Anda di halaman 1dari 33

perpustakaan.uns.ac.

id 9
digilib.uns.ac.id

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kajian Teori

2.1.1Penyakit Ginjal Kronis

Penyakit Ginjal Kronis (PGK) adalah suatu proses patofisiologi


dengan etiologi yang beragam yang dapat mengakibatkan penurunan
fungsi ginjal secara progresif dan pada umumnya akan berakhir dengan
gagal ginjal. Gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai
dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, dimana pada suatu
derajat memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, baik berupa dialisis
atau transplantasi ginjal (Suwitra, 2014).

Batasan Penyakit Ginjal Kronik pada pedoman Kidney Disease


Outcomes Quality Initiative (KDOQI) adalah kerusakan ginjal yang terjadi
selama lebih dari tiga bulanberdasarkan kelainan patologik atau petanda
kerusakan ginjal seperti proteinuria. Kidney Disease Outcomes Quality
Initiative(KDOQI) membuat klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik dalam 5
tahap berdasarkan tingkat penurunan fungsi ginjal yang dinilai dengan laju
filtrasi glomerulus (LFG) seperti terlihat pada Tabel 2.1 (KDOQI, 2002).

Tabel 2.1. Kriteria penyakit ginjal kronik (Suwitra, 2014)

Kriteria PGK
1. Kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa
kelainan struktural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju
filtrasi glomerulus (LFG), dengan manifestasi :
 Kelainan patologis
 Terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi
darah atau urin, atau commit
kelainantodalam
user test pencitraan (imaging test)
perpustakaan.uns.ac.id 10
digilib.uns.ac.id

Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1,73m2 selama 3


bulan dengan atau tanpa kerusakan ginjal.

Klasifikasi penyakit ginjal kronik di dasarkan atas dasar dua hal


yaitu atas dasar derajat (stage) penyakit dan atas dasar diagnosis etiologi.
Klasifikasi atas dasar derajat penyakit dibuat berdasar Laju filtrasi
glomerulusyang dihitung menggunakan rumus Kockcroft-Gault sebagai
berikut (Suwitra, 2014) :

(140 – umur) x BB (kg)

LFG (ml/mnt/1,73 m2) =

72 x kreatinin plasma (mg/dl)

*) pada perempuan dikalikan 0,85

Pada pasienPenyakit Ginjal Kronik, klasifikasi stadium


ditentukan oleh nilai laju filtrasi glomerulus yaitu stadium yang lebih
tinggi menunjukkannilai laju filtrasi glomerulus yang lebih rendah (Tabel
2.2) (Suwitra, 2014).

Tabel 2.2 Klasifikasi penyakit ginjal kronik berdasar derajat penyakit


(Suwitra, 2014)

Derajat Penjelasan LFG


1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau meningkat ≥ 90
2 Kerusakan ginjal dengan LFG meningkat ringan 60-89
3 Kerusakan ginjal dengan LFG meningkat sedang 30-59
4 Kerusakan ginjal dengan LFG meningkat berat 15-29
5 Gagal ginjal < 15/ dialisis

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 11
digilib.uns.ac.id

2.1.2 Morbiditas dan Mortalitas Penyakit Kardiovaskuler pada Penyakit


Ginjal Kronis

Morbiditas dan mortalitas kardiovaskular pada Penyakit Ginjal


Kroniksangat tinggi, akan tetapi banyak pasien yang meninggal karena
komplikasi kardiovaskular sebelum fungsi ginjal mencapai tahap terminal.
Lebih dari separuh pasien Penyakit Ginjal Kronikmempunyai komplikasi
penyakit jantung kongestif, sedangkan sekitar tiga perempatnya
mempunyai hipertrofi ventrikel kiri. Selain itu penyakit kardiovaskular
merupakan penyebab utama kematian pasien Penyakit Ginjal Kronik,
terlebih lagi pasien yang menjalani dialisis (Suhardjono, 2009).
Penyakit jantung vaskuler merupakan penyebab utama
morbiditas dan mortalitas pasien dengan Penyakit Ginjal Kronikpada
semua stadium (Skorecki, 2005). Penyakit jantung merupakan penyebab
kematian paling penting pada pasien yang menjalani hemodialisis yaitu
44% dari seluruh mortalitas. Sebagai gambaran, mortalitas penyakit
kardiovaskuler pada populasi umum (~2.000 kematian) dibandingkan
mortalitas pada pasien hemodialisis (~50.000 kematian). Hasil tersebut
menunjukkan bahwa tingkat mortalitas penyakit kardiovaskuler per tahun
jauh lebih tinggi pada pasien hemodialisis tanpa mempertimbangakan jenis
kelamin, ras atau usia. Pasien hemodialisis yang masih muda memiliki
peningkatan tingkat mortalitas hingga 500 kali dibandingkan usia yang
sesuai pada populasi umum dan tingkat mortalitas tetap lima kali lipat
lebih tinggi, meskipun pada pasien paling tua (Gambar 2.1) (Sarnaket al,
2003).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 12
digilib.uns.ac.id

Gambar 2.1 Mortalitas penyakit kardiovaskuler pada populasi umum


dibandingkan dengan pasien penyakit ginjal kronik stadium
terminal yang menjalani dialisis. GP:general
population(Sarnak, 2003).

Salah satu komplikasi Penyakit Ginjal Kronikadalah adanya


penyakit kardiovaskuler (PKV) yang di dasari oleh proses aterosklerosis.
Angka mortalitaspasien Penyakit Ginjal Kronikdiakibatkan oleh penyakit
kardiovaskuler semakin hari semakin meningkat mencapai 40-50% pada
pasien dengan dialisis reguler. Faktor resiko kardiovaskuler pada Penyakit
Ginjal Kronikterdiri dari faktor resiko klasik (tradisional) dan non klasik
(non tradisional) seperti terdapat pada gambar 2.2, meskipun
mekanismenya belum dimengerti (Filiopoulos dan Vlassopoulos, 2009).
Berbagai macam faktor resiko dan perubahan metabolik yang
didapatkan pada kondisi uremia, berkontribusi terhadap terjadinya faktor
resiko penyakit kardiovaskuler pada populasi tersebut. Faktor resiko
tradisional (Framingham: usia, gaya hidup, hipertrofi ventrikel kiri,
dislipidemia, hipertensi dan diabetes melitus) memprediksi mortalitas
kardiovaskuler pada pasien dengan Penyakit Ginjal Kronikringan hingga
sedang (Munter, 2005), sedangkan faktor resiko non tradisional untuk
penyakit kardiovaskuler seperti inflamasi, disfungsi endotel, hiperaktivitas
simpatis, protein-energy wasting (istilah baru yang diajukan untuk
kehilangan protein tubuh dan cadangan energi), stres oksidatif, kalsifikasi
vaskuler dan volume overload, memiliki prevalensi tinggi pada pasien-
pasien tersebut (Stevinkel dan Peter, 2008).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 13
digilib.uns.ac.id

Gambar 2.2 Faktor resiko kardiovaskuler tradisional dan non tradisional


(terkait uremia) pada Penyakit Ginjal Kronik (Stevinkel,
2008)

Terdapat dua alasan potensial untuk peningkatan resiko


mortalitas penyakit kardiovaskuler yang dramatis pada populasi
hemodialisis.Pertama adalah tingginya prevalensi penyakit kardiovaskuler
dan kedua adalah tingginya tingkat kasus kematian pada pasien yang telah
memiliki penyakit kardiovaskuler.Berbagai data menunjukkan bahwa
pasien hemodialisis memiliki prevalensi penyakit jantung iskemik dan
gagal jantung kongestifyang lebih tinggi dibandingkan populasi
umum.Sebagai tambahan prevalensi pasien dengan hipertrofi ventrikel kiri
sejumlah 75% pada pasien dialisis (Sarnaket al, 2003).

Penting untuk digarisbawahi bahwa prevalensi penyakit


kardiovaskulermeningkat pada semua pasien dengan Penyakit Ginjal
Kronik, tidak hanya pasien dengan penyakit ginjal tahap akhir (PGTA).
Prevalensi hipertrofi ventrikel kiri meningkat dengan menurunnya filtrasi
glomerulus dan sebanyak 30% pasien penyakit ginjal tahap akhir telah
memiliki bukti klinis adanya penyakit jantung iskemik atau gagal
jantung.Juga perlu diperhatikan bahwa pasien dengan penurunan laju
filtrasi glomerulus (LFG) lebih cenderung mengalami kematian akibat
penyakit kardiovaskuler daripada berkembang ke penyakit ginjal tahap
akhir (Sarnaket al, 2003).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 14
digilib.uns.ac.id

2.1.3 Resiko kardiovaskuler pada penyakit ginjal kronik


Pasien Penyakit Ginjal Kronik lebih beresiko terjadinya Penyakit
Kardio Vaskulardibandingkan individu tanpa Penyakit Ginjal Kronik
dengan faktor resiko kardiovaskuler yang sama. Terapi ditujukan untuk
menurunkan faktor resiko tradisional, sehingga faktor resiko tradisional saja
tidak dapat menjelaskan angka kejadianPenyakit Kardio Vaskular yang
tinggi pada pasienPenyakit Ginjal Kronik (Martens dan Edward, 2011).
Pasien dengan hiperuremia kronis yang disebabkan oleh faktor-
faktor renal maupun non-renal, faktor-faktor resiko penyakit jantung dan
aterosklerosissaling mempengaruhi sebagai komorbiditas, seperti terlihat
pada Gambar 2.3(Santoro dan Mancini, 2002).

TERKAIT-UREMIA↑ LDL
KLASIKHipertensi TERKAIT-
teroksidasiRadikal
HiperlipidemiaDia DIALISISBioinkompatib
bebasHiperhomosisteinemia
betesMerokok ilitas InfeksiEndotoksin
Infeksi: herpes,
klamidiaAsidosisToksin

DISFUNGSI PELEPASAN SITOKIN


ENDOTEL PROINFLAMASI

PROTEIN REAKTAN FASE AKUT


↑(CPR, SAA, FIBRINOGEN)

RESPON INFLAMASI SISTEMIK

PERCEPATAN ATEROSKLEROSIS

Gambar 2.3Faktor resiko aterosklerosis pada uremia (Santoro


danMancini, 2002).

Pada respon inflamasi yang berhubungan dengan uremia,


khususnya respon seluler yang dimediasi oleh sel seperti monosit dan
commit bahwa
makrofag bukti telah menunjukan to userendotel vaskular berperan penting
perpustakaan.uns.ac.id 15
digilib.uns.ac.id

dalam kuatnya respon inflamasi. Inflamasi yang terus menerus


menghasilkan respon vaskuler pada suatu proses yang diperantarai oleh
mediator inflamasi lewat jalur kemotaktik dan haptotatik. Migrasi monosit
ke tunika intima akan berubah menjadi makrophag, memakan lipid dan
menjadi foam cells seperti terlihat pada Gambar 2.4 (Stinghen dan Pecoits-
Filho, 2007).

Gambar 2.4Peranan uremia pada disfungsi endotel (Stinghen dan


Pecoits-Filho, 2007).

2.1.4 Inflamasi pada Penyakit Ginjal Kronis

Inflamasi kronis yang terdapat pada penyakit ginjal kronis terjadi


tanpa adanya infeksi akut atau penyakit sistemik aktif. Peningkatan kadar
penanda inflamasi yang bersirkulasi seperti Interleukin 6 (IL-6, IL-18), S-
albumin, leukosit, fibrinogen, hyaluronan, myeloperoxidase, C-Reactive
Protein (CRP) dan pentraxin-3 (PTX3) berhubungan dengan morbiditas
kardiovaskuler dan mortalitas pada pasien Penyakit Ginjal Kronis
(Stevinkel dan Peter, 2008). Telah dibuktikan bahwa peningkatan CRP
serum terdapat pada 30-60% pasien dialisis dan berkorelasi dengan
prevalensi penyakit kardiovaskuler yang tinggi pada populasi tersebut.Hal
tersebut tidak terbatas pada pasien dengan penyakit ginjal tahap akhir
commit
(PGTA) yang telah menjalani to userbahkan pasien dengan gangguan
dialisis,
perpustakaan.uns.ac.id 16
digilib.uns.ac.id

fungsi ginjal yang ringan menunjukkan tanda-tanda mikro inflamasi


(Sarnaket al, 2003).Tampaknya bahwa peningkatan klirens sitokin
proinflamasi yang bersirkulasi, endotoksemia akibat volume overload dan
stres oksidatif berkontribusi pada fenomena tersebut (Alscher dan Thomas,
2005).

2.1.5Stres Oxidatif pada Penyakit Ginjal Kronik

Faktor resiko kardiovaskular dan disfungsi endotel Oxidized Low


Density Lipoprotein(OxLDL), hipertensi angiotensin II, merokok,
homosistein, diabetes dan hipernatremia) dapat merangsang Nicotinmide
Adenine Dinucleotide Phosphate Oxidase (NADPH oksidase) pada
mitokondria sehingga enzim tersebut akan mengekskresikan stres
oksidatif. Stres oksidatif akan menyebabkan disfungsi endotel. Disfungsi
endotel akan meningkatkan progresifitas aterosklerosis seperti terlihat
pada gambar 2.5 (Gibbons GH, 1997).

Gambar 2.5Faktor resiko kardiovaskular dan disfungsi endotel (Gibbons


GH, 1997)

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 17
digilib.uns.ac.id

Ketidakseimbangan antara produksi Reactive Oxygen


Species(ROS) dan pertahanan antioksidan menghasilkan kondisi stres
oksidatif yang dapat muncul dari defisiensi anti oksidan (glutation, asam
askorbat atau α tocoferol) atau peningkatan pembantukan Reactive Oxygen
Species seperti peroksinitrit (OONO-), Hypochlorous Acid(HOCL) atau
anion superoksida (Nanayakkara dan Gaillard, 2010; Sigma, 2011),
Oksidasi Low Density Lipoprotein (ox-LDL) diyakini sebagai langkah kunci
dalam inisiasi aterosklerosis, sehingga stres oksidatif juga diyakini sebagai
salah satu mekanisme peningkatan resiko kardiovaskuler pada Penyakit
ginjal Kronik (Himmelfarb, 2002).
Ketersediaan Nitrite Oxyde (NO) pada disfungsi ginjal terganggu
oleh peningkatan kadar Asimetric Dimethylarginine (ADMA). Terdapat
bukti yang mendukung hipotesis bahwa Asymetric Dimethylarginine
(ADMA), suatu inhibitor endogen Nitrite Oxyde-Synthase terlibat dalam
memperantarai Penyakit Jantung Vascular. Asimetric Dimethylarginine
(ADMA) terutama diekskresikan melalui ginjal in vivo, diketahui meningkat
kadarnya pada Penyakit ginjal Kronik. Asimetric Dimethylargininejuga
merupakan prediktor independen disfungsi endotel dan merupakan prediksi
buruk pada pasien hemodialisis.
Angiotensin II (Ang II) menstimulasi pembentukan Reactive
Oxygen Species(ROS) intraseluler seperti anion superoksida dan hidrogen
peroksida. Angiotensin II mengaktifkan beberapa subunit Nicotinmide
Adenine Dinucleotide Phosphate Oxidase (NADPH oksidase) dan juga
meningkatkan pembentukan Reactive Oxygen Speciesdi dalam mitokondria.
Peningkatan O2-dibentuk oleh Nicotinmide Adenine Dinucleotide Phosphate
Oxidasedan Xanthine Oxidase nantinya akan menurunkan ketersediaan
Nitrite Oxyde (NO), menginduksi disfungsi sel endotel dan sel otot polos
vaskuler. Superoksida juga bereaksi dengan Nitrite Oxydeuntuk membentuk
peroksinitrit ONOO-yang merusak jaringan dan menginduksi disfungsi
mitokondria (Oikawa, 2005; Nanayakkara dan Gaillard, 2010).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 18
digilib.uns.ac.id

Superoksida Dismutase (SOD) mengubah superoksida menjadi


Hidrogen Peroksidase(H2O2)yang dapat memasuki sel dengan mudah.
Oksidan hidrogen peroksidase (H2O2) yang kurang aktif kemudian direduksi
menjadi air dan oksigen oleh katalase dan glutation peroksidase. Sistem
glutation sangat penting untuk perlindungan melawan stres oksidatif. Selain
itu Hidrogen Peroksidase (H2O2)dapat dikonversi menjadiradikal hidroksil
(OH-), Reactive Oxygen Speciespaling reaktif dan toksik melalui reaksi
Harber-Weiss atau Fenton. Dengan adanya Myeloperoksidase (MPO) dari
neutrofil, Hidrogen Peroksidase (H2O2)membentuk oksidantambahan
(Gambar 2.6) (Nanayakkara dan Gaillard, 2010).

Gambar 2.6Representasi sederhana pembentukan superoksida dan hidrogen


peroksida. ADMA = asymetric dimethylarginine; ROS =
reactive oxigen species; SOD = superoxide dismutase; EC =
endotelial cell; VSMC = vascular smooth muscle cell; GSHP =
glutathioneperoxidase; MPO = myeloperoxidase; NF-kB =
nuclear factor kB; AGE = advanced glycosilation end
products (Nanayakkara dan Gaillard, 2010).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 19
digilib.uns.ac.id

2.1.6Fibroblast Growth Factor-23 (FGF-23)

Fibroblast Growth Factor-23(FGF-23) merupakan


anggota subfamili FGF-19 dari FGFs endokrin
yang juga mencakup Fibroblast Growth Factor (FGF) 15/19 dan Fibroblast
Growth Factor21/23. Fibroblast GrowthFactor-
23pertamakali diidentifikasi dalam inti thalamicventrolateral dalamotak
tikus pada Autosomal Dominan Hypophos phatemic Ricketsia
(ADHR).Fibroblast Growth Factor-23 terutama terdapat di osteosit dan
osteoblasdalam tulangtapi jugaterdapat pada kelenjar ludah, lambung dan
jaringan lain termasuk otot rangka,otak,kelenjar susu dan hati. Gen
Fibroblast Growth Factor-23 terletakpada kromosom 12 pada manusia dan
kromosom 6 pada tikus oleh 3 exons, dipisahkan oleh 2 intron dan encode
32-kDa glikoproteinyang mengandung251 asam amino residu.
Proteinterdiri dari 24 asam aminohidrofobik, 154 asam amino NH2
terminal yang mengandung inti homolog dan Fibroblast Growth Factor73
asam amino Carboxylic Acid(COOH)terminal domain. Setelah
pembelahan24 asam amino dan O-glikosilasi olehUridine Diphosphate N-
Acetylglucosamine (UDP-GlcNAc): polipeptida Galactosaminyl N-Acetyl
Transferase3 (GALNT3), 25-251 proteinFGF 23 disekresike dalam
sirkulasi. Dalam aliran darah, protein Fibroblast Growth Factor-23beredar
dalam dua bentukyang berbeda yaitu bentuk matang penuh (25-FGF-23-
251) dan bentuk yang lebih pendek (25-Fibroblast Growth Factor-23-
179) kurang Carboxylic Acid(COOH)terminal 73 asam amino. Bentuk
pendek munculdaripembelahan proteolitik pada
176RXXR179 yang mengikutiFibroblast Growth Factor10-12 inti homolog
Fibroblast Growth Factor-23.Hanya bentuk panjangFibroblast Growth
Factor-23 yang aktif, karena Carboxylic Acid(COOH-) terminal domain
penting untuk interaksi dengan kofaktor Klotho dan aktivasi
dari sinyalFibroblast Growth Factor Reseptor (FGFR). O-

commit to
glikosilasi dari Fibroblast Growth user
Factor-23terjadi pada daerah 162–228
perpustakaan.uns.ac.id 20
digilib.uns.ac.id

yang tumpang tindih dengan pembelahan176RXXR179 dan modifikasi ini


untukmelindungi Fibroblast Growth Factor-23 dari pembelahan oleh
subtilisin seperti proprotein convertases apabilamenggunakan rekombinan
peptida secara in vitro. Sebaliknya, Fibroblast Growth Factor-23pada
manusia dengan homozygous mutasi pada Fibroblast Growth Factor-
23berkembang ke hiperfosfatemiaoleh 1,25 (OH)2Ddan kalsifikasi jaringan
lunak. Gen klotho mengkodekan protein transmembran dengan
ekstracellular domain terdiri dari dua domain homolog yang urutan homolog
dengan β glukosidase (Kurosu, 2006; Urakawa, 2006).
Fibroblast Growth Factor-15 (FGF-15) danFibroblast Growth
Factor-19 (FGF-19) adalah orthologs pada vertebrata danFibroblast Growth
Factor-15 (FGF-15) terdapat pada manusia (Itoh N dan Ornitz DM,2004).
FamiliFibroblast Growth Factor(FGF) dibagi menjadi tujuh
filogenetiksubfamili menyusun tiga kelompok sesuai dengan mekanisme:
intraseluler, kanonik dengan Fibroblast Growth Faktorseperti hormon (Itoh
dan Ornitz DM,2008).Kelompok Fibroblast Growth Factorintraseluler
termasuk subfamiliFibroblast Growth Factor11/12/13/14. Fibroblast Growth
Factor (FGFs) ini bertindak sebagai sinyal molekul intraselulerdalam
reseptor FGF (FGFR) (Goldfarb, 2007;Xiao, 2007). Kelompok Fibroblast
Growth Factorkanonik termasuk FGF 1/2/5, Fibroblast Growth Factor3/4/6,
Fibroblast Growth Factor7/10/22, Fibroblast Growth Factor8/17/18.
Fibroblast Growth Factor (FGFs) Canonical memediasi respon biologis
sebagai protein ekstraselulerdengan mengikat dan mengaktifkan permukaan
seltyrosine kinase FGFR dengan heparin/ heparin sulfat sebagai kofaktor
dan bertindak sebagai sinyal molekul autokrin/parakrin (Itoh dan Ornitz
DM,2004, 2008; Thisse B dan Thisse C,2005). Kelompok endokrin
Fibroblast Growth Factortermasuk subfamili Fibroblast Growth
Factor19/21/23.Berbeda dengan kelompok Fibroblast Growth
Factorkanonik, Fibroblast Growth Factor (FGFs) seperti hormonbertindak
secara sistemik sebagai faktor endokrin. Namun jugamemediasi respon
commit to user
melalui mekanisme yang tergantung Fibroblast Growth Factor Reseptor
perpustakaan.uns.ac.id 21
digilib.uns.ac.id

(FGFR).Gen Fibroblast Growth Factor Reseptor-15 seperti FGFs hormon


dihasilkan darigen Fibroblast Growth Factor Reseptor-4 seperti FGFs
kanonik oleh duplikasi gen pada vertebrata. KemudianFibroblast Growth
Factor Reseptor 15/19,Fibroblast Growth Factor Reseptor-21dan Fibroblast
Growth Factor Reseptor-23 dihasilkan dari Fibroblast Growth Factor
Reseptor-15 seperti gen oleh duplikasi genom. FGFs Canonicalmengikat
heparin untuk stabilitas FGFRs. Sebaliknya hormon seperti FGFs sebagai
fungsi endokrin dengan mengikat pengurangan afinitas heparin dan COOH
memungkinkan aktivasi reseptor FGF dengan tidak adanya heparin
(Itoh,2010).
Fibroblast Growth Factor-23 bertanggung jawab atas gejala klinis
pasien yang menderitaautosomal dominan hypophosphatemic riketsia.
Mutasi ini mencegah proteolitik pembelahan protein Fibroblast Growth
Factor-23, meningkatkan aktivitas biologis dan mengakibatkan kerusakan
ginjal. Demikian pula peningkatan kadar serum Fibroblast Growth Factor-
23 pasien dengan osteomalasia onkogenik menjadifaktor penyebab tumor
ginjal yang diinduksi oleh fosfat(Simada, 2001).
Klotho sebagian besar terdapat pada tubulus distal ginjal, sel epitel,
kelenjar paratiroid dan glandula hipofisis(Torres, 2007; NabeshimaY,
2006). Sumbu Fibroblast Growth Factor-23, tulang dan ginjal adalah bagian
dari sistem biologis menghubungkan tulang dengan organ lain melalui
jaringan endokrin yang kompleks, terintegrasi dengan axis Paratiroid
hormon/ vitamin D dan memainkan peran yang sama (Yamashita, 2000).
Fibroblast Growth Factor-23 dengan adanya klotho dapat mengaktifkan
sinyal molekul, ditentukan oleh aktivasi atau fosforilasidari Fibroblast
Growth FactorReseptor (FGFR) substrat-2a, ekstraseluler signalregulated
kinase. Klotho juga meningkatkan reseptor Fibroblast Growth Factor-23
karena Fibroblast Growth Factor-23 memiliki afinitas yang lebih besar
untuk kompleks klotho-Fibroblast Growth FactorReseptordibandingkan
dengan Fibroblast Growth FactorReseptor saja (Goetz, 2007; Kurosu, 2006).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 22
digilib.uns.ac.id

Fibroblast Growth Factor-23/ axis ginjal memiliki setidaknya dua


fungsi fisiologis: 1) untuk memberikan sinyal phosphaturic yang berasal
dari tulang untuk mengkoordinasikanfluks fosfat pada tulang karena
perubahan pergantian tulang danmineralisasi dengan fosfat di ginjal
2)memberikan hormon counterregulatory untuk melindungi organismedari
paparan vitamin D yang berlebihan dengan penekananFibroblast Growth
Factor-23 dimediasi produksi 1,25 (OH)2 vitamin D dan peningkatan
katabolisme oleh ginjal. Fibroblast Growth Factor-23memiliki fungsi lain
untuk mengatur fosfat, fungsi kelenjar paratiroid.
Kalsifikasi vaskular diatur oleh proses yangmelibatkan interaksi
antara molekul stimulator dan kalsifikasi inhibitor. Meskipun banyak
molekul dan atau faktor yang diidentifikasi sebagai kalsifikasi
stimulatortermasuk fosfat anorganik, kalsium,natrium fosfat co-transporter,
Runt-Related Transcription Factor 2 (Runx2), Tissue NonSpesific Alkaline
Phosphase (TNAP), glukosa, asetat Low Density Lipoprotein(LDL), Tumor
Necrosis Factor-α (TNF-α) dan bone morphogenetic protein-2 (El Abbadi
dan Giachelli, 2007).
Mekanisme yang tepat untuk menginduksi kalsifikasi pembuluh
darah daninteraksi dengan inhibitor kalsifikasi belumdipahami dengan
jelas.Penelitian terbaru pada kalsifikasi vaskulardan terganggunya
keseimbangan antara calcificationinhibiting dan faktor promoting dapat
menyebabkan kalsifikasi ektopik. Beberapa faktor kunci yangterbukti secara
langsung mengatur induksi dankalsifikasi vaskular, namun tidakterbatas
pada faktor (misalnya fosfat, kalsium, pirofosfat dan hormon paratiroid) dan
molekul matriks (misalnya Matriks GLA Protein (MGP) dan enzim katalis
misalnyaTissue Non Spesific Alkaline Phosphase(TNAP). Fosfat dan
kalsium serum penentu kalsifikasi vaskular dapat menyebabkan deposisi
kalsium fosfat di dalam pembuluh darah dan jaringan lunak.Hiperfosfatemia
pada pasien dialisis berkorelasi dengankalsifikasi vaskular, fosfat
denganpengikat fosfat noncalcium berkorelasi dengan kalsifikasi vaskular
(Raggi dan Ali, 2002). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 23
digilib.uns.ac.id

Penelitian in vitro menunjukkan bahwa sel otot polosmengalami


perubahan fenotipe ditandai dengandownregulation sel otot polos dan
upregulation gen (Steitz, 2001). osteochondrogenic mirip dengan fosfor,
keseimbangan kalsium positif terkait dengan kalsifikasi vaskular pada
manusia secarain vitro. Kalsiummempromosikan mineralisasi dalam sel otot
polos pembuluh darah dan mineralisasi kalsium yang disebabkan ekspresi
cotransporters fosfat tergantung pada sodium(Yanget al, 2004).
Pirofosfat anorganik menghambat kalsifikasi vaskular
denganmembatasi pembentukan hidroksiapatit dan propagasimelalui
chelator seperti peran biofisik serta menstabilkanfenotip aorta, bertindak
sebagai regulator (Towler DA,2005). Pirofosfat plasma berkurang pada
pasien hemodialisis dan diperparah akibat pirofosfat clearance. Faktor lain
Tissue Non Spesific Alkaline Phosphase (TNAP) dan enzim yang
diproduksi dalam beberapa jaringan termasuk tulang, berfungsi sebagai
fenotipe fungsionalpenanda osteoblas dan sering digunakan sebagai penanda
molekuleruntuk kalsifikasi vaskular. Pirofosfat adalahsubstrat untuk Tissue
Non Spesific Alkaline Phosphase dan fosfor adalah produk untukaktivitas
katalitik dapat mengantisipasi Ekspresi Tissue Non Spesific Alkaline
Phosphase bertindak sebagai prekursor untuk kalsifikasi vaskular hormon
paratiroid. Sekresi yang tidak terkendali dari hormon paratiroiddapat
melepaskan jumlah berlebihan kalsium daritulang, mengendap dalam
pembuluh darah dan jaringan. Influenza B virus (BM2 protein) berperan
dalam kalsifikasidengan mengerahkan efek osteogenik pada pembuluh
darah. Selain itu, protein matriks, seperti Matrix Gla Protein (MGP) dapat
menghambat kalsifikasi pembuluh darah. Korelasi positif antara ekspresi
Matrix Gla Protein dan kalsifikasi pada arteri (Poole dan Reeve, 2005).
Kalsifikasi vaskular histologis dibagi menjadi empatjenis utama: (1)
Kalsifikasi intima aterosklerotik, (2)kalsifikasi arteri medial (Monckeberg
sclerosis), (3)kalsifikasi katup jantung, (4) kalsifikasi arteri dibentuk
calciphylaxis.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 24
digilib.uns.ac.id

2.1.7 Albuminuria
Penyakit glomerular merupakan penyebab penting terjadinya
Penyakit Ginjal Tahap Akhir yang menjalani dialisis. Kelainan urin
asimptomatik berupa hematuria mikroskopik dan proteinuria merupakan
tanda awal penyakit glomerular. Gejala klinik tersebut beresiko
menimbulkan kerusakan glomerulus bermakna disertai hipertensi dan
disfungsi ginjal progresif. Kelainan urin asimtomatik hematuri
mikroskopik dan atau proteinuria merupakan tanda awal penyakit
glomerular banyak di jumpai pada populasi umum (Feehally dan Johnson,
2003).
Derajat proteinuria diasosiasikan dengan penurunan ginjal progresif
pada penyakit glomerular yang berkembang menuju Penyakit Ginjal
Kronik. Proteinuria terjadi karena lintasan transglomerular abnormal
akibat peningkatan permeabilitas dinding kapiler glomerulus dan
gangguan reabsorbsi protein oleh sel epitel tubulus proksimal. Kerusakan
dinding kapiler glomerulus berkorelasi dengan menurunnya
sialoglycoprotein yang melapisi sel endotel, fusi dari foot processes
podosit dan terangkatnya sel dari membran basal glomerulus (Glomerular
Basment Membrane). Berkurangnya muatan negatif pada dinding kapiler
menyebabkan albumin lolos dalam urin (Amico G dan Bazzi C, 2003).
Suatu studi baru menunjukkan bahwa adanya protein yang terbuang
dalam urin dapat mengidentifikasi meningkatnya resiko penyakit reno
kardio serebro vaskuler. Dari semua pasien yang memiliki peningkatan
kadar protein urin, lebih dari setengahnya memulai dialisis atau melakukan
transplantasi ginjal selama studi. Dari hasil penelitan tersebut para peneliti
menyimpulkan bahwa pada individu dengan kadar proteinuria tinggi
terjadi peningkatan resiko penurunan fungsi ginjal, akhirnya pasien
memerlukan dialisis atau transplantasi ginjal. Semakin tinggi kadar protein
urin, semakin tinggi resiko pasien memerlukan dialisis atau transplantasi
ginjal dan semakin cepat penurunan fungsi ginjal (Gansevort, 2009).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 25
digilib.uns.ac.id

Persisten mikroalbuminuria merupakan faktor resiko independen


untuk berkembangnya penyakit kardiovaskular. Persisten
mikroalbuminuria terbukti sebagai prediktor kematian akibat
kardiovaskularpada orang normal, mikroalbuminuria ditemukan dengan
prevalensi 7%. Sementara pada penderita hipertensi, diabetes, penyakit
jantung koroner dan stroke prevalensi mikroalbuminuria berkisar antara
16-28% (Pedrinelli, 1994; Tabaei, 2005).

Gambar 2.7Renal Continum (Tabaei, 2005).


Albuminuria adalah fenomena yang ditunjukkan oleh adanya
molekul albumin dalam urin. Penyebabnya karena adanya kerusakan pada
alat filtrasi. Albuminuria merupakan kondisi patologis. Klasifikasi
albuminuria seperti disajikan pada tabel 2.3 (Gendler SM, 1987).

Tabel 2.3 Klasifikasi Albuminuria(Gendler SM, 1987).

Kondisi Creatinin (µg/min) Time collect 24 hr collect

Normal < 30 < 20 < 30


Mikroalbuminuria 30 – 299 20 – 199 30 – 299
Makroalbuminuria ≥ 300 ≥ 200 ≥ 300
Albuminuria dibagi menjadi 5 jenis berdasarkan miligram protein
yang ditemukan dalam tes urin 24 jam :

1. Microalbuminuria: 30-150 mg

2. Mild : 150-500 mg
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 26
digilib.uns.ac.id

3. Moderate : 500-1.000 mg

4. Heavy : 1.000-3.000 mg

5. Nephrotic :>3.500 mg

Proteinuria tak terdeteksi sering dijumpai pada stadium 1 Penyakit


Ginjal Kronik dan beresiko berkembang menuju Penyakit Ginjal Kronik
stadium 2, 3 dan 4 yang tidak terdeteksi dan akhirnya menjadi mencapai
Penyakit Ginjal Tahap Akhir. Data dari survei Pernefri membuktikan dari
9400 individu yang diperiksa dengan tes celup urin di dapatkan proteinuria
persisten sebesar 2,8% (Prodjosudjadi, 2009).
Di kenal tiga jenis proteinuria yaitu glomerular proteinuria, terjadi
akibat kerusakan pada basal membran glomerulus sehingga terjadi
peningkatan filtrasi glomerulus yang melebihi kemampuan tubulus untuk
mereabsorbsi. Tubuler proteinuria, terjadi akibat tidak tereabsorbsinya Low
Molecular Weight Protein seperti betamicroglobulin atau lyzozyme atau
adanya defek pada tubulus proksimal sehingga tidak mampu mereabsorbsi
protein filtrate glomerulus,sehingga tubuler proteinuria tidak pernah
melebihi 2g/24 jam. Overflow proteinuria, terjadi bila kelebihan protein
sistemik (Small Molekular Weight) diatas kemampuan tubulus untuk
mereabsorbsinya (Suwitra, 2009).
Mekanisme terjadinya albuminuri pada prinsipnya ada dua, yaitu:
1. Masalah fisik. Pada keadaan ini kondisi sistem filtrasi berhubungan
dengan permeabilitas membran fitrasi (fenestra, kerusakan membran
basalis, podosit, slit diafragma). Kondisi ini tergantung besarnya
diameter fenestra dan kualitas slit diafragma. Pelebaran fenestra biasanya
disebabkan karena rusaknya sistem autoregulasi pada spincter prekapiler
vasa afferent akibat hipertensi yang kronis. Rusaknya autoregulasi ini
membuat hipertensi sistemik langsung diteruskan pada kapiler
glomerulus, sehingga menyebabkan permeabilitas meningkat yang akan
mengakibatkan terjadinya pelebaran fenestra. Pelebaran fenestra ini akan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 27
digilib.uns.ac.id

mempermudah keluarnya albumin, sehingga terjadi albuminuri.


Hipertensi kronis meskipun tekanan sistolik hanya diatas 120 mmHg
sudah menimbulkan stresor pada endotel. Endotel yang mendapatkan
stresor ini akan mengekspresikan sitokin pro-inflamasi Tumor Necrosis
Factor-α (TNF-), Interleukin-1 dan 6 (IL-1 dan IL-6), selain itu juga
akan mengekspresikan Tumor Growth Factor β1 (TGF1). Sitokin-
sitokin tersebut akan menyebabkan kerusakan pembuluh darah
(aterosklerosis).
Bila terjadi peningkatan stres oksidatif akan meningkatkan
jumlah apoptosis pada podosit atau slit diafragma sehingga akan
menyebabkan kerusakan sistem filtrasi dan menyebabkan kebocoran
sistem filtrasi akhirnya akan menyebabkan peningkatan albuminuria.

Gambar 2.8Ilustrasi skematik dari collagen type IV (Robbin, 2005).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 28
digilib.uns.ac.id

Gambar 2.9Adanya stresor terhadap sel tubulus proksimal akibat sel


tubulus tersebut melakukan reabsorbsi albuminuri terus
menerus. Dimana sel tubulus proksimal berubah fungsi
seperti makrofag sehingga dapat mengekspresikan sitokin
pro inflamasi maupun growht faktor (misalnya TGF1).
TGF1 dapat menyebabkan remodeling sel otot polos
pembuluh darah akibat terjadinya proliferasi sel otot polos
pembuluh darah tersebut maupun pembentukan Extra
Celluler Matrix (ECM) misalnya : kolagen, fibronektin,
laminin, elastin, proteoglikan. Remodeling tersebutdiatas
akan menyebabkan kerusakan pembuluh darah yang
berakibat terjadinya aterosklerosis (Robbin, 2005).

Gambar 2.10Proses growth faktor (TGF1) merangsang reseptor atau


membran sel dan mengakibatkan Cystoplasmic Signal
Transduction dan mengaktifkan nukleus (DNA & mRNA)
sehingga terjadi reaksi transkripsi kemudian translokasi
pembentukan protein ECM (kolagen, dll) juga proliferasi
sel (Proliferation Differentation, Protein synthesis,
Athachment, Migration, Shape Change) (Robbin, 2005).

Tumor Growth Factor 1(TGF1) mempunyai reseptor pada target


sel. Target sel pada glomerulus terutama sel mesangial yang dirangsang oleh
Tumor Growth Factor 1 akan menghasilkan kolagen tipe-IV yang
mengakibatkan glomerulosklerosis. Target sel yang lain misalnya fibroblast
pada intertitial jaringan ginjal bila reseptornya terangsang oleh Tumor
Growth Factor 1akan memproduksi kolagen tipe-I dan akhirnya
menyebabkan intertitial fibrosis.Terjadinya disfungsi endotel pada
pembuluh darah juga akan terjadi disfungsi endotel kapiler glomerulus yang
commit to user
akan mengurangi negatifitas sehingga terjadi albuminuria. Dengan kata lain,
perpustakaan.uns.ac.id 29
digilib.uns.ac.id

adanya albuminuria maka besar kemungkinan telah terjadi juga disfungsi


endotel pembuluh darah secara sistemik (Robbin, 2005).

Gambar 2.11 Pembentukan kolagen yang berlebihan akibat fibroblast yang


dirangsang oleh Tumor Growth Factor 1 (TGF1)
sehingga terjadi interstitial fibrosis (Robbin, 2005).

Gambar 2.12 Sistem filtrasi dan fenestra endotel kapiler glomerulus


(Robbin, 2005).

Slit diafragma merupakan saringan untuk mencegah terjadinya


albuminuri. Slit diafragma terutama terdiri dari protein nefrin. Angiotensin
II akan merangsang Angiotensin I reseptor, Angiotensin I reseptor berfungsi
untuk menghambat kerja dari enzim yang ada di podosit untuk
memproduksi nefrin. Pemberian obat-obatan penghambat Agiotensin II
(sartan), akan menghambat Angiotensin I reseptor akibatnya enzim tersebut
akan memproduksi nefrin secara optimal. Akhirnya slit diafragma menjadi
sempurna, hal tersebut akancommit to user
mencegah terjadinya albuminuria.
perpustakaan.uns.ac.id 30
digilib.uns.ac.id

Gambar 2.13 Struktur Fenestra (Robbin, 2005)

Gambar 2.14 Komponen slit diafragma (Robbin, 2005).

2. Masalah bioelektrik. Keadaan ini terjadi karena albumin bermuatan


negatif, dilain pihak permukaan endotel, membrana basalis, lapisan luar
dari podosit juga bermuatan negatif, sehingga keadaan tersebut
menyebabkan terjadinya mekanisme tolakmenolak, akibatnya dapat
dihindarinya albuminuri.Permukaan podosit banyak mengandung
glikoprotein, glikoprotein inilah yang menyebabkan permukaan podosit
bermuatan negatif. Bila terjadi peningkatan stres oksidatif akan merusak
lapisan glikoprotein, sehingga muatan negatif (endotel) akan berkurang,
tolak menolak dengan albumin berkurang, akibatnya albumin mudah
keluar akhirnya terjadi mikroalbuminuria (Robbin, 2005; Purwanto B,
2010).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 31
digilib.uns.ac.id

Membran basalis glomerulus menangkap protein besar (> 100


kDal) sementara foot processes dari epitel/ podosit akan memungkinkan
lewatnya air dan zat terlarut kecil untuk transport melalui saluran yang
sempit. Saluran ini ditutupi oleh anion glikoprotein yang kaya glutamate,
aspartat dan asam silat yang bermuatan negatif pada pH fisiologis.
Muatan negatif akan menghalangi transport molekul anion seperti
albumin (Robbin, 2005; Purwanto B, 2010).
Reaksi inflamasi akibat infeksi, bahan-bahan kimiawi dan
fragmentasi sel dapat menimbulkan aktivasi makrofag dimana Nuclear
Factor kB(NfB) menjadi lebih aktif sehingga akan mengekspresikan
sitokin-sitokin pro inflamasi antara lain Tumor Necrosis Factor-α(TNF-
), Interleukin-1 atau Interleukin-6(IL-1,IL-6). Selain itu juga akan
mengekspresikan Tumor Growth Factor β (TGF1). Tumor Necrosis
Factor-αbersifat proteolitik, akan merusak glikoprotein sehingga muatan
negatif permukaan podosit menjadi berkurang. Keadaan ini akan
menyebabkan daya tolakmenolak antara podosit dan albumin berkurang,
akhirnya albumin mudah menembus membran filtrasi dan akan terjadi
albuminuria.

Gambar 2.15Bioelektrik membran basalis glomerulus (Robin, 2008;


Purwanto B, 2010).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 32
digilib.uns.ac.id

Membran filtrasi dipengaruhi oleh dua mekanisme yaitu (Robin, 2008;


Purwanto B, 2010).

1. Fenestra, slit diafragma (terutama terdiri molekul nephrin).


2. Lapisan permukaan endotel, membrana basalis dan permukaan podosit
mengandung glikoprotein bermuatan negatif karena albumin juga
bermuatan negatif maka akan terjadi mekanisme tolak menolak sehingga
mencegah albuminuria.

Gambar 2.16Skema membran filtrasi (Robin, 2008; Purwanto B, 2010).

Kerusakan ginjal juga dikaitkan dengan reabsorbsi protein pada sel


epitel tubulus proksimal. Protein yang berlebih di dalam lumen tubulus
menyebabkan kemampuan reabsorbsi sel tubulus terlampaui dan dapat
menimbulkan kerusakan. Albumin melalui reseptor megalin dan cubilin yang
terdapat pada sisi apikal sel tubulus mengalami endositosis dan degradasi
oleh lisosom (Brunskill, 2001).

2.1.8 Hemodialisis
Hemodialisis merupakan salah satu terapi pengganti ginjal buatan
dengan tujuan untuk mengeliminasi sisa-sisa produk metabolisme (protein)
serta koreksi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit antara
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 33
digilib.uns.ac.id

kompartemen darah dan cairan dialisis melalui selaput membran


semipermiabel yang berperan sebagai ginjal buatan (Cohen, 2007).
Hemodialisis pada umumnya sudah dilakukan pada pasien Penyakit
Ginjal Kronik dengan bersihan kreatinin <10 ml/menit (<15 ml/menit pada
pasien dengan nefropati diabetes) atau bila kadar kreatinin serum
mencapai 8-10 mg/dL (Ross dan Caruso, 2005). Sebagian besar
pasienPenyakit Ginjal Kronikdalam satu minggu membutuhkan
hemodialisis antara 9-12 jam dibagi dalam 3 sesi yang sama (Sculman dan
Himmelfarb, 2004; Singh dan Brenner, 2006).
Selama proses hemodialisis beberapa zat terlarut seperti albumin,
fibrin, β2-mikroglobulin, komponen aktif komplemen, dan sitokin
Interleukin-1(IL-1) dan Tumor Necrosis Factor-α (TNF-α) mengalami
absorbsi kedalam membran dialiser dan sebagian dari zat tersebut akan
dieliminasi dari darah (Tzanatoset al, 2000; Malaponte, 2002).
Hemodialisis mempunyai beberapa efek antara
lainbioinkompatibilitas serta reaksi antara cairan dialisis terkontaminasi
bakteri yang akan menghasilkan endotoksin (lipopolisakarida) dan
berakibat pada terlepasnya sitokin (Boure dan Vanholder, 2004; Erten dan
Bali M,2007). Proses ini tidak terlalu kuat bila menggunakan membran
dialisis sintetik atau membran selulosa yang telah dimodifikasi. Beberapa
membran sintetik mempunyai ukuran pori-pori besar yang akan
memudahkan aliran air dan meningkatkan kekuatan ultrafiltrasi sehingga
dapat memindahkan zat–zat dengan molekul besar seperti solute uremia
dibandingkan dengan membran dengan ukuran pori-pori kecil (Boure
dan Vanholder, 2004).
Kaskade aktivasi imunitas humoral dan seluler setelah kontak
antara darah dan membran dialisis. Faktor komplemen yang teraktivasi
seperti C3a dan C5a meningkat selama hemodialisis dan mencapai kadar
maksimal 15-30 menit setelah inisiasi sesi hemodialisa, menyebabkan
aktivasi leukosit, produksi dan pelepasan sitokin serta produksi ROS
(Reactive Oxygen Species)commit to user
yang berlebihan (Schindler, 2004). Terdapat
perpustakaan.uns.ac.id 34
digilib.uns.ac.id

perbedaan besar antara membran dialisa dalam kapasitasnya untuk


mengaktivasi sistem komplemen dengan cuprophan dan selulosa tanpa
modifikasi lainnya dianggap paling bioinkompatibel.Sebaliknya membran
sintetis yang terbuat dari polimer artifisial lebih sedikit mengaktifkan
komplemen (Jacobs, 2004; Kerret al, 2007).

2.1.9 Vitamin D
Vitamin D berbentuk kristal putih, tidak larut dalam air tetapi larut
dalam minyak dan zat pelarut lemak. Vitamin D tahan terhadap panas dan
oksidasi. Penyinaran ultraviolet menimbulkan aktivitas vitamin D tetapi bila
terlalu kuat dan lama akan terjadi pengrusakan zat-zat aktif tersebut
(Norman, 2008).
Dalam kondisi normal manusia memperolehvitamin D baik dari
makanan atau dari sintesis de novodi kulit akibat paparan langsung sinar
matahari. Vitamin D3 awalnya dihidroksilasidalam hati oleh 25-
hidroksilase untuk membentuk25-hydroxyvitamin D3 dengan hidroksilasi
berikutnyadi ginjal untuk membentuk metabolit aktif1,25
dihydroxyvitamin D atau 1,25(OH)2Djuga dikenal sebagaicalcitriol, yang
akhirnya dimetabolisme oleh25-hydroxyvitamin D-24-hidroksilase
(24OHase). Pengikatan 1,25-dihydroxyvitamin D3 atau yang analog
dengan reseptor vitamin D (VDR), mengaktifkanreseptor vitamin D(VDR)
dan sebagai kofaktor seperti reseptor X retinoid (RXR), sehingga
pembentukan VDR-RXRkofaktor kompleks yang mengikatelemen respon
vitamin D (VDRE) pada gen target untuk mengatur transkripsi gen
(Carlberg et al, 2001).
Beberapa jaringan memiliki 25-hydroxyvitamin D 1α-hidroksilase
yang dapat mengkonversi 25-hydroxyvitaminD untuk 1,25
dihydroxyvitamin D (Zehnder, 2001).Namun pada serum 1,25
dihidroksivitamin Datau Calcitriol diatur oleh ginjal menjadi 25-
hydroxyvitamin D 1α-hidroksilase. Dalam studi baru-baru ini evaluasi
commit
penyakit ginjal tahap awal, to user
defisiensi calcitriol (didefinisikan bila kadar
perpustakaan.uns.ac.id 35
digilib.uns.ac.id

vitamin D serum <22 pg/ ml) ditemukan pada 32% Chronic Kidney
Disease stg 3 dan>60 % pada Chronic Kidney Disease stg 4dan 5 pasien
pra-dialisis (Levin, 2005).

VDR ditemukan lebih dari 30 jaringan termasuk usus,tulang, ginjal,


kelenjar paratiroid, b-sel pankreas,monosit, T-sel, keratinosit dan sel kanker,
menunjukkan bahwa vitamin Dterlibat dalam mengatursistem kekebalan
tubuh, pertumbuhan sel, diferensiasi danapoptosis (Feldman, 2005).

Vitamin D merupakan salah satu dari hormon steroid dan terdapat


secara alami dalam berbagai macam makanan. Sejumlah makanan yang
telah difortifikasi dan juga sinar matahari yang memproduksi vitamin D di
kulit, merupakan prohormon yang akan mengalami 2 tahap hidroksilasi
untuk menghasilkan bentuk hormon yang aktif. Hidroksilasi pertama terjadi
di hati menghasilkan 25(OH)D3 dan hidroksilasi tahap dua terjadi di ginjal
dengan bantuan enzim 1-hydroxylase yang menghasilkan bentuk aktif
1,25(OH)2D (Jia dan Zhang, 2013).

Gambar 2.17Sintesis, aktivasi dan katabolisme vitamin D3 (Dusso,2005).

Hidroksilasi tahap kedua ini terutama terjadi di ginjal, tetapi juga


terdapat tipe sel-sel yang lain yang juga berkontribusi terhadap proses ini
commitparu,
seperti prostat, payudara, kolon, to user
sel β pankreas, monosit dan sel
perpustakaan.uns.ac.id 36
digilib.uns.ac.id

paratiroid. Tetapi bagaimanapun juga proses ekstrarenal yang memproduksi


1,25(OH)2D atau Calcitriol tersebut hanya berefek secara autokrin atau
parakrin terhadap sel spesifik, sedangkan yang dihasilkan intrarenal akan
berefek secara endokrin sebagaimana gambar 2.18 (Dusso,2005).

Gambar 2.18Produksi 1,25(OH)2D3 dari renal dan ekstrarenal yang berefek


autokrin, parakrin dan endokrin (Dusso et al, 2005).

Sistem endokrin dari vitamin D memainkan peranan esensial dalam


homeostasis kalsium dan metabolisme tulang, tetapi berbagai penelitian
selama ±2 dekade menyatakan bahwa terdapat bermacam-macam aksi biologi
dari vitamin D yang meliputi induksi terhadap deferensiasi sel, penghambatan
pertumbuhan sel, imunomodulasi dan kontrol terhadap sistem hormon yang
lain (Dusso, 2005).

Vitamin D memiliki fungsi klasik (calcemic function) dan non klasik


(noncalcemic function). Fungsi klasik yaitu fungsi vitamin D dalam hal
absorbsi kalsium, pembentukan tulang. Sedangkan fungsi non klasik adalah
fungsinya dalam imunoregulator (Williams, 2009).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 37
digilib.uns.ac.id

Tabel 2.4Efek langsung terapi vitamin D (Tang, 2009)

Terdapat 2 grup vitamin D yang tersedia di pasaran. Yang pertama


antara lain ergocalciferol (viatamin D2) dan analognya, doxercalciferol dan
paricalcitol. Grup kedua meliputi cholecalciferol (vitamin D3) dan analognya,
calcidiol, alfacalcidiol dan calcitriol atau 1,25(OH)2D3 (Tang, 2009).

2..1.9.1 Vitamin D pada Penyakit Ginjal Kronis


Sasaran terapi vitamin D pada Chronic Kidney Disease melibatkan
peradangan ginjal (sepertisel T dan sel-sel kekebalan lainnya), Renin
angiotensin Sistem(RAS) danglomerular (sel mesangial dan podosit) dan
fibrosis tubolointerstitial(sel epitel tubular dan interstitialfibroblas)
sebagaimana terdapat pada gambar 2.19

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 38
digilib.uns.ac.id

Gambar 2.19 Patofisiologi vitamin D terhadap fibrosis ginjal pada


Chronic Kidney Disease. Vitamin D aktif terbukti
menghambat beberapa jalur patogen dalam fibrosis ginjal.
Vitamin D aktif (1) memiliki efek anti inflamasi(2)
menghambat proliferasi mesangial dan podosit (3)
mengatur renin angiotensin system (RAS) dengan
menghambat produksi renin (4) mencegah hipertrofi
glomerulus yang diukur berdasarkan volume glomerulus
(5) proteinuria menurun pada model binatang
denganChronic Kidney Disease(6) menurunkan produksi
sitokin fibrogenic di ginjal dengan mengatur Smad3 dan
Tumor Growth Factor β (TGF-β) (7) memblokir Epitelial
to Mesenchymal Transition(EMT) dan aktivasi
myofibroblast. RAS (renin angiotensin sistem); PGC
(pressure glomerularcapillary); SNGFR (single nefron
glomerular filtration rate); α-SMA (α-smooth muscle
actin); EMT (epitelial to mesenchymal transition).

Vitamin D dan hormon paratiroid (PTH) mempunyai hubungan


yang sangat erat. Hormon Paratiroidmerupakan regulator utama dari aktivitas
1-hidroksilase, mempengaruhi sintesa vitamin D dan vitamin D sendiri juga
sangat kuat dan efektif sebagai modulator terhadapHormon Paratiroid. Terapi
dengan vitamin D akan mengurangi kadar serum Hormon Paratiroid melalui
pencegahan hiperplasia glandula paratiroid, peningkatan calcium sensing
receptor expression pada glandula paratiroid dan meningkatkan kadar serum
kalsium. Kadar vitamin D mulai menurun pada Penyakit Ginjal Kronik
stadium 2, sebaliknya kadarHormon Paratiroidsecara signifikan akan
meningkat dan semakin tinggicommit to user Ginjal Kronik stadium 4-5. Pada
pada Penyakit
perpustakaan.uns.ac.id 39
digilib.uns.ac.id

penelitian cross sectional skala besar didapatkan kadar Hormon Paratiroid


mencapai 800-900 pg/ml pada Penyakit Ginjal Kronik stadium akhir yang
tidak mendapat terapi dan meskipun etiologinya multifaktorial tetapi
penyebab utamanya adalah karena rendahnya kadar vitamin D,
hiperfosfatemia dan hipokalsemia. Efek klinis dari tingginya kadar Hormon
Paratiroid dan rendahnya kadar vitamin D sangat sulit dibedakan, karena
keduanya terjadi secara bersamaan mulai padaPenyakit ginjal Kronik
satdium 2-5. Tingginya kadar Hormon Paratiroid sangat berhubungan dengan
penyakit kardiovaskuler (Tang, 2009).
Penurunan fungsi ginjal pada Penyakit Ginjal Kronik akan disertai
dengan penurunan produksi 1,25-dihydroxyvitamin Datau Calcitrioldimulai
pada Penyakit Ginjal Kronik stadium 2 yang secara progresif bertambah
rendah dengan bertambahnya stadium penyakit. Rendahnya kadar
1,25dihydroxyvitamin D tersebut akan menyebabkan beberapa efek samping
pada pasien Penyakit Ginjal Kronik, meliputi gangguan pada homeostasis
mineral tulang dan hormon parathiroid, kalsifikasi ekstraskeletal dan
terganggunya fungsi biologi multiorgan (Moscovici dan Sprague, 2007).
Vitamin D juga mencegah nefrosklerosis dan memperlambat
progresivitas Penyakit Ginjal Kronik melalui efek anti inflamasi dan anti
proliferatifnya. Pada pasien Penyakit Ginjal Kronik stadium 3-5, terapi
dengan calcitriol dihubungkan dengan tren ke depan dapat memperlambat
kebutuhan inisiasi dialisis. (Schwarz, 1998)

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 40
digilib.uns.ac.id

Gambar2.20Konsep model alur defisiensi vitamin D sampai


menyebabkan progresivitas Penyakit Ginjal Kronik
dan komplikasinya (Williams et al, 2009)

2.1.9.2 Pemberian Suplementasi Vitamin D pada Penyakit Ginjal


Kronik
Penurunan fungsi dan massa renal pada Penyakit Ginjal Kronik
akan menyebabkan kemampuan memproduksi 1,25(OH)2D3 atau
Calcitriol menurun, sehingga untuk memenuhi kekurangan tersebut maka
perlu pemberian calcitriol atau analognya. Pada Penyakit Ginjal Kronik
suplementasi dengan 25(OH) vitamin D direkomendasikan pada
permulaan penyakit dan pemberian calcitriol mulai diberikan mulai
Penyakit Ginjal Kronik stadium 3. Data terbaru fokus pada efek non
klasik dari vitamin D sehingga dilakukan revisi terhadap rekomendasi
terbaru untuk kebutuhan harian antara orang normal dengan pasien
Penyakit Ginjal Kronik (Jones, 2007). Penelitian baru menyarankan dosis
4000 IU/hari untuk pemeliharaan kadar optimum vitamin D pada
populasi normal dan dosis lebih tinggi diperlukan pada pasien Penyakit
Ginjal Kronikuntuk memenuhi kebutuhannya. Diperkirakan tiap 100 IU
vitamin D dapat meningkatkan kadar serum vitamin D ±1ng/ml (2,5
nmol/L) meskipun terdapat variasi individu dalam merespon dosis
tersebut. Toksisitas jarang menjadi problem yang signifikan pada
pemberian viatmin D karena batas keamanannya cukup luas antara dosis
yang direkomendasikan dengan dosis yang dianggap tidak aman
(Heaney, 2008).
Kadar serum 25(OH)D digunakan untuk menilai status vitamin
D dalam tubuh. Dikatakan defisiensi vitamin D jika kadar serum
25(OH)D<20 ng/ml, insuffisiensi vitamin D jika kadarnya <30ng/ml.
Target pemberian vitamin D untuk mencapai kadar serum 25(OH) paling
tidak 30 ng/ ml atau dalam rentang normal 40-80ng/ml, dikatakan toksik
commit
jika mencapai >150 ng/ml. to dari
Gejala userhipervitaminosis D meliputi fatig,
perpustakaan.uns.ac.id 41
digilib.uns.ac.id

mual, muntah dan kelemahan. Vitamin D yang berasal dari sinar


matahari tidak dapat menyebabkan toksisitas (Kulie et al, 2009; Querfeld
dan Mak, 2010). Resiko terjadinya hiperkalsemia dan hiperfosfatemia
merupakan salah satu efek samping yang dikhawatirkan pada terapi
vitamin D pada Penyakit Ginjal Kronik tetapi pada penelitian meta
analisis yang dilakukan Praveen et al, 2011 menyebutkan bahwa
pemberian vitamin D menurunkan kadar Hormon Paratiroid dan tidak
didapatkan peningkatan yang signifikan pada kadar serum kalsium dan
fosfat. Pada penelitian cohort eksperimental yang dilakukan oleh Jean G
et al, 2008 menyatakan bahwa dengan pemberian preparat 25(OH)D3 per
oral dengan dosis 10-30 µg/hari pada pasien Penyakit ginjal Kronik yang
menjalani hemodialisis dapat memperbaiki keadaan defisiensi atau
insufisiensi vitamin D pada pasien tersebut tanpa adanya efek toksisitas.

2.2 Penelitian yang Relevan


Penelitian terdahulu menyebutkan bahwa pemberian 1,25
Dihydroxyvitamin D (Calcitriol) pada pasien Penyakit Ginjal Kronik yang
menjalani hemodialisis dapat menurunkan kadar Fibroblast Growth Factor-
23 (FGF-23) serta menurunkan albuminuria (Sung JY et al, 2013).

Pada penelitian terdahulu menyebutkan bahwa rendahnya kadar


1,25 Dihydroxyvitamin D (Calcitriol)berhubungan dengan beberapa marker
inflamasi seperti FGF-23 dan albuminuria serta marker stres oksidatif yang
lain. Pada penelitian terdahulu menyebutkan bahwa pemberian pericalcitriol
pada pasien Penyakit Ginjal Kronik dapat menurunkan albuminuria
sehingga dapat menurunkan kalsifikasi vaskuler yang akhirnya mengurangi
progresifitas penurunan fungsi ginjal (Alborzi P et al, 2008).

commit to user

Anda mungkin juga menyukai