Interferon Presenter
Interferon Presenter
Interferon Presenter
MAKALAH
Dibuat untuk Melengkapi Tugas Tertulis Bioteknologi Farmasi (FA3231)
oleh:
Kelompok 2
Mia Savira 10713002
Stephani Rachel Tanaka 10713003
Khairunnissa Aulia Rahmah 10713014
Cindy Angkasa 10713037
Sevina Putri Mahenda 10713045
Kartika Khoirunnisa 10713072
Aulia Mardiningsih 10713077
Vani Lestari Pratiwi 10713083
Fusvita 20715032
Kata Kunci: Interferon β-1a, protein rekombinan, multiple sclerosis, E.Coli, sel inang CHO,
fed batch fermentation
DAFTAR ISI
ABSTRAK………………………………………………………………………………….… i
DAFTAR ISI………….……………………………………………………………………… ii
BAB I PENDAHULUAN……………………………………...…………………………….. 1
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………..……………………... 21
BAB I
PENDAHULUAN
1.3. Tujuan
1. Menentukan sifat bahan aktif interferon β-1a.
2. Menentukan kegunaan serta pencegahan atau pengobatan penyakit oleh protein
interferon β-1a rekombinan.
3. Menetukan tahapan produksi mulai dari hulu hingga hilir beserta sistem-sistem yang
berpengaruh.
4. Menentukan persyaratan untuk protein interferon β-1a rekombinan dengan
berdasarkan pada Farmakope.
BAB II
INTERFERON β-1a
2.3. Penggunaan
Interferon merupakan sekelompok protein dan glikoprotein yang diproduksi oleh
sel eukariotik sebagai respon dari infeksi virus dan induser biologis lainnya. Interferon
merupakan sitokin yang memediasi antivirus, antiproliferasi dan aktivitas
imunomodulator dalam merespon infeksi virus dan induser biologis lainnya. Interferon
dapat dibedakan menjadi tiga kelompok besar yaitu alfa, beta dan gamma. Interferon
beta dan alfa merupakan interferon tipe I sedangkan interferon gamma termasuk
interferon tipe II. Interferon beta dalam tubuh manusia diproduksi oleh berbagai macam
jenis sel termasuk fibroblas dan makrofag. Interferon beta menimbulkan efek
biologisnya dengan berikatan pada reseptor spesifik pada permukaan sel manusia.
Ikatan ini menginisiasi diekspresikannya beberapa produk genetika yang menginduksi
interferon seperti 2’,5’-oligoadenilat sintase, β2-mikroglobulin, dan neopterin. Interferon
beta alami dan interferon β-1a yang merupakan produk rekombinan memiliki letak
glikosilasi dan urutan asam amino yang sama. Glikosilasi dari protein-protein lain
diketahui akan mempengaruhi stabilitas, aktivitas, biodistribusi dan waktu paruh dalam
darah. Glikosilasi dari protein lainnya juga dapat menurunkan agregasi dari protein
interferon β-1a ini. Bentuk agregasi dari interferon β-1a diketahui akan membuat
protein rekombinan ini menjadi bersifat imunogenik. Bentuk agregat dari interferon β-
1a diketahui memiliki aktivitas spesifik lebih lemah daripada bentuk agregatnya.
Interferon β-1a berfungsi dalam mengobati penyakit multiple sklerosis dengan
memperlambat akumulasi dari distabilitas fisik dan menurunkan frekuensi gejala parah
yang timbul. Selain itu, produk rekombinan ini pun dapat mengurangi jumlah dan
volume dari lesi otak yang aktif dan teridentifikasi pada saat dilakukan scanning
Magnetic Resonance Imaging (MRI). Interferon β-1a tidak dianjurkan penggunaannya
pada pasien yang pernah mengalami hipersensitivitas baik terhadap interferon beta
alami maupun terhadap produk rekombinan, hipersensitivitas albumin manusia atau
komponen dalam formulasi. Selama penggunaannya, produk rekombinan ini dapat
menimbulkan reaksi dan efek samping berupa depresi, kerusakan hati, anafilaksis atau
reaksi alergi lainnya, reaksi pada lokasi injeksi, dan mikroangiopati trombotik.
ATGACCAACAAGTGTCTCCTCCAAATTGCTCTCCTGTTGTGCTTCTCCACGACAGCTCTTTCCATGAG
CTACAACTTGCTTGGATTCCTACAAAGAAGCAGCAATTGTCAGTGTCAGAAGCTCCTGTGGCAATTG
AATGGGAGGCTTGAATACTGCCTCAAGGACAGGAGGAACTTTGACATCCCTGAGGAGATTAAGCAG
CTGCAGCAGTTCCAGAAGGAGGACGCCGCAGTGACCATCTATGAGATGCTCCAGAACATCTTTGCT
ATTTTCAGACAAGATTCATCGAGCACTGGCTGGAATGAGACTATTGTTGAGAACCTCCTGGCTAATG
TCTATCATCAGAGAAACCATCTGAAGACAGTCCTGGAAGAAAAACTGGAGAAAGAAGATTTCACCA
GGGGAAAACGCATGAGCAGTCTGCACCTGAAAAGATATTATGGGAGGATTCTGCATTACCTGAAGG
CCAAGGAGGACAGTCACTGTGCCTGGACCATAGTCAGAGTGGAAATCCTAAGGAACTTTTACGTCA
TTAACAGACTTACAGGTTACCTCCGAAACTGA
Gambar 4. Urutan DNA interferon beta
Sehingga urutan asam amino dan urutan DNA dari interferon β-1a yang tidak
memiliki sinyal peptida dan diawali dengan start kodon (ATG) urutan DNAnya
sebagai berikut:
ATGAGCTACAACTTGCTTGGATTCCTACAAAGAAGCAGCAATTGTCAGTGTCAGAAGCTCCTGTGGCAA
TTGAATGGGAGGCTTGAATACTGCCTCAAGGACAGGAGGAACTTTGACATCCCTGAGGAGATTAAGCA
GCTGCAGCAGTTCCAGAAGGAGGACGCCGCAGTGACCATCTATGAGATGCTCCAGAACATCTTTGCTAT
TTTCAGACAAGATTCATCGAGCACTGGCTGGAATGAGACTATTGTTGAGAACCTCCTGGCTAATGTCTA
TCATCAGAGAAACCATCTGAAGACAGTCCTGGAAGAAAAACTGGAGAAAGAAGATTTCACCAGGGGA
AAACGCATGAGCAGTCTGCACCTGAAAAGATATTATGGGAGGATTCTGCATTACCTGAAGGCCAAGGA
GGACAGTCACTGTGCCTGGACCATAGTCAGAGTGGAAATCCTAAGGAACTTTTACGTCATTAACAGACT
TACAGGTTACCTCCGAAACTGA
b. Penyiapan vektor
Tujuan akhir yang diinginkan adalah untuk mendapatkan protein berupa
interferon β-1a, maka vektor yang digunakan adalah vektor ekspresi. Vektor yang
digunakan dalam produksi interferon β-1a ini adalah plasmid M17 yang terdiri
dari: dua jenis ori yang menyatakan bahwa vektor pM17 merupakan vektor
shuttle yaitu ori PBR322 untuk E. coli dan ori SV40 untuk sel mamalia, gen
resistensi ampisilin untuk seleksi transforman pada E. coli, MCS dengan berbagai
situs enzim restriksi, promotor MMTV, dan gen pengkode DHFR untuk seleksi
transforman pada sel CHO dan untuk meregulasi proses produksi interferon β-1a.
Pada vektor terdapat komponen transkripsi dan translasi untuk dilakukan pada sel
inang E. coli dan CHO (sel mamalia). Penyiapan vektor dilakukan dengan
memotong vektor pM17 dengan enzim restriksi BamHI dan EcoRI sehingga
bentuknya menjadi linear dan dapat disisipi dengan DNA sisipan.
Ligasi
Plasmid rekombinan
4. Seleksi transforman
Seleksi transforman dilakukan dengan tujuan untuk memastikan apakah di
dalam sel inang telah terdapat transforman atau tidak. Berdasarkan plasmid yang
digunakan dimana terdapat gen resistensi antibiotik ampisilin (AmpR), maka seleksi
transforman dilakukan dengan menambahkan media tumbuh sel inang dengan
ampisilin. Apabila pada sel E. coli terdapat transforman dimana terdapat gen
pengkode resistensi ampisilin maka sel inang E. coli akan hidup, sedangkan apabila
tidak terdapat transforman maka E. coli akan mati. Namun kelemahan marka seleksi
ini adalah tidak dapat membedakan transforman dengan plasmid rekombinan dan
transforman dengan plasmid kosong.
5. Deteksi
Klon transforman yang sudah diseleksi kemudian perlu dideteksi keberadaan
dan kebenaran dari DNA sisipan yang tersisipi di plasmid merupakan DNA sisipan
yang diinginkan. Maka itu dilakukan:
a. Analisis migrasi, salah satu cara untuk mendeteksi kebenaran plasmid
rekombinan pada klon transforman berdasarkan ukuran. Pada metode ini plasmid
rekombinan hasil isolasi dari sel klon transforman diisolasi untuk kemudian
dibandingkan kecepatan migrasinya dengan plasmid kosong pada elektroforesis
gel agarosa. Plasmid rekombinan akan bergerak lebih lambat dibandingkan
dengan plasmid kosong.
b. Analisis restriksi, metode deteksi kebenaran plasmid rekombinan pada klon
transforman berdasarkan ukuran linear plasmid rekombinan dan ukuran DNA
sisipan. Pada metode ini digunakan enzim restriksi BamHI dan EcoRI yang
mampu mengenali situs restriksi pada plasmid rekombinan. Kecepatan
migrasinya kemudian dibandingkan dengan marka DNA pada elektroforesis gel
agarosa. Plasmid yang mengandung DNA sisipan akan menghasilkan dua pita
pada gel elektroforesa yaitu satu pita untuk plasmid yang berukuran 8275
pasangan basa dan satu pita lainnya untuk DNA sisipan yang berukuran 498
pasangan basa (166 asam amino X 3 pasangan basa).
8. Seleksi Transforman
Seleksi transforman dilakukan dengan tujuan untuk memastikan apakah di
dalam sel inang telah terdapat transforman atau tidak. Berdasarkan plasmid yang
digunakan dimana terdapat gen pengkode DHFR (dihidrofolat reduktase) sebagai
sistem seleksi auksotrof (seleksi berdasarkan kebutuhan nutrisi). DHFR merupakan
enzim yang berperan dalam biosintesis nukleotida purin, timin dan glisin. Untuk
melakukan seleksi transforman maka sel inang CHO dibuat mutan terhadap DHFR,
dimana pada plasmid rekombinan terdapat gen pengkode DHFR, sehingga ketika
plasmid rekombinan ditumbuhkan pada sel inang yang tidak mengandung nukleotida
purin/ timin/ glisin, sel inang mutan DHFR akan tetap menghasilkan nukleotida
purin, timin dan glisin dan tumbuh.
9. Deteksi
Klon transforman yang sudah diseleksi kemudian perlu dideteksi keberadaan
dan kebenaran dari DNA sisipan yang tersisipi di plasmid merupakan DNA sisipan
yang diinginkan. Maka itu dilakukan:
a. Analisis migrasi, salah satu cara untuk mendeteksi kebenaran plasmid
rekombinan pada klon transforman berdasarkan ukuran. Pada metode ini plasmid
rekombinan hasil isolasi dari sel klon transforman diisolasi untuk kemudian
dibandingkan kecepatan migrasinya dengan plasmid kosong pada elektroforesis
gel agarosa. Plasmid rekombinan akan bergerak lebih lambat dibandingkan
dengan plasmid kosong.
b. Analisis restriksi, metode deteksi kebenaran plasmid rekombinan pada klon
transforman berdasarkan ukuran linear plasmid rekombinan dan ukuran DNA
sisipan. Pada metode ini digunakan enzim restriksi BamHI dan EcoRI yang
mampu mengenali situs restriksi pada plasmid rekombinan. Kecepatan
migrasinya kemudian dibandingkan dengan marka DNA pada elektroforesis gel
agarosa. Plasmid yang mengandung DNA sisipan akan menghasilkan dua pita
pada gel elektroforesa yaitu satu pita untuk plasmid yang berukuran 8275
pasangan basa dan satu pita lainnya untuk DNA sisipan yang berukuran 498
pasangan basa (166 asam amino X 3 pasangan basa).
10. Sistem ekspresi interferon β-1a
Dalam sistem ekspresi interferon β-1a diperlukan komponen penting, yaitu
komponen transkripsi (promotor, situs inisisasi transkripsi dan terminator) dan
komponen translasi (ribosom binding sites, start kodon dan stop kodon). Promotor
dan terminator yang digunakan harus dikenali oleh RNA polimerase sel inang CHO.
Untuk menghasilkan interferon β-1a dengan jumlah yang banyak dapat dilakukan
dengan meningkatkan efisiensi dari transkripsi yaitu dengan menggunakan promotor
kuat dan terminator kuat sehingga dihasilkan banyak mRNA dan tentunya dihasilkan
protein dengan jumlah yang banyak pula. Namun sintesis protein yang berlebihan
dapat menyebabkan sel inang mati, oleh karena itu perlu dilakukan regulasi ekspresi.
Pada interferon β-1a ini digunakan sistem regulasi ekspresi DHFR dengan
menambahkan inhibitor DHFR berupa methotrexate (MTX). Dengan adanya MTX
maka sel tidak akan menghasilkan nukleotida purin, timin dan glisin, sehingga sel
merasa kekurangan DHFR dan sel memaksa untuk melakukan transkripsi dan
dihasilkan nuklteotida purin, timin dan glisin. Dengan dihasilkannya nukleotida
purin, timin dan glisin maka secara tidak langsung gen interferon β-1a juga ikut
tertranskripsi sehingga dihasilkan protein interferon β-1a.
peptida 34-45 yang teroksidasi dan A34-45 adalah luas daerah puncak dari fragmen
peptida 34-45.
- Bakteri endotoksin dipersyaratkan kurang dari 0,7 IU dalam volume yang mengandung
1x106 IU interferon β-1a jika dimaksudkan untuk pembuatan sediaan parenteral tanpa
prosedur lebih lanjut untuk penghilangan bakteri endotoksin.
Interferon β-1a yang merupakan protein rekombinan manusia memiliki rumus molekul
C908H1408N246O252S7 (22500 g/mol) dengan ukuran protein 23 kDa dan titik isolektrik 8,93.
Protein ini dihasilkan akibat respon dari infeksi virus dan induser biologis lainnya. Interferon
β-1a berfungsi sebagai antivirus, antiproliferatif, memiliki aktivitas imunomodulator dan dapat
mengobati penyakit multiple sklerosis. Protein ini dapat diekspresikan pada sel CHO (Chinese
Hamster Ovary). Kemurnian dari protein ini lebih dari 95% dengan satu N-linked tempat
glikosilasi. Berdasarkan European Pharmacopoeia 7.0, persyaratan untuk protein rekombinan
interferon β-1a antara lain identifikasi (bentuk glikoform, ukuran, jumlah protein dan potensi),
ketidakmurnian terkait proses (bentuk glikoform, ukuran, kontaminan, bentuk teroksidasi dan
potensi), ketidakmurnian terkait produk (ukuran), dan kontaminan (endotoksin).
Sistem produksi dibagi menjadi 3 tahapan, yaitu proses hulu, proses produksi dan proses
hilir. Proses hulu dimulai dari penyiapan DNA sisipan dengan mengisolasi fragmen mRNA
dari sel darah manusia yang menderita multiple sclerosis lalu ditranskripsi balik dengan enzim
reverse transcriptase sehingga didapatkan cDNA dari interferon β-1a. Amplifikasi lalu
dilakukan dengan PCR menggunakan primer spesifik yang ditambahkan situs pemotongan
enzim restriksi BamHI pada primer forward dan EcoRI pada primer reverse. Fragmen PCR
lalu dipisahkan, dimurnikan dan dipotong dengan enzim restriksi BamHI dan EcoRI.
Penyiapan vektor dilakukan dengan memotong vektor pM17 dengan enzim restriksi BamHI
dan EcoRI. Proses penyisipan (ligasi) DNA sisipan dibantu oleh enzim ligase. Plasmid
rekombinan kemudian ditransformasi ke sel inang pertama yaitu E. coli. Seleksi transforman
dilakukan dengan menambahkan media tumbuh sel inang dengan ampisilin. Deteksi klon
transforman lalu dilakukan dengan metode analisis migrasi dan analisis restriksi. Sebelum
ditransfeksi ke sel inang kedua (CHO), dilakukan purifikasi plasmid rekombinan dahulu.
Setelah ditransfeksi, kembali dilakukan seleksi transforman dan deteksi. Proses produksi dapat
dilakukan dengan fed batch fermentation dan penambahan glukosa dilakukan jika konsentrasi
oksigen terlarut dalam media jumlahnya meningkat. Pada proses hilir, dilakukan isolasi
protein dengan metode lisis dahulu yaitu metode glass bead. Selanjutnya proses pemurnian
dilakukan dalam beberapa langkah dengan kromatografi interaksi hidrofobik, kromatografi
penukar anion, pemekatan protein, kemudian kromatografi eksklusi ukuran. Karakterisasi
dilakukan dengan menggunakan SDS-PAGE lalu diproses dengan metode Western Blot.
Formulasi interferon β-1a terdiri dari interferon β-1a, NaCl, albumin manusia, Na2HPO4,
NaH2PO4, dan aqua pro injection.
DAFTAR PUSTAKA
Arnold, et al. 2012. Patent Application Publication: Method For The Purification Of
Interferon-β (Pub no. : US 2012/0177603 A1). United State: Patent Application
Publication halaman 1-12)
Anonim. 2015. AVONEX® : Product Monograph Interferon beta-1a. Canada: Biogen Canada
Inc. (hal. 3-6; 19)
Bhatia, Sujata K, et al. 2014. Fermentation Fundamentals: Brewing Bugs for Bioengineering.
Amerika: American Institute of Chemical Engineers (halaman 38 – 42)
Chen, Claudia, et al. 1987. High-Efficiency Transformation of Mammalian Cells by Plasmid
DNA. Maryland: Laboratory of Cell Biology, National Institute of Mental Health. (Vol
7, No. 8, halaman 2745-2752)
Majeed, Mohammed Abdul. Small Scale Cell Culture Performance of Recombinant Chinese
Hamster Ovary Cells. India: Indian Institute of Technology (halaman 6-54)
Naffisi, S, et al. 2012. Comparing Efficacy and Side Effects of a Weekly Intramuscular
Biogeneric/biosimilar Interferon beta-1a with Avonex in Relapsing Remitting Multiple
Sclerosis: a Double Blind Randomized Clinical Trial. Clin Neurol Nerosurg. 114 (7):
986-9
Spearman, et al. 2005. Production and Glycosylation of Recombinant β-Interferon in
Suspension and Cytopote Microcarrier Cultures of CHO Cells. Canada: Departement of
Microbiology, University of Manitoba. (Vol 21, halaman 31-39)
Utsumi, Jun, et al. 1989. Characterization of Four Differrent Mammalian-cell-derived
Recombinant Human Interferon β-1a. Kanagawa: Eur. J. Biochem. (halaman 545-553)
www.dailymed.nlm.nih.gov/dailymed/druginfo (diakses pada tanggal 28 Maret 2016 pukul
08:26 WIB)
www.nationalmssociety.org/About-the-Society/New/FDA-Approves-Plegridy-Pegylated-
Interferon-Beta (diakses pada Tanggal 28 Maret 2016 pukul 09:36)
www.ncbi.nlm.nih.gov/protein/184623?report=fasta (diakses pada Tanggal 29 Maret 2016
pukul 22:23)
www.plegridy.com (diakses pada Tanggal 28 Maret 2016 pukul 09:39)
www.rebif.com (diakses pada Tanggal 28 Maret 2016 pukul 09:45)