Leadership
Agility
Laksamana
Muda
TNI
Dr.
Amarulla
Octavian,
S.T.,
M.Sc.,
D.E.S.D.
Komandan
Sekolah
Staf
dan
Komando
Angkatan
Laut
amarulla_octavian@tnial.mil.id
amarulla.octavian@idu.ac.id
Abstrak:
Pemimpin
organisasi
merupakan
posisi
kunci
untuk
menghadapi
perubahan
yang
cepat
dan
kompleks.
Dengan
kekuasaan
yang
dimiliki,
pemimpin
dapat
memengaruhi
dan
mengembangkan
kinerja
individu,
satuan
kerja,
dan
organisasi
melalui
ketangkasan
kepemimpinan.
Agility
leadership
adalah
kepemimpinan
yang
lincah,
tangkas
dan
responsif
dalam
mengambil
keputusan,
menangani
krisis,
dan
memimpin.
Agile
leader
sangat
adaptif
terhadap
segala
sesuatu
dan
fokus
pada
cara
memaksimalkan
produktivitas
kerja
satuan.
Agility
leadership
patut
dipertimbangkan
untuk
diterapkan
karena
dunia
berubah
dengan
sangat
cepat.
Pemimpin,
termasuk
di
lingkungan
militer
yang
menolak
perubahan
akan
tertinggal
dan
berujung
pada
kemunduran.
Dengan
konteks
yang
sama,
leadership
agility
tetap
tenang
dalam
segala
situasi
dan
secara
otomatis
menenangkan
stafnya.
Leadership
agility
penuh
inovasi
ketika
terjadi
perubahan
dan
tidak
akan
berdiam
diri
membiarkan
organisasinya
tergulung
dalam
arus
perubahan.
Senantiasa
belajar
dari
pengalaman
dan
mencari
umpan
balik
(feedback)
juga
merupakan
ciri
pemimpin
yang
tangkas.
Tidak
segan
untuk
membangun
staf
dan
bawahan,
meliputi
keikhlasan
memotivasi
dan
menginspirasi
prajurit
yang
dipimpinnya.
Sebagian
pemimpin
militer
kurang
suka
bawahannya
berkembang
melebihi
dirinya
karena
dianggap
sebagai
pesaing.
Pemimpin
militer
yang
menerapkan
leadership
agility
harus
mampu
menguasai
dan
memanfaatkan
teknologi
serta
menerapkan
strategi
dalam
pertempuran
sesuai
kebutuhan
dan
tuntutan
jaman,
serta
memiliki
inovasi
menghadapi
musuh
yang
dinamis.
Kata
kunci:
agility
leadership
● leadership agility
● ketangkasan
● organisasi
● kepemimpinan
1. Pendahuluan.
Pada
1980-‐an
hingga
1990-‐an,
perkembangan
lingkungan
strategis
seperti
globalisasi,
teknologi
informasi,
dan
deregulasi
semuanya
membantu
menciptakan
apa
yang
disebut
ketangkasan
kepemimpinan
(leadership
agility).1
Organisasi
ingin
mencapai
dan
mengembangkan
ketangkasan
kepemimpinan
yang
mereka
butuhkan
untuk
menghadapi
perubahan
teknologi
yang
drastis
dan
cepat
pada
era
Revolusi
Industri
4.0.,
tidak
terkecuali
organisasi
militer.
1
Kathleen.Hoogerhuis,
Agile
whole
leadership:
How
to
become
an
agile
leader,
dapat
dilihat
pada
https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&uact=8&ved=2ahUKEwjwhJOV
geDhAhWJv48KHaF7BOQQFjAAegQIARAC&url=http%3A%2F%2Fwww.oliverwyman.de%2Fcontent%2Fdam%2Foliv
erwyman%2Fglobal%2Fen%2Ffiles%2Farchive%2F2011%2FAgile_whole_leadership_Perspectives_2_2010_en.pdf&
usg=AOvVaw2Sfv68Ng8AGSPL-‐576CX3j
diakses
pada
tanggal
19
April
2019
pukul
20.16
WIB.
1
Mata
Pelajaran
Kepemimpinan,
Sesko
TNI,
Bandung,
8
Mei
2019
Ketika
kebanyakan
orang
berpikir
tentang
pemimpin
dan
kepemimpinan
maka
seseorang
selalu
berpikir
dalam
sebuah
kekuasaan
dengan
struktural
dari
puncak
(top
manager)
dengan
hierarki
masing-‐masing
orang
menerima
visi
dan
meneruskannya
ke
peringkat
di
bawah.
Reputasi
organisasi-‐organisasi
militer
terlihat
seperti
institusi
yang
kebal
terhadap
evolusi
karena
sarat
dengan
rantai
komando
yang
hierarkis
berdasarkan
kebijakan
doktrin
prajurit,
namun
terpaksa
beradaptasi
lebih
cepat
dan
berevolusi
melakukan
perubahan
besar.
Perubahan
tersebut
menuntut
organisasi
militer
untuk
mengeksploitasi
sumber
daya
manusia
agar
memiliki
kemampuan
yang
tangkas
sebagai
bagian
dari
lingkungan
yang
kompleks
dan
terus
berubah
dengan
cepat
menghadapi
berbagai
bentuk
ancaman
dalam
peperangan
modern
yang
juga
berubah.
Kepemimpinan
(militer)
yang
tangkas
dituntut
untuk
mampu
menganalisis
pengaruh
positif
dan
negatif
Revolusi
Industri
4.0
sebagai
kesiapan
melaksanakan
berbagai
bentuk
peperangan
modern
melalui
penyesuaian
kebutuhan
organisasi
dan
kesiapan
sumber
daya
manusia,
intelijen,
logistik,
dan
operasi.
Era
Revolusi
Industri
4.0
melahirkan
sumber
daya
milenium
yang
terus
meningkat,
seiring
menurunnya
jumlah
generasi
baby
boomer.
Organisasi
militer
harus
melihat
perubahan
dramatis
dalam
penguasaan
keterampilan
yang
berbasis
teknologi
informasi
prajurit.
Generasi
baru
lebih
paham
teknologi
daripada
pendahulunya,
memiliki
ide,
dan
metoda
kerja
yang
berbeda
dalam
lingkungan
kerja
kolaboratif.
Organisasi
militer
harus
menyediakan
ruang
untuk
prajurit
yang
berubah
dan
tumbuh
dengan
cara
yang
baru.
Model
kepemimpinan
baru
ini
menggunakan
prinsip-‐prinsip
kepemimpinan
agility
leadership.
2
Bill
Joiner
dan
Stephen
Josephs
(2017),
Leadership
Agility:
Five
Levels
of
Mastery
for
Anticipating
and
Initiating
Change,
San
Fransisco:
Jossey-‐Bass,
hal.
3.
3
Nafiri
Discipleship
Church
(2018),
Agile
Leadership,
dapat
dilihat
https://www.ndcministry.org/inspire/12o1/agile-‐leadership
diakses
pada
tanggal
19
April
2019
pukul
13.15
WIB.
2
Mata
Pelajaran
Kepemimpinan,
Sesko
TNI,
Bandung,
8
Mei
2019
agility
mengidentifikasi
kompetensi
kepemimpinan
yang
tangkas
dalam
tiga
tahapan
tindakan
yang
berbeda,
yaitu
pivotal
conversations,
team
initiatives,
dan
organisational
initiatives.
Pivotal
conversations
adalah
diskusi
langsung
antara
orang-‐perorang
di
mana
hasil
penting
menjadi
tonggak.
Team
initiatives
adalah
inisiatif
untuk
meningkatkan
tim
dan/atau
hubungannya
dengan
lingkungannya
yang
lebih
luas.
Organisational
initiatives
adalah
inisiatif
yang
dirancang
untuk
mengubah
organisasi
dan/atau
hubungannya
dengan
lingkungannya
yang
lebih
luas.
4
Dapat
disimpulkan
bahwa
hubungan
keduanya,
yakni
leadership
agility
adalah
kemampuan
utama
yang
perlu
dimiliki
oleh
seorang
pemimpin
dalam
lingkungan
yang
cepat
berubah
dan
mampu
memimpin
secara
tangkas
dan
efektif
dengan
tipe
agility
leadership.
3. Tingkat
Kemampuan
dan
Kompetensi
Leadership
Agility.
Ciri-‐ciri
agility
leadearship
adalah
harus
mudah
beradaptasi
terhadap
perubahan,
tekanan,
dan
krisis.
Pemimpin
yang
tangkas
harus
bisa
tetap
tenang
dalam
segala
situasi.
Seorang
pemimpin
yang
tenang
akan
secara
otomatis
menenangkan
bawahannya.
Sikap
tenang
juga
akan
membantu
pemimpin
dalam
mengambil
keputusan
yang
tepat
dalam
menanggapi
situasi
yang
berkembang,
utamanya
yang
genting
atau
darurat.
Pemimpin
yang
tangkas
penuh
dengan
inovasi.
Ketika
perubahan
terjadi,
pemimpin
tidak
akan
berdiam
diri
dan
membiarkan
organisasinya
tergulung
dalam
arus
perubahan.
Agility
leadership
menuntut
para
pemimpin
untuk
memiliki
inovasi
dalam
mencari
solusi
terbaik
guna
menghadapi
perubahan,
menyelesaikan
tekanan
atau
krisis,
yang
dapat
datang
kapan
saja.
Tiga
kunci
konteks
kepemimpinan
yang
tangkas
adalah
memimpin
perubahan
organisasi,
meningkatkan
kinerja
satuan,
dan
terlibat
dalam
percakapan
penting
yang
diuraikan
dalam
tingkat
kemampuan
dan
kompetensi
leadership
agility.
3.1
Tingkat
Kemampuan
Leadership
Agility.
Sebagai
seorang
perwira
militer
yang
berada
dalam
tataran
pengembangan
kepemimpinan,
harus
menyadari
fakta
bahwa
kita
hidup
dalam
situasi
global
yang
terus-‐
menerus
membombardir
organisasi
dengan
perubahan
dan
kompleksitas.
Setiap
tahun,
teknologi
dan
Ancaman/Tantangan/Hambatan/Gangguan
(ATHG)
baru
muncul
dengan
kecepatan
yang
terus
meningkat
seiring
perubahan
yang
semakin
rumit,
kebaruan,
dan
ketidakpastian.
Kita
juga
hidup
dalam
dunia
yang
semakin
kompleks
dan
saling
terhubung,
di
mana
bermitra
dengan
unit
kerja
internal
dan
eksternal
serta
pemangku
kepentingan
(stakeholder)
lainnya
sangat
penting
untuk
menjaga
keberhasilan
organisasi.
Dalam
Leadership
Agility
dikenal
lima
tingkatan
kepemimpinan,
yaitu
expert,
achiever,
catalyst,
co-‐creator,
dan
synergist,5
yang
dijelaskan
secara
spesifik
di
bawah
ini.
a. Tingkat
Expert
(ahli/spesialis).
Pemimpin
sangat
termotivasi
untuk
mengembangkan
keahlian
yang
berhubungan
terkait
bidangnya
dengan
asumsi
bahwa
legitimasi
atau
pengakuan
kekuasaan
seorang
pemimpin
berasal
dari
kemampuan
dan
otoritas
posisinya.
Para
pemimpin
pada
tingkat
ini
(sekitar
45
persen
dari
semua
manajer)
adalah
mereka
yang
paling
tidak
tangkas
dalam
kelima
tingkat
leadership
agility,
tetapi
lebih
tangkas
10
persen
yang
ada
pada
tingkat
pre-‐
experts.
Dengan
orientasi
taktis
dan
kapasitas
untuk
pemecahan
masalah
secara
analitis,
tingkat
ketangkasan
expert
sangat
sesuai
untuk
lingkungan
di
mana
keberhasilan
dapat
dicapai
dengan
membuat
pengembangan
tambahan
pada
strategi
yang
sudah
ada.
4
Bill
Joiner
dan
Stephen
Josephs,
op.cit,
hal.
vi.
5
Ibid,
hal.
6.
3
Mata
Pelajaran
Kepemimpinan,
Sesko
TNI,
Bandung,
8
Mei
2019
b. Tingkat
Achiever
(prestasi).
Sekitar
35
persen
manajer
yang
sudah
berkembang
pada
tingkat
achiever.
Para
pemimpin
pada
tingkat
ini
sangat
termotivasi
untuk
mencapai
hasil
yang
dinilai
berharga
oleh
institusi
di
mana
mereka
mengidentifikasikan
dirinya.
Mereka
menyadari
bahwa
kekuasaan
seorang
pemimpin
tidak
hanya
berasal
dari
keahlian
maupun
otoritas,
tetapi
juga
pada
kemampuan
memotivasi
orang
lain.
Dengan
kapasitas
berpikir
secara
strategis,
achiever
dapat
menjadi
sangat
efektif
dalam
lingkungan
yang
tidak
terlalu
kompleks
dengan
laju
perubahan
membutuhkan
tahapan
dalam
strategi
organisasi.
c.
Tingkat
Catalyst
(katalisator).
Para
pemimpin
pada
tingkat
ini
menggabungkan
kekuatan
dari
expert
dan
achiever
sesuai
dengan
keadaan.
Catalyst,
dengan
keterbukaan
terhadap
perubahan,
kebersediaan
untuk
memikirkan
kembali
asumsi-‐
asumsi,
dan
orientasi
yang
visioner
merepresentasikan
tingkat
pertama
dalam
ketangkasan
yang
mampu
mencapai
keberhasilan
dalam
lingkungan
organisasi,
yang
sangat
kompleks
dan
terus
berubah
saat
ini.
d.
Tingkat
Co-‐creator.
Para
pemimpin
tingkatan
ini
memiliki
pengertian
bahwa
segala
sesuatu
dalam
organisasi
maupun
dalam
kehidupan
bersifat
interdependen.
Banyak
pemimpin
yang
menjadi
pionir
dalam
menciptakan
bentuk
organisasi
yang
baru
di
mana
tanggung
jawab
organisasi
terintegrasi
dengan
stafnya
yang
paling
rendah.
Mereka
memiliki
komitmen
untuk
mengembangkan
satuan
yang
terkolaborasi
secara
tulus
dan
relasi
organisasi
yang
berakar
dari
perasaan
memiliki
tujuan
bersama.
Dengan
ketahanan
emosional,
kapasitas
untuk
berdialog,
dan
kemampuan
untuk
menghasilkan
solusi
yang
kreatif
dan
menguntungkan
semua
pihak,
Co-‐creator
diperlengkapi
untuk
mencapai
keberhasilan
yang
bisa
diperoleh
dalam
jangka
panjang
dalam
kondisi
ekonomi
global
yang
berubah
cepat
di
abad
ke-‐
21
ini.
e.
Tingkat
Synergist.
Tingkatan
ini
dapat
dipahami
paling
baik
melalui
pendekatan
inside-‐out.
Sebagian
aspek
yang
menentukan
seorang
pemimpin
berfungsi
pada
tingkat
ini
adalah
kemampuan
mereka
untuk
terjun
ke
dalam
alur
momentum-‐ke-‐momentum
(moment-‐to-‐moment)
dari
pengalaman
mereka
pada
saat
ini.
Ketika
kapasitas
dari
kesadaran
yang
terpusat
pada
saat
ini
(present-‐centered-‐
awareness)
berkembang,
maka
para
pemimpin
mendapat
kemampuan
untuk
tetap
berada
di
pusat
masalah
(eye
of
the
storm)
dalam
situasi
yang
kacau
dan
penuh
pertentangan.
Kemampuan
untuk
tetap
fokus
di
pusat
masalah
meskipun
diterpa
tuntutan
bertubi-‐tubi
menciptakan
kemampuan
mereka
untuk
mengakses
intuisi
sinergis
(synergistic
intuitions)
yang
mengubah
konflik
yang
tampaknya
seakan
tidak
dapat
diselesaikan
menjadi
solusi
yang
menguntungkan
bagi
semua
pihak
yang
terlibat.
Kapasitas
dan
kompetensi
inilah
yang
sangat
sesuai
untuk
perkembangan
kepemimpinan
di
abad
ke-‐21.
3.2
Kompetensi
Leadership
Agility.
Setelah
memahami
posisi
seorang
pemimpin
dalam
tingkat
ketangkasan
yang
ada,
maka
perlu
dipahami
juga
bahwa
tingkat
ketangkasan
tersebut
dapat
dicapai
lebih
tinggi
lagi
melalui
peningkatan
kompetensi
yang
sesuai
dengan
The
Leadership
Agility
Compass,
yaitu
context-‐setting
agility,
stakeholder
agility,
creative
agility,
dan
self-‐leadership
agility.6
a. Context-‐setting
agility,
adalah
meningkatkan
kemampuan
seorang
pemimpin
untuk
melihat
dengan
cermat
dan
seksama
terhadap
lingkungannya,
menetapkan
inisiatif-‐inisiatif
yang
perlu
diambil,
dan
menjelaskan
hasil
yang
perlu
dicapai.
Kompetensi
ini
mencakup
memindai
lingkungan,
mengantisipasi
perubahan
yang
6
Bill
Joiner
(2017),
Bringing
“Leadership
Agility”
to
Agile,
Boston:
Cutter
Consortium,
hal.
4.
4
Mata
Pelajaran
Kepemimpinan,
Sesko
TNI,
Bandung,
8
Mei
2019
penting,
menentukan
inisiatif
yang
harus
diambil,
menentukan
ruang
lingkup
setiap
inisiatif,
dan
menentukan
hasil
apa
yang
diinginkan.
Dengan
keempat
kompetensi
tersebut,
context-‐setting
agility
berkembang
melalui
lima
tingkatan.
Tingkat
ketangkasan
untuk
melaksanakan
setiap
tugas
dalam
tingkatannya
bergantung
kepada
seberapa
berkembangnya
kapasitas
seorang
pemimpin
dalam
dua
kondisi,
yaitu
kesadaran
akan
situasi
yang
ada
(situasional
awareness)
dan
kesadaran
akan
tujuan
(sense
of
purpose).
Ketika
seseorang
mengambil
inisiatif
kepemimpinan,
situational
awareness
mengacu
kepada
kualitas
perhatiannya
mengenai
konteks
yang
lebih
luas.
Kapasitas
ini
dapat
diandaikan
sebagai
lensa
pembesar
secara
mental
yang
dapat
melakukan
zoom
out
dan
zoom
in.
Pemimpin
dapat
menarik
diri
dari
masalah,
mundur
ke
belakang
untuk
melihat
masalah
tersebut
dalam
konteks
yang
lebih
luas,
lalu
masuk
kembali
ke
dalam
masalah
tersebut
dengan
perspektif
yang
lebih
luas.
Peningkatan
apresiasi
mengenai
dampak
dari
inisiasi
terhadap
konteks
sosial
dan
lingkungan
alam
juga
menjadi
lebih
luas.
Seiring
dengan
berkembangnya
sense
of
purpose,
pemimpin
juga
akan
semakin
merasa
bahwa
adalah
penting
jika
inisiatif
kepemimpinan
dapat
memenuhi
kebutuhan
staf
atau
bawahan
secara
berarti.
Pemimpin
akan
merasa
bahwa
inisiatif
tersebut
sangat
memotivasi
bahkan
jika
hasil
utamanya
akan
tampak
jauh
di
masa
depan.
Gambar
3.1.
The
Leadership
Agility
Compass
(Sumber:
The
Houston
Exchange,
Leadership
Agility
360)
b. Stakeholder
agility,
adalah
meningkatkan
kemampuan
untuk
berhubungan
dengan
pemangku
kepentingan
utama
(key
stakeholders)
dengan
cara
sedemikan
sehingga
mampu
membangun
dukungan
terhadap
inisiatif
yang
dimiliki.
Stakeholder
agility
mencakup
kemampuan
mengidentifikasi
siapa
stakeholder
utama
untuk
inisiatif
pemimpin,
memahami
apa
yang
dipertaruhkan,
menilai
ikatan
antara
tujuan
organisasi
dan
tujuan
stakeholder
serta
menemukan
cara
untuk
meningkatkan
ikatan
tersebut.
Tingkat
ketangkasan
pemimpin
dalam
melaksanakan
tugas-‐tugas
di
atas
tergantung
kepada
perkembangan
dua
kapasitas,
yaitu
pemahaman
mengenai
para
stakeholder
dan
tipe
kekuasaan.
Pemahaman
mengenai
stakeholder
menentukan
seberapa
dalam
dapat
memahami
sudut
pandang
dan
tujuan
dalam
inisiatif,
terutama
jika
mereka
berbeda
dengan
sudut
pandang
dan
tujuan
pemimpin.
Jenis
kekuasaan
pemimpin
ditentukan
sebagian
oleh
asumsi
mengenai
kekuasaan
dan
otoritas
atau
wewenang.
Pemahaman
ini
juga
tercermin
saat
memberi
respons
ketika
pandangan
5
Mata
Pelajaran
Kepemimpinan,
Sesko
TNI,
Bandung,
8
Mei
2019
dan
kepentingannya
berbeda
dengan
stakeholder
utama.
Kebanyakan
pemimpin
memiliki
tipe
kepemimpinan
yang
menekankan
satu
di
antara
dua
bentuk
dasar
kekuasaan,
yaitu
(1)
kekuasaan
asertif
(assertive
power)
yang
mengusulkan
pandangan
dan
kepentingan;
dan
(2)
kekuasaan
reseptif
(receptive
power)
yang
bersedia
memahami
dan
mempertimbangkan
sudut
pandang
maupun
kepentingan
orang
lain.
Kompetensi
stakeholder
agility
ini
berhubungan
dengan
kemampuan
pemimpin
untuk
mengintegrasikan
kekuasaan
asertif
dan
reseptif.
c. Creative
agility,
adalah
meningkatkan
kemampuan
untuk
mengubah
masalah
yang
dihadapi
menjadi
hasil
yang
dibutuhkan.
Inisiatif
dari
kepemimpinan
dengan
kompetensi
ini
mengubah
masalah
aktual
maupun
potensial
masalah
menjadi
hasil
yang
diinginkan.
Masalah
yang
dihadapi
dalam
lingkungan
yang
kompleks
dan
berubah
secara
cepat,
disebut
sebagai
“illstructured”
(yang
belum
tersusun
dengan
baik).
Masalah
sebenarnya
bisa
saja
belum
terdefinisi
dengan
jelas
sehingga
harus
didefinisikan
sendiri
terlebih
dahulu.
Masalah
seperti
ini
paling
baik
jika
diselesaikan
dengan
kompetensi
creative
agility,
yaitu
pemecahan
masalah
yang
menggunakan
baik
pemikiran
kritis
maupun
pemikiran
yang
merupakan
terobosan
baru
untuk
menghasilkan
respon
yang
unik
dan
sesuai.
Tingkat
creative
agility
ditentukan
oleh
dua
kapasitas
personal,
yaitu
connective
awareness
(kesadaran/kewaspadaan
tentang
hubungan
antarhal)
dan
reflective
judgment
(penilaian
dari
merefleksikan
hal-‐hal
yang
penting).
Connective
awareness
digunakan
untuk
menyimpan
ide
dan
pengalaman
yang
berbeda
dalam
benak,
membandingkan,
dan
membuat
hubungan
yang
bermakna
antarhal.
Reflective
judgement
adalah
proses
berpikir
pemimpin
yang
membedakan
manakah
yang
nyata
dan
menentukan
rangkaian
tindakan
yang
harus
segera
diambil.
d. Self-‐leadership
agility,
adalah
kemampuan
untuk
menggunakan
inisiatif
sebagai
kesempatan
untuk
berkembang
menjadi
jenis
pemimpin
yang
diinginkan.
Self-‐leadership
agility
adalah
sebuah
siklus.
Setiap
orang
menentukan
ingin
menjadi
pemimpin
jenis
apa
dengan
menggunakan
inisiatif
sehari-‐hari
untuk
bereksperimen
mengenai
aspirasi-‐aspirasi,
merenungkan
pengalaman-‐pengalaman,
dan
menetapkan
dengan
jelas
perubahan
seperti
apa
yang
ingin
dilakukan.
Tingkat
ketangkasan
pemimpin
untuk
terlibat
dalam
proses
ini
bergantung
pada
dua
kapasitas
personal,
yaitu
self-‐awareness
dan
developmental
motivation.
Self-‐awareness
mengacu
kepada
kualitas
perhatian
dan
perenungan
pada
pemikiran,
perasaan,
dan
tingkah
laku
sendiri.
Pemimpin
harus
memahami
kekuatan
maupun
keterbatasannya
secara
pasti.
Developmental
motivation
mengacu
kepada
motivasi
untuk
berkembang.
Pada
tingkat
expert,
motivasi
untuk
berkembang
dipengaruhi
oleh
keinginan
untuk
dikagumi
berdasarkan
keahlian.
Pada
tingkat
achiever,
pemimpin
ingin
meraih
kompetensi
yang
dibutuhkan
untuk
mencapai
hasil
yang
dapat
mendukung
karir
dan
membawa
kesuksesan
bagi
organisasi.
Pada
tingkat
post-‐heroic,
pemimpin
mengembangkan
motivasi
yang
bersumber
dari
dalam
untuk
berkembang
menjadi
seseorang.
Pemimpin
ingin
menemukan
makna
pribadi
yang
lebih
besar
dari
pekerjaan
dan
dalam
segala
aspek
kehidupannya.
Khususnya
pada
tingkat
co-‐creator
dan
synergist,
pemimpin
ingin
memimpin
dengan
cara
yang
dapat
melayani
pihak
lain
dan
di
waktu
yang
sama
cara
itu
membawa
makna
yang
lebih
dalam
mengenai
tujuan
hidup.
6
Mata
Pelajaran
Kepemimpinan,
Sesko
TNI,
Bandung,
8
Mei
2019
Penilaian
dari
tingkat
leadership
seseorang
dapat
dilakukan
dengan
mengacu
pada
definisi
enam
tingkat
ketangkasan
yang
terbagi
ke
dalam
heroic
(Pre-‐expert,
Expert
dan
Achiever)
dan
post-‐heroic
(Catalyst,
Co-‐creator
dan
Synergist).
a.
Pre-‐Expert
(10
persen
pemimpin
berada
pada
tingkat
ketangkasan
ini).
1)
Sudut
pandang
kepemimpinan
masih
bersifat
teknis
dan
belum
sepenuhnya
berorientasi
pada
pemecahan
masalah.
2)
Ketangkasan
dalam
percakapan
antar
individu
(Pivotal
Conversations)
masih
sebatas
argumentasi
berdasarkan
pengalaman
dan
cenderung
masih
mendominasi.
3)
Ketangkasan
dalam
memimpin
satuan
masih
setingkat
operator
dan
serba
individu,
bahkan
masih
terbelenggu
detil
pekerjaannya
sendiri
daripada
membangun
kepercayaan
satuan.
4)
Perubahan
organisasi
masih
dipandang
tatanan
yang
harus
diterima
tanpa
memperhatikan
para
pemangku
kepentingan
(stakeholders).
b.
Expert
(45
persen
pemimpin
berada
pada
tingkat
ketangkasan
ini).
1)
Sudut
pandang
kepemimpinan
bersifat
taktis
dan
berorientasi
pada
pemecahan
masalah.
Meyakini
bahwa
para
pemimpin
dihormati
dan
diikuti
karena
otoritas
maupun
kemampuan
yang
dimilikinya.
2)
Ketangkasan
dalam
percakapan
antar
individu
(Pivotal
Conversations),
yaitu
gaya
kepemimpinan
berupa
menyatakan
pendapat
dengan
tegas
atau
justru
menahan
diri
tidak
berpendapat
agar
yang
lain
bisa
memberikan
pendapat.
Gaya
ini
dapat
berubah-‐ubah
dari
yang
satu
ke
yang
lain,
khususnya
untuk
hubungan
yang
berbeda.
Cenderung
menghindar
untuk
memberi
umpan
balik
(feedback)
maupun
meminta
umpan
balik.
3)
Ketangkasan
dalam
memimpin
satuan
ditunjukkan
lebih
seperti
seorang
supervisor
(pengawas)
daripada
manajer
(pengatur,
pengelola).
Berupaya
menciptakan
kelompok
yang
terdiri
dari
individu-‐individu
daripada
sebuah
satuan
kerja.
Bekerja
dengan
laporan
langsung
dan
umumnya
berhadapan
langsung.
Terlalu
menekankan
dan
terjebak
dalam
detil
pekerjaannya
sendiri
daripada
memimpin
dengan
sikap
yang
strategis.
4)
Ketangkasan
dalam
memimpin
perubahan
organisasi
ditandai
dengan
inisiatif
organisasi
yang
berpusat
terutama
pada
perkembangan
mental
dalam
lingkup
satuannya
saja
dengan
sangat
sedikit
memperhatikan
para
pemangku
kepentingan
(stakeholders).
c.
Achiever
(35
persen
pemimpin
berada
pada
tingkat
ketangkasan
ini).
1)
Sudut
pandang
kepemimpinan
berorientasi
pada
hasil
strategis
dan
meyakini
bahwa
para
pemimpin
memotivasi
staf
dan
bawahan
dengan
membuat
suatu
hal
menjadi
menantang
dan
memuaskan
bagi
mereka,
yang
pada
akhirnya
berkontribusi
terhadap
tujuan-‐tujuan
yang
lebih
besar.
2)
Ketangkasan
dalam
percakapan
antar
individu
(Pivotal
Conversations)
pada
umumnya
asertif
(menyampaikan
ide
dengan
baik)
dan
akomodatif
(menerima
ide
orang
lain)
dengan
sedikit
kemampuan
untuk
menutupi
kekurangan
orang
yang
memiliki
tipe
komunikasi
tidak
sebaik
dirinya.
Akan
menerima
bahkan
memulai
proses
pemberian
umpan
balik,
jika
berguna
dalam
mencapai
hasil
yang
diinginkan.
3)
Ketangkasan
dalam
memimpin
satuan
ditunjukkan
dengan
cara
bertindak
seperti
manajer
sepenuhnya
(full-‐fledged
manager).
Pertemuan-‐
pertemuan
untuk
membahas
strategi
atau
masalah-‐masalah
organisasi
yang
penting
sering
diatur
sedemikian
rupa
sehingga
pihak
lain
menyetujui
pandangannya.
7
Mata
Pelajaran
Kepemimpinan,
Sesko
TNI,
Bandung,
8
Mei
2019
4)
Ketangkasan
dalam
memimpin
perubahan
organisasi
ditunjukkan
dengan
inisiatif
organisasi
mencakup
analisis
terhadap
lingkungan
organisasi,
strategi
untuk
mendapatkan
persetujuan
para
stakeholder
berkisar
antara
komunikasi
satu
arah
hingga
meminta
masukan.
d.
Catalyst
(5
persen
pemimpin
berada
pada
tingkat
ketangkasan
ini).
1)
Sudut
pandang
kepemimpinan
adalah
visioner
dengan
orientasi
untuk
memfasilitasi.
Meyakini
bahwa
para
pemimpin
mampu
menyampaikan
pesan
dengan
baik
mengenai
visi
yang
inovatif
dan
menginspirasi,
serta
mampu
menyatukan
orang-‐orang
yang
tepat
untuk
mewujudkan
visi
tersebut
menjadi
kenyataan.
Para
pemimpin
memberi
kesempatan
kepada
staf
dan
bawahan
untuk
berkembang
dan
secara
aktif
memfasilitasi
perkembangan
mereka.
2)
Ketangkasan
dalam
percakapan
antar
individu
(Pivotal
Conversations)
mampu
menyeimbangkan
antara
gaya
asertif
dan
akomodatif
sesuai
kebutuhan
dalam
situasi
yang
ada.
Biasanya
meminta
penjelasan
dan
mempertanyakan
asumsi
yang
mendasari
sesuatu.
Secara
tulus
tertarik
untuk
belajar
dari
sudut
pandang
yang
bermacam-‐macam
serta
proaktif
dalam
mencari
dan
menerapkan
umpan
balik.
3)
Ketangkasan
dalam
memimpin
bertujuan
untuk
menciptakan
satuan
yang
sangat
partisipatif
(semua
anggota
secara
aktif
memberikan
sumbangan
ide
atau
pekerjaan-‐pekerjaan).
Bertindak
sebagai
pemimpin
sekaligus
fasilitator.
Menyediakan
dan
mencari
pertukaran
pikiran
secara
terbuka
dalam
masalah-‐masalah
yang
sulit.
Mendukung
dan
mendorong
laporan
secara
langsung.
Menggunakan
perkembangan
satuan
sebagai
alat
untuk
mengembangkan
kepemimpinan.
4)
Ketangkasan
dalam
memimpin
perubahan
organisasi
ditunjukkan
dengan
inisiatif
organisasi
seringkali
mencakup
perkembangan
dari
sebuah
budaya
yang
mendorong
team
work,
partisipasi,
dan
pengembangan
diri.
Hubungan
yang
proaktif
dengan
otoritas
yang
lebih
tinggi
merefleksikan
keyakinan
bahwa
masukan
mereka
akan
meningkatkan
kualitas
keputusan,
bukan
hanya
berusaha
agar
mereka
percaya
dengan
keputusannya.
e.
Co-‐creator
(4
persen
pemimpin
berada
pada
tingkat
ketangkasan
ini).
1)
Sudut
pandang
kepemimpinan
berorientasi
terhadap
tujuan
bersama
dan
kolaborasi.
Meyakini
bahwa
kepemimpinan
pada
dasarnya
adalah
sebuah
pelayanan
terhadap
pihak
lain.
Pemimpin
berkolaborasi
dengan
pemimpin
lain
untuk
mengembangkan
visi
bersama
yang
mereka
yakini
sebagai
hal
yang
sangat
bermakna.
2)
Ketangkasan
dalam
percakapan
antar
individu
(Pivotal
Conversations)
dilakukan
dengan
menggabungkan
sisi
asertif
dan
akomodatif
dalam
percakapan
antar
individu
secara
tangkas.
Mampu
memproses
dan
mempertimbangkan
secara
serius
umpan
balik
yang
negatif
meskipun
mereka
secara
emosional
sangat
terkuras.
3)
Ketangkasan
dalam
memimpin
dilaksanakan
dengan
mengembangkan
tim
pimpinan
yang
kolaboratif,
di
mana
staf
dan
bawahan
merasa
memiliki
tanggung
jawab
penuh,
tidak
hanya
untuk
bagian
mereka
tetapi
juga
unit-‐unit
organisasi
yang
mereka
kelola
secara
kolektif.
Dalam
bertindak,
pemimpin
lebih
memilih
pencapaian
kesepakatan
bersama
(mufakat)
dalam
pengambilan
keputusan,
namun
tidak
ragu
menggunakan
otoritas
saat
diperlukan.
4)
Ketangkasan
dalam
memimpin
perubahan
organisasi
dilaksanakan
dengan
mengembangkan
hubungan
dengan
stakeholder
yang
menentukan
8
Mata
Pelajaran
Kepemimpinan,
Sesko
TNI,
Bandung,
8
Mei
2019
(key
stakeholders)
bercirikan
hubungan
saling
mempengaruhi
secara
mendalam
dan
dedikasi
yang
tulus
terhadap
kebaikan
secara
umum.
Dapat
menciptakan
organisasi-‐organisasi
atau
unit-‐unit
organisasi
di
mana
tanggung
jawab
organisasi
dan
kolaborasi
secara
mendalam
adalah
praktek
yang
terintegrasi.
f.
Synergist
(1
persen
pemimpin
berada
pada
tingkat
ketangkasan
ini).
1)
Sudut
pandang
kepemimpinan
berorientasi
holistik
(secara
menyeluruh)
dengan
cara
menjalankan
kepemimpinan
sebagai
partisipasi
dalam
tujuan
hidup
yang
jelas
dan
menguntungkan
pihak
lain
yang
juga
dapat
menjadi
sarana
untuk
perubahan
atau
transformasi
individual.
2)
Ketangkasan
dalam
percakapan
antar
individu
(Pivotal
Conversations)
berpusat
di
dalam
(bukan
bersama)
energy
assertif
dan
akomodatif,
sesuai
dengan
situasi
atau
keadaan.
Mengolah
sebuah
kesadaran
yang
berpusat
pada
saat
ini
(present-‐centered
awareness)
yang
meningkatkan
umpan
balik
dari
luar
dan
mendukung
hubungan
yang
baik
dan
kuat
dengan
pihak
lain,
meskipun
dalam
kondisi
percakapan
yang
sulit.
3)
Ketangkasan
dalam
memimpin
yang
diharapkan
adalah
mampu
secara
tangkas
berpindah
dari
berbagai
macam
tipe
kepemimpinan
yang
secara
unik
sesuai
dengan
situasi
yang
ada.
Mampu
membentuk
dan
menguatkan
dinamika
energi
dalam
bekerja
pada
situasi
khusus
untuk
memberikan
hasil
yang
menguntungkan
semua
pihak.
4)
Ketangkasan
dalam
memimpin
perubahan
organisasi
ditunjukkan
dengan
mengembangkan
dan
mempertahankan
kesadaran
yang
mendalam
dan
empatis
(mampu
menempatkan
diri
di
posisi
pihak
lain
untuk
memahami
orang
tersebut,
tanpa
terseret
permasalahan
pihak
tersebut
atau
pun
kehilangan
arah)
terhadap
kepentingan
para
stakeholder
yang
bisa
saja
saling
bertentangan,
termasuk
kepentingan
pemimpin
itu
sendiri.
Mampu
mengakses
intuisi
sinergis
yang
mengubah
konflik
yang
tampaknya
tidak
dapat
diselesaikan
menjadi
solusi
menguntungkan
bagi
semua
pihak
yang
terlibat.
Tabel
4.1.
Tabel
VUCA
(Sumber:
Arup
Barman
dan
Chandibai
Potsangbam,
2017)
Keempat
gambaran
di
atas
penting
dan
sering
berkontribusi
pada
perasaan
tidak
nyaman
bagi
sebagian
besar
pemimpin.
Saat
menghadapi
ambiguitas,
seharusnya
dapat
lebih
mudah
untuk
bisa
lebih
tangkas.
Masalahnya
adalah
9
Arup
Barman
dan
Chandibai
Potsangbam
(2017),
Shifts
of
Strategic
Paradigms
in
the
VUCA
World-‐
Does
“outside
the
box
thinking”
a
meaningful
cliché
for
the
business
world?,
Kolkata:
Environment,
hal.
1-‐3.
11
Mata
Pelajaran
Kepemimpinan,
Sesko
TNI,
Bandung,
8
Mei
2019
umumnya
pemimpin
berharap
dan
mencari
kepastian,
dan
itu
tidak
selalu
realistis
di
dunia
yang
ambigu.
Memiliki
pemimpin
sangat
membantu
untuk
mengubah
pemikiran
stafnya
dengan
melihat
kejelasan
sebagai
akhir
permainan,
daripada
berharap
untuk
kepastian,
karena
organisasi
membutuhkan
kejelasan
dan
menginginkan
kepastian.
Kejelasan
termasuk
mengetahui
apa
yang
tidak
diketahui.
Kejelasan
diungkapkan
dalam
narasi
dan
cerita,
sedangkan
kepastian
dinyatakan
dalam
aturan
dan
fakta.
Pemimpin
dapat
memanfaatkan
kemampuan
berpikir
untuk
memvisualisasikan
dengan
menggunakan
cerita
untuk
menjelajahi
berbagai
peluang
masa
depan.
Ini
memungkinkan
mereka
fokus
pada
mendapatkan
kejelasan
tentang
arah
organisasi.
Setelah
itu
ditetapkan,
praktik
terbaik
yang
digunakan
oleh
militer
adalah
membangun
fleksibilitas
besar
yang
akan
membuat
para
pemimpin
berada
di
jalan
menuju
ketangkasan
(agile)
yang
dipercepat.
f. Ciptakan
Mekanisme
Penuh
Perhatian
(Create
Mindfulness
Mechanisms).
Mindfulness
adalah
kebalikan
dari
multi-‐tasking.
Data
padat
yang
mungkin
menunjukkan
penurunan
dalam
produktivitas
dan
memori
saat
melakukan
banyak
tugas.
Penting
bagi
para
pemimpin
untuk
memahami
bagaimana
aliran
interupsi
yang
konstan
mempengaruhi
kemampuan
mereka
untuk
mendapatkan
hasil.
Waktu
berpikir
yang
terlindungi
bukanlah
kemewahan,
tetapi
sebuah
keharusan
dan
menjadi
kalender
tugas
yang
dihormati
dan
dipahami
sebagai
budaya.
Meluangkan
waktu
untuk
berpikir
daripada
sekadar
bereaksi
adalah
ciri
khas
dari
para
pemikir
yang
tangkas.
Para
pemimpin
dapat
mengambil
kembali
kendali
atas
pemikirannya
dengan
mengikuti
beberapa
langkah
yang
mudah
diterapkan
dengan
penuh
perhatian.
Dorong
para
pemimpin
untuk:
1) Menenangkan
pikiran
selama
5-‐10
menit
setiap
hari
untuk
fokus
pada
apa
yang
akan
diputuskan.
2) Menahan
kecanduan
smartphone
yang
membuat
ketagihan
dan
berulang
yang
menarik
untuk
memeriksa
email
setiap
5
menit.
3) Menuliskan
apa
yang
didengar
saat
mendengarkan
pihak
lain
untuk
memfokuskan
daya
pikir
daripada
melayang-‐layang
ke
mana-‐mana.
4) Menyortir
tugas
ke
dalam
jenis
persyaratan
mental
yang
diminta,
kemudian
merencanakan
bagaimana
mengatasinya
berdasarkan
tingkat
energi
dan
preferensi
pemikiran
adalah
strategi
hebat
untuk
menjadi
lebih
produktif.
Ini
adalah
investasi
kecil
yang
memberikan
hasil
besar,
memungkinkan
para
pemimpin
untuk
mengandalkan
ketangkasan
berpikir
yang
penuh
perhatian
daripada
multi-‐tasking.
Mereka
akan
menjadi
produktif
dengan
tanggung
jawabnya
sambil
meluangkan
waktu
untuk
meningkatkan
pandangan
strategis
mereka.
g. Adopsi
Pola
Pikir
Eksperimental
(Adopt
an
Experimental
Mindset).
Para
pemimpin
perlu
melihat
risiko
seperti
yang
dilakukan
seorang
ilmuwan
dengan
melakukan
perbandingan
bagaimana
komunitas
ilmiah
akademik
melihat
dan
menggunakan
instrumen
penilaian.
Para
ilmuwan
memandang
segala
sesuatu
sebagai
percobaan,
dan
ini
berarti
kegagalan
itu
baik,
karena
mengajarkan
sesuatu
hal
positif.
Para
pemimpin
profesional
membingkai
ulang
kegagalan
sebagai
bagian
dari
proses
pengembangan
diri
dan
organisasi.
Proses
ini
membutuhkan
perubahan
pola
pikir
pada
tingkat
budaya
dalam
cara
bereaksi
terhadap
kesalahan
yang
disebabkan
oleh
diri
sendiri
dan/atau
pihak
lain.
Dengan
begitu
banyak
perubahan
terjadi
tepat
di
depan
seorang
pemimpin,
memungkinkan
untuk
membuat
kesalahan
atau
keputusan
yang
tidak
bijaksana.
Kemampuan
untuk
merangkul,
belajar,
12
Mata
Pelajaran
Kepemimpinan,
Sesko
TNI,
Bandung,
8
Mei
2019
beradaptasi,
dan
bangkit
kembali
dari
para
pemimpin
adalah
apa
yang
dimaksud
dengan
ketangkasan
berpikir.
h. Rangkul
Keragaman
dalam
Desain
(Go
Diverse
by
Design).
Saat
ini
sebagian
besar
organisasi
sepakat
bahwa
keragaman
adalah
tujuan
penting.
Banyak
organisasi
telah
mengadopsi
pola
pikir
baru
seputar
keragaman,
dengan
fokus
utama
pada
keragaman
kognitif,
untuk
menciptakan
satuan
yang
beragam
dalam
desain
yang
menangani
masalah-‐masalah
kritis
organisasi.
Pemikiran
yang
beragam
sangat
penting
bagi
organisasi,
terutama
dalam
hal
kemampuannya
untuk
tetap
tangkas
dan
inovatif.
Pemimpin
perlu
membuat
pertemuan
berbagai
ragam
pemikiran,
latar
belakang,
dan
pengalaman.
Beberapa
staf
mungkin
dipaksa
keluar
dari
zona
nyaman
dan
di
luar
konvensi
untuk
memandang
dunia
secara
berbeda.
Pemimpin
harus
merangkul
untuk
menginspirasi
inovasi
dan
menang
bersama
dengan
merekrut
keragaman,
memberikan
kompensasi
secara
adil,
menghargai
kontribusi,
dan
layanan
positif.
Program
kepemimpinan
dirancang
untuk
semua
dan
lingkungan
kerja
yang
positif
dan
terbuka.
Organisasi
mencoba
menciptakan
tempat
kerja
di
mana
semua
dapat
bekerja
bersama
sebagai
satu
kesatuan
besar,
menuju
satu
ambisi
besar
untuk
menciptakan
pengalaman
yang
tak
terlupakan
dengan
melayani
mereka
dengan
penuh
semangat.
Strategi
juga
mencakup
penggunaan
keragaman
oleh
tim
desain
untuk
secara
positif
mempengaruhi
hasil
(output).
Pemimpin
harus
berkomitmen
untuk
mencapai
kesetaraan
bagi
semua
dan
memastikan
bahwa
inklusi
tetap
menjadi
prioritas
utama
dalam
agenda
organisasi
dan
aspek
kritis
budaya
kita.10
Saat
pemimpin
menyatukan
semua
pihak
dengan
kotak
alat
kognitif
yang
beragam,
pemimpin
dapat
membantu
menggerakkan
staf
menuju
terobosan
ide
dan
solusi.
Para
pemimpin
perlu
memiliki
ketangkasan
berpikir
dan
perspektif
untuk
mengelola
secara
efektif
keragaman
pemikiran
itu
karena
jika
tidak
dikelola
dengan
baik,
maka
pada
akhirnya
dapat
menciptakan
hambatan
komunikasi
dan
masalah
produktivitas.
Ini
bukan
hanya
tentang
menyatukan
berbagai
perspektif
dan
berharap
mereka
bersatu
untuk
kebaikan
yang
lebih
besar.
Keterampilan
kepemimpinan
yang
tangkas
adalah
unsur
utama.
i. Aktifkan
Kekuatan
Kognitif
(Rev
Up
your
Cognitive
Powers).
Kekuatan
kognitif
adalah
kemampuan
pengetahuan
faktual
yang
empiris.
Seringkali
orang-‐orang
yang
berada
pada
gelombang
yang
sama
atau
zona
nyaman
cenderung
lebih
memvalidasi
pendapat
mereka.
Jauh
lebih
nyaman
untuk
mendapatkan
validasi
daripada
tanggapan
atau
respons
negatif,
tetapi
perspektif
luar
dan
gaya
berpikir
yang
berbeda
sering
kali
persis
apa
yang
dibutuhkan
untuk
mendapatkan
hasil
terbaik.
Para
pemimpin
memiliki
akses
ke
berbagai
pemikiran,
baik
di
dalam
maupun
di
luar
organisasi,
dan
untuk
menjadi
sukses,
pemimpin
harus
mengambil
keuntungan
dari
semua
itu.
Dalam
sebuah
buku
putih
baru-‐baru
ini,
Future
Trends
in
Leadership
Development,
Nick
Petrie
menyimpulkan
bahwa
para
pemimpin
akan
paling
efektif
ketika
sejumlah
perspektif
dikompilasi
dan
diintegrasikan.11
Kabar
baik
bagi
para
pemimpin
adalah
mereka
tidak
sendirian
menyelesaikan
masalah,
tetapi
pemimpin
harus
tahu
jenis
pemikiran
apa
yang
dibutuhkan
organisasi
untuk
tugas
yang
dihadapi
dan
bagaimana
cara
memanfaatkannya
secara
efektif.
Para
pemimpin
harus
didorong
dan
dimotivasi
untuk
mencari
sudut
pandang
yang
berbeda.
10
Caesars
Entertainment,
Diversity
in
Career,
dapat
dilihat
pada
https://www.caesars.com/corporate/corporate-‐
social-‐responsibility/people/diversity-‐in-‐careers
diakses
pada
tanggal
21
April
2019
pukul
06.30
WIB.
11
Nick
Petrie
(2011),
Future
Trends
in
Leadership
Development
(White
Paper),
Greensboro,
NC:
Center
for
Creative
Leadership,
hal.
27.
13
Mata
Pelajaran
Kepemimpinan,
Sesko
TNI,
Bandung,
8
Mei
2019
Untuk
membantu
para
pemimpin
memahami
pemikiran
dan
masukan
seperti
apa
yang
akan
mendapatkan
hasil
terbaik,
pemimpin
harus
mampu
“memetakan
tugas”
terlebih
dahulu
untuk
membantu
memikirkan
bagaimana
mengatasi
tugas
yang
diberikan.
Penting
untuk
dicatat
bahwa
memanfaatkan
pemikiran
terbaik
harus
fokus
pada
keseimbangan
antara
meningkatkan
kekuatan
pemikiran
para
pemimpin
dengan
pekerjaan
pengembangan
untuk
mengatasi
bias
mental
dan
aktif
mencari
perbedaan
titik
pandang.
j. Libatkan
Staf/Bawahan
(Engage
Employees).
Para
pemimpin
tidak
hanya
menghadapi
tantangan
mereka
sendiri
dalam
mengelola
melalui
perubahan,
tetap
pemimpin
harus
fokus
menyelesaikan
lebih
banyak
hal
dengan
memperhatikan
tantangan
yang
dihadapi
stafnya.
Anak
buah
(prajurit)
sebagai
staf
di
kapal
yang
semakin
tegang
dan
frustrasi,
semakin
siap
untuk
melompat
dari
kapal
(terjun
ke
laut).
Para
pemimpin
dapat
mempertahankan
staf
yang
berharga
serta
keterampilan
dan
pengetahuan
kritis
ke
dalam
organisasi
dengan
mempelajari
cara
melibatkannya.
Berikut
adalah
beberapa
cara
pemimpin
dapat
mengembangkan
pola
pikir
keterlibatan
staf,
yaitu:
1) Memahami
dampak
perbedaan
kognitif
terhadap
pendekatan
kerja,
motivasi
dan
kinerja.
2) Memahami
aset
mental
organisasi
dan
tuntutan
pekerjaan
yang
harus
dilakukan
dengan
memastikan
staf
melakukan
pekerjaannya
dengan
cara
yang
terbaik.
3) Perhatikan
staf
dan
pahami
preferensi
pemikiran,
motivasi,
dan
kebutuhan
penghargaan.
4) Para
pemimpin
perlu
mengenali
banyak
cara
staf
berkontribusi
dengan
potensi
kognitifnya,
melalui
membangun
hubungan,
datang
dengan
ide-‐ide
kreatif,
dan
solusi
untuk
menyelesaikan
masalah
atau
meningkatkan
efisiensi.
Staf
di
seluruh
dunia
memandang
peluang
untuk
menerapkan
bakat,
pengembangan
karier,
dan
pelatihan
bawahan
sebagai
pendorong
utama
kepuasan
kerja.
Para
pemimpin
memainkan
peran
utama
dengan
menyediakan
petunjuk
dan
kerangka
kerja
untuk
fokus
melibatkan,
memotivasi,
dan
mempertahankan
stafnya.
14
Mata
Pelajaran
Kepemimpinan,
Sesko
TNI,
Bandung,
8
Mei
2019
b.
Untuk
menilai
dan
mengembangkan
pihak
lain.
Sebagai
seorang
pemimpin,
dengan
mengetahui
tingkat
ketangkasan
staf
maupun
satuan
kerja
pada
tingkat
ketangkasan
yang
ada,
maka
seorang
pemimpin
dapat
lebih
memahami
bagaimana
berfungsi
sebagai
seorang
pemimpin,
cara
apa
yang
dapat
dipakai
untuk
memotivasi
staf
dan
satuan
kerja
dan
pada
situasi
atau
tugas
apa
pemimpin
dapat
ditempatkan
sehingga
tingkat
ketangkasan
masih
dapat
berfungsi
dan
memberikan
hasil
yang
efektif
pula.
Pemahaman
ini
sangat
membantu
dalam
keberhasilan
organisasi
saat
bekerja
sama
dengan
rekan
kerja
maupun
stafnya.
Pemimpin
akan
dapat
menempatkan
stafnya
dalam
posisi
yang
masih
sesuai
dengan
tingkat
ketangkasannya
dalam
memimpin,
memakai
cara
yang
tepat
untuk
memotivasinya,
dalam
waktu
yang
sama
membantu
dan
memfasilitasi
mereka
untuk
terus
mengembangkan
kompetensi-‐kompetensi
dan
kapasitas-‐kapasitas
yang
dimiliki
sehingga
mereka
dapat
tumbuh
ke
tingkat
ketangkasan
yang
lebih
tinggi.
5.2
Tanggung
Jawab
Leadership
Agility.
Tingkat
ketangkasan
kepemimpinan
sangat
terkait
dengan
tingkat
tanggung
jawab
organisasi
sehingga
tingkat
ketangkasan
sebelumnya
dikaitkan
dengan
tingkat
tanggung
jawab
yang
lebih
rendah
atau
lebih
tinggi.
Pemimpin
selalu
ingin
tahu
tingkat
tanggung
jawab
yang
lebih
tinggi
untuk
memperkuat
asumsinya.
Pengembangan
kepemimpinan
akan
mempertimbangkan
cara
menggunakan
kerangka
kerja
yang
mereka
dukung.
Pemimpin
dapat
menggunakan
tingkat
tanggung
jawab
organisasi
manajerial
untuk
memprediksi
tingkat
ketangkasan
kepemimpinan
atau
sebaliknya
yang
menunjukkan
bahwa
tingkat
tanggung
jawab
bukanlah
prediktor
yang
dapat
diandalkan
untuk
tingkat
ketangkasan
seorang
pemimpin.
Kenyataannya
pemimpin
yang
beroperasi
di
tingkat
yang
berbeda
akan
memiliki
ketangkasan
berbeda.
Demikian
pula,
tingkat
ketangkasan
tidak
memprediksi
tingkat
tanggung
jawab.
Beberapa
hubungan
antara
tingkat
ketangkasan
dan
tanggung
jawab
organisasi
merangkum
temuan
dari
serangkaian
penelitian
yang
menilai
tingkat
ketangkasan
pemimpin
di
empat
tingkat
tanggung
jawab
organisasi
yang
berbeda.
Secara
keseluruhan,
terlihat
bahwa
pemimpin
di
tingkat
organisasi
yang
lebih
tinggi
cenderung
lebih
tangkas
daripada
mereka
yang
memiliki
tingkat
tanggung
jawab
yang
lebih
rendah.
a.
Ketangkasan
kepemimpinan
dan
tingkat
tanggung
jawab
organisasi.
Secara
statistik
menunjukkan
tidak
adanya
korespondensi
langsung
antara
tingkat
ketangkasan
kepemimpinan
dengan
tingkat
tanggung
jawab
terhadap
organisasi.
Namun
secara
keseluruhan
pada
organisasi
yang
lebih
tinggi,
tingkat
tanggung
jawabnya
juga
lebih
tinggi.
Perubahan
dan
kompleksitas
organisasi
membutuhkan
tingkat
ketangkasan
yang
lebih
tinggi
pada
semua
tingkat
tanggung
jawab
demi
efektifitas
kepemimpinan.
Tabel
5.1.
Correlations
Between
Agility
and
Responsibility
Levels
(Sumber:
Bill
Joiner
dan
Stephen
Josephs,
2017)
15
Mata
Pelajaran
Kepemimpinan,
Sesko
TNI,
Bandung,
8
Mei
2019
b.
Ketangkasan
kepemimpinan
dan
efektifitas
kepemimpinan.
Ketangkasan
kepemimpinan
adalah
suplemen
yang
sangat
penting
untuk
faktor
kesuksesan
kepemimpinan
yang
mencakup
dalam
segala
hal.
c.
Ketangkasan
kepemimpinan
dan
tanggung
jawab
organisasi.
Pada
tingkat
post-‐heroic
leader
mempunyai
komitmen
individu
yang
kuat
terhadap
tanggungjawab
perusahaan.
Karena
mereka
mempunyai
kewaspadaan
situasi,
naluri
terhadap
tujuan,
merasa
memiliki,
dan
kekuatan.
6. Penutup.
Organisasi
militer
baru
harus
menyediakan
ruang
untuk
basis
staf
yang
berubah
melalui
pembinaan
dan
tumbuh
dengan
cara
yang
baru.
Model
tradisional
menurunkan
nilai
individu
dan
juga
organisasi
melalui
beberapa
cara,
yaitu
(1)
potensi
staf
sering
tidak
direalisasi
karena
penerapan
definisi
kepemimpinan
yang
sempit
terpaku
hanya
pada
struktur
organisasi
dan
dijalankan
oleh
satuan
yang
tertutup
dan
eksklusif;
(2)
moral
diturunkan
karena
staf
diam
dan
diarahkan
hanya
untuk
melaksanakan
ide
pemimpin.
Semangat
adalah
budaya
satuan,
dan
ketika
suasana
menjadi
tidak
kondusif
akan
menurunkan
moral
dan
moril
prajurit
disertai
masalah
ikutan
lain
seperti
kinerja
yang
buruk
dan
peningkatan
rotasi
dan
mutasi;
dan
(3)
pengambilan
keputusan
terlalu
sempit
yang
dilaksanakan
dalam
model
hierarkis,
yaitu
kekuatan
pengambilan
keputusan
dan
pengembangan
ide
terbatas
pada
segelintir
pimpinan
organisasi
tanpa
menggabungkan
kekuatan
berbagai
pengalaman
dan
latar
belakang
pangkat
dan
kompetensi.
Hierarki
kepemimpinan
tradisional
yang
top-‐down
membatasi
pengambilan
keputusan,
penetapan
arah,
partisipasi,
dan
kepemilikan,
adalah
salah
satu
alasan
utama
mengapa
generasi
milenial
mendapatkan
reputasi
atas
ketidaksetiaan.
Jika
digabungkan,
sifat-‐sifat
ini
merupakan
penyimpangan
dari
proses
pengambilan
keputusan
hierarkis,
yang
terbatas
pada
tingkat
eksekutif
dan
disaring
melalui
organisasi.
Itulah
sebabnya
generasi
milenial
akan
terus
berpindah
dari
satu
pekerjaan
ke
pekerjaan
mencari
tempat
yang
akan
menawarkan
apa
yang
dicari,
yaitu
kesempatan
untuk
membangun
keterampilan
baru,
mengambil
kepemilikan,
dan
memimpin,
terlepas
dari
jabatan
atau
peran.
Para
prajurit
baru
sebagai
generasi
milenial
juga
memiliki
dorongan
untuk
berpindah
pekerjaan
sehingga
pemimpin
harus
tangkas
mencari
varian
kegiatan
baru
dalam
pekerjaan
tersebut
sekaligus
mengurangi
rutinitas.
Kepemimpinan
yang
tangkas
(agility
leadership)
menekankan
berbagai
prinsip
secara
terbuka
dan
ditemukan
beberapa
nilai-‐nilai
yang
relevan
dan
dapat
ditransfer
ke
proses
pengembangan
ketangkasan
kepemimpinan
(leadership
agility),
meliputi
kolaborasi,
komunikasi,
dan
interaksi
satuan.
Dalam
lingkungan
kolaboratif
dan
komunikatif,
satuan
akan
dimintai
pendapat
tentang
keputusan
organisasi
sehingga
staf
akan
ikut
(merasa)
bertanggung
jawab
dan
termotivasi.
Staf
lebih
cenderung
ingin
melihat
pekerjaannya
yang
didorong
ke
arah
sukses
karena
ikut
berpartisipasi
dalam
menetapkan
tujuan.
Penyesuaian
ini
menciptakan
budaya
baru
dan
meningkatkan
kepuasan
satuan
yang
dapat
menghubungkan
ke
sejumlah
manfaat
individu
dan
organisasi
yang
diinginkan,
termasuk
peningkatan
moral/moril,
peningkatan
kepuasan
kerja
secara
keseluruhan,
tingkat
retensi
yang
lebih
tinggi,
ide-‐ide
segar,
dan
lebih
cepat.
Patut
dikembangkan
makna
kata
bijak
dari
Bill
Gates,
seorang
pemimpin
yang
mengagumkan
dan
sesama
penggemar
teknologi,
yaitu
as
we
look
ahead
into
the
next
century,
leaders
will
be
those
who
empower
others.12
12
Sarah
Burnson
(2018),
Agile
Leadership
for
a
New
Generation,
Seattle:
Slalom
Consultation,
hal.
6.
16
Mata
Pelajaran
Kepemimpinan,
Sesko
TNI,
Bandung,
8
Mei
2019
REFERENSI
Buku
dan
Jurnal
Barman,
Arup.,
Chandibai
Potsangbam.
Shifts
of
Strategic
Paradigms
in
the
VUCA
World-‐Does
“outside
the
box
thinking”
a
meaningful
cliché
for
the
business
world?.
Kolkata:
Environment.
2017.
Burn,
Sarah.
Agile
Leadership
for
a
New
Generation.
Seattle:
Slalom
Consultation.
2018
Hermann,
Ann.,
Nehdi.
Ten
Steps
to
Developing
Agile
Leaders
in
a
Complex
World.
Herrmann
International.
2012.
Joiner,
Bill.
Bringing
“Leadership
Agility”
to
Agile.
Boston:
Cutter
Consortium.
2017.
Joiner,
Bill.,
Stephen
Josephs.
Leadership
Agility:
Five
Levels
of
Mastery
for
Anticipating
and
Initiating
Change.
San
Fransisco:
Jossey-‐Bass.
2017.
Petrie,
Nick.
Future
Trends
in
Leadership
Development
(White
Paper).
Greensboro,
NC:
Center
for
Creative
Leadership.
2011.
Online
Caesars
Entertainment.
Diversity
in
Career,
dapat
dilihat
pada
https://www.caesars.com/corporate/corporate-‐social-‐responsibility/people/diversity-‐
in-‐careers
diakses
pada
tanggal
21
April
2019
pukul
06.30
WIB.
Kathleen.Hoogerhuis.
Agile
whole
leadership:
How
to
become
and
agile
leader,
dapat
dilihat
pada
https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&ua
ct=8&ved=2ahUKEwjwhJOVgeDhAhWJv48KHaF7BOQQFjAAegQIARAC&url=http%3A
%2F%2Fwww.oliverwyman.de%2Fcontent%2Fdam%2Foliver-‐
wyman%2Fglobal%2Fen%2Ffiles%2Farchive%2F2011%2FAgile_whole_leadership_Perspec
tives_2_2010_en.pdf&usg=AOvVaw2Sfv68Ng8AGSPL-‐576CX3j
diakses
pada
tanggal
19
April
2019
pukul
20.16
WIB.
Nafiri
Discipleship
Church
(2018).
Agile
Leadership,
dapat
dilihat
https://www.ndcministry.org/inspire/12o1/agile-‐leadership
diakses
pada
tanggal
19
April
2019
pukul
13.15
WIB.
17