Interferon Presenter

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 24

PRODUKSI TEKNOLOGI DNA REKOMBINAN

INTERFERON β-1a DARI CHO (CHINESE HAMSTER OVARY)

MAKALAH
Dibuat untuk Melengkapi Tugas Tertulis Bioteknologi Farmasi (FA3231)

oleh:
Kelompok 2
Mia Savira 10713002
Stephani Rachel Tanaka 10713003
Khairunnissa Aulia Rahmah 10713014
Cindy Angkasa 10713037
Sevina Putri Mahenda 10713045
Kartika Khoirunnisa 10713072
Aulia Mardiningsih 10713077
Vani Lestari Pratiwi 10713083
Fusvita 20715032

PROGRAM STUDI SAINS DAN TEKNOLOGI FARMASI


SEKOLAH FARMASI
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
2016
ABSTRAK

Protein rekombinan manusia interferon β-1a merupakan produk rekombinan yang


memiliki letak glikosilasi dan urutan asam amino yang sama dengan interferon β yang alami
ada pada manusia. Interferon β-1a berfungsi dalam mengobati penyakit multiple sclerosis
dengan memperlambat akumulasi dari distabilitas fisik dan menurunkan frekuensi gejala
parah yang timbul. Protein ini digunakan untuk terapi dalam bentuk injeksi intramuskular.
Contoh sediaan interferon β-1a yang telah diproduksi oleh beberapa industri farmasi yaitu
Avonex®, Rebif®, CinnoVex®, dll. Interferon β-1a ini mengalami serangkaian proses produksi
dari hulu hingga hilir sehingga diperoleh protein yang berguna untuk terapi. Pada proses hulu,
fragmen mRNA interferon β-1a diisolasi dari sel darah manusia yang menderita multiple
sclerosis dan ditranskripsi balik menjadi cDNA untuk selanjutnya di PCR dan diligasi dengan
vektor pM17 sehingga dihasilkan vektor rekombinan. Vektor rekombinan ditransformasi ke
sel inang E.coli untuk konstruksi dan transforman diseleksi dengan marka seleksi ampisilin
serta dideteksi keberadaan DNA sisipan dengan analisis restriksi dan analisis migrasi. Plasmid
rekombinan dimurnikan dengan metode “minipreps” agar dapat ditransformasi ke sel inang
kedua yaitu sel CHO. Pada sel inang CHO juga dilakukan seleksi dengan marka seleksi
DHFR serta dideteksi keberadaan DNA sisipan dengan cara yang sama dengan deteksi pada
sel inang E.coli. Ekspresi protein diregulasi dengan penambahan MTX. Pada tahapan
produksi, digunakan sistem produksi fed batch fermentation. Protein hasil produksi diisolasi,
dimurnikan, dikarakterisasi, dan diformulasi pada proses hilir sehingga dihasilkan protein
interferon β-1a dalam bentuk sediaan larutan. Interferon β-1a yang dihasilkan harus
memenuhi persyaratan dari European Pharmacopoeia 7th Edition. Persyaratan tersebut
diantaranya karakter protein berupa cairan jernih tidak berwarna atau kekuningan, memenuhi
persyaratan identifikasi produk, serta lolos dalam uji ketidakmurnian protein, uji bentuk
teroksidasi, uji bakteri endotoksin, serta uji potensi protein.

Kata Kunci: Interferon β-1a, protein rekombinan, multiple sclerosis, E.Coli, sel inang CHO,
fed batch fermentation
DAFTAR ISI

ABSTRAK………………………………………………………………………………….… i

DAFTAR ISI………….……………………………………………………………………… ii

BAB I PENDAHULUAN……………………………………...…………………………….. 1

1.1. Latar Belakang…………………………………………...………………………….. 1


1.2. Rumusan Masalah………………………………………...…………………………. 2
1.3. Tujuan……………………………………………………..………………………… 2

BAB II INTERFERON β-1a .………………………………………..….…………………… 3

2.1. Sifat Bahan Aktif….…………………………………………..…………………….. 3


2.2. Bentuk Sediaan….………………………………………………..…………………. 3
2.3. Penggunaan...……………………………………………………...………………… 4
2.4. Sistem Produksi.……………………………………………………..……………… 5
2.4.1. Proses Hulu (Up Stream).………………………………….....……………… 5
2.4.2. Produksi (Fermentasi).………………………………………………..…….. 11
2.4.3. Proses Hilir (Down Stream)..……………………………..………………… 13
2.5. Persyaratan Farmakope……………………………………………………………. 17

BAB III KESIMPULAN………………………………………………..………………...… 20

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………..……………………... 21
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Multiple sclerosis (MS) merupakan salah satu jenis penyakit sistem saraf, dimana
organ yang diserang merupakan organ sistem saraf pusat (otak dan sumsum tulang
belakang) dengan merusak selubung myelin yang melindungi sel-sel saraf. Kerusakan
ini menyebabkan blokade pengiriman pesan antara otak dan tubuh yang menyebabkan
timbulnya gejala-gejala seperti otot melemah serta gangguan koordinasi dan
keseimbangan. Penyebab penyakit ini belum dapat diketahui dengan pasti, namun
dianggap sebagai penyakit autoimun. Terdapat 3 jenis multiple sclerosis berdasarkan
periode kekambuhannya, yaitu multiple sclerosis kambuhan (RRMS), multiple sclerosis
progresif primer, dan multiple sclerosis progresif sekunder.
Salah satu terapi untuk multiple sclerosis khususnya multiple sclerosis kambuhan
(RRMS) adalah dengan interferon β. Baik interferon β-1a maupun interferon β-1b dapat
digunakan sebagai interferon modulator. Perbedaan kedua jenis interferon β ini yaitu
interferon β-1a memiliki jumlah asam amino yang sama dengan interferon β manusia
dan mengalami glikosilasi sedangkan interferon β-1b tidak mengalami glikosilasi dan
jumlah asam aminonya lebih sedikit 1 asam amino dibandingkan interferon β. Pada
interferon β-1a belum diketahui pengaruh glikosilasi terhadap aktivitas biologinya.
Salah satu contoh interferon β-1a adalah Avonex®. Avonex® merupakan produk
interferon β-1a komersil yang diproduksi di sel mamalia (CHO) dengan mengisolasi gen
interferon β yang ada pada manusia. Produk protein rekombinan ini memiliki berat
molekul 22500 g/mol, mengandung 166 asam amino, dan diberikan dalam bentuk
injeksi intramuskular. Produk ini bekerja menurunkan jumlah dan volume lesi otak
aktif, menurunkan gejala penyakit secara keseluruhan, dan menunda kambuhnya
multiple sclerosis secara klinis pada pasien yang telah mengalami peristiwa demielinasi
tunggal.
Dalam proses produksinya, interferon β-1a harus sangat murni agar aktivitas yang
dimilikinya sesuai untuk terapi, khususnya terapi multiple sclerosis kambuhan (RRMS).
Selain itu, dalam praktik klinisnya, penggunaan obat ini cukup kompleks, khususnya
karena kerjanya yang hanya sebagian efektif serta efek jangka panjang dan efek
sampingnya tidak diketahui. Oleh karena itu, dibutuhkan proses produksi yang mampu
menekan efek samping tersebut serta meningkatkan efektifitas dari protein rekombinan
yang dihasilkan.
1.2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sifat bahan aktif interferon β-1a yang merupakan produk teknologi
rekombinan?
2. Apa saja kegunaan dari protein interferon β-1a rekombinan serta penyakit apa saja
yang dapat dicegah atau diobati oleh produk tersebut?
3. Bagaimana sistem produksi protein interferon β-1a rekombinan mulai dari tahap hulu
hingga ke hilir?
4. Apa saja persyaratan untuk protein interferon β-1a rekombinan yang tercantum
dalam Farmakope?

1.3. Tujuan
1. Menentukan sifat bahan aktif interferon β-1a.
2. Menentukan kegunaan serta pencegahan atau pengobatan penyakit oleh protein
interferon β-1a rekombinan.
3. Menetukan tahapan produksi mulai dari hulu hingga hilir beserta sistem-sistem yang
berpengaruh.
4. Menentukan persyaratan untuk protein interferon β-1a rekombinan dengan
berdasarkan pada Farmakope.
BAB II
INTERFERON β-1a

2.1. Sifat Bahan Aktif


Protein rekombinan manusia interferon β-1a memiliki rumus molekul
C908H1408N246O252S7, dihasilkan dari mamalia, memiliki volume 0,1 mL dengan ukuran
protein 23 kDa. cDNA protein interferon β-1a ini diperoleh dari fibroblast manusia yang
diekspresikan pada sel CHO (Chinese Hamster Ovary). Kemurnian dari protein ini
adalah lebih dari 95%, satu N-linked tempat glikosilasi. Protein interferon β-1a memiliki
titik isolektrik 8,93 dengan berat molekul 22500 g/mol. Liofilisasi interferon β-1a
walaupun stabil pada suhu ruang selama 3 minggu, harus disimpan dalam keadaan
kering di bawah suhu -18°C. Rekonstitusi interferon β-1a harus disimpan pada 4°C
antara 2-7 hari dan untuk kedepannya di bawah -18°C. Siklus freeze-thaw harus
dihindari.

Gambar 1. Struktur protein interferon β-1a

2.2. Bentuk Sediaan


Brand sediaan serta bentuk sediaan dan nama produsen atau perusahaan produk
interferon β-1a yaitu:
 Avonex®
Brand Avonex® merupakan salah satu brand terbesar dari produk rekombinan interferon
β-1a. Avonex® disetujui di Amerika Serikat pada tahun 1996, dan satu tahun kemudian
disetujui di Eropa yaitu pada tahun 1997. Kini, Avonex® telah terdaftar di lebih dari 80
negara di dunia. Produk ini diproduksi oleh perusahaan Biogen Biotechnology.
Avonex® dipasarkan dalam tiga bentuk sediaan berupa serbuk liofilisasi rekonstitusi, kit
pre-mixed cairan dalam syringe, serta Avonex® pen. Produk ini digunakan pada pasien
dengan anjuran satu kali per minggu dengan rute pemberian berupa injeksi
intramuskular.
 Rebif®
Rebif® merupakan brand terbesar lainnya dari produk rekombinan interferon β-1a selain
Avonex®. Rebif® disetujui oleh Amerika Serikat pada tahun 2002 dan disetujui oleh
Eropa pada tahun 1998. Rebif® termasuk ke dalam kelompok obat DMD (Disease-
Modifying Drug) yang digunakan untuk mengobati multiple sclerosis. Rebif® diproduksi
dan dipasarkan oleh perusahaan Merck Serono dan Pfizer. Rebif® dipasarkan dalam
bentuk injeksi. Produk ini digunakan pada pasien dengan anjuran tiga kali dalam
seminggu dengan rute pemberian berupa injeksi subkutan.
 CinnoVex ®
CinnoVex ® merupakan nama dagang dari protein rekombinan interferon β-1a di Iran.
Produk ini dikembangkan oleh Fraunhofer Institute dengan berkolaborasi bersama
CinnaGen. Beberapa jurnal terkait studi klinik dari CinnoVex® membuktikan bahwa
efek terapi dari CinnoVex® sama dengan Avonex®. CinnoVex® merupakan biosimilar
dari Avonex. (Nafissi, 2012) CinnoVex® dipasarkan dalam bentuk sediaan serbuk
liofilisasi rekonstitusi dan dijual bersama dengan water for injection. Produk ini
digunakan pada pasien dengan anjuran satu kali per minggu dengan rute pemberian
berupa injeksi intramuskular, serupa dengan Avonex®.
 Plegridy®
Plegridy® merupakan salah satu produk rekombinan interferon β-1a yang diprakarsai
oleh perusahaan Biogen Idec. Sama seperti produk lainnya, Plegridy® pun memiliki
fungsi untuk mengatasi penyakit multiple sclerosis yang kambuh. Plegridy® merupakan
produk pengembangan dari Avonex® dan telah mendapat persetujuan dari FDA pada
tahun 2014. Plegridy® dipasarkan dalam bentuk sediaan single-use prefilled pen dan
single-use prefilled syringe dan dianjurkan untuk digunakan dua kali dalam seminggu.

2.3. Penggunaan
Interferon merupakan sekelompok protein dan glikoprotein yang diproduksi oleh
sel eukariotik sebagai respon dari infeksi virus dan induser biologis lainnya. Interferon
merupakan sitokin yang memediasi antivirus, antiproliferasi dan aktivitas
imunomodulator dalam merespon infeksi virus dan induser biologis lainnya. Interferon
dapat dibedakan menjadi tiga kelompok besar yaitu alfa, beta dan gamma. Interferon
beta dan alfa merupakan interferon tipe I sedangkan interferon gamma termasuk
interferon tipe II. Interferon beta dalam tubuh manusia diproduksi oleh berbagai macam
jenis sel termasuk fibroblas dan makrofag. Interferon beta menimbulkan efek
biologisnya dengan berikatan pada reseptor spesifik pada permukaan sel manusia.
Ikatan ini menginisiasi diekspresikannya beberapa produk genetika yang menginduksi
interferon seperti 2’,5’-oligoadenilat sintase, β2-mikroglobulin, dan neopterin. Interferon
beta alami dan interferon β-1a yang merupakan produk rekombinan memiliki letak
glikosilasi dan urutan asam amino yang sama. Glikosilasi dari protein-protein lain
diketahui akan mempengaruhi stabilitas, aktivitas, biodistribusi dan waktu paruh dalam
darah. Glikosilasi dari protein lainnya juga dapat menurunkan agregasi dari protein
interferon β-1a ini. Bentuk agregasi dari interferon β-1a diketahui akan membuat
protein rekombinan ini menjadi bersifat imunogenik. Bentuk agregat dari interferon β-
1a diketahui memiliki aktivitas spesifik lebih lemah daripada bentuk agregatnya.
Interferon β-1a berfungsi dalam mengobati penyakit multiple sklerosis dengan
memperlambat akumulasi dari distabilitas fisik dan menurunkan frekuensi gejala parah
yang timbul. Selain itu, produk rekombinan ini pun dapat mengurangi jumlah dan
volume dari lesi otak yang aktif dan teridentifikasi pada saat dilakukan scanning
Magnetic Resonance Imaging (MRI). Interferon β-1a tidak dianjurkan penggunaannya
pada pasien yang pernah mengalami hipersensitivitas baik terhadap interferon beta
alami maupun terhadap produk rekombinan, hipersensitivitas albumin manusia atau
komponen dalam formulasi. Selama penggunaannya, produk rekombinan ini dapat
menimbulkan reaksi dan efek samping berupa depresi, kerusakan hati, anafilaksis atau
reaksi alergi lainnya, reaksi pada lokasi injeksi, dan mikroangiopati trombotik.

2.4. Sistem Produksi


2.4.1. Proses Hulu (Up Stream)
Teknologi DNA rekombinan adalah metode rekombinasi antara molekul DNA
dari organisme berbeda, metode ini terdiri dari beberapa tahapan, yaitu:
1. Penyiapan DNA (sisipan dan vektor)
a. Penyiapan DNA sisipan (sumber DNA sisipan: cDNA )
Fragmen mRNA interferon β-1a diisolasi dari sel darah manusia yang menderita
multiple sclerosis (dengan kit isolasi RNA). Fragmen mRNA kemudian
ditranskripsi balik secara in vitro dengan menggunakan enzim reverse
transcriptase sehingga akan dihasilkan cDNA dari interferon β-1a. Setelah itu,
dilakukan proses PCR untuk memperbanyak cDNA dengan menggunakan primer
yang spesifik mengenali DNA sisipan (interferon β-1a). Primer spesifik yang
akan digunakan untuk amplifikasi interferon β-1a ini misalnya adalah
5’ATGAGCTACAACTTGCTTGG3’ untuk primer forward dan
5’CAGGTTACCTCCGAAACTGA3’ untuk primer reverse. Pada ujung 5’ dari
primer forward ditambahkan situs pemotongan enzim restriksi BamHI dan di
ujung 5’ dari primer reverse ditambahkan situs pemotongan enzim restriksi
EcoRI. Pemilihan situs enzim restriksi ini disesuaikan dengan situs pemotongan
enzim restriksi yang berada pada vektor yang akan digunakan. Situs pemotongan
enzim restriksi ini tidak terdapat pada urutan DNA sisipan. Fragmen PCR
kemudian dipisahkan dengan 1,0% gel agarosa, dimurnikan dengan DNA gel
extraction kit dan dipotong dengan enzim restriksi BamHI dan EcoRI.
Berdasarkan British Pharmacopeia tahun 2009, interferon β-1a memiliki urutan
asam amino sebagai berikut:

Gambar 2. Urutan asam amino interferon β-1a (BP 2009)

Dari berbagai literatur, tidak ditemukan urutan nukleotida spesifik untuk


interferon β-1a, sehingga urutan nukleotidanya dapat mengacu pada urutan
interferon beta. Namun interferon beta memiliki 187 asam amino dan diawali
dengan start kodon (ATG) dan sinyal peptida. Berikut merupakan urutan asam
amino dan urutan DNA dari interferon beta:
MTNKCLLQIALLLCFSTTALSMSYNLLGFLQRSSNCQCQKLLWQLNGRLEYCLKDRRNFDIPEEIKQLQQ
FQKEDAAVTIYEMLQNIFAIFRQDSSSTGWNETIVENLLANVYHQRNHLKTVLEEKLEKEDFTRGKRMSS
LHLKRYYGRILHYLKAKEDSHCAWTIVRVEILRNFYVINRLTGYLRN

Gambar 3. Urutan asam amino interferon beta

ATGACCAACAAGTGTCTCCTCCAAATTGCTCTCCTGTTGTGCTTCTCCACGACAGCTCTTTCCATGAG
CTACAACTTGCTTGGATTCCTACAAAGAAGCAGCAATTGTCAGTGTCAGAAGCTCCTGTGGCAATTG
AATGGGAGGCTTGAATACTGCCTCAAGGACAGGAGGAACTTTGACATCCCTGAGGAGATTAAGCAG
CTGCAGCAGTTCCAGAAGGAGGACGCCGCAGTGACCATCTATGAGATGCTCCAGAACATCTTTGCT
ATTTTCAGACAAGATTCATCGAGCACTGGCTGGAATGAGACTATTGTTGAGAACCTCCTGGCTAATG
TCTATCATCAGAGAAACCATCTGAAGACAGTCCTGGAAGAAAAACTGGAGAAAGAAGATTTCACCA
GGGGAAAACGCATGAGCAGTCTGCACCTGAAAAGATATTATGGGAGGATTCTGCATTACCTGAAGG
CCAAGGAGGACAGTCACTGTGCCTGGACCATAGTCAGAGTGGAAATCCTAAGGAACTTTTACGTCA
TTAACAGACTTACAGGTTACCTCCGAAACTGA
Gambar 4. Urutan DNA interferon beta
Sehingga urutan asam amino dan urutan DNA dari interferon β-1a yang tidak
memiliki sinyal peptida dan diawali dengan start kodon (ATG) urutan DNAnya
sebagai berikut:
ATGAGCTACAACTTGCTTGGATTCCTACAAAGAAGCAGCAATTGTCAGTGTCAGAAGCTCCTGTGGCAA
TTGAATGGGAGGCTTGAATACTGCCTCAAGGACAGGAGGAACTTTGACATCCCTGAGGAGATTAAGCA
GCTGCAGCAGTTCCAGAAGGAGGACGCCGCAGTGACCATCTATGAGATGCTCCAGAACATCTTTGCTAT
TTTCAGACAAGATTCATCGAGCACTGGCTGGAATGAGACTATTGTTGAGAACCTCCTGGCTAATGTCTA
TCATCAGAGAAACCATCTGAAGACAGTCCTGGAAGAAAAACTGGAGAAAGAAGATTTCACCAGGGGA
AAACGCATGAGCAGTCTGCACCTGAAAAGATATTATGGGAGGATTCTGCATTACCTGAAGGCCAAGGA
GGACAGTCACTGTGCCTGGACCATAGTCAGAGTGGAAATCCTAAGGAACTTTTACGTCATTAACAGACT
TACAGGTTACCTCCGAAACTGA

Gambar 5. Urutan DNA interferon β-1a

b. Penyiapan vektor
Tujuan akhir yang diinginkan adalah untuk mendapatkan protein berupa
interferon β-1a, maka vektor yang digunakan adalah vektor ekspresi. Vektor yang
digunakan dalam produksi interferon β-1a ini adalah plasmid M17 yang terdiri
dari: dua jenis ori yang menyatakan bahwa vektor pM17 merupakan vektor
shuttle yaitu ori PBR322 untuk E. coli dan ori SV40 untuk sel mamalia, gen
resistensi ampisilin untuk seleksi transforman pada E. coli, MCS dengan berbagai
situs enzim restriksi, promotor MMTV, dan gen pengkode DHFR untuk seleksi
transforman pada sel CHO dan untuk meregulasi proses produksi interferon β-1a.
Pada vektor terdapat komponen transkripsi dan translasi untuk dilakukan pada sel
inang E. coli dan CHO (sel mamalia). Penyiapan vektor dilakukan dengan
memotong vektor pM17 dengan enzim restriksi BamHI dan EcoRI sehingga
bentuknya menjadi linear dan dapat disisipi dengan DNA sisipan.

Gambar 6. Vektor ekspresi pM17


2. Ligasi
Ligasi adalah proses penyambungan antara satu fragmen DNA dengan fragmen
DNA lainnya. Dalam hal ini DNA sisipan disambungkan dengan vektor berupa
vektor ekspresi. Faktor yang sangat berperan dalam proses ligasi adalah enzim ligase
yang berfungsi menggabungkan fragmen DNA yang telah dipotong dengan enzim
restriksi dengan fragmen DNA vektor yang mensintesis pembentukan ikatan
fosfodiester yang menghubungkan nukleotida yang satu dengan nukleotida di
sebelahnya, sehingga terbentuk plasmid rekombinan.

Vektor DNA sisipan

Ligasi

Plasmid rekombinan

Gambar 7. Proses ligasi

3. Transformasi ke sel inang E. coli


Transformasi merupakan langkah untuk menyisipkan materi genetik yang
berupa fragmen DNA baik itu DNA kromosom maupun plasmid rekombinan ke
dalam sel inang (E. coli). Transformasi ini hanya dapat dilakukan pada sel yang
kompeten (sel yang memiliki kemampuan untuk menerima DNA telanjang).
Perlakuan untuk membuat membran sel inang siap untuk disisipi perlu dilakukan
yaitu dengan menambahkan CaCl2 kemudian dilakukan heat shock dengan tujuan
agar plasmid rekombinan masuk ke dalam sel inang. Sel inang yang telah menerima
materi genetik disebut dengan transforman.

4. Seleksi transforman
Seleksi transforman dilakukan dengan tujuan untuk memastikan apakah di
dalam sel inang telah terdapat transforman atau tidak. Berdasarkan plasmid yang
digunakan dimana terdapat gen resistensi antibiotik ampisilin (AmpR), maka seleksi
transforman dilakukan dengan menambahkan media tumbuh sel inang dengan
ampisilin. Apabila pada sel E. coli terdapat transforman dimana terdapat gen
pengkode resistensi ampisilin maka sel inang E. coli akan hidup, sedangkan apabila
tidak terdapat transforman maka E. coli akan mati. Namun kelemahan marka seleksi
ini adalah tidak dapat membedakan transforman dengan plasmid rekombinan dan
transforman dengan plasmid kosong.
5. Deteksi
Klon transforman yang sudah diseleksi kemudian perlu dideteksi keberadaan
dan kebenaran dari DNA sisipan yang tersisipi di plasmid merupakan DNA sisipan
yang diinginkan. Maka itu dilakukan:
a. Analisis migrasi, salah satu cara untuk mendeteksi kebenaran plasmid
rekombinan pada klon transforman berdasarkan ukuran. Pada metode ini plasmid
rekombinan hasil isolasi dari sel klon transforman diisolasi untuk kemudian
dibandingkan kecepatan migrasinya dengan plasmid kosong pada elektroforesis
gel agarosa. Plasmid rekombinan akan bergerak lebih lambat dibandingkan
dengan plasmid kosong.
b. Analisis restriksi, metode deteksi kebenaran plasmid rekombinan pada klon
transforman berdasarkan ukuran linear plasmid rekombinan dan ukuran DNA
sisipan. Pada metode ini digunakan enzim restriksi BamHI dan EcoRI yang
mampu mengenali situs restriksi pada plasmid rekombinan. Kecepatan
migrasinya kemudian dibandingkan dengan marka DNA pada elektroforesis gel
agarosa. Plasmid yang mengandung DNA sisipan akan menghasilkan dua pita
pada gel elektroforesa yaitu satu pita untuk plasmid yang berukuran 8275
pasangan basa dan satu pita lainnya untuk DNA sisipan yang berukuran 498
pasangan basa (166 asam amino X 3 pasangan basa).

6. Purifikasi plasmid rekombinan


Untuk memurnikan plasmid rekombinan dapat menggunakan metode
"minipreps" dengan prinsip melisiskan sel dan memurnikan DNA dengan
sentrifugasi dan atau membrane-binding. Membran silica gel untuk mengikat DNA
yang telah dikembangkan oleh perusahaan Qiagen. Sel dilisiskan dengan
menggunakan metode lisis alkali yang dimodifikasi oleh Birnboim dan Doly.

7. Transfeksi ke sel inang kedua (CHO) (CHINESE HAMSTER OVARY)


Transfeksi adalah suatu cara untuk memasukkan suatu DNA ke dalam sel
mamalia, dimana untuk produksi interferon β-1a dimasukkan ke dalam sel inang
CHO. Pemilihan CHO untuk ekspresi interferon β-1a dilakukan karena pada struktur
interferon β-1a terdapat glikosilasi sehingga diperlukan sel inang eukariotik yang
dapat melakukan proses glikosilasi namun tidak menyebabkan overglikosilasi dan
dihasilkan produk yang aman secara farmakologi. Untuk meningkatkan efisiensi
transfeksi dapat menggunakan metode presipitasi kalsium fosfat dimana kalsium
merupakan salah satu ion yang memiliki kanal khusus (Ca2+ channel) pada membran
sel. Kalsium fosfat akan berikatan dengan DNA dan membawanya masuk melalui
kanal kalsium.

8. Seleksi Transforman
Seleksi transforman dilakukan dengan tujuan untuk memastikan apakah di
dalam sel inang telah terdapat transforman atau tidak. Berdasarkan plasmid yang
digunakan dimana terdapat gen pengkode DHFR (dihidrofolat reduktase) sebagai
sistem seleksi auksotrof (seleksi berdasarkan kebutuhan nutrisi). DHFR merupakan
enzim yang berperan dalam biosintesis nukleotida purin, timin dan glisin. Untuk
melakukan seleksi transforman maka sel inang CHO dibuat mutan terhadap DHFR,
dimana pada plasmid rekombinan terdapat gen pengkode DHFR, sehingga ketika
plasmid rekombinan ditumbuhkan pada sel inang yang tidak mengandung nukleotida
purin/ timin/ glisin, sel inang mutan DHFR akan tetap menghasilkan nukleotida
purin, timin dan glisin dan tumbuh.

9. Deteksi
Klon transforman yang sudah diseleksi kemudian perlu dideteksi keberadaan
dan kebenaran dari DNA sisipan yang tersisipi di plasmid merupakan DNA sisipan
yang diinginkan. Maka itu dilakukan:
a. Analisis migrasi, salah satu cara untuk mendeteksi kebenaran plasmid
rekombinan pada klon transforman berdasarkan ukuran. Pada metode ini plasmid
rekombinan hasil isolasi dari sel klon transforman diisolasi untuk kemudian
dibandingkan kecepatan migrasinya dengan plasmid kosong pada elektroforesis
gel agarosa. Plasmid rekombinan akan bergerak lebih lambat dibandingkan
dengan plasmid kosong.
b. Analisis restriksi, metode deteksi kebenaran plasmid rekombinan pada klon
transforman berdasarkan ukuran linear plasmid rekombinan dan ukuran DNA
sisipan. Pada metode ini digunakan enzim restriksi BamHI dan EcoRI yang
mampu mengenali situs restriksi pada plasmid rekombinan. Kecepatan
migrasinya kemudian dibandingkan dengan marka DNA pada elektroforesis gel
agarosa. Plasmid yang mengandung DNA sisipan akan menghasilkan dua pita
pada gel elektroforesa yaitu satu pita untuk plasmid yang berukuran 8275
pasangan basa dan satu pita lainnya untuk DNA sisipan yang berukuran 498
pasangan basa (166 asam amino X 3 pasangan basa).
10. Sistem ekspresi interferon β-1a
Dalam sistem ekspresi interferon β-1a diperlukan komponen penting, yaitu
komponen transkripsi (promotor, situs inisisasi transkripsi dan terminator) dan
komponen translasi (ribosom binding sites, start kodon dan stop kodon). Promotor
dan terminator yang digunakan harus dikenali oleh RNA polimerase sel inang CHO.
Untuk menghasilkan interferon β-1a dengan jumlah yang banyak dapat dilakukan
dengan meningkatkan efisiensi dari transkripsi yaitu dengan menggunakan promotor
kuat dan terminator kuat sehingga dihasilkan banyak mRNA dan tentunya dihasilkan
protein dengan jumlah yang banyak pula. Namun sintesis protein yang berlebihan
dapat menyebabkan sel inang mati, oleh karena itu perlu dilakukan regulasi ekspresi.
Pada interferon β-1a ini digunakan sistem regulasi ekspresi DHFR dengan
menambahkan inhibitor DHFR berupa methotrexate (MTX). Dengan adanya MTX
maka sel tidak akan menghasilkan nukleotida purin, timin dan glisin, sehingga sel
merasa kekurangan DHFR dan sel memaksa untuk melakukan transkripsi dan
dihasilkan nuklteotida purin, timin dan glisin. Dengan dihasilkannya nukleotida
purin, timin dan glisin maka secara tidak langsung gen interferon β-1a juga ikut
tertranskripsi sehingga dihasilkan protein interferon β-1a.

2.4.2. Produksi (Fermentasi)


Untuk mendapatkan produk yang berkualitas pilihan media kultur dan metode
untuk proses produksi sangat penting, FDA menyetujui bahwa produk diproduksi
dengan menggunakan media yang bebas serum. Untuk proses produksinya, dapat
menggunakan fed batch fermentation. Beberapa komponen dasar dari media, yaitu:
1. Garam anorganik
Garam anorganik digunakan untuk mempertahankan keseimbangan osmotik sel
dan membantu mengatur potensial membran dengan adanya ion natrium, kalium
dan kalsium. Semua ini diperlukan dalam matriks sel untuk attach sel dan
sebagai kofaktor enzim.
2. Karbohidrat
Karbohidrat merupakan sumber energi utama, biasanya digunakan glukosa dan
galaktosa atau maltosa atau fruktosa dengan konsentrasi 1g/L – 4,5g/L.
3. Asam amino
Asam amino dapat meningkatkan stabilitas dari media dan dapat mempengaruhi
kelangsungan hidup sel dan laju pertumbuhan. Kebanyakan glutamin diperlukan
oleh sebagian besar sel sebagai sumber energi dan karbon.
4. Vitamin
Serum merupakan sumber vitamin penting dalam kultur sel. Banyak vitamin
terutama kelompok vitamin B yang diperlukan untuk pertumbuhan sel dan
proliferasi.
5. Asam lemak dan lipid
Seperti protein dan peptida yang kehadirannya penting dalam media yang bebas
serum, asam lemak juga diperlukan misalnya kolesterol dan steroid.
6. Protein
Protein sangat penting untuk menggantikan ketidakberadaan serum dalam media
seperti albumin, transferin, fibronektin dan fetuin.
7. Elemen lain
Elemen lain seperti Zn, Cu, Se dan asam trikarboksilat adalah komponen yang
dibutuhkan dalam jumlah sedikit dalam pembuatan media, contohnya adalah
selenium yang membantu menghilangkan radikal oksigen bebas.
8. Sistem dapar
a. pH diatur di antara 6,5-7,5 (tergantung dari jenis sel yang digunakan)
b. Osmolalitas di antara 260 mOsm/kg dan 320 mOsm/kg. Pengukuran
osmolalitas penting untuk memonitor perubahan dalam medium.
c. Temperatur berpengaruh terhadap pertumbuhan sel juga akan mempengaruhi
pH karena peningkatan kelarutan CO2 pada suhu yang lebih rendah, ionisasi
dan pKa dari dapar. pH harus disesuaikan untuk 0,2 unit lebih rendah dari
suhu 36,5ºC.

Fermentasi dapat dilakukan pada bioreaktor dengan kapasitas 5-100 L, dengan


kondisi konsentrasi oksigen terlarut 30-40% dengan mengatur kecepatan aliran udara
dan kecepatan agitasi, pH 6,9-7,0 dan suhu 36,50C dan penambahan glukosa
dilakukan jika konsentrasi oksigen terlarut dalam media jumlahnya meningkat. Pada
Batch Fermentation, selama kultivasi tidak ada penambahan media dan hanya
terdapat parameter kultivasi (air, busa, pH dan suhu) yang dikontrol. Densitas sel
biasanya rendah (1-2.106 mL-1) dan konsentrasi produk juga rendah (Pringle, 1992;
Tokashaki dan Yokoyama, 1997). Hal ini disebabkan karena keterbatasan nutrisi
sehingga sel mengalami kematian. Pada Fed Batch Fermentation, selama kultivasi
dapat ditambahkan nutrisi sehingga memungkinkan sel dapat tumbuh lebih lama
untuk tumbuh untuk waktu yang lama mencapai densitas sel yang lebih tinggi dan
hasil produk yang lebih banyak.
Gambar 8. Kurva pertumbuhan standar
(Keterangan : fase lag: sel tidak bertambah besar, sel-sel mensintesis enzim dan sistem transportasi
yang diperlukan untuk pertumbuhan; fase eksponensial: sel-sel tumbuh secara eksponensial; fase
stasioner: pertumbuhan sel berhenti, selama fase ini, sel-sel terus metabolisme, menghasilkan energi
yang dibutuhkan untuk pemeliharaan fungsi dasar sel; fase penurunan: sel mati)

2.4.3. Proses Hilir (Down Stream)


1. Isolasi protein
Setelah dilakukan proses produksi protein, protein diisolasi untuk selanjutnya
dilakukan purifikasi protein. Pada tahap isolasi, protein dipisahkan dari kulturnya
dengan perlakuan sentrifugasi dan karena protein interferon β-1a merupakan protein
intrasel, dibutuhkan proses lisis sehingga protein dapat terpisahkan dari sel inangnya.
Metode lisis yang digunakan adalah metode glass bead. Proses ini diawali dengan
sentrifugasi protein pada 5000 gauge selama 10 menit pada suhu 4oC dan akan
diperoleh pellet sel. Pellet sel yang telah dipanen selanjutnya dicairkan hingga suhu
ruang dan dilarutkan kembali dalam larutan dapar hipertonis yang dibuat segar dan
mengandung sukrosa, Tris-Cl pH 8 dan EDTA pH 8. Pelarutan ini bertujuan untuk
melisis sel sehingga protein interferon β-1a dapat dikeluarkan dari sel. Larutan yang
diperoleh disimpan di atas es selama 30 menit pada 4oC. Larutan yang berisi pellet
sel disentrifugasi pada 5000 gauge selama 10 menit pada 4oC dan dipisahkan bagian
supernatannya. Sedangkan bagian debris selnya dilarutkan kembali dalam larutan
hipotonis MgSO4 dan diinkubasi selama 30 menit pada 4oC. Larutan yang diperoleh
disentrifugasi dan dikumpulkan bagian supernatannya. Selanjutnya supernatan
larutan hipotonis digabungkan dengan supernatan larutan hipertonis, disertai dengan
sentrifugasi tambahan untuk menghilangkan debris sel yang masih tersisa.
Supernatan hasil sentrifugasi dikumpulkan sebagai protein interferon β-1a.
2. Pemurnian/ purifikasi
Pemurnian protein rekombinan interferon β-1a dapat dilakukan dengan langkah
ganda. Pemurnian ini dapat dilakukan dalam beberapa langkah yaitu:
a. Kromatografi Interaksi Hidrofobik
Kromatografi Interaksi Hidrofobik atau Hydrophobic Interaction
Chromatography (HIC) merupakan suatu langkah pemurnian protein terisolasi untuk
melakukan tahapan capture. Tahapan ini dilakukan sebagai pemurnian awal protein
target dari material bahan baku atau sumber. Selain itu dengan menggunakan HIC,
dapat menginaktivasi enzim yang mungkin ada atau virus kontaminan dengan
mengelusi protein target dengan pelarut organik. Prinsip dari HIC adalah
memurnikan protein berdasarkan perbedaan hidrofobisitas antara protein target
dengan pengotor atau kontaminannya. Protein interferon β-1a merupakan protein
yang sangat hidrofobik sehingga akan sangat melekat pada kolom dibandingkan
dengan kontaminan atau pengotornya. Supernatan dari tabung sentrifuga dialirkan
pada kolom HIC yang merupakan buthyl-sepharose Fast Flow. Sebelum dilakukan
proses loading supernatan, dilakukan terlebih dahulu penyeimbangan kondisi kolom
dengan 20 mM Na-asetat pH 5, 1 M NaCl, dan 1 mM EDTA. Setelah dilakukan
loading supernatan, langkah selanjutnya adalah tahapan washing dengan 20 mM Na-
Asetat pH 5, 1M NaCl, dan 1 mM EDTA. Larutan hasil washing I ditampung.
Tahapan washing II adalah dengan mengalirkan 20 mM NaH2PO4/ Na2HPO4 pH 8, 1
M NaCl, dan 1 mM EDTA, kemudian dilakukan penampungan larutan washing II.
Tahapan washing III dilakukan dengan melewatkan pada kolom larutan 20 mM Na-
Asetat pH 5 dan 0,75 M NaCl. Tahapan terakhir adalah tahapan elusi, dengan
mengalirkan 20 mM Na-asetat pH 5. (Arnold, et al., 2012)
b. Kromatografi Penukar Anion
Kromatografi Penukar Anion atau Anion Exchange Chromatography (AEX)
dilakukan sebagai proses lanjutan dari HIC. AEX dilakukan untuk membuang sisa
DNA sel inang yang mungkin ada dan kontaminasi viral atau kontaminan lain yang
bermuatan negatif. Langkah ini dilakukan langsung setelah proses HIC dilakukan.
Prinsip dari AEX adalah memurnikan protein target berdasarkan perbedaan
muatannya dengan pengotor atau kontaminannya pada pH tertentu. Interferon β-1a
yang memiliki pI cenderung tinggi yaitu 8,93 akan bermuatan positif apabila pH
lingkungan diasamkan. Dengan muatan protein target yang positif dan pengotor
berupa DNA sel inang atau kontaminan berupa virus atau lainnya yang bermuatan
negatif, maka ketika dilewatkan pada AEX dengan membran filtrasi penukar ion,
protein target akan dilewatkan sementara pengotor dan kontaminan akan tertahan
sehingga protein murni. Tahapan AEX ini dilakukan dengan melewatkan larutan
protein target hasil HIC kepada kromatografi penukar anion dengan kolom butyl
sepharose. Prinsip tahapan ini adalah melakukan penyaringan pada filtrasi membran
AEX dengan tipe penyaring Mustang Q. Sebelum dilakukan loading, membran
filtrasi dibersihkan dengan 1 M NaOH sebanyak 3 liter. Setelah itu, kolom
diseimbangkan dengan loading buffer berupa 20 mM Na-asetat pH 5. Setelah
dilakukan penyeimbangan, dilakukan loading larutan hasil HIC untuk kemudian
masuk dalam tahapan washing dengan buffer 20 mM Na-asetat pH 5. Tahap untuk
mengisolasi protein target murni, tahapan elusi, dilakukan dengan mengalirkan
larutan buffer berupa 20 mM Na-asetat pH 5. (Arnold, et al., 2012)
c. Pemekatan Protein
Pemekatan protein merupakan suatu proses pembuangan pelarut sebanyak
mungkin dengan tujuan peningkatan konsentrasi protein. Proses pembuangan pelarut
dapat dilakukan dengan sentrifuga, penguapan dengan rotary vaporator, atau dengan
ultrafiltrasi. Selain itu, pemekatan protein dapat dilakukan untuk meningkatkan
kadar zat aktif, pemurnian, dan untuk memudahkan proses pembuatan. Proses
pemekatan interferon β-1a dapat dilakukan dengan ultrafiltrasi menggunakan
membran polietersulfon (PES) yang disusun dengan mode aliran tangensial. Ukuran
filter yang digunakan adalah lebih kecil dari ukuran protein IFN supaya protein tidak
lolos saat filtrasi. Konsentrasi akhir yang akan dihasilkan dari proses pemekatan ini
berada dalam rentang 3261 – 4433 𝜇g/mL. Setelah dilakukan proses ultrafiltrasi,
dilakukan proses washing dengan 20 mM Na-asetat, pH 5. (Arnold, et al., 2012)
d. Kromatografi Eksklusi Ukuran
Kromatografi Eksklusi Ukuran atau Size Exclusion Chromatography (SEC)
dipilih sebagai langkah terakhir dalam pemurnian protein interferon β-1a atau tahap
polishing. Pada tahapan ini dilakukan pengurangan produk yang tidak sesuai
ukurannya. Prinsip dari SEC adalah memisahkan protein target dengan pengotor dan
atau kontaminan berdasarkan perbedaan ukuran. Protein target yang ukurannya lebih
kecil dibanding pengotor atau kontaminannya akan tertahan lebih lama di dalam
kolom karena terabsorpsi ke dalam pori-pori kolom. Sebaliknya, kontaminan dan
atau pengotor dengan ukuran yang lebih besar akan lebih cepat keluar dari kolom
SEC. Kolom SEC yang dapat digunakan dapat berupa kolom Superdex 200. Pada
sistem SEC ini, digunakan running buffer berupa 25 mM Na-asetat pH 4,8, 0,15 M
NaCl 0,167% (v/v), dan Tween 20. Hal pertama yang dilakukan adalah proses
ekulibrasi dengan loading buffer yang telah dialiri gas N2 untuk mengusir oksigen
dari larutan. Protein hasil pemekatan di-loading ke dalam kolom dengan volume
loading maksimal 2,5% volume kolom. Proses elusi pada sampel lalu dilakukan.
3. Karakterisasi
Karakterisasi dilakukan untuk melakukan konfirmasi identitas pada protein.
Hal-hal yang perlu ditentukan dalam karakterisasi protein adalah identitas,
kuantifikasi protein, penetuan kemurnian, stabilitas, dan spesifisitas. Protein yang
sudah dipurifikasi diuji dengan menggunakan SDS-PAGE 12% lalu digunakan pula
reagen Coomassie Blue untuk identifikasi protein. Identifikasi ini dilakukan
berdasarkan ukuran dari protein yang dihasilkan. Protein dari hasil SDS-PAGE
kemudian diproses dengan metode Western Blot dimana gel ditransblot ke
nitroselulosa dan diblok dengan BSA (3% di dalam PBS). Nitroselulosa diinkubasi
dengan anti-β-interferon monoklonal (mouse anti-human β-IFN, Chemicon Intl.)
yang diikuti dengan IgG antitikus kambing yang terkonjugasi dengan alkalin
fosfatase lalu dikembangkan dengan nitro blue tetrazolium dan 5-bromo-4-kloro-3-
indolil fosfat (Sigma). Prinsip dari SDS-PAGE ini adalah penentuan ukuran dari
protein yang diinginkan. Melalui metode ini, dapat juga diketahui ketidakmurnian di
dalam protein yang dapat terlihat dari terbentuknya pita di marka ukuran yang tidak
sesuai dengan protein yang kita inginkan. Western Blot dilakukan untuk memastikan
protein yang didapatkan adalah IFN β karena digunakan antibodi yang spesifik
berikatan dengan protein IFN β. Dengan metode ini, dapat pula diketahui kuantitas
dari protein. Metode karakterisasi lainnya yang harus dilakukan adalah penentuan
aktivitas biologis dari protein dengan cara membandingkan kemampuan protein
tersebut dengan standar internasional dari protein rekombinan interferon β-1a
manusia untuk memproteksi sel terhadap efek sitopatik virus atau dengan preparasi
yang telah terkalibrasi dalam International Units.
4. Formulasi
No Bahan Jumlah (dalam 1 mL sediaan)
1 Interferon β-1a 30 𝜇g
2 NaCl 5,8 mg
3 Albumin Manusia 15 mg
4 Natrium Fosfat Dibasik (Na2HPO4) 5,7 mg
5 Natrium Fosfat Monobasik (NaH2PO4) 1,2 mg
6 Aqua pro Injection 1 mL
Formulasi interferon β-1a pada tabel di atas didasarkan pada salah satu produk
protein rekombinan ini yang telah ada dipasaran, yaitu Avonex ®. Interferon β-1a
diproduksi dalam bentuk serbuk steril hasil liofilisasi yang dapat diinjeksikan melalui
rute intramuskular setelah direkonstitusi dengan pelarut yang tersedia berupa aqua
pro injeksi. Interferon β-1a dikemas dalam vial dan dalam satu kemasannya terdapat
dua vial, satu vial berisi serbuk sesuai dengan formulasi dan satu lagi berisi pelarut.
Interferon β-1a pada formulasi tersebut merupakan zat aktif yang fungsi utamanya
untuk mengobati penyakit Multiple Sclerosis (MS). Natrium Klorida (NaCl)
merupakan zat yang berfungsi untuk mengatur tonisitas sediaan sehingga bersifat
isotonis dengan cairan tubuh. Apabila sediaan bersifat hipertonis maka sel darah
akan mengkerut yang menyebabkan pedih dan nyeri saat diinjeksikan, dan apabila
sediaan bersifat hipotonis maka sel darah akan membengkak dan pecah sehingga
dapat menyebabkan kematian. Albumin manusia ditambahkan pada formulasi
sebagai eksipien yang dapat mencegah atau meminimalisir degradasi baik kimia
maupun fisika dari protein rekombinan (sebagai agen stabilisasi protein rekombinan).
Kombinasi dari natrium fosfat dibasik dan natrium fosfat monobasik adalah sebagai
dapar yang menjaga pH kestabilan dari protein rekombinan. Kapasitas dapar yang
digunakan adalah 0,01 agar dapat dengan cepat menyesuaikan pH dari darah.
Formulasi tersebut menghasilkan pH sediaan sebesar 7,3.

2.5. Persyaratan Farmakope


Bagian ini mengacu pada European Pharmacopoeia 7.0 (2011) tentang larutan
konsentrat interferon β-1a. Larutan terkonsentrasi interferon β-1a didefinisikan sebagai
larutan protein terglikosilasi yang memiliki urutan asam amino dan pola glikosilasi yang
sama dengan interferon β yang diproduksi oleh human diploid fibroblast pada respon
infeksi virus dan induser lain. Fungsinya sebagai antivirus, antiproliferatif, dan memiliki
aktivitas imunomodulator. Larutan konsentrat interferon β-1a diproduksi dengan metode
teknologi DNA rekombinasi (rDNA) menggunakan kultur sel mamalia. Larutan
konsentrat interferon β-1a memiliki karakteristik jernih, tidak berwarna atau cairan
sedikit kekuningan. Identifikasi interferon β-1a dapat dilakukan dengan spektrometri
massa dan peptide mapping (dan kromatografi cair).
- Spektrometri massa
Metode spektrometri massa digunakan untuk melihat distribusi glikoform. Cara
ionisasinya menggunakan electrospray. Signal acquisition menggunakan spektrum
1100-2400. Metode kalibrasi digunakan myoglobin dengan rentang m/z 600-2400;
deviasi dari massa rata-rata tidak melebihi 0,2% dari massa yang didapat sehingga dapat
dikatakan massa tersebut adalah data yang valid. Interpretasi dari hasil yang didapat,
spektrum khas terdiri dari 6 glikoform utama (A-F) yang dibedakan berdasarkan
tingkatan sialilasi dan/atau tipe antena yang terlihat pada tabel:
Puncak MS Glikoform* MW yang diharapkan Tingkat sialilasi
A 2A2S1F 22 375 Terdisialilasi
B 2A2S1F 22 084 Termonosialilasi
3A2S1F dan/atau 2A2S1F +
C 22 739 Terdisialilasi
1 HexNacHex repeat
D 3A3S1F 23 031 Tertrisialilasi
4A3S1F dan/atau 3A3S1F
E 23 400 Tertrisialilasi
+1 HecNacHex repeat
F 2A0S1F 21 793 Tidak tersialilasi
(Keterangan: *2A = kompleks 2 antena tipe oligosakarida; 3A = kompleks 3 antena tipe oligosakarida;
4A = kompleks 4 antena tipe oligosakarida; 0S = tidak tersialilasi; 1S = termonosialilasi; 2S =
terdisialilasi; 3S = tertrisialilasi; 1F = terfukosilasi.)

- Peptide mapping dan kromatografi cair


Metode identifikasi ini dilakukan dengan menggunakan kromatografi cair.
Prekolom yang digunakan memiliki panjang 0,02 m dan diameter dalam 2,1 mm dengan
fase diam berupa spherical octadecylsilyl silica gel untuk kromatografi R (5μm) dengan
ukuran pori 30nm. Kolom yang digunakan memiliki panjang 0,25 m dan diameter
dalam 2,1 mm, fase diam berupa spherical octadecylsilyl silica gel untuk kromatografi
R (5μm) dengan ukuran pori 30nm, dan fase gerak berupa asam trifluoroasetat dalam air
(A) dan asam trifluoroasetat dalam asetonitril untuk kromatografi R (B). Sistem
kromatografi cair yang digunakan memiliki kecepatan alir 0,2 mL/menit, sistem deteksi
spektrofotometer pada panjang gelombang 214 nm, dan volume injeksi mengandung
20μg digested protein. Kesesuaian sistem terpenuhi jika larutan referensi memiliki
kemiripan kualitatif dengan kromatogram interferon β-1a. Hasil profil kromatogram
menunjukan larutan uji sesuai kromatogram larutan standar.

Selain itu dilakukan pula beberapa pengujian lain, seperti:


- Mengukur ketidakmurnian dari interferon β-1a dengan menggunakan gel poliakrilamid
elektroforesis dengan kondisi reducing menggunakan agen 2-merkaptoetanol. Larutan
referensi yang digunakan ialah (a) larutan marker yang cocok untuk kalibrasi SDS-
PAGE gel pada rentang 15-67 kDa yang dilarutkan dalam buffer sampel (campuran
yang setara dengan volume SDS-PAGE buffer sampel pekat dalam air) (b) 0,75 mg/mL
larutan interferon β-1a CRS dalam buffer sampel. Deteksi dengan menggunakan
pewarna coomassie. Massa molekul yang terlihat yaitu interferon β-1a sekitar 23000,
interferon β-1a yang terglikosilasi sekitar 21000, interferon β-1a yang tidak
terglikosilasi sekitar 20000, dan interferon β-1a dimer sekitar 46000.
- Mengukur interferon β-1a yang teroksidasi (syarat: maksimum 6%) menggunakan
kromatogram yang diperoleh dengan larutan uji identifikasi C. Puncak fragmen peptida
yang terdiri dari asam amino 34-35 dan bentuk teroksidasi akan terlihat pada
kromatogram dari intisari interferon β-1a yang teroksidasi yang disuplai interferon β-1a
CRS. Kemudian persentase oksidasi interferon β-1a dihitung menggunakan rumus
𝐴34−45𝑜𝑥
× 100 dengan A34-45ox adalah luas daerah puncak dari fragmen
𝐴34−45+𝐴34−45𝑜𝑥

peptida 34-45 yang teroksidasi dan A34-45 adalah luas daerah puncak dari fragmen
peptida 34-45.
- Bakteri endotoksin dipersyaratkan kurang dari 0,7 IU dalam volume yang mengandung
1x106 IU interferon β-1a jika dimaksudkan untuk pembuatan sediaan parenteral tanpa
prosedur lebih lanjut untuk penghilangan bakteri endotoksin.

Pengujian protein dilakukan dengan menggunakan metode kromatografi cair


dengan prekolom dan kolom butilsilil silika gel untuk kromatografi R dengan perbedaan
pada panjang kolom. Fase gerak yang digunakan adalah larutan 0,1% v/v asam
trifloroasetat (a) dan campuran air dan asam trifloroasetat dalam asetonitril (b).
Kecepatan aliran 0,2 mL/menit. Deteksi menggunakan spektrofotometer pada panjang
gelombang 214 nm. Waktu retensi dari interferon β-1a adalah sekitar 20 menit.
Kesesuaian sistem yaitu dilihat dari faktor simetri (0,8 sampai 2 untuk puncak interferon
β-1a) dan keberulangan (maksimum relatif standar deviasi 3% diantara puncak area
yang diperoleh setelah injeksi dari 3 larutan independen). Potensi dari interferon β-1a
diperkirakan dengan membandingkan kemampuan menjaga sel dari efek virus sitopatik
dengan kemampuan yang sama sesuai dengan Standar Internasional dari rekombinan
interferon β-1a manusia atau dengan referensi preparasi yang dikalibrasi menggunakan
satuan internasional (IU). Satuan internasional adalah pengukuran jumlah zat
berdasarkan Standar Internasional. Hasil yang didapat adalah potensi yang diperkirakan
tidak kurang dari 80% dan tidak lebih dari 125% dari potensi yang ditentukan. Batas
kepercayaan (P = 0,95) tidak kurang dari 64% dan tidak lebih dari 156% dari potensi
yang diperkirakan. (Keterangan: Konten interferon β-1a dinyatakan dalam miligram per
mililiter; Aktivitas antiviral dinyatakan dalam unit internasional per mililiter; Saat bisa
dilaksanakan, zat yg sesuai digunakan dalam manufaktur persiapan parental)
BAB III
KESIMPULAN

Interferon β-1a yang merupakan protein rekombinan manusia memiliki rumus molekul
C908H1408N246O252S7 (22500 g/mol) dengan ukuran protein 23 kDa dan titik isolektrik 8,93.
Protein ini dihasilkan akibat respon dari infeksi virus dan induser biologis lainnya. Interferon
β-1a berfungsi sebagai antivirus, antiproliferatif, memiliki aktivitas imunomodulator dan dapat
mengobati penyakit multiple sklerosis. Protein ini dapat diekspresikan pada sel CHO (Chinese
Hamster Ovary). Kemurnian dari protein ini lebih dari 95% dengan satu N-linked tempat
glikosilasi. Berdasarkan European Pharmacopoeia 7.0, persyaratan untuk protein rekombinan
interferon β-1a antara lain identifikasi (bentuk glikoform, ukuran, jumlah protein dan potensi),
ketidakmurnian terkait proses (bentuk glikoform, ukuran, kontaminan, bentuk teroksidasi dan
potensi), ketidakmurnian terkait produk (ukuran), dan kontaminan (endotoksin).
Sistem produksi dibagi menjadi 3 tahapan, yaitu proses hulu, proses produksi dan proses
hilir. Proses hulu dimulai dari penyiapan DNA sisipan dengan mengisolasi fragmen mRNA
dari sel darah manusia yang menderita multiple sclerosis lalu ditranskripsi balik dengan enzim
reverse transcriptase sehingga didapatkan cDNA dari interferon β-1a. Amplifikasi lalu
dilakukan dengan PCR menggunakan primer spesifik yang ditambahkan situs pemotongan
enzim restriksi BamHI pada primer forward dan EcoRI pada primer reverse. Fragmen PCR
lalu dipisahkan, dimurnikan dan dipotong dengan enzim restriksi BamHI dan EcoRI.
Penyiapan vektor dilakukan dengan memotong vektor pM17 dengan enzim restriksi BamHI
dan EcoRI. Proses penyisipan (ligasi) DNA sisipan dibantu oleh enzim ligase. Plasmid
rekombinan kemudian ditransformasi ke sel inang pertama yaitu E. coli. Seleksi transforman
dilakukan dengan menambahkan media tumbuh sel inang dengan ampisilin. Deteksi klon
transforman lalu dilakukan dengan metode analisis migrasi dan analisis restriksi. Sebelum
ditransfeksi ke sel inang kedua (CHO), dilakukan purifikasi plasmid rekombinan dahulu.
Setelah ditransfeksi, kembali dilakukan seleksi transforman dan deteksi. Proses produksi dapat
dilakukan dengan fed batch fermentation dan penambahan glukosa dilakukan jika konsentrasi
oksigen terlarut dalam media jumlahnya meningkat. Pada proses hilir, dilakukan isolasi
protein dengan metode lisis dahulu yaitu metode glass bead. Selanjutnya proses pemurnian
dilakukan dalam beberapa langkah dengan kromatografi interaksi hidrofobik, kromatografi
penukar anion, pemekatan protein, kemudian kromatografi eksklusi ukuran. Karakterisasi
dilakukan dengan menggunakan SDS-PAGE lalu diproses dengan metode Western Blot.
Formulasi interferon β-1a terdiri dari interferon β-1a, NaCl, albumin manusia, Na2HPO4,
NaH2PO4, dan aqua pro injection.
DAFTAR PUSTAKA

Arnold, et al. 2012. Patent Application Publication: Method For The Purification Of
Interferon-β (Pub no. : US 2012/0177603 A1). United State: Patent Application
Publication halaman 1-12)
Anonim. 2015. AVONEX® : Product Monograph Interferon beta-1a. Canada: Biogen Canada
Inc. (hal. 3-6; 19)
Bhatia, Sujata K, et al. 2014. Fermentation Fundamentals: Brewing Bugs for Bioengineering.
Amerika: American Institute of Chemical Engineers (halaman 38 – 42)
Chen, Claudia, et al. 1987. High-Efficiency Transformation of Mammalian Cells by Plasmid
DNA. Maryland: Laboratory of Cell Biology, National Institute of Mental Health. (Vol
7, No. 8, halaman 2745-2752)
Majeed, Mohammed Abdul. Small Scale Cell Culture Performance of Recombinant Chinese
Hamster Ovary Cells. India: Indian Institute of Technology (halaman 6-54)
Naffisi, S, et al. 2012. Comparing Efficacy and Side Effects of a Weekly Intramuscular
Biogeneric/biosimilar Interferon beta-1a with Avonex in Relapsing Remitting Multiple
Sclerosis: a Double Blind Randomized Clinical Trial. Clin Neurol Nerosurg. 114 (7):
986-9
Spearman, et al. 2005. Production and Glycosylation of Recombinant β-Interferon in
Suspension and Cytopote Microcarrier Cultures of CHO Cells. Canada: Departement of
Microbiology, University of Manitoba. (Vol 21, halaman 31-39)
Utsumi, Jun, et al. 1989. Characterization of Four Differrent Mammalian-cell-derived
Recombinant Human Interferon β-1a. Kanagawa: Eur. J. Biochem. (halaman 545-553)
www.dailymed.nlm.nih.gov/dailymed/druginfo (diakses pada tanggal 28 Maret 2016 pukul
08:26 WIB)
www.nationalmssociety.org/About-the-Society/New/FDA-Approves-Plegridy-Pegylated-
Interferon-Beta (diakses pada Tanggal 28 Maret 2016 pukul 09:36)
www.ncbi.nlm.nih.gov/protein/184623?report=fasta (diakses pada Tanggal 29 Maret 2016
pukul 22:23)
www.plegridy.com (diakses pada Tanggal 28 Maret 2016 pukul 09:39)
www.rebif.com (diakses pada Tanggal 28 Maret 2016 pukul 09:45)

Anda mungkin juga menyukai