah persebaran dan karakteristik habitat nyamuk di
Kelurahan Pejarakan Karya Kota Mataram.
3
b. Dapat mengetahui keanekaragaman nyamuk yang ditemukan di Kelurahan
Pejarakan Karya Kota Mataram.
c. Dapat menjadi langkah awal penanggulangan vektor nyamuk bagi dinas
kesehatan terkait.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
5
2.2.1 Telur
Nyamuk betina memerlukan makanan berupa darah setelah
melakukan perkawinan. Darah berasal dari hewan berdarah panas ataupun
manusia untuk perkembangan dan pematangan telurnya. Lebih kurang 48 jam
setelah mendapatkan darah tersebut, nyamuk akan meletakkan telur di tempat
yang berair karena tempat yang kering akan menyebabkan telur rusak dan
mati. Kebiasaan meletakkan telur dari nyamuk berbeda-beda tergantung dari
jenisnya (Borror et al, 1996). Nyamuk Culex akan meletakkan beberapa
telurnya di atas permukaan air dengan membentuk kumpulan telur
menyerupai rakit sehingga mampu untuk mengapung (Gambar 2.1),
sedangkan nyamuk Mansonia meletakkan telurnya dengan menempelkannya
pada tumbuh-tumbuhan air dengan bergerombol. Telur yang diletakkan di
dalam maupun di sekitar genangan air ini akan menetas setelah satu atau dua
hari kemudian (Nurmaini, 2003). Berdasarkan jenis kelaminnya, nyamuk
jantan akan menetas lebih cepat dibanding nyamuk betina, serta lebih cepat
menjadi dewasa. Faktor-faktor yang mempengaruhi daya tetas telur adalah
suhu, pH air perindukan, intensitas cahaya, serta kelembaban di samping
fertilitas telur itu sendiri (Soedarto, 1992).
6
Nyamuk Anopheles meletakkan telurnya di permukaan air satu persatu
atau bergerombol tetapi saling lepas karena telur Anopheles mempunyai alat
pengapung (Borror et al, 1996). Telur Anopheles berbentuk seperti perahu
yang bagian bawahnya konveks, bagian atasnya konkaf dan mempunyai
sepasang pelampung yang terletak pada bagian lateral. Nyamuk betina
mampu bertelur sebanyak 50-200 butir. Telur tidak dapat bertahan di tempat
yang kering dan akan menetas menjadi larva setelah 2-3 hari (Arsin, 2012).
Ukuran telur berdiameter antara 0,4-0,6 mm. Telur yang baru keluar berwarna
putih dan selanjutnya akan berubah warna menjadi hitam pada kondisi normal
(Bates, 1970). Morfologi telur nyamuk Anopheles spp. disajikan dalam
gambar 2.2.
7
20°C sampai 30°C. Telur akan menetas setelah satu sampai tiga hari pada
suhu 30°C dan pada suhu 16°C akan menetas dalam waktu tujuh hari. Telur
nyamuk Aedes sangat tahan terhadap kekeringan (Sudarmaja & Mardihusodo,
2009). Telur Aedes spp. dapat dilihat pada gambar 2.3 berikut.
2.2.2 Larva
Larva nyamuk memiliki tubuh yang terbagi atas kepala, mulut yang
digunakan untuk mencari makan, thoraks, dan abdomen. Larva belum
memiliki kaki (Natadisastra, 2009). Selama pertumbuhan dan
perkembangannya, larva nyamuk mengalami empat tahap stadium (instar).
Tahapan stadium tersebut didasarkan atas proses pergantian kulit (molting).
Larva instar I selama ± 1 hari, instar II selama ± 1-2 hari, instar III selama ± 2
hari dan instar IV selama ± 2-3 hari. Masing-masing stadium atau instar
mempunyai ukuran tubuh yang berbeda. Daur hidup rata-rata nyamuk mulai
menetas dari telur sampai menjadi kepompong berkisar 8 – 14 hari. Instar
pertama sangat kecil, hampir tidak kasat mata dan berukuran panjang 0,75 – 1
mm, sedangkan instar kedua, ketiga dan keempat dapat terlihat jelas. Instar
kedua dan ketiga berukuran 1 – 2 mm, sedangkan pada instar keempat
berukuran 3 – 6 mm, namun ukuran tersebut sangat bervariasi sesuai jenisnya
(Rao, 1981).
Larva nyamuk Aedes menggantungkan tubuhnya dengan membentuk
sudut terhadap permukaan air. Larva Aedes memiliki ciri – ciri yaitu memiliki
2-3 deret comb scale, mempunyai siphon dengan panjang empat kali lebar
8
basal (Breeland dan Loyless, 1982). Larva nyamuk Aedes memiliki panjang
1-2 mm pada tahap instar I, tubuh transparan, siphon masih transparan,
tumbuh menjadi larva instar II dalam satu hari. Larva intar II memiliki
panjang 2,5 – 3,9 mm, siphon agak kecoklatan, tumbuh menjadi larva instar
III selama 1-2 hari. Larva instar III berukuran panjang 4-5 mm, siphon sudah
berwarna coklat, tumbuh menjadi larva instar IV selama dua hari. Larva instar
IV berukuran 5-7 mm, dan sudah terlihat sepasang mata dan sepasang antena,
tumbuh menjadi pupa dalam 2-3 hari. Umur rata-rata pertumbuhan larva
hingga pupa berkisar 5-8 hari. Posisi istirahat pada larva ini adalah
membentuk sudut 45° terhadap bidang permukaan air (Departemen
Kesehatan RI, 2007). Larva Aedes spp. dapat dilihat pada gambar 2.4.
Salah satu ciri dari larva nyamuk Culex adalah memiliki siphon.
Siphon dengan beberapa kumpulan rambut membentuk sudut dengan
permukaan air. Nyamuk Culex mempunyai empat tingkatan atau instar sesuai
dengan pertumbuhan larva tersebut. Larva instar I berukuran paling kecil,
yaitu 1 – 2 mm atau 1 – 2 hari setelah menetas. Duri-duri (spinae) pada dada
belum jelas dan corong pernapasan pada siphon belum jelas. Larva instar II,
berukuran 2,5 – 3,5 mm atau 2 – 3 hari setelah telur menetas. Duri-duri belum
jelas, corong kepala mulai menghitam. Larva instar III, berukuran 4 – 5 mm
atau 3 – 4 hari setelah telur menetas. Duri-duri dada mulai jelas dan corong
pernapasan berwarna coklat kehitaman. Larva IV, berukuran paling besar
yaitu 5 – 6 mm atau 4 – 6 hari setelah telur menetas (Matsumura, 1985).
Larva Culex spp. dapat dilihat pada gambar 2.5.
Larva nyamuk Anopheles memiliki perbedaan dengan larva nyamuk
lainnya, yaitu tidak memiliki saluran pernapasan dan posisi badannya sejajar
di permukaan air (Arsin, 2012). Larva Anopheles spp. dapat dilihat pada
gambar 2.6. Larva memiliki spirakel pada bagian posterior abdomen,
lempeng tergit (tergal plate) pada bagian tengah sebelah dorsal abdomen dan
bulu pulma pada kedua sisi abdomen (Natadisastra, 2009).
Dalam perkembangan hidupnya, larva nyamuk memerlukan kondisi
lingkungan yang dapat memberikan kehidupan bagi perkembangannya.
Berbagai faktor yang berpengaruh terhadap kehidupan dan pertumbuhan larva
9
nyamuk seperti faktor fisik dan kimiawi antara lain pH, suhu dan salinitas.
Selain itu, fauna dan flora juga mempengaruhi larva nyamuk, yaitu sebagai
tempat perlindungan, sumber makanan ataupun sebagai musuh alaminya
(Clements, 1963). Larva pada umumnya memerlukan makan berupa alga,
bakteri dan mikroorganisme lainnya yang berada di permukaan. Larva hanya
menyelam di bawah permukaan ketika terganggu (Arsin, 2012).
11
mendeteksi inang serta tempat peletakan telur (Arsin, 2012). Nyamuk
memiliki sepasang antena berbentuk filiform yang panjang dan langsing serta
terdiri atas lima belas segmen. Antena dapat digunakan sebagai kunci untuk
membedakan kelamin pada nyamuk dewasa. Rambut antena nyamuk jantan
lebih lebat daripada nyamuk betina. Rambut lebat pada antena nyamuk jantan
disebut plumose sedangkan pada nyamuk betina yang jumlahnya lebih sedikit
disebut pilose. Palpus merupakan bagian tubuh nyamuk yang terletak di
antara antena dan proboscis yang digunakan sebagai organ sensorik untuk
mendeteksi karbondioksida dan tingkat kelembaban (Brown, 1979). Palpus
bagian apikal pada nyamuk Anopheles jantan memiliki ruas berbentuk gada,
sedangkan pada nyamuk betina, ruas tersebut mengecil. Proboscis merupakan
bentuk mulut modifikasi untuk menusuk. Nyamuk betina mempunyai
proboscis yang lebih panjang dan tajam (Brown, 1979).
Bagian thorax terdiri dari tiga segmen yaitu prothorax, mesothorax,
dan metathorax. Masing-masing segmen menjadi bagian melekatnya kaki
depan (foreleg), kaki tengah (midleg), dan kaki belakang (hindleg).
Mesothorax selain terdapat midleg, juga terdapat sepasang sayap. Bagian
thorax terdapat mesonotum yang diliputi rambut halus, scutum yaitu bagian
thorak yang terbesar, dan scutellum yaitu bagian posterior mesonotum.
Metathorax nyamuk dewasa ukurannya lebih kecil dibandingkan dengan
prothorax dan mesothorax serta terdapat sepasang sayap yang mengalami
modifikasi menjadi halter (Rueda, 2004).
13
spesies, makanan yang tersedia, suhu udara dan kelembaban (Natadisastra,
2009).
14
berbeda dari nyamuk Aedes yang melakukan aktivitas mengisap darah pada
siang hari (diurnal). Nyamuk yang bersifat eksofagik adalah nyamuk yang
banyak mengisap darah di luar rumah, tetapi bisa masuk ke dalam rumah
jika manusia merupakan inang utama, misalnya An. balabacensis, An.
sinensis, An. aconitus, dan Mansonia uniformis. Nyamuk endofagik adalah
nyamuk yang mengisap darah di dalam rumah, tetapi bila inang tidak
tersedia di dalam rumah sebagian nyamuk akan mencari inang di luar rumah
(Munif, 2009).
Nyamuk dalam genus Aedes biasanya mencari makan pada waktu
pagi hingga sore hari (day bitter) yaitu sekitar pukul 08.00-12.00 dan pukul
15.00-17.00 WITA (Syahribulan dkk., 2012). Waktu aktivitas menggigit
vektor malaria yang sudah diketahui yaitu pukul 17.00-18.00, sebelum
pukul 24.00 (20.00-23.00), setelah pukul 24.00 (00.00-4.00). Vektor malaria
yang aktivitas menggigitnya pukul 17.00-18.00 adalah An. tesselatus,
sebelum pukul 24.00 adalah An. aconitus, An. annullaris, An. barbirostris,
An. kochi, An. sinensis, An. vagus, sedangkan yang menggigit setelah pukul
24.00 adalah An. farauti, An. koliensis, An. leucosphyrosis, dan An.
punctullatus (Kementerian Kesehatan RI, 2011).
15
ludlowi, An. minimus, An. punctulatus, An. parangensis, An. sundaicus, dan
An. subpictus (Kementerian Kesehatan RI, 2011).
Larva nyamuk Anopheles banyak ditemukan di perairan tenang
dibanding perairan mengalir. Habitat larva nyamuk ditemukan pada
ketinggian 0-600 mdpl, yaitu di sekitar parit, sungai kecil, bekas bakau,
mata air, kolam atau danau kecil, genangan air di lapangan berumput, bekas
tapak roda kendaraan berat, dan lempeng besi yang tidak terpakai.
Mahdalena et al. (2015) menyatakan bahwa kepadatan larva yang paling
tinggi terdapat pada habitat perkembangbiakan berupa genangan bekas roda
ban. Penelitian Rahmawati et al. (2014) menyebutkan bahwa habitat
nyamuk Anopheles spp. adalah genangan air yang bersifat permanen (kolam
ikan), yang selalu ada air sepanjang tahun.
Nyamuk Aedes menyukai tempat perindukan berupa kontainer
dengan air yang jernih dan tidak bersentuhan langsung dengan tanah, serta
lebih menyukai kontainer yang terdapat di dalam rumah daripada di luar
rumah. Hal ini dikarenakan di dalam rumah terlindung dari sinar matahari
langsung dan memiliki suhu yang relatif stabil (Lee, 1990). Nyamuk Aedes
spp. meletakkan telur dan berbiak pada tempat penampungan air bersih atau
air hujan seperti bak mandi, tangki penampungan air, vas bunga, kaleng-
kaleng, atau kantung plastik bekas, di atas lantai gedung terbuka, talang
rumah, bambu pagar, ban-ban bekas, dan semua bentuk wadah yang
menampung air bersih. A. albopictus meletakkan telur dan berbiak pada
wadah-wadah alami seperti kulit-kulit buah misalnya kulit buah rambutan,
tempurung kelapa (Said, 2012).
Nyamuk-nyamuk Culex spp. ada yang aktif pada waktu pagi, siang,
dan ada yang aktif waktu sore atau malam. Nyamuk ini meletakkan telur
dan berbiak di selokan yang berisi air bersih ataupun selokan air
pembuangan domestik yang kotor (organik), serta di tempat penggenangan
air domestik atau air hujan di atas permukaan tanah. Larva nyamuk Culex
spp. sering kali terlihat dalam jumlah yang sangat besar di selokan air kotor
(Sembel, 2009).
16
Habitat nyamuk juga dipengaruhi oleh faktor fisik lingkungan
seperti pH, salinitas, suhu dan kelembaban udara. Derajat keasaman air
mempengaruhi tingkat kesuburan perairan karena mempengaruhi jasad renik
seperti larva nyamuk. Perairan asam kurang baik untuk perkembangbiakan
bahkan cenderung mematikan organisme. Derajat keasaman yang optimal
untuk Anopheles spp. lebih banyak ditemukan di perairan yang bersifat
basa, yaitu berkisar antara 6-7 (Mading & Kazwaini, 2014). Larva
Anopheles biasanya hidup dengan salinitas 0 % pada air tawar dan 0-7 %
pada air payau, larva Anopheles tidak bisa bertahan pada salinitas di atas
7%. Larva Anopheles memiliki tempat perindukan dengan kedalaman
antara 2-120 cm (Mulyadi, 2010).
Kecepatan pertumbuhan dan perkembangan nyamuk sangat
bergantung dari kecepatan proses metabolisme yang dipengaruhi oleh suhu.
Menurut Novelani (2007), suhu optimum untuk tempat perindukan nyamuk
berkisar antara 25°C - 27°C. Suhu optimum untuk fase larva dan pupa 23°C
-27°C, sedangkan suhu optimum nyamuk dewasa dapat berkembang dengan
baik yaitu 23°C-30°C. Hidayani (2011) memperoleh hasil bahwa kisaran
suhu 26°C - 29°C merupakan suhu yang ideal bagi kehidupan larva
Anopheles pada jenis breeding site manapun dengan kondisi yang
bervariasi. Nyamuk Aedes memilki kisaran suhu 27-30 ºC., dan nyamuk
Culex memiliki kisaran suhu28-33ºC.
Nyamuk membutuhkan kelembaban yang tinggi sehingga nyamuk
harus mencari tempat yang basah dan lembab. Tempat yang kisaran
kelembabannya kurang dari 60% menyebabkan umur nyamuk lebih pendek,
sehingga pertumbuhan parasit dapat dihambat. Perilaku adaptasi nyamuk
pada kelembaban yang tidak tinggi menyebabkan nyamuk banyak
mengalami kematian akibat daerah yang mengalami kekeringan. Hal ini
menyebabkan populasi nyamuk tetap stabil (Marbawati & Sholichah, 2009).
17
sebelah Utara berbatasan dengan Kelurahan Ampenan Utara, sebelah
Selatan Kecamatan Selaparang, sebelah Timur berbatasan dengan Kelurahan
Kecamatan Selaparang, dan sebelah Barat berbatasan dengan Kelurahan
Kebon Sari. Luas Wilayah Kelurahan Pejarakan Karya adalah sekitar 73,942
Ha. Berdasarkan luas Wilayah Kelurahan tersebut, penggunaan lahan
terbagi menjadi 13,40 Ha Wilayah Pemukiman, 1,10 Ha Wilayah pertokoan,
42,65 Ha merupakan areal persawahan, 11,10 Ha diperuntukan sebagai
fasilitas umum dan jalan, 3,70 Ha lainnya terdiri dari sekian persen
pemukiman, sekian persen pertanian dan pekarangan, sekian persen fasilitas
umum. Jumlah penduduk Kelurahan Pejarakan Karya adalah sebanyak
7.150 jiwa yang terdiri dari 4.442 jiwa laki-laki dan 4.343 jiwa perempuan,
dengan jumlah kepala keluarga sebesar 2,105 orang, dan terbagi ke dalam
31 Rukun Tetangga, dan empat Lingkungan yaitu lingkungan Moncok
Karya, Pejarakan, Penan, dan lingkungan Moncok Telaga Mas (Pemerintah
Kota Mataram, 2017).
18
BAB III
METODE
19
3.4 Prosedur Penelitian
a. Penentuan titik pengambilan sampel
Kegiatan yang dilakukan berupa orientasi wilayah untuk
pendugaan lokasi habitat nyamuk, serta pemetaan lokasi menggunakan
alat berupa GPS (Global Positioning System). Penentuan titik
pengambilan sampel menggunakan metode proportionate quota
sampling, yaitu pengambilan sampel dengan memperhatikan proporsi
pada setiap grup atau populasi. Grup atau populasi tidak homogen, pada
penelitian ini didasarkan pada perbedaan jenis habitat yang berpotensi
sebagai tempat perindukan nyamuk di Kelurahan Pejarakan Karya.
Kelurahan Pejarakan Karya terdiri atas tiga jenis habitat, yaitu
persawahan, perumahan, dan kebun. Proporsi jumlah sampel dari tiap
habitat disesuaikan dengan persentase luas daerah. Luas daerah
Kelurahan Pejarakan Karya terdiri dari 43% areal persawahan, 33%
perumahan, dan 24% kebun. Berdasarkan hal tersebut, maka dilakukan
pengambilan sampel sebanyak 13 titik di persawahan, 10 titik di
perumahan, dan 7 titik di areal kebun.
b. Koleksi nyamuk dewasa
Koleksi nyamuk dewasa dilakukan pada pagi, sore, dan malam hari
menggunakan aspirator. Adapun lokasi penangkapan meliputi
penangkapan nyamuk di daerah permukiman penduduk, sawah dan di
kebun sepanjang titik yang sudah ditentukan. Nyamuk yang telah
tertangkap dimasukkan ke dalam botol sampel yang ditutup kain kasa,
diikat dengan karet dan diberi label (tanggal, lokasi dan nama kolektor).
Kain kasa diberi lubang dan ditutup dengan kapas yang sudah diberi air
gula (World Health Organization, 2013). Nyamuk dimatikan dengan
menggunakan kapas yang telah diberi alkohol 70%. Setelah mati nyamuk
diletakkan pada gelas benda untuk diidentifikasi.
c. Identifikasi nyamuk dewasa
Nyamuk yang telah tertangkap kemudian diidentifikasi
menggunakan mikroskop digital melalui pengamatan morfologi nyamuk
dengan merujuk pada Buku Kunci Bergambar Nyamuk Indonesia
20
(B2P2VRP, 2015), O’Connor & Supanto (1979), Rattanarithikul et al.
(2006), serta Walter Reed Biosystematics Unit (2017).
d. Analisis karakteristik habitat
Analisis karakteristik habitat dilakukan melalui pengukuran
parameter lingkungan pada setiap titik penangkapan nyamuk dewasa.
Parameter yang diamati yaitu suhu dan kelembaban udara yang diukur
menggunakan termohigrometer dengan cara diletakkan pada bidang
datar, didiamkan beberapa menit, lalu diamati skala yang ditunjuk.
n 𝑛𝑖
′
H = − ∑(Pi ln Pi) Pi =
Di mana 𝑁
i=1
Keterangan :
H’ : Indeks keanekaragaman spesies
ni : Jumlah individu spesies ke-i
N : Jumlah individu semua spesies
21
3.5.3 Perhitungan Kemerataan Distribusi Individu
Kemerataan distribusi individu dalam spesies dihitung menggunakan
rumus Shannon Wienner berikut.
𝐻′
𝐸= Dimana 𝐻 max = ln 𝑆
𝐻 𝑚𝑎𝑥
Keterangan
E : Indeks kemerataan
H’ : Indeks keanekaragaman spesies
S : Jumlah spesies
n n
atau ni 2
C = ∑ 𝑃𝑖 2 C = ∑( )
N
i=1
i=1
Keterangan :
C : Indeks Dominansi
ni : Jumlah individu ke-i
N : Jumlah total individu
Bulan
No Kegiatan
Okt Nov Des Jan Feb Maret
22
1 Penyusunan proposal
2 Seminar proposal
3 Pengambilan sampel
4 Analisis Data
5 Penulisan laporan
Seminar hasil
6
dan ujian skripsi
23
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, R., et al., 2011, Mapping of Mosquito Breeding Sites In Malaria
Endemic Areas In Pos Lenjang, Kuala Lipis, Pahang, Malaysia,
Malaria Journal, Vol. 10 (1), Pp. 1-12.
Almarinez, B. J. M. & Claveria, F.G., 2015, Larval Mosquito Fauna (Diptera:
Culicidae) of Salikneta Farm, San Jose Del Monte, Bulacan,
Philippines, Philippine Journal of Science, Vol. 144 (1), Pp. 51- 60.
Anwar, C., Lavita, R. A., Handayani, D., 2014, Identifikasi dan Distribusi
Nyamuk Aedes sp. Sebagai Vektor Penyakit Demam Berdarah Dengue
di Beberapa Daerah di Sumatera Selatan, Jurnal MKS, Vol. 2(1), Pp.
111-117.
Arsin, A. A., 2012, Malaria di Indonesia Tinjauan Aspek Epidemiologi,
Makassar, Masagena Press.
Badan Pusat Statistik Kota Mataram, 2018, Kota Mataram dalam Angka 2018,
BPS Kota Mataram, Mataram.
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Vektor dan Reservoir Penyakit, 2015,
Kunci Bergambar Nyamuk Indonesia, Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kementerian RI, Salatiga.
Bates, 1970, The Natural History of Mosquitoes, Gloucester, Mass. Peter Smith,
New York.
Borror, D. J., Triplehorn, C. A. & Johnson, N. F., 1996, Pengenalan Pelajaran
Serangga Edisi ke-6, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Brown, H., 1979, Dasar Parasitologi Klinis Edisi Ketiga, Gramedia, Jakarta.
Bryant, P. J., 2008. Southern House Mosquito Culex quinquefasciatus,
(http://nathistoc.bio.uci.edu), Diunduh jam 16.05 WITA, Tanggal
20/9/2018.
Clements, A. N., 1963, The Physiology of Mosquitoes, Pergamon Press, New
York.
Conelly, C. R., 2015, Eggs of The Common Malaria Mosquito.
(entnemdept.ufl.edu), Diunduh jam 19.47 WITA, Tanggal 7/3/2018.
Departemen Kesehatan RI, 2007, Vektor Malaria di Indonesia, Dit.Jen. PP &
PLP Departemen Kesehatan RI, Jakarta.
Diaz et al., 2011, The Distribution of Potential West Nile Virus Vectors, Culex
pipiens pipiens and Culex pipiens quinquefasciatus (Diptera: Culicidae),
in Mexico City, Journal of Parasit Vectors, Vol. 4 (1), Pp. 1-70.
Dinas Kesehatan Kota Mataram, 2015, Profil Kesehatan Kota Mataram Tahun
2015, Dinas Kesehatan Kota Mataram, Mataram.
24
Dinas Kesehatan Provinsi NTB, 2017, Profil Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara
Barat Tahun 2016, Dinas Kesehatan Provinsi NTB, Mataram.
Eman, G. J., Bernadus, J. & Sorisi, A., 2016, Survei Nyamuk Culex spp. di
Daerah Perumahan Sekitar Pelabuhan Bitung, Jurnal Kedokteran
Klinik, Vol. 1 (1), Pp. 126-131.
Farajollahi, A. & Price, D.C., 2013, A Rapid Identification Guide for Larvae of
The Most Common North American Container-Inhabiting Aedes Species
of Medical Importance, Vol. 29 (3), Pp. 203-221.
Google earth 7.3.1.4507. (Agustus 18, 2018). Pejarakan Karya, Mataram City,
West Nusa Tenggara, Indonesia. 8° 34ʹ 16.25ʺ̍S, 116° 05ʹ 56.89ʺ̍E, Eye alt
7598 feet. SIO, NOAA, U.S. Navy, NGA, GEBCO. DigitalGlobe 2018.
http://www.earth.google.com [September 28, 2018].
Harbach, R., 2008, Famili Culicidae Meigen, Mosquito Taxonomic. Inventory,
Gramedia Pustaka, Jakarta.
Hidayani, 2011, Distribusi Spasial Breeding Site dan Jarak Rumah Penderita
Malaria Di Desa Bulu Bonggu Kecamatan Dapurang Kabupaten
Mamuju Utara, Skripsi, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Hasanuddin Makassar.
Kauffman et al., 2017, Rearing of Culex spp. and Aedes spp. Mosquitoes,
Journal of Bio Protoc, Vol. 7 (17), Pp. 1-25.
Kementerian Kesehatan RI, 2011, Epidemiologi Malaria di Indonesia,
Kementerian Kesehatan RI, Jakarta.
Lane, R.P & Crosskey, R. W., 1993, Medical Insect and Arachnids, Chapman
and Hall, London.
Lee, H. L., 1990. Breeding Habitats and Factors Affecting Breeding of Aedes
Larvae in Urban Towns of Peninsular Malaysia, Journal of Bioscience,
Vol. 1 (2), Pp. 107–112.
Mading, M. & Kazwaini, M., 2014, Ekologi Anopheles spp. di Kabupaten
Lombok Tengah, Jurnal Aspirator, Vol. 6 (1), Pp. 13-20.
Mahdalena, V., Suryaningtyas, N. H. & Ni’mah, T., 2015, Ekologi Habitat
Perkembangbiakan Anopheles spp. di Desa Simpang Empat, Kecamatan
Lengkiti, Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan, Jurnal Ekologi
Kesehatan, Vol. 14 (4), Pp. 342-349.
Marbawati, D, & Sholichah, Z., 2009, Koleksi Referensi Nyamuk Di Desa
Jepangrejo, Kecamatan Blora, Kabupaten Blora. Jurnal Balaba. Vol. 5
(1), Pp. 6-10.
Martens, W. J., Niessen, L. W., Rotmans, J., Jetten, T. H. & McMichael, A. J.,
1997, Potential Impact of Global Climate Change on Malaria Risk,
Journal of Environ Health Perspect, Vol. 103 (5), Pp. 458–464.
25
Matsumura, F., 1985, Toxicology of Insecticides 2nd Edition, Plenum Press,
London.
Montgomery, D. D., 1974, A Guide to The Common Mosquitoes of Jackson
County Vector Control District, Southern Oregon State College, Oregon.
Mulyadi, 2010, Distribusi Spasial dan Karakteristik Habitat Perkembangan
Anopheles spp. serta Peranannya dalam Penularan Malaria di Desa
Doro Kabupaten Halmahera Selatan Provinsi Maluku Utara, Tesis
Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.
Munif, A., 2009, Nyamuk Vektor Malaria dan Hubungannya dengan Aktivitas
Kehidupan Manusia Di Indonesia, Jurnal Aspirator, Vol. 1 (2), Pp. 94-
102.
Muturi, E. J., Kim, C. H., Bara, J., Bach, E. M., Siddappaji, M. H., 2016, Culex
pipiens and Culex restuans Mosquitoes Harbor Distinct Microbiota
Dominated by Few Bacterial Taxa, Journal of Parasit Vectors, Vol. 9
(1), Pp. 1-18.
Natadisastra, D., 2009, Parasitologi Kedokteran : Ditinjau dari Organ Tubuh
yang Diserang, EGC, Jakarta.
Newman, J. M., 2015, Pupa of The Common Malaria Mosquito,
(entnemdept.ufl.edu), Diunduh jam 20.00 WITA, Tanggal 7/3/2018.
Novelani, B., 2007, Studi Habitat dan Perilaku Menggigit Nyamuk Aedes serta
Kaitannya dengan Kasus Demam Berdarah Kelurahan Utan Kayu
Utara, Tesis, Program Pascasarjana, IPB.
Nurmaini, 2003, Mentifikasi Vektor dan Pengendalian Nyamuk Anopheles
aconitus secara Sederhana, Fakultas Kesehatan Masyarakat Bagian
Kesehatan Lingkungan, Universitas Sumatra Utara.
O’Connor, C. T. & Supanto, A., 1979, Kunci Bergambar untuk Anopheles
Dewasa dari Indonesia, Dit.Jen. PPM & PLP. Departemen Kesehatan RI,
Jakarta.
Pemerintah Kota Mataram, 2017, Kecamatan Ampenan,
(http://www.mataramkota.go.id), Diunduh jam 16.16 WITA, Tanggal
16/9/2018.
Rahmawati. E., Hadi, U.K. & Soviana, S., 2014, Keanekaragaman Jenis dan
Perilaku Menggigit Vektor Malaria (Anopheles spp.) di Desa Lifuleo,
Kecamatan Kupang Barat, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur.
Jurnal Entomologi Indonesia, Vol. 11 (2), Pp. 53-64.
Rao, T. R., 1981, The Anophelines of India, Indian Council of Medical Research,
New Delhi.
Rattanarithikul, R., Harrison, B. A., Harbach, R. E., Panthusiri, P. & Colleman, R.
E., Illustrated Keys to The Mosquitoes of Thailand IV. Anopheles, The
26
Southeast Asian Journal of Tropical Medicine and Public Health, Vol. 37
(2), Pp. 1- 90.
Rinidar, 2010, Pemodelan Kontrol Malaria Melalui Pengelolaan Terintegrasi di
Pemukiman Lamteuba, Nangroe Aceh Darussalam, Tesis, Sekolah
Pascasarjana Program Doktor Universitas Sumatera Utara.
Rueda, L. M., 2004. Pictorial Keys for The Identification of Mosquitoes (Diptera
: Culicidae) Associated with Dengue Virus Transmission, Magnolia
Press, New Zealand.
Said, G.P.S., 2012, Survei Keberadaan Jentik Nyamuk Aedes sp. pada Sumur
Gali Milik Warga di Keluraahan Bulusan Kota Semarang (Studi di
Wilayah Kerja Puskesmas Rowosari Semarang). Jurnal kesehatan
masyarakat, Vol. 1 (2), Pp. 326-337.
Sembel, D.T., 2009, Entomologi Kedokteran, Penerbit ANDI, Yogyakarta.
Soedarto, 1992, Entomologi Kedokteran, Penerbit Buku Kedokteran EGC,
Jakarta.
Sudarmaja, I.M. & Mardihusodo, S. J., 2009, Pemilihan Tempat Bertelur
Nyamuk Aedes aegypti pada Air Limbah Rumah Tangga di
Laboratorium, Jurnal Veteriner, Vol. 10 (4), Pp. 205-207.
Sukowati, S., 2008, Masalah Keragaman Spesies Vektor Malaria dan Cara
Pengendaliannya di Indonesia, Badan Litbangkes Depkes RI, Jakarta.
Walker, K., 2008, Anopheles Mosquito (Anopheles farauti), (www.padil.gov.au),
Diunduh jam 09.00 WITA, Tanggal 13/4/2018.
Wong, P. S., Li, M. Z., Chong, C. S., Ng, L. C. & Tan, C. H., 2013, Aedes
(Stegomyia) albopictus (Skuse): A Potential Vector of Zika Virus in
Singapore, Journal of PLoS Negl Trop Dis, Vol. 7(8), e2348.
World Health Organization, 2013, Global Programe To Eliminate Lymphatic
Filariasis : Practical Entomologi, WHO, Geneva.
Yotopranoto, S., Subekti, S., Rosmanida & Salamun, 1998, Analisis Dinamika
Populasi Vektor pada Lokasi dengan Kasus Demam Berdarah Dengue
yang Tinggi di Kotamadya Surabaya, Jurnal Kedokteran Tropis
Indonesia, Vol. 9 (1-2), Pp. 23-31.
27