Anda di halaman 1dari 41

0

STUDI EKOLOGI TEMPAT PERINDUKAN VEKTOR


MALARIA DI DAERAH RAWA DESA BATU MENYAN
KABUPATEN PESAARAN PROPINSI LAMPUNG
TAHUN 2019

PROPOSAL

Oleh :
QOHAR MAULANA MUNTAHA
15310185

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS


KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI
BANDAR LAMPUNG
TAHUN 2019
1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Malaria adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit yang ditularkan ke

manusia oleh nyamuk. Malaria disebabkan oleh parasit mikroskopis spesies

Plasmodium, yaitu Plasmodium malariae, Plasmodium vivax, Plasmodium

falciparum, dan Plasmodium ovale. Empat spesies parasit ini menyebabkan

malaria tetapi Plasmodium falciparum adalah yang paling mematikan.

Plasmodium ditransmisikan ke manusia melalui nyamuk vektor. Nyamuk

digambarkan sebagai 'vektor' malaria karena menyebarkan tetapi sebenarnya

tidak menyebabkan penyakit. Penularan malaria dilakukan oleh nyamuk betina

spesies Anopheles spp. Infeksi sel darah merah oleh Plasmodium dapat

ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles spp., transfusi darah, dan

suntikan dengan jarum yang sebelumnya telah digunakan oleh penderita

malaria (Depkes RI, 2008).

Penyakit malaria menjadi salah satu masalah kesehatan global. Pada

2017, diperkirakan ada 219 juta kasus malaria di 90 negara dan kematian

malaria mencapai 435.000. Pada 2017, hampir setengah dari populasi dunia

berisiko terserang malaria. Sebagian besar kasus malaria dan kematian terjadi

di Afrika sub-Sahara. Namun, wilayah di Asia Tenggara, Mediterania Timur,

Pasifik Barat, dan Amerika juga berisiko. Pada 2017, 90 negara dan wilayah

memiliki penularan malaria yang berkelanjutan. Wilayah Afrika membawa

1
2

tempat bagi 92% kasus malaria dan 93% kematian malaria. Persentase terbesar

terjadi di wilayah Afrika (92%), Asia Tenggara (6%), dan Wilayah Timur

Mediterania (3%). Tingkat insidensi malaria terhitung menurun sekitar 21%

dari tahun 2010-2015, selain itu angka kematian akibat malaria pun menurun

cukup signifikan, yaitu 58% di Kawasan Pasifik Barat, 46% di Wilayah Asia

Tenggara, 37% di Wilayah Amerika dan 6% di Wilayah Mediterania Timur.

Untuk meminimalkan penularan malaria maka dilakukan upaya pengendalian

terhadap Anopheles spp. sebagai nyamuk penular malaria. Beberapa upaya

pengendalian vektor yang dilakukan misalnya terhadap jentik dilakukan

larviciding (tindakan pengendalian larva Anopheles spp. secara kimiawi,

menggunakan insektisida), biological control (menggunakan ikan pemakan

jentik), manajemen lingkungan, dan lain-lain (WHO, 2018).

Pada 2017, dari jumlah 514 kabupaten/kota di Indonesia, 266 (52%) di

antaranya wilayah bebas malaria, 172 kabupaten/kota (33%) endemis rendah,

37 kabupaten/kota (7%) endemis menengah, dan 39 kabupaten/kota (8%)

endemis tinggi. Berdasarkan hasil Riskesdas 2018 diketahui prevalensi malaria

mengalami penurunan yaitu 1,4% pada tahun 2013 menjadi 0,4% pada tahun

2018.

Kasus malaria tertinggi pada tahun 2015 di Lampung yaitu di Kabupaten

Pesawaran. Kasus ini berhubungan erat dengan tingginya angka gigitan

nyamuk Anopheles yang diukur dengan indikator Man Biting Rate (MBR) =

jumlah nyamuk yang menggigit per-orang perjam (Dinas Kesehatan Provinsi

Lampung, 2015). Angka Annual Parasite Incidence (API) di Kabupaten


3

Pesawaran selama rentang waktu 5 tahun (2011- 2015) telah tercatat dengan

hasil fluktuatif. Pada tahun 2011, angka API tercatat 4,76 per 1.000 penduduk,

menurun menjadi 1 per 1.000 penduduk pada tahun 2012. Meningkat kembali

menjadi 4,77 per 1.000 penduduk - pada tahun 2013, tahun 2014 meningkat

menjadi 7,26 per 1.000 penduduk, dan pada tahun 2015 menurun menjadi 6,36

per 1.000 penduduk (Dinas Kesehatan Kabupaten Pesawaran, 2016).

Secara geografis kabupaten pesawaran secara umum memiliki iklim

tropis sebagaimana iklim provinsi lampung pada umumnya, curah hujan per

tahun berkisar antara 2.264 mm sampai dengan 2.868 mm dan jumlah hari

hujan antara 90 sampai dengan 176 hari/tahun. Desa Batu Menyan sangat

berpotensial sebagai tempat berkembang biaknya nyamuk Anopheles sebagai

vektor penular penyakit malaria karena sebagian wilayahnya berupa rawa dan

daerah tambak yang terbengkalai. (Depkes, 2009).

Angka Annual Paracite Incident (API) salah satunya dipengaruhi oleh

faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap penyakit malaria yaitu

lingkungan fisik mencakup (suhu, kelembaban, hujan, ketinggian, angin, sinar

matahari, arus air dan tempat perindukan), lingkungan biologi (tumbuhan

bakau, lumut, ikan pemakan larva), dan lingkungan kimia (pH air, salinitas air)

(Hermawan, 2016).

Faktor lingkungan sangat mempengaruhi peningkatan penyebaran

penyakit malaria. Tempat perindukan nyamuk Anopheles spp. Dipengaruhi

oleh lingkungan fisik yang terdiri dari tempat perindukan (breeding site), suhu,

kedalaman air, kelembaban, curah hujan antara 90 sampai dengan 176


4

hari/tahun yang berhubungan dengan kehidupan nyamuk dalam penyebaran

malaria maupun kehidupan parasit Anopheles spp (Yamko, 2009).

Populasi nyamuk di alam dipengaruhi oleh lingkungan fisik, kimia dan

biologi. Lingkungan fisik yang berpengaruh pada perkembangbiakan nyamuk

malaria yaitu suhu air, curah hujan, kedalaman air, kelembaban, sinar matahari.

lingkungan kimia, yaitu pH air, salinitas. lingkungan biologi, yaitu hewan

pemangsa dan tumbuhan air (Depkes RI, 2001).

Hasil presurvey yang dilakukan di Desa Batu Menyan diketahui bahwa

terdapat daerah potensial sebagai tempat perindukan nyamuk Anopheles spp

seperti tambak yang terlantar, selokan yang tergenang dan daerah pantai (hutan

bakau).

Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk meneliti bagaimana karakteristik

tempat perindukan nyamuk Anopheles spp yang potensial sebagai vektor

malaria di Desa Batu Menyan Kabupaten Pesawaran.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah faktor fisik (suhu air, dan kedalaman air) tempat perindukan

vektor malaria di Desa Batu Menyan Kabupaten Pesawaran Provinsi

Lampung Tahun 2019?

2. Bagaimanakah faktor kimia (pH air, salinitas air, oksigen terlarut) tempat

perindukan vektor malaria di Desa Batu Menyan Kabupaten Pesawaran

Provinsi Lampung Tahun 2019?


5

3. Bagaimanakah faktor biologi (jenis tumbuhan yang hidup dalam perairan,

jenis hewan yang hidup di daerah perindukan nyamuk) di Desa Batu Menyan

Kabupaten Pesawaran Provinsi Lampung Tahun 2019?

4. Bagaimana korelasi faktor fisik, kimia, dan biologi dengan kepadatan larva

nyamuk Anopheles spp. di Desa Batu Menyan Kabupaten Pesawaran Provinsi

Lampung Tahun 2019?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan umum

Mengetahui karasteristik tempat perindukan nyamuk Anopheles spp.

sebagai vektor yang berhubungan dengan kejadian malaria yang potensial

di Desa Batu Menyan.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui faktor fisik (suhu air, dan kedalaman air) tempat

perindukan vektor malaria di Desa Batu Menyan Kabupaten

Pesawaran Provinsi Lampung Tahun 2019.

2. Mengetahui faktor kimia (pH air, salinitas air, oksigen terlarut) tempat

perindukan vektor malaria di Desa Batu Menyan Kabupaten

Pesawaran Provinsi Lampung Tahun 2019.

3. Mengetahui faktor biologi (jenis tumbuhan yang hidup dalam perairan,

jenis hewan yang hidup di daerah perindukan nyamuk) di Desa Batu

Menyan Kabupaten Pesawaran Provinsi Lampung Tahun 2019.


6

4. Mengetahui korelasi faktor fisik, kimia, dan biologi dengan kepadatan

larva nyamuk Anopheles spp. di Desa Batu Menyan Kabupaten

Pesawaran Provinsi Lampung Tahun 2019.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat bagi peneliti

Penelitian ini merupakan pengalaman ilmiah yang sangat berharga bagi

meningkatan pengetahuan dan dan menambah wawasan karakteristik

tempat perindukan nyamuk Anopheles spp. dan sebagai pengendalian

penyebaran nyamuk vektor malaria.

1.4.2 Manfaat bagi ilmu kajian parasitology

Hasil penelitian diharapkan dapat menambah pustaka tentang faktor-

faktor yang mempengaruhi tempat perindukan larva Anopheles spp.

1.4.3 Manfaat bagi Pemerintah Daerah

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan informasi ebagai dasar

ilmiah dalam penanggulangan penyakit malaria secara terpadu

melibatkan berbagai pihak, seperti Dinas kesehatan dan Dinas pertanian.

1.4.4 Manfaat bagi masyarakat

Hasil penelitian ini diharapkan sebagai dasar pengetahuan dan pemikiran

serta menjadi informasi dalam upaya pencegahan dan pemberantasan

penyakit malaria. sehingga masyarakat lebih peduli dalam menjaga

lingkungannya dengan baik terhindar dari tempat-tempat potensial

sebagai vektor malaria, supaya bebas akan penyakit malaria.


7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Malaria

2.1.1 Definisi

Malaria adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh protozoa

intraseluler obligat dari genus plasmodium. Malaria pada manusia dapat

disebabkan oleh Plasmodium malariae, Plasmodium vivax, Plasmodium

falciparum, dan Plasmodium ovale. Penyebaran penyakit malaria

ditentukan oleh tiga faktor yang dikenal sebagai host, agent, dan

environment (Irianto, 2013).

Penyakit malaria disebabkan oleh parasit malaria (yaitu suatu

protozoa darah yang termasuk genus Plasmodium) yang dibawa oleh

nyamuk Anopheles. Ada empat spesies Plasmodium penyebab malaria

pada manusia yaitu Plasmodium vivax, Plasmodium falciparum,

Plasmodium malariae, Plasmodium ovale. Masing-masing spesies

plasmodium menyebabkan infeksi malaria yang berbeda. Plasmodium

vivax menyebabkan malaria vivax/tertiana, Plasmodium falciparum

menyebabkan malaria falciparum/tropika, Plasmodium malariae

menyebabkan malaria malariae/quartana, dan Plasmodium ovale

menyebabkan malaria ovale (Sucipto, 2015).

7
8

2.1.2 Klasifikasi Plasmodium

Subordo haemosporina terdiri dari tiga famili, yaitu Plamodiidae,

Haemoproteidae dan Leucocytozoonidae. Macrogametocyt dan

microgametocyst berkembang secara terpisah. Bentuk zygot adalah motil

disebut ookinet, sedangkan sporozoit berada dalam dinding spora.

Protozoa ini adalah heteroxegenous, dimana merozoit diproduksi di dalam

hospes vetebrata dan sporozoit berkembang dalam hospes invertebrata,

dan merupakan suatu protozoa darah yang klasifikasinya:

Filum : Apicomplexa

Kelas : Sporozoa

Sub kelas : Cocidiidae

Ordo : Eucoccidiidae

Sub ordo : Haemosporidiidae

Famili : Plasmodiidae

Genus : Plasmodium

Spesies : Plasmodium falciparum, Plasmodium vivax,

Plasmodium malariae, Plasmodium ovale

2.1.3 Morfologi Plasmodium

2.1.3.1 Plasmodium falciparum

1. Bentuk tropozoit

Bentuk seperti cincin dengan inti yang kecil dan sitoplasma halus,

sering ditemukan bentuk cincin dengan dua inti. Pada tropozoit

dewasa, sitoplasma berbentuk ovale dan tidak teratur, pigmen


9

berkumpul menjadi satu kelompok dan berwarna hitam. Tropozoit

dewasa biasanya ditemukan pada infeksi berat.

2. Bentuk skizon

Jarang ditemukan, biasanya ditemukan dengan tropozoit dewasa yang

berjumlah banyak. Bentuknya kecil sitoplasma pucat, pigmen

berwarna gelap. Pada skizon dewasa terdapat merozoit yang berjumlah

20.

3. Bentuk gametosit

Berbentuk seperti pisang, pigmen tersebar sampai ke ujung, terdapat

balon merah dipinggir parasit. Bentuk gametosit dapat ditemukan

bersamaan dengan bentuk tropozoit.

2.1.3.2 Plasmodium vivax

1. Bentuk tropozoit

Bentuk seperti cincin ukuran lebih besar dari tropozoit Plasmodium

falciparum dengan sitoplasma yang bentuknya tidak teratur.

Sedangkan tropozoit dewasa bentuk sitoplasmanya amoboit dengan

inti yang besar. Pigmen berwarna coklat kekuningan yang tersebar

pada sebagian sitoplasma dan bila bentuknya bulat tanpa vakuola akan

sulit di bedakan dengan bentuk gametosit.

2. Bentuk skizon

Bentuk tidak teratur, sitoplasma terpecah-pecah dalam kelompok dan

pigmennya berwarna coklat. Pada skizon dewasa terdapat 16 merozoit

yang ukurannya lebih besar dari plasmodium lain


10

3. Bentuk gametosit

Berbentuk bulat dengan inti ditengah sitoplasma, disekelilingnya

terdapat daerah yang tidak berwarna. Makrogametosit lebih besar dari

Plasmodium lain yang tidak dapat dibedakan dengan bentuk tropozoit

dewasa. Pigmen halus dan terbesar pada sitoplasma. Mikrogametosit

mempunyai inti besar berwarna merah muda, sitoplasma pucat dengan

pigmen yang terbesar.

2.1.3.3 Plasmodium malariae

1. Bentuk tropozoit

Bentuk seperti cincin dengan sitoplasma tebal dengan inti yang besar.

Pada tropozoit dewasa bentuk cincin berukuran lebih besar, pigmen

kasar dan sering menutupi inti. Sulit dibedakan dengan bentuk

gametosit Plasmodium falciparum.

2. Bentuk skizon

Ukurannya lebih kecil dari Plasmodium vivax. Bentuk kecil seperti

bunga mawar. Jumlah merozoit rata-rata 8, sering hanya inti dan

pigmen yang terlihat.

3. Bentuk gametosit

Pigmen padat, gelap dan menggumpal. Bentuknya sama dengan

tropozoit yang berkelompok sehingga sulit dibedakan dan jumlah

dalam darah sedikit


11

2.1.3.4 Plasmodium ovale

Plasmodium ovale merupakan parasit yang jarang terdapat pada manusia,

bentuknya mirip dengan Plasmodium vivax. Sel darah merah yang

dihinggapi akan sedikit membesar, bentuknya lonjong dan bergerigi pada

satu ujungnya adalah khas Plasmodium ovale. Plasmodium ovale

menyerupai Plasmodium malariae pada bentuk skizon dan tropozoid yang

sedang tumbuh.

2.1.4 Penyebab Malaria

2.1.4.1 Parasit malaria

Penyakit malaria disebabkan oleh parasit malaria yang dibawah oleh

nyamuk Anopheles spp. Ada empat Plasmodium penyebab malaria pada

manusia yaitu Plasmodium vivax menyebabkan malaria tertian,

Plasmodium falciparum menyebabkan malaria tropika, Plasmodium

malariae menyebabkan malaria quartana, dan Plasmodium ovale

menyebabkan malaria ovale.

2.1.4.2 Nyamuk Anopheles spp

Penyakit malaria pada manusia hanya dapat ditularkan oleh nyamuk

Anopheles betina. Nyamuk Anopheles spp hidup didaerah iklim tropis dan

subtropis tetapi juga dapat hidup di daerah beriklim sedang. Tempat

perindukkannya bevariasi dan dapat dibagi menjadi tiga kawasan yaitu

pantai, pedalaman dan kaki gunung.


12

2.1.4.3 Manusia yang rentan terhadap infeksi manusia

Secara alami penduduk disuatu daerah endemis malaria ada yang mudah

dan ada yang sukar terinfeksi malaria. Perpindahan penduduk dari daerah

endemis malaria hingga kini masih menimbulkan masalah. Hal ini terjadi

karena pekerja yang datang dari daerah lain belum mempunyai kekebalan

sehingga rentan terinfeksi.

2.1.4.4 Lingkungan

Keadaan lingkungan berpengaruh besar terhadap ada tidak malaria disuatu

daerah. Adanya genangan air hujan, persawahan, tambak ikan, pembukaan

hutan, dan pertambangan disuatu daerah akan meningkatkan timbulnya

penyakit malaria karena tempat-tampat tersebut merupakan tempat

perindukan nyamuk malaria (Prabowo, 2010).

2.1.5 Siklus Hidup

Di dalam tubuh manusia dan nyamuk dan Anopheles spp berlangsung daur

hidup Plasmodium. Manusia merupakan hospes perantara tempat

berlangsungnya daur hidup aseksual sedangkan di dalam tubuh nyamuk

berlangsung daur hidup seksual (Soedarto, 2011). Daur hidup aseksual

terdiri dari empat tahapan, yaitu tahap skizogoni preeritrositik, tahap

skizogoni eksoeritrositik, tahap skizogoni eritrositik dan tahap gametogoni.

Di dalam sel-sel hati berlangsung tahap skizogoni preeritrositik dan

skizogoni eksoeritrositik berlangsung di dalam sel-sel hati, sedangkan di

dalam sel-sel eritrosit berlangsung tahap skizogoni eritrositik dan tahap

gametogoni (Soedarto, 2011).


13

2.1.5.1 Fase aseksual

1. Tahap skizogoni preeritrositik

Sporozoit plasmodium yang masuk bersama gigitan nyamuk Anopheles

spp mula-mula kan memasuki jaringan sel-sel parenkim hati dan

berkembang biak di sana. Pada Plasmodium vivax tahap skizogoni

preeritrositik berlangsung selama 8 hari, pada Plasmodium falciparum

berlangsung selama 6 hari, dan pada Plasmodium ovale tahap ini

berlangsung selama hari. Lamanya tahap skizogoni preeritrositik pada

Plasmodium malariae sukar ditentukan. Di dalam jaringan hati siklus

preeritrositik pada Plasmodium falciparum hanya berlangsung satu kali,

sedangkan pada spesies lainnya siklus ini dapat berlangsung berulang kali.

2. Tahap skizogoni eksoeritrositik

Local liver cycle disebut skizogoni eksoeritrositik yang merupakan sumber

pembentukan stadium aseksual parasit yang menjadi penyebab terjadinya

kekambuhan pada malaria vivax, malaria ovale dan malaria malariae.

3. Tahap skizogoni eritrositik

Siklus ini terjadi di dalam sel darah merah ini berlangsung selama 48 jam

pada Plasmodium vivax, Plasmodium falciparum, dan Plasmodium ovale

sedangkan pada Plasmodium malariae berlangsung setiap 72 jam. Pada

tahap skizogoni eritrositik ini akan terjadi bentuk-bentuk trofozoit, skizon

dan merozoit yang mulai dijumpai 12 hari sesudah terinfeksi Plasmodium

vivax, dan 9 hari sesudah terinfeksi Plasmodium falciparum.

Meningkatnya jumlah parasit malaria karena multiplikasi pada tahap


14

skizogoni eritrositik mengakibatkan pecahnya sel retrosit yang

menyababkan terjadinya demam yang khas pada gejala klinis malaria.

4. Tahap gametogoni.

Sebagian dari merozoit yang terbentuk sesudah tahap skizogoni eritrositik

berlangsung beberapa kali, akan berkembang menjadi bentuk gametosit.

Pembentukan gametosit terjadi di dalam eritrosit yang terdapat di dalam

kapiler-kapiler limpa dan sumsum tulang. Tahap gametogoni ini

berlangsung selama 96 jam dan hanya gametosit yang sudah matang dapat

ditemukan di dalam darah tepi. Gametosit tidak menyebabkan gangguan

klinik pada penderita malaria, sehingga penderita dapat bertindak sebagai

karier malaria (Soedarto, 2011).

2.1.5.2 Fase seksual

Nyamuk Anopheles spp adalah hospes definitif Plasmodium karena di

dalam badan nyamuk berlangsung daur hidup seksual atau siklus

sporogoni. Gametosit, baik mikrogametosit maupun makrogametosit yang

terhisap bersama darah manusia di dalam badan nyamuk akan berkembang

menjadi bentuk gamet dan akhirnya menjadi bentuk sporozoit yang infeksi

bagi manusia. Untuk dapat menginfeksi seekor nyamuk Anopheles spp

sedikitnya dibutuhkan 12 parasit gametosit Plasmodium per mililiter

darah. Proses awal pematangan parasit terjadi di dalam lambung nyamuk

dengan terbentuknya 4 sampai 8 mikrogamet dari satu mikrogametosit,

perkembangan dari satu makrogametosit menjadi satu makrogamet.

Sesudah terjadi fusi antara mikrogamet dengan makrogamet menjadi zigot,


15

dalam waktu 24 jam zigot akan berkembang menjadi ookinet. Sesudah

menembus dinding lambung nyamuk ookinet akan memasuki jaringan

yang terdapat di antara lapisan epitel dan membran basal dinding lambung,

lalu berubah bentuk menjadi ookista.

Di dalam ookista yang bulat bentuknya akan terbentuk ribuan sporozoit.

Ookista yang telah matang akan pecah dindingnya adan sporozoit akan

keluar meninggalkan ookista yang pecah lalu memasuki hemokel tubuh

nyamuk. Sporozoit kemudian menyebar ke berbagai organ nyamuk,

sebagian besar sporozoit memasuki kelenjar ludah nyamuk sehingga

nyamuk menjadi vektor yang infektif dalam penularan malaria. Di dalam

tubuh seekor nyamuk Anopheles spp betina, dapat hidup lebih dari satu

spesies Plasmodium secara bersama sehingga dapat menyebabkan

terjadinya infeksi campuran (Soedarto, 2011).

Gambar 2.1 Fase Hidup Plasmodium


16

Selama daur hidupnya (life cycle) terdapat empat stadium perkembangan nyamuk

yaitu telur, larva, pupa, dan nyamuk dewasa (imago). Tiga stadium pertama, yaitu

telur, larva dan pupa hidup didalam air (akuatik) berlangsung selama 5-14 hari

(tergantung pada spesies dan suhu lingkungannya). Nyamuk dewasa betina di alam

umumnya berumur kurang dari 2 minggu, namun nyamuk dewasa yang dipelihara

dilaboratorium dapat hidup lebih dari satu bulan.

Gambar 2. Siklus hidup nyamuk Anopheles spp

1. Telur Nyamuk

Seekor nyamuk betina dapat mengeluarkan 50-200 butir telur setiap kali

bertelur. Telur yang mempunyai pelampung dikedua sisinya berukuran 0,5 x 0,2

mm, diletakkan satu per satu secara langsung di permukaan air.

Gambar 3. Telur Nyamuk Anopheles spp


17

2. Larva Anopheles spp

Larva atau jentik nyamuk Anopheles spp memiliki kepala yang tumbuh

baik dilengkapi sikat mulut untuk makan, dada (thorax) yang besar dan abdomen

yang terdiri dari sembilan segmen perut. Larva tidak mempunyai kaki, larva

menghisap udara melalui spirakel (lubang hawa) yang terdapat pada segmen

abdomen ke-8 sehingga larva Anopheles spp harus sering menuju kepermukaan air

unuk bernapas. Larva akan mengalami metamorfosis dan berubah bentuk menjadi

kepompong atau pupa.

Gambar 4. Larva Anopheles spp

3. Pupa Anopheles spp

Pupa Anopheles spp jika dilihat dari samping berbentuk koma,

kepala dan toraknya menyatu menjadi cephalothorax sedangkan abdomennya

melengkung ke bawah. Pupa harus sering berenang menuju permukaan air

untuk bernafas dengan menggunakan alat pernafasan berbentuk terompet yang

terdapat pada bagian cephalothorax. Beberapa hari dalam bentuk pupa, kulit

bagian dorsal cephalothorax akan terkelupas dan nyamuk dewasa akan keluar

dari kepompongnya.
18

Gambar 5. Pupa Anopheles spp

4. Nyamuk dewasa Anopheles spp

Perkembangan dari telur ke nyamuk dewasa membutuhkan waktu

sekitar 5-14 hari tergantung pada suhu ambien. Di daerah tropis umumnya di

butuhkan waktu 10-14 hari. Nyamuk dewasa mempunyai bentuk tubuh

yang langsing, dan terbagi menjadi 3 bagian yaitu kepala, thorax, dan

abdomen. Anopheles spp dewasa dapat dibedakan dari nyamuk lainnya dengan

melihat pulpus nyamuk Anopheles spp yang panjangnya sama dengan panjang

probosis. Selain itu sayap Anopheles spp mempunyai bercak sisik yang

berwarna hitam putih. Nyamuk Anopheles spp dewasa mudah dikenal dari

posisi tubuhnya pada waktu beristrahat, yaitu membentuk sudut

dengan permukaan tempatnya hinggap, dan tidak sejajar dengan permukaan

tempat hinggap yang terjadi pada nyamuk lainnya. Jarak terbang nyamuk ini

tidak lebih dari 0,5-3 km dari tempat perindukannya, jika ada tiupan angin

yang kencang, bisa terbawa sejauh 20-30 km.


19

Gambar 6. Nyamuk dewasa Anopheles spp

2.2 Faktor Ekologi Larva Nyamuk Malaria

Penyebaran tempat berkembang biak Anopheles spp. hampir merata di

seluruh tipe perairan, tidak hanya di laguna, tapi juga persawahan, tambak,

dan lain-lain. Secara geografis lokasi penelitian merupakan daerah pantai

dengan spesies Anopheles yang paling banyak dijumpai adalah Anopheles

vagus dan Anopheles subpictus. Kepadatan jentik menjadi indikator bahwa

tempat tersebut merupakan tempat yang kondusif untuk perkembangbiakan

Anopheles spp. Jentik nyamuk Anopheles subpictus yang dapat bertahan hidup

di air tawar dan payau terutama pada musim hujan, sering di jumpai di

kubangan kerbau, saluran air dan sawah. Berdasarkan Atlas vektor penyakit di

Indonesia, jentik Anopheles subpictus sering dijumpai dikubangan kerbau,

saluran air, kolam ikan, tempat semen, saluran air di kebun, talang air dan

kadang ditemukan di sawah, parit sumur, tepi danau yang berumput, dan

sungai.

2.2.1 Lingkungan Fisik

Lingkungan fisik yang sangat berpengaruh pada perkembangbiakan jentik

nyamuk malaria dan nyamuk malaria, antara lain:


20

a. Suhu

Habitat perkembangbiakan yang terpapar sinar matahari langsung dapat

menyebabkan peningkatan suhu air. Suhu air dipengaruhi oleh suhu

lingkungan dan paparan sinar matahari pada habitat perkembangbiakan

Anopheles spp. Derajat suhu mempengaruhi kadar oksigen terlarut dalam

air yang penting bagi kelangsungan hidup jentik. Semakin tinggi suhu

maka semakin rendah kelarutan oksigen. Pada suhu yang ekstrim jentik

Anopheles spp. tidak dapat berkembang biak bahkan akan mengalami

kematian. Rata-rata suhu optimum untuk pertumbuhan nyamuk adalah

25°C-27°C. Chwatt menyatakan suhu udara optimum bagi kehidupan

nyamuk berkisar antara 25°C-30°C,serta pertumbuhan akan berhenti

sama sekali bila suhu kurang dari 10°C atau lebih dari 40°C.

Lingkungan fisik yang dapat mempengaruhi kehidupan nyamuk

diantaranya adalah faktor suhu udara. Nyamuk termasuk hewan berdarah

dingin (cold blooded animal) atau poikilothermic yaitu suhu tubuhnya

bervariasi dipengaruhi langsung oleh suhu lingkungannya atau dapat

disesuaikan tetapi pada rentang yang sempit. Temperatur berpengaruh

terhadap pertumbuhan dan perkembangan (development) serta kematian

serangga.

b. Kelembaban nisbi udara

Kelembaban udara (humidity) berpengaruh pada metabolisme di dalam

tubuh nyamuk. Demikian juga lamanya waktu perkembangan nyamuk

dan waktu penetasan telur, karena semakin tinggi kelembaban, telur


21

akan semakin cepat menetas. Waktu peletakkan telur pun meningkat bila

keadaan kelembaban udara juga meningkat. Selain itu, kelembaban juga

berpengaruh terhadap tingkat aktivitas nyamuk. Pada kisaran

kelembaban tertentu, aktivitas nyamuk ada yang kurang aktif dan ada

yang lebih aktif. Kelembaban udara juga mempengaruhi umur nyamuk.

Pada kelembaban udara <60% umur nyamuk akan menjadi pendek,

nyamuk akan cepat payah, kering dan cepat mati. Kelembaban udara

juga mempengaruhi umur nyamuk. Pada kelembaban udara <60% umur

nyamuk akan menjadi pendek, nyamuk akan cepat payah, kering dan

cepat mati (Mading dan Kazwaini, 2014).

c. Hujan

Hujan menyebabkan naiknya kelembaban nisbi udara dan menambah

jumlah tempat perkembangbiakan (breeding places) dan terjadinya

epidemi malaria. Besar kecilnya pengaruh tergantung pada jenis dan

derasnya hujan, jenis vektor dan jenis tempat perindukan.Hujan yang

diselingi panas akan memperbesar kemungkinan berkembang biaknya

nyamuk Anopheles (Harijanto, 2007).

Menurut Departemen Kesehatan RI (2001), curah hujan yang cukup

tinggi dengan jangka waktu yang lama akan memperbesar kesempatan

nyamuk untuk berkembang biak secara optimal.

d. Ketinggian

Lokasi setiap ketinggian naik 100 meter maka selisih suhu udara dengan

tempat semula 0,5ºC. Bila perbedaan tempat cukup tinggi, maka


22

perbedaan suhu udara juga cukup banyak dan mempengaruhi faktor-

faktor yang lain, termasuk penyebaran nyamuk, siklus pertumbuhan

parasit di dalam nyamuk dan musim penularan. Secara umum malaria

berkurang pada ketinggian yang semakin bertambah pada ketinggian di

atas 2000 m jarang ada transmisi malaria (Harijanto, 2007).

e. Angin

Angin secara langsung berpengaruh pada penerbangan nyamuk dan ikut

menentukan jumlah kontak antara nyamuk dan manusia. Kecepatan

angin 10–14 m/detik atau 25–31 mil/jam akan menghambat

penerbangan nyamuk (Harijanto, 2007). Angin mempengaruhi jarak

terbang nyamuk. Jarak terbang nyamuk dapatdiperpendek atau

diperpanjang tergantung dari arah angin. Anopheles spp betina dewasa

tidak ditemukan lebih dari 2-3 km dari lokasi tempat perindukan vektor

(TPV) dan mempunyai sedikit kemampuan untuk terbang jauh, namun

angin kencang dapat membawa Anopheles spp terbang sejauh 30 km

atau lebih (Hoedojo, 2008).

f. Sinar matahari

Menurut kesukaan terhadap sinar matahari, ada tiga kelompok

Anopheles spp. dalam menentukan tempat perkembang-biakannya.

Terdapat jenis Anopheles spp. yang menyukai tempat

perkembangbiakannya terkena langsung sinar matahari (Anopheles.

maculatus dan Anopheles subpictus); jenis nyamuk Anopheles spp. yang

tidak menyukai tempat perkembangbiakannya terkena sinar matahari


23

secara langsung (Anopheles umbrosus dan Anopheles leucosphyrus; dan

jenis nyamuk Anopheles spp. yang menyukai tempat

perkembangbiakannya terkena atau tidak terkena secara langsung sinar

matahari (Anopheles barbirostris, Anopheles culicifacies, Anopheles

albimanus, dan Anopheles stephensi) (Mading dan Kazwaini, 2014).

g. Arus air

Anopheles barbirostris menyukai perindukan yang airnya statis/

mengalir lambat, sedangkan Anopheles minimus menyukai aliran air

yang deras dan Anopheles letifer menyukai air tergenang (Depkes RI,

1993).

h. Kedalaman air

Larva nyamuk ditemukan sebagian besar di tempat yang kumpulan

airnya dangkal. Hal ini diperkirakan bahwa erat kaitannya dengan

beberapa cara makan atau frekuensi pernafasan dari larva tersebut

(Takken dan Knols, 2008).

2.2.2 Lingkungan Kimia

Lingkungan kimia yang paling mendukung terhadap kelanjutan

perkembang-biakan vektor malaria adalah pH, salinitas, oksigen terlarut

(DO), dan kebutuhan oksigen biologi (BOD). pH mempunyai pengaruh

besar terhadap pertumbuhan organisma yang berkembang biak di akuatik.

pH air tergantung kepada suhu air, oksigen terlarut, dan adanya berbagai

anion dan kation serta jenis stadium organisme (Takken dan Knols 2008).
24

a. Derajat Keasaman (pH air)

Besarnya pH dalam suatu perairan adalah besarnya konsentrasi ion

hidrogen yang terdapat di dalam perairan tersebut. Secara alamiah pH

diperairan dipengaruhi oleh konsentrasi CO2 dan senyawa-senyawa yang

bersifat asam. Kadar CO2 dalam suatu perairan dipengaruhi oleh proses

fotosintesis dan respirasi. Fitoplankton dan tanam air akan mengambil

CO2 untuk kegiatan fotosintesis. Oleh sebab itu, nilai pH perairan pada

pagi hari menjadi rendah, meningkat pada siang hari, dan maksimum

pada sore hari (Mulyanto,1992). Sebagian besar biota akuatik sangat

sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH sekitar 7-8,5.

Nilai pH sangat berpengaruh terhadap proses biokimiawi suatu perairan,

misalnya proses nitrifikasi akan berakhir jika pH rendah (Effendi, 2003).

b. Salinitas

Salinitas air sangat berpengaruh terhadap ada tidaknya malaria disuatu

daerah. Adanya danau, genangan air, persawahan, kolam ataupun parit

disuatu daerah yang merupakan tempat perindukan nyamuk, sehingga

meningkatkan kemungkinan timbulnya penularan penyakit malaria

(Prabowo, 2004). Salinitas merupakan ukuran yang dinyatakan dengan

jumlah garam–garam yang larut dalam suatu volume air. Tinggi

rendahnya salinitas ditentukan oleh banyaknya garam-garam yang larut

dalam air.

Berdasarkan kemampuannya untuk menyesuaikan diri terhadap salinitas,

organisme perairan dapat digolongkan menjadi dua, yaitu stenohaline dan


25

euryhaline. Stenohaline adalah organisme perairan yang mempunyai

kisaran kemampuan untukmenyesuaikan diri terhadap salinitas sempit,

sedangkan euryhaline adalah organisme perairan yang mempunyai

kisaran kemampuan untuk menyesuaikan diri terhadap salinitas yang

lebar (Odum, 1998).

Jentik Anopheles subpictus biasanya ditemukan bersama-sama dengan

Anopheles sundaicus serta tumbuh optimal pada air payau dengan kadar

garam antara 12-18 ppm dan tidak berkembang biak pada kadar garam 40

ppm ke atas. Jentik Anopheles subpictus lebih toleran terhadap kadar

garam sehingga dapat ditemukan di tempat yang mendekati tawar atau

juga di tempat yang kadar garamnya cukup tinggi (Mading dan

Kazwaini, 2014).

2.2.3 Lingkungan Biologi

Lingkungan biologi dapat mempengaruhi populasi jentik maupun nyamuk

dewasa. Faktor biologi yang berperan dalam kehidupan nyamuk Anopheles

spp. adalah faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal terdiri dari

kepadatan, jenis, umur nyamuk, dan kerentanan vektor terhadap

Plasmodium spp. Adapun faktor eksternal terdiri dari keberadaan vegetasi,

makanan jentik, dan predator.

a. Predator nyamuk

Beberapa jenis predator yang dijumpai di habitat perkembangbiakan,

yaitu berudu, ikan, dan udang. Menurut penelitian Zulfahrudin, ikan nila
26

yang masih muda merupakan predator yang efektif dalam pengendalian

vektor malaria dengan cara penebaran di laguna sebagai predator jentik.

Hal ini sejalan dengan penelitian Setyaningrum,.et al yang menyatakan

keberadaan ikan pada habitat perkembangbiakan mempengaruhi

kepadatan jentik nyamuk, semakin banyak ikan maka kepadatan jentik

semakin kecil demikian pula sebaliknya. Adapun untuk berudu belum

dapat dikategorikan sebagai predator karena tipe mulutnya lebih sesuai

untuk memakan alga daripada benda lain. Dengan demikian, berudu tidak

dapat dikatakan sebagai pengendali biologi bagi jentik nyamuk (Mading

dan Kazwaini, 2014).

b. Pengaruh tumbuhan

Keberadaan vegetasi dapat menyebabkan peningkatan kepadatan jentik

karena menyediakan tempat bersembunyi dan makanan sehingga jentik

dapat bertahan hidup. Hasil penelitian Rahayu menunjukkan bahwa

terdapat hubungan antara keberadaan vegetasi dengan densitas larva.

Tumbuh-tumbuhan seperti lumut, dedaunan, dan pohon bakau

mempengaruhi kehidupan jentik nyamuk. Dapat pula menjadi pelindung

jentik atau menaungi habitat agar tidak terkena langsung sinar matahari

yang dapat menyebabkan peningkatan suhu air serta gangguan predator

yang dapat mengurangi jumlah populasi larva nyamuk di habitat

perkembangbiakan.
27

2.3 Kerangka Teori

Agent
Plasmodium falciparum.
Plasmodium vivax.
Plasmodium malariae.
Plasmodium ovale.

Penjamu (Host)
a. Manusia
b. Nyamuk

Lingkungan
1. Lingkungan Fisik Kejadian Malaria
a. Suhu
b. Kelembaban nisbi udara
c. Hujan
d. Ketinggian
e. Angin
f. Sinar matahari
g. Arus air
h. Kedalaman air
2. Lingkungan Kimia
a. Derajat Keasaman (pH air)
b. Salinitas
3. Lingkungan Biologi
a. Jenis tumbuhan yang hidup dalam
perairan
b. Jenis hewan yang hidup dalam
perairan
Sumber : Sucipto (2015) dan Soedarto (2011).

Keterangan : variabel yang digaris bawahi adalah yang diteliti

Gambar 2.3 Kerangka Teori


28

2.4 Kerangka Konsep

Malaria

Lingkungan Host

Manusia

Faktor Kimiawi Faktor Fisik Faktor Biologi


1. pH 1. Suhu Udara 1. Tumbuhan
2. Salinitas air 2. Kedalaman 2. Hewan Agent
3. Oksigen air
terlarut (DO)
Vektor Plasmodium

Larva Nyamuk
Kepadatan larva
Dewasa
Anopheles spp

Gambar 2.4 Kerangka Konsep

Keterangan:
= Diteliti

= Tidak diteliti

2.5 Hipotesis

Ada korelasi faktor fisik, kimia, dan biologi dengan kepadatan larva nyamuk

Anopheles spp. di Desa Batu Menyan Kabupaten Pesawaran Provinsi Lampung

Tahun 2019
29

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kuantitatif.

Metode penelitian kuantitatif merupakan salah satu jenis penelitian yang spesifikasinya

adalah sistematis, terencana dan terstruktur dengan jelas sejak awal hingga pembuatan

desain penelitiannya (Sugiyono, 2014).

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Desember tahun 2019 di Desa Batu

Menyan Kecamatan Padang Cermin Kabupaten Pesawaran Provinsi Lampung setelah

proposal disetujui.

3.3 Rancangan Penelitian

Penelitian ini termasuk penelitian observasional analitik dengan pendekatan

Cross Sectional yaitu jenis penelitian yang menekankan pada waktu pengukuran atau

observasi data dalam satu kali pada satu waktu yang dilakukan pada variabel terikat dan

variabel bebas. Pendekatan ini digunakan untuk melihat korelasi antara variabel satu

dengan variabel lainnya, yang bertujuan untuk mendeskripsikan kondisi ekologi tempat

perindukan vektor malaria di Desa Batu Menyan Kecamatan Padang Cermin Kabupaten

Pesawaran Provinsi Lampung.


30

3.4 Populasi dan sampel

3.4.1 Populasi

Populasi adalah keseluruhan objek penelitian yang akan diteliti. Populasi

yang digunakan dalam penelitian ini adalah semua habitat potensial larva

Anopheles spp. di Desa Batu Menyan Kecamatan Padang Cermin.

3.4.2 Sampel

Sampel merupakan bagian dari populasi yang ingin diteliti oleh peneliti.

Menurut Sugiyono (2011) “Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik

yang dimiliki oleh populasi tersebut”. Sehingga sampel merupakan bagian dari

populasi yang ada, sehingga untuk pengambilan sampel harus menggunakan cara

tertentu yang didasarkan oleh pertimbangan-pertimbangan yang ada. Dalam teknik

pengambilan sampel ini penulis menggunakan teknik sampling purposive yaitu

teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2011). Sampel

adalah habitat potensial larva Anopheles spp. yang terdapat di lokasi penelitian

dengan radius 500 m dari rumah penderita malaria selama 1 tahun terakhir.

3.5 Variabel Penelitian

Variabel penelitian adalah segala sesuatu yang berbentuk apa saja yang

ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh informasi tentang hal

tersebut, kemudian ditarik kesimpulan (Sugiyono, 2013). Variabel yang digunakan

dalam penelitian dapat diklasifikasikan menjadi: (1) variabel independen (bebas),

yaitu variabel yang menjelaskan dan memengaruhi variabel lain, dan (2) variabel

dependen (terikat), yaitu variabel yang dijelaskan dan dipengaruhi oleh variabel

independen.

Variabel independen dalam penelitian ini terdiri dari:


31

1. Lingkungan fisik (suhu air dan kedalaman air) tempat perindukan vektor

malaria.

2. Lingkungan kimia (pH, oksigen terlarut (DO) dan salinitas air) tempat

perindukan vektor malaria.

3. Lingkungan biologi (tumbuhan air dan hewan air).

Variabel dependen dalam penelitian ini terdiri dari:

1. Kepadatan larva Anopheles spp.

3.6 Definisi Operasional

Untuk memudahkan pelaksanan penelitian ini dan agar penelitian tidak terlalu

luas maka dibuat definisi operasional sebagai berikut:

Tabel 3.1
Definisi operasional

Variabel Definisi Alat ukur Cara ukur Hasil ukur Skala


operasional ukur
Lingkungan
fisik
1. Suhu air Temperatur air Termometer Termometer air raksa Celcius Numerik
genangan dalam Mencelupkan bagian (°C)
tempat ujung yang terdapat
perkembangbiak bintik perak kedalam
an air, tunggu selama 5
Menit
2. Kedalaman Tinggi air dari Meteran dan Kayu dimasukkan ke Senti meter Numerik
air permukaan kayu dalam air lalu beri (cm)
sampai dasar tanda kedalaman air
tempat dan diukur dengan
perkembang menggunakan meteran
biakan vektor
malaria
Lingkungan
kimia
1. pH air Derajat pH stick Ukur dengan pH stick < 7 asam Kategori
keasaman pada air selama 3 menit = 7 netral
genangan air dan cocokan dengan > 7 basa
dalam tempat pH standar
perkembangbiak
an
32

2. Salinitas air Ukuran Refrakro- Meneteskan air pada Per mil Numerik
dinyatakan meter kaca refraktometer lalu (‰)
dengan jumlah ditutup dan di arahkan
garam–garam ke sumber cahaya
yang larut matahari
dalam volume
air
3. Kadar Jumlah oksigen DO meter mg/L Numerik
oksigen terlarut dalam
terlarut air yang berasal
dari fotosintesa
dan absorbs
atmosfer/udara
Lingkungan
biologi
1. Tumbuhan Ada atau Pencatatan Pengamatan langsung 1 = Ada Kategori
air tidaknya 0 = Tidak
tumbuhan dan ada
jenis tumbuhan
yang ditemukan
disekitar tempat
positif jentik
2. Hewan air Ada atau Jaring ikan Pencatatan dan 1 = Ada Kategori
tidaknya hewan Pengamatan langsung 0 = Tidak
dan jenis hewan ada
yang ditemukan
disekitar tempat
positif jentik
Kepadatan Jumlah larva Cidukan Perhitungan langsung (ekor/250ml) Kategori
larva pada tempat 1 = > 20 larva
Anopheles spp perindukan 0 = < 20 larva

3.7 Alat Ukur Penelitian

Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Suhu air

Pengukuran suhu air dapat dilakukan menggunakan termometer air raksa, yaitu

dengan cara mencelupkan bagian ujung yang terdapat bintik perak kedalam air,

lalu ditunggu selama 5 menit sehingga menunjukkan angka konstan.


33

Gambar 3.1 Termometer Air

2. Kedalaman air

Pengukuran kedalaman air dilakukan dengan cara memasukan kayu kedalam

air sampai dasar, kemudian kayu dengan batas kedalaman air ditandai dan

diukur kedalamannya menggunakan meteran.

Gambar 3.2 Meteran Pengukur Kedalaman Air

3. pH air

Pengukuran derajat keasaman (pH) menggunakan pH meter yang dimasukan

ke dalam air, kemudian ditunggu selama 3 menit sampai terlihat angka yang

menunjukkan nilai pH air tersebut, lalu dikocokkan dengan pH standar.


34

Gambar 3.3 Alat Ukur pH air

4. Salinitas air

Pengukuran salinitas air dapat dilakukan menggunakan refraktometer, yaitu

dengan cara mengambil satu tetes air sampel yang diteteskan pada kaca

refraktometer dan kemudian ditutup. Skala dibaca lewat lubang pengintai dan

alat yang diarahkan ke sumber cahaya matahari.

Gambar 3.4 Refraktometer


35

5. Kadar oksigen terlarut

Dalam menentukan kadar oksigen terlarut (DO) dapat dilakukan dengan

menggunakan DO meter, yaitu dengan cara memasukan probe ke dalam air

sampel, lalu digerak–gerakkan. Nilai skala dapat dilihat pada pencatatan DO

meter sampai angka menunjukan nilai konstan

Gambar 3.5 DO meter

6. Tumbuhan air

Jenis tumbuhan air pada tempat perindukan dicatat dan didokumentasikan.

7. Hewan air

Jenis hewan air yang terdapat pada tempat perindukan dicatat dan

didokumentasikan.

8. Kepadatan larva Anopheles spp

Larva nyamuk diambil dari genangan air dengan menggunakan cidukan.

Kemudian larva yang sudah berada di cidukan dituangkan ke dalam nampan

plastik dan dihitung kepadatannya. Angka kepadatan dinyatakan tinggi apabila

ditemukan 20 larva dalam 1 kali cidukan. Sampel diambil sebanyak 3 kali

pengulangan pada setiap titik pengamatan yang telah ditentukan.

Kepadatan Larva = Jumlah Larva yang didapat


Jumlah cidukan yang dilakukan

Volume 1 cidukan = 250 ml


36

Pada hasil perhitungan rumus tersebut angka kepadatan larva dinyatakan

tinggi jika ditemukan 20 larva 1 kali cidukan.

3.8 Cara Pengambilan Data

Pengambilan data menggunakan data primer diperoleh melalui survey

entomologi (survey larva) Anopheles spp di Desa Desa Batu Menyan Kecamatan

Padang Cermin Kabupaten Pesawaran Provinsi Lampung dan observasi.

3.9 Pengolahan Data

Menurut Notoatmojo (2012) pengolahan data dimulai setelah

pengumpulan data sekunder dengan tahapan sebagai berikut:

1. Editing

Pada tahapan editing dilakukan pemeriksaan data yang telah dikumpulkan

apakah dapat dibaca, telah terisi lengkap, terdapat ketidakserasian antara

jawaban satu dengan yang lainya.

2. Coding

Pada tahapan coding dilakukan penulisan memberikan kode tertentu pada

tiap data sehingga memudahkan penulis dalam melakukan analisa data.

3. Processing

Proses pengetikan data dari kuesioner ke program atau software komputer

sehingga menjadi suatu data dasar yang dapat di analisa.

4. Cleaning

Pada tahapan ini dilakukan pengecekan kembali untuk melihat kemungkinan

adanya kesalahan kode, ketidaklengkapan, dan sebagainya. Kemudian data

digolongkan, diurutkan dan disederhanakan sehingga mudah dibaca dan

diinterprestasikan.
37

3.10 Analisa Data

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis

kuantitatif, yaitu:

a. Analisa Univariat

Bertujuan untuk menyajikan secara deskriptif dari variabel-variabel yang

diteliti. Analisis bersifat univariat untuk melihat distribusi frekuensi dan

presentase dari seluruh faktor yang terdapat dalam variabel masing-masing,

baik variabel bebas maupun variabel tergantung (Notoatmodjo, 2012).

b. Analisa Bivariat

Analisis data bivariat digunakan untuk mengetahui interaksi dua variabel,

baik berupa komparatif, asosiatif, maupun korelatif. Analisis bivariat pada

penelitian ini adalah untuk mengetahui korelasi lingkungan fisik dan kimia

(suhu air, kelembaban udara, kedalaman air, pH, salinitas air) dengan

kepadatan larva nyamuk Anopheles spp. Dalam penelitian ini digunakan Uji

statistik spearman dengan bantuan program komputer SPSS 22,0.

3.11 Alur Penelitian

Tahapan Persiapan
38

Pembuatan proposal, perizinan, koordianasi

Tahapan Pelaksanaan

Pengumpulan Data

Tahapan Pengelolahan

Analisis Dengan Menggunakan Aplikasi Komputer

Hasil Penelitian

Gambar 3.6 Alur Penelitian

DAFTAR PUSTAKA
39

Departemen Kesehatan RI, 1993. Modul Entomologi Malaria: Morfologi dan


Identifikasi Nyamuk dan Jentik, Jakarta

Depkes RI. 2001. Epidemiologi Malaria. Jakarta: Ditjen PPM dan PL.

Depkes RI, 2008. Pelayanan Kefarmasian Untuk Penyakit Malaria.


http://farmalkes.kemkes.go.id

Dinas Kesehatan Provinsi Lampung. (2012). Profil Kesehatan Provinsi Lampung.


Bandar Lampung: Dinas Kesehatan Provinsi Lampung.

Dinkes Kabupaten Pesawaran, (2018). Profil Kesehatan Kabupaten Pesawaran


Tahun 2017.

Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. (2015).


Rencana Aksi Program Pengendalian Penyakit Dan Penyehatan
Lingkungan Tahun 2015-2019. http://www.depkes.go.id. Diakses pada 12
Desember 2017.

Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan
Lingkungan Perairan.Kanisius.Yogyakarta.

Harijanto., Agung Nugroho., Carta A Gunawan. (2009). Malaria dari. Molekuler


ke Klinis. edisi 2. Jakarta : EGC.

Irianto. 2013. Parasitologi Medis. Alfabeta, Bandung.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2016). Infodatin Malaria.


www.depkes.go.id/download.php?file. Diakses pada 12 Desember 2017.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2016). Modul Peningkatan


Kemampuan Teknis Mikroskopis Malaria. Jakarta: Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia.

Mulyanto. 1992. Lingkungan Hidup untuk Ikan. Departemen Pendidikan dan


Kebudayaan.

Notoatmodjo S, (2012). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta

Odum, E.P. 1993. Dasar-Dasar Ekologi. Diterjemahkan oleh Tjahjono Samingan.


Edisi ketiga. Gadjah Mada University. Yogyakarta
40

Prabowo A. 2010. Malaria, Mencegah & Mengatasinya. Puspa Swara

Profil Puskesmas Hanura, (2018)

Santjaka, A. (2013). Malaria Pendekatan Model Kausalitas. Yogyakarta: Nuha


Medika.

Setyaningrum, E. 1998. Aspek Ekologi Tempat Perindukan Nyamuk Anopheles


sundaicus di Pulau Legundi Padang Cermin Lampung. Jurnal Manajemen
dan Kualitas Lingkungan Volume 1 Nomor 3. Pusat Studi Lingkungan
Lembaga Penelitian Universitas Lampung. Lampung

Soedarto. (2011). Malaria. Referensi Mutahir Epidemiologi Global-Plasmodium-


Anopheles Penatalaksanaan Penderita Malaria. Jakarta: Sagung Seto.

Soegijanto, S. (2016). Kumpulan Makalah Penyakit Tropis dan Infeksi di


Indonesia (Jilid 1). Airlangga University Press.

Sucipto, C.D. (2015). Manual Lengkap Malaria. Yogyakarta: Gosyen Publishing.

Takken, & Knols, B. G. (2008). African water storage pots for the delivery of the
entomopathogenic fungus Metarhizium anisopliae to the malaria vectors
Anopheles gambiae ss and Anopheles funestus. The American journal of
tropical medicine and hygiene, 78(6), 910-916.

Vaughan, A. M., Aly, A. S., & Kappe, S. H. (2008). Malaria parasite pre-
erythrocytic stage infection: gliding and hiding. Cell host & microbe, 4(3),
209-218.

WHO (2017). Global Tuberculosis Report 2017. Switzerland: WHO.

WHO. (2016). Fact Sheet -World Malaria Report 2015. GENEVA: WHO.
Retrieved MAY 23, 2016, from http://www.who.int/malaria/media/world-
malaria-report-2015/en/#

Widoyono. (2011). Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan dan


Pemberantasannya. Edisi Kedua. Jakarta: Erlangga.

Yamko, R. (2009). Pola Spasial Daerah Perindukan Nyamuk Malaria Dengan


Aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG) di Kabupaten Halmahera
Tengah. Makasar. Universitas Hasanuddin.

Anda mungkin juga menyukai