Anda di halaman 1dari 42

0

STUDI EKOLOGI TEMPAT PERINDUKAN VEKTOR MALARIA


DI DAERAH RAWA DESA BATU MENYAN KABUPATEN
PESAWARAN PROVINSI LAMPUNG
TAHUN 2020

PROPOSAL

Oleh :
QOHAR MAULANA MUNTAHA
15310185

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS


KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI
BANDAR LAMPUNG
TAHUN 2020
1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Malaria adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit yang ditularkan ke

manusia oleh nyamuk. Malaria disebabkan oleh parasit mikroskopis spesies

Plasmodium, yaitu Plasmodium malariae, Plasmodium vivax, Plasmodium

falciparum, dan Plasmodium ovale. Empat spesies parasit ini menyebabkan malaria

tetapi Plasmodium falciparum adalah yang paling mematikan. Plasmodium

ditransmisikan ke manusia melalui nyamuk vektor. Nyamuk digambarkan sebagai

'vektor' malaria karena menyebarkan tetapi sebenarnya tidak menyebabkan penyakit.

Penularan malaria dilakukan oleh nyamuk betina spesies Anopheles spp. Infeksi sel

darah merah oleh Plasmodium dapat ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles

spp., transfusi darah, dan suntikan dengan jarum yang sebelumnya telah digunakan

oleh penderita malaria (Depkes RI, 2008).

Penyakit malaria menjadi salah satu masalah kesehatan global. Pada 2017,

diperkirakan ada 219 juta kasus malaria di 90 negara dan kematian malaria mencapai

435.000. Pada 2017, hampir setengah dari populasi dunia berisiko terserang malaria.

Sebagian besar kasus malaria dan kematian terjadi di Afrika sub-Sahara. Namun,

wilayah di Asia Tenggara, Mediterania Timur, Pasifik Barat, dan Amerika juga

berisiko. Pada 2017, 90 negara dan wilayah memiliki penularan malaria yang

berkelanjutan. Wilayah Afrika membawa tempat bagi 92% kasus malaria dan 93%

kematian malaria. Persentase terbesar terjadi di wilayah Afrika (92%), Asia

Tenggara (6%), dan Wilayah Timur Mediterania (3%). Tingkat insidensi malaria

1
2

terhitung menurun sekitar 21% dari tahun 2010-2015, selain itu angka kematian

akibat malaria pun menurun cukup signifikan, yaitu 58% di Kawasan Pasifik Barat,

46% di Wilayah Asia Tenggara, 37% di Wilayah Amerika dan 6% di Wilayah

Mediterania Timur (WHO, 2018).

Pada 2017, dari jumlah 514 kabupaten/kota di Indonesia, 266 (52%) di

antaranya wilayah bebas malaria, 172 kabupaten/kota (33%) endemis rendah, 37

kabupaten/kota (7%) endemis menengah, dan 39 kabupaten/kota (8%) endemis

tinggi. Berdasarkan hasil Riskesdas 2018 diketahui prevalensi malaria mengalami

penurunan yaitu 1,4% pada tahun 2013 menjadi 0,4% pada tahun 2018.

Angka prevalensi malaria masih merupakan salah satu kontribusi penyebab

kematian ibu dan anak secara tidak langsung di Indonesia. Secara nasional, tahun

2011 lalu terjadi penurunan dari 4,68 per 1.000 penduduk menjadi 1,75 per 1.000

penduduk. Namun, angka kejadian malaria tertinggi (63%) terdapat di provinsi NTT,

Papua dan Papua Barat. Pencegahan dan pengobatan infeksi malaria merupakan

prioritas utama. Salah satu pencegahannya dengan mengurangi penularan melalui

perlindungan kelompok rentan seperti ibu hamil dan pengetahuan SDM.

Kasus malaria tertinggi pada tahun 2015 di Lampung yaitu di Kabupaten

Pesawaran. Kasus ini berhubungan erat dengan tingginya angka gigitan nyamuk

Anopheles yang diukur dengan indikator Man Biting Rate (MBR) = jumlah nyamuk

yang menggigit per-orang perjam (Dinas Kesehatan Provinsi Lampung, 2015).

Angka Annual Parasite Incidence (API) di Kabupaten Pesawaran selama rentang

waktu 5 tahun (2011- 2015) telah tercatat dengan hasil fluktuatif. Pada tahun 2011,

angka API tercatat 4,76 per 1.000 penduduk, menurun menjadi 1 per 1.000 penduduk

pada tahun 2012. Meningkat kembali menjadi 4,77 per 1.000 penduduk - pada tahun
3

2013, tahun 2014 meningkat menjadi 7,26 per 1.000 penduduk, dan pada tahun 2015

menurun menjadi 6,36 per 1.000 penduduk (Dinas Kesehatan Kabupaten Pesawaran,

2016).

Secara geografis kabupaten pesawaran secara umum memiliki iklim tropis

sebagaimana iklim provinsi lampung pada umumnya, curah hujan per tahun berkisar

antara 2.264 mm sampai dengan 2.868 mm dan jumlah hari hujan antara 90 sampai

dengan 176 hari/tahun. Desa Batu Menyan sangat berpotensial sebagai tempat

berkembang biaknya nyamuk Anopheles sebagai vektor penular penyakit malaria

karena sebagian wilayahnya berupa rawa dan daerah tambak yang terbengkalai.

(Depkes, 2009).

Angka Annual Paracite Incident (API) salah satunya dipengaruhi oleh faktor

lingkungan yang berpengaruh terhadap penyakit malaria yaitu lingkungan fisik

mencakup (suhu, kelembaban, hujan, ketinggian, angin, sinar matahari, arus air dan

tempat perindukan), lingkungan biologi (tumbuhan bakau, lumut, ikan pemakan

larva), dan lingkungan kimia (pH air, salinitas air) (Hermawan, 2016).

Faktor lingkungan sangat mempengaruhi peningkatan penyebaran penyakit

malaria. Tempat perindukan nyamuk Anopheles spp. Dipengaruhi oleh lingkungan

fisik yang terdiri dari tempat perindukan (breeding site), suhu, kedalaman air,

kelembaban, curah hujan antara 90 sampai dengan 176 hari/tahun yang berhubungan

dengan kehidupan nyamuk dalam penyebaran malaria maupun kehidupan parasit

Anopheles spp (Yamko, 2009).

Populasi nyamuk di alam dipengaruhi oleh lingkungan fisik, kimia dan biologi.

Lingkungan fisik yang berpengaruh pada perkembangbiakan nyamuk malaria yaitu

suhu air, curah hujan, kedalaman air, kelembaban, sinar matahari. lingkungan kimia,
4

yaitu pH air, salinitas. lingkungan biologi, yaitu hewan pemangsa dan tumbuhan air

(Depkes RI, 2001).

Hasil presurvey yang dilakukan di Desa Batu Menyan diketahui bahwa

terdapat daerah potensial sebagai tempat perindukan nyamuk Anopheles spp seperti

tambak yang terlantar, selokan yang tergenang dan daerah pantai (hutan bakau).Oleh

karena itu, peneliti tertarik untuk meneliti bagaimana karakteristik tempat perindukan

nyamuk Anopheles spp yang potensial sebagai vektor malaria di Desa Batu Menyan

Kecamatan Teluk Pandan Kabupaten Pesawaran.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah faktor fisik (suhu air, dan kedalaman air) tempat perindukan

vektor malaria di Desa Batu Menyan Kecamatan Teluk Pandan Kabupaten

Pesawaran Provinsi Lampung Tahun 2020?

2. Bagaimanakah faktor kimia (pH air, salinitas air, oksigen terlarut) tempat

perindukan vektor malaria di Desa Batu Menyan Kecamatan Teluk Pandan

Kabupaten Pesawaran Provinsi Lampung Tahun 2020?

3. Bagaimanakah faktor biologi (jenis tumbuhan yang hidup dalam perairan,

jenis hewan yang hidup di daerah perindukan nyamuk) di Desa Batu Menyan

Kecamatan Teluk Pandan Kabupaten Pesawaran Provinsi Lampung Tahun

2020?

4. Bagaimana korelasi faktor fisik, kimia, dan biologi dengan kepadatan larva

nyamuk Anopheles spp. di Desa Batu Menyan Kecamatan Teluk Pandan

Kabupaten Pesawaran Provinsi Lampung Tahun 2020?

1.3 Tujuan Penelitian


5

1.3.1 Tujuan umum

Mengetahui faktor ekologi (fisik, kimia dan biologi) tempat perindukan vektor

malaria yang berhubungan dengan kepadatan larva Anopheles spp. di Desa Batu

Menyan Kecamatan Teluk Pandan.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui faktor fisik (suhu air, dan kedalaman air) tempat perindukan

vektor malaria di Desa Batu Menyan Kecamatan Teluk Pandan Kabupaten

Pesawaran Provinsi Lampung Tahun 2020.

2. Mengetahui faktor kimia (pH air, salinitas air, oksigen terlarut) tempat

perindukan vektor malaria di Desa Batu Menyan Kecamatan Teluk Pandan

Kabupaten Pesawaran Provinsi Lampung Tahun 2020.

3. Mengetahui faktor biologi (jenis tumbuhan yang hidup dalam perairan, jenis

hewan yang hidup di daerah perindukan nyamuk) di Desa Batu Menyan

Kecamatan Teluk Pandan Kabupaten Pesawaran Provinsi Lampung Tahun

2020.

4. Mengetahui korelasi faktor fisik, kimia, dan biologi dengan kepadatan larva

nyamuk Anopheles spp. di Desa Batu Menyan Kecamatan Teluk Pandan

Kabupaten Pesawaran Provinsi Lampung Tahun 2020.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat bagi peneliti

Penelitian ini merupakan pengalaman ilmiah yang sangat berharga bagi

meningkatan pengetahuan dan dan menambah wawasan karakteristik tempat

perindukan nyamuk Anopheles spp. dan sebagai pengendalian penyebaran

nyamuk vektor malaria.


6

1.4.2 Manfaat bagi ilmu kajian parasitology

Hasil penelitian diharapkan dapat menambah pustaka tentang faktor- faktor

yang mempengaruhi tempat perindukan larva Anopheles spp.

1.4.3 Manfaat bagi Pemerintah Daerah/Intansi Terkait

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan informasi ebagai dasar ilmiah

dalam penanggulangan penyakit malaria secara terpadu melibatkan berbagai

pihak, seperti Dinas kesehatan, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Lingkungan

Hidup dan Dinas pertanian.

1.4.4 Manfaat bagi masyarakat

Hasil penelitian ini diharapkan sebagai dasar pengetahuan dan pemikiran serta

menjadi informasi dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit

malaria. sehingga masyarakat lebih peduli dalam menjaga lingkungannya

dengan baik terhindar dari tempat-tempat potensial sebagai vektor malaria,

supaya bebas akan penyakit malaria.

BAB II
7

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Malaria

2.1.1 Definisi

Malaria adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh protozoa intraseluler

obligat dari genus plasmodium. Malaria pada manusia dapat disebabkan oleh

Plasmodium malariae, Plasmodium vivax, Plasmodium falciparum, dan

Plasmodium ovale. Penyebaran penyakit malaria ditentukan oleh tiga faktor

yang dikenal sebagai host, agent, dan environment (Irianto, 2013).

Penyakit malaria disebabkan oleh parasit malaria (yaitu suatu protozoa

darah yang termasuk genus Plasmodium) yang dibawa oleh nyamuk Anopheles.

Ada empat spesies Plasmodium penyebab malaria pada manusia yaitu

Plasmodium vivax, Plasmodium falciparum, Plasmodium malariae,

Plasmodium ovale. Masing-masing spesies plasmodium menyebabkan infeksi

malaria yang berbeda. Plasmodium vivax menyebabkan malaria vivax/tertiana,

Plasmodium falciparum menyebabkan malaria falciparum/tropika, Plasmodium

malariae menyebabkan malaria malariae/quartana, dan Plasmodium ovale

menyebabkan malaria ovale (Sucipto, 2015).

Keluhan utama yang khas pada malaria disebut “trias malaria” yangterdiri

dari 3 stadium yaitu:

1. Stadium menggigil

Pasien merasa kedinginan yang dingin sekali, sehingga menggigil. Nadi

7
8

cepat tapi lemah, bibir dan jari-jari tangan biru, kulit kering dan pucat.

Biasanya pada anak didapatkan kejang. Stadium ini berlangsung 15 menit

sampai 1 jam.

2. Stadium puncak demam

Pasien yang semula merasakan kedinginan berubah menjadi panas sekali.

Suhu tubuh naik hingga 41oC sehingga menyebabkan pasien kehausan.

Muka kemerahan, kulit kering dan panas seperti terbakar, sakit kepala makin

hebat, mual dan muntah, nadi berdenyut keras. Stadium ini berlangsung 2

sampai 6 jam.

3. Stadium berkeringat

Pasien berkeringat banyak sampaibasah, suhu turun drastis bahkan mencapai

dibawah ambang normal. Penderita biasanya dapat tidur nyenyak dan saat

bangun merasa lemah tapi sehat. Stadium ini berlangsung 2 sampai 4 jam.

2.1.2 Klasifikasi Plasmodium

Subordo haemosporina terdiri dari tiga famili, yaitu Plamodiidae,

Haemoproteidae dan Leucocytozoonidae. Macrogametocyt dan

microgametocyst berkembang secara terpisah. Bentuk zygot adalah motil disebut

ookinet, sedangkan sporozoit berada dalam dinding spora. Protozoa ini adalah

heteroxegenous, dimana merozoit diproduksi di dalam hospes vetebrata dan

sporozoit berkembang dalam hospes invertebrata, dan merupakan suatu

protozoa darah yang klasifikasinya:

Filum : Apicomplexa

Kelas : Sporozoa

Sub kelas : Cocidiidae


9

Ordo : Eucoccidiidae

Sub ordo : Haemosporidiidae

Famili : Plasmodiidae

Genus : Plasmodium

Spesies : Plasmodium falciparum, Plasmodium vivax,

Plasmodium malariae, Plasmodium ovale

2.1.3 Morfologi Plasmodium

2.1.3.1 Plasmodium falciparum

1. Bentuk tropozoit

Bentuk seperti cincin dengan inti yang kecil dan sitoplasma halus, sering

ditemukan bentuk cincin dengan dua inti. Pada tropozoit dewasa, sitoplasma

berbentuk ovale dan tidak teratur, pigmen berkumpul menjadi satu kelompok

dan berwarna hitam. Tropozoit dewasa biasanya ditemukan pada infeksi

berat.

2. Bentuk skizon

Jarang ditemukan, biasanya ditemukan dengan tropozoit dewasa yang

berjumlah banyak. Bentuknya kecil sitoplasma pucat, pigmen berwarna

gelap. Pada skizon dewasa terdapat merozoit yang berjumlah 20.

3. Bentuk gametosit

Berbentuk seperti pisang, pigmen tersebar sampai ke ujung, terdapat balon

merah dipinggir parasit. Bentuk gametosit dapat ditemukan bersamaan

dengan bentuk tropozoit.


10

2.1.3.2 Plasmodium vivax

1. Bentuk tropozoit

Bentuk seperti cincin ukuran lebih besar dari tropozoit Plasmodium

falciparum dengan sitoplasma yang bentuknya tidak teratur. Sedangkan

tropozoit dewasa bentuk sitoplasmanya amoboit dengan inti yang besar.

Pigmen berwarna coklat kekuningan yang tersebar pada sebagian sitoplasma

dan bila bentuknya bulat tanpa vakuola akan sulit di bedakan dengan bentuk

gametosit.

2. Bentuk skizon

Bentuk tidak teratur, sitoplasma terpecah-pecah dalam kelompok dan

pigmennya berwarna coklat. Pada skizon dewasa terdapat 16 merozoit yang

ukurannya lebih besar dari plasmodium lain

3. Bentuk gametosit

Berbentuk bulat dengan inti ditengah sitoplasma, disekelilingnya terdapat

daerah yang tidak berwarna. Makrogametosit lebih besar dari Plasmodium

lain yang tidak dapat dibedakan dengan bentuk tropozoit dewasa. Pigmen

halus dan terbesar pada sitoplasma. Mikrogametosit mempunyai inti besar

berwarna merah muda, sitoplasma pucat dengan pigmen yang terbesar.

2.1.3.3 Plasmodium malariae

1. Bentuk tropozoit

Bentuk seperti cincin dengan sitoplasma tebal dengan inti yang besar. Pada

tropozoit dewasa bentuk cincin berukuran lebih besar, pigmen kasar dan

sering menutupi inti. Sulit dibedakan dengan bentuk gametosit Plasmodium

falciparum.
11

2. Bentuk skizon

Ukurannya lebih kecil dari Plasmodium vivax. Bentuk kecil seperti bunga

mawar. Jumlah merozoit rata-rata 8, sering hanya inti dan pigmen yang

terlihat.

3. Bentuk gametosit

Pigmen padat, gelap dan menggumpal. Bentuknya sama dengan tropozoit

yang berkelompok sehingga sulit dibedakan dan jumlah dalam darah sedikit

2.1.3.4 Plasmodium ovale

Plasmodium ovale merupakan parasit yang jarang terdapat pada manusia,

bentuknya mirip dengan Plasmodium vivax. Sel darah merah yang dihinggapi

akan sedikit membesar, bentuknya lonjong dan bergerigi pada satu ujungnya

adalah khas Plasmodium ovale. Plasmodium ovale menyerupai Plasmodium

malariae pada bentuk skizon dan tropozoid yang sedang tumbuh.

2.1.4 Penyebab Malaria

Blum dari hasil penelitiannya di Amerika menyatakan bahwa statsus kesehatan

seseorang itu di pengaruhi oleh 4 faktor, lingkungan, perilaku, pelayanan kesehataan,

dan herditas atau keturunan.H.L.Blum menyimpulkan bahwa lingkungan mempunyai

andil yang paling besar terhadap status kesehatan; kemudian berturut-turut disusul oleh

perilaku, pelayanan kesehatan, dan keturunan yang mempunyai andil paling kecil

terhadap statsus kesehatan. Keempat faktor tersebut selain beerpengaruh langsung

kepada kesehatan juga saling berpengaruh satu sama lain. Status kesehatan akan

tercapai secara optimal jika keempat faktor tersebut secara bersama-sama mempunyai

kondisi yang optimal pula. Jika salah satu faktor berada dalam keadaan yang tidak

optimal, maka status kesehatan akan bergeser kea rah dibawah optimal.
12

Konsep hidup sehat H.L.Blum sampai saat ini masih relevan untuk diterapkan.

Kondisi sehat secara holistic bukan saja kondisi sehat secara fisik melainkan juga

spititual dan sosial dalam bermasyarakat. Untuk menciptakan kondisi sehat seperti di

perlukan suatu keharmonisan dalam menjaga kesehatan tubuh. H.L.Blum menjelaskan

ada empat faktor utama yang mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat.Keempat

faktor tersebut merupakan faktor determinan timbulnya masalah kesehatan.

Keempat faktor tersebut terdiri dari faktor lingkungan (sosial,ekonomi, politik,

budaya), faktor perilaku/gaya hidup (life style), faktor pelayanan kesehatan

(jenis cakupan dan kualitasnya) dan faktor genitik (keturunan). Keempat faktor

tersebut saling berinteraksi yang mempengaruhi kesehatan perorangan dan derajat

kesehatan masyarkat.

Diantara faktor tersebut faktor perilaku manusia merupakan faktor

determinan yang paling besar dan paling sukar di tanggulamgi, disusul dengan faktor

lingkungan. Hal ini disebabkan karena faktor perilaku yang lebih dominan

dibandingkan dengan faktor lingkungan karena lingkungan hidup manusia juga sangat

berpengaruhi oleh perilaku masyarakat.

Munculnya penyakit malaria disebabkan oleh berbagai faktor yang menunjang

vektor nyamuk anhopeles bisa tetap survival karena penyesuaian terhadap

lingkungan yang ada sehingga faktor yang pertama adalah lingkungan kemudia

perilaku, pelayanan kesehatan, dan hereditas. Hal ini serupa yang di ungkapkan oleh

Hendrick L. Blum (1974) bahwa faktor yang mempengaruhi derajat kesehatan

masyarkat adalah:

a. Lingkungan

b. Perilaku
13

c. Pelayanan kesehatan

d. Hereditas

Status kesehatan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu lingkungan, perilaku,

pelayanan kesehatan, hereditas.

2.1.4.1 Parasit malaria

Penyakit malaria disebabkan oleh parasit malaria yang dibawah oleh nyamuk

Anopheles spp. Ada empat Plasmodium penyebab malaria pada manusia yaitu

Plasmodium vivax menyebabkan malaria tertian, Plasmodium falciparum

menyebabkan malaria tropika, Plasmodium malariae menyebabkan malaria

quartana, dan Plasmodium ovale menyebabkan malaria ovale.

2.1.4.2 Nyamuk Anopheles spp

Penyakit malaria pada manusia hanya dapat ditularkan oleh nyamuk Anopheles

betina. Nyamuk Anopheles spp hidup didaerah iklim tropis dan subtropis tetapi

juga dapat hidup di daerah beriklim sedang. Tempat perindukkannya bevariasi

dan dapat dibagi menjadi tiga kawasan yaitu pantai, pedalaman dan kaki

gunung.

2.1.4.3 Manusia yang rentan terhadap infeksi manusia

Secara alami penduduk disuatu daerah endemis malaria ada yang mudah dan ada

yang sukar terinfeksi malaria. Perpindahan penduduk dari daerah endemis

malaria hingga kini masih menimbulkan masalah. Hal ini terjadi karena pekerja

yang datang dari daerah lain belum mempunyai kekebalan sehingga rentan

terinfeksi.
14

2.1.4.4 Lingkungan

Keadaan lingkungan berpengaruh besar terhadap ada tidak malaria disuatu

daerah. Adanya genangan air hujan, persawahan, tambak ikan, pembukaan

hutan, dan pertambangan disuatu daerah akan meningkatkan timbulnya penyakit

malaria karena tempat-tampat tersebut merupakan tempat perindukan nyamuk

malaria (Prabowo, 2010).

2.1.5 Siklus Hidup

Di dalam tubuh manusia dan nyamuk dan Anopheles spp berlangsung daur hidup

Plasmodium. Manusia merupakan hospes perantara tempat berlangsungnya daur

hidup aseksual sedangkan di dalam tubuh nyamuk berlangsung daur hidup seksual

(Soedarto, 2011). Daur hidup aseksual terdiri dari empat tahapan, yaitu tahap

skizogoni preeritrositik, tahap skizogoni eksoeritrositik, tahap skizogoni eritrositik

dan tahap gametogoni. Di dalam sel-sel hati berlangsung tahap skizogoni

preeritrositik dan skizogoni eksoeritrositik berlangsung di dalam sel-sel hati,

sedangkan di dalam sel-sel eritrosit berlangsung tahap skizogoni eritrositik dan

tahap gametogoni (Soedarto, 2011).

2.1.5.1 Fase aseksual

1. Tahap skizogoni preeritrositik

Sporozoit plasmodium yang masuk bersama gigitan nyamuk Anopheles spp

mula-mula kan memasuki jaringan sel-sel parenkim hati dan berkembang biak di

sana. Pada Plasmodium vivax tahap skizogoni preeritrositik berlangsung selama

8 hari, pada Plasmodium falciparum berlangsung selama 6 hari, dan pada

Plasmodium ovale tahap ini berlangsung selama hari. Lamanya tahap skizogoni

preeritrositik pada Plasmodium malariae sukar ditentukan. Di dalam jaringan


15

hati siklus preeritrositik pada Plasmodium falciparum hanya berlangsung satu

kali, sedangkan pada spesies lainnya siklus ini dapat berlangsung berulang kali.

2. Tahap skizogoni eksoeritrositik

Local liver cycle disebut skizogoni eksoeritrositik yang merupakan sumber

pembentukan stadium aseksual parasit yang menjadi penyebab terjadinya

kekambuhan pada malaria vivax, malaria ovale dan malaria malariae.

3. Tahap skizogoni eritrositik

Siklus ini terjadi di dalam sel darah merah ini berlangsung selama 48 jam pada

Plasmodium vivax, Plasmodium falciparum, dan Plasmodium ovale sedangkan

pada Plasmodium malariae berlangsung setiap 72 jam. Pada tahap skizogoni

eritrositik ini akan terjadi bentuk-bentuk trofozoit, skizon dan merozoit yang

mulai dijumpai 12 hari sesudah terinfeksi Plasmodium vivax, dan 9 hari sesudah

terinfeksi Plasmodium falciparum. Meningkatnya jumlah parasit malaria karena

multiplikasi pada tahap skizogoni eritrositik mengakibatkan pecahnya sel retrosit

yang menyababkan terjadinya demam yang khas pada gejala klinis malaria.

4. Tahap gametogoni.

Sebagian dari merozoit yang terbentuk sesudah tahap skizogoni eritrositik

berlangsung beberapa kali, akan berkembang menjadi bentuk gametosit.

Pembentukan gametosit terjadi di dalam eritrosit yang terdapat di dalam kapiler-

kapiler limpa dan sumsum tulang. Tahap gametogoni ini berlangsung selama 96

jam dan hanya gametosit yang sudah matang dapat ditemukan di dalam darah

tepi. Gametosit tidak menyebabkan gangguan klinik pada penderita malaria,

sehingga penderita dapat bertindak sebagai karier malaria (Soedarto, 2011).

2.1.5.2 Fase seksual


16

Nyamuk Anopheles spp adalah hospes definitif Plasmodium karena di dalam

badan nyamuk berlangsung daur hidup seksual atau siklus sporogoni. Gametosit,

baik mikrogametosit maupun makrogametosit yang terhisap bersama darah

manusia di dalam badan nyamuk akan berkembang menjadi bentuk gamet dan

akhirnya menjadi bentuk sporozoit yang infeksi bagi manusia. Untuk dapat

menginfeksi seekor nyamuk Anopheles spp sedikitnya dibutuhkan 12 parasit

gametosit Plasmodium per mililiter darah. Proses awal pematangan parasit

terjadi di dalam lambung nyamuk dengan terbentuknya 4 sampai 8 mikrogamet

dari satu mikrogametosit, perkembangan dari satu makrogametosit menjadi satu

makrogamet. Sesudah terjadi fusi antara mikrogamet dengan makrogamet

menjadi zigot, dalam waktu 24 jam zigot akan berkembang menjadi ookinet.

Sesudah menembus dinding lambung nyamuk ookinet akan memasuki jaringan

yang terdapat di antara lapisan epitel dan membran basal dinding lambung, lalu

berubah bentuk menjadi ookista.

Di dalam ookista yang bulat bentuknya akan terbentuk ribuan sporozoit. Ookista

yang telah matang akan pecah dindingnya adan sporozoit akan keluar

meninggalkan ookista yang pecah lalu memasuki hemokel tubuh nyamuk.

Sporozoit kemudian menyebar ke berbagai organ nyamuk, sebagian besar

sporozoit memasuki kelenjar ludah nyamuk sehingga nyamuk menjadi vektor

yang infektif dalam penularan malaria. Di dalam tubuh seekor nyamuk

Anopheles spp betina, dapat hidup lebih dari satu spesies Plasmodium secara

bersama sehingga dapat menyebabkan terjadinya infeksi campuran (Soedarto,

2011).
17

Gambar 2.1 Fase Hidup Plasmodium

Selama daur hidupnya (life cycle) terdapat empat stadium perkembangan nyamuk yaitu

telur, larva, pupa, dan nyamuk dewasa (imago). Tiga stadium pertama, yaitu telur, larva

dan pupa hidup didalam air (akuatik) berlangsung selama 5-14 hari (tergantung pada

spesies dan suhu lingkungannya). Nyamuk dewasa betina di alam umumnya berumur

kurang dari 2 minggu, namun nyamuk dewasa yang dipelihara dilaboratorium dapat hidup

lebih dari satu bulan.

Gambar 2.2 Siklus hidup nyamuk Anopheles spp


18

1. Telur Nyamuk

Seekor nyamuk betina dapat mengeluarkan 50-200 butir telur setiap kali bertelur.

Telur yang mempunyai pelampung dikedua sisinya berukuran 0,5 x 0,2 mm, diletakkan

satu per satu secara langsung di permukaan air.

Gambar 2.3 Telur Nyamuk Anopheles spp

2. Larva Anopheles spp

Larva atau jentik nyamuk Anopheles spp memiliki kepala yang tumbuh baik

dilengkapi sikat mulut untuk makan, dada (thorax) yang besar dan abdomen yang terdiri

dari sembilan segmen perut. Larva tidak mempunyai kaki, larva menghisap udara

melalui spirakel (lubang hawa) yang terdapat pada segmen abdomen ke-8 sehingga

larva Anopheles spp harus sering menuju kepermukaan air unuk bernapas. Larva akan

mengalami metamorfosis dan berubah bentuk menjadi kepompong atau pupa.

Gambar 2.4 Larva Anopheles spp


19

3. Pupa Anopheles spp

Pupa Anopheles spp jika dilihat dari samping berbentuk koma, kepala

dan toraknya menyatu menjadi cephalothorax sedangkan abdomennya melengkung

ke bawah. Pupa harus sering berenang menuju permukaan air untuk bernafas dengan

menggunakan alat pernafasan berbentuk terompet yang terdapat pada bagian

cephalothorax. Beberapa hari dalam bentuk pupa, kulit bagian dorsal cephalothorax

akan terkelupas dan nyamuk dewasa akan keluar dari kepompongnya.

Gambar 2.5 Pupa Anopheles spp

4. Nyamuk dewasa Anopheles spp

Perkembangan dari telur ke nyamuk dewasa membutuhkan waktu sekitar 5-

14 hari tergantung pada suhu ambien. Di daerah tropis umumnya di butuhkan waktu

10-14 hari. Nyamuk dewasa mempunyai bentuk tubuh yang langsing, dan

terbagi menjadi 3 bagian yaitu kepala, thorax, dan abdomen. Anopheles spp dewasa

dapat dibedakan dari nyamuk lainnya dengan melihat pulpus nyamuk Anopheles spp

yang panjangnya sama dengan panjang probosis. Selain itu sayap Anopheles spp

mempunyai bercak sisik yang berwarna hitam putih. Nyamuk Anopheles spp dewasa

mudah dikenal dari posisi tubuhnya pada waktu beristrahat, yaitu membentuk

sudut dengan permukaan tempatnya hinggap, dan tidak sejajar dengan permukaan

tempat hinggap yang terjadi pada nyamuk lainnya. Jarak terbang nyamuk ini tidak
20

lebih dari 0,5-3 km dari tempat perindukannya, jika ada tiupan angin yang kencang,

bisa terbawa sejauh 20-30 km.

Gambar 2.6 Nyamuk dewasa Anopheles spp

2.2 Faktor Ekologi Larva Nyamuk Malaria

Penyebaran tempat berkembang biak Anopheles spp. hampir merata di seluruh

tipe perairan, tidak hanya di laguna, tapi juga persawahan, tambak, dan lain-lain.

Secara geografis lokasi penelitian merupakan daerah pantai dengan spesies

Anopheles yang paling banyak dijumpai adalah Anopheles vagus dan Anopheles

subpictus. Kepadatan jentik menjadi indikator bahwa tempat tersebut merupakan

tempat yang kondusif untuk perkembangbiakan Anopheles spp. Jentik nyamuk

Anopheles subpictus yang dapat bertahan hidup di air tawar dan payau terutama

pada musim hujan, sering di jumpai di kubangan kerbau, saluran air dan sawah.

Berdasarkan Atlas vektor penyakit di Indonesia, jentik Anopheles subpictus sering

dijumpai dikubangan kerbau, saluran air, kolam ikan, tempat semen, saluran air di

kebun, talang air dan kadang ditemukan di sawah, parit sumur, tepi danau yang

berumput, dan sungai.

2.2.1 Lingkungan Fisik

Lingkungan fisik yang sangat berpengaruh pada perkembangbiakan jentik

nyamuk malaria dan nyamuk malaria, antara lain:


21

a. Suhu

Habitat perkembangbiakan yang terpapar sinar matahari langsung dapat

menyebabkan peningkatan suhu air. Suhu air dipengaruhi oleh suhu lingkungan

dan paparan sinar matahari pada habitat perkembangbiakan Anopheles spp.

Derajat suhu mempengaruhi kadar oksigen terlarut dalam air yang penting bagi

kelangsungan hidup jentik. Semakin tinggi suhu maka semakin rendah

kelarutan oksigen. Pada suhu yang ekstrim jentik Anopheles spp. tidak dapat

berkembang biak bahkan akan mengalami kematian. Rata-rata suhu optimum

untuk pertumbuhan nyamuk adalah 25°C-27°C. Chwatt menyatakan suhu

udara optimum bagi kehidupan nyamuk berkisar antara 25°C-30°C,serta

pertumbuhan akan berhenti sama sekali bila suhu kurang dari 10°C atau lebih

dari 40°C.

Lingkungan fisik yang dapat mempengaruhi kehidupan nyamuk diantaranya

adalah faktor suhu udara. Nyamuk termasuk hewan berdarah dingin (cold

blooded animal) atau poikilothermic yaitu suhu tubuhnya bervariasi

dipengaruhi langsung oleh suhu lingkungannya atau dapat disesuaikan tetapi

pada rentang yang sempit. Temperatur berpengaruh terhadap pertumbuhan dan

perkembangan (development) serta kematian serangga.

b. Kelembaban nisbi udara

Kelembaban udara (humidity) berpengaruh pada metabolisme di dalam tubuh

nyamuk. Demikian juga lamanya waktu perkembangan nyamuk dan waktu

penetasan telur, karena semakin tinggi kelembaban, telur akan semakin cepat

menetas. Waktu peletakkan telur pun meningkat bila keadaan kelembaban

udara juga meningkat. Selain itu, kelembaban juga berpengaruh terhadap


22

tingkat aktivitas nyamuk. Pada kisaran kelembaban tertentu, aktivitas nyamuk

ada yang kurang aktif dan ada yang lebih aktif. Kelembaban udara juga

mempengaruhi umur nyamuk. Pada kelembaban udara <60% umur nyamuk

akan menjadi pendek, nyamuk akan cepat payah, kering dan cepat mati.

Kelembaban udara juga mempengaruhi umur nyamuk. Pada kelembaban udara

<60% umur nyamuk akan menjadi pendek, nyamuk akan cepat payah, kering

dan cepat mati (Mading dan Kazwaini, 2014).

c. Hujan

Hujan menyebabkan naiknya kelembaban nisbi udara dan menambah jumlah

tempat perkembangbiakan (breeding places) dan terjadinya epidemi malaria.

Besar kecilnya pengaruh tergantung pada jenis dan derasnya hujan, jenis

vektor dan jenis tempat perindukan.Hujan yang diselingi panas akan

memperbesar kemungkinan berkembang biaknya nyamuk Anopheles

(Harijanto, 2007).

Menurut Departemen Kesehatan RI (2001), curah hujan yang cukup tinggi

dengan jangka waktu yang lama akan memperbesar kesempatan nyamuk

untuk berkembang biak secara optimal.

d. Ketinggian

Lokasi setiap ketinggian naik 100 meter maka selisih suhu udara dengan

tempat semula 0,5ºC. Bila perbedaan tempat cukup tinggi, maka perbedaan

suhu udara juga cukup banyak dan mempengaruhi faktor-faktor yang lain,

termasuk penyebaran nyamuk, siklus pertumbuhan parasit di dalam nyamuk

dan musim penularan. Secara umum malaria berkurang pada ketinggian yang
23

semakin bertambah pada ketinggian di atas 2000 m jarang ada transmisi

malaria (Harijanto, 2007).

e. Angin

Angin secara langsung berpengaruh pada penerbangan nyamuk dan ikut

menentukan jumlah kontak antara nyamuk dan manusia. Kecepatan angin 10–

14 m/detik atau 25–31 mil/jam akan menghambat penerbangan nyamuk

(Harijanto, 2007). Angin mempengaruhi jarak terbang nyamuk. Jarak terbang

nyamuk dapatdiperpendek atau diperpanjang tergantung dari arah angin.

Anopheles spp betina dewasa tidak ditemukan lebih dari 2-3 km dari lokasi

tempat perindukan vektor (TPV) dan mempunyai sedikit kemampuan untuk

terbang jauh, namun angin kencang dapat membawa Anopheles spp terbang

sejauh 30 km atau lebih (Hoedojo, 2008).

f. Sinar matahari

Menurut kesukaan terhadap sinar matahari, ada tiga kelompok Anopheles spp.

dalam menentukan tempat perkembang-biakannya. Terdapat jenis Anopheles

spp. yang menyukai tempat perkembangbiakannya terkena langsung sinar

matahari (Anopheles. maculatus dan Anopheles subpictus); jenis nyamuk

Anopheles spp. yang tidak menyukai tempat perkembangbiakannya terkena

sinar matahari secara langsung (Anopheles umbrosus dan Anopheles

leucosphyrus; dan jenis nyamuk Anopheles spp. yang menyukai tempat

perkembangbiakannya terkena atau tidak terkena secara langsung sinar

matahari (Anopheles barbirostris, Anopheles culicifacies, Anopheles

albimanus, dan Anopheles stephensi) (Mading dan Kazwaini, 2014).


24

g. Arus air

Anopheles barbirostris menyukai perindukan yang airnya statis/ mengalir

lambat, sedangkan Anopheles minimus menyukai aliran air yang deras dan

Anopheles letifer menyukai air tergenang (Depkes RI, 1993).

h. Kedalaman air

Larva nyamuk ditemukan sebagian besar di tempat yang kumpulan airnya

dangkal. Hal ini diperkirakan bahwa erat kaitannya dengan beberapa cara

makan atau frekuensi pernafasan dari larva tersebut (Takken dan Knols,

2008).

2.2.2 Lingkungan Kimia

Lingkungan kimia yang paling mendukung terhadap kelanjutan perkembang-

biakan vektor malaria adalah pH, salinitas, oksigen terlarut (DO), dan kebutuhan

oksigen biologi (BOD). pH mempunyai pengaruh besar terhadap pertumbuhan

organisma yang berkembang biak di akuatik. pH air tergantung kepada suhu air,

oksigen terlarut, dan adanya berbagai anion dan kation serta jenis stadium

organisme (Takken dan Knols 2008).

a. Derajat Keasaman (pH air)

Besarnya pH dalam suatu perairan adalah besarnya konsentrasi ion hidrogen

yang terdapat di dalam perairan tersebut. Secara alamiah pH diperairan

dipengaruhi oleh konsentrasi CO2 dan senyawa-senyawa yang bersifat asam.

Kadar CO2 dalam suatu perairan dipengaruhi oleh proses fotosintesis dan

respirasi. Fitoplankton dan tanam air akan mengambil CO2 untuk kegiatan

fotosintesis. Oleh sebab itu, nilai pH perairan pada pagi hari menjadi rendah,

meningkat pada siang hari, dan maksimum pada sore hari (Mulyanto,1992).
25

Sebagian besar biota akuatik sangat sensitif terhadap perubahan pH dan

menyukai nilai pH sekitar 7-8,5. Nilai pH sangat berpengaruh terhadap proses

biokimiawi suatu perairan, misalnya proses nitrifikasi akan berakhir jika pH

rendah (Effendi, 2003).

b. Salinitas

Salinitas air sangat berpengaruh terhadap ada tidaknya malaria disuatu daerah.

Adanya danau, genangan air, persawahan, kolam ataupun parit disuatu daerah

yang merupakan tempat perindukan nyamuk, sehingga meningkatkan

kemungkinan timbulnya penularan penyakit malaria (Prabowo, 2004). Salinitas

merupakan ukuran yang dinyatakan dengan jumlah garam–garam yang larut

dalam suatu volume air. Tinggi rendahnya salinitas ditentukan oleh banyaknya

garam-garam yang larut dalam air.

Berdasarkan kemampuannya untuk menyesuaikan diri terhadap salinitas,

organisme perairan dapat digolongkan menjadi dua, yaitu stenohaline dan

euryhaline. Stenohaline adalah organisme perairan yang mempunyai kisaran

kemampuan untukmenyesuaikan diri terhadap salinitas sempit, sedangkan

euryhaline adalah organisme perairan yang mempunyai kisaran kemampuan

untuk menyesuaikan diri terhadap salinitas yang lebar (Odum, 1998).

Jentik Anopheles subpictus biasanya ditemukan bersama-sama dengan

Anopheles sundaicus serta tumbuh optimal pada air payau dengan kadar garam

antara 12-18 ppm dan tidak berkembang biak pada kadar garam 40 ppm ke

atas. Jentik Anopheles subpictus lebih toleran terhadap kadar garam sehingga

dapat ditemukan di tempat yang mendekati tawar atau juga di tempat yang

kadar garamnya cukup tinggi (Mading dan Kazwaini, 2014).


26

2.2.3 Lingkungan Biologi

Lingkungan biologi dapat mempengaruhi populasi jentik maupun nyamuk

dewasa. Faktor biologi yang berperan dalam kehidupan nyamuk Anopheles spp.

adalah faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal terdiri dari kepadatan,

jenis, umur nyamuk, dan kerentanan vektor terhadap Plasmodium spp. Adapun

faktor eksternal terdiri dari keberadaan vegetasi, makanan jentik, dan predator.

a. Predator nyamuk

Beberapa jenis predator yang dijumpai di habitat perkembangbiakan, yaitu

berudu, ikan, dan udang. Menurut penelitian Zulfahrudin, ikan nila yang masih

muda merupakan predator yang efektif dalam pengendalian vektor malaria

dengan cara penebaran di laguna sebagai predator jentik. Hal ini sejalan dengan

penelitian Setyaningrum,.et al yang menyatakan keberadaan ikan pada habitat

perkembangbiakan mempengaruhi kepadatan jentik nyamuk, semakin banyak

ikan maka kepadatan jentik semakin kecil demikian pula sebaliknya. Adapun

untuk berudu belum dapat dikategorikan sebagai predator karena tipe mulutnya

lebih sesuai untuk memakan alga daripada benda lain. Dengan demikian,

berudu tidak dapat dikatakan sebagai pengendali biologi bagi jentik nyamuk

(Mading dan Kazwaini, 2014).

b. Pengaruh tumbuhan

Keberadaan vegetasi dapat menyebabkan peningkatan kepadatan jentik karena

menyediakan tempat bersembunyi dan makanan sehingga jentik dapat bertahan

hidup. Hasil penelitian Rahayu menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara

keberadaan vegetasi dengan densitas larva. Tumbuh-tumbuhan seperti lumut,

dedaunan, dan pohon bakau mempengaruhi kehidupan jentik nyamuk. Dapat


27

pula menjadi pelindung jentik atau menaungi habitat agar tidak terkena

langsung sinar matahari yang dapat menyebabkan peningkatan suhu air serta

gangguan predator yang dapat mengurangi jumlah populasi larva nyamuk di

habitat perkembangbiakan.

2.3 Eliminasi Malaria

2.3.1 Pengertian

Eliminasi malaria adalah suatu upaya untuk menghentikan penularan malaria

setempat dalam satu wilayah geografis tertentu, dan bukan berarti tidak ada

kasus malaria impor serta sudah tidak ada vektor malaria di wilayah tersebut,

sehingga tetap dibutuhkan kegiatan kewaspadaan untuk mencegah penularan

kembali (Kepmenkes RI, 2009).

2.3.2 Kebijakan Dan Strategi

1. Kebijakan

a. Eliminasi Malaria dilakukan secara menyeluruh dan terpadu oleh

Pemerintah, Pemerintah Daerah bersama mitra kerja pembangunan

termasuk LSM, dunia usaha, lembaga donor, organisasi profesi,

organisasi kemasyarakatan dan masyarakat.

b. Eliminasi Malaria dilakukan secara bertahap dari kabupaten/kota,

provinsi, dan dari satu pulau atau ke beberapa pulau sampai ke

seluruh wilayah Indonesia menurut tahapan yang didasarkan pada situasi

malaria dan kondisi sumber daya yang tersedia (Kepmenkes RI, 2009).

2. Strategi

a. Melakukan penemuan dini dan pengobatan dengan tepat.


28

b. Memberdayakan dan menggerakan masyarakat untuk mendukung

secara aktif upaya eliminasi malaria.

c. Menjamin akses pelayanan berkualitas terhadap masyarakat yang

berisiko.

d. Melakukan komunikasi, advokasi, motivasi dan sosialisasi kepada

Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk mendukung secara aktif

eliminasi malaria.

e. Menggalang kemitraan dan sumber daya baik lokal, nasional maupun

internasional, secara terkoordinasi dengan seluruh sektor terkait

termasuk sektor swasta, organisasi profesi, dan organisasi

kemasyarakatan melalui forum gebrak malaria atau forum lainnya.

f. Menyelenggarakan sistem surveilans, monitoring dan evaluasi serta

informasi kesehatan.

g. Melakukan upaya eliminasi malaria melalui forum kemitraan Gebrak

Malaria atau forum kemitraan lain yang sudah terbentuk.

h. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan mengembangkan

teknologi dalam upaya eliminasi malaria (Kepmenkes RI, 2009).

2.3.3 Target Dan Indikator

1. Target

Untuk mencapai sasaran eliminasi malaria secara nasional pada tahun

2030, telah ditetapkan target-target sebagai berikut:

a. Pada tahun 2010 seluruh sarana pelayanan kesehatan mampu

melakukan pemeriksaan parasit malaria (semua penderita malaria klinis

diperiksa sediaan darahnya/ konfirmasi laboratorium).


29

b. Pada tahun 2020 seluruh wilayah Indonesia sudah memasuki tahap

pra-eliminasi.

c. Pada tahun 2030 seluruh wilayah Indonesia sudah mencapai eliminasi

malaria.

2. Indikator

Kabupaten/kota, provinsi, dan pulau dinyatakan sebagai daerah tereliminasi

malaria bila tidak ditemukan lagi kasus penularan setempat (indigenous)

selama 3 (tiga) tahun berturut-turut serta dijamin dengan kemampuan

pelaksanaan surveilans yang baik.

2.4 Kerangka Teori

Agent
Plasmodium falciparum.
Plasmodium vivax.
Plasmodium malariae.
Plasmodium ovale.

Penjamu (Host)
a. Manusia
b. Nyamuk

Lingkungan
1. Lingkungan Fisik
a. Suhu
b. Kelembaban nisbi udara
c. Hujan Kejadian Malaria
d. Ketinggian
e. Angin
f. Sinar matahari
g. Arus air
h. Kedalaman air
2. Lingkungan Kimia
a. Derajat Keasaman (pH air)
b. Salinitas
3. Lingkungan Biologi
a. Jenis tumbuhan yang hidup dalam
perairan
b. Jenis hewan yang hidup dalam perairan

Sumber : Sucipto (2015) dan Soedarto (2011).


Keterangan : variabel yang digaris bawahi adalah yang diteliti
Gambar 2.7 Kerangka Teori
30

2.5 Kerangka Konsep

Malaria

Lingkungan Host

Manusia

Faktor Kimiawi Faktor Fisik Faktor Biologi


1. pH 1. Suhu Udara 1. Tumbuhan
2. Salinitas air 2. Kedalaman 2. Hewan Agent
3. Oksigen air
terlarut (DO)
Vektor Plasmodium

Larva Nyamuk
Kepadatan larva
Dewasa
Anopheles spp

Gambar 2.8 Kerangka Konsep

Keterangan:
= Diteliti

= Tidak diteliti

2.5 Hipotesis

Ada korelasi faktor fisik, kimia, dan biologi dengan kepadatan larva nyamuk Anopheles

spp. di Desa Batu Menyan Kecamatan Teluk Pandan Kabupaten Pesawaran Provinsi

Lampung Tahun 2020


31

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kuantitatif.

Metode penelitian kuantitatif merupakan salah satu jenis penelitian yang spesifikasinya adalah

sistematis, terencana dan terstruktur dengan jelas sejak awal hingga pembuatan desain

penelitiannya (Sugiyono, 2014).

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Maret Tahun 2020 di Desa Batu Menyan

Kecamatan Teluk Pandan Kabupaten Pesawaran Provinsi Lampung setelah proposal disetujui.

3.3 Rancangan Penelitian

Penelitian ini termasuk penelitian observasional analitik dengan pendekatan Cross

Sectional yaitu jenis penelitian yang menekankan pada waktu pengukuran atau observasi data

dalam satu kali pada satu waktu yang dilakukan pada variabel terikat dan variabel bebas.

Pendekatan ini digunakan untuk melihat korelasi antara variabel satu dengan variabel lainnya,

yang bertujuan untuk mendeskripsikan kondisi ekologi tempat perindukan vektor malaria di

Desa Batu Menyan Kecamatan Teluk Pandan Kabupaten Pesawaran Provinsi Lampung.

3.4 Populasi dan sampel

3.4.1 Populasi

Populasi adalah keseluruhan objek penelitian yang akan diteliti. Populasi yang digunakan

dalam penelitian ini adalah semua habitat potensial larva Anopheles spp. di Desa Batu Menyan

Kecamatan Teluk Pandan.

3.4.2 Sampel
32

Sampel merupakan bagian dari populasi yang ingin diteliti oleh peneliti. Menurut

Sugiyono (2011) “Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh

populasi tersebut”. Sehingga sampel merupakan bagian dari populasi yang ada, sehingga untuk

pengambilan sampel harus menggunakan cara tertentu yang didasarkan oleh pertimbangan-

pertimbangan yang ada. Dalam teknik pengambilan sampel ini penulis menggunakan teknik

sampling purposive yaitu teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono,

2011). Sampel adalah habitat potensial larva Anopheles spp. yang terdapat di lokasi penelitian

dengan radius 500 m dari rumah penderita malaria selama 1 tahun terakhir.

3.5 Variabel Penelitian

Variabel penelitian adalah segala sesuatu yang berbentuk apa saja yang ditetapkan oleh

peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh informasi tentang hal tersebut, kemudian ditarik

kesimpulan (Sugiyono, 2013). Variabel yang digunakan dalam penelitian dapat diklasifikasikan

menjadi: (1) variabel independen (bebas), yaitu variabel yang menjelaskan dan memengaruhi

variabel lain, dan (2) variabel dependen (terikat), yaitu variabel yang dijelaskan dan dipengaruhi

oleh variabel independen.

Variabel independen dalam penelitian ini terdiri dari:

1. Lingkungan fisik (suhu air dan kedalaman air) tempat perindukan vektor malaria.

2. Lingkungan kimia (pH, oksigen terlarut (DO) dan salinitas air) tempat perindukan

vektor malaria.

3. Lingkungan biologi (tumbuhan air dan hewan air).

Variabel dependen dalam penelitian ini terdiri dari:

1. Kepadatan larva Anopheles spp.

3.6 Definisi Operasional


33

Untuk memudahkan pelaksanan penelitian ini dan agar penelitian tidak terlalu luas

maka dibuat definisi operasional sebagai berikut:

Tabel 3.1
Definisi operasional

Variabel Definisi Alat ukur Cara ukur Hasil ukur Skala


operasional ukur
Lingkungan
fisik
1. Suhu air Temperatur air Termometer Termometer air raksa Celcius Numerik
genangan dalam Mencelupkan bagian (°C)
tempat ujung yang terdapat
perkembangbiak bintik perak kedalam
an air, tunggu selama 5
Menit
2. Kedalaman Tinggi air dari Meteran dan Kayu dimasukkan ke Senti meter Numerik
air permukaan kayu dalam air lalu beri (cm)
sampai dasar tanda kedalaman air
tempat dan diukur dengan
perkembang menggunakan meteran
biakan vektor
malaria
Lingkungan
kimia
1. pH air Derajat pH stick Ukur dengan pH stick < 7 asam Kategorik
keasaman pada air selama 3 menit = 7 netral
genangan air dan cocokan dengan > 7 basa
dalam tempat pH standar
perkembangbiak
an
2. Salinitas air Ukuran Refrakro- Meneteskan air pada Per mil Numerik
dinyatakan meter kaca refraktometer lalu (‰)
dengan jumlah ditutup dan di arahkan
garam–garam ke sumber cahaya
yang larut matahari
dalam volume
air
3. Kadar Jumlah oksigen DO meter mg/L Numerik
oksigen terlarut dalam
terlarut air yang berasal
dari fotosintesa
dan absorbs
atmosfer/udara

Lingkungan
biologi
1. Tumbuhan Ada atau Pencatatan Pengamatan langsung 1 = Ada Kategorik
air tidaknya 0 = Tidak
tumbuhan dan ada
34

jenis tumbuhan
yang ditemukan
disekitar tempat
positif jentik
2. Hewan air Ada atau Jaring ikan Pencatatan dan 1 = Ada Kategorik
tidaknya hewan Pengamatan langsung 0 = Tidak
dan jenis hewan ada
yang ditemukan
disekitar tempat
positif jentik
Kepadatan Jumlah larva Cidukan Perhitungan langsung (ekor/250ml) Kategorik
larva pada tempat 1 = > 20 larva
Anopheles spp perindukan 0 = < 20 larva

3.7 Alat Ukur Penelitian

Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Suhu air

Pengukuran suhu air dapat dilakukan menggunakan termometer air raksa, yaitu

dengan cara mencelupkan bagian ujung yang terdapat bintik perak kedalam air, lalu

ditunggu selama 5 menit sehingga menunjukkan angka konstan.

Gambar 3.1 Termometer Air

2. Kedalaman air
35

Pengukuran kedalaman air dilakukan dengan cara memasukan kayu kedalam air

sampai dasar, kemudian kayu dengan batas kedalaman air ditandai dan diukur

kedalamannya menggunakan meteran.

Gambar 3.2 Meteran Pengukur Kedalaman Air

3. pH air

Pengukuran derajat keasaman (pH) menggunakan pH meter yang dimasukan ke

dalam air, kemudian ditunggu selama 3 menit sampai terlihat angka yang

menunjukkan nilai pH air tersebut, lalu dikocokkan dengan pH standar.

Gambar 3.3 Alat Ukur pH air

4. Salinitas air
36

Pengukuran salinitas air dapat dilakukan menggunakan refraktometer, yaitu dengan

cara mengambil satu tetes air sampel yang diteteskan pada kaca refraktometer dan

kemudian ditutup. Skala dibaca lewat lubang pengintai dan alat yang diarahkan ke

sumber cahaya matahari.

Gambar 3.4 Refraktometer

5. Kadar oksigen terlarut

Dalam menentukan kadar oksigen terlarut (DO) dapat dilakukan dengan

menggunakan DO meter, yaitu dengan cara memasukan probe ke dalam air sampel,

lalu digerak–gerakkan. Nilai skala dapat dilihat pada pencatatan DO meter sampai

angka menunjukan nilai konstan

Gambar 3.5 DO meter

6. Tumbuhan air

Jenis tumbuhan air pada tempat perindukan dicatat dan didokumentasikan.

7. Hewan air

Jenis hewan air yang terdapat pada tempat perindukan dicatat dan didokumentasikan.
37

8. Kepadatan larva Anopheles spp

Larva nyamuk diambil dari genangan air dengan menggunakan cidukan. Kemudian

larva yang sudah berada di cidukan dituangkan ke dalam nampan plastik dan dihitung

kepadatannya. Angka kepadatan dinyatakan tinggi apabila ditemukan 20 larva dalam

1 kali cidukan. Sampel diambil sebanyak 3 kali pengulangan pada setiap titik

pengamatan yang telah ditentukan.

Kepadatan Larva = Jumlah Larva yang didapat


Jumlah cidukan yang dilakukan

Volume 1 cidukan = 250 ml

Pada hasil perhitungan rumus tersebut angka kepadatan larva dinyatakan

tinggi jika ditemukan 20 larva 1 kali cidukan.

3.8 Cara Pengambilan Data

Pengambilan data menggunakan data primer diperoleh melalui survey entomologi

(survey larva) Anopheles spp di Desa Desa Batu Menyan Kecamatan Teluk Pandan

Kabupaten Pesawaran Provinsi Lampung dan observasi.

3.9 Pengolahan Data

Menurut Notoatmojo (2012) pengolahan data dimulai setelah pengumpulan data

sekunder dengan tahapan sebagai berikut:

1. Editing

Pada tahapan editing dilakukan pemeriksaan data yang telah dikumpulkan apakah

dapat dibaca, telah terisi lengkap, terdapat ketidakserasian antara jawaban satu

dengan yang lainya.

2. Coding
38

Pada tahapan coding dilakukan penulisan memberikan kode tertentu pada tiap data

sehingga memudahkan penulis dalam melakukan analisa data.

3. Processing

Proses pengetikan data dari kuesioner ke program atau software komputer sehingga

menjadi suatu data dasar yang dapat di analisa.

4. Cleaning

Pada tahapan ini dilakukan pengecekan kembali untuk melihat kemungkinan

adanya kesalahan kode, ketidaklengkapan, dan sebagainya. Kemudian data

digolongkan, diurutkan dan disederhanakan sehingga mudah dibaca dan

diinterprestasikan.

3.10 Analisa Data

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis

kuantitatif, yaitu:

a. Analisa Univariat

Bertujuan untuk menyajikan secara deskriptif dari variabel-variabel yang

diteliti. Analisis bersifat univariat untuk melihat distribusi frekuensi dan presentase

dari seluruh faktor yang terdapat dalam variabel masing-masing, baik variabel bebas

maupun variabel tergantung (Notoatmodjo, 2012).

b. Analisa Bivariat

Untuk menguji lingkungan fisik dan kimia (suhu air, kelembaban udara,

kedalaman air, pH, salinitas air) dengan kepadatan larva nyamuk Anopheles

spp. digunakan uji pearson merupakan kumpulan prosedur statistik untuk

analisis data dengan variabel dependen bersifat numeric. Syarat-syarat uji

parametrik adalah data yang diuji merupakan data kuantitatif, dilakukan uji

normalitas dan data harus berdistribusi normal. Pada penelitian ini uji
39

kenormalan yang digunakan adalah uji shapiro wilk. Kriteria uji normalit as

adalah data berdistribusi normal jika taraf signifikan > α (0,05). Jika syarat

data berdistribusi normal terpenuhi, maka uji hipotesis yang digunakan adalah

uji korelasi pearson dan untuk menguji lingkungan biologi (tumbuhan dan

hewan) dengan kepadatan larva nyamuk Anopheles spp. Menggunakan uji

Spearman karena merupakan data kategorik. Analisis data dengan

menggunakan program SPSS for Windows version 25.0 (Dahlan, 2011).

3.11 Alur Penelitian

Tahapan Persiapan

Pembuatan proposal, perizinan, koordianasi

Tahapan Pelaksanaan

Pengumpulan Data

Tahapan Pengelolahan

Analisis Dengan Menggunakan Aplikasi Komputer

Hasil Penelitian

Gambar 3.6 Alur Penelitian

DAFTAR PUSTAKA
40

Departemen Kesehatan RI, 1993. Modul Entomologi Malaria: Morfologi dan


Identifikasi Nyamuk dan Jentik, Jakarta

Depkes RI. 2001. Epidemiologi Malaria. Jakarta: Ditjen PPM dan PL.

Depkes RI, 2008. Pelayanan Kefarmasian Untuk Penyakit Malaria.


http://farmalkes.kemkes.go.id

Dinas Kesehatan Provinsi Lampung. 2012. Profil Kesehatan Provinsi Lampung. Bandar
Lampung: Dinas Kesehatan Provinsi Lampung.

Dinkes Kabupaten Pesawaran, 2018. Profil Kesehatan Kabupaten Pesawaran Tahun


2017.

Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. 2015. Rencana


Aksi Program Pengendalian Penyakit Dan Penyehatan Lingkungan Tahun
2015-2019. http://www.depkes.go.id. Diakses pada 12 Desember 2017.

Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan
Perairan.Kanisius.Yogyakarta.

Harijanto., Agung Nugroho., Carta A Gunawan. 2009. Malaria dari. Molekuler ke


Klinis. edisi 2. Jakarta : EGC.

Irianto. 2013. Parasitologi Medis. Alfabeta, Bandung.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2016. Infodatin Malaria.


www.depkes.go.id/download.php?file. Diakses pada 12 Desember 2017.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2016. Modul Peningkatan Kemampuan


Teknis Mikroskopis Malaria. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia.

Mulyanto. 1992. Lingkungan Hidup untuk Ikan. Departemen Pendidikan dan


Kebudayaan.

Notoatmodjo S. 2012. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta

Odum, E.P. 1993. Dasar-Dasar Ekologi. Diterjemahkan oleh Tjahjono Samingan. Edisi
ketiga. Gadjah Mada University. Yogyakarta

Prabowo A. 2010. Malaria, Mencegah & Mengatasinya. Puspa Swara

Profil Puskesmas Hanura Tahun 2018


41

Santjaka, A. 2013. Malaria Pendekatan Model Kausalitas. Yogyakarta: Nuha Medika.

Setyaningrum, E. 1998. Aspek Ekologi Tempat Perindukan Nyamuk Anopheles


sundaicus di Pulau Legundi Padang Cermin Lampung. Jurnal Manajemen dan
Kualitas Lingkungan Volume 1 Nomor 3. Pusat Studi Lingkungan Lembaga
Penelitian Universitas Lampung. Lampung

Soedarto. 2011. Malaria. Referensi Mutahir Epidemiologi Global-Plasmodium-


Anopheles Penatalaksanaan Penderita Malaria. Jakarta: Sagung Seto.

Soegijanto, S. 2016. Kumpulan Makalah Penyakit Tropis dan Infeksi di Indonesia (Jilid
1). Airlangga University Press.

Sucipto, C.D. 2015. Manual Lengkap Malaria. Yogyakarta: Gosyen Publishing.

Takken, & Knols, B. G. 2008. African water storage pots for the delivery of the
entomopathogenic fungus Metarhizium anisopliae to the malaria vectors
Anopheles gambiae ss and Anopheles funestus. The American journal of
tropical medicine and hygiene, 78(6), 910-916.

Vaughan, A. M., Aly, A. S., & Kappe, S. H. 2008. Malaria parasite pre-erythrocytic
stage infection: gliding and hiding. Cell host & microbe, 4(3), 209-218.

WHO. 2016. Fact Sheet -World Malaria Report 2015. GENEVA: WHO. Retrieved
MAY 23, 2016, from http://www.who.int/malaria/media/world-malaria-report-
2015/en/#

Widoyono. 2011. Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan dan


Pemberantasannya. Edisi Kedua. Jakarta: Erlangga.

Yamko, R. 2009. Pola Spasial Daerah Perindukan Nyamuk Malaria Dengan Aplikasi
Sistem Informasi Geografis (SIG) di Kabupaten Halmahera Tengah. Makasar.
Universitas Hasanuddin.

Anda mungkin juga menyukai