Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kota Mataram merupakan ibukota Provinsi Nusa Tenggara Barat
(NTB) dengan kepadatan penduduk yang cukup tinggi. Berdasarkan data
Badan Pusat Statistik NTB tahun 2018, Kota Mataram yang terdiri dari
sebelas kecamatan memiliki jumlah penduduk 450.226 jiwa dengan
kepadatan penduduk sebesar 7.345 jiwa/km2. Adapun kecamatan di wilayah
Kota Mataram dengan kepadatan penduduk tertinggi yaitu Kecamatan
Ampenan yang berjumlah 9.275 penduduk/km2. Kepadatan penduduk yang
tinggi menyebabkan daerah ini memiliki potensi masalah di bidang
kesehatan. Salah satunya yaitu memudahkan penyebaran penyakit yang
ditularkan oleh nyamuk.
Kelurahan Pejarakan Karya merupakan salah satu dari sepuluh
kelurahan di Kecamatan Ampenan dengan jumlah penduduk yang cukup
padat. Daerah ini terdiri atas 13,40 Ha wilayah permukiman sehingga
mobiltas penduduk cukup tinggi. Selain itu, daerah dengan luas sekitar 73,
942 Ha tesebut didominasi oleh areal persawahan (Badan Pusat Statistik Kota
Mataram, 2018). Sebagian areal tersebut merupakan ruang terbuka hijau yang
berbatasan langsung dengan jalan Udayana (lihat peta pada gambar 3.1).
Padatnya jumlah dan permukiman penduduk, tingginya mobilitas serta
adanya areal persawahan yang cukup luas menjadikan Kelurahan Pejarakan
Karya berpotensi sebagai tempat penyebaran dan perkembangbiakan nyamuk.
Nyamuk memerlukan habitat yang cocok untuk keberlangsungan
hidupnya. Salah satu faktor lingkungan yang penting untuk kehidupan
nyamuk adalah curah hujan dan kelembaban. Kota Mataram memiliki angka
curah hujan yang cukup tinggi dan mengalami peningkatan. Berdasarkan data
BPS Kota Mataram tahun 2018, rata- rata curah hujan dari tahun 2014 sampai
2016 terus meningkat yaitu dari 156,4 sampai 236,2. Curah hujan tertinggi
yaitu pada bulan November mencapai 473 mm. Angka curah hujan yang
tinggi juga berbanding lurus dengan angka kelembaban di Kota Mataram

1
yang mencapai 86 %. Martens et al. (1995) menyatakan bahwa peningkatan
kelembaban dan curah hujan berbanding lurus dengan peningkatan kepadatan
nyamuk. Hal ini dapat mempengaruhi penyebaran penyakit menular,
termasuk penyakit tular vektor.
Nyamuk merupakan vektor yang berperan dalam penularan penyakit
yang disebabkan oleh parasit dan virus. Beberapa penyakit berbahaya seperti
malaria, demam berdarah, dan filariasis ditularkan oleh nyamuk dari genus
Anopheles, Aedes, dan Culex. Penyakit demam berdarah (DBD) sebagai salah
satu penyakit menular, sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan
masyarakat di Provinsi NTB karena penyebarannya yang cepat, berpotensi
kematian dan semua kabupaten/kota sudah pernah terjangkit DBD. Jumlah
kasus DBD pada tahun 2015 adalah 1.340 kasus, meningkat sangat signifikan
menjadi 3.385 kasus atau mengalami peningkatan sebesar 152,61 % di tahun
2016. Kasus terbanyak dilaporkan terjadi di Kabupaten Sumbawa, Lombok
Timur dan Kota Mataram (Dinas Kesehatan Provinsi NTB, 2017).
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota Mataram tahun 2015, jumlah
penderita demam berdarah di Kota Mataram mengalami peningkatan dari
tahun sebelumnya, yaitu sebanyak 215 penderita pada tahun 2014, meningkat
menjadi 481 penderita. Oleh karena itu, pengendalian penyakit demam
berdarah di Kota Mataram menjadi salah satu skala prioritas Dinas Kesehatan
Kota Mataram.
Selain nyamuk Anopheles dan Aedes, nyamuk Culex spp. juga
menjadi ancaman bagi kesehatan masyarakat. Nyamuk Culex diketahui
sebagai vektor penyakit Japanese Encephalitis, West Nile and St. Louis
Encephalitis Viruses, dan vektor cacing Wuchereria bancrofti yang
menyebabkan filariasis (Diaz et al., 2011). Muturi et al. (2016) melaporkan
bahwa dalam beberapa penelitian di tahun 2015 dan 2016, nyamuk ini diduga
sebagai vektor virus Zika karena kemampuannya mencerna partikel virus.
Penyebaran Culex spp. hampir merata di seluruh daerah di Indonesia
termasuk Pulau Lombok. Kelurahan Pejarakan Karya Kota Mataram memiliki
banyak areal persawahan yang memungkinkan terdapatnya genangan-
genangan air sebagai tempat perkembangbiakan nyamuk Culex. Selain itu,

2
daerah ini memiliki banyak saluran air atau selokan yang dijadikan tempat
pembuangan limbah rumah tangga. Eman et al. (2016) menyatakan bahwa
nyamuk Culex spp. menyukai habitat seperti daerah perairan yang
dikontaminasi dengan sampah rumah tangga dan sampah vegetasi.
Berdasarkan uraian di atas, maka diperlukan adanya pemahaman
tentang bioekologi nyamuk sebagai upaya untuk meningkatkan kewaspadaan
terhadap penyebaran penyakit tular vektor. Salah satu upaya yang telah
ditetapkan oleh Departemen Kesehatan RI adalah pengendalian habitat
nyamuk untuk menekan penyebaran penyakit tular vektor. Hal tersebut dapat
dilakukan melalui analisis ekologi nyamuk yang bertindak sebagai vektor di
Kelurahan Pejarakan Karya, Kota Mataram.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang muncul dari uraian di atas, di antaranya:
a. Spesies nyamuk apa saja yang dapat ditemukan di Kelurahan Pejarakan
Karya Kota Mataram?
b. Bagaimana karakteristik habitat nyamuk yang dijumpai di Kelurahan
Pejarakan Karya Kota Mataram?
c. Bagaimana keanekaragaman nyamuk di Kelurahan Pejarakan Karya Kota
Mataram?
1.3 Tujuan
a. Mengidentifikasi nyamuk yang ditemukan di Kelurahan Pejarakan Karya
Kota Mataram.
b. Mendeskripsikan karakter habitat nyamuk di Kelurahan Pejarakan Karya
Kota Mataram.
c. Menganalisis keanekaragaman nyamuk di Kelurahan Pejarakan Karya
Kota Mataram.
1.4 Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat di antaranya:
a. Dapat menjadi data awal guna memberikan informasi kepada masyarakat
mengenai daerah persebaran dan karakteristik habitat nyamuk di
Kelurahan Pejarakan Karya Kota Mataram.

3
b. Dapat mengetahui keanekaragaman nyamuk yang ditemukan di Kelurahan
Pejarakan Karya Kota Mataram.
c. Dapat menjadi langkah awal penanggulangan vektor nyamuk bagi dinas
kesehatan terkait.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi Nyamuk


Nyamuk merupakan vektor atau penular utama dari beberapa
penyakit. Menurut klasifikasinya, nyamuk dibagi dalam dua subfamili yaitu
Culicinae yang terbagi menjadi 109 genus dan Anophelinae yang terbagi
menjadi tiga genus. Di seluruh dunia terdapat lebih dari 2500 spesies nyamuk,
namun sebagian besar dari spesies nyamuk tidak berasosiasi dengan penyakit
virus (arbovirus) dan penyakit-penyakit lainnya. Jenis–jenis nyamuk yang
menjadi vektor utama dari subfamili Culicinae adalah Aedes spp., Culex spp.,
dan Mansonia spp., sedangkan dari subfamili Anophelinae adalah Anopheles
spp. seperti pada diagram berikut (Harbach, 2008).

2.2 Morfologi dan Daur Hidup Nyamuk

Nyamuk merupakan salah satu kelompok serangga terbang dari ordo


Diptera yang bermetamorfosis secara sempurna (holometabola). Siklus hidup
nyamuk dimulai dari stadium telur, larva, pupa, kemudian menjadi nyamuk
dewasa (imago) (Natadisastra, 2009).

5
2.2.1 Telur
Nyamuk betina memerlukan makanan berupa darah setelah
melakukan perkawinan. Darah berasal dari hewan berdarah panas ataupun
manusia untuk perkembangan dan pematangan telurnya. Lebih kurang 48 jam
setelah mendapatkan darah tersebut, nyamuk akan meletakkan telur di tempat
yang berair karena tempat yang kering akan menyebabkan telur rusak dan
mati. Kebiasaan meletakkan telur dari nyamuk berbeda-beda tergantung dari
jenisnya (Borror et al, 1996). Nyamuk Culex akan meletakkan beberapa
telurnya di atas permukaan air dengan membentuk kumpulan telur
menyerupai rakit sehingga mampu untuk mengapung (Gambar 2.1),
sedangkan nyamuk Mansonia meletakkan telurnya dengan menempelkannya
pada tumbuh-tumbuhan air dengan bergerombol. Telur yang diletakkan di
dalam maupun di sekitar genangan air ini akan menetas setelah satu atau dua
hari kemudian (Nurmaini, 2003). Berdasarkan jenis kelaminnya, nyamuk
jantan akan menetas lebih cepat dibanding nyamuk betina, serta lebih cepat
menjadi dewasa. Faktor-faktor yang mempengaruhi daya tetas telur adalah
suhu, pH air perindukan, intensitas cahaya, serta kelembaban di samping
fertilitas telur itu sendiri (Soedarto, 1992).

Gambar 2.1 Telur Culex spp.


(Sumber : Kauffman et al., 2017)

6
Nyamuk Anopheles meletakkan telurnya di permukaan air satu persatu
atau bergerombol tetapi saling lepas karena telur Anopheles mempunyai alat
pengapung (Borror et al, 1996). Telur Anopheles berbentuk seperti perahu
yang bagian bawahnya konveks, bagian atasnya konkaf dan mempunyai
sepasang pelampung yang terletak pada bagian lateral. Nyamuk betina
mampu bertelur sebanyak 50-200 butir. Telur tidak dapat bertahan di tempat
yang kering dan akan menetas menjadi larva setelah 2-3 hari (Arsin, 2012).
Ukuran telur berdiameter antara 0,4-0,6 mm. Telur yang baru keluar berwarna
putih dan selanjutnya akan berubah warna menjadi hitam pada kondisi normal
(Bates, 1970). Morfologi telur nyamuk Anopheles spp. disajikan dalam
gambar 2.2.

Gambar 2.2 Morfologi Telur Anopheles spp.


(Sumber : Connelly, 2015)

Telur Aedes berwarna hitam, berbentuk oval, kulit tampak garis-garis


yang menyerupai sarang lebah, panjang 0,80 mm, berat 0,0010-0,015 mg.
Seekor nyamuk betina rata-rata dapat menghasilkan 100 butir telur setiap kali
bertelur dan akan menetas menjadi larva dalam waktu dua hari dalam keadaan
telur terendam air. Telur Aedes dapat bertahan dalam waktu yang lama pada
keadaan kering. Hal tersebut dapat membantu kelangsungan hidup spesies
selama kondisi iklim yang tidak memungkinkan (Departemen Kesehatan RI,
2007). Umumnya nyamuk Aedes akan meletakan telurnya pada suhu sekitar

7
20°C sampai 30°C. Telur akan menetas setelah satu sampai tiga hari pada
suhu 30°C dan pada suhu 16°C akan menetas dalam waktu tujuh hari. Telur
nyamuk Aedes sangat tahan terhadap kekeringan (Sudarmaja & Mardihusodo,
2009). Telur Aedes spp. dapat dilihat pada gambar 2.3 berikut.

Gambar 2.3 Telur Aedes spp.


(Sumber : Kauffman et al., 2017)

2.2.2 Larva
Larva nyamuk memiliki tubuh yang terbagi atas kepala, mulut yang
digunakan untuk mencari makan, thoraks, dan abdomen. Larva belum
memiliki kaki (Natadisastra, 2009). Selama pertumbuhan dan
perkembangannya, larva nyamuk mengalami empat tahap stadium (instar).
Tahapan stadium tersebut didasarkan atas proses pergantian kulit (molting).
Larva instar I selama ± 1 hari, instar II selama ± 1-2 hari, instar III selama ± 2
hari dan instar IV selama ± 2-3 hari. Masing-masing stadium atau instar
mempunyai ukuran tubuh yang berbeda. Daur hidup rata-rata nyamuk mulai
menetas dari telur sampai menjadi kepompong berkisar 8 – 14 hari. Instar
pertama sangat kecil, hampir tidak kasat mata dan berukuran panjang 0,75 – 1
mm, sedangkan instar kedua, ketiga dan keempat dapat terlihat jelas. Instar
kedua dan ketiga berukuran 1 – 2 mm, sedangkan pada instar keempat
berukuran 3 – 6 mm, namun ukuran tersebut sangat bervariasi sesuai jenisnya
(Rao, 1981).
Larva nyamuk Aedes menggantungkan tubuhnya dengan membentuk
sudut terhadap permukaan air. Larva Aedes memiliki ciri – ciri yaitu memiliki
2-3 deret comb scale, mempunyai siphon dengan panjang empat kali lebar

8
basal (Breeland dan Loyless, 1982). Larva nyamuk Aedes memiliki panjang
1-2 mm pada tahap instar I, tubuh transparan, siphon masih transparan,
tumbuh menjadi larva instar II dalam satu hari. Larva intar II memiliki
panjang 2,5 – 3,9 mm, siphon agak kecoklatan, tumbuh menjadi larva instar
III selama 1-2 hari. Larva instar III berukuran panjang 4-5 mm, siphon sudah
berwarna coklat, tumbuh menjadi larva instar IV selama dua hari. Larva instar
IV berukuran 5-7 mm, dan sudah terlihat sepasang mata dan sepasang antena,
tumbuh menjadi pupa dalam 2-3 hari. Umur rata-rata pertumbuhan larva
hingga pupa berkisar 5-8 hari. Posisi istirahat pada larva ini adalah
membentuk sudut 45° terhadap bidang permukaan air (Departemen
Kesehatan RI, 2007). Larva Aedes spp. dapat dilihat pada gambar 2.4.
Salah satu ciri dari larva nyamuk Culex adalah memiliki siphon.
Siphon dengan beberapa kumpulan rambut membentuk sudut dengan
permukaan air. Nyamuk Culex mempunyai empat tingkatan atau instar sesuai
dengan pertumbuhan larva tersebut. Larva instar I berukuran paling kecil,
yaitu 1 – 2 mm atau 1 – 2 hari setelah menetas. Duri-duri (spinae) pada dada
belum jelas dan corong pernapasan pada siphon belum jelas. Larva instar II,
berukuran 2,5 – 3,5 mm atau 2 – 3 hari setelah telur menetas. Duri-duri belum
jelas, corong kepala mulai menghitam. Larva instar III, berukuran 4 – 5 mm
atau 3 – 4 hari setelah telur menetas. Duri-duri dada mulai jelas dan corong
pernapasan berwarna coklat kehitaman. Larva IV, berukuran paling besar
yaitu 5 – 6 mm atau 4 – 6 hari setelah telur menetas (Matsumura, 1985).
Larva Culex spp. dapat dilihat pada gambar 2.5.
Larva nyamuk Anopheles memiliki perbedaan dengan larva nyamuk
lainnya, yaitu tidak memiliki saluran pernapasan dan posisi badannya sejajar
di permukaan air (Arsin, 2012). Larva Anopheles spp. dapat dilihat pada
gambar 2.6. Larva memiliki spirakel pada bagian posterior abdomen,
lempeng tergit (tergal plate) pada bagian tengah sebelah dorsal abdomen dan
bulu pulma pada kedua sisi abdomen (Natadisastra, 2009).
Dalam perkembangan hidupnya, larva nyamuk memerlukan kondisi
lingkungan yang dapat memberikan kehidupan bagi perkembangannya.
Berbagai faktor yang berpengaruh terhadap kehidupan dan pertumbuhan larva

9
nyamuk seperti faktor fisik dan kimiawi antara lain pH, suhu dan salinitas.
Selain itu, fauna dan flora juga mempengaruhi larva nyamuk, yaitu sebagai
tempat perlindungan, sumber makanan ataupun sebagai musuh alaminya
(Clements, 1963). Larva pada umumnya memerlukan makan berupa alga,
bakteri dan mikroorganisme lainnya yang berada di permukaan. Larva hanya
menyelam di bawah permukaan ketika terganggu (Arsin, 2012).

Gambar 2.4 Larva Aedes spp.


(Sumber : Farajollahi & Price, 2013)

Gambar 2.5 Larva Culex spp.


(Sumber : Bryant, 2008)

Gambar 2.6 Larva Anopheles spp.


(Sumber : Almarinez & Claveria, 2015)
10
2.2.3 Pupa

Stadium pupa nyamuk memiliki bentuk tubuh membengkok yang


terdiri dari dua bagian, yaitu cephalothorax yang lebih besar dan abdomen.
(Departemen Kesehatan RI, 2007). Stadium pupa memiliki corong
pernapasan (respiratory trumper) berbentuk lebar dan pendek yang
digunakan untuk pengambilan oksigen dari udara (Natadisastra, 2009). Pupa
terdapat di dalam air dan tidak memerlukan makanan tetapi memerlukan
udara. Stadium ini merupakan tempat terjadinya proses pembentukan alat-alat
tubuh nyamuk seperti alat kelamin, sayap dan kaki. Pupa akan berubah
menjadi nyamuk dewasa setelah 1-2 hari (Arsin, 2012). Lama stadium pupa
pada nyamuk jantan antara satu sampai dua jam lebih pendek dari pupa
nyamuk betina, karenanya nyamuk jantan akan muncul kira-kira satu hari
lebih awal daripada nyamuk betina yang berasal dari satu kelompok telur.
Stadium pupa ini memakan waktu lebih kurang 2 - 4 hari (Rinidar, 2010).
Morfologi pupa nyamuk disajikan dalam gambar 2.7 berikut.

0,5 mm A 0,5 mm B 0,5 mm


C

Gambar 2.7 Pupa nyamuk


A. Pupa Anopheles spp. (Newman, 2015), B. Pupa Aedes spp.
(Doggett, 2002), C. Pupa Culex spp. (Doggett, 2002).

2.2.4 Nyamuk Dewasa


Nyamuk dewasa memiliki tubuh yang kecil dan terbagi atas kepala,
toraks dan abdomen (Gambar 2.8). Kepala nyamuk berfungsi untuk
memperoleh informasi dan untuk makan. Bagian kepala terdiri atas mata,
palpus, proboscis, dan sepasang antena. Antena nyamuk berfungsi untuk

11
mendeteksi inang serta tempat peletakan telur (Arsin, 2012). Nyamuk
memiliki sepasang antena berbentuk filiform yang panjang dan langsing serta
terdiri atas lima belas segmen. Antena dapat digunakan sebagai kunci untuk
membedakan kelamin pada nyamuk dewasa. Rambut antena nyamuk jantan
lebih lebat daripada nyamuk betina. Rambut lebat pada antena nyamuk jantan
disebut plumose sedangkan pada nyamuk betina yang jumlahnya lebih sedikit
disebut pilose. Palpus merupakan bagian tubuh nyamuk yang terletak di
antara antena dan proboscis yang digunakan sebagai organ sensorik untuk
mendeteksi karbondioksida dan tingkat kelembaban (Brown, 1979). Palpus
bagian apikal pada nyamuk Anopheles jantan memiliki ruas berbentuk gada,
sedangkan pada nyamuk betina, ruas tersebut mengecil. Proboscis merupakan
bentuk mulut modifikasi untuk menusuk. Nyamuk betina mempunyai
proboscis yang lebih panjang dan tajam (Brown, 1979).
Bagian thorax terdiri dari tiga segmen yaitu prothorax, mesothorax,
dan metathorax. Masing-masing segmen menjadi bagian melekatnya kaki
depan (foreleg), kaki tengah (midleg), dan kaki belakang (hindleg).
Mesothorax selain terdapat midleg, juga terdapat sepasang sayap. Bagian
thorax terdapat mesonotum yang diliputi rambut halus, scutum yaitu bagian
thorak yang terbesar, dan scutellum yaitu bagian posterior mesonotum.
Metathorax nyamuk dewasa ukurannya lebih kecil dibandingkan dengan
prothorax dan mesothorax serta terdapat sepasang sayap yang mengalami
modifikasi menjadi halter (Rueda, 2004).

Gambar 2.8 Morfologi Nyamuk Dewasa


(Sumber : Rueda, 2004)
12
Bagian scutum dan scutellum mesonotum dapat dijadikan sebagai
kunci identifikasi. Nyamuk Aedes memiliki ciri khas pada bagian mesonotum,
misalnya Aedes aegypti memiliki lyre (lengkungan) putih pada sisi tepi dan
terdapat sepasang garis putih pada submedian secara vertikal bagian
mesonotum, sedangkan Aedes albopictus hanya memiliki garis putih pada
median mesonotum (Anwar et al., 2014). Ciri khas selanjutnya yaitu pada
scutellum mesonotum. Scutellum nyamuk Anopheles memiliki satu lobi,
sedangkan dari genus Aedes dan Culex memiliki scutellum trilobus
(Rattanarithikul et al., 2010).
Sayap nyamuk mempunyai bentuk yang panjang, transparan dan
mempunyai percabangan vena yang ditutupi oleh sisik. Bagian pinggir sayap
terdapat deretan rambut yang disebut fringe. Nyamuk mempunyai tiga pasang
kaki (hexapoda) yang melekat pada thorax dan tiap kaki terdiri dari satu ruas
femur, satu ruas tibia dan lima ruas tarsus (Lane & Crosskey, 1993).
Sisik sayapnya ada yang lebar dan asimetris (Mansonia) dan ada pula
yang sempit, panjang, dan simetris (Aedes, Culex). Beberapa jenis nyamuk
memiliki sisik sayap membentuk bercak-bercak berwarna putih dan kuning,
putih dan cokelat, serta putih dan hitam (speckled) (Montgomery, 1974).
Bagian pinggir (kosta dan vena 1) sayap nyamuk Anopheles terdapat sisik-
sisik yang berkelompok membentuk gambaran belang-belang hitam dan
putih. Selain itu, bagian ujung sisik sayap membentuk garis lengkung
(Natadisastra, 2009).
Abdomen nyamuk terdiri dari delapan ruas. Ujung atau ruas terakhir
terdapat alat kopulasi berupa cerci pada nyamuk betina dan hypogeum pada
nyamuk jantan. Abdomen pada nyamuk Aedes memiliki bercak putih
keperakan pada masing-masing ruas (Depkes RI, 2007). Bagian abdomen
berbentuk silinder dengan ujung abdomen berbentuk lancip (pointed) pada
Aedes, sedangkan ujung abdomen Mansonia, Culex,dan Anopheles berbentuk
tumpul (Montgomery, 1974).
Waktu yang diperlukan untuk pertumbuhan sejak telur diletakkan
sampai menjadi dewasa bervariasi antara 2-5 minggu, tergantung kepada

13
spesies, makanan yang tersedia, suhu udara dan kelembaban (Natadisastra,
2009).

2.3 Nyamuk sebagai Vektor


Kehadiran nyamuk dapat berdampak negatif, yaitu berperan sebagai
penyebab penyakit yang dipengaruhi oleh beberapa faktor di antaranya
spesifisitas inang, rentang hidup vektor, frekuensi makan, mobilitas vektor,
tingkat populasi vektor dan aktivitas penyesuaian diri (Munif, 2009). Suatu
spesies dikatakan sebagai vektor apabila jumlahnya cukup banyak dan
berada pada daerah tempat hospes tinggal (manusia). Jumlah nyamuk
berbanding lurus dengan tempat perindukan nyamuk (breeding place),
tempat perindukan haruslah dekat dengan tempat tinggal manusia.
Kebanyakan spesies nyamuk yang bertindak sebagai vektor, tempat
perindukannya tidak jauh dari rumah terdekat manusia, yaitu berjarak
sekitar 200-400 meter. Hal ini berhubungan dengan kemampuan terbang
nyamuk untuk mencari hospesnya (Ahmad et al, 2011).
Di Indonesia, konfirmasi vektor telah dilakukan sejak tahun 1919
sampai tahun 2009, dan selama periode tersebut terdapat 25 spesies
ditemukan positif membawa parasit malaria (Kementerian Kesehatan RI,
2011). Menurut Arsin (2012), Anopheles yang ditemukan di Nusa Tenggara
Barat adalah spesies An. aconitus, An. sundaicus, An. balabacensis, An.
barbirostris, An. maculatus, dan An. subpictus.
Nyamuk Aedes albopictus telah menjadi vektor penyakit yang
signifikan karena berhubungan erat dengan manusia, yaitu menularkan
banyak patogen virus di antaranya adalah virus demam kuning, demam
berdarah, dan demam Chikungunya, serta beberapa nematoda filaria seperti
Dirofilaria immitis. Ae. albopictus juga mampu menampung virus Zika dan
dianggap sebagai vektor potensial untuk transmisi Zika ke manusia (Wong
et al., 2013).
Kemampuan nyamuk menjadi vektor penyakit berkaitan dengan
populasi dan aktivitas menghisap darah. Aktivitas mengisap darah dari
nyamuk Anopheles dan Culex berlangsung pada malam hari (nokturnal),

14
berbeda dari nyamuk Aedes yang melakukan aktivitas mengisap darah pada
siang hari (diurnal). Nyamuk yang bersifat eksofagik adalah nyamuk yang
banyak mengisap darah di luar rumah, tetapi bisa masuk ke dalam rumah
jika manusia merupakan inang utama, misalnya An. balabacensis, An.
sinensis, An. aconitus, dan Mansonia uniformis. Nyamuk endofagik adalah
nyamuk yang mengisap darah di dalam rumah, tetapi bila inang tidak
tersedia di dalam rumah sebagian nyamuk akan mencari inang di luar rumah
(Munif, 2009).
Nyamuk dalam genus Aedes biasanya mencari makan pada waktu
pagi hingga sore hari (day bitter) yaitu sekitar pukul 08.00-12.00 dan pukul
15.00-17.00 WITA (Syahribulan dkk., 2012). Waktu aktivitas menggigit
vektor malaria yang sudah diketahui yaitu pukul 17.00-18.00, sebelum
pukul 24.00 (20.00-23.00), setelah pukul 24.00 (00.00-4.00). Vektor malaria
yang aktivitas menggigitnya pukul 17.00-18.00 adalah An. tesselatus,
sebelum pukul 24.00 adalah An. aconitus, An. annullaris, An. barbirostris,
An. kochi, An. sinensis, An. vagus, sedangkan yang menggigit setelah pukul
24.00 adalah An. farauti, An. koliensis, An. leucosphyrosis, dan An.
punctullatus (Kementerian Kesehatan RI, 2011).

2.4 Habitat Nyamuk.


Setiap jenis nyamuk memiliki karakteristik habitat
perkembangbiakan yang berbeda-beda pada setiap zona geografi (Sukowati,
2008). Berdasarkan tempat berkembang biak, vektor malaria dapat
dikelompokkan dalam tiga tipe, yaitu berkembang biak di persawahan,
perbukitan atau hutan, dan pantai atau aliran sungai. Vektor malaria yang
berkembang biak di daerah persawahan adalah An. aconitus, An. annullaris,
An. barbirostris, An. kochi, An. karwari, An. nigerrimus, An. sinensis, An.
tesellatus, An. vagus, dan An. letifer. Vektor malaria yang berkembang biak
di perbukitan atau hutan adalah An. balabacensis, An. bancrofti, An.
punctullatus, An. umbrosus, sedangkan untuk daerah pantai atau aliran
sungai, jenis vektor malaria adalah An. flavirostris, An. koliensis, An.

15
ludlowi, An. minimus, An. punctulatus, An. parangensis, An. sundaicus, dan
An. subpictus (Kementerian Kesehatan RI, 2011).
Larva nyamuk Anopheles banyak ditemukan di perairan tenang
dibanding perairan mengalir. Habitat larva nyamuk ditemukan pada
ketinggian 0-600 mdpl, yaitu di sekitar parit, sungai kecil, bekas bakau,
mata air, kolam atau danau kecil, genangan air di lapangan berumput, bekas
tapak roda kendaraan berat, dan lempeng besi yang tidak terpakai.
Mahdalena et al. (2015) menyatakan bahwa kepadatan larva yang paling
tinggi terdapat pada habitat perkembangbiakan berupa genangan bekas roda
ban. Penelitian Rahmawati et al. (2014) menyebutkan bahwa habitat
nyamuk Anopheles spp. adalah genangan air yang bersifat permanen (kolam
ikan), yang selalu ada air sepanjang tahun.
Nyamuk Aedes menyukai tempat perindukan berupa kontainer
dengan air yang jernih dan tidak bersentuhan langsung dengan tanah, serta
lebih menyukai kontainer yang terdapat di dalam rumah daripada di luar
rumah. Hal ini dikarenakan di dalam rumah terlindung dari sinar matahari
langsung dan memiliki suhu yang relatif stabil (Lee, 1990). Nyamuk Aedes
spp. meletakkan telur dan berbiak pada tempat penampungan air bersih atau
air hujan seperti bak mandi, tangki penampungan air, vas bunga, kaleng-
kaleng, atau kantung plastik bekas, di atas lantai gedung terbuka, talang
rumah, bambu pagar, ban-ban bekas, dan semua bentuk wadah yang
menampung air bersih. A. albopictus meletakkan telur dan berbiak pada
wadah-wadah alami seperti kulit-kulit buah misalnya kulit buah rambutan,
tempurung kelapa (Said, 2012).
Nyamuk-nyamuk Culex spp. ada yang aktif pada waktu pagi, siang,
dan ada yang aktif waktu sore atau malam. Nyamuk ini meletakkan telur
dan berbiak di selokan yang berisi air bersih ataupun selokan air
pembuangan domestik yang kotor (organik), serta di tempat penggenangan
air domestik atau air hujan di atas permukaan tanah. Larva nyamuk Culex
spp. sering kali terlihat dalam jumlah yang sangat besar di selokan air kotor
(Sembel, 2009).

16
Habitat nyamuk juga dipengaruhi oleh faktor fisik lingkungan
seperti pH, salinitas, suhu dan kelembaban udara. Derajat keasaman air
mempengaruhi tingkat kesuburan perairan karena mempengaruhi jasad renik
seperti larva nyamuk. Perairan asam kurang baik untuk perkembangbiakan
bahkan cenderung mematikan organisme. Derajat keasaman yang optimal
untuk Anopheles spp. lebih banyak ditemukan di perairan yang bersifat
basa, yaitu berkisar antara 6-7 (Mading & Kazwaini, 2014). Larva
Anopheles biasanya hidup dengan salinitas 0 % pada air tawar dan 0-7 %
pada air payau, larva Anopheles tidak bisa bertahan pada salinitas di atas
7%. Larva Anopheles memiliki tempat perindukan dengan kedalaman
antara 2-120 cm (Mulyadi, 2010).
Kecepatan pertumbuhan dan perkembangan nyamuk sangat
bergantung dari kecepatan proses metabolisme yang dipengaruhi oleh suhu.
Menurut Novelani (2007), suhu optimum untuk tempat perindukan nyamuk
berkisar antara 25°C - 27°C. Suhu optimum untuk fase larva dan pupa 23°C
-27°C, sedangkan suhu optimum nyamuk dewasa dapat berkembang dengan
baik yaitu 23°C-30°C. Hidayani (2011) memperoleh hasil bahwa kisaran
suhu 26°C - 29°C merupakan suhu yang ideal bagi kehidupan larva
Anopheles pada jenis breeding site manapun dengan kondisi yang
bervariasi. Nyamuk Aedes memilki kisaran suhu 27-30 ºC., dan nyamuk
Culex memiliki kisaran suhu28-33ºC.
Nyamuk membutuhkan kelembaban yang tinggi sehingga nyamuk
harus mencari tempat yang basah dan lembab. Tempat yang kisaran
kelembabannya kurang dari 60% menyebabkan umur nyamuk lebih pendek,
sehingga pertumbuhan parasit dapat dihambat. Perilaku adaptasi nyamuk
pada kelembaban yang tidak tinggi menyebabkan nyamuk banyak
mengalami kematian akibat daerah yang mengalami kekeringan. Hal ini
menyebabkan populasi nyamuk tetap stabil (Marbawati & Sholichah, 2009).

2.5 Kelurahan Pejarakan Karya


Kelurahan Pejarakan Karya merupakan salah satu dari 10 Kelurahan
di Kecamatan Ampenan, Kota Mataram dengan batas-batas yaitu

17
sebelah Utara berbatasan dengan Kelurahan Ampenan Utara, sebelah
Selatan Kecamatan Selaparang, sebelah Timur berbatasan dengan Kelurahan
Kecamatan Selaparang, dan sebelah Barat berbatasan dengan Kelurahan
Kebon Sari. Luas Wilayah Kelurahan Pejarakan Karya adalah sekitar 73,942
Ha. Berdasarkan luas Wilayah Kelurahan tersebut, penggunaan lahan
terbagi menjadi 13,40 Ha Wilayah Pemukiman, 1,10 Ha Wilayah pertokoan,
42,65 Ha merupakan areal persawahan, 11,10 Ha diperuntukan sebagai
fasilitas umum dan jalan, 3,70 Ha lainnya terdiri dari sekian persen
pemukiman, sekian persen pertanian dan pekarangan, sekian persen fasilitas
umum. Jumlah penduduk Kelurahan Pejarakan Karya adalah sebanyak
7.150 jiwa yang terdiri dari 4.442 jiwa laki-laki dan 4.343 jiwa perempuan,
dengan jumlah kepala keluarga sebesar 2,105 orang, dan terbagi ke dalam
31 Rukun Tetangga, dan empat Lingkungan yaitu lingkungan Moncok
Karya, Pejarakan, Penan, dan lingkungan Moncok Telaga Mas (Pemerintah
Kota Mataram, 2017).

18
BAB III

METODE

3.1 Jenis Penelitian


Penelitian ini bersifat deskriptif eksploratif yaitu menggambarkan
keadaan habitat perindukan dan distribusi nyamuk yang diamati sesuai
dengan keadaan di lapangan dan menyajikan data berdasarkan keadaan
lapangan. Pengambilan sampel nyamuk dilakukan secara eksploratif atau
menggunakan metode jelajah. Lokasi yang akan dijelajah meliputi kawasan
perumahan, sawah, dan ladang yang ada di Kelurahan Pejarakan Karya. Hasil
penelitian berupa hasil identifikasi jenis nyamuk yang didapat dan akan
diuraikan secara deksriptif disertai gambar.

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober 2018 - Maret 2019.
Pengambilan sampel dilakukan di tiga habitat berbeda yaitu perumahan,
persawahan, dan kebun yang berlokasi di Kelurahan Pejarakan Karya, Kota
Mataram. Identifikasi dilakukan di Laboratorium Biologi Universitas
Mataram. Peta lokasi penelitian disajikan dalam gambar 3.1 berikut.

Gambar 3.1 Peta Kelurahan Pejarakan Karya


(Sumber : Google earth, 2018)

19
3.4 Prosedur Penelitian
a. Penentuan titik pengambilan sampel
Kegiatan yang dilakukan berupa orientasi wilayah untuk
pendugaan lokasi habitat nyamuk, serta pemetaan lokasi menggunakan
alat berupa GPS (Global Positioning System). Penentuan titik
pengambilan sampel menggunakan metode proportionate quota
sampling, yaitu pengambilan sampel dengan memperhatikan proporsi
pada setiap grup atau populasi. Grup atau populasi tidak homogen, pada
penelitian ini didasarkan pada perbedaan jenis habitat yang berpotensi
sebagai tempat perindukan nyamuk di Kelurahan Pejarakan Karya.
Kelurahan Pejarakan Karya terdiri atas tiga jenis habitat, yaitu
persawahan, perumahan, dan kebun. Proporsi jumlah sampel dari tiap
habitat disesuaikan dengan persentase luas daerah. Luas daerah
Kelurahan Pejarakan Karya terdiri dari 43% areal persawahan, 33%
perumahan, dan 24% kebun. Berdasarkan hal tersebut, maka dilakukan
pengambilan sampel sebanyak 13 titik di persawahan, 10 titik di
perumahan, dan 7 titik di areal kebun.
b. Koleksi nyamuk dewasa
Koleksi nyamuk dewasa dilakukan pada pagi, sore, dan malam hari
menggunakan aspirator. Adapun lokasi penangkapan meliputi
penangkapan nyamuk di daerah permukiman penduduk, sawah dan di
kebun sepanjang titik yang sudah ditentukan. Nyamuk yang telah
tertangkap dimasukkan ke dalam botol sampel yang ditutup kain kasa,
diikat dengan karet dan diberi label (tanggal, lokasi dan nama kolektor).
Kain kasa diberi lubang dan ditutup dengan kapas yang sudah diberi air
gula (World Health Organization, 2013). Nyamuk dimatikan dengan
menggunakan kapas yang telah diberi alkohol 70%. Setelah mati nyamuk
diletakkan pada gelas benda untuk diidentifikasi.
c. Identifikasi nyamuk dewasa
Nyamuk yang telah tertangkap kemudian diidentifikasi
menggunakan mikroskop digital melalui pengamatan morfologi nyamuk
dengan merujuk pada Buku Kunci Bergambar Nyamuk Indonesia

20
(B2P2VRP, 2015), O’Connor & Supanto (1979), Rattanarithikul et al.
(2006), serta Walter Reed Biosystematics Unit (2017).
d. Analisis karakteristik habitat
Analisis karakteristik habitat dilakukan melalui pengukuran
parameter lingkungan pada setiap titik penangkapan nyamuk dewasa.
Parameter yang diamati yaitu suhu dan kelembaban udara yang diukur
menggunakan termohigrometer dengan cara diletakkan pada bidang
datar, didiamkan beberapa menit, lalu diamati skala yang ditunjuk.

3.5 Analisis Data


Data dianalisis secara deskriptif kuantitatif berupa karakter morfologi
nyamuk dan dilengkapi dengan foto-foto lingkungan tempat penangkapan
nyamuk serta analisis keanekaragaman, kemerataan dan dominansi nyamuk
pada masing-masing habitat.

3.5.1 Identifikasi Nyamuk Dewasa


Identifikasi nyamuk dewasa dilakukan melalui pengamatan morfologi
head, thorax, abdomen, antena, proboscis, palpi, sayap, kaki belakang
(tungkai), dengan menggunakan Buku Kunci Bergambar Nyamuk Indonesia
(B2P2VRP, 2015), O’Connor & Supanto (1979), Rattanarithikul et al. (2006)
dan Walter Reed Biosystematics Unit (2017).

3.5.2 Perhitungan Keanekaragaman Nyamuk


Keanekaragaman nyamuk diketahui melalui perhitungan indeks
keanekaragaman Shannon Wienner berikut.

n 𝑛𝑖

H = − ∑(Pi ln Pi) Pi =
Di mana 𝑁
i=1

Keterangan :
H’ : Indeks keanekaragaman spesies
ni : Jumlah individu spesies ke-i
N : Jumlah individu semua spesies

21
3.5.3 Perhitungan Kemerataan Distribusi Individu
Kemerataan distribusi individu dalam spesies dihitung menggunakan
rumus Shannon Wienner berikut.

𝐻′
𝐸= Dimana 𝐻 max = ln 𝑆
𝐻 𝑚𝑎𝑥

Keterangan
E : Indeks kemerataan
H’ : Indeks keanekaragaman spesies
S : Jumlah spesies

3.5.4 Perhitungan Dominansi


Indeks dominansi digunakan untuk mengetahui sejauh mana suatu
spesies mendominasi spesies yang lain dalam suatu habitat. Dominansi ini
diperoleh dari rumus :

n n
atau ni 2
C = ∑ 𝑃𝑖 2 C = ∑( )
N
i=1
i=1

Keterangan :
C : Indeks Dominansi
ni : Jumlah individu ke-i
N : Jumlah total individu

3.6 Jadwal Penelitian


Jadwal penelitian disajikan dalam tabel berikut.
Tabel 3.1 Jadwal Penelitian

Bulan
No Kegiatan
Okt Nov Des Jan Feb Maret

22
1 Penyusunan proposal

2 Seminar proposal

3 Pengambilan sampel

4 Analisis Data

5 Penulisan laporan

Seminar hasil
6
dan ujian skripsi

23
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, R., et al., 2011, Mapping of Mosquito Breeding Sites In Malaria
Endemic Areas In Pos Lenjang, Kuala Lipis, Pahang, Malaysia,
Malaria Journal, Vol. 10 (1), Pp. 1-12.
Almarinez, B. J. M. & Claveria, F.G., 2015, Larval Mosquito Fauna (Diptera:
Culicidae) of Salikneta Farm, San Jose Del Monte, Bulacan,
Philippines, Philippine Journal of Science, Vol. 144 (1), Pp. 51- 60.
Anwar, C., Lavita, R. A., Handayani, D., 2014, Identifikasi dan Distribusi
Nyamuk Aedes sp. Sebagai Vektor Penyakit Demam Berdarah Dengue
di Beberapa Daerah di Sumatera Selatan, Jurnal MKS, Vol. 2(1), Pp.
111-117.
Arsin, A. A., 2012, Malaria di Indonesia Tinjauan Aspek Epidemiologi,
Makassar, Masagena Press.
Badan Pusat Statistik Kota Mataram, 2018, Kota Mataram dalam Angka 2018,
BPS Kota Mataram, Mataram.
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Vektor dan Reservoir Penyakit, 2015,
Kunci Bergambar Nyamuk Indonesia, Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kementerian RI, Salatiga.
Bates, 1970, The Natural History of Mosquitoes, Gloucester, Mass. Peter Smith,
New York.
Borror, D. J., Triplehorn, C. A. & Johnson, N. F., 1996, Pengenalan Pelajaran
Serangga Edisi ke-6, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Brown, H., 1979, Dasar Parasitologi Klinis Edisi Ketiga, Gramedia, Jakarta.
Bryant, P. J., 2008. Southern House Mosquito Culex quinquefasciatus,
(http://nathistoc.bio.uci.edu), Diunduh jam 16.05 WITA, Tanggal
20/9/2018.
Clements, A. N., 1963, The Physiology of Mosquitoes, Pergamon Press, New
York.
Conelly, C. R., 2015, Eggs of The Common Malaria Mosquito.
(entnemdept.ufl.edu), Diunduh jam 19.47 WITA, Tanggal 7/3/2018.
Departemen Kesehatan RI, 2007, Vektor Malaria di Indonesia, Dit.Jen. PP &
PLP Departemen Kesehatan RI, Jakarta.
Diaz et al., 2011, The Distribution of Potential West Nile Virus Vectors, Culex
pipiens pipiens and Culex pipiens quinquefasciatus (Diptera: Culicidae),
in Mexico City, Journal of Parasit Vectors, Vol. 4 (1), Pp. 1-70.
Dinas Kesehatan Kota Mataram, 2015, Profil Kesehatan Kota Mataram Tahun
2015, Dinas Kesehatan Kota Mataram, Mataram.

24
Dinas Kesehatan Provinsi NTB, 2017, Profil Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara
Barat Tahun 2016, Dinas Kesehatan Provinsi NTB, Mataram.
Eman, G. J., Bernadus, J. & Sorisi, A., 2016, Survei Nyamuk Culex spp. di
Daerah Perumahan Sekitar Pelabuhan Bitung, Jurnal Kedokteran
Klinik, Vol. 1 (1), Pp. 126-131.
Farajollahi, A. & Price, D.C., 2013, A Rapid Identification Guide for Larvae of
The Most Common North American Container-Inhabiting Aedes Species
of Medical Importance, Vol. 29 (3), Pp. 203-221.
Google earth 7.3.1.4507. (Agustus 18, 2018). Pejarakan Karya, Mataram City,
West Nusa Tenggara, Indonesia. 8° 34ʹ 16.25ʺ̍S, 116° 05ʹ 56.89ʺ̍E, Eye alt
7598 feet. SIO, NOAA, U.S. Navy, NGA, GEBCO. DigitalGlobe 2018.
http://www.earth.google.com [September 28, 2018].
Harbach, R., 2008, Famili Culicidae Meigen, Mosquito Taxonomic. Inventory,
Gramedia Pustaka, Jakarta.
Hidayani, 2011, Distribusi Spasial Breeding Site dan Jarak Rumah Penderita
Malaria Di Desa Bulu Bonggu Kecamatan Dapurang Kabupaten
Mamuju Utara, Skripsi, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Hasanuddin Makassar.
Kauffman et al., 2017, Rearing of Culex spp. and Aedes spp. Mosquitoes,
Journal of Bio Protoc, Vol. 7 (17), Pp. 1-25.
Kementerian Kesehatan RI, 2011, Epidemiologi Malaria di Indonesia,
Kementerian Kesehatan RI, Jakarta.
Lane, R.P & Crosskey, R. W., 1993, Medical Insect and Arachnids, Chapman
and Hall, London.
Lee, H. L., 1990. Breeding Habitats and Factors Affecting Breeding of Aedes
Larvae in Urban Towns of Peninsular Malaysia, Journal of Bioscience,
Vol. 1 (2), Pp. 107–112.
Mading, M. & Kazwaini, M., 2014, Ekologi Anopheles spp. di Kabupaten
Lombok Tengah, Jurnal Aspirator, Vol. 6 (1), Pp. 13-20.
Mahdalena, V., Suryaningtyas, N. H. & Ni’mah, T., 2015, Ekologi Habitat
Perkembangbiakan Anopheles spp. di Desa Simpang Empat, Kecamatan
Lengkiti, Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan, Jurnal Ekologi
Kesehatan, Vol. 14 (4), Pp. 342-349.
Marbawati, D, & Sholichah, Z., 2009, Koleksi Referensi Nyamuk Di Desa
Jepangrejo, Kecamatan Blora, Kabupaten Blora. Jurnal Balaba. Vol. 5
(1), Pp. 6-10.
Martens, W. J., Niessen, L. W., Rotmans, J., Jetten, T. H. & McMichael, A. J.,
1997, Potential Impact of Global Climate Change on Malaria Risk,
Journal of Environ Health Perspect, Vol. 103 (5), Pp. 458–464.

25
Matsumura, F., 1985, Toxicology of Insecticides 2nd Edition, Plenum Press,
London.
Montgomery, D. D., 1974, A Guide to The Common Mosquitoes of Jackson
County Vector Control District, Southern Oregon State College, Oregon.
Mulyadi, 2010, Distribusi Spasial dan Karakteristik Habitat Perkembangan
Anopheles spp. serta Peranannya dalam Penularan Malaria di Desa
Doro Kabupaten Halmahera Selatan Provinsi Maluku Utara, Tesis
Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.
Munif, A., 2009, Nyamuk Vektor Malaria dan Hubungannya dengan Aktivitas
Kehidupan Manusia Di Indonesia, Jurnal Aspirator, Vol. 1 (2), Pp. 94-
102.
Muturi, E. J., Kim, C. H., Bara, J., Bach, E. M., Siddappaji, M. H., 2016, Culex
pipiens and Culex restuans Mosquitoes Harbor Distinct Microbiota
Dominated by Few Bacterial Taxa, Journal of Parasit Vectors, Vol. 9
(1), Pp. 1-18.
Natadisastra, D., 2009, Parasitologi Kedokteran : Ditinjau dari Organ Tubuh
yang Diserang, EGC, Jakarta.
Newman, J. M., 2015, Pupa of The Common Malaria Mosquito,
(entnemdept.ufl.edu), Diunduh jam 20.00 WITA, Tanggal 7/3/2018.
Novelani, B., 2007, Studi Habitat dan Perilaku Menggigit Nyamuk Aedes serta
Kaitannya dengan Kasus Demam Berdarah Kelurahan Utan Kayu
Utara, Tesis, Program Pascasarjana, IPB.
Nurmaini, 2003, Mentifikasi Vektor dan Pengendalian Nyamuk Anopheles
aconitus secara Sederhana, Fakultas Kesehatan Masyarakat Bagian
Kesehatan Lingkungan, Universitas Sumatra Utara.
O’Connor, C. T. & Supanto, A., 1979, Kunci Bergambar untuk Anopheles
Dewasa dari Indonesia, Dit.Jen. PPM & PLP. Departemen Kesehatan RI,
Jakarta.
Pemerintah Kota Mataram, 2017, Kecamatan Ampenan,
(http://www.mataramkota.go.id), Diunduh jam 16.16 WITA, Tanggal
16/9/2018.
Rahmawati. E., Hadi, U.K. & Soviana, S., 2014, Keanekaragaman Jenis dan
Perilaku Menggigit Vektor Malaria (Anopheles spp.) di Desa Lifuleo,
Kecamatan Kupang Barat, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur.
Jurnal Entomologi Indonesia, Vol. 11 (2), Pp. 53-64.
Rao, T. R., 1981, The Anophelines of India, Indian Council of Medical Research,
New Delhi.
Rattanarithikul, R., Harrison, B. A., Harbach, R. E., Panthusiri, P. & Colleman, R.
E., Illustrated Keys to The Mosquitoes of Thailand IV. Anopheles, The

26
Southeast Asian Journal of Tropical Medicine and Public Health, Vol. 37
(2), Pp. 1- 90.
Rinidar, 2010, Pemodelan Kontrol Malaria Melalui Pengelolaan Terintegrasi di
Pemukiman Lamteuba, Nangroe Aceh Darussalam, Tesis, Sekolah
Pascasarjana Program Doktor Universitas Sumatera Utara.
Rueda, L. M., 2004. Pictorial Keys for The Identification of Mosquitoes (Diptera
: Culicidae) Associated with Dengue Virus Transmission, Magnolia
Press, New Zealand.
Said, G.P.S., 2012, Survei Keberadaan Jentik Nyamuk Aedes sp. pada Sumur
Gali Milik Warga di Keluraahan Bulusan Kota Semarang (Studi di
Wilayah Kerja Puskesmas Rowosari Semarang). Jurnal kesehatan
masyarakat, Vol. 1 (2), Pp. 326-337.
Sembel, D.T., 2009, Entomologi Kedokteran, Penerbit ANDI, Yogyakarta.
Soedarto, 1992, Entomologi Kedokteran, Penerbit Buku Kedokteran EGC,
Jakarta.
Sudarmaja, I.M. & Mardihusodo, S. J., 2009, Pemilihan Tempat Bertelur
Nyamuk Aedes aegypti pada Air Limbah Rumah Tangga di
Laboratorium, Jurnal Veteriner, Vol. 10 (4), Pp. 205-207.
Sukowati, S., 2008, Masalah Keragaman Spesies Vektor Malaria dan Cara
Pengendaliannya di Indonesia, Badan Litbangkes Depkes RI, Jakarta.
Walker, K., 2008, Anopheles Mosquito (Anopheles farauti), (www.padil.gov.au),
Diunduh jam 09.00 WITA, Tanggal 13/4/2018.
Wong, P. S., Li, M. Z., Chong, C. S., Ng, L. C. & Tan, C. H., 2013, Aedes
(Stegomyia) albopictus (Skuse): A Potential Vector of Zika Virus in
Singapore, Journal of PLoS Negl Trop Dis, Vol. 7(8), e2348.
World Health Organization, 2013, Global Programe To Eliminate Lymphatic
Filariasis : Practical Entomologi, WHO, Geneva.
Yotopranoto, S., Subekti, S., Rosmanida & Salamun, 1998, Analisis Dinamika
Populasi Vektor pada Lokasi dengan Kasus Demam Berdarah Dengue
yang Tinggi di Kotamadya Surabaya, Jurnal Kedokteran Tropis
Indonesia, Vol. 9 (1-2), Pp. 23-31.

27

Anda mungkin juga menyukai