Anda di halaman 1dari 3

perEMPUan si BUTA KUASA

Oleh : Asterlita T Raha


(Perempuan Loloda)

Bukan cuma kekurangan kekuasaan; perempuan juga takut pada kekuasaan itu sendiri. sinisme
perempuan terhadap kekuasaan dengan mengangap kekuasaan berkaitan dengan penaklukan dan
penindasan merupakan kebutaan sekaligus penyebab yang membuat perempuan memalingkan
wajah dari persimpangan kekuasaan. Gagasan bahwa ketakutan terhadap kekuasaan akan
memblokir seluru akses hidup perempuan memang benar adanya, ketakutan telah berhasil
membuat perempuan tersingkir dari kediriannya dan menjadi lyan.
Kemapuan atau kesanggupan (untuk berbuat sesuatu) kekuatan; serta wewenang untuk
menentukan sesuatu merupakan defenisi atau batasan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI) tentang kuasa itu sendiri. Sehingga kekuasaan tidak lain selain kekuatan, kesanggupan
bahkan suatu kemampuan untuk melakukan sesuatu sebagai potensi dari diri sendiri (intrisik)
bukan proses penaklukan ataupun hegemoni terhadap pihak diluar dari kediriannya. Konsep ini
sejalan dengan teori kekuasaan menurut Michel Foucault.

Apa itu perempuan? Pertanyaan ini sama dengan apa itu laki-laki?, dan jawabannya akan merujuk
pada dua hal yaitu Gender dan seks. Berbicara gender berbeda dengan jenis kelamin (seks),
berbicara gender harusnya membawa nalar jelajah kita pada suatu tatanan (kebiasaan) peradaban
yang terkonstruksi sejak peradaban dini sampai sekarang, culture dan berbagai teks pengetahuan
turut melegitimasi gender. Gender pada dasarnya baik, namun yang menjadi masalah adalah
kesalahan dalam menafsirkan (bias gender) akibatnya terdapat ketimpangan dalam relasi antara
sesama manusia. Ketimpangan relasi yang diakibatkan oleh bias gender merugikan kelompok
manusia lain yang berbeda jenis kelamin, dimana menempatkan laki-laki sebagai manusia yang
bebas nilai sedangkan perempuan yang patuh terhadap nilai. Masyarakat pun masih banyak yang
tak mampu membedakan mana jenis kelamin (seks) atau yang kodrati dan gender yang
terkonstruksi. Sedangkan seks atau jenis kelamin adalah karakteristik biologis dan fisiologis laki-
laki dan perempuan seperti organ reproduksi, kromosom, hormon dll (WHO). Sehingga jika
menganggap bahwa masak, macak (bersolek) dan manak (melahirkan) adalah kodrat atau seks
perempuan, maka kita telah mencederai bagian mata serta turut membutakan perempuan terhadap
kuasa.

Tunanetra Kekuasaan (buta kuasa)


“Cogito Ergo Sum atau saya berpikir maka saya ada (Rane Descartes; 1596-1650) merupakan
model Cartesian sebagai cara berpengetahuan sekaligus menjadi jurang pemisah antara yang
mengetahui (knower) dan yang diketahui (known), yang berakibat pada pengobejektifikasian si
subjek dan merugikan perempuan. Logika selalu mendikte, laki-laki berpikir dan perempuan
merasa. Sehingga Interpretasi diktum I thing therefore I am adalah “laki-laki berpikir maka laki-
laki ada”. Tak hanya Cartesian, jauh sebelumnya Aristoteles berasumsi bahwa perempuan
merupakan yang cacat dan juga inferior. Filsuf Gilles Deluze (1925-1995) pun turut
menyumbangkan tikaman bahwa laki-laki adalah sebuah “konsep Ada” (concept of being), tetapi
perempuan merupakan menjadi (becoming). Pertanyaan fundamental: Apakah tunanetra
kekuasaan yang dialami oleh perempuan adalah parmanen dan kodrati atau dibentuk dan
dikonstrusi?

Di berbagai bidang; baik sosial, ekonomi, budaya, politik, ilmu pengetahuan dll. perempuan takut
mengaktualisasikan kuasanya sehingga tak mengherankan jika perempuan tersingkir dari
kekuasaan. Bahkan dalam ruang paling privat sekalipun perempuan telah buta terhadap kuasa dan
kehilangan kekuasaan, sebab setingkat cara berbusana dan bertutur tak lepas dari tatakrama yang
berasal dari luar dirinya. Perempuan kehilangan wewenang dan otoritas terhadap dirinya karena
menjadi objek serta tahanan moralitas dan etika kebenaran. Menurut CATAHU KOMNAS
perempuan dan anak sepanjang tahun 2018 terjadi peningkatan kasus kekerasn terhadap
perempuan sebesar 14 % dari tahun 2017 yaitu 406.178 kasus dan kekerasan paling tinggi terjadi
pada rana privat atau personal.
Tubuh perempuan adalah ruang politik, bukan otoritas diri bahkan tempat penguasaan beroperasi
melalui mekanisme budaya, akhirnya perempuan kehilangan kekuatan dan kemampuan dalam
dirinya sehingga untuk menguasai rana publik perempuan mengalami kebutaan dan tak jarang
dijadikan alat politik untuk berkuasa. Arogansi atas tubuh perempuan telah lama ditelanjangi oleh
filsuf Simone de Beauvoir dengan istilah the second sex atau the other dan bagamana perempuan
kehilangan kuasa untuk bereksistensi.

Melek Kuasa
Perempuan telah ada di jalan simpang kekuasaan, lalu siapkah perempuan melek kekuasaan? Mari
mengobati kebutaan dengan membasuhkan konsep eksistensialisme Beauvoir. “One who is not
born is the other, but a women.” Ya, perempuan tidak terlahir, melainkan dicetak, dibentuk.
Beauvoir ingin mengatakan bahwa konstruksi sosiallah yang membutakan perempuan dan didepak
menjadi lyan, sehingga perempuan tak punya hak atas dirinya, atas tubuh dan pikirannya, bahkan
kesantunanpun harus menyesuaikan dengan standar lingkungannya. Kebutaan kuasa
mengakibatkan ketidakberdayaan dan bersarang seluru ketertindasan dan diskriminasi.

Mengacu pada teori eksistensialisme Jean Paul Satre, tentang modus ada pada manusia terbagi
menjadi 3 bagian, yakni ada pada dirinya (entre en soi), ada bagi dirinya (entre pour soi) dan ada
untuk orang lain (entre pour les autres). Laki-laki dan Perempuan seharusnya secara sadar
mengetahui potensi dalam dirinya (entre en soi), seperti menstruasi, mengandung dan melahirkan
bukan merupakan kodrati perempuan namun potensi yang dimiliki oleh perempuan karena
memiliki organ yang berpeluang menghasilkan, demikian laki-laki bukan pencetak uang dan
pelindung Kemudian ada bagi dirinya (entre pour soi), artinya setelah mengetahui potensi dalam
dirinya laki-laki dan perempuan harus mampu menyediakan keperluan bagi dirinya sendiri sebagai
perwujudan ada. Yang terakhir ada untuk orang lain (entre pour les autres),merupakan kesadaran
untuk berelasi dengan sesama manusia untuk mencapai kebahagiaan bersama, sehingga
dibutuhkan sebuah medium untuk memfasilitasi sebagai perwujudan dari “eksistesialisme”.
Sehingga Puncak tertinggi eksistensi manusia adalah politik, merujuk dari konsep Aristoteles
“zoon politikon” atau “manusia politik”, Hanna Arendt kemudian medefenisikan manusia politik
adalah manusia tindakan, dengan menggunakan ruang public dan prularistik, dimana setiap
manusia berada pada tataran kesetaraan (equality). Makna sebenarnya politik adalah kebebasan,
bebas dari pengendalian mekanisme alamiah, bebas dari dominasi hirarkis, dan masuk ke ruang
public sebagai manusia yang otentik dan otonom. Sehingga untuk bereksistensi sebagai manusia
tidak berkaitan dengan jenis kelamin tertentu atau politik tak berjenis kelamin laki-laki.

Berpicara politik berbicara kebebasan, sebab politik mengingkari hegemoni dan dominasi. Politik
adalah alat pendistribusi keadilan sebagai perwujudan ada untuk orang lain (entre pour les autres),
perempuan pun harus secara sadar dan melek terhadap politik. Sebagai demografi yang hampir
sama dengan laki-laki, perempuan harus turut dan terlibat bereksistensi, baik secara politik,
ekonomi, sosial bahkan IPTEK. Aktualisasi inipun dapat kita lihat pada kontelasi politik 2019 ini,
sekitar 3.194 caleg perempuan yang ikut berkotestasi dari 16 partai politik dan menurut data KPU,
jumlah Daftar Pemilih Tetap Hasil Perbaikan (DPTHP) III Pemilu 2019, pemilih perempuan lebik
banyak dibandingkan laki-laki, yakni 95.406.271 orang sedangkan laki-laki 95.373.698 orang.

Buta kuasa bukan kodrat perempuan tetapi hasil konstruksi sosial, perempuan harus melek kuasa
agar menjadi manusia otentik dan otonom. Perempuan adalah manusia yang sama dengan laki-
laki, yang membedakan adalah organ reproduksi, hormon dan kromosom bukan kebebasan dan
hak asasi untuk hidup. Dengan terus mencerahkan akal dengan literasi niscaya” perempuan buta
kuasa” akan menjadi mitos usang diatas kokohnya kehidupan yang egaliter.

Anda mungkin juga menyukai