Anda di halaman 1dari 73

PANGGILAN

BRUDER/FRATER DALAM GEREJA

Disusun Oleh:
Fr. M. Patrik Totok Mardianto, BHK

NOVISIAT FRATER BUNDA HATI KUDUS


2013
KATA PENGANTAR

Hidup bakti bruder/frater merupakan panggilan hidup khas Gereja. Bentuk hidup
khusus ini merupakan bentuk hidup berdasarkan kharisma sebagai anugerah Roh yang
tercurah bagi perkembangan hidup Gereja Katolik. Frater Bunda Hati Kudus merupakan
salah satu kongregasi yang menghayati kharisma hidup model ini. Buku “Panggilan
Bruder/Frater dalam Gereja” ini merupakan buku pegangan pembelajaran di ruang kelas
novisiat. Tujuan utamanya adalah sejak awal para formandi mengenal kekhasan bentuk
hidup panggilan sebagai Frater/Bruder dalam khazanah kekayaan rohani Gereja Katolik.

Panggilan hidup bruder/frater bukanlah panggilan kelas dua. Sejarah hidup


membiara memang memberikan pengaruh besar terhadap posisi bruder. Kebanyakan
mereka dipandang sebagai ‘pembantu romo/pastor’ atau ‘panggilan kelas dua’. Sebagian
dari umat katolik pun belum banyak yang memahami dan mengenal keberadaan panggilan
ini. Akhirnya, karena tak mengenal maka tak akan dicintai, demikianlah ungkapan yang
lazim di kalangan umat.

Semoga melalui studi buku ini, para formandi menemukan kekhasan hidup yang
mereka pilih dan hayati dalam panorama khazanah hidup panggilan dan perutusan Gereja.
Harapannya mereka pun tergerak hari untuk lebih mencintai panggilan dan memaknainya
dalam proses pembaktian diri bagi Allah. Buku ini disusun oleh penyusun dari berbagai
sumber, salah satunya adalah dokumen para general kongregasi bruder yang berstatus
kepausan. Masukan untuk perbaikan akan sangat diapresiasi. Semoga Roh yang telah
ditaburkan dalam hati, sanggup mengobarkan hati untuk semakin mencintai dan berbagi.
Berkah Dalem

Penyusun,

|2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................................... 1


DAFTAR ISI ........................................................................................................................ 2
PANGGILAN SEBAGAI PROSES DIALOG CINTA ALLAH ............................................ 3
TANTANGAN & SOLUSI MENGIKUTI YESUS DALAM PANGGILAN KHUSUS ........ 4
CARA/PRINSIP HIDUP RELIGIUS .................................................................................. 6
PANGGILAN DALAM GEREJA ......................................................................................... 7
JATI DIRI PARA IMAM DAN KAUM RELIGIUS ..................................................... 8
MAY I CALL YOU BROTHER ........................................................................................... 10
PERKEMBANGAN TAREKAT RELIGIUS BRUDER ......................................................... 23
PANGGILAN HIDUP BAKTI BRUDER ............................................................................. 35
PANGGILAN FRATER/BRUDER: MENJADI SAKSI PERSAUDARAAN
BERDASARKAN SABDA ALLAH ...................................................................................... 69

|3
PANGGILAN SEBAGAI PROSES DIALOG CINTA ALLAH

Panggilan sebagai Sapaan

 Allah sbg ‘yang memulai’


 Allah ‘MEWAHYUKAN’ diriNya
 Allah memberikan “ANUGERAHNYA” yg istimewa

Roh Kudus
memungkinkan
panggilan terjadi
Roh Kudus
memungkinkan
panggilan terjadi

Panggilan sebagai jawaban

 Manusia memberikan ‘jawaban; sbg


ungkapan iman
 Manusia memiliki ttgjawab
 Manusia perlu komitmen

|4
TANTANGAN & SOLUSI MENGIKUTI YESUS
DALAM PANGGILAN KHUSUS

Pengantar
* Guru, aku ingin mengikuti Engkau kemanapun Engkau Pergi!
* Yesus berkata kepadanya: "Serigala mempunyai liang dan burung mempunyai sarang,
tetapi Anak Manusia tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepala-Nya." (Mat
8:20).

Yuk, Menghitung Anggaran dulu!


* “Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak dapat menjadi murid-
Ku. 28 Sebab siapakah di antara kamu yang kalau mau mendirikan sebuah menara tidak
duduk dahulu membuat anggaran biayanya, kalau-kalau cukup uangnya untuk
menyelesaikan pekerjaan itu? “ (Luk 14:27-28)

Seringkali, panggilan itu ...


* Nyaris tak terdengar
* Lembut
* Timbul tenggelam
* Kuat-lemah
* Membingungkan
* Membuat hati merasa tak layak
* Mengejutkan
* Butuh diuji
* Sifat-sifat panggilan

Sifat-sifat panggilan
* Anugerah (inisiatif datang dari Tuhan, “banyak yg dipanggil, sedikit yg dipilih”)
* Pribadi/personal (dipanggil dg/menurut “nama”nya, bukan kolektif/ rombongan)
* Unik (tidak sama, berbeda satu dg yang lain, khusus)
* Bebas (bukan paksaan/tuntutan)
* Misteri (ada hal-hal yg kdg tidak tertangkap oleh indera/akal budi manusia)

Apa motivasiku?
* Ikut-ikutan teman?
* Patah hati ?
* Kemauan orang tua?
* Ingin hidup enak ?
* Ingin studi/kuliah gratis ?
* Ingin dihormati orang ?
* Status sosial lebih tinggi.
* Ingin mendapat fasilitas canggih? dsb.
* Memang ingin membaktikan hidup

TANDA-TANDA ORANG TERPANGGIL


* Merasakan/mendengarkan panggilan mengikuti Yesus
* Keinginan/kerinduan utk menanggapi, menjawab

|5
* Mampu ber-discernment/menimbang-nimbang dan memilih berdasarkan prinsip nilai
tertinggi
* Berani terima konsekuensi
* Dihayati sampai akhir hidup
* Menjadi pilihan terbaik untuk hidupnya.

Tantangan Sebelum Masuk Biara/Seminari:


1. Relasi dg orang tua/keluarga  takut kehilangan, tidak mendapat ijin orang tua.
2. Meninggalkan orang-orang yang dicintai.
3. Kriteria objektif calon seminaris: kemampuan studi (scientia), kesucian (sanctitas),
dan kesehatan (sanitas)
4. Biaya pendidikan?

Tantangan Setelah Masuk


Proses adaptasi/penyesuaian diri dengan:
* Orang lain yang hidup bersama kita
* Ritme acara harian bersama (Vs kebebasan diri)
* Spiritualitas yang diwujudkan (Vs nostalgia sblm masuk, bukan sekedar jubahnya)

Tantangan Sebagai Religius


* Hidup berkomunitas – terkadang ada konflik dan ketidakcocokan
* Penghayatan trikaul:
- Ketaatan – Vs kehendak pribadi
- Kemurnian – hati sepenuhnya untuk pelayanan Vs Kesepian
- Kemiskinan  fasilitas cukup untuk mendukung karya; namun milik bersama.

Masa Pembinaan yang Relatif Lama


* Tuntutan studi di seminari:
- SMP - Sem menengah (4 thn) –Tahun Rohani/ Novisiat
- SMU – Postulat (1 Thn) – Tahun Rohani/Novisiat
- STFT (S1) – Tahun Pastoral – S2 STFT (2 thn)
- Pembinaan calon religius: SMU/Mhs/Kerja – Aspiran – Postulan (1 thn) – Novisiat
(2 thn) – Kaul pertama: Yuniorat (6-9 thn) – Kaul Kekal

ALTERNATIF SOLUSINYA
* Doa tak kunjung henti.
* “nekat” pd komitmen dan berani ambil keputusan.
* berani tanggung resiko.
* Pendampingan rohani pribadi (dg rm paroki, suster guru, atau yang dikenal dekat)
* Dalam perjalanan panggilan, Tuhan akan menyertai dan melengkapi kita.

Pendalaman pribadi
1. Sampai sejauh ini, apa yang sebenarnya menggerakkan aku untuk memberaanikan diri bergabung
menjadi anggota religius (bruder/frater)?
2. Tantangan apa yang aku hadapi dalam mengambil keputusan tersebut?
3. Pengalaman iman apakah yang membuatku tergerak untuk mengambil langkah meniti pilihan ini?
4. Pribadi – pribadi siapa saja yang turut ambil bagian dalam proses awal anda memutuskan untuk
menjawab panggilanNya?
5. Hal-hal apakah yang masih menjadi pergulatan anda dalam proses menjawab panggilanNya?

|6
CARA/PRINSIP HIDUP KAUM RELIGIUS

Yesus sebagai prototipe Kerajaan Allah sekaligus menawarkan diri sebagai ‘jalan,
kebenaran dan hidup’ (Jesu via, verietas, et vita est). Kekhasan hidup Yesus adalah mampu
mengintegrasikan atau menyatukan dalam diriNya hidup Bapa dan hidup manusia. Jalan
yang ditempuh Yesus mewahyukan cara hidup, jalan dan kebenaran menuju Bapa.Sejak
pemberitahuan tentang kelahiran Yesus sampai disalib dan kebangkitanNya, Bunda Maria
(Bunda Hati Kudus) setia menjadi penyerta pertama dalam jalan ini Maria adalah prototype
pergumulan manusia untuk senantiasa menyediakan disposisi yang subur untuk
melaksanakan kehendak Allah.

Cara hidup kita sebagai religius tidak lain merupakan wujud dari kemuridan kita, yaitu
usaha untuk setia menapaki jalan Yesus. Berikut ini adalah beberapa cara hidup religius
yang merupakan cara hidup yang kita baktikan untuk Tuhan:

1. Hidup Inkarnatoris
 Hal ini berarti bahwa kita menjadikan seluruh pergumulan manusiawi kita ini sebagai
sarana untuk mengungkapkan hidup Allah.
 Religius kerap mengalami ketegangan; di satu pihak ingin mengusahakan hidup dalam
Roh, dilain pihak realitanya kelemahan serta kerapuhan diri masih menyelimuti
mereka. Perlu keseimbangan batin melalui proses bina diri terus-menerus agar
semakin konsisten dengan panggilan.

2. Tinggal bersama Yesus


 Hal ini berarti kita berusaha untuk membangun relasi personal sampai terbentuk cinta
bakti (devosi) yang mendalam pada pribadi Kristus, sehingga Kristus sungguh menjadi
alasan dan dasar dari panggilannya.
 Relasi personal berarti kita semakin mengalami kehadiran dan perjumpaan dengan
Yesus yang menjadikan kita semakin mengenal dan dikenal, makin mendalami misteri
hidup Yesus dan identitas Yesus sekaligus rahasia kerajaanNya. Kita mengalami relasi
guru-murid dengan Yesus dengan segala konsekuensi pilihan dan tuntutannya.
 Jadi kata kunci tinggal bersama Yesus adalah kontemplasi, yaitu kemampuan untuk
senantiasa hadir, mengalami, mengerti dan memilih Yesus.

3. Bekerja bersama Yesus


 Hal ini berarti kita ikut serta dalam tugas perutusan Kristus., dan dari pihak kita ini
berarti menyerahkan diri secara total dalam tugas perutusan Yesus (bukan proyek dan
keinginan pribadi kita, apalagi hobi kita)
 Hal ini akan terwujud diandaikan kita memiliki kesanggupan untuk ‘berdialog’ secara
intim dengan Yesus sampai dapat merasakan dan ikut keprihatinan Yesus.
 Buah dari usaha ini kita mampu untuk seperasaan, sehati, sejiwa, sebudi, sekehendak
dan kekeprihatinan dengan Yesus.
4. Bekerja seperti Yesus

|7
 Hal ini berarti kita menghayati cara hidup Yesus. Kata kunci cara hidup Yesus adalah
hidup diskresif. Cara hidup diskresif ini mengandung banyak hal dalam hidup kita,
antara lain:
 Kerelaan untuk menguji gerak batin dan motivasi kita apakah berasal dari Allah
atau sekedar ikut arus zaman.
 Diskresi juga melibatkan kemampuan hati dan citarasa rohani untuk melihat
kehadiran Allah, kemampuan budi untuk refleksi dan kemampuan kehendak
untuk melaksanakan kehendak Allah.

PANGGILAN DALAM GEREJA

PANGGILAN DALAM GEREJA UMAT ALLAH


(LG)

MEMBUJANG IMAM HIDUP BAKTI BERKELUARGA

RELIGIUS SERIKAT SEKULIR


RUKUN
KERASULAN

KONTEMPLATIF AKTIF RASULI KLERIKAL

NON KLERIKAL
POLA STATUS

EREMIT CENOBIT KLERIKAL

NON KLERIKAL

Bagan 1 : Hidup panggilan dalam gereja

|8
JATI DIRI PARA IMAM DAN KAUM RELIGIUS
Mgr. Luis A. G. Tagle

Ia membedakan secara tajam sambil menandaskan bahwa seorang imam lebih


terarah kepada kepemimpinan pastoral. Imam ditahbiskan untuk menjadi ‘gembala” di
bidang moral, spiritual, dan iman. Ia lebih sebagai penjaga iman, jiwa-jiwa dan jemaat. Ia
adalah penjaga, pemerhati dan pengemban jiwa-jiwa, iman dan hidup kristiani melalui
pengajaran, pengudusan dan penggembalaan (pelayanan). Tugas imam adalah menjamin
bahwa umat tetap menjadi satu kawanan beriman, beribadah dan bersaksi serta melayani.
Imam adalah wajah Kristus sebagai seorang ‘gembala’ yang baik (Pastor Bonus)

Sedangkan mereka yang dipanggil menjadi kaum religius adalah mereka yang mau
menghayati sungguh-sungguh janji baptisnya dengan mati terhadap dosa dan hidup bagi
Allah saja melalu ‘pengudusan secara total’ (total consecration), artinya secara radikal
mengikut Yesus dari dekat. Maka orang yang memilih hidup membiara bukan untuk
menjadi pemimpin pastoral, tetapi lebih untuk mengikuti Yesus sambil memberikan
kesaksian tentang Yesus melalui hidup yang sungguh-sungguh milihNya saja. Tak
ada yang memisahkan mereka dari Tuhan; baik kekayaan, ambisi, kekuasaan maupun
apapun juga.
Kaum religius menjadi tanda yang hidup dari Yesus yang taat, solider dan
menyelamatkan orang lain. Religius adalah ‘wajah Kristus’ yang hidup bagi Bapa dan
sesamanya, dalam ketaatan, kemiskinan dan kemurnian. Tentu saja semangat hidup
religius dapat memperkaya hidup pastoral para imam. Tetapi tidak berarti bahwa imam
dan religius adalah sama. Sebab dengan dengan demikian, seorang biarawati yang adalah
religius akan meminta haknya ‘disamakan’ seperti imam.

Uskup Tagle kemudian mengatakan bahwa jati diri (identity) serta hidup para imam dan
religius pada abad 21 ini tidaklah lepas dari situasi atau suasana khusus yang menandai
abad 21 ini. Ia menunjukan adanya 4 fenomena besar yang menandai situasi abad 21 ini

Pertama, Pengaruh Globalisasi

Dunia dan manusia dewasa ini sangat dipengaruhi oleh globalisasi. Dunia menjadi
tanpa dinding, tanpa batas dan menjadi satu keluarga besar. Apa saja yang dominan dan
popular akan sangat berpengarug: entah ide, pikiran, gaya hidup, mode, paham, hoby atau
kemajuan teknologi. Dunia penuh persaingan, semakin sekuler, konsumtik, materialistik
dan individualistik. Juga dunia terpecah-pecah oleh persaingan. Hal baik dan buruk bisa
sama-sama berpeluang untuk menaklukkan manusia. Maka tantangan bagi para imam dan
kaum religius adalah :

Nilai apa yang kalian tawarkan pada dunia ini dan seluruh penduduknya ?
adakah nilai sejati yang bisa mengglobal? Adakah sesuatu yang bisa
mempersatukan ?

|9
Kedua, berkurangnga kepercayaan kepada kepemimpinan baik pemerintahan
maupun Gereja.

Dimana – mana para pemimpin dibanjiri kritik, protes, caci-maki, bahkan secara
tidak santun dan hormat. Kepemimpinan Gereja pun tak lepas dari kritik terbuka semacam
ini. Kewibawaan GEreja dipertanyakan. Ingat saja kasus pelecehan seksual. Ingat saa di
keuskupan dan di paroki: Umat terinspirasi oleh semangat revormasi. Mereka lebih berani
mengkritik terlebih jika kelemahan itu sangat kentara. Maka tantangan bagi para imam
dan kaum religious adalah:
wibawa apakah yang Anda punyai: jubah, sleyer, salib? Kuasa status social,
keberhasilan financial? Atau kewibawaan karena pelayanan dan pengurbanan?

Ketiga, semakin terkucilnya kaum miskin dan kecil dalam masyarakat.

Sebuah skandal bahwa banyak orang mati kelaparan, busung lapar dan bunuh diri
karena tak bisa membayar SPP, dimana letak keberpihakan Gereja pada kaum miskin
(option for the poor)? Tantangan bagi par aimam dan kaum religius:
Jadilah orang tua, saudara-I yang ramah (welcoming fathers, brothers, sisters). Jadilah
seorang pemberi perhatian (caregivers); jadilah para imam dan kaum religious ada
(available) bagi mereka dan mencintai mereka tanpa syarat (unconditional love) ?
Keempat, pencarian akan makna kehidupan dan semangat hidup

Banyak orang hidup tanpa arah dan tanpa makna. Ternyata makanan, sex dan
keuasaan bukanlah nilai abadi yang menenteramkan dan membahagiakan orang.
Handphone, villa, plesiran, kekerasan, terorisme bukanlah jawabannya. Orang bosan, strss
dan terus mencari makna hidup. Para imam dan religious ditantang untuk menawarkan
makna hidup dan nilai spiritual; jadilah garam dan terang dunia (be light and salt of world).
Jangan sembunyikan terangmu, garam duniamu dankepemimpinan pastoralmu, serta
jangan sembunyikan dirimu sebagai pengikut Kristus (immitatio Christi). Jadikan dirimu
sebagai pengingat Kristus yang hidup (living reminder of Christ). Jadikan dirimu sebagai
simbol Kristus yang hidup (let the people look in you the living sign of Christ). Biarlah
mereka menemukan kepenuhan hidup dalam hidupmu.!

Situasi konkret dunia dan manusia abad ini menuntut para imam dan religious lebih
tampil sebagai pembangun persaudaraan atas dasar kasih. Di samping itu menjadi
pemimpin/tokoh teladan karena pelayanan, pengurbanan dan pemberian diri; menjadi
pemerhati dan pejuang bagi mereka yang miskin dan terkucil; memiliki kasih sayang dan
perhatian (compassionate and caring); menjadi jalan, kebenaran dan hidup (via, vita et
veritas); dan menjadi jawaban atas kebutuhan dan kerinduan banyak orang akan makna
hidup.

*) Uskup Keuskupan Imus, Pilipina.


MISSIO KKI no. 30/XIII april 2011

| 10
Bolehkah Saya Memanggil Anda Bruder?
Bruder-bruder Religius Masa Kini

Judul asli:
May I Call You Brother

Tulisan teologis tentang panggilan hidup bakti sebagai bruder dalam Gereja
Katolik

Oleh: Br. René Stockman FC, PhD


(c) Hak Cipta tulisan ini ada pada Br. Rene Stockman FC
Silahkan membaca sepuasnya. Dilarang mengcopy, mencetak dan menyebar
luaskan dalam bentuk teks.
Bila Anda mau memasang link dari blog ini dipersilahkan

Penterjemah: Br. Patrisius FC

Kata Pengantar

Pada suatu kunjungan ke Kamboja saya berbicara dengan seorang psikiater muda.
Pembicaraan itu lebih bersifat teknis mengenai cara-cara perawatan para pasien sakit jiwa
yang diorganisir setelah masa kekuasaan Khmer Merah. Pada akhir pembicaraan kami,
laki-laki itu, yang mengetahui siapa saya, bertanya kepada saya: “Bolehkah saya memanggil
Anda Bruder (saudara laki-laki. Red)?” . Tentu saja jawaban saya adalah “ya”, tetapi saya
tidak sanggup menahan diri untuk menanyakan mengapa hal itu penting sekali baginya. Ia
menjelaskan bahwa kedua saudara laki-lakinya telah dibunuh pada masa rezim Pol Pot. Ia
sangat gembira dapat menyapa seseorang sebagai Bruder untuk mengenang saudaranya
sendiri yang hilang. “Bolehkah saya memanggil Anda Bruder?”. Pertanyaan itu telah
melekat dalam pikiran saya sejak saat itu.
Sejak saat itu, saya seringkali diminta untuk menjelaskan siapakah Bruder itu. “Jadi
Anda tidak dapat mempersembahkan misa?” adalah pertanyaan yang sering saya dengar
pada akhir penjelasan saya. Panggilan yang terburuk yang pernah saya dengar adalah
“pembantu para Rama”. Pada suatu hari, beberapa anggota komunitas saya, termasuk saya,
mengikuti ziarah ke Fatima. Di dalam bus yang akan membawa kami dari bandara menuju
ke hotel, pemandu wisata, seorang Rama, hendak membuat beberapa kesepakatan.
“Diantara kelompok kami ada beberapa Bruder. Mereka adalah pembantu para Rama dan
besok mereka akan bertugas sebagai putra altar.” Tanpa sanggup menahan amarah, saya
menghampiri Rama tersebut, meskipun saya sadar bahwa amarah bukanlah perasaan

| 11
terbaik untuk memulai ziarah. “Saya hanya bercanda,” katanya. Meskipun demikian ia
menghampiri saya untuk meminta maaf beberapa waktu setelah itu.
Ketika saya menemui Rama paroki kami untuk memberitahukan niat saya untuk
menjadi bruder religius secara spontan ia bertanya mengapa saya tidak ingin menjadi
Rama. Saya bukanlah orang bodoh, saya tidak akan menghadapi kesulitan terlalu banyak
di seminari. Saya juga mengetahui itu, tetapi saya menyayangkan bahwa dalam lingkungan
tertentu, bahkan pada masa itu, panggilan bruder dianggap hanya cocok bagi pemuda yang
tidak cukup pandai untuk menjadi Rama.
Di Sri Lanka, anggota seminari dipanggil “bruder”. Oleh sebab itu para bruder
religius cukup sering ditanya kapan mereka akan ditahbiskan sebagai Rama. Bahkan Gereja
pun membutuhkan waktu yang sangat lama untuk menemukan nama yang tepat untuk
kelompok religius ini. Dalam rangka membuat pembedaan yang jelas dengan Tarekat
klerik, Kongregasi bruder disebut sebagai Tarekat awam sampai pada saat Sinode hidup
bakti menjelaskan masalah tersebut dalam suatu bab khusus mengenai bruder religius.
Setelah memasuki abad ke-XXI, saya ingin lebih menjelaskan pada kelompok umat
yang membaktikan diri pada Gereja. Sudah saatnya kami berhenti menjelaskan siapakah
kita bukan dan dengan sangat jelas mengakui identitas kita. Setelah identitas kita jelas bagi
kita sendiri, kita akan dapat membangun suatu profil jelas bagi diri kita sendiri, dan
menjelaskan bahwa kita memiliki suatu panggilan dan karya misi yang unik dalam Gereja
dan di dunia. Mudah-mudahan, orang lain juga akan dapat lebih mengerti mengenai apa
yang kita lambangkan, baik dalam Gereja dan dunia. Karena berdasarkan keunikan kitalah
maka kita ingin menjalankan karya dan misi kita pada abad ke-21.

Br. René Stockman FC,


Superior General Bruder Karitas

| 12
Situasi Panggilan Bruder Dalam Gereja

Jika kita ingin menempatkan panggilan Bruder dalam Gereja di zaman sekarang ini,
kita harus merujuk pada Konstitusi-konstitusi dan Dekrit-dekrit Konsili Vatikan Kedua,
dan secara lebih khusus pada Konstitusi Dogmatik tentang Gereja "Lumen Gentium" (LG),
mendapat tempat penting lantaran mendefinisikan kembali tentang umat Allah. Dahulu,
hirarki Gereja mendapat urutan pertama dan para awam dianggap orang Kristiani urutan
kedua. Religius mendapat tempat kira-kira di antara keduanya (bdk. Paus Pius XII dalam
“Provida Mater Ecclesia”: religius sebagai penengah antara hirarki dan awam). Namun,
Konsili mengatakan bahwa umat Allah adalah mereka yang berpartisipasi dalam tugas
imamat Kristus.

Umat Allah

“Lumen Gentium” hal ini jelas: “Semua orang dipanggil kepada Umat Allah yang baru” (LG
no. 13).

“Jadi bagi semua jelaslah, bahwa semua orang Kristiani, bagaimanapun status atau
corak hidup mereka, dipanggil untuk mencapai kepenuhan hidup kristiani dan
kesempurnaan cinta kasih. Dengan kesucian itu juga dalam masyarakat di dunia ini cara
hidup menjadi lebih manusiawi” (LG, no. 40).
“Jadi semua orang beriman kristiani dalam kondisi-kondisi hidup mereka, dalam
tugas-tugas serta keadaan mereka, dan melalui itu semua, dari hari ke hari akan makin
dikuduskan, bila mereka dalam iman menerima segala-sesuatu dari tangan Bapa di surga,
dan bekerja sama dengan kehendak ilahi, dengan menampakkan dalam tugas sehari-hari
kepada semua orang cinta kasih Allah terhadap dunia” (LG, no.41).
“Akhirnya semua orang beriman kristiani diajak dan memang wajib mengejar
kesucian dan kesempurnaan status hidup mereka. Oleh karena itu hendaklah semua
memperhatikan, agar mereka mengarahkan keinginan-keinginan hati dengan tepat (LG,
no. 42).”
Kutipan-kutipan di atas menentukan arah tujuan. Inti pesan yang ingin
disampaikan yaitu bahwa semua umat beriman terpanggil untuk menjalani hidup suci.
Konsili ingin menegaskan bahwa gagasan yang telah dikemukakan oleh St. Fransiskus dari
Sales dalam tulisannya berjudul “Pengantar Kehidup Saleh” yang diterbitkan pada tahun
1608. Semua umat beriman diharapkan untuk menjadi semakin suci setiap harinya, bukan
hanya para Imam dan para religius, tetapi para ibu rumah tangga, tentara, petani dll.
“Waktu Tuhan menciptakan dunia Dia memerintahkan tiap pohon untuk
menghasilkan buah menurut jenisnya; sejalan dengan itu Dia meminta umat Kristiani, -
pohon hidup dari Gereja-Nya-, untuk menghasilkan buah-buah pengabdian, masing-
masing sesuai dengan jenis dan karyanya. Pengejawantahan yang berbeda dari pengabdian
diperlukan dari setiap orang -kaum bangsawan, para ahli, hamba, pangeran, gadis dan istri;
lebih dari itu pengejawantahan tersebut harus disesuaikan dengan kekuatan, panggilan,

| 13
dan kewajiban dari tiap individu. […] Adalah keliru, bahkan lebih dari itu, sangat bidaah,
bila mengesampingkan kehidupan beriman dari barak tentara, para pekerja bengkel, ruang
istana, atau rumah tangga. Tentu saja kehidupan kontemplatif kesalehan yang murni,
seperti kelompok religius dan membiara, tidak dapat diterapkan dalam lingkungan dan
karya seperti itu, tetapi ada berbagai jenis pengabdian lain yang dapat mengarahkan
mereka yang panggilan hidupnya bersifat sekuler kearah kesempurnaan […] Pastikanlah
agar dimanapun panggilan hidup kita dapat dan harus menuju kepada hidup saleh yang
sempurna” (Pengantar Kehidup Saleh, bab III).

Berdasarkan hal itu maka kita harus mempertimbangkan “tingkat dan status”
daripada umat Kristen seperti tertera dalam LG no. 40. Orang seringkali merancukan
konsep-konsep tersebut yang berakibat salah tafsir mengenai posisi Bruder religius.
“Lumen Gentium” memaparkan dua tingkatan: awam dan imam. Disamping itu ada
pembedaan antara tiga status dalam kehidupan: awam, imam, dan religius.
Kesulitan timbul setiap kali pertanyaan disampaikan mengenai “tingkatan” religius.
“Ditinjau dari sudut susunan ilahi dan hirarkis Gereja, status religius itu bukan jalan tengah
antara perihidup para imam dan kaum awam. Tetapi dari kedua golongan itu ada sejumlah
orang beriman kristiani, yang dipanggil oleh Allah untuk menerima kurnia istimewa dalam
kehidupan Gereja, dan dengan cara masing-masing menyumbangkan jasa mereka bagi misi
keselamatan Gereja” (LG, no. 43).
Sudut pandang ini juga dipertegas oleh Kitab Hukum Kanonik (KHK): “Status hidup
bakti, dari hakikatnya sendiri, bukan- lah klerikal atau laikal” (KHK. Pasal 558 § 1).
Meskipun KHK mempertegas bahwa hidup bakti bukanlah imamat maupun awam, tidak
ada penjelasan atau definisi selanjutnya.
Justru sebaliknya yang ada adalah pembedaan antara Tarekat imamat di satu pihak
dan Tarekat awam di pihak lainnya: “Tarekat klerikal ialah tarekat yang atas dasar tujuan
atau cita- cita yang dimaksud oleh pendiri atau atas dasar tradisi yang legitim, berada di
bawah pimpinan klerikus, menerima pelaksanaan tahbisan suci, dan oleh otoritas Gereja
diakui sebagai klerikal.” (KHK. Pasal 558 § 2).
Sedangkan tarekat laikal adalah tarekat yang oleh otoritas Gereja diakui sebagai
laikal, berdasarkan hakikat, sifat khas serta tujuannya memiliki tugas khusus yang
ditetapkan oleh pendiri serta tradisi yang legitim, tanpa mencakup pelaksanaan tahbisan
suci” (KHK. Pasal 558 § 3).
Yang menarik dalam hal ini adalah meskipun kata “laikal” tidak disebutkan dalam
konteks tarekat laikal dan hanya ada referensi terhadap tidak adanya penerapan dan
menjalankan perintah kudus. Sebelum melihat lebih mendalami tentang hal ini, kami ingin
menguraikan definisi dari ketiga status -seperti dimuat dalam dokumen-dokumen Konsili.
Dokumen-dokumen tersebut memberi suatu interpretasi panggilan untuk hidup dalam
kekudusan dari kaum awam, imam dan religius.
“Berdasarkan panggilan mereka yang khas, kaum awam wajib mencari kerajaan
Allah, dengan mengurusi hal-hal yang fana dan mengaturnya seturut kehendak Allah.
Mereka hidup dalam dunia, artinya: menjalankan segala macam tugas dan pekerjaan

| 14
duniawi, dan berada ditengah kenyataan biasa hidup berkeluarga dan sosial. Hidup mereka
kurang lebih terjalin dengan itu semua. Di situlah mereka dipanggil oleh Allah, untuk
menunaikan tugas mereka sendiri dengan dijiwai semangat Injil, dan dengan demikian
ibarat ragi membawa sumbangan mereka demi pengudusan dunia bagaikan dari dalam.
Begitulah mereka memancarkan iman, harapan dan cinta kasih terutama dengan kesaksian
hidup mereka, serta menampakkan Kristus kepada sesama. Jadi tugas mereka yang
istimewa yakni: menyinari dan mengatur semua hal-hal fana, yang erat-erat melibatkan
mereka, sedemikian rupa, sehingga itu semua selalu terlaksana dan berkembang menurut
kehendak Kristus, demi kemuliaan Sang Pencipta dan Penebus” (LG, no. 31)
Hal ini merupakan definisi yang jelas dan inspiratif yang dapat mendorong kaum
awam untuk berusaha mencapai kesucian dalam kehidupan sehari-hari dan dalam profesi
mereka masing-masing. Ada beberapa kemiripan antara definisi kaum awam religius yang
bekerja sama dengan kaum awam di lapangan. Mereka juga terpanggil untuk menjadi ragi.
Kesamaan-kesamaan antara misi kaum awam dan biarawan ini diperjelas secara menarik
dalam suatu publikasi dari Komisi Superior Jenderal mengenai Tarekat Religius Awam
berjudul “Para Bruder Dalam Tarekat Religius Awam” (1991)
“Kerja profesional yang dikerjakan secara serius membawa para Bruder ke dalam
“kota dunia” dan menuntut mereka kompetensi, persamaan akan tanggung jawab, dedikasi
dan kepatuhan terhadap peraturan yang berlaku didalamnya, sama halnya dengan kaum
awam pada umumnya. Kita berbicara mengenai keberadaan Gereja dalam dunia sekarang
ini, termasuk kedekatan dan solidaritas yang nyata antara kaum religius dan awam yang
keduanya memiliki tujuan sama yaitu: “berdirinya Kerajaan Allah” meskipun mereka
menghidupinya dengan dua bentuk panggilan yang berbeda dan dengan demikian
memiliki titik tolak yang berbeda.
Bruder menghidupi dedikasi religiusnya dan imamat umum berdasarkan
dedikasinya sebagai anggota kelompok religius, dan berdasarkan karisma Tarekatnya;
kaum awam menunjukkan hakekat keunikan keawaman mereka dengan mendapatkan
kedudukan di dunia. Kesaksian kaum awam mengingatkan Bruder bahwa dedikasi
religiusnya harus membuatnya memperhatikan keselamatan umat manusia maupun
kemajuan dunia seperti yang diinginkan oleh Tuhan dan berpegang pada Kristus.
Kesaksian para Bruder mengingatkan kaum awam bahwa penyelamatan dunia bukan
hanya karya manusiawi, bahwa kemajuan bukanlah tujuan dalam sendirinya dan
pembangunan kota dunia harus selalu berawal dari Tuhan.” Posisi profesi imam juga
dijelaskan secara lugas dalam “Lumen Gentium” sebagai suatu tugas kesanggupan melayani.
“Untuk menggembalakan dan senantiasa mengembangkan umat Allah, Kristus
Tuhan mengadakan dalam Gereja-Nya aneka pelayanan, yang tujuannya kesejahteraan
seluruh Tubuh. Sebab para pelayan, yang mempunyai kekuasaan kudus, melayani saudara-
saudara mereka, supaya semua yang termasuk Umat Allah, dan karena itu mempunyai
martabat kristiani sejati, dengan bebas dan teratur bekerja sama untuk mencapai tujuan
tadi, dan dengan demikian mencapai keselamatan.” (LG, no. 18). Demikianlah pelayanan
gerejani yang di tetapkan oleh Allah dijalankan dalam berbagai pangkat oleh mereka, yang
sejak kuno di sebut Uskup, Iman dan Diakon. Para imam tidak menerima puncak imamat,

| 15
dan dalam melaksanakan kuasa mereka tergantung dari para Uskup. Namun mereka sama-
sama imam seperti para Uskup, dan berdasarkan sakramen Tahbisan mereka ditahbiskan
menurut citra Kristus, Imam Agung yang abadi (lih. Ibr 5:1-10; 7:24; 9:11-28), untuk
mewartakan Injil serta menggembalakan umat beriman, dan untuk merayakan ibadat ilahi,
sebagai imam sejati Perjanjian Baru” (LG, no. 28) Akhirnya, religius didefinisikan dalam
“Lumen Gentium” sebagai umat yang menjawab panggilan untuk menjalani hidup suci, hal
ini merupakan kekhasan umat Kristen, dan yang menyebabkan radikal Rahmat babtisan
yang diterima oleh setiap orang Kristen.
“Karena babtis ia telah mati bagi dosa dan dikuduskan kepada Allah. Tetapi supaya
dapat memperoleh buah-buah rahmat babtis yang lebih melimpah, ia menghendaki untuk
dengan mengikrarkan nasehat-nasehat Injil dalam Gereja dibebaskan dari rintangan-
rintangan, yang mungkin menjauhkannya dari cinta kasih yang berkobar dan dari
kesempurnaan bakti kepada Allah, dan secara lebih erat ia disucikan untuk mengabdi
Allah” (LG, no. 44).
Dekrit “Perfectae Caritatis” lebih memperjelas lagi mengenai identitas religius.
Dokumen ini didasarkan atas anggapan bahwa baik kaum awam maupun imam dapat
merasa terpanggil untuk memilih hidup religius sebagai jalan hidup. Hal ini menerangkan
sudut pandang tentang hidup religius, bersamaan dengan itu, memberi suatu perspektif
lain untuk mempelajari hidup religius. Bertolak belakang dengan ini adalah pembedaan
tradisional Tarekat kontemplatif dan apostolik dan antara Tarekat imam dan awam, seperti
tertera baik dalam “Perfectae caritatis” (PC, no. 7 dan 8) dan Kitab Hukum Kanonik (KHK
pasal 586).
Bagi para Bruder religius, nomor 10 sangatlah penting: “Hidup religius yang
beranggotakan awam, untuk pria maupun wanita, merupakan status pengalaman nasehat-
nasehat Injil yang sudah lengkap. Maka Konsili suci sangat menghargainya, karena begitu
berjasa bagi tugas pastoral Gereja melalui pendidikan kaum muda, perawatan orang-orang
sakit dan pelayanan-pelayanan lainnya. Konsili meneguhkan para anggotanya dalam
panggilan mereka, serta mendorong mereka untuk menyesuaikan hidup mereka dengan
tuntutan-tuntutan zaman sekarang.” (PC, no. 10).
Sehubungan dengan intinya, kita harus mengacu kepada nomor yang terdahulu yang mana
dijelaskan dalam misi Kongregasi Apostolik. (Tarekat imam dan juga hakikat awam.).
“Dalam Gereja terdapat banyak sekali tarekat, yang beranggotakan imam-imam
atau awam melulu, dan membaktikan diri dalam pelbagai karya kerasulan. Menurut
rahmat yang diberikan kepada mereka, tarekat-tarekat itu dianugerahi kurnia yang
bermacam-ragam: jika itu kurnia pengabdian, mereka melayani; bila kurnia ajaran, mereka
mengajar; jika kurnia untuk menasehati, mereka memberi nasehat; siapa yang memberi,
melakukannya dengan iklas; barang siapa mengamalkan belas kasihan, menjalankannya
dengan gembira (lih. Rom 12:5-8). Memang “ada beraneka-macam kurnia, tetapi hanya satu
Roh” (1Kor 12:4). Dalam terakat-tarekat itu hendaknya dengan hidup religius sendiri
mencakup kegiatan merasul dan beramal kasih, sebagai pelayan suci dan karya cinta-kasih
khusus, yang oleh Gereja di percayakan kepada mereka, dan harus dilaksanakan atas nama
Gereja. Oleh karena itu seluruh hidup religius para anggota diresapi semangat merasul,

| 16
sedangkan segenap kegiatan merasul dijiwai oleh semangat religius. Maka supaya para
anggota terutama menanggapi panggilan mereka untuk mengikuti Kristus, dan melayani
Kristus sendiri dalam para anggota-Nya, kegiatan mereka merasul harus memancar dari
harus memancar dari persatuan mesra dengan-Nya, kegiatan mereka merasul harus
memancar dari persatuan mesra dengan-Nya. Demikianlah didukung perkembangan cinta
kasih sendiri akan Allah dan akan sesama” (PC, no.8).
Dalam dokumen Konsili, Bruder religius yang tampil sebagai pribadi yang adalah
milik umat Allah dan, seperti semua orang lain, terpanggil untuk menjalani hidup suci. Dia
berasal dari umat, dari antara kelompok umat awam, dan telah memilih untuk hidup suci
sebagai religius. Dia akan menjalankan ini melalui profesi nasihat Injil merupakan
penjelmaan dari Rahmat babtisan. Atas dasar devosi yang tulus terhadap Allah, ia akan
memasuki dunia, dimana ia akan dibantu oleh para awam untuk melayani Kristus di tengah
umat-Nya. (bdk. 1. Kor. 6, 15).

Perkembangan Pemikiran Mengenai Bruder Religius

Pada tahun 1971, Paus Paulus VI mengumumkan sebuah nasihat apostolik yang
berjudul “Evangelica testificatio”. Itu berhubungan dengan inovasi hidup religius sesuai
dengan pedoman Konsili Vatikan Kedua. Sekali lagi, hidup religius dalam dokumen
tersebut dijelaskan sebagai suatu pengalaman radikal akan Rahmat babtisan melalui
profesi nasihat Injil. Meskipun ada beberapa unsur yang ditambahkan, tidak ada satu pun
yang disinggung mengenai Bruder religius. Tetapi tujuan dari dokumen tersebut jelas:
inovasi yang sesungguhnya harus dimulai dari dalam dan harus lebih dari sekedar adaptasi
dari beberapa adat istiadat dan kebiasaan.
Dokumen berikut diterbitkan pada tahun 1983 oleh Kongregasi Tarekat Hidup Bakti
dan Serikat Hidup Apostolik. Dari judul tersebut sudah jelas: “Unsur-unsur Pokok Dalam
Ajaran Gereja Mengenai hidup Religius”. Tahun berikutnya, Paus Yohanes Paulus II
mengumumkan sebuah nasihat apostolik yang berjudul “Redemptoris donum” dalam
rangka Tahun Penebusan. Hidup religius dipelajari dari sudut pandang meneladan Kristus
dan undangan untuk menjadi sempurna. Dalam dokumen ini, Bapa Paus menyatakan
apresiasinya yang besar tinggi beliau terhadap para religius yang menjadi saksi kasih Allah
melalui karya kerasulan khusus mereka.
Tiga dokumen tersebut membangun pada pandangan yang berkembang selama
Vatikan II dan mencoba untuk menyarankan cara-cara dimana pandangan-pandangan ini
benar-benar dapat berakar dan tumbuh dalam kehidupan. Namun, dokumen-dokumen
tersebut tidak memuat berisi sesuatu yang luar biasa mengenai Bruder Religius.
Pada tahun 1991, Perhimpunan Superior Jendral atas inisiatif Komisi Superior
Jendral untuk Tarekat Religius Awam menerbitkan dokumen dengan judul “Para Bruder
Dalam Tarekat Religius Awam”. Untuk pertama kali, sebuah usaha dilakukan untuk
memperjelas identitas Bruder religius. Dokumen tersebut memuat sudut pandang jelas
yang dirumuskan pada akhir dokumen: “Meskipun para Bruder menjalani hidup religius
secara terus menerus dan meskipun cara hidup mereka merupakan perwujudan dari

| 17
nasihat Injil, namun demikian, mereka termasuk dalam kelompok kaum awam, meskipun
pada kenyataannya mereka menjalankan hidup mereka berbeda dengan kaum awam biasa.
Bila diamati status awam mereka, mereka adalah orang yang membaktikan diri yang
terpilih dan terpanggil untuk mengikuti Yesus dan diharapkan untuk menjadi teladan bagi
dunia.” Kemudian pernyataan ini disanggah oleh beberapa penulis yang mengacu kepada
“Lumen Gentium” dimana pembedaan yang jelas dibuat bagi ketiga keberadaan hidup;
awam, imam dan religius. Definisi kaum awam dalam dokumen sebelumnya tidak dapat
direkonsiliasikan pula dengan kaum religius. Akan tetapi, dokumen ini mewakili usaha
yang layak dalam rangka merenungkan lebih dalam mengenai identitas Bruder religius.
Dalam nasihat apostolik pasca sinode “Christefidelis Laici” (CL), Paus Yohanes
Paulus II juga memberi perhatian terhadap cara hidup yang lain dan pada kenyataanya
bahwa cara hidup yang beraneka ragam itu saling terkait satu dengan yang lainnya. “Dalam
Komunitas Gereja keberadaan hidup yang diperintahkan saling terkait satu dengan yang
lain. Mereka berbagi dalam satu pengertian dasar: yakni cara menjalani hidup berdasarkan
martabat Kristiani bersama dan panggilan umum pada kesucian dalam kempurnaan kasih.
Mereka berbeda namun saling melengkapi, dalam arti bahwa masing-masing memiliki
karakter dasar dan jelas yang menetapkan masing-masing terpisah, sementara pada saat
yang sama masing-masing terlihat dalam hubungannya dengan yang lain dan ditempatkan
di masing-masing karya pelayanan.
Maka keberadaan hidup awam memiliki keistimewaan dalam sifat sekulernya. Ia
memenuhi pelayanan Gerejani serta memberi kesaksian serta dengan caranya sendiri
mengingatkan bagi para imam, pria dan wanita religius pentingnya realita duniawi dalam
rencana penyelamatan Allah. Pada gilirannya, imamat jabatan mewakili dalam berbagai
waktu dan tempat, jaminan permanen sakramental kehadiran Kristus, Sang Penebus.
Keberadaan religius memberi kesaksian eskatologi Gereja, yakni usaha menuju Kerajaan
Allah yang telah dinanti-nantikan dan telah diramalkan kedatangannya dan dialami
sekarang juga melalui kemurnian, kemiskinan dan ketaatan” (CL, no. 55).
Dokumen ini juga memperjelas keberadaan kehidupan di mana kaum awam
mempertahankan status keawaman mereka:
“Keberagaman Gereja lebih jauh tercermin dari masing-masing dalam hidup. Maka dalam
hidup awam bermacam ‘panggilan’ terdapat, dalam arti banyak cara dalam hidup rohani
dan apostolik yang dipilih anggota kaum awam beriman. Dalam bidang karya awam yang
‘diminati bersama’ panggilan awam ‘yang khusus’ berkembang subur. Dalam bidang ini kita
juga dapat mengingat pengalaman rohani dari berkembangnya berbagai bentuk Tarekat
sekuler yang timbul akhir-akhir ini di Gereja. Karya-karya ini memberi kesempatan kaum
awam beriman, dan bahkan imam kemungkinan untuk menerapka nasihat Injil dalam hal
kemiskinan, kemurnian dan ketaatan melalui kaul atau janji, sambil mempertahankan
keberadaan awam atau imamat mereka sepenuhnya. Dalam hal ini para Bapa Sinode
berkomentar, ‘Roh Kudus menunjukkan bentuk-bentuk lain penyerahan diri dimana orang
yang sepenuhnya tetap berada dalam status awam mengabdikan diri mereka’” (CL, no. 56).

| 18
Sudah jelas di sini tidak ada pembahasan mengenai Bruder religius, tetapi tentu saja
membahas mengenai mereka yang bergabung dalam Tarekat sekuler. Hanya dalam hidup
bakti kaum awam tetap awam dalam arti kata yang sesungguhnya.
Dalam Sinode para Uskup mengenai hidup religius di tahun 1994 penerangan baru
diberikan mengenai identitas para Bruder religius. Dalam no. 32 “Instrumentum laboris”
(IL), para uskup menuntut perhatian bagi “Tarekat Religus awam dan para Bruder awam”.
“Perhatian khusus diberikan kepada panggilan dan misi dari para Bruder awam
dalam Tarekat sekuler, imamat dan Tarekat-tarekat dimana kedua jalan hidup
dilaksanakan.Orang sering mengabaikan bahwa hidup bakti, pada intinya bukanlah
klerikal maupun awam, atau seperti halnya di Timur pada masa lalu dan bahkan sekarang
juga pada awalnya berasal sebagian besar dari kaum awam. Akibat dari itu adalah
pandangan bahwa panggilan Bruder dipandang sebagai tidak lengkap karena tidak adanya
status imamat” (IL, no. 32).
Sinode diminta untuk menegaskan penting dan arti dari kaum “awam religius” dan
untuk menginterpretasikan ciri-ciri yang beragam dalam kehidupannya: keterbukaan para
Bruder dengan Kristus, partisipasi dalam pelayanan Gereja, tanda kehadiran Kerajaan Allah
dan nilai-nilai transenden yang lebih penting dari nilai-nilai imanen.
Suatu permohonan juga diutarakan untuk membentuk formasi para Bruder yang
lengkap dan juga timbul pertanyaan apakah seorang Bruder diperbolehkan menjadi
anggota pimpinan dari klerikal atau campuran.
Akhirnya, Kongregasi awam diminta untuk menemukan cara untuk berbagi
spiritualitas, solidaritas, kerjasama mereka dengan para awam yang berhubungan dengan
mereka.
Dalam alinea lain berjudul “Consecrated Christifideles”, hal berikut tertulis
mengenai Bruder religius: “Pada mulanya bentuk historis dari kehidupan religius memiliki
ciri keawaman dibandingkan dengan ciri imamat. Bahkan, dimasa kinipun banyak anggota
hidup bakti atau serikat hidup apostolik adalah mereka yang dibaktikan atau kaum awam
yang diikutsertakan meskipun mereka bukan awam seperti orang lain yang hidup dalam
dunia. Karena pengabdian mereka, mereka memiliki, dibanding dengan awam yang lain,
sedikit dari sifat-sifat awam tradisional, yaitu kehidupan yang dijalankan ditengah-tengah
dunia atau keterlibatan dalam masalah-masalah duniawi. Tetapi sifat awam tersebut
timbul sesuai dengan hakikatnya, daya tarik dan sifat-sifat lain yang cocok tepat bagi kaum
awam dan sesuai dengan jenis kehidupan yang mereka jalankan dan jenis pelayanan yang
mereka penuhi dalam Gereja dan dalam masyarakat, juga sesuai dengan Tarekat atau
Serikat mereka.” (IL, no. 69).
Dalam teks ini juga, pertentangan antara keberadaan religius dan tetap menjadi
kaum awam menjadi sangat jelas. Suatu keistimewaan dari misi tersebut juga disebutkan.
“Wanita dan Bruder awam yang dibaktikan yang tergabung dalam Kongregasi hidup
apostolik dapat, berkat misi khusus mereka, berpengaruh secara efektif demi pembaharuan
dunia dalam semangat sabda bahagia.”
Selama Sinode gagasan-gagasan ini telah dijabarkan lebih lanjut dalam nasihat “Vita
Consecrata” (VC), suatu alinea yang panjang mengupas khusus mengenai Bruder religius.

| 19
Hal ini diulang, pertama-tama yang sifat keberadaan hidup bakti bukanlah klerikal
maupun awam. “Oleh karena itu ‘hidup bakti awam’ baik untuk pria maupun wanita
merupakan suatu keberadaan dimana dalam pengabdian terhadap nasihat Injil adalah
lengkap dalam dirinya” (VC, no. 60).
Tetapi beberapa keberatan yang diutarakan saat sinode terhadap istilah “tarekat
awam” “Menurut terminologi yang sekarang digunakan, Tarekat-Tarekat yang,
dikarenakan tujuan pendiri atau tradisi yang kuat, memiliki ciri dan tujuan yang tidak
mencakup menjalankan Ordo Suci disebut ‘Tarekat Awam’. Meskipun demikian
menunjukkan bahwa terminologi demikian tidak cukup mengungkapkan jenis karya
anggota-anggota Tarekat Religius tersebut. Nyatanya meskipun mereka banyak
mengerjakan karya kaum awam beriman, mereka melakukannya sejalan dengan disucikan
mereka, dan karenanya mengekspresikan pemberian diri secara menyeluruh bagi Kristus
dan Gereja, sesuai dengan kepribadian mereka.
Karena itulah para Bapa Sinode, untuk menghindari ketidak jelasan dan
kebingungan antara keberadaan kaum awam beriman yang sekuler, mengajukan istilah
‘Tarekat Bruder Religius” (VC, no. 60). Maka suatu istilah baru diperkenalkan: Tarekat
Bruder Religius. Yang sangat memperkaya dan inovatif adalah penjelasan lebih jauh istilah
“Bruder” dari pidato Paus Yohanes Paulus II pada tanggal 22 February 1995.
“Kaum religius ini telah terpanggil untuk mejadi saudara laki-laki Kristus
sendiri, ‘putra sulung di antara banyak saudara laki-laki’ (Rm. 8,29). Saudara laki-laki satu
dengan yang lain, dalam kasih sesama dan bekerja bersama dalam Gereja demi kebaikan
bersama. Saudara laki-laki bagi semua orang, sebagai saksi kasih Kristus untuk semua,
terutama yang terendah, yang termiskin; saudara laki-laki yang membangun persaudaraan
lebih erat dalam Gereja. Dengan menghidupi aspek ini, di mana kehidupan Kristiani dan
hidup bakti memiliki banyak kesamaan, secara khusus ‘para Bruder religius’ mengingatkan
para imam dengan jelas aspek dasar persaudaraan ini dalam Kristus, yang harus dihidupi
antara pria dan dengan setiap pria dan wanita. Lebih dari itu, mereka mewartakan Sabda
Allah bagi semua: “Dan kamu semua adalah saudara’ (Mat. 23 : 8).”
Empat interpretasi mengenai arti menjadi seorang Bruder religius yang mencakup
unsur dasar hidup religius: contemplatio, communio dan missio. Selain itu, ada misi
khusus untuk membantu mengembangkan rasa persaudaraan dalam Gereja dan dunia.
Gagasan bahwa para Bruder, seharusnya, memiliki pesan khusus bagi para imam adalah
sungguh-sungguh baru.
Lebih jauh dalam naskah tersebut pertanyaan yang juga diajukan dalam “Perfectae
caritatis” juga diulas. Kita mengacu pada pertanyaan apakah seorang Bruder sebaiknya
ditahbiskan sebagai imam agar bisa merayakan misa dalam rumah mereka sendiri?. Tidak
ada argumentasi yang kuat melawan hal ini, tetapi dalam dokumen ini dengan pasti
dijelaskan bahwa hal tersebut secara eksplisit tidak dianjurkan karena sangat diharapkan
bagi para Bruder religius untuk tetap setia terhadap karya dan misi aslinya.
Untuk pertanyaan yang diajukan dalam “Instrumentum labori”, mengenai apakah
Bruder religius berhak menjabat suatu fungsi administratif dalam suatu Tarekat klerikal,
jawabannya adalah “tidak”, paling tidak dalam “Vita Consecrata”. “Dalam Tarekat tersebut

| 20
para imam merupakan bagian penting dari tarekat tersebut dan menentukan sifat, tujuan
dan semangat” (VC, no. 60).
Dalam hal Tarekat campuran, tertera dalam dokumen bahwa semua kaum religius
memiliki hak dan tugas yang sama, suatu komisi khusus akan dibentuk jika ada masalah
yang timbul. Hal ini menambahkan satu bab baru kepada buku “Tarekat Bruder Religius”
dan memberi wewenang bagi para Bruder sendiri untuk lebih memperjelas identitas
mereka.

Awam atau Religius

Tetapi sebelum melanjutkan permenungan kita mengenai identitas ini, saya ingin
lebih mendalami sifat-sifat awam dari Tarekat Bruder religius.
Dokumen-dokumen Konsili menggaris bawahi karakter kaum awam dari
Tarekat itu sendiri dan para Bruder. Br. Michel Sauvage FSC. membahas pilihan ini dan
masalah-masalah yang timbul darinya dalam kontribusinya berjudul “La vie religieuse
laique” dalam “Vatikan II, l’adaptation et la renovation de la vie religieuse”.
Ia menemukan kekurang jelasan dan mereka yang tergabung dalam Tarekat awam
sudah tidak memenuhi kriteria khas, seperti tertera dalam “Lumen Gentium” agar dapat
dianggap sebagai kaum awam yakni sebagai orang yang hidup dalam dunia. Tetapi karena
istilah “kaum awam” atau “orang awam” digunakan dalam setiap dokumen, ia masih setuju
untuk menggunakan istilah tersebut. Ia mengacu pada Congar yang mengaku, dalam suatu
naskah membahas teologi kaum awam, bahwa religius, seperti halnya dengan orang awam,
berpartisipasi dalam kehidupan imamat sebagai tindak lanjut dari Rahmat babtisan (bdk.
Jalons pour une théologie du laïcat, hal. 366).
Hidup imamat diambil sebagai titik tolak dan pusat orientasi yang lazim. Memang
benar bahwa kaum awam dan religius tidak berbeda dalam hal itu. Tetapi, alangkah
baiknya untuk tetap mengingat pada saat seseorang dibabtis, orang tersebut telah
terpanggil untuk menjadi raja, imam dan nabi. Karena devosi terhadap Rahmat babtisan
diakui bahwa seseorang yang telah dibabtis adalah raja dirinya sendiri sudah tidak lagi
menjadi hamba dari dosa, imam dalam kesatuan dengan Allah Bapa dan Imam Tertinggi,
Kristus, dan bahwa ia, karena telah dikaruniai Roh Kudus sanggup untuk beribadat kepada
Tuhan, berperan sebagai nabi, mewartakan Sabda Allah, serta mengerti dan
mewartakannya. Rahmat babtisan memberi orang kebebasan murni (raja), kekudusan
(imamat) dan kebenaran (nabi). Dalam konteks tersebut kaum imam secara umum harus
dimengerti dan penunjukkan dari Rahmat babtisan harus dapat terlihat. Dengan
pengertian itu, kaum religius adalah dan tetap umat kristen yang menjalankan hidup secara
eksklusif berdasarkan Rahmat babtisan yang telah diterimanya dan dalam terang
kebangkitan. Bila kita menelaah istilah “awam” dari sudut pandang tersebut tidak ada lagi
ketegangan antara kaum religius dan awam. Tetapi jika kita mengartikan istilah “awam”
berdasarkan definisi “Lumen Gentium”, perbedaan tidak dapat disangkal karena bersifat
dasar: karena berada dalam dunia, umat Kristiani yang bukan imam maupun religius. Kita
berbicara tiga keadaan hidup yang berbeda yaitu: awam, imamat dan religius.

| 21
Dalam perjalanan sinode mengenai karya dan misi umat awam, Bruder religius tidak
diundang dalam kapasitas mereka sebagai kaum awam tetapi dalam kapasitas mereka
sebagai religius. Dalam naskah-naskah tersebut karya pelayanan seorang religius dianggap
melengkapi karya pelayanan kaum awam karena mereka aktif dalam karya yang sama.
Pada tanggal 12 October 1987, Mgr. Corecco, ketua dari Consociatio Internationalis
Studio Iuris Conoci Promovendo menempatkan kaum awam ditengah-tengah proses
sekulerisasi. “Kehidupan imamat sekuler terdiri dari kenyataan yang memiliki konsekuensi
teologis, bahwa kaum awam terpanggil untuk memberikan kontribusi penebusan kepada
dunia dengan menerima tanggung jawab untuk kondisi kehidupan terstruktur yang
dimiliki semua orang. Hal ini diinterpretasikan dengan kurang meyakinkan dan dijelmakan
dalam ketiga bentuk Tarekat hukum alamiah: kepemilikan, pernikahan dan kebebasan
untuk mengatur kehidupan sendiri.”
Karena seorang religius memilih untuk mentaati nasihat Injil maka ia tidak
memperoleh barang-barang milik, dan ia tidak menikah dan setuju untuk diatur hidupnya
oleh atasannya. Naskah tersebut selanjutnya mengupas konsekuensi dari kehidupan
religius. “Sifat sekuler dihilangkan dengan disucikan melalui kaul-kaul, yang
mengungkapkan tiga nasihat Injil, termasuk didalamnya Tarekat Sekuler.”
Mgr. Fagiolo yang waktu itu menjabat sebagai sekretaris dari Kongregasi Urusan
Tarekat Hidup Bakti dan Serikat Hidup Apostolik, memiliki pandangan yang sama dan
menambahkan bahwa pandangan teologis, dimana ada suatu pembedaan jelas antara kaum
awam dan religius, sebaiknya dijadikan dasar dari semua diskusi klerikal yang lain, baik
yang bersifat hukum maupun pastoral (bdk. 6 Maret 1987 dimuka Komisi dari 16 anggota
U.S.G). Berbicara secara teologis, umat percaya Kristiani terdiri dari dua kelompok: kaum
awam dan yang orang yang membaktikan diri. Berdasarkan hal itulah Vatikan mencapai
pada pemisahan menjadi tiga kelompok berbeda dalam “Lumen Gentium”: imam, kaum
awam yang bukan imam maupun religius, religius.
Hal ini juga menjadi dasar bagi Hukum Kanonik bagi gagasan bahwa hidup religius
berdasarkan sifatnya bukanlah imam maupun awam (bdk. KHK, ayat 588). Tetapi beberapa
religius dapat ditahbiskan sebagai imam, dan hal ini memberi dimensi baru dalam hidup
religius. Berdasarkan gagasan ini kita mungkin dapat merumuskan gagasan berikut:
dengan memasuki hidup religius, umat kristen meninggalkan status awamnya dan menjadi
religius yang menjadi status barunya.
Gagasan itulah yang ditetapkan oleh sinode mengenai hidup bakti. Dengan sadar
“Bruder awam” dan “Tarekat sekuler” ditinggalkan dan diganti dengan “Bruder religius”
dan “ Tarekat para bruder religius”. Penekanan berada pada disucikan, pada “Vita
Consecrata”, yang merupakan cara hidup yang dapat dipilih umat kristen (baik awam
maupun imam). Dan mengenai Tarekat para bruder religius, anggota-anggotanya telah
membuat pilihan secara sadar untuk tidak ditahbiskan sebagai imam. Mereka tetap
menjadi religius dalam bentuk yang paling murni.

Daftar Pustaka

| 22
1. Beyer, Jen, Ler dreit de la vie consacrée. Paris, Tardy, 1988, pp. 223
2. Bruder in Instituten voor Lekenreligieuzen. Rome, Unione Superiori Generalli, 1991,
pp. 80.
3. Christifidelis Laiïci, Postsynodale apolstoische exhortatie over de roeping end de
zending van de leken. Uthrech, Kerkelijke documentatie, 1989, pp.92.
4. Comité canonique des religieux, Directoire cononique. Paris, Cerf, 1986, pp.320.
5. Constituies en Decreten van het 2de Vaticaans oecumenisch concilie. Amersfoort,
Katholiek Archief, 1967, pp. 585.
6. De Sales, Frasciscus, Introduction to the devout life. Rockford, Tan books, 1994, pp.
318.
7. Instrumentum Laboris, Het godgewijde leven en zijn zending in kerk en wereld.
Utrecht, Kerkelijke documentatie, 1995, p. 3-86.
8. Les religieux, documents réunis et présentés par Robert Ackerman. Paris, Centurion,
1988, pp. 281.
9. Richtijnen voor de vorming in de religieuze instituten. Utrecht, Kerkelijke
documentatie, 1990, pp. 45.
10. Sauvage, Michel, La vie religieuse laïque, in Vatican II, l’adaptation et la rénovation
de la vie religieux. Paris, Cerf, 1967, p. 301-374.
11. Tremblay, Albert, Le frère est-il laïc? in La vie des cummunautés religieuses.
Québec, Mai 1997, p. 162-174.
12. Tremblay, Albert, Religieux frère, in La vie des cummunautés religieuses. Québec,
Nov. 1996, p. 269-291.
13. van Rijen, Al., Het tweede Vaticaans Concilie overhet religieuze leven. Gent, Bruders
van Liefde, 1967, pp. 132.
14. Vita consacrata, Postsynodale apostolische exhortatie. Utrecht, Kerkelijke
documenten, 1996, pp. 75.
15. Wetboek van canoniek recht. Brussel, Licap-Gooi en Sticht, 1983, pp. 855.

Perkembangan Tarekat Religius Bruder

Dalam amanatnya kepada anggota-anggota Kongregasi Religius pada tanggal 24


Januari 1986, Paus Yohanes Paulus II membahas asal usul hidup religius. “Hidup religius
semula dalam bentuk perkumpulan awam. Cara hidup ini terlahir dari keinginan umat
Kristiani yang hendak menunjukkan Rahmat babtisan mereka, agar lebih membuahkan

| 23
hasil, dan yang ingin membebaskan diri mereka dari hambatan-hambatan yang dapat
mencegah mereka untuk menghidupi kasih dan ibadat kudus sepenuhnya” (bdk. no. 2).
Oleh karena itu, kita ingin menempatkan panggilan dan misi Bruder religius dalam
konteks yang lebih luas sehubungan dengan sejarah hidup membiara.

Asal Usul hidup membiara: Bruder di padang gurun

Hidup membiara bermula dari keinginan umat untuk menunjukkan dengan kuat
usaha mereka untuk meniru Kristus. Umat Kristen pertama terpaksa melakukan hal
tersebut dalam dunia yang memusuhi mereka, maka usaha tersebut berarti harus siap
untuk menjadi martir. Masa di mana orang Kristen dianiaya secara aktif sejak tahun 64,
pada masa kekuasaan kaisar Nero, St. Petrus dibunuh sebagai martir, hingga tahun 293
pada masa kekuasaan kaisar Diocletianus. Sejak saat itu, kekaisaran Roma mulai hancur,
hal ini berakibat pada pemburuan terhadap umat Kristen menjadi kurang fanatik.
Sejak Edik Milan pada tahun 313, umat Kristen dapat menikmati kebebasan
menjalankan ibadat agama mereka. Mereka diperlakukan oleh Kaisar Konstantinus sama
halnya dengan gerakan agama lain. Hal ini memudahkan orang menjadi umat Kristen,
pengaruh ini berakibat pada bertambahnya jumlah umat Kristen, kesalehan mereka
meskipun tidak selalu seperti yang seharusnya. Lengkaplah kebebasan mereka pada saat
agama Kristen dijadikan agama resmi negara pada akhir abad ke IV.
Karena kemartiran bukan lagi satu-satunya cara untuk meniru Kristus, umat
Kristiani harus mencari cara lain untuk meniru-Nya. Mereka memilih pola hidup askese
dan gerakan inilah yang akhirnya merintis jalan apa yang kita sebut sebagai religius atau
hidup bakti saat ini. Jejak pertama hidup membiara ditemukan di Mesir dan berasal dari
abad ke III. Para Hermit dan anakoret pergi ke padang gurun supaya lebih dekat mengikuti
Kristus melalui keheningan, askese dan kontemplasi. Mereka akan mengosongkan diri
(martyrdom). Mereka menjadi rahib (monks berasal dari kata monos yang artinya sendiri)
atau para bapa padang gurun. Bapa padang gurun yang pertama dikenal adalah St.
Antonius (± 250 - ± 356) yang memasuki padang gurun Mesir sekitar tahun 285. Ia sering
disebut sebagai bapa para rahib. Setelah beberapa waktu, para hermit lain datang untuk
tinggal dengannya tetapi mereka menutup diri. Antonius menjadi bapa rohani mereka
tanpa benar-benar hidup dalam satu komunitas dengan mereka.
Hal ini berubah sejak masa St. Pachomius (292 – 346) yang mendirikan biara
pertama di Tabennisi, di tepi sungai Nil pada sekitar tahun 320. Hal ini merupakan awal
akan hidup membiara dalam bentuk baru yaitu coenobital atau komunitas.
St. Basilius Agung memperkenalkan kehidupan membiara seperti ini di Asia Kecil
dan yang pertama kali membuat suatu aturan hidup yang menekankan ketaatan dan kerja
membiara baik fisik maupun intelektual.
Sebagian besar para rahib pertama ini mungkin tetap awam. Hal ini berubah saat
cara hidup membiara ini diperkenalkan di dunia Barat dan banyak imam yang memilih
hidup dengan pola hidup demikian. St. Agustinus, uskup Afrika Utara Tagaste dan Hippo,
memilih hidup bersama dengan imam-imam lain sejak 395. Pada tahun 397, ia membuat
aturan hidup yang berpusat pada cinta kasih dan hidup berkomunitas.

| 24
Cara hidup bersama ini menjadi populer di Eropa. Pada tahun 370 St. Martinus dari
Tours pergi untuk hidup bersama imamnya setelah beberapa lama hidup sendiri sebagai
pertapa. Nama-nama lain yang terkenal adalah St. Athanasius (sekitar 357) dari Gaul, St.
Patricius dan St. Columba dari Irlandia pada abad ke V dan St. Eusebius dari Italia. Sebagian
besar dari mereka akan menggabungkan antara hidup komunitas dengan pewartaan dan
bimbingan rohani, hal ini yang membuatnya lebih mungkin bahwa sebagian besar anggota
juga imam.
Pada akhir abad ke V, para rahib telah menyebar ke seluruh kekaisaran Roma.
Konsili Kalsedon, yang diadakan pada tahun 451, menempatkan para rahib dibawah
pengawasan wewenang gereja. Baru pada masa St. Benediktus (480-547) gabungan dari tipe
padang gurun dan komunitas diatur dalam suatu pedoman yang memberi keseimbangan
dan suatu rasa identitas. St. Benediktus yang merintis dasar-dasar hidup membiara di
Barat. Sejak tahun 787, peraturannya menjadi pedoman bagi semua biara dan monastik, di
Kerajaan Carolingian. Para klerus yang hidup dalam komunitas saat ini masih mengikuti
pedoman St. Agustinus.
Perkembangan selanjutnya dari aturan St. Benediktus yaitu bertumbuhnya dua
kelompok anggota biara. Di satu pihak ada rahib, yang sebagian besar terdiri dari para
imam, yang sibuk dengan paduan suara doa dan pelayanan liturgis. Di lain pihak terdapat
biarawan awam yang kerja tangan. Sistem ini semakin menjadi suatu model setelah
Reformasi Cluny (910). Tetapi hal ini mengganggu keseimbangan yang telah ditekankan St.
Beneditus untuk sekian lama. Dan menimbulkan beberapa reaksi baik di dalam maupun di
luar Gereja.
Kelompok-kelompok baru terbentuk di Italia: Ordo Camaldolites atau
Camaldolensia, yang didirikan oleh St. Romuald (1027), Ordo Vallumbrosa yang didirikan
oleh St. Yohanes Gualbert dan anggota-anggotanya menyebut dirinya “fratres conversi” dan
memilih untuk kerja tangan. Di Perancis terdapat Ordo Carthusians, yang didirikan oleh
St. Bruno yang pergi untuk menjalani hidup sebagai hermit (1084). Di tengah-tengah Ordo
Benediktine sendiri, sebuah reaksi timbul ketika di Citeaux pada tahun 1098, Abas dari
Molesme, Robert, menerapkan sebuah reformasi yang menekankan pola kehidupan
sederhana secara umum, evaluasi ulang kerja tangan, serta pencarian keheningan hidup.
Dengan kedatangan St. Bernardus di tahun 1112 Ordo yang berada di Citeaux, yaitu Ordo
Cistercian, mulai berkembang lagi. Di semua biara pembedaan antara rahib dan Bruder
tetap ada. Apa yang bermula sebagai gerakan awam murni telah berkembang menjadi
sebuah gerakan klerus.
Untuk menutup diskusi mengenai abad pertengahan ini, Ordo mendicant layak
disebut juga, dengan nama Ordo Franciskan yang didirikan oleh St. Franciskus Assisi pada
tahun 1211, dan Ordo Dominikan yang didirikan oleh St. Dominikus Guzman pada tahun
1214. Mereka menekankan cara hidup miskin dan mewartakan iman di kota-kota besar dan
kecil. Pada awalnya, sebagian besar dari mereka adalah para Bruder awam, tapi dengan
berjalannya waktu mereka berubah menjadi suatu komunitas klerus karena misi mereka
untuk mewartakan iman. Disamping itu, terdapat Canon Regula yang hidup sesuai dengan

| 25
pedoman St. Agustinus. Yang paling terkenal diantaranya adalah para Premonstratensians
yang didirikan oleh St. Norbert Kanten pada tahun 1120.
Pada masa Perang Salib terbentuk beberapa Ordo kaum kesatria seperti Ksatria St.
Yohanes, Ksatria Templar dan Ordo German, yang pertama dari Ordo-ordo tersebut ini
didirikan di Yerusalem pada tahun 1048 oleh Gerard Malfi. Ordo-ordo ini berkembang
menjadi kelompok-kelompok yang terdiri dari tiga tipe keanggotaan: kaum kesatria yang
menjalankan tugasnya di medan perang, imam yang memberi bimbingan rohani dan
bruder awam yang merawat mereka yang sakit atau cidera di medan perang.

Tipe Baru Biarawan Bruder Sejak Abad Pertengahan

Bentuk-bentuk baru biara, yang timbul pada Abad Pertengahan dianggap sebagai
cikal bakal dari Tarekat Religius Bruder yang ada pada abad ke XIX. Mereka dibentuk untuk
mengatasi situasi mendesak dan karya apostolik menjadi bagian terpenting dari hidup
mereka.
Pertama, ada Ordo Rumah Sakit (Hospital Order). Bruder Rumah Sakit dari Roh
Kudus (the Hospital Brothers of the Holy Ghost) didirikan di Montpellier pada tahun 1195
untuk melayani rumah sakit-rumah sakit setempat. Pada tahun 1204 mereka dipercayakan
untuk merawat para pasien di Rumah Sakit Santo Spirito di Roma. Kemudian, mereka
melayani di rumah sakit-rumah sakit baru di berbagai negara.
Ada kemungkinan bahwa para Bruder dan Suster yang aktif di berkarya di rumah
sakit Flemish pada Abad Pertengahan bagian dari Ordo Rumah Sakit. Suatu penelitian
mengenai Suster St. Julian diadakan di Bruges dan dari penelitian ini ditemukan bahwa
para Suster terikat oleh kaul dan janji, tetapi dapat dikeluarkan sewaktu-waktu dan
diperbolehkan menerima warisan.
Bertahun-tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1540, Ordo Rumah Sakit dari
Bruder Rumah Sakit St. Yohanes De Deo di Granada. Didirikan oleh Juan Ciudad, seorang
warga Portugis, Ordo ini berkarya dalam bidang perawatan para pasien sakit jiwa. Paus
Pius V menyetujui didirikannya Ordo Rumah Sakit yang telah mengakui regula St.
Agustinus pada tahun 1572. Pada mulanya Ordo ini mendapat izin bagi sebagian anggota
untuk ditahbiskan sebagai imam agar mereka dapat mempersembahkan misa di
komunitas-komunitas mereka sendiri. Tetapi pada umumnya, dapat dikatakan bahwa
Bruder Rumah Sakit St. Yohanes De Deo adalah Tarekat Religius Bruder yang pertama.
Camillus de Lellis (1550 – 1614) seorang kontemporer Juan Ciudad mendirikan sebuah Ordo
serupa di Roma pada tahun 1586. Ordo ini secara khusus berkarya untuk merawat orang
sakit, meskipun akhirnya berkembang menjadi Ordo klerus dengan sangat cepat.
Kelompok yang kedua terdiri dari Cellites atau Bruder Alexian. Bruder Alexian
bermula pada abad ke 14 ketika banyak kota besar dan kecil dilanda wabah. Dari antara
kaum papa, para pria mengajukan diri membentuk suatu komunitas religius baru yang
ingin merawat dan menguburkan korban wabah tersebut. Di kota Cologne, mereka disebut
beghards, di Antwerp sebagai Mattemannen dan Lollards tetapi pada umumnya mereka
disebut Cellites. Kemudian, mereka memilih St. Alexius sebagai pelindung mereka. Pada

| 26
tahun 1458 Paus Pius II mengizinkan mereka untuk mengucapkan kaul religius. Hampir
semua komunitas Bruder Alexian mengikuti regula St. Agustinus. Pada tahun 1468, Kapitel
Umum yang pertama diadakan di Liege, yang mana Superior Jendral terpilih dan struktur
provinsi dikembangkan. Tetapi, struktur tersebut terhambat pelaksanaannya oleh gerakan
Reformasi pada tahun 1550 dan ditinggalkan sama sekali saat Revolusi Perancis. Biara-biara
yang terpisah dari Bruder Alexian tersebut tetap ada dan dalam pengawasan administrasi
tunggal kembali pada tahun 1975. Mereka tetap bertahan dengan hakikat awam mereka.
Setelah Konsili Vatikan II beberapa dari anggotanya ditahbiskan agar dapat
mempersembahkan misa di komunitas milik ordo.
Akhirnya, terdapat beguine dan beghard yang telah kita bahas dalam paragraf
sebelumnya. Asal usul mereka kurang begitu jelas. Ada kemungkinan mereka muncul saat
ada ketertarikan pada bentuk-bentuk hidup religius baru, banyaknya jumlah wanita akibat
Perang Salib dimana banyak wanita tidak menikah dan tidak terlindung dikota-kota kecil
dan besar, sebagai akibatnya, wanita, tidak dapat menjalankan tugas dalam masyarakat
agraris yang memiliki tatanan yang kolot dan tidak sanggup memberi emas kawin yang
diminta harus dibayar bila ingin bergabung dengan Suster-suster Cistercian. Dengan kata
lain, ada wanita yang mencari suatu pola hidup religius diluar pernikahan atau keluarga.
Tetapi Konsili Lateran IV (1215) menuntut bahwa gerakan religius baru harus mengikuti
struktur komunitas religius yang sudah ada.
Pada mulanya, para beguine adalah wanita-wanita saleh yang posisinya berada
diantara kaum awam dan religius. Mereka tinggal diseluruh penjuru kota dan
menggabungkan cara hidup saleh dengan kegiatan merawat orang sakit dan kaum papa.
Pada tahun 1216 , Jacob de Vitry memperoleh izin dari Paus Innocent III untuk
mendirikan beguine dibawah pengawasan imam paroki. Biara-biara Beguinages ini
merupakan miniatur yang terdapat di tengah kota. Mereka memiliki gereja dan pekuburan
sendiri. Para beguine tinggal di rumah-rumah terpisah atau komunitas. Beguinage dipimpin
oleh seorang Grand Mistress. Mereka telah mengucapkan kaul ketaatan dan kemurnian
tetapi bukan kaul kemiskinan. Selain bimbingan rohani dan merawat rumah tangga
mereka juga kebanyakan aktif sebagai penenun atau penjahit.
Tiap beguinage memiliki peraturan sendiri-sendiri meskipun mengacu pada regula
St. Agustinus. Para beguine mengatur untuk mempertahankan keberadaannya selama
berabad-abad dan setiap kemerosotan selalu diikuti oleh suatu kebangkitan yang besar.
Tetapi, dalam beberapa dasawarsa terakhir mereka telah menyerah dalam usaha mereka
untuk beradaptasi dengan perubahan zaman dan sekarang sepertinya beguine ditakdirkan
untuk punah. Di banyak tempat beguinage semacam ini telah diubah menjadi tempat-
tempat sosial atau kebudayaan.
Komunitas-komunitas beguine yang berkembang menjadi komunitas biara
dari tahun ke tahun dapat bertahan hidup karena mereka dapat beradaptasi terhadap
kebutuhan-kebutuhan baru. Kaum beghard sendiri telah punah.Beberapa kelompok seperti
Alexian berkembang menjadi komunitas biara juga dan menjalani pedoman yang
menyebabkan mereka diakui recara resmi.

| 27
Sehubungan dengan Kongregasi Apostolik, ada tiga tokoh bersejarah yang patut
dibahas. Mereka berjasa dalam hal meletakkan dasar-dasar dari Kongregasi modern.
Karena Tarekat Bruder Religius merupakan Kongregasi Apostolik, kita perlu menjelaskan
beberapa hakikat dan sejarah mereka. Mereka adalah St. Fransiskus Sales, St. Vinsensius A
Paolo dan St. Yohanes Baptis de la Salle.
St. Fransiskus Sales (1567 – 1622) mulanya merencanakan untuk mendirikan
komunitas biara tanpa ada klausura dengan tujuan mengorganisir kegiatan perawatan bagi
orang sakit. Bersama-sama St. Jane dari Chantal, ia terpaksa meninggalkan rencana
tersebut tetapi akhirnya mendirikan Ordo Kontemplatif Suster Visitasi Maria. Selain
menjalani hidup kontemplatif, para Suster tersebut ditugaskan mengadakan pendidikan
bagi anak-anak perempuan. Contoh ini ternyata memberi inspirasi sehingga para imam
lain, mengambil St. Fransiskus Sales sebagai panutan, berinisiatif untuk membangun
Kongregasi serupa. Maka, pada tahun 1669, Kongregasi Visitasi Maria didirikan di Gent di
mana para Suster mengajar anak-anak perempuan dan merawat orang-orang sakit di
rumah-rumah perawatan korban wabah.
St. Vinsensius A Paolo (1581 – 1660) adalah seorang imam yang amat prihatin dengan
kemiskinan material dan rohani rakyat Perancis dan ingin mendedikasikan hidupnya
untuk memecahkan masalah tersebut. Pada tahun 1617, ia kumpulkan beberapa wanita dari
keluarga-keluarga berada dan menugaskan mereka untuk memberi pelayanan rohani bagi
kaum miskin. Ia menyebut mereka Dames de la Charité atau Putri Kasih. Pada tahun 1625,
ia mendirikan Kongregasi misionaris yang bernama Lazarist. Mereka bertanggung jawab
untuk menyebarkan Injil dan mendidik anggota seminari. Bersama dengan janda kaya
Louise de Marillac, ia mendirikan Putri Kasih pada tahun 1626. Mereka bertugas merawat
para orang sakit dan kaum miskin. Adalah suatu pilihan yang disengaja untuk menamakan
mereka Putri-putri karena mereka tidak membentuk suatu komunitas dalam arti yang
sesungguhnya. Mereka tinggal di Paroki dan memakai pakaian tradisional setempat.
Komunitas ini disetujui oleh Uskup Agung Paris, yang menjadi tahap penting dalam sejarah
hidup membiara. Apa yang ingin dicapai oleh St. Fransiskus Sales namun hal itu tidak
tercapai sekarang itu menjadi mungkin. Sebuah jalan terbuka untuk bentuk baru hidup
membiara: hidup yang disucikan untuk Allah, tetapi berada ditengah-tengah rakyat dan
para penderita. St. Vinsensius A Paolo telah mengilhami bagi banyak pendiri Kongregasi,
dan selanjutnya mereka ingin sekali memilihnya sebagai pelindung mereka.
Yang terakhir adalah St. Yohanes Baptis de la Salle (1651-1719), yang telah menjadi
Kanon di Katedral Reims pada usia 17 tahun. Selama masa studinya dan saat ia menjadi
imam muda, ia berhadapan dengan kebutuhan akan pendidikan bagi anak-anak kelas
buruh. Ia mendirikan sebuah sekolah untuk kaum miskin dan untuk menjamin kualitas
pendidikan yang diberikan, ia mengumpulkan guru-guru, membuat kurikulum harian
bagi mereka, maka lahirlah Bruder Sekolah Kristiani pada tahun 1681. Secara bertahap ia
mengarahkan guru-guru sekolah mengarah pada hidup religius. Pada tahun 1686, mereka
mengucapkan kaul sementara untuk pertama kali untuk periode satu tahun. Meskipun
banyak pertentangan dan konflik, ia berhasil memberi para Bruder tersebut status mereka
tersendiri. Ia memandang mereka sebagai Bruder awam yang dengan jelas membedakan

| 28
dirinya dari kaum klerus. Namun, dengan mengucapkan kaul, memakai jubah religius,
pada akhirnya mereka religius.
St. Yohanes Baptis de la Salle dan Bruder-Brudernya dianggap sebagai perintis bagi
Kongregasi Apostolik, yang banyak didirikan secara besar-besaran setelah Revolusi
Perancis dan sebagian besar mengkhususkan diri dalam bidang pendidikan dan perawatan
kesehatan.

Perkembangan Tarekat Religius Bruder

Setelah Revolusi Perancis, Tarekat Religius Bruder mulai berkembang di mana-


mana seperti jamur. Sebagian besar Tarekat Religius Bruder menggabungkan dengan
pandangan St. Vinsensius A Paolo tentang pengadaan bantuan untuk kaum miskin dan
model St. Yohanes Baptis de la Salle untuk struktur organisasi mereka. Prinsip dasar adalah
selalu berkeinginan untuk memenuhi suatu kebutuhan mendesak yang berdasarkan pada
motivasi pewartaan. Untuk tujuan tersebut, orang-orang yang bersedia mendedikasikan
dirinya untuk melakukannya, dikumpulkan bersama. Tidak ada kewajiban atau keharusan
menjadi imam untuk memenuhi misi apostolik ini, bahkan lebih baik untuk tidak menjadi
imam karena lebih memberi waktu untuk menjalankan misi yang sesungguhnya. Orang-
orang yang ingin bergabung seperti Tarekat Religius Bruder diwajibkan mengikuti
pendidikan profesional sebagai guru, pendidik atau perawat. Oleh karenanya, para Bruder
perlu untuk mendapat pendidikan ganda: formasi religius saat menjalani masa Novisiat
dan pelatihan profesional pada masa skolastikat atau yuniorat (masa Kaul Sementara).
Suatu cikal bakal Tarekat Religius Bruder di Flanders, yaitu Tarekat Bruder Van
Dale. Tarekat ini didirikan di Courtrai pada tahun 1761 oleh Rm. Joseph Van Dale. Para
Bruder berkarya dalam bidang pendidikan bagi kaum miskin. Sesungguhnya, Tarekat ini
disebut Bruder Karitas, namun, selang beberapa saat kemudian masyarakat mengantinya
dengan nama Bruder Van Dale. Pedoman hidup mereka menjadi contoh untuk Kongregasi
serupa seperti Bruder Rumah Sakit St. Vinsensius, yang didirikan oleh Canon Peter Yosef
Triest di Gent pada tahun 1807. Tugas utama mereka adalah menjaga dan merawat kaum
lanjut usia di Panti Jompo Byloke di Gent. Pada tahun 1812, mereka menjadi perintis
dibidang perawatan pasien-pasien yang mengalami sakit jiwa. Beberapa waktu kemudian,
mereka juga aktif melibatkan diri dalam bidang pendidikan dan perawatan anak-anak
cacat. Masyarakat Gent menyebut mereka Bruder Karitas sebagai analogi dengan Suster
Karitas Yesus dan Maria, yang juga didirikan oleh Triest, tepatnya pada tahun 1803. Maka
akhirnya, mereka memilih nama itu sebagai nama resmi. Pada tahun 1865, beberapa Bruder
dikirim ke Kanada dan suatu usulan diajukan untuk menjadikan aturan hidup dan
Konstitusi agar diakui dan disetujui oleh Paus. Persetujuan diperoleh pada tahun 1888.
Pada tahun 1911, misionaris dikirim ke Kongo. Meskipun mereka berada ditempat tugas,
mereka tetap setia pada tradisi karya apostolik mereka, yaitu pendidikan, perawatan pasien
yang mengalami sakit jiwa dan orang-orang cacat. Hal ini sangat mengesan bahwa Triest
dapat melihat suatu hubungan dengan St. Vinsensius A Paolo, sejak semula ia telah
memilih nama Bruder Rumah Sakit St. Vinsensius A Paolo bagi para Brudernya. Ia juga
mengacu pada St. Yohanes Baptis de la Salle dengan menerima metode-metode

| 29
pengajarannya. Pada saat yang bersamaan, ia juga memperkenalkan unsur-unsur dari
dunia religius kontemplatif: para Brudernya menerima jubah sama dengan jubah yang
dimiliki oleh para Bruder awam dari Trappist dari Westmalle dan Superior Jendral pertama,
Bernardus de Noter secara berangsur menambahkan kebiasaan-kebiasaan dan tradisi
kehidupan membiara bagi anggota Kongregasi. Jadi, Triest mengembangkan sebuah model
baru hidup membiara, dengan berusaha memadukan hidup kontemplatif dengan hidup
yang lebih aktif.
Dengan kegagalan rencananya untuk menggabungkan Kongregasi pertamanya,
Suster Karitas Yesus dan Maria, kedalam Kongregasi Putri Kasih St. Vinsensius A Paolo, ia
langsung mengajukan permohonan pengakuan Uskup dan menambahkan unsur-unsur
hidup membiara dalam pola hidup para Suster dengan memperkenalkan seorang mantan
Suster Cistercian kepada mereka. Hal ini akan menjadi model yang akan ia ikuti dalam hal
pengorganisasian hidup Bruder Karitas.
Kongregasi Bruder lain yang dengan cepat masuk ke Belgia untuk mengorganisasi
pendidikan adalah Kongregasi Saudara Maria, atau Bruder Marist. Kongregasi ini didirikan
oleh Marcellin Champagnat (1789 – 1840) di La Valla (Perancis), Champagnat adalah
anggota dari Serikat Maria, yang ia dirikan bersama-sama beberapa imam lain, tetapi ia
sangat tersentuh melihat keadaan sistem pendidikan yang memprihatinkan. Dengan
kurang lebih meniru model St. Yohanes Baptis de la Salle, ia mengumpulkan sekelompok
pemuda yang dididik sebagai guru.
Pada tahun 1824, kelompok ini diakui sebagai komunitas religius oleh Uskup Agung
Lyon. Champagnat tetap menjadi Superior Jendral mereka sampai 1839, pada tahun itu
Bruder-Bruder tersebut memilih Superior Jendral mereka sendiri yang mengakibatkan
mereka sungguh terlepas dari Serikat Maria. Champagnat bertanggung jawab atas
pengembangan metode pendidikan dimana ia mengutamakan pentingnya suatu suasana
kekeluargaan di sekolah-sekolah. Ia juga menganjurkan para Brudernya untuk berdevosi
secara mendalam pada Bunda Maria.
Pada tahun 1823, seorang imam bernama Deshayes mendirikan Kongregasi Bruder
St. Gabriel. Tetapi asal usul mereka sesungguhnya, sejak awal abad ke 18 ketika didirikan
oleh St. Louis Grignon de Montfort (1673 – 1716) sebagai le Compagnie de Marie yang terdiri
dari para imam dan juga para Bruder. Pada waktu itu, kelompok ini memiliki 9 anggota: 5
imam dan 4 Bruder, tetapi kelompok ini gagal. Kelompok ini akhirnya didirikan kembali
oleh Gabriel Deshayes pada tahun 1823 dan dari kelompok baru ini mereka dapat
berkembang menjadi Kongregasi yang sesungguhnya pada tahun 1830. Para Bruder
memilih St. Gabriel sebagai pelindung sedangkan para imam berkembang menjadi
kelompok para imam Montfortian. Pada tahun 1842 para Bruder St. Gabriel mendapat
pengakuan secara resmi sebagai Kongregasi Bruder yang mandiri. Gabriel Deshayes juga
pendiri Bruder Pendidikan Kristiani dari Ploërme di tahun 1816.
Pada tahun 1903 karena adanya serentetan hukum yang melarang Kongregasi di
Perancis, para religius tidak dapat melaksanakan karya apostolik mereka, hal ini
menyebabkan banyak Kongregasi berkarya ke luar negeri, bahkan Novisiat dan
administrasi pusat juga dipindahkan ke negara-negara di sekitar. Ini merupakan salah satu

| 30
alasan mengapa Kongregasi-kongregasi Bruder yang berasal dari Perancis memiliki ciri dan
wawasan internasional.
Kembali ke Belgia. Pada tahun 1830 Rm. Etienne Modest Glorieux mendirikan
Bruder Budi Mulia. Pada waktu itu, ia adalah kurator di Renaix. Kelompok Bruder setempat
ini, yang sebagian besar aktif dibidang pendidikan bertumbuh secara perlahan. Di tahun
1880, administrasi mereka dipindahkan ke Oostakker dekat Gent dan nama mereka diganti
menjadi Bruder Bunda Kita dari Lourdes, sebagai referensi terhadap tempat ziarah yang
berada didekatnya di Oostakker-Lourdes. Kongregasi ini juga berkembang menjadi
Kongregasi Internasional dan diakui sebagai Kongregasi Pontifikal pada tahun 1892.
1839 merupakan tahun yang sangat menguntungkan bagi Kongregasi Bruder. Di
tahun itu tidak kurang dari tiga Kongregasi Bruder didirikan di Belgia saja. Meskipun harus
diingat bahwa setelah Belgia menjadi negara merdeka pada tahun 1830, hal ini
mempermudah untuk mendirikan komunitas religius. Undang-undang dasar menjamin
kebebasan untuk berkumpul dan kebebasan beragama.
Rm. Van Daele dari St. Niklaas mengumpulkan beberapa pemuda saleh yang ia beri
tanggung jawab untuk merawat anak-anak yatim di rumah piatu panti asuhan St. Jerome
Emiliani. Ini adalah awal dari Kongregasi Bruder Hieronimus. Mereka mengkhusukan diri
dalam bidang pendidikan. Tetapi, pada tahun 1849 sebuah keputusan dibuat untuk
mendirikan suatu Rumah Sakit Jiwa yang diresmikan pada tahun 1852. Pada tahun 1871
suatu Kongregasi kecil Bruder setempat dari Hamme Bruder St. Dominikus
menggabungkan diri dengan Kongregasi Bruder Hieronimus. Hal ini kemudian terjadi dua
kali lagi, pada tahun 1901, Bruder St. Dominikus dari Lokeren dan pada tahun 1946
Kongregasi Yohanes De Deo sebuah Kongregasi yang didirikan oleh Canon Triest pada
tahun 1824 untuk menangani perawatan rumah tangga. Kongregasi Bruder Hieronimus
tetap menjadi Kongregasi Keuskupan.
Rm. Theodore James Rycken mendirikan Kongregasi Bruder Xaverian di Bruges.
Mereka berkarya dalam bidang pendidikan bagi anak-anak kelas buruh dan untuk
mengirim Bruder bertugas di Amerika Serikat. Mereka menjadi sebagai Kongregasi
Pontifikal pada tahun 1927.
Kongregasi Bruder Bunda yang Berbelaskasih didirikan di Mechlin pada tahun 1839
oleh Mgr. Victor Scheppers. Karya perutusan mereka antara lain menjenguk para
narapidana dan mendidik anak-anak kelas buruh. Pada tahun 1847 aturan hidup dan
konstitusi mereka diakui dan disetujui oleh Paus. Pada tahun 1854, Paus Pius IX
mengundang mereka ke Roma untuk merawat orang sakit dan orang jompo.
Tarekat Bruder Religius juga datang ke Belgia dari Belanda untuk melaksanakan
karya apostolik. Kita mengacu pada seperti misalnya: Kongregasi Bruder Bunda yang
Berbelaskasih yang juga dikenal sebagai Bruder CMM.
Di negeri Belanda 14 Kongregasi Bruder masih aktif sampai sekarang. Enam dari
antaranya berasal dari luar negeri: Bruder Sekolah Kristiani, Bruder Marist, Bruder Karitas,
Bruder Bunda Kita dari Lourdes (meskipun orang Belanda mengenalnya sebagai Bruder
dari Dongen), Bruder Karitas dari Yohanes De Deo dan Bruder Fransiskan. Kedua
Kongregasi terakhir didirikan di Jerman. Kongregasi Bruder tertua adalah Penitents yang

| 31
didirikan oleh Daniel de Brouwer pada tahun 1697. Daniel de Brouwer adalah anggota dari
Ordo ketiga St. Fransiskus maka dari itu para Brudernya menjalankan spiritualitas
Fransiskan. Pada tahun 1742 Bruder Penitents menetap di Boekel dimana mereka membeli
Rumah Padua yang digunakan untuk menerima dan merawat orang-orang cacat mental
dan para pasien sakit jiwa. Kongregasi ini tidak diakui sampai tahun 1871. Mereka menjadi
panutan penting dalam bidang perawatan para pasien sakit jiwa di negeri Belanda.
Pada tahun 1840 dua lagi Kongregasi para Bruder didirikan: Bruder Maastricht oleh
Mgr. Rutten dan Br. Bernard Hoecken, dan Bruder St. Aloysius Gonzaga di Oudenbosch.
Kedua Kongregasi tersebut mengkhususkan diri dibidang pendidikan, pertama di negeri
Belanda kemudian di Indonesia. Pada tahun 1844, Mgr. Zwijsen dari Tilburg mendirikan
Bruder Bunda kita dan tidak lama setelah itu Bruder yang Berbelaskasih yang dikenal
sebagai Frater dari Tilburg. Mereka mengkhususkan diri dalam bidang pendidikan biasa
dan luar biasa dan bertumbuh ke taraf internasional. Mereka mendapat pengakuan dari
Paus pada 1861.
Pada tahun 1850-an, dua Kongrergasi baru terbentuk: Bruder Bunda Tujuh Duka
Cita, yang didirikan oleh Rm. Hesseveld di Amsterdam pada tahun 1851 yang aktif dalam
bidang pendidikan, dan Bruder dari Huijbergen yang didirikan oleh Mgr. Van Hooydonck
di Huijbergen pada tahun 1854. Mereka juga aktif dalam bidang pendidikan.
Pada tahun 1873, Mgr. Schaepman mendirikan Bruder Bunda Hati Kudus di Utrecht.
Mereka mengembangkan karya apostolik dalam bidang pendidikan. Pada tahun 1928
mereka menetap di Indonesia. Yang terakhir, pada tahun 1875, Mgr. Savelberg mendirikan
Bruder St. Yoseph di Heerlen yang aktif dibidang layanan kesehatan. Bila melihat Tarekat
Religius Bruder dari sudut pandang internasional, suatu pembedaan dapat dibuat antara
Kongregasi yang telah berkembang menjadi komunitas internasional dan Kongregasi yang
tetap lokal atau didaerah setempat. Ada 33 Kongregasi yang diakui ole Vatikan, yang
terbesar diantaranya yaitu Bruder Sekolah Kristiani setelah itu Bruder Marist (lebih dari
5000 anggota). Kemudian setelah itu Kongregasi yang menengah yang anggota-anggotanya
berkisar antara 500 dan 1000 orang. Beberapa contoh anggota kelompok ini yang
terpenting adalah Bruder Kristiani (Irlandia), Bruder Ploërmel (Perancis), Bruder Hati
Kudus (Perancis) dan Bruder dari St. Gabriel (Perancis). Diantara kelompok Kongregasi
yang beranggotakan sekitar 500 orang terdapat Bruder dari Maastricht (Belanda), Frater
dari Tilburg (Belanda) dan Bruder Karitas (Belgia). Selain dari 33 Kongregasi yang telah
diakui Vatikan ini, ada banyak Kongregasi lokal Para Bruder yang diakui secara daerah
(Keuskupan). Dan sehubungan dengan para Bruder, kita tidak boleh melupakan mereka
yang termasuk dalam Ordo Klerus dan Kongregasi, yang tinggal di biara dan Serikat.
Berdasarkan statistik yang diterbitkan pada tahun 2001, berikut adalah beberapa
data kira-kira: dari jumlah total 985.906 kaum religius di seluruh dunia terdapat 792.317
kaum religius wanita, 138.619 imam religius dan 54.970 Bruder religius. Dari 54.970 Bruder-
Bruder religius ini 21.000 merupakan anggota Tarekat Bruder Religius Kepausan.
Dengan kata lain, kelompok terakhir ini mewakili 38% dari seluruh kelompok para
Bruder dimana seluruh kelompok Bruder-Bruder mewakili 28% dari semua religius pria
dan 0.05% dari seluruh jumlah kelompok religius.

| 32
Singkatnya, para Bruder tetap menjadi minoritas dalam kelompok religius, tetapi
sebuah minoritas dengan yang terpisah dan memiliki profil serta identitas yang jelas.
Menurut sejarahnya, kita dapat melihat bahwa sebagian besar Tarekat didirikan
oleh imam-imam pedesaan yang ingin memenuhi kebutuhan khusus dari daerah
bersangkutan, khususnya di bidang pendidikan. Mereka mencari solusi, yang mereka
temukan dengan cara mengumpulkan beberapa pemuda awam beriman. Sebagian dari
kelompok-kelompok tersebut tetap aktif hanya didaerahnya saja sedangkan sebagian
berkembang ke seluruh dunia. Tarekat yang anggotanya hanya orang-orang Barat sedang
mengalami krisis yang parah dan jumlahnya semakin berkurang. Hanya Tarekat yang juga
aktif dibelahan dunia Selatan dan Timur yang mengalami kestabilan bahkan pertumbuhan.
Mereka mungkin mengambil kesimpulan bahwa tujuan atau obyektif Kongregasi-
Kongregasi tersebut tetap relevan di masa kini.
Terakhir, kita sebaiknya juga membahas sedikit mengenai gerakan-gerakan baru
yang didirikan yang banyak dari antaranya bersifat awam. Kita belum dapat
menganggapnya sebagai bagian dari Tarekat Religius Bruder, tetapi beberapa mungkin
akan berkembang ke arah itu dan juga mungkin akan diakui di masa mendatang. Sebagian
besar diantaranya mencari suatu keseimbangan antara kehidupan kontemplatif dan
apostolik, serta mengambil sikap pewartaan yang kuat. Mereka menciptakan gambaran
atau profil baru untuk hidup bakti yang kita kenal sekarang, tetapi bersamaan dengan itu
mereka bergantung pada unsur-unsur tradisional kontemplatif, hubungan communion dan
mission. Mereka memilih untuk lebih menyolok di dunia, sedangkan kelompok-kelompok
yang sudah ada lebih cenderung untuk tidak menonjolkan diri. Kontemplasi dan
communio mendapat prioritas lebih tinggi dibandingkan misi mereka, sedangkan
kelompok-kelompok yang sudah ada cenderung untuk lebih mementingkan apostolik dan
misi mereka. Adalah hal yang baik untuk mempertemukan kelompok-kelompok baru ini
dengan kita agar kita juga tergugah untuk menciptakan sebuah profil diri yang lebih nyata
dan distinktif bagi kita. Hal ini akan kita bahas lebih lanjut dalam bab-bab berikut.

| 33
Daftar Pustaka

1. Ackermann, Robert, Les religieux, Paris, Centurion, 1988, pp. 281


2. Agenzia fides, Catholic Church Statistics, Roma , Propaganda Fide, 2004, website
3. Annuario Pontifico, Roma, Libreri Editrice Vaticana, 2003, pp. 2360
4. Blondeel, Edouard, Marcellin Champagnat, un coeur sans frontiéres, Namur,
Fidélité, 1999, pp. 72.
5. Cicatelli, Santo, Vie de Saint Camille de Lellis, Paris, Desclée de Brouwer, 1932, pp.
515.
6. Cornet, Joseph, Leven van de Heillige Jean-Babtiste de la Salle, patroon van alle
opvooders. Groot-Bijgaarden, 1983, pp. 150.
7. De Pue, Jordanus, Geschiedenis Groot Begijnhoof St. Elisabeth Gent en St..
Amandsberg, Leuven, Paters Dominikanen, 1984, pp.56.
8. Deries, L, Les congrégations religieuses au temps de Napoleon, Paris, 1928, pp. 312.
9. Geldhof, J. Pelgrims, dulle lieden en vondelingen te Brugge. Brugge, Psychiatrische
Kliniek Onze-Lieve-Vrouw, 1975, pp. 355.
10. Germain, Elisabeth, La vie consacrée dans l’Eglise, Paris, Médiaspaul, 1994, pp.203.
11. Hohmann, Jan, De Duitse Orde, in Europese Opvoeders, Tianen, 3/84, p. 16 – 18.
12. Hostie, Raymond, Leven en dood van religieuze instituten, Brugge, EmmaÜs, 1972,
pp. 383.
13. Hurel Daniel-Odon, Guide pour l’histoire des ordres et des congrégations
religieuses, France 16-20e siècles. Turnhout, Brepols, 2001, pp. 467.
14. Index personarum curiarum generalium. Roma, Unione Superiori Generali, 2003,
pp. 221.
15. Kaufman, C. F., The History of the Alexian Brothers: Tamers of Death. New York,
Seabury Press, 1976, pp. 234.
16. Le Bras, Gabriel et Gaudemet, Jean, Le monde des religieux – l’époque moderne (1563
– 1789), Paris, Cujas, 1976, pp. 438.
17. Liégeois, Axel, Repertorium van het historisch bezit van ke Katholieke
Psychiatrische
18. Instellingen in Vlaanderen. Leuven, Acco, 1984, pp. 194.
19. Mahler, M., Schetsen uit de geschiedenis en de spiritualiteit van de monniken.
Oosterhout, St. Paulusabdij, 1980, pp. 120.
20. Post, Dr. R. R., De geschiedenis van de oude Kerk, in Handboek van de
Kerkgeschiedenis. Utrecht, Dekker en Van de Vegt, 1962, p. 139 – 140.
21. Smet, Dirk, Stichters historisch bekeken, in Stichters, eigen aan de tijd, eigentijds.
Monografie nr. 17, Intercongregationeel Samenwerkingscentrum voor de
Gezondheidszorg, 1995. p. 5 – 43.
22. Stockman, René, De Kerk en het verstoorde leven. Tielt, Lannoo, 1982, pp. 350.
23. Tyck, Charles, Novices historiques sur les congrégation communauté religieuses,
Louvain, Peeters, 1892, pp. 415.
24. Van Doornik, N. C. M., Franciscus van Assisi, een profeet voor onze tijd. Hilversum,
Gooi en Sticht, 1977, pp. 181.

| 34
25. Van Vugt, Joos, Brothers at work. Nijmegen, Valkhof, 1996, pp.. 126.
26. Vanmaldeghem, A.., Congregatie Onze-Lieve-Vrouw-visitatie te Gent, Visitatie,
1984, pp. 264.
27. Vicaire, M., H., Dominicus. Brugge, Desclée de Brouwer. 1957, pp. 245.

Diambil dari : http//: bruderkaritasindonesia.blogspot.com

| 35
DOKUMEN BERSAMA PARA PIMPINAN GENERAL KONGREGASI BRUDER

PANGGILAN HIDUP BAKTI BRUDER

Teks ini disusun bersama oleh Panitia yang anggotanya adalah para PEMIMPIN GENERAL
KONGREGASI PARA BRUDER SEDUNIA, Roma 1991

© hak cipta ada pada Panitia Pemimpin General Kongregasi 1991

Para Pemimpin General dari Kongregasi Bruder:

Bruder Santa Perawan Maria Belas Kasih (FDM)


Bruder Keluarga Kudus (PSF)
Bruder Karitas (FC)
Bruder Santo Yusuf Cottolengo (FSGC)
Bruder Santo Gabriel (FSG)
Bruder Pengajar Kristiani dari Ploermel (FICP)
Bruder Marist (FMS)
Bruder Sekolah Kristiani (FSC)
Bruder Hati Kudus Yesus (SC)
Bruder SP Maria yg terkandung tak bernoda (FIC)
Bruder Santo Yohanes de Deo (FBF)
Frater SP Maria Bunda Belas Kasih (CMM)

CATATAN:
Dokumen ini secara khusus berisi tentang hidup panggilan bruder dalam tarekat yang
anggotanya semuanya bruder, yang dibahas dalam dokumen ini adalah identitas dari
bruder dalam tarekat yang anggotanya semua bruder.
Perlu diketahui bahwa ada bruder yang berada dalam tarekat imam yang juga disebut ordo
/ kongregasi / tarekat CAMPURAN di mana ada anggota imam dan bruder.

| 36
KATA PENDAHULUAN

Panggilan menjadi bruder tidak perlu selalu dipahami secara tepat, bahkan tidak dipahami
pula oleh mereka yang paling dekat dengan kita. Telahbeberapa tahun lamanya kami
berniat menyusun suatu publikasi mengenai panggilan bruder yang khusus itu, suatu
publikasi yang disamping bermakna bagi kita sendiri, akan berharga juga bagi Gereja
umumnya.

Menyusun dokumen serupa itu menimbulkan sejumlah masalah: dokumen itu harus
terarah kepada orang-orang yang amat berbeda kebudayaan dan perasannnya, harus
memberikan suatu gambaran umum tentang kehidupan para bruder, dengan
mengesampingkan segala aspek khusus, yang di wilayah-wilayah khusus tertentu
merupakan kekhasan kehidupan ini; harus menyediakan informasi dan penjelasan, namun
harus tetap singkat juga. Tugas semacam itu sungguh-sungguh, merupakan suatu
tantangan, dan kami berterimakasih kepada mereka yang bersedia menanggung
penyusunannya.

Pada masa sekarang, masyarakat mengalami perubahan-perubahan yang mendalam,


penuh dengan janji bagi umat manusia. Sayang bahwa perubahan-perubahan itu tidak
selalu memenuhi harapan yang ditimbulkannya. Meskipun demikian, ada juga tanda-tanda
penuh harapan: di mana-mana di dunia ini terasa adanya kebutuhan akan kesatuan dan
kesetiakawanan. Sekarang ini, Tuhan memanggil kita, agar kita bersama orang lain, dan
setiap orang sesuai dengan bakatnya sendiri, menanggapi kebutuhan-kebutuhan itu, sama
seperti Tuhan pernah memanggil para pendiri tarekat kita. Kita sungguh yakin bahwa
panggilan kita merupakan jawaban atas kebutuhan dunia, dengan cara kita menampilkan
diri sebagai bruder: dalam pelayanan kasih atas nama yesus; maka dengan apa saja yang
ada pada kita dan dengan apa saja yang dapat kita lakukan, kita memberikan kesaksian
tentang kemungkinan adanya suatu persaudaraan dalam dunia yang terpecah-belah ini.

Berdasarkan pengalaman pribadi, kita tahu betapa suburnya hidup kita, dan betapa
besarnya kepekaan di antara pria dan wanita pada zaman sekarang ini terhadap panggilan
bruder. Meskipun demikian, masih terdapat beberapa orang yang sulit memahami bahwa
bruder dapat memperkembangkan diri seutuhnya, bahwa kita menemukan identitas kita
sesungguhnya sebagai bruder tanpa harus menjadi imam, karena kehadiran dan
pengutusan bruder di dalam dunia, karena relasi-relasi para bruder yang berdasarkan
persaudaraan.

Cara pergaulan bruder dengan setiap orang di mana-mana, ditandai dengan kesederhanaan
dan kebebasan, merupakan pengakuan tentang martabat setiap pribadi, dan tentang
persekutuan yang ada di antara semua anggota Gereja. Dengan demikian, hidup para
bruder memberikan kesaksian mengenai apa yang menjadi inti hidup religius. Seorang
Yesuit ternama pernah mengtakan di tengah suatu percakapan akrab, “Hanya Bruder yang

| 37
dengan cara yang tak dapat disalah-tafsirkan memberikan kesaksian tentang arti hidup
religius itu. Jika seorang menjadi iman religius (dalam kongregasi) maka orang cenerung
melihatnya sebagai seorang imam,lebih daripada sebagai seorang religius. Kehidupan
religius Suster dan Monial menjadi kentara bagi setiap orang, setidaknya dalam situasi
Gereje sekarang ini, mereka tidak dapat menuntut imamatnya. Religius Bruder adalah
orang yang di antara segala kemungkinan yang terbuka baginya, memilih suatu bentuk
kehidupan di dalam Gereja, hanya sebagai religius saja. Siapa saja yang ingin mengerti
apakah sebenarnya hidup religius itu, harus melihat kepada para bruder”.

Publikasiini kami persembahkan kepada Anda dengan harapan semoga sungguh bernilai
bagi Anda dan bagi orang lain yang Anda ajak ikut membacanya, sehingga publikasi ini
akan memrupakan suatu sumbangan demi pengertian yang lebih baik serta demi
penghargaan yang lebih besar terhadap panggilan Bruder.

| 38
KATA PENGANTAR

Para religius wanita (suster) dan para religius awam pria (bruder) merupakan kelompok
yang agak besar dalam Gereja, jumlahnya hampir satu juta orang, terdiri dari 7 % bruder
dan 93 % suster. Mereka melanjutkan pengutusan Yesus di dunia 1) dengan cara
menjadikan hal mengikuti jejak Kristus sebagai aturan hidup yang paling luhur bagi
mereka 2)

Mengenai cara hidup para religius itu, Konsili Vatikan mengatakan, sebagai berikut,
“Hidup religius awam (bruder) sungguh lengkap dalam dirinya. Merumuskannya dengan
apa yang merupakan kekurangannya berarti bahwa kita sama sekali tidak memahami
alasan hidup religius awam. 4)

Paus Joannes Paulus II mengatakan sendiri, “Saya yakin bahwa bentuk hidup relgius ini
(bruder), yang dalam sejarah selalu amat berjasa besar bagi Gereja, pada zaman ini masih
amat sangat sesuai bagi tantangan kerasulan baru yang dihadapkan pada pewartaan Kabar
Gembira” 5)

Kutipan-kutipan ini dapat membantu dalam mengoreksi sikap yang lebih kurang umum
tentang para bruder, yang dipandang sebagai suatu bentuk bastar (hibrida): Bruder
dipandang bukan imam, bukan awam, melainkan setengah-setengah, yang tidak lengkap.
Sebenarnya, hidup religius awam pria (bruder) tidak selalu dimengerti baik di dalam
Gereja, tidak oleh hirarki, tidak juga oleh kaum awam. Kami para bruder sendiri pada masa
lampau kadang-kadang lebih berusaha membela hidup itu daripada memperdalam
pemahanan /pengertian (secara teologis dsb) dari hidup panggilan sebagai bruder.

Hidup Bruder mempunyai arti dan isinya sendiri, sehingga seorang bruder mengatakan,
“Saya seorang awam karena saya telah mengatakan suatu pilihan positif. Dengan kata lain:
saya ini awam bukan karena tidak boleh menjadi imam, melainkan karena saya mau tetap
awam. Pilihan positif yang sama itu berarti bahwa saya senang sebagai seorang bruder
sederhana. Saya tidak merupakan seorang BUKAN imam seperti seorang imam tidak
merupakan seorang BUKAN awam” 6) Maka, ada bentuk hidup panggilan yang memilih
tetap awam. Berhubungan dengan ini, kita baca dalam Lumen Gentium: Sambil
memperhatikan struktur ilahi dan hirarki Gereja, status ini bukannya status tengah antara
klerus dan awam. Dari kedua pihak, sejumlah orang beriman dipanggil Allah supaya
menikmati anugerah khusus dalam hidup Gereja, dan supaya masing-masing dengan
caranya sendiri, berguna bagi pengutusan keselamatan yang diemban Gereja” 7)

Lagi pula, Kitab Hukum Kanonik menyatakan: “Menurut sifatnya, status hidup religius
tidak bersifat klerikal (tahbisan) atau pun awam”. 8) Maka, janganlah memandang hidup
religius dengan memikirkan panggolongan, pemangkatan, atau promosi, hal yang mudah
menjadi kecenderungan manusia. Kiranya orang menganggap keadaan menjadi normal

| 39
bahwa terdapat imam dalam hidup religius (membiara), dan tiada seorang pun heran
tentang hal itu. Namun, sering terjadi bahwa orang belum mengerti mengenai tarekat
religius awam pria (hanya beranggotakan bruder)..

Panggilan hidup religius awam merupakan salah satu anugerah Allah kepada Gereja; dan
bagi mereka yang telah menerima panggilan itu, hidup relgius awam itu sungguh penuh
arti dalam dirinya sendiri. Tugasnya yakni meneruskan karya keselamatan Yesus di dalam
Gereja dan dunia: “Supaya orangbuta dapat melihat, orang lumpuh dapat berjalan…. Dan
supaya Kabar Gembira Injil dapat diwartakan kepada kaum miskin. 9)

Oleh karena itu, terdapat orang yang menemukan dalam hidup religius, suatu bentuk
hidup Kristiani yang paling sesuai dengan mereka, dan hidup tsb dapat menambahkan
daya hidup pada baptisan sebagai kaum awam, yakni dengan mempersembahkan dirinya
kepada Tuhan (kemudian diberi istilah teologis PANGGILAN HIDUP BAKTI), dan dengan
merelakan dirinya secara menyeluruh bagi pengutusan gerejawi, yang secara konkret
ditetapkan oleh karisma kongregasi atau ordonya.

1. PERKEMBANGAN HIDUP RELIGIUS AWAM DALAM GEREJA MENURUT


SEJARAH

Sesudah pengalaman Pantekosta, para anggota persekutuan Kristiani perdana


mengamalkan hidup menurut Injil, dengan hidup dalam persekutuan, bersatu erat terarah
kepada Tuhan, dan dalam suasana persaudaraan. Kasih persaudaraan harus menjadi
pedoman, yang menyatakan bahwa mereka menampilkan diri sebagai umat Kristiani,
sebagai murid Yesus. Maka, hal itu selalu menjadi teladan otentik mengenai hidup religius:
dalam persekutuan mempraktekakan ajaran Yesus, dengan Sabda Bahagia sebagai acuan
bagi hidup pribadi dan hidup bersama.

Para angngnota persekutuan Gereja perdana disebut ‘santo’, ‘murid’, ‘yang dipanggil’,
‘saudara’. Mereka dipilih oleh Kristus, dan menajdi umat yang ditandai oleh cara mengikuti
Yesus. Begitulah Gereja dilahirkan, dicurahi sepenuhnya dengan Roh Pantekosta.
Berhubungan dengan ini, teks Alkitab 1 Petrus 2: 9 sangat berarti, yaitu teks yang
digunakan dalam bab 2 Lumen Gentium sebagai titik tolak: “tetapi, kamulah bangsa
terpilih, imamat rajawi, bangsa yang kudus, umat kepunyaaan Allah sendiri, supaya kamu
memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil kamu
keluar dari kegelapan kepada terangnya yang ajaib”. Berdasarkan teks itu, Lumen Gentium
terus memperkembangkan kesatuan umat Allah yang sama itu, dengan cara mendasarkan
kesatuan itu atas panggilan bersama yang diterima oleh semua umat dalam sakaramen
baptis dan krisma, dan atas pengikutsertaannya dalam jabatan rangkat tiga Kristus, yaitu
jabatan imam, nabi dan raja. Dalam Gereja Purba, rasa terpanggil dianggap sebagai prinsip
dasar.

| 40
Sejak permulaan, Gereja, di dalamnya terdapat bermacam-macam cara pelayanan dalam
Gereja, dan bermacam-macam bentuk tanggungjawab, baik dalam hubungan dengan
struktur hirarkinya maupun dengan karisma-karisma dan jabatan yang bermacam-macam,
maka Gereja menjadi tempat yang memberikan keleluasaan kepada daya pendorong batin
dari Tuhan dan dari RohNya. Semua jabatan gerejawi yang dipandang sebagai pelayanan
hirarkis dan karismatis mempunai arti sendiri sepenuhnya dalam Gereja Purba, tanpa
pertentangan antara keduanya itu. 10)

Sejak permulaan, kita memandang Gereja sebagai umat Allah, yang susunannya ditentukan
oleh jabatan-jabatan yang diadakan, jika kebutuhan kebutuhan baru harus dipenuhi. Baru
dalam surat St. Klemens (40: 6) timbullah kata laikos (awam) untuk mendefinisikan orang
beriman yang biasa dan untuk membedakannya dari pemangku jabatan yaitu klerus
(imam). Agaknya hal itu membuktikan adanya suatu Gereja yang dalam keseluruhannya
berjabatan, dan yang terdiri dari beberapa persekutuan yang disusun, dibimbing dan diberi
inspirasi oleh suatu kewibawaan yang berwewenang.

Meskipun sejak permulaaan terdapat bentuk-bentuk tertentu hidup bagi Tuhan dalam
Gereja. 11) namun nidup religius seperti yang kita hayati, baru timbul ketika kekuatan
Pantekosta yang seharusnya menggerakkan manusia untuk kembali kepada yang hakiki
dan fundamental dalam Gereja telah padam. Hidup Religius tidak perlu lagi ketika “semua
orang Kristiani merupakan religius”. 12)

Namun, ketika hidup religius muncul, peristiwa itu terjadi dalam latar-belakang awami.
Hidup religius itu cocok dengan kata “laikos” yang berarti “orang yang hidup bagi Tuhan”,
yang dibedakan dari orang profan. Orang religius awam merupakan orang yang dipanggil
untuk hidup bagi Tuhan, yang dipilih untuk mengikuti Yesus, yang telah menyatakan
kesanggupannya untuk menjadi tanda dan sakti “kesucian bagi dunia”. 13) Paus Joannes
Paulus II telah menyatakan, “Hidup religius telah didirikan dalam bentuk awaminya yang
khas. Hidup itu timbul dari kerinduan sekelompok orang Kristiani yang beriman untuk
menuai buah yang semakin berlimpah dari rahmat pembaptisan, dan supaya mereka,
dengan jalan mengikrarkan prasetia / kaul Injili, dapat membebaskan diri dari rintangan
yang mungkin dapat menjauhkan mereka dari cinta yang menyala dan dari kesempurnaan
pembaktian ilahi” 14)

Sebagai kepastian sejarah, telah ditentukan bahwa hidup religius awam telah terjadi
sebelum timbul segala bentuk hidup religius yang lain. Oleh karena itu, telah dikatakan
bahwa hidup religius awam merupakan hidup religius yang sebenarnya. Juga berarti bahwa
bentuk-bentuk hidup religius awam tertentu timbul pada saat-saat dibutuhkan dalam
sejarah Gereja dan msyarakat. Hal itu terjadi misalnya dengan Ordo Fransiskan pada abad
ke 13, Kongregasi Bruder St. Yohanes de Deo pada abad ke 16, Bruder Sekolah Kristiani pada
abad ke 17, dan sejumlah besar kongregasi bruder yang mengabdikan diri pada pendidikan
Kristiani pada abad ke 19. Kami dapat menambah jumlah itu dengan berbagai kongregasi

| 41
yang didirikan pada akhir-akhir ini, begitu pula penemuan kembali hidup monastic awam
(biara pertapaan awam).

Jika kita boleh menentukan bahwa perkembangan hidup religius awam merupakan suatu
bukti kekuatan dan kebebasan Roh yang dinyatakan sepanjang abad dalam kehidupan
Umat Allah. Maka kita dapat menentukan juga bahwa dalam zaman itu terjadilah juga
keadaan sukar, ketidak pastian, dan ancaman.

Meskipun hidup religius awam mengembangkan semangatnya sendiri dalam Gereja dan
dalam dunia, namun para bruder tidak selalu mengetahui bagaimana mereka harus
mendudukkan tempatnya yang layak dalam Gereja dan masyarakat itu. Setiap persekutuan
Kristiani, juga setiap persekutuan religius, berada dalam suatu proses pertumbuhan dan
perkembangan. Hal itu berlangsung juga dengan persekutuan-persekutuan Gereja
perdana. Lama-kelamaan mereka harus belajar mengarahkan diri kepada Injil, dengan
risiko membuat kesalahan, seperti dibuktikan dalam Kisah Para Rasul, dalam naskah-
naskah apokrif,dan dalam naskah-naskah antara zaman kedua Kitab Perjanjian lama dan
baru. Mengarahkan diri kepada Injil berarti turut serta dalam proses penginjilan kembali
atau pengkristenan kembali. Jika kita memperhatiakan perkembangan hidup religius
melalui seluruh sejarah, maka kita dapat membedakan tiga macam bahaya yang telah
dialami dan juga setiap saat bias terjadi kembali.

- KECENDERUNGAN AKAN SAKRALISASI RELIGIUS AWAM. Kecenderungan itu


muncul sejajar dengan proses klerikalisasi dalam Gereja, yang menyebabkan bahwa
jabatan tahbisan telah diberi prioritas. Kecenderungan klerikalisasi ini pernah terdapat
juga dalam hidup bruder, mula-mula dalam hidup monastic (biara kontemplatif),
kemudian juga dalam bentuk tertentu dari hidup bruder yang pernah mulai dalam
bentuk ke arah semakin secular. Soal kekurangan imam mendorong beberapa religius
awam / bruder untuk merelakan diri bagi tugas imamat itu. Beberapa kongreegasi
religius yang mengabdikan diri pada kerasulan, mengambil alih beberapa aspek
kehidupan monastic. Sebenarnya, sejarah memperlihatkan bahwa izin adanya bruder
anggota kongregasi menerima tahbisan imamat itu demi pelayanan persekutuan para
bruder itu sendiri, menyebabkan klerikalisasi kanonik dari ordo dan kongregasi yang
dari dahulu mulai dalam bentuk religius awam. Mungkinkah sekarang ini juga,
meskipun dengan segala upaya pencegahan, bahwa terjadi suatu gejala yang kini
disesali dalam kongregasi yang kemudian menyebut dirinya klerikal, yaitu bahwa
mereka tidak dapat kembali kepada keadaan awal mereka sebagai kongregasi religius
awam, karena kekuatan tradisi yang mengubah status legal mereka?

- KECENDERUNGAN AKAN SEKULARISASI. Keterkaitan pada kegiatan profan dan


suasana masyarakat masa kini membawa serta bahaya sekularisasi terus menerus dari
hidupnya. Bahkan ada bahaya bahwa mereka akan kehilangan alasan hidupnya sendiri,

| 42
jika mereka kehilangan motivasi panggilannya, yang merupakan dasar, baik dari
identitasnya maupun dari kegiatannya.

- KECENDERUNGAN AKAN PROFESIONALISME. Kecenderungan ini muncul dari apa


yang telah dikatakan di atas ini. Jika religius awam tidak menyadari lagi tujuan-tujuan
yang mendasari penggilannya, maka dapat terjadi bahwa ia akan mencari dan
menemukan kepastian dan kebahagian pribadinya dalam kemahiran jabatan, yang
mungkin untuk sementara dapat memberikan arti kepada hidupnya. Jika seorang
bruder tidak lagi melihat kenyataan panggilan yang mendorongnya untuk memilih
hidup religius awam, maka bruder itu dengan mudah dapat sampai terhanyut dalam
suatu krisis identitas, dan krisis itu selanjutnya dapat mengakibatkan ketidap pastian
pribadi. Jika karisma itu telah menyempit menjadi pelaksanaan suatu jabatan atau
hanya suatu kewajiban saja untuk berbuat baik terhadap orang lain, maka panggilan
Roh Kudus yang ingin membaharui segalanya menjadi kabur. Okarena itu, dalam
peredaran sejarah oleh penyelenggaraan ilahi, tampillah pembaharu-pembaharu
bijaksana, kapitel-kapitel pembaharuan diadakan, dan Tuhan membangkitkan
bermacam-macam orang PENDIRI baru.

Gereja telah menyadari bahwa karisma awam juga terkena risiko penyimpangan. Jika
Gereja berbicara tentang kemungkinan untuk mentahbiskan beberapa anggota bruder bagi
liturgy dan pelayanan sakamen dalam intern kongregasi, maka secara tak disadari ia
mendorong agar sifat khas religius awam menjadi kurang tegas. “Konsili Suci menegaskan
bahwa tidak ada halangan dalam persekutuan para bruder, yang tetap memertahankan cirri
khas awamnya, berdasarkan keputusan kapitel umum, beberapa anggota bruder diberi
tahbisan suci, untuk memenuhi kebutuhan pelayanan imama di dalam komunitas-
komunitas mereka”. 15)

Kongregasi-kongregasi bruder yang memasukkan imamat (dengan mentahbiskan


beberapa orang brudernya), telah melakukan hal itu dengan penuh kewaspadaan.

2. BEBERAPA BENTUK HIDUP RELIGIUS AWAM DALAM GEREJA PADA MASA


SEKARANG

Seperti telah diuraikan di depan, hidup religius / membiara dalam Gereja timbul dalam
lingkungan awam. Tetapi kami merasa perlu untuk menjelaskan bahwa terdapat dua
macam kaum awam:

KAUM AWAM DI DALAM DUNIA, yang di dalam naskah Konsili Vatikan dirumuskan
sbb.: “Semua orang Kristiani selain anggota imamat tahbisan dan status biarawan, yang
disahkan oleh Gereja, yakni umat beriman yang dipersatukan dengan Kristus oleh

| 43
pembatisan, dilantik sebagai umat Allah dan turut serta dengan caranya sendiri dalam
tugas kristus sebagai imam, nabi dan raja, lalu melaksanakan pengutusan seluruh umat
Kristiani dalam Gereja dan dalam dunia sesuai dengan tanggungannya”. 16)

“Berdasarkan panggilan khasnya, awam bertugas mencari Kerajaan allah dengan


mengusahakan hal-hal duniawi dan mengaturnya sesuai dengan kehendak Allah. Mereka
hidup dadlam dunia, yakni dalam semua dan dalam setiap jabatan serta kegiatan dunia,
dan dalam situasi hidup keluarga dan hidup kemasyrakatan yang biasa, yaitu situasi yang
meresapiseluruh keberadaan mereka. Di sana mereka dipanggil Allah agar – sambil
menjalankan tugas khasnya dibimbing oleh semangat Injil – mereka menyumbang bagi
pengudusan dunia dari dalam laksana ragi”. 17)

KAUM AWAM YANG MEMBAKTIKAN DIRI KEPADA ALLAH, yang terdiri dari dua
kelompok yang berbeda::

Religius awam laki dan perempuan, yang dalam dokumen Konsili Vatikan – Perfectae
Caritatis 1 dan 10 dilukiskan sebagai berikut: “Sejak awal mula Gereja, ada pria dan wanita
yang berhasrat mengikuti Kristus dengan lebih bebas dan mencontohNya lebih dekat
dengan mengamalkan nasehat-nasehat Injil. Mereka menghayati hidup yang dibaktikan
kepada Tuhan, masing-masing menurut caranya sendiri”. “Hidup religius awam baik pria
maupun wanita merupakan suatu status pengamalan nasehat-nasehat Injil yang lengkap
dalam dirinya:

Anggota Institut Sekulir, yang bentuk hidupnya merupakan pengamalan nasehat-nasehat


Injil yang benar dan lengkap di dunia, yang diakui oleh Gereja. 18)

Kedua kelompok awam tsb menghayati status mereka dari titik tolak yang berbeda, yang
mengandaikan bahwa posisinya dalam Gereja juga berbeda. Mengenai relasinya dengan
hirarki, para religius awam, berada pada tingkat yang sama dengan kaum awam lainnya.
Tetapi, sekaligus karena pengabdiannya secara religius, mereka merupakan anggota status
hidup religius, dan memiliki juga sifat-sifat khas dari setiap bentuk hidup religius, yang
tandanya bersama yaitu aturan hidup tertingginya, yakni mengikuti Kristus, seperti
dianjurkan dalam Injil, dan dinyatakan dalam konstitusi kongregasinya. 19)

Namun, dalam rangka hidup yang dibaktikan kepada Tuhan, terdapat berbagai cara dalam
hal mengikuti Yesus dan melanjutkan warta keselamatanNya. Dalam Lumen Gentium
dirumuskan sebagai berikut: “Hendaknya para biarawan-biarawati memperhatikan dengan
cermat, agar melalui mereka, Gereja benar-benar makin lama makin lebih menampilkan
Kristus yang berdoa di bukit, atau yang mewartakan Kerajaan Allah kepada banyak orang,
yang menyembuhkan orang sakit atau cacat, atau yang mentobatkan orang-orang berdosa,
yang memberkati anak-anak, yang berbuat baik kepada semua orang, dan yang selalu taat

| 44
kepada Bapa yang mengutusNya, baik kepada umat beriman maupun kepada mereka yang
tidak beriman”. 20)

Para religius awam ikut sertadalam segala fungsi tersebut menurut karisma khusus yang
dikaruniakan kepda setiap persekutuan / kongregasi religius. Di dalam hidup para bruder
sendiri terdapat berbagai cara hidup yang bergantung pada dorongan Roh, yang tidak
pernah berhenti menimbulkan keaneka-ragaman dan pembaharuan. Ada para bruder
dalam biara monastic dan dalam komunitas ordo pengemis. Pada awal berdirinya institut
/ tarekat itu dianggap normal terdiri dari anggota awam, dan tidak ada cara hidup lain
dalam tarekat tsb. (maksudnya tidak ada dalam tarekat itu yang ditahbiskan).Tetapi. lama
kelamaan, tarekat itu mengalami proses klerikalisasi, sehingga akhirnya para bruder awam
hanya melaksanakan karya rumah tangga dan karya lain. Tetapi, sekarang ini, terutama
dalam baberapa puluh tahun terakhir, tarekat-tarekat yang sama itu telah mengenal
‘pilihan sebagai religius awam’ dengan jaminan bahwa pilihan itu tidak merupakan
rintangan bagi karya intelektual atau untuk kemungkinan anggota bruder untuk dipilih
dalam jabatan yang menuntut pertanggung-jawaban nomastik atau konventual. Kitab
Hukum Kanonik Gereja memuat peraturan yang melindungi sifat awam dari tarekat-
tarekat itu. Maka, Hukum Gereja hendak mencegah bahwa jabatan imamat melampaui
batas bidang yang layak baginya.

Ada bruder dalam kongregasi imam religius (imam reguler). Sebenarnya, dan menurut
hokum, kelompok-kelompok itu telah menjadi klerikal sejak berdirinya, klerikal karena
karismanya yang khusus. Imamat merupakan unsure hakiki dari karisma dan pengurutsan
mereka. Sejak permulaan terdadpat juga bruder dalam tarekat itu, yang bekerja sebagai
pembantu imam dan melaksanakan juga kegiatan jabatan yang sesuai dengan pengutusan
yang khas yang berkaitan dengan karisma dalam tarekat tsb.

Akhirnya, ada bruder dalam tarekat religius awam. Tarekat ini sejak berdirinya adalah
beranggotakan bruder awam dan tetap demikian sampai sekarang. Beberapa tarekat
semacam ini telah memasukkan pentahbisan imamat bagi sebagian brudernya, sesuai
dengan dokumen Konsili Vatikan II - Perfectae Caritatis 10 b. Maka mereka mengenal
bruder yang ditahbiskan, namun tarekatnya tetap memperhatikan sifat keawamannya
(kebruderannya).

2. ASPEK-ASPEK AZASI HIDUP PARA BRUDER

Sama seperti setiap bentul dari hidup religius, maka hidup para bruder pertama-tama
merupakan suatu undangan untuk mengamalkan Injil secara intens, radikal, umum, dan
dalam persekutuan. Hidup secara demikian berdasarkan sabda dan teladan Tuhan Yesus.
Hidup religius bukanlah suatu “jalan tengah” antara kaum klerus dengan awam, dari kedua
pihak, Allah memanggil beberapa orang beriman untuk menikmati anugerah khusus

| 45
panggilan dalam hidup Gereja, dan agar setiap pihak dengan caranya sendiri akan
bermanfaat bagi pengutusan keselamatan Gereja. 21) Maka, tujuan hakikinya yakni
‘mengikuti Kristus’ berdasarkan suatu pilihan sadar bagi status awam. Hal itu berarti bahwa
pilihan menjadi bruder bertujuan agar Yesus dan kabar keselamatanNya dapat merupakan
permulaan, jalan, dan tujuan dari seluruh kepribadiannya. Penyerahan diri dalam
pembaptisannya diberi suatu dinamika dan kegiatan baru oleh pembaktian religiusnya,
yang diamalkannya dalam persekutuan gerejawi, untuk melanjutkan pengutusan Yesus.

Mungkin hidup bruder telah mengalami suatu krisis identitas yang lebih besar daripada
bentuk hidup religius hidup yang lainnya. Mungkin dapat terjadi bahwa karya professional
seorang bruder akan menjadi lebih bernilai dan bermotivasi dalam hidupnya dari pada
kenyataan bahwa ia dipanggil oleh Tuhan. Dengan jadi bruder diandaikan bahwa ia
menjalankan suatu jabatan professional. Panggilan mempengaruhi manusia dalam
hakikatnya yang paling dalam, karya yang dilakukannya merupakan “perwujudan” yang
muncul dari keberadaannya sebagai bruder. Oleh karena panggilan berasal dari Roh, maka
panggilan itu hakekatnya bersifat mencipta, kreatif; sebaliknya, karya dapat dipengaruhi
oleh automatisme yang khas bagi seorang yang menyembunyikan diri di belakang
kemahiran professional. Karya professional manapun yang dilakukan oleh seorang bruder,
harus sesuai dengan inspirasi yang muncul dari panggilan atau karismanya. Justru
kekuatan karismanya harus menentukan karya yang dilakukannya, dan harus menanggapi
seruan dunia terhadapnya, suatu seruan yang berasal dari kebutuhan dunia yang paling
mendesak. Kesetiaan kepada karisma melampaui tuntutan kontrak professional. Harus
diperhatikan, agar kesetiaan kepada Roh diberi jalan seluas-luasnya, dan supaya para
bruder lebih setia kepada Roh dari pada kepada tuntutan professional manapun,
betapapun perlunya tuntutan itu.

Di bawah ini, kita akan lebih mendalami aspek-aspek azasi kehidupan bruder dan tanda-
tanda paling khas daripadanya. Tiada satu pun dari tanda itu merupakan tanda satu-
satunya yang khas bagi kehidupan bruder, namun kita percaya juga bahwa dalam
keseluruhannya, tanda-tanda itu menghasilkan suatu profil yang sangat nyata, sehingga
para bruder dapat dimengerti keberadaannya dalam Gereja.

3.1. PEMBAKTIAN RELIGIUS SEBAGAI UNGKAPAN LENGKAP DARI PENYERAHAN


DIRI MELALUI PEMBAPTISAN DAN IMAMAT UMUM

PEMBAKTIAN RELIGIUS DEMI PANGGILAN, merupakan suatu undangan pribadi pada


tingkat yang paling dalam dari kesadaran seseorang. Pembaktian itu mengubah hidupnya
secara radikal, tidak hanya dalam kaitan dengan keadaan luar saja, melainkan sampai ke
tingkat hati yang paling dalam, dan mengubahnya menjadi manusia baru, demi Kerajaan
Allah. Paus Joannes Paulus II telah mengungkapkan arti “hidup religius awam, yang secara

| 46
istimewa merupakan suatu tanda nyata dari kekudusan pengantin Kristus, memberikan
sumbangan dengan tepat, jitu, dan otentik, kepada perkembagan pengutusan Gereja
dengan cara penginjilan dan banyak bentuk pembaktian diri. Hidup religius dalam gereja
tak dapat dibayangkan tanpa memikirkan semangat pengaggilan awam yang istimewa ini,
yang kini masih menarik dan dapat diikuti oleh banyak umat awam Kristiani yang
membaktikan diri di dalamnya sebagai wujud mengikuti Kristus dan pengabdian kepada
umat manusia” 22)

Sebagai tanggapan atas prakarsa Allah dalam panggilan dan pilihan, maka oleh prasetia
religius, manusia menyerahkan diri seutuhnya kepada Allah. Perbuatan ini yang
menentukandan tak terbatalkan dalam dirinya merupakan pernyataan yang baik sekali,
suatu perwujudan lengkap dan suatu tanda nyata dalam Gereja, mengenai imamat umum
umat Allah karena pembaptian. Sungguh sangat berarti bahwa prasetia religius itu pada
masa ini dilaksanakan / diikrarkan dalam Perayaan Ekaristi.

Namun, kami tidak berbicara tentang satu perbuatan saja, Allah tidak berhenti memanggil
manusia dan manusiaberusaha mengerti dan menanggapi undangan itu. Seluruh hidup
seorang religius merupakan suatu persembah hidu 23), yang berhubungan dengan kurban
Kristus.

Pembaktian religius menjadi obyek atau isi panggilan itu, dan ditetapkan lewat prasetia /
kaul-kaul, yakni penyerahan dan ikatan lengkap dengan Allah dan dengan rencanaNya. Di
sini kita sebut “prasetia” dan dengan prasetia itu kita mengikatkan diri dalam hidup selibat,
miskin dan taat. Dengan demikian, kita menjadi saksi dan nabi mengenai dunia yang akan
datang (ekskatologis), atau dengan kata lain saksi dan kenabian nilai-nilai Kerajaan Allah,
yang harus menjadi pola tingkah laku kita dalam dunia sekarang ini.

Pembaktian itu memberi manusia arah baru menuju tujuan yang semula belum merupakan
bagian dari rencananya, yaitu rencana yang menuntut perubahan dalam acara yang
disusun setiap orang bagi dirinya sendiri. Kita mulai mengalami kebenaran kata-kata itu:
“Jalanmu bukanlah jalanKu” 24). Kita diundang masuk ke dalam suatu dunia baru, dan
dengan cara khusus menjadi bagian dari dunia itu karena kita menginjak lapangan kegiatan
Tuhan sebagai akibat dari Sabda Bahagia Yesus.

Pembaktian religius memuat juga suatu integrasi terus-menerus dengan umat Allah. Allah
mengikat suatu perjanjian dengan bangsaNya dan hal itu mendorong reeligius untuk
menerima suatu cara hidup yang sangat khas, untuk menghadirkan allah dalam
kelangsungan ejarah dunia. Pembaktian religius menyebabkan juga bahwa Allah masuk ke
dalam manusia dan dengan nyata menghadirkan Roh, yang hendak melanjutkan karya
Kristus, dan dengan cara demikian mengubah dunia dalam semangat Injil.

| 47
Bruder merupakan orang yang mencari Yang Mutlak: ia mengutamakan keradikalan,
penyerahan diri berlandaskan pembaptisannya. Dengan jalan mengikuti Yesus Kristus
dalam hidup selibat, miskin dan taat; ia menguatkan hidup rohaninya dengan doa, Ekaristi,
Sabda Allah, dengan secara kritis membaca tanda-tanda zaman, dan dengan
keterlibatannya dalam dunia untuk melanjutkan karya penyelamatan Yesus secara actual /
yang dibutuhkan.

Namun, pembaktian religius itu sebenarnya tidak menambah sesuatu yang sudah ada
dalam penyerahan diri dalam pembaptisan, meskipun cara pengamalannya disertai unsur-
unsur khusus dan khas. Di sini kita menghadapi suatu panggilan istimewa dari Tuhan
supaya kita hidup dalam realitas dan berdasarkan relalitas masa kini, yang berarti suatu
cara hidup istimewa, dalam hubungannya dengan dunia baru dari Injil. Hal itu berarti
suatu cara hidup baru, yang di dalamnya imamat umum dihayati dengan latar belakangnya:
hidup bersama dalam Gereja, yang di dalamnya pengalaman ilahi (pengalaman Allah) amat
sangat penting. Pengutusan yang dilakukan bruder merupakan konsekuensi logis dari
segalanya itu. Akhirnya, hidup itu merupakan suatu hidup yang oleh Tuhan didorong ke
arah tertentu, demi keselamatan dunia.Hal itu berarti bagi kita bahwa hidup religius
“secara khusus bersifat nabiah”.

Oleh karena itu, hendaklah bruder berusaha memperkembangkan hal berdoa menjadi
suatu sikap hidup sehari-hari, sehingga doa dan hidupnya dapat saling memperkaya. 25)
Paus Paulus VI mendorong para religius untuk menjadi pakar dalam hal doa. 26)
Pengalaman tentang Allah ini mengakibatkan suatu hidu menurut Sabda Bahagia, karena
“dipanggil Tuhan, mereka mengikat diri untuk mengikuti Dia secara total, dengan
mempersatukan diri dengan dia sesuai dengan Sabda Bahagia 27). Jika religius sungguh
menyadari penyerahan dirinya dalam pembaptisan yang merupakan panggilannya, maka
ia menempuh jalan untuk mencapai tujuan panggilannya.

3.3.2. HIDUP DALAM PERSEKUTUAN SEBAGAI TANDA KESATUAN PERSAUDARAAN


DALAM GEREJA

Persekutuan merupakan tempat untuk mengamalkan pembaktian religius dan untuk


mencapai perkembangan seutuhnya. Religius mengikat dia kepada Allah karena
pembaktiannya, dan sekaligus ia menjadi anggota ordo atau kongregasi religius, supayaia
berpijak pada realitas ini dan menghayati hidup dalam suatu persekutuan, dengan
memberikan kesaksian tentang kehadiran Kerajaan Allah, mewartakan Kerajaan itu, dan
untuk ikut serta dalam kedatangannya. Dengan hidup dalam suatu persekutuan tertentu,
bersatu hati di sekeliling Sabda Allah dan Ekaristi, maka para religius menerima suatu
perutusan tertentu bersama untuk mengubah dunia dengan jalan meneruskan pengutusan
Kristus yang menyelamatkan.

| 48
Hidup dalam persekutuan para religius di dalam Gereja mrupakan suatu pernyataan yang
konkret tentang martabat yang khas bagi semua anggotanya, kesamaan dasar sebagai anak
Allah, sebagai orang yang terpanggil, dan sebagai orang yang telah membaktikan diri
kepada allah. Karisma, fungsi, dan tugas mereka tunduk kepada kesamaan dasar itu, yang
makin nampak jelas dalam persekutuan yang terdiri dari religius awam melulu.

Persekutuan religius didasarkan atas Sabda Allah yang mengundang para anggota untuk
mengikuti Yesus, dengan melepaskan suatu cara hidup tertentu dan mengikuti cara hidup
lain, yakni hidup dalam persekutuan. Sabda Allah mengumpulkan semua anggota, dan
sabda itu memberikan pertumbuhan kepada persekutuan dan yang harus selalu
diperhatikan. Mereka merupakan persekutuan yang terdiri dari orang-orang terpanggil
untuk hidup bagi Kerajaan Allah.

Persekutuan religius itu terutama bernilai sebagai tanda. Yang paling fundamental
bukanlah jabatan professional para anggotanya, melainkan sifatnya sebagai tanda, karena
bagi dunia ia merupakan tanda bahwa persaudaraan telah datang, meskipun dalam suatu
dunia yang penuh dengan persaingan, dan bahwa hidup selibat membekali para religius
untuk sepenuh-penuhnya mengasihi Allah dan sesama. Persaudaraan yang diamalkan
seperti itu bermuara menjadi pujian kepada Allah dalam doa bersama. Justru karena hidup
selibat demi Tuhan, maka para religius dapat mengulurkan tangannya untuk menghampiri
orang lain dan berbagi dengan mereka.

Persekutuan religius merupakan tugas yang amat luhur, yaitu semua anggota hendaknya
mengikuti Yesus, seperti Gereja melaksanakan pengutusan Pantekosta. Persekutuan
religius bukan pertama-tama fungsional dan azas manfaat, melainkan lebih pada kenabian.
Yesus mutlak bagi hidup religius, maka hidup itu juga merupakan suatu anugerah Allah
(Allah memberi kita anugerah untuk hidup bersama dan menjadi bruder) – yang menuntut
suatu sikap tetap terbuka. Akhirnya, anugerah itu harus merupakan suatu unsur hakiki /
penentu dari setiap rencana hidup pribadi.

3.3. “PENGUTUSAN GEREJAWI” PARA BRUDER SEBAGAI KEIKUT SERTAAN


PELAYANAN GEREJA

3.3.1. Pengutusan yang dinyatakan dalam jabatan-jabatan awam sebagai tanda dari
Gereja, yang seluruhnya terkait dalam pelayanan.

Para anggota tarekat bruder berpartisipasi dalam pengutusan pastoral Gereja dengan
jalan melaksanakan jabatan awam tertentu. Mengenai hidup bruder, Konsili Vatikan II
menerangkan: “Bentuk hidup yang amat bermanfaat bagi tugas pastoral Gereja, dalam
mendidik angkatan muda, merawat orang sakit, dan menjalankan pelayanan-pelayanan
lain, sangat dihargai oleh Konsili Suci. Konsili mengukuhkan para anggotanya dalam

| 49
panggilanNya, dan mengajak mereka untuk menyesuaikan kehidupan mereka dengan
tuntutan-tuntutan zaman dewasa ini”. 23)

Pelayanan hirarki dan klerus tidak merupakan keseluruhan Gereja. Gereja pasti tidak akan
lengkap tanpa kaum awam, yang memiliki tempat dan perutusan sendiri. 29)

“Gereja belum benar-benar berakar, belum sepenuhnya hidup, belum pula menjadi tanda
Kristus yang sempurna di antara manusia, apabila bersama dengan hirarki belum ada dan
belum giat bekerja juga kaum awam yang sejati”. 30)

Dari sudut sejarah mungkin menarik jika kita ingat, bahwa sudah sejak tahun 1954, delapan
Prokurator Jenderal dari Kongregasi Bruder yang memberikan pengajaran, mengarahkan
suatu amanat kepada Sri Paus, berkaitan dengan hal-hal yang menimbulkan keragu-raguan
mengenai pembaktian kerasulan para bruder. Di dalam amanat itu, mereka memohon
dengan hormat dan rendah hati agar Sri Paus Pius XII menjawab melalui surat kepada
Kardinal Valerio Valeri, Prefek Kongregasi Religius, dan dalam surat itu beliau menekankan
pentingnya pengutusan para bruder dalam pendidikan kaum muda: “Kami bergembira
bahwa religius itu secara aktif dan penuh kegiatan mengabdikan diri kepada tugas yang
dipercayakan kepada mereka, tugas yang dapat merupakan suatu pertolongan yang sangat
berarti bagi Gereja, bagi kehidupan keluarga, dan bahkan bagi negara. Hal itu sangat
penting, karena kaum muda merupakan harapan masa depan. Maka, hendaknya tak
seorang pun memandang rendah anggota Tarekat Relgius bruder dengan dalih bahwa
mereka itu bukan imam, atau meremehkan karya kerasulannya”. 31)

Pernyataan seperti itu menitik beratkan sifat kerasulan kongregasi para bruder, dengan
membuktikan secara jelas bahwa pengutusan merupakan suatu unsur hakiki dari
pelayanan Gereja, dan bahwa imamat umum orang yang dibaptis berkaitan erat dengan
ibadah dan kerasulan. 32)

Baik para religius awam masing-masing maupun persekutuan yang didirikannya termasuk
kaum pengabdi yang merupakan Gereja, yang meneruskan pelayanan keselamatan yang
telah dimulai oleh Yesus Sang Juru Selamat: “Pergilah, dan katakanlah kepada Yohanes, apa
yang kamu lihat dan kamu dengar yaitu orang buta melihat, orang lumpuh berjalan,orang
kusta menjadi tahir, orang tuli mendengar, orang mati dibangkitkan, dan kepada orang
miskin diberitakan Kabar Baik”. 33)

Dilihat secara demikian, maka kita dapat melihat pentingnya inspirasi ilahi yang diterima
oleh berbagai Pendiri Kongregasi bruder untuk memperkaya Gereja dengan pelayanan
awam, guna melanjutkan karya keselamatan Kristus.

Paus Paulus VI mengakui sumbangan Tarekat Bruder kepada tugas perutusan Gereja
sebagai berikut: “Berkat pembaktiannya, mereka bersedia dengan cara utama dan bebas

| 50
meninggalkan segalanya untuk pergi mewartakan Injil, bahkan sampai ke ujung bumi.
Mereka sigap bertindak, dan kerasulan mereka sering ditandai oleh sifat yang otentik,
suatu berkat yang pantas dikagumi. Merreka sungguh baik hati, sering mereka merasul di
daerah misi yang paling jauh, dan mengambil risiko yang paling besar bagi kesehatan dan
bahkan bagi hidup mereka. Sungguh, Gereja sangat berhutang budi terhadap mereka ….”
34)

Pelayanan imam (yg ditahbiskan dari antara bruder untuk keperluan intern tarekat bruder)
sangat dikehendaki, tidak karena kekurangan imam tahbisan, melainkan karena dengan
demikian dinyatakan bahwa seluruh Gereja dipanggil untuk melakukan pelayanan.
“Pelayanan oleh kaum awam dibutuhkan bagi seluruh persekutuan, bahkan jika sekiranya
jumlah imam melebihi kebutuhan, karena masalahnya bukanlah untuk menggantikan
imam, melainkan untuk mewartakan keselamatan: dan hal itu bukanlah sesuatu yang
bersifat klerikal, melainkan bersifat gerejawi” 35) Seruan Postsinodal “Christifidelies Laici”
menyatakan pengikut sertaan semua anggota Gereja kepada pengutusan: “Pengutusan
keselamatan Gereja di dalam dunia tidak dilaksanakan oleh klerus saja berkat sakramen
imamat, melainkan juga oleh semua orang beriman awam: karena pembaptisan dan
panggilannya yang bersifat khas, mereka memang ikut serta sekedar kemampuan masing-
masing, dalam tugas Kristus sebagai imam, nabi dan raja” 36)

Kenyataan bahwa kaum beriman merupakan “Umat Allah yang sedang berziarah”,
menuntut tentu mengalami aneka situasi karena banyaknya pelayanan dan karisma dalam
Gereja. Seluruh Gereja bersifat pelayanan dan semua anggota mengambil bagian dalam
tugas-tugasnya. Seluruh Gereja terpanggil untuk pembaktian. Para bruder ikut serta dalam
pembaktian itu sesuai dengan identitasnya sendiri, dalam persatuan dengan Gereja dan di
bawah kewibawaannya. “Jasa khusus yang harus diberikan oleh hidup religius ialah bersatu
padu dalam pelayanan uskup, karena uskup diberi kekuasaan untuk mengharmoniskan
dengan pembaktian Gerejawi dari aneka panggilan dan karisma umat Allah di
keuskupannya”. 37)

“Pelayanan yang diberikan oleh kaum awam berdasarkan motivasi yang kuat, yaitu
motivasi teologis sacramental, sejauh motivasi itu berakar dalam pembaptisan dan krisma,
suatu motivasi eklesiologis, karena berasal mula dalam kenyataan bahwa Gereja
mengaggap dirinya sebagai sakramen dan pelayan, suatu motivasi pastoral, karena
sebagian besar pelaksanaan pengutusan Gereja bergantung pada pelaksanaan pelayanan
itu. Pelaksanaan pelayanan oleh kaum awam merupakan sebagian dari wujud Gereja
sendiri yang merupakan sakramen dan tubuh Kristus yang hidup di dalam dunia, dan
dalam daya dorong dari pengutusan untuk penginjilan. Pelaksanaan pelayanan kaum
awam bersifat gerejawi dalam dirinya, dan tidak karena suatu kerelaan dari pihak hirarki.
Tugas perutusan kaum awam merupakan suatu fungsi asli dalam pengabdian kepada umat
gerejawi, supaya umat itu tumbuh dan tetap hidup”. 38)

| 51
Gereja sesudah Konsili Vatikan II semakin sadar akan penggilan dan pengutusan kaum
awam umumnya. “Christifideles Laici” memastikan bahwa “para pastor harus mengakui
dan memajukan pelayanan-pelayanan , tanggung jawab dan fungsi-fungsi kaum awam,
yang berdasarkan sakramen pembaptisan dan krisma …” Para Bapa Konsili telah
menekankan dengan jelas, juga dengan memakai terminology yang lebih saksama,
perlunya kita akan menyatakan kesatuan pengutusan Gereja, di dalamnya semua orang
yang dibaptis mengambil bagian, maupun perbedaaanya dengan pelayanan para pastor,
yang berakar dalam sakramen imamat.39)

Berhubung dengan yang dikatakan di atas ini, baiklah kita ingat akan peranan para religius
awam (bruder dan suster) sebagai tanda dan realitas hidup dalam persekutuan gerejawi.
Mengenai hal itu, intervensi seorang Pemimpin Umum pada sinode 1987, agaknya bias
menjelaskan: “Dalam sejarah Gereja, kita mempunyai suatu tradisi yang hidup, yang
memungkinkan kita menjelaskan dengan tepat, apa yang dimaksud dengan “pelayanan
kaum awam”. Kami berbicara di sini tentang religius awam atau bruder, sebagaimana
mereka sering disebut (dalam hal ini ia mengutip Perfectae Caritatis artikel 10).

Berabad-abad lamanya para religius melakukan pelayanan (seperti disebutkan oleh Konsili
Vatikan II) yang jelas merupakan karya bagi kaum awam, yaitu pendidikan bagi kaum
muda, perawatan orang sakit, dan pelayanan lain. Suatu penelitiansecaramendasar
mengenai karya pelayanan oleh kaum awam yang dilakukan oleh bruder, sungguh akan
menolong kita untuk mengerti dan merumuskan beberapa dari pelayanan kaum awam itu”.
Sesudah itu, ia menyebutkan sejumlah tanda konkret dari karya para bruder, tanda yang
sungguh merupakan karya pelayanan gerejawi, dengan ciri tertentu yang khas bagi
kehidupan bruder religius:

- Karya mereka berakar dalam pembaktian oleh pembaptisan dan krisma, suatu
pembaktian yang hendak dihayati sepenuh-penuhnya
- Semua pelayanan itu merupakan bagian dari karya keselamatan Kristus.
- Mereka telah menerima suatu pengutusan dari Gereja dan yang disampaikan kepada
mereka lewat Konstitusi hidup kongregasi bruder yang disahkan oleh Gereja.
- Ada suatu keteraturan tetap dan kesinambungan dalam pelaksanaan segala pelayanan
itu.
- Ada pembentukanyang sesuai, suatu perlengkapan khusus, yang diselenggarakan oleh
Kongregasi / institut mereka.

Namun, kurang baik jika hidup religius hanya dihargai karena nilai kegunaannya, dan
pengabdiannya kepada bermacam-macam pelayanan. Karena yang berharga adalah
hakekatnya, wujudnya dalam dirinya sendiri. Gereja mengakui bahwa hidup bagi Tuhan
dari para religius dalam dirinya sendiri adalah “suatu sarana luhur bagi penginjilan yang
jitu”. Karena sifat dari hidup religius, maka karya para religius cocok dengan karya dinamis
Gereja yang rindu akan Yang Mutlak, akan Allah dan yang terpanggil kepada kekudusan.

| 52
Mengenai kekudusan itulah mereka memberikan kesaksian. Karena hidupnya, mereka
merupakan suatu tanda kesiap sediaan total bagi Allah, bagi Gereja dan bagi sesama
bruder” 41)

1.1.1. PENGUTUSAN BRUDER SEBAGAI KETERIKATAN GEREJA DENGAN DUNIA

Pelaksanaan pelayanan bagi para bruder sering berarti suatu keterikatan dalam suatu tugas
yang mengandaikan kemahiran dalam profesi. Sepanjang seluruh sejarah hidup religius, -
hari ini juga – kegiatan kerasulan para religius itu berarti kesibukan dalam “realitas profan”.

Resiko yang bertepatan dengan keterikatan ini kadang-kadang telah membayangi segi
positifnya, yakni bahwa keterikatan para bruder, justru sebagai religius,bagi penebusan
dunia merupakan tanda mengenai suatu dimensi hakiki Gereja, yanghadir dalam dunia
sebagai pelayan umat manusia dan melawan setiap usaha manpun yang memandang
manusia hanya dalam aspek duniawi belaka.

Pelaksanaan suatu jabatan profesi merupakan salah satu dari aspek khas dan hakiki dari
panggilan bruder umumnya, dan berkaitan dengan statusnya sebagai awam.

Karya profesi yang dilaksanakan secara serius di dalam “kota duniawi” dan menuntut dari
padanya kepandaian yang sama, ijazah yang sama, pembaktian yang sama, dan hormat
yang sama bagi peraturan yang sama, seperti dituntut kepada setiap kaum awam /
masyarakat. Yang dimaksud di sini yakni kehadiran Gereja di dunia, yang memasukkan
suatu kedekatan dan setia kawan yang erat antara para religius dan awam, yang keduanya
bertujuan yang sama, yaitu “membangun Kerajaan Allah”, meskipun mereka mengalami
kehadiran itu dalam dua panggilan yang berbeda,dari dua titik tolak yang berbeda.

Bruder menghayati pembaktian religius dan imamat umumnya dari pembaktiannya


sebagai religius, bertolak dari persekutuannya dan dari karisma khas tarekatnya. Kaum
awam menyatakan identitas awamnya yang khas dengan hidupnya di dunia. 42). Kesaksian
kaum awam mengingatkan kepada bruder bahwa pembaktian religiusnya tak boleh
menjadikannya tidak peduli akan keselamatan umat manusia, ataupun bagi kemajuan
dunia seperti yang dikehendaki Allah dan telah ditugaskan kepada Kristus. Kesaksian
bruder mengingatkan kepada kaum awam bahwa keselamatan dunia bukan usaha manusia
belaka, bahwa kemajuan bukan tujuan dalam dirinya sendiri saja, dan bahwa
pembangunan kota duniawi harus selalu didasarkan pada Tuhan (LG 46).

Keterlibatan kerasulan seorang bruder mempunyai suatu aspek persekutuan. Hal itulah
yang menentukan perbedaan cara hidup bruder dengan kaum awam di dunia dan anggota
Institut Sekulir. Meskipun kegiatan profesinya sama saja, namun dalam hal kaum awam
dan anggota Institut Sekulir, kegiatan itu dilaksanakan, bahkan dalam pilihan kegiatan

| 53
ditetapkan berdasarkan keterikatan pribadi pada dunia. Dalam hal bruder, pilihan kegiatan
profesi bergantung pada sifat khas tarekatnya, tujuan khas tarekatnya, dan juga
“pengutusan” yang telah dipercayakan kepadanya oleh para pemimpinnya.

Meskipun terdapat resiko sekularisasi yang disebur di atas ini, dan meskipun pelaksanaan
karya profesi dapat menimbulkan “mendua hati”, namun bruder merupakan seorang yang
dapat kut serta dalam kebudayaan dunia sekitarnya, yang dapat menyelidiki realitas di
tempatnya, dan ddapat berdialog dengan nilai-nilai kebudayaannya. Ia tetap terbuka \ -
tidak terutama untuk mengajar melainkan untuk belajar – dan dengan kesadaran kritis
mencoba memberikan jawaban tepat yang dituntut kepadanya oleh realitas dunia dan
Gereja zaman ini.

Sikap yang menentukan dari “berada di dunia namun bukan dari dunia”, sifat ini yang
merupakan sifat hidup religius, membuktikan bahwa Gereja tidak sama dengan dunia,
bahwa Kerajaan Allah tidak dibangun atas nilai-nilai duniawi, dan bahwa umat manusia
sama seperti dunia membutuhkan penebusan.

Sekarang, setelah ditunjukkan aspek asasi hidup religius awam / bruder, kita tidak boleh
lupa bahwa setiap pendiri tarekat dan tradisi hidup sebagai tarekat, telah menyelesaikan
suatu sintesis otentik dan pribadi serta secara utuh dari unsur-unsur keseluruhan itu.

4. DIMENSI KENABIAN HIDUP BRUDER

Kehidupan religius berkembang dalam Kerajaan Allah yang telah berada di tengah-tengah
kita, tetapi hidup itu selalu bermotivasikan dan berinspirasikan Kerajaan Allah eskatologis,
yang masih harus datang. Oleh sebab itu, Kerajaan Allah itu termasuk dunia kenabian,
salah satu karisma Roh Kudus. 43)

Arti yang berbeda-beda dari kata “Nabi” dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru
memperlihatkan arti yang beraneka warna, misalnya: membawa, mewartakan,
meneriakkan, mengadukan, memberitakan suatu pendapat …. Dipanggil, berbicara atas
nama Allah. Nabi itu dilihat sebagai seorang yang merasa berhubungan mesra dengan Allah
dan sekaligus dengan umat manusia: ia merupakan seorang pribadi dan bersama mereka,
berdoa bagi umat dan sekaligus menyadari diri sedalam-dalamnya untuk bertindak bagi
orang sezamannya, bagi mereka yang didoakan dan diperjuangkannya. Nabi merupakan
seorang manusia religius yang dijiwai oleh Roh Yahwe, uantuk menyemangati dan
mempengaruhi orang di sekitarnya. 44) karena ia percaya akan Allah yang menyelamatkan
dan memberikan kehidupan. Ia adalah orang sezaman, yang berusaha mengerti warta dari
tanda-tanda sezaman…. Ia juga merupakan orang dari zaman yang akan datang. Oleh
karena itu, menjadi nabi berarti: dipanggil Allah untuk tinggal bersama dia, menerima
sabdaNya dan terutama untuk menjadi pembawa nafas Allah yang menyelamatkan dan
memberikan kehidupan.

| 54
Di antara banyak karisma yang diberikan oleh Allah bagi kesejahteraan rakyatNya,maka
kehidupan religius berpartisipasi secara istimewa dalam dimensi kenabian Gereja, karena
kehidupan itu dimotivasikan oleh nilai dari hari depan yang hendak diwariskannya dengan
memberikan kesaksian daripadanya dalam zaman ini.

Kenabian seperti kita temukan dalam Perjanjian Lama, dan kenabian Yesus Kristus seperti
dikisahkan dalam Injil, telah dilanjutkan dalam seluruh sejarah Gereja. Cara hidup orang
yang berbicara atas nama Allah, dan terutama kehidupan Yesus, seorang nabi yang
berkuasa dalam perkataan dan perbuatan.45) yang seluruhnya menanggapi zaman
hidupnya dan ditengah lingkungan sosialnya, dalam generasi sezamannya, namun
sekaligus juga lain darkena penggunaan bahasanya, kelakuan, dan sikapnya. Hal itu
terdapat juga dalam hidup religius awam. Di sini kita menyentuh suatu aspek yang
mengenai identitas khas relgius, dan yang menunjukkan kepadanya bagaiama ia selalu
dapat mengatasi dirinya senfiri.

Perumusan lebih terinci ini memperkuat sekali lagi suatu pendapat kenabian, mengenai
hidup religius awam, sebagai bruder. Lagi pula, jika kita mengingat bahwa sepanjang
sejarah Gereja. Allah membangkitkan bermacam-macam bentuk hidup itu, sebagai
tantangan yang diarahkan kepada Gereja dan diutus, sesuai dengan Injil.

Marilah kita sekarang mengamati beberapa tanda nabi, ditetapkan kepada hidup bruder.

- BRUDER DIPANGGIL OLEH ALLAH

Sama seperti dalam Kitab Suci, maka panggilan bagi hidup bruder merupakan baik karunia
maupun tugas; suatu karunia Allah kepada dunia, kepada Gereja, kepada orang yang
terpanggiluntuk mempertaruhkan diri bagi pengutusan Yesus. Hal itu merupakan inti
pokok dalam kehidupan religius awam / bruder, seperti terjadi juga pada nabi. 46)

Kita mendengar panggilan itu dan menanggapinya dalam hubungan dengan latar belakang
karisma khusus kongregasi religius yang dihidupkan Allah dalam keadaan tertentu dalam
sejarah untuk bertindak dalam situasi tertentu. Karisma itu tidak merupakan sesuatu yang
telah ditetapkan sebelumnya, yang dapat diuraikan sebelumnya atau sebelumnya dianggap
tidak dapat diubah; dalam setiap masa selanjutnya, karisma itu harus dievaluasi, agar dapat
diberi bentuk yang tepat dan diamalkan. “Maka, kesetiaan kepada karisma sendiri
merupakan suatu bentuk konkret dari ketaatan kepada rahmat keselamatan Kristus dan
dari pengudusan bersama Dia, untuk menyelamatkan sesama manusia, atau bertolak dari
perspektif pengajaran, pelayanan kesehatan, pelayanan social, pelayanan paroki, atau dari
perspektif budaya, kesenian, dsb. Secara demikian, Roh Kudus dihadirkan, yang
menanamkan semangat Injil kepada orang dengan kekayaanNya yang beraneka ragam” 47)

| 55
- BRUDER MERUPAKAN UTUSAN ALLAH PEMBAWA ROH TUHAN

Sama seperti para nabi, maka bruder dipanggil untuk menjadi utusan Alah, pembawa Roh
Yahwe, seseorang yang dalam dia Allah menghadirkan diri, sebagai satu-satunya motivasi
kehidupan. Sebagai manusia yang didorong oleh Roh Kudus, maka bruder perlu mampu
membaca tanda-tanda zaman, dan hadir sebagai religius di tengah realitas dunia, yang
mewartakan kebaikan Allah. Ia memberikan kesaksian mengenai nilai-nilai pembaktian
dirinya, dan ia merayakan kehadiran Kerajaan Allah dalam bermacam-macam bentuk,
dalam realitas duniawi dan dalam masyarakat zaman ini.

Secara demikian, hidup dan aktivitas bruder bernilai sebagai suatu tanda eskatologis, yakni
pewartaan nilai-nilai transenden, dan bahwa penebusan manusia sedang berlangsung di
dalam dunia. “Dengan demikian, hidup bagi Allah merupakan suatu ungkapan kenabian
mengenai nilai yang paling luhur dari persekutuan Allah dengan umat manusia” 48) dan
suatu kesaksian yang mulia, bahwa dunia tidak dapat berubah dan tidak dapat
dipersembahkan kepada Allah, tanpa semangat Sabda Bahagia” 49)

Menurut sifatnya sendiri, maka kaul-kaul religius hanya merupakan suatu cara untuk selalu
secara kritis menguji dirinya sendiri dan orang lain. Karena kaul, hidup bruder memperoleh
suatu identitas pribadi, karena hidup itu diabdikan kepada Pewartaan Injil Yesus dan
kepada kesaksian kenabian dengan hidup sederhana, meninggalkan egoisme, dan sikap
sombong terhadap sesama.

- BRUDER HIDUP DALAM PERSEKUTUAN

Bruder ada dalam suatu persekutuan / komunitas yang merupakan tempat utama dan perlu
sekali bagi pembaktian dan pengutusannya, maka ia merupakan tanda bahwa Kerajaan
Allah lewat persaudaraan telah tiba. Ciri-ciri khas persekutuan itu yakni persaudaraan
menurut Injil. Para bruder menanggung persaudaraan sebagai pengutusan untuk
melanjutkan karya penebusan yang dimulai oleh Yesus.

- BRUDER MEMPERHATIKAN TANDA-TANDA ZAMAN

Sama seperti para nabi yang memperhatikan tanda-tanda zaman, maka bruder tergerakkan
oleh Roh Kudus, namun juga dekat dengan manusia, bruder itu seorang yang suka
mendengarkan Allah dan manusia, yang peka terhadap kesukaran pastoral Gereja dan
dunia yang mendesak, dan terhadap tanda-tanda zaman yang berlangsung. Ia tidak
menarik diri ke dalam tempat suci, melainkan tahu bagaimana ia harus bersaksi mengenai
semangat Pantekosta di banyak tempat ia diutus untuk mengamalkan bermacam-macam
bentuk kerasulan.

| 56
- BRUDER TERLIBAT PADA PEMBEBASAN MANUSIA

Bertolak dari pengalamannya tentang Allah, bruder itu berpartisipasi dalam kegembiraan,
pengharapan, dan kecemasan semua manusia. Pengalamannya mengenai Allah
melengkapinya dengan pengertian bagi manusia, lepas dari ideology politik manapun, dan
mendorongnya menjadi pelayan seluruh masyrakat, terutama mereka yang paling miskin.

Sebagai orang yang hidup bagi Allah, ia memajukan kesadaran mengenai martabat
manusia, dan menjadi seorang yang dengan kehadirannya saja mewartakan Injil Kabar
Gembira dan yang mengadukan sebab-sebab struktur yang tidak adil dalam masyarakat.

- BRUDER BERPARTISIPASI DALAM SUATU KEBIJAKSANAAN ALLAH

Para nabi berpartisipasi dalam kebijaksanaan Allah dan menggunakan teks-teks


kebijaksanaan yang dikutipnya dan yang pernah terjadi dalam menyimak peristiwa dalam
terang Allah, yang bekerja dalam sejarah umat-Nya. Bruder menemukan teks-teks yang
sama dalam Kitab Suci Alkitab, teks-teks yang harus diketahuinya, karena teks itu
memberikan hidup kepada doanya, dan ia menimba kebijaksanaan hidup daripadanya. Di
samping itu, ia memiliki tulisan suci dari Pendiri kongregasi, juga konstitusi /
regulanya… dan dialog / kapitel dalam komunitas dan dalam persekutuan yang lebih besar,
yang baginya merupakan kontak dengan kehendak Allah.

Tokoh nabi yang seluruhnya terpenuhi dalam diri Yesus dari Nasaret merupakan suatu
dorongan tetap untuk tumbuh bagi bruder yang karena panggilannya, seluruhnya terikat
dalam Allah dan demi keselamatan dunia.

5. KESETIAAN KEPADA IDENTITAS BRUDER, SECARA KREATIF DAN TERUS


MEMBAHARUI, SESUAI DENGAN PANDANGAN PENDIRI KONGREGASI

Kesetiaan kepada identitas hidup religius awam sebagai bruder dalam arti kreatif dan
berkembang, tidak kita pahami sebagai pertahanan sikap mandeg dan kebiasaan dari masa
lampau saja. Identitas kongregasi bruder mengandaikan pertumbuhan dan perkembangan
seperti lazim pada manusia. Kesetiaan berkembang dalam relasi dan keterikatan dengan
seseorang tidak mandeg dengan paham dan peraturan yang ada. Memang, mentaati
perintah resmi lebih mudah daripada memenuhi tuntutan cintakasih. Asal mula, pusat dan
dinamika hidup ialah Yesus Kristus. Oleh karena itu, dalam kontak dengan Dia, akhirnya
kesetiaannya akan mencapai kematangan.

Kesetiaan merupakan proses yang terus-menerus dan bukan suatu perbuatan yang berdiri
sendiri. Pilihan pertama seseroang menyebabkan terjadinya suatu deretan langkah-
langkah perbuatan kesetiaan, dan kita tidak tahu ke mana kita akan dibawanya. Allah
adalah Bapa yang ingin mempunyai anak, pria dan wanita, dan bukan kanak-kanak yang

| 57
tetap kanak-kanak saja, dan juga sama seklai bukan jadi budak. Kesetiaan yang dipahami
secara demikian, menyebabkan kita terus maju untuk mencapai tujuan kita, tanpa terjerat
dalam pengulangan yang tak berarti dan keinginan nostalgia yang membujuk ke
kemunduran.

Dalam kesetiaan kristiani, Roh Yesus mengambil prakarsa. Dialah yang mengarahkan
rencana hidup manusia. Setiap pribadi dan persekutuan wajib menjadi setia dalam setiap
situasi. Untukmenunaikan tugas itu, kita harus melewati semacam “kematian” agar kita
lama-kelamaan akan dilahirkan kembali bagi apa yang belum kita kenali sebelumnya. Roh
Tuhan selalu memanggil kita untuk mulai melangkah lagi. Semangat bruder itu maju terus
mengikuti Tuhan Yesus, karena iman Kristiani itu iman sejarah yang terus ke depan.

Penyadaran pribadi dan bersama berperanan penting dalam proses kesetiaan. Sama seperti
st. Maria, maka bruder juga berusaha memberikan perhatian kepada hati yang tahu
membedakan / selalu mengadakan pembedaan roh, yang mendengarkan dengan penuh
perhatian, yang terbuka bagi panggilan Tuhan dari hari ke hari, yang berusaha
mempertahankan kesetiaan kepada karya Roh Yesus, dan yang mencoba meneladan
ketaatanNya kepada Bapa. Bruder harus belajar mendengarkan para nabi dan belajar
mengerti kebenaran pewartaannya, jika kita hendak melanjutkan perjalanan panggilan
tanpa tersesat dalam pendapat diri sendiri. Banyak faham ajaran lain yang tidak sesuai
dengan panggilan hidup bakti masuk dan menjadi pendapat diri sendiri.

Sama seperti Gereja yang belum kehabisan api semangat yang diterimanya pada hari
Pantekosta, begitu pula hidup bruder belum kehabisan segala kemungkinannya dan belum
selesai menjabarkan segala kekayaan karisma Pendiri Kongregasi.

Para Pendiri Kongregasi pasti merupakan orang dari zamannya sendiri, yang telah
selengkapnya mencerna pembentukan yang diterimanya dalam lingkungan keluarga,
dalam rumah-rumah formation, dari pemimpin rohanianya, dari wewenang mengajar
Gereja…. Namun mereka tidak menjadi tawanan dari pembentukan tsb. Segala hal yang
telah diterimanya merupakan unsur yang diolahnya dan disisipkannya dalam upaya
menanggapi keadaan zamannya, sesuai dengan karisma yang diterimanya. Tiada suatupun
dan tiada seorang pun dapat mencegah kekuatan Roh Kudus di dadlam mereka yang
mendorong untuk nekat berjuang demi sesuatu yang tidak selalu dapat ditangkap-
dimengerti oleh orang di sekitar mereka.

Setiap kongregasi yang didirikan membawa risiko dan kesukaran. Dari mana-mana
timbullah kesukaran. Cara merumuskan konstitusi berdasarkan kpengalaman hidup
bersama para bruder pertama, memperlihatkan bahwa hidup para Pendiri lebih ditandai
oleh ‘penggembaraan Abraham” daripada oleh pandangan kebijaksanaan dan yang
mengaruh ke masa depan.

| 58
Di dorong oleh keyakinannya yang mendalam bahwa mereka adalah milik Tuhan dan
milikGereja, maka para Pendiri ingin memperbaiki beberapa situasi dalam masyarakat se
zamannya. Mereka telah memiliki suatu keyakinan yang jelas mengenai apa yang hendak
dicapainya, meskipun mereka tidak mempunyai sarana untuk mewujudkannya. Justru
karena hal itu, mereka mengalami “hal baru dari karisma” dan “karisma dari yang baru”,
dalam kesetiaan terus-menerus kepada Roh Kudus. Secara demikian, mereka belajar dari
“kehilangan hidupnya” dan mendapat kekuatanuntuk melakukan itu dalam arti Injili.

Para Pendiri tidak bersembunyi di belakang kata-kata kosong, impian muluk-muluk,


dokumen yang berharga. Mereka juga tidak memakai kata-kata “klise”, kata-kata atau
istilah biasa, karena caranya bertindak dan kongregasinya berlatar belakang sangat lain
daripada kongregasi yang sudah ada.Mereka merupakan orang yang melihat jauh
pandangan Kristiani dari zaman mereka, karena prakarsa ilahi dan inspirasi Ilahi.Dengan
setia, mereka ingin diberi inspirasi oleh suatu karisma yang belum pernah dapat
dirumuskannya dan yang menyebabkan mereka selalu melampaui keterbatasan dirinya.
Mereka sering mengalami pertentangan danterus mengalami perlakuan seperti yang
dialami oleh Yesus dari para penentangNya.

Suatu keyakinan iman merupakan inti hidup para Pendiri.Meskipun imannya sebesar biji
sesawi, namun iman itu menyanggupkan mereka untuk memindahkan gunung: kesukaran
dalam hubungan dengan keluarga mereka, dengan pemimpin Gereja, dengan masyarakat,
dan banyak lagi.Garis besar kehidupan para Pendiri Kongregasi memperlihatkan kepada
kita, bagaimana seharusnya jalan kita kepada kesetiaan di masa sekarang ini:

 Mereka hidup dengan sikap terus-menerus mendengarkan Sabda Tuhan, mereka


menyerahkan diri kepada bimbingan Roh Kudus, sehingga mereka tetap berada
dalam suatu proses pembentukan, pembaharuan, dan pertobatan terus-menerus.
 Mereka mengatasi zamannya sendiri: mereka melangkahi keterbatasan dan
mengarahkan diri ke masa depan, yang lama-kelamaan dibuka oleh Tuhan bagi
mereka.
 Mereka menggerakkan suatu proses pendirian tarekat. Terjadinya setiap
kongregasitidak merupakan sesuatu yang pernah dilaksnakan dan untuk selama-
lamanya; para Pendiri memulai suatu proses yang merupakan tugasuntuk seluruh
hidupnya, dan dalm arti tertentu, masih diteruskan sekarang ini.
 Mereka bukan tawanan dari zamannya dan bukan pula tawanan dari sturktur-
strukturzaman itu. Mereka berhasil menjadi setia kepada zamannya dan sekaligus
menanggapi tuntutan, karisma dalam pendirian tarekat. Ternyata,mereka memiliki
suatu daya cipta bahkan di tengah-tengah banyaknya kesukaran.

6. BEBERAPA TANTANGAN AKTUAL YANG PENTING

| 59
Perhatian bruder yang utama harus diarahkan kepada keselamatan dunia. Keselamatan
itudisertai dengan tantangan yang penting, yang harus kita amati masa kini. Sebetulnya
dunia bukan merupakan lapangan kerja biasa bagi para bruder, melainkan juga
merupakan lapangan teologisnya, tempat kita bertemu dengan Allah.

Maka, jika bruder dalam semangat Sabda Allah memulai tugasnya di dunia, inspirasi
dasarnya harus dibentuk oleh kalimat pertama Gaudium et Spes, yakni: “Kegembiraan dan
harapan, duka dan kecemasan manusia dewasa ini, terutama yang miskin dan terlantar,
merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan murid-murid Kristus pula.
Dan tidak terdapat apa pun yang benar-benar manusiawi, yang tidak bergema di dalam
hati mereka… Oleh sebab itu, Gereja merasa dirinya benar-benar bersatu mesra dengan
umat manusia dan dengan sejarahnya ”. 50)

Bruder harus memandang dunia dari sudut pandang Allah, agar di dunia itu dapat
menunaikan tugasnya yang khas dengan karismanya. Karrena statusnya sendiri sebagai
religious awam, maka secara orisinil, bruder ikut serta dalam dialog antara Gereja dan
dunia, antara agama dan kebudayaan. Status sebagai religious memberikan kebebasan
kepada bruder untuk tidak hanya bekerja di tempat Gereja sudah hadir, melainkan juga di
tempat-tempat Gereja belum hadir.

Bruder melakukan karyanya di sekolah, di rumah sakit, di jalan, di penjara, di desa,


kampong …. Di manapun bruder bekerja, ia mengusahakan:

 Perdamaian social dan kemajuan manusiawi, sehingga setiap laki dan perempuan
dapatmenemukan tempatnya di dunia, dan agar tidak seorang pun dikucilkan.
 Keadilan dan persaudaraan universal, yang dari pihak bruder sendiri mengandaikan
suatu pertobatan dan perubahan dalam cara berpikir, yang akan menjadikannya peka
bagi diskirminasi martabat yang ada pada berbagai tingkatan masyarakat.

Bruder menyatakan pilihan utama bagi orang miskin dengan bermacam-macam cara,
lebih-lebih dengan:

 Memperhatikan kaum muda pada setiap bidang kebudayaan, pendidikan, pengajaran,


informasi, waktu senggang dan istirahat, mempengaruhi mentalitasnya sehingga
kemungkinan yang dipersembahkan oleh masyarakat dapat merupakan sarana bagi
mereka untuk pembentukan dan tidak untuk manipulasi.
 Terbuka hati bagi kebutuhan dan kesulitan dunia ketiga
 Memperhatikan lingkungan yang paling terlantar
 Memperhatikan kaum pinggiran, orang jompo, orang sakit, tunakarya, dengan
berusaha mencukupi kekurangan mereka dengan mendayagunakan potensi yg ada,
meringankan kesepian dan penderitaan batin mereka

| 60
 Memperhatikan secara aktif para korban obat bius / pecandu narkoba, orang
tertindas, para pengungsi dan orang-orang asocial
 Menolong para orang tua dalam tugas mendidik anak-anak mereka, lebih-lebih dalam
zaman ini, zaman ketidakpastian dan pergeseran nilai-nilai
 Mencari suatu system pengajaran yang disesuaikan dengan bermacam-macam
lingkungan
 Mengorganisasikan aksi pemberantasan buta aksara dan program bagi pendidikan
khusus untuk difabel dan pendidikan non-formal / ketrampilan

Bentuk hidup bruder memberikan kemungkinan kepadanya untuk menghadapi tantangan


itu dalam semangat Injil dan untuk merumuskan pertanyaan kritis kepada Gereja dan
masyarakat.

Seperti para nabi, para bruder terpanggil untuk mengecam gaya hidup mewah,
berkelimpahan, kurang rasa setia kawan, kelaliman, penindasan kaum lemah oleh yang
kuat, peperangan, dan perpecahan. Namun, hal itu hanya dapat dilakukan, jika bruder
telah mengetahui bagaimana perutusannya dan bagaimana dapat melakukannya secara
konkret.

Maka bruder harus menemukan kembali daya kenabian yang akan memberikan kepada
kongregasinya kekuatan baru dan argument-nya yang diperlukan.

Perhatian baru terhadap Injil / Kitab Suci pasti akan memberikan kekuatan baru kepada
kehidupan para bruder. Namun, jika mereka secara pribadi mengundurkan diri ke dalam
dirinya sendiri demi rasa aman sendiri ddalam komunitasnya, maka mereka pasti akan
kehilangan daya kesaksian dan daya tariknya. Jika mereka hidup nikmat senang, seakan-
akan hidup di suatu pulau, tersembunyi di belakang kapasitas jabatannya, jauh dari ‘duka
dan kecemasan manusia’ dan tuli terhadap ‘panggilan Tuhan’ bagi ‘evangelisasi baru’, maka
dayanya untuk menggerakkan orang lain dan juga masa depan umat manusia, dan
lembaga-lembaga / terekat, dibahayakan. Jika para bruder menghidupkan kembali hal
hakiki dari identitas religious awam sebagai bruder, maka mereka akan sanggup
menghidupkan gairah baru ke dalam hidup dan pengutusan mereka, dan menjiwai orang
lain juga. Merasa bahagia dalam karyanya tidak sama dengan merasa tertarik oleh suatu
perutusan kerasulan. Yang pertama berhubungan dengan profesionalitas jabatan, yang
kedua berkaitan dengan penghayatan karisma. Pada dasarnya, hal itu merupakan
penemuan kembali karakter unik mereka sebagai manusia, dan kekhasan karisma religious
awam / bruder. Sikap para Pendirinya, yang tahu apa yang harus dilakukan untuk
menanggapi kebutuhan umat Allah dan masyarakat dari zamannya, harus merupakan
dorongan baginya untuk mengatasi kesukaran-kesukaran yang ada zaman ini.

Hidup bakti bruder harus mampu memberikan jawaban yang menyebutkan keterkaitan
antara karisma tarekat, Gereja, dunia, dan sejarah. Untuk hal itu pasti dibutuhkan

| 61
penyesuaian kembali / terus-menerus dan pembaharuan semangat. Kita harus
mengadakan pilihan yang baik dengan program-program tentang pembentukan lanjut / on
going formation, sehingga di dalamnya dicantumkan problem yang actual-nyata dan paling
penting yang kita hadapi. Kita harus berusaha untuk memiliki rasa kemanusiaan yang besar
dan kesadaran yang mendalam akan panggilan Allah, kita harus mengarahkan perhatian
terbesar kepada karisma pendiri dan berusaha agar karya kerasulan kita ditinjau kembali
sebaik mungkin, sehingga pelaksanaan jabatan kita menjadi lebih lancar. Akan timbul
kebutuhan besar untuk membentuk komunitas yang dibaharui, yang yakin akan
identitasnya, dan yang dengan gembira akan memberikan kesaksian tentang
karismanya.Para bruder ddapat mengulangi kesaksian St.Paulus “Jadi, Saudara-saudara,
jika aku datang kepadamu dan berkata-kata dengan bahasa Roh, apakah gunanya itu
bagimu, jika aku tidak menyampaikan kepadamu pernyataan Allah atau pengetahuan, atau
nubuat, atau pengalaman? “ 51)

Bertolak dari suatu pengalaman akan Allah, dengan sikap positit terhadap dunia, diberi
inspirasi oleh tarekat kenabian para Pendiri, maka para bruder harus menunaikan tugas
yang besar untuk sekali lagi memberikan jejak bagi tarekat mereka dalam “hari demi hari”
perjalanan sejarahnya. Sebuah petualangan yang hebat.

Sekarang ini, para bruder dihadapkan dengan suatu tantangan yang samasekali lain, yaitu:
arti kaum awam Kristiani. Kita melihat semakin banyak kaum awam, laki dan perempuan,
yang tertarik oleh karisma atau karya tarekat religious, yang meminta izin untuk
diperbolehkan bergabung di ddalamnya, sedangkan mereka tetap tinggal sebagai awam .
Mereka ingin bekerja sama dengan para religious dengan tetap memiliki identitasnya
sendiri sebagai awam katolik dalam dunia.

Keadaan yang baru ini pasti merupakan berkat bagi semuanya. Para bruder dan kaum
awam katolik mempunyai status yang sama dalam umat Allah, karena keterlibatan mereka
berakar dalam pembaptisan yang sama dan dalam inam yang sama pula. Eklesiologi dari
“communion” (GEREJA adalah communion) yang dianjurkan oleh Konsili dan
dikembangkan oleh Konferensi Para Uskup, sudah kita kenali, dan sekarang mengatr kita
kepada suatu Gereja yang memikul tanggung jawab bersama.

Bersediakah kita, para bruder memberikan kemungkinan untuk semakin bertambahnya


keterlibatan kaum awam katolik yang bertanggung jawab? Atau lebih baik: Bersediakah
kita memajukan keterlibatan tsb, agar mereka, justru sebagai kaum awam, sanggup ikut
serta berperanan dalam perutusan Gereja? Maukah kita memberikan kesempatan kepada
kaum awam untuk memperkaya karisma kita, oleh interpretasinya sendiri, ataukah kita
hanya akan meneruskan interpretasi kita sendiri kepada mereka? Adakah kaum awam
tetap tinggal sebagai bawahan kita? Akankah kita melanjutkan karya pelayanan kita
sampai selama-lamanya, hanya berdasarkan identitas khusus para religious, atau dapatkah

| 62
kita memperkayanya juga dengan bergandeng tangan dengan mereka yang bekerjasama
dengan kita?

Kaum awam ingin dan dapat berpartisipasi secara rohani dalam karisma tarekat bruder,
namun hendaknya tiada satu pun dari para bruder dan kaum awam katolik tsb. yang
kehilangan identitasnya. Masing-masing harus tetap dalam statusnya, sesuai dengan
identitas khususnya dan kemungkinan-kemungkinannya.

IKHTISAR PENUTUP

Kita telah mengenal ciri-ciri khusus hidup religius awam Bruder, dan sekaligus
menunjukkan bagaimana hidup itu dapat tumbuh dalam identitasnya sendiri.
Membicarakan identitas sebetulnya juga berarti menganjurkan suatu program panggilan
bagi mereka yang merasa terpanggil kepada bentuk hidup itu.

Akhirnya kami sajikan beberapa pemikiran dan detail-detail tertentu sebagai ikhtisar :

1. Kami yakin bahwa hidup religius bruder belum memanfaatkan segala kemungkinannya
dan bahwa hidup itu ada masa depannya, justru karena beridentitas awam. Oleh sebab
itu, pentinglah bahwa hidup itu diberi tempat yang tepat dalam misteri Gereja, yang
statusnya sebagai umat Allah memuat juga suatu gaya hidup, suatu mentalitas, suatu
spiritualitas dan suatu pengutusan apostolik.

Teks-teks Konsili menyebutkan dua cara yang dapat digunakan untuk menggolongkan
semua anggota Gereja: dipandang secara hirarkis, maka setiap anggota merupakan imam
/ klerus atau awam; dipandang dari karisma, maka Roh Kudus membangkitkan di dalam
Gereja sejumlah karisma yang berbeda-beda bagi hidup religius dan juga bagi hidup
kaum awam. Konsili menyatakan juga bahwa hidup religius awam bruder ini
“bukan status tengah antara klerus dan awam. Dari klerus dan awam, sejumlah
orang beriman dipanggil Allah untuk menikmati anugerah khusus dalam hidup Gereja
sebagai religius, dan supaya masing-masing dengan caranya sendiri, berperan bagi
pengutusan penyelamatan Gereja.” 52)

Meskipun para bruder merupakan religius lengkap dan status hidupnya “merupakan
satu status pengamalan nasihat-nasihat Injil yang lengkap dalam dirinya”, 53) namun
mereka termasuk kaum awam juga, meskipun hidup mereka berbeda dengan hidup
kaum awam biasa. Ditilik dari status awam, mereka merupakan orang yang hidup bagi
Allah, yang dipilih dan dipanggil untuk mengikuti Yesus dan diwajibkan menjadi tanda
dan saksi bagi dunia.

2. Hidup religius awam bruder berdasarkan suatu peristiwa, yaitu panggilan bagi cara
hidup ini, yang unsur hakikinya adalah pembaktian religius, persekutuan, dan

| 63
pengutusan gerejawi. Unsur-unsur itu, dihayati para bruder, justru sebagai kaum awam.
Panggilan yang diterimanya tidak memuat suatu kemenduaan (antara klerus dan
awam), melainkan suatu panggilan untuk menjadi ‘tanda dan kesaksian kekudusan’ di
dunia, untuk melaksanakan suatu pengutusan gerejawi tertentu.

3. Hidup bakti bruder memberikan kepada seluruh kepribadian suatu keterarahan dengan
pengutusan tertentu dalam karisma. Hal itu disertai dengan pemberesan kembali tiga
daya asasi seluruh pribadi manusia, yaitu memiliki, mengasihi dan berada.
a. Mengenai “memiliki”, di sini pengarahan bruder ditetapkan oleh prasetia
kemiskinan, yang mewajibkan bagi suatu kehidupan berkarya, berbagi dan
merayakan dengan orang lain. Dengan cara demikian, berdasarkan realitas
manusiawinya sendiri, ia menyatakan solidaritasnya dengan sesame dalam dunia,
sebab ia ikut serta dalam persekutuan dan pengabdian Gereja.

b. Mengenai ‘mengasihi’, daya manusiawi ini diarahkan oleh prasetia hidup wadat /
selibat, yang baginya membuka persaudaraan yang lebih luas. Hal itu nyata karena
suatu kesiapsediaan yang lebih besar bagi orang yang paling menderita, sesuai
dengan karisma khususnya, dan dalam persahabatan dan persaudaraan bersama.
Dilihat dari aspek itu, maka ia ikut serta dalam karya pelayanan pendidikan dan
pelayanan cintakasih.

c. Mengenai “berada”, berarti dan mengandaikan bahwa kita tumbuh dengan cara
khusus. Dalam hal ini, pertumbuhan pribadi itu diarahkan oleh kaul ketaatan. Oleh
prasetia itu, kita berusaha agar kehendak Allah tetap merupakan pedoman dalam
pertumbuhan pribadi bruder dan dalam pertumbuhan persekutuan / tarekat. Hal itu
menjelaskan arti kesaksian bruder terhadap panggilan kepada kesucian, yang
merupakan panggilan setiap anggota umat Allah. Bruder diutus untuk memberikan
kesaksian, sama seperti Gereja memberikan kesaksian di dunia.

4. Sebutan “Bruder” (Saudara), yang khas bagi religius awam pria, dengan tepat
menunjukkan persaudaraan, juga kepada persekutuan. Kaul kemiskinan, ketaatan, dan
terutama hidup wadat, merupakan sarana untuk tetap dan bertekad menempuh jalan
menuju cita-cita Injil, yakni persaudaraan. Sangat pentinglah bahwa persekutuan
religius hidup bersatu di sekeliling Sabda Allah, yang mengumpulkan dan yang
membentuk persekutuan itu. Sabda Allah yang dibagi dan dirayakan bersama harus
menjadi pedoman bagi hidup dan karyanya, dan juga bagi penyerahan dirinya demi
keselamatan dunia. Di sinilah letak akar dari pengutusan kenabian bruder, yang
menjadikannya ‘manusia Allah’, ‘pemerhati tanda zaman’, ‘pembawa keselamatan dan
pembebasan’.

5. Bruder mengalami karya pelayanannya bertolak dari ‘pengutusan gerejawinya’ sendiri


yang khas, sesuai dengan karisma Pendiri Kongreasi. Bruder melaksanakan karya

| 64
pelayanannya dengan berbagai kegiatan, yang didorong oleh pembaktian religius karena
panggilan, yaitu baik untuk meringankan kesukaran hidup manusiawi yang paling
fundamental, maupun dengan penyerahan diri secara jelas bagi pewartaan Injil. Bruder
tidak ikut serta dalam jabatan tahbisan, namun ikut serta dalam karya gerejawi yang
dipercayakan kepada tarekatnya, seperti dirumuskan dalam konstitusi yang disahkan
oleh Gereja. Dengan demikian, tatacara keikutsertaannya dalam karya pelayanan
gerejawi menjamin kesinambungan bagi dirinya sendiri dan bagi tarekat.

6. Sangat pentinglah agar sifat asli dan daya dorong karisma setiap kongregasi ditemukan
kembali, dan agar di dalamnya terdapat tempatnya sendiri. Institut dan karya tidak
boleh menjadi penghambat bagi kekuatan karisma, melainkan harus merupakan
pernyataan daya dorong karisma itu. Karisma itu dapat terwujud juga dengan cara yang
sederhana dan dianggap sepele, dalam hal-hal yang kurang menarik perhatian, yang
kurang diperhatikan, atau yang dianggap kurang penting.

Hidup religius awam bruder menjadi penting karena utamanya adalah identitas kenabian
dan kesaksian hidup eskatologis bagi dunia yang akan datang, ketimbang kegunaannya
pekerjaannya, bahkan pada bidang pastoral. Oleh karena itu, religius awam bruder
hendaknya :

a. memiliki pengalaman pribadi dan mendalam mengenai Allah dan memiliki semangat
persekutuan yang kuat;
b. sanggup mengintegrasikan segala kemungkinan dan keterbatasannya secara dewasa
dan stabil, agar ia dengan amat jelas memperlihatkan panggilan akan penyerahan
dirinya secara total kepada Allah dan sesamanya;
c. bersedia seperti para nabi dicernment tanda-tanda zaman, agar ia dengan lebih baik
dapat menanggapi panggilan Allah, menurut karismanya;
d. merasa menyatu dalam dunia, dan - demi Injil - merasa terlibat dengan masalah dan
kesukaran dunia, juga dalam berbagai kebudayaan dan cara berpikir;
e. hadir di dalam dunia, tempat ia, - dengan hidup yang teguh - tampak sebagai tanda,
dan tempat ia menunjukkan nilai persaudaraan injili karena kegiatan dan
kesanggupannya mengadakan relasi manusiawi dengan setiap orang.

Inilah garis besar yang dapat memberikan kekuatan baru kepada identitas setiap bruder,
kesinambungan kepada pengutusan apostoliknya dan keluwesan tarekat, untuk mengikuti
panggilan Roh Kudus bagi pembaharuan dengan lebih baik. Masa depan akan bergantung
pada peristiwa Pentekosta. Jika peristiwa itu, pada hari ini merasuki kehidupan kita sebagai
angin bertiup dan lidah api, maka kita akan berbicara dengan bahasa lain karenanya. 54)

Tetapi, untuk berbicara dalam bahasa lain, kita harus pindah dari pusat ke pinggiran, ke
garis depan, dan bagi pemindahan itu, kita harus menjelajah padang gurun. Justru susunan

| 65
kaul-kaul memungkinkan hal itu, dan menuntut kita untuk mengikuti Yesus secara radikal,
bahkan sampai ke dalam situasi yang di luar normal. Mungkin dapat dikatakan bahwa kaul-
kaul bruder memungkinkan dan menuntut bruder untuk hadir di padang gurun (kesepian
hidup), di pinggiran dan di garis depan. Yang kita maksud dengan ‘padang gurun’ yaitu
bahwa kaum religius berada di tempat yang sebenarnya tiada seorang pun, seperti terjadi
sepanjang sejarah, karena kehadirannya di rumah sakit, di sekolah, atau seperti sekarang
di dalam paroki yang ditelantarkan (ini kasus di Eropa). Yang kita maksud dengan
‘pinggiran’ yaitu bahwa kaum religious bruder tidak hadir dalam pusat kekuasaan,
melainkan di tempat yang tiada kekuasaan, yang ada hanya ketidakberdayaan. Yang kita
maksud dengan ‘garis depan’ yaitu kaum religius bruder harus hadir di tempat yang
dialami adanya kebutuhan akan kegiatan kenabian untuk membangkitkan Gereja dari
kelesuan yang menjadikan beku, atau untuk menunjukkan keaiban dosa masyarakat secara
lebih tegas. 55) Pergeseran dari pusat ke pinggiran, ke padang gurun, dan ke garis depan,
semua itu berarti ‘kembali kepada semangat para pendiri kongregasi’. Hal itu merupakan
pendirian kembali yang dibutuhkan oleh kongregasi-kongregasi kita, dan pada pendirian
kembali itulah bergantung masa depan hidup religius awam bruder.
Segala bentuk hidup Kristiani merupakan panggilan kepada suatu tugas gerejawi demi
kepentingan dunia. Kesetiakawanan di antara bermacam-macam panggilan: sebagai klerus,
bruder, suster, kaum awam katolik dll, jika dihayati sebagai jawaban atas ‘panggilan dan
pengutusan’ Tuhan, akan mengakibatkan bahwa pesan damai, keadilan dan cinta kasih
yang dibawa Yesus kepada semua orang, akan tepat dan jitu dialami banyak orang.

Bagi kita para bruder, panggilan demi kepentingan dunia, dialami sebagai membawa
kesulitan, karena dunia agaknya melampaui pengertian kita dan kesanggupan kita untuk
mempengaruhinya secara tepat. Kita mengalami betapa sulitnya mencapai saling mengerti
satu terhadap yang lain dan mengadakan hubungan yang benar dengan dunia dalam
kesulitan, kegembiraan, dan pengharapannya. Oleh karena itu, kita sebagai kongregasi
religius awam bruder, dihadapkan dengan suatu tantangan bersejarah, yaitu peninjauan
kembali secara karismatik struktur kita yang menyangkut keanggotaan (penambahan
jumlah bruder), komunitas, kongregasi, dan pelayanan kita.

Mungkin hal itulah yang merupakan alasan bahwa pertanyaan kita sekarang ini masih sama
dengan pertanyaan Nikodemus, yaitu: “Bagaimana mungkin seseorang dilahirkan kembali,
kalau ia sudah tua? Dapatkah ia masuk kembali ke dalam rahim ibunya dan dilahirkan
kembali?”
Mungkin jawaban satu-satunya adalah jawaban Yesus kepada Nikodemus, yakni : “Aku
berkata kepadamu, sesungguhnya jika seseorang tidak dilahirkan dari air dan Roh Kudus,
ia tidak dapat masuk ke dalam Kerajaan Allah. Apa yang dilahirkan dari daging adalah
daging, dan apa yang dilahirkan dari Roh adalah Roh.” 56)

DAFTAR KUTIPAN

| 66
1. Luk 4:14-18; 7:22-23. Lihat juga ketiga Injil yang lain.
2. Perfectae Caritatis 2a; KHK c.662
3. Perfectae Caritatis 10a
4. MICHEL SAUVAGE, FSC. “Fratello” dalam DIP hlm 746. Lihat juga catatan dari
pengarang yang sama mengenai artinya PC 10a, dalam “la vie religieuse laique” dalam buku
“L’adaptation et la renovation de la vie religieuse” hlm. 315-340 (Paris-Cerf)
5. YOHANES PAULUS II : Pidato kepada Sidang Paripurna Kongregasi bagi Religius dan
Institut Sekulir, 24 Januari 1986
6. J.F. GODET, OFM. Clerc ou laique? La bonne question, hlm. 1. Cf. Lihat juga M.
SAUVAGE Catequesis y laicado, Coll. SINITE, Salamanca, 1963, hlm. 1-2. Br. Sauvage
mengatakan bahwa hidup religius awam belum menjadi pokok studi khas, setidak-
tidaknya bukan di tingkat teologis.
7. Lumen Gentium 43b
8. Kitab Hukum Kanonik c.588
9. Luk 4:17-25; 7:22; Yes 61:1-3
10. Cf. ANDRE LEMAIRE, “Les ministeres dans la recherché neotestamentaire, Etat de la
question” dalam Maison Dieu, 115 hlm. 18-21, 23
11. Cf. J. AUBRY, Teologia della vita religiosa, Turin: LDC, 1988, hlm. 22-23
12.Cf. JESUS ALVAREZ, La Vida religiosa ante los retos de la historia, Madrid : ITVR, 1979,
hlm. 29-37
13. Cf. YVES CONGAR, Jalones para una teologia del laicado, Barcelona ; Estela, 1964, bab 1
14. YOANES PAULUS II : Pidato pada Sidang Paripurna Kongregasi bagi Religius dan
Institut Sekulir, 24 Januari 1986
15. Perfectae Caritatis 10b
16. Lumen Gentium 31a
17. Lumen Gentium 31b
18. Perfectae Caritatis 11
19. KHK c.662; Perfectae Caritatis 2a
20. Lumen Gentium 46a; KHK cf. cc.577, 674, 676
21. Lumen Gentium 43
22. Yohanes Paulus II …
23. Ketika umat Kristen mengundurkan diri dari kenisah di Yerusalem, Paulus mengajak
para orang berimannya untuk mengubah pribadinya sendiri menjadi suatu “kebatian
rohani”, yang akan menghasilkan suatu pembaharuan yang tetap: “Karena itu, Saudara
saudara, demi kemurahan Allah aku menasihati kamu, supaya kamu mempersembahkan
tubuhmu sebagai persembahan hidup, yang kudus, dan yang menyenangkan hati Allah.
Itulah ibadahmu yang sejati. Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, melainkan
berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah
kehendak Allah, yaitu apa yang baik, yang menyenangkan hati Allah dan yang sempurna.”
(Rom 12:1-2)
24. Yesaya 55:8

| 67
25. “Maksud kita yaitu agar doa diubah menjadi sikap hidup, sehingga doa dan hidup saling
memperkaya : doa yang menyebabkan kita ikut serta dalam hidup yang sebenarnya, dan
suatu pengamalan realitas yang menuntut doa pada tingkat luhur.” (Dokumen Puebla, 727)
26. Paus Paulus VI, pada tanggal 28 Oktober 1966: “Mereka yang hidup menurut nasihat
Injil harus di atas segala sesuatu mencari dan mencintai Allah, yang mencintai kita lebih
dahulu, dan dalam segala hal berusaha memajukan hidup yang bersama Kristus
tersembunyi dalam Allah, yang menjadi sumber cinta kepada sesama demi keselamatan
dunia dan demi pembangunan Gereja. Mereka harus memupuk semangat doa dan
mengusahakan doa itu serajin-rajinnya, dengan menimba dari sumber spiritualitas Kristen.
Namun, lebih dahulu mereka harus membaca Kitab Suci setiap hari, agar mereka dengan
membaca dan merenungkan isi kitab ilahi itu “mengenal Yesus Kristus yang lebih mulia
dari pada semuanya” (Fil 3:8). Liturgi Suci, terutama misteri Ekaristi yang mahakudus,
harus dirayakannya dengan hati dan mulut, dan memupuk hidup rohaninya pada sumber
yang paling kaya ini.
27. Evangelii Nuntiandi 14; KHK c.676
28. Perfectae Caritatis 10
29. Lumen Gentium 30
30. Ad Gentes 21
31. Pius XII …
32. Lumen Gentium 10; Apostolicam Actuositatem, 2 & 3
33. Luk 7:22
34. Evangelii Nuntiandi 69c
35. Dionisio …
36. Christifideles Laice, 23
37. Lumen Gentium 45; Pesan Paus Yoh. Paulus II
38. Ramon Sanchez CHAMOSO
39. Christifideles Laici 23, menyatakan perlunya menjelaskan kesatuan dari pengutusan
Gereja, di dalamnya semua orang yang dibaptis mengambil bagian, lagi pula perbedaan
hakiki dengan pelayanan para pastor. Dalam teks itu disebutkan beberapa pokok untuk
menentukan secara konkret identitas pelayan yang ditahbiskan dan pelayan awam.
40. Jose MARIA SALAVERRI
41. Evangelii Nuntiandi 69
42. cf. 1 Lumen Gentium 32; Christifideles Laici 9 & 15
43. 1 Kor 12:4-11
44. cf. Hag 2:11-15
45. Luk 24:19
46. Lumen Gentium 43
47. Dokumen Puebla, 757
48. Evangelica Testificatio 53; Dokumen Puebla 744
49. Lumen Gentium 31b; Dokumen Puebla 744
50. Gaudium et Spes 1
51. 1 Kor 14:6

| 68
52. Lumen Gentium 43; cf KHK c588
53. Perfectae Caritatis 10
54. Kisah Rasul 2:2-4
55. Juan Sobrino …
56. Yoh 3:4-6
http://bruderkaritas.org/kerabat_karitas_168.html

| 69
PANGGILAN FRATER/BRUDER:

MENJADI SAKSI PERSAUDARAAN BERDASARKAN SABDA ALLAH

A. Pengantar
 Panggilan menjadi Religius Bruder/Frater merupakan panggilan untuk mengikuti
Yesus dalam Gereja Yesus Kristus melalui jalan persaudaraan.
 Secara etimologis, sebutan yang dikenakan kepada kita secara jelas menunjukkan
secara eksplisit seputar panggilan kita sebagai saudara.
- Broeder (belanda), dalam bahasa Indonesia menjadi ‘bruder’, berarti saudara laki-
laki,
- Fratrum (latin), dalam bahasa Indonesia menjadi ‘Frater’, berarti saudara laki-laki

B. Dasar refleksi
 Mrk 12:46-50 Yesus dan sanak saudara-Nya
46 Ketika Yesus masih berbicara dengan orang banyak itu, ibu-Nya dan saudara-
saudara-Nya berdiri di luar dan berusaha menemui Dia. Maka seorang berkata kepada-
Nya: "Lihatlah, ibu-Mu dan saudara-saudara-Mu ada di luar dan berusaha menemui
Engkau." Tetapi jawab Yesus kepada orang yang menyampaikan berita itu kepada-Nya:
"Siapa ibu-Ku? Dan siapa saudara-saudara-Ku?" Lalu kata-Nya, sambil menunjuk ke
arah murid-murid-Nya: "Ini ibu-Ku dan saudara-saudara-Ku! Sebab siapa pun yang
melakukan kehendak Bapa-Ku di sorga, dialah saudara-Ku laki-laki, dialah saudara-Ku
perempuan, dialah ibu-Ku.

 Matius 23:8
Tetapi kamu, janganlah kamu disebut Rabi; karena hanya satu Rabimu dan kamu semua
adalah saudara.

 Matius 25:40
Dan Raja itu akan menjawab mereka: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala
sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini,
kamu telah melakukannya untuk Aku.

 Markus 2:1-12
Kemudian, sesudah lewat beberapa hari, waktu Yesus datang lagi ke Kapernaum,
tersiarlah kabar, bahwa Ia ada di rumah. Maka datanglah orang-orang berkerumun
sehingga tidak ada lagi tempat, bahkan di muka pintu pun tidak. Sementara Ia
memberitakan firman kepada mereka, ada orang-orang datang membawa kepada-Nya
seorang lumpuh, digotong oleh empat orang. Tetapi mereka tidak dapat membawanya
kepada-Nya karena orang banyak itu, lalu mereka membuka atap yang di atas-Nya;
sesudah terbuka mereka menurunkan tilam, tempat orang lumpuh itu terbaring. Ketika
Yesus melihat iman mereka, berkatalah Ia kepada orang lumpuh itu: "Hai anak-Ku,
dosamu sudah diampuni!" Tetapi di situ ada juga duduk beberapa ahli Taurat, mereka
berpikir dalam hatinya: "Mengapa orang ini berkata begitu? Ia menghujat Allah. Siapa
yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah sendiri?" Tetapi Yesus segera

| 70
mengetahui dalam hati-Nya, bahwa mereka berpikir demikian, lalu Ia berkata kepada
mereka: "Mengapa kamu berpikir begitu dalam hatimu? Manakah lebih mudah,
mengatakan kepada orang lumpuh ini: Dosamu sudah diampuni, atau mengatakan:
Bangunlah, angkatlah tilammu dan berjalan? Tetapi supaya kamu tahu, bahwa di dunia
ini Anak Manusia berkuasa mengampuni dosa" -- berkatalah Ia kepada orang lumpuh
itu --: "Kepadamu Kukatakan, bangunlah, angkatlah tempat tidurmu dan pulanglah ke
rumahmu!" Dan orang itu pun bangun, segera mengangkat tempat tidurnya dan pergi
ke luar di hadapan orang-orang itu, sehingga mereka semua takjub lalu memuliakan
Allah, katanya: "Yang begini belum pernah kita lihat."

C. Menjadi Saksi Persaudaraan Berdasarkan Sabda Allah


1. Realitas persaudaraan
Persaudaraan merupakan kata yang tak sing lagi bagi kita. Persaudaraan menjadi
bagian dari hidup kita. Banyak alasan persaudaraan itu dibangun. Persaudaraan itu
dibangun karena memang masing terdapat hubungan darah, satu keluarga (kakak/adik).
Atau lebih luas sedikit persaudaraan karena dalam keluarga besar. Ikatan persaudaraan
tersebut membuat keberadaan diri kita menjadi ‘penuh’ sebagai pribadi. Selain dari ikatan
darah yang mengikat kuat persaudaraa, ikatan suku, daerah, minat-hobi, pendidikan dll
juga menjadi alasan bagi seseorang itu menjalin persaudaraan.
Ikatan persaudaraan itu menjadikan diri nampak ‘hadir’ dan berkembang. Itulah
persaudaraan. Kehadirannya amat mendukung pertumbuhan dan perkembangan sebagai
pribadi. Itulah hakikat kita sebagai makhluk sosial atau pribadi yang berelasi. Pada
hakikatnya kita tak dapat menjadi pribadi yang utuh kalau tidak berelasi; bersaudara, entah
sedalam dan sekuat apakah ikatan persaudaraan itu. Seseorang akan mempribadi oleh
karena relasi yang dibangunnya bersama yang lain. Relasi intersubyektivitas.
Realitas hidup kita berbicara lain. Persaudaraan tak selamanya memberikan pengaruh
positif. Banyak dijumpai, oleh persaudaraan ideologis, seseorang menjadi bermusuhan
dengan kelompok lain, dengan saudara yang lain. Bahkan tak segan-segan sampai
menciderai. Persaudaraan menjadi eksklusif dan dan memungkinkan orang lain
bertumbuhkembang. Lingkungan hidup kita menjadi ‘panas’ dan ‘tegang’ oleh hadirknya
eksklusivisme. Keadaan demikian akhirnya membuat orang menjadi apatis dengan kata
persaudaraan. Orang menjadi enggan untuk sejenak melihat hal positif dari persaudaraan.

2. Menjadi saksi persaudaraan atas dasar Sabda Allah


Yesus dalam Injil telah menunjukkan bagaimana persaudaraan baru itu dibangun.
Yesus mau memberikan suatu keyakinan yang diyakiniNya, bahwa persaudaraan itu perlu
dibangun atas dasar Sabda Allah. Bagi-Nya, saudara-saudaraNya dan ibunya adalah mereka
yang mendengarkan Sabda Allah dan melaksanakannya. Mendengar dan melaksanakan
sabda Allah tidak lain adalah melaksanakan kehendak Allah (bdk Mrk 12:50). Yesus
menghargai persaudaraan/kekeluargaan berdasarkaan ikatan manusiawi; namun Yesus
juga mau menawarkan ikatan persaudaraan baru. Melaksanakan kehendak Allahlah yang
menjadi dasar ikatan.

| 71
Yesus amat memahami benar hidup manusiawi kita dengan segala kerapuhannya.
Yesus mau mengajak kita untuk membangun persaudaraan yang lebih mendalam, lebih
rohani; melebihi persaudaraan manusiawi. Yesus telah mengalami itu dalam persaudaraan
dalam keluarga di Nazareth (Yesus, Maria dan Yosep). Pernyataan Yesus yang terlontar,
bukan dimaksudkan tidak peduli lagi pada saudara-saudara dan ibunya. Justru apa yang
disampaikan itu merupakan penegasan bahwa Yesus amat mencintai mereka. Selain itu,
ikatan kasih itu pula hendak ‘dibagikan, ditawarkan’ kepada orang lain/di sekitarnya, agar
mampu juga membangun persaudaraan demikian.
Yesus mau menunjukkan bahwa persaudaraan itu berdimensi rohani. Berdimensi
rohani karena persaudaraan diikat oleh semangat ‘melaksanakan kehendak Allah”. Hal ini
sungguh amat nyata dan ditegaskan kembali oleh Yesus. Persaudaraan demikian dapat
menjadi ‘tanda dan sarana’ kehadiran Yesus. “dimana dua atau tiga orang berkumpul dalam
namaKu, di situlah Aku ada di tengah-tengah mereka.” (Mat 18:20). Ikatan rohani ini
mengikat kerinduan terdalam setiap pribadi untuk menjadi lebih dekat dengan Allah.
Persaudaraan inilah yang mengesampingkan segala kelekatan, kesemuan, ambisi-ambisi
pribadi/kelompok. Yang utama dalam persaudaraan ini adalah kehendakNya. Dalam
persaudaraan inilah, Allah menjadi penyelenggara utama. Dia yang memulai, Dia pulalah
yang akan menyempurnakan.
Setiap frater dipanggil menjadi ‘saksi persaudaraan’ berdasarkan Sabda Allah. Melalui
hidup bersama konfrater yang lain, kita hendak menyatakan bahwa hidup bersama
demikian itu mungkin terwujud. Sikap iman yang mendalam akan Yesus dan SabdaNya
menjadi kekuatan yang memungkinkan kita mewujudkan persaudaraan itu. Kita akan
merasa bahagia, semakin bebas, karena apa yang hendak kita wujudkan sungguh
dikehendakinya. Panggilan kesaksian bahwa persaudaraan ini kudus akan senantiasa terasa
di saat kita memanggil dan dipanggil “Frater..”.Kita tak bisa lepas dari dinamika manusiawi
umumnya, yang tak jarang juga membawa kepada persaudaraan eksklusif, bahkan dapat
pula egois. Namun bersama Yesus, kita boleh meyakini apa yang telah diyakiniNya; dan
diteruskan kepada para muridNya. Hanya dalam iman dan harapan itulah, kita dapat
menjadi saksi persaudaraan model Yesus.
Kita boleh bersyukur bila setiap kali kita memanggil dengan sebutan “frater”, selalu
disadarkan akan panggilan menjadi saudara. Menjadi saudara yang lain sebagai bagian ikut
serta dalam persaudaraan yang telah dibangun oleh Yesus sendiri, yakni persaudaraan
berdasarkan semangat melaksanakan kehendak Allah. "Makanan-Ku ialah melakukan
kehendak Dia yang mengutus Aku dan menyelesaikan pekerjaan-Nya”(Yoh 4:34).
Semangat ini akan sungguh hadir bila dalam persaudaraan senantiasa dilandari kesediaan
untuk “menyelaraskan kehendak kita dengan kehendakNya”. Kesediaan untuk masuk ke
dalam hati sendiri, untuk menyelaraskan dengan kehendaknya dan menemukan kekuatan
baru untuk berbagi hidup dengan saudara yang lain.

3. Menjadi saudara Yesus


Dalam kitab suci perjanjian baru, banyak kita temukan sikap Yesus yang senantiasa
memandang dan memanggil sesama dengan sebutan ‘saudara’. Kita dipanggil menjadi
saudara Yesus. Persaudaraan berdasarkan semangat melaksanakan kehendakNya,

| 72
mengajak kita untuk ambil bagian dalam relasi cinta Yesus sendiri. Persaudaraan demikian
berarti relasi “saya-saudara lain-Yesus”. Persaudaraan ini bersifat mendalam, inklusif
(merangkul banyak orang), terbuka, rohani. Yesus sendiri mau mengajak orang-orang yang
dijumpainya, yang menerima pewartaanNya, dan para muridNya sendiri, juga terbuka akan
persaudaraan yang ditawarkan Yesus. Yesus dalam beberapa perikop kitab suci
menunjukkan bahwa Dia menjadi saudara bagi kita. Yesus adalah saudara satu Bapa,
dengan Allah BapaNya. Kita diangkat menjadi anak Allah dalam kebangkitanNya. Yesus
menyatukan diriNya dalam diri mereka yang miskin dan menderita. Maka tidaklah
berlebihan bahwasannya memberi kesaksian lewat persaudaraan yang kita bangun melalui
hidup eksistensial kita merupakan ‘bentuk kesaksian’ yang dihendak Allah sendiri.

4. Menghantar saudara kepada Yesus


Misi utama persaudaraan yang kita bangun tidak lain juga adalah menghantar
saudara yang lain kepada Yesus. Hal ini nampak sekali dalam persaudaraan yang dibangun
oleh orang-orang Yahudi yang menghantarkan saudaranya yang sakit, lemah untuk
berjumpa dengan Yesus. Oleh karena kesulitan, mereka naik ke atas lalu menurunkannya
ke bawah, sampai di depan Yesus. (bdk. Mrk 2:1-12). Persaudaraan yang penuh pengharapan
akan senantiasa memberikan kekuatan dan harapan baru serta penuh kreatifitas iman
dalam menghantar saudara yang ‘lemah/lumpuh’ untuk sampai kepada Yesus.
Persaudaraan seperti inilah yang dikehendaki Allah.

Iman telah tumbuh dalam persaudaraan ini. Iman yang disegarkan oleh sebuah
kesadaran bahwa kehendak Allah itu nyata dan hadir dalam persaudaraan melalui hal-hal
kecil. Keyakinan iman bersama inilah yang perlu dikembangkan sebagai kesaksian bersama
persaudaraan. Hanya dalam persaudaraan seperti inilah, orang akan merasakan bahwa
Allah sungguh hadir dan dihadirkan.

| 73

Anda mungkin juga menyukai