Anda di halaman 1dari 24

BAB II.

TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini berisi tinjauan literatur dan pemahaman terkait seperti studi preseden dan studi
literature yang dilakukan sebagai pendekatan konsep perencanaan dan perancangan Pusat
Pelatihan Olahraga Penyandang Disabilitas dengan Pendekatan Arsitektur Hijau di
Surakarta serta mengetahui standard yang berlaku sesuai dengan kebutuhan penyandang
disabilitas. Sedangkan untuk tinjauan arsitektur hijau yaitu untuk menjelaskan mengenai
perancangan berwawasan lingkungan.
A. Tinjauan Tipologi Pusat Pelatihan Olahraga Penyandang Disabilitas
1. Pemahaman Penyandang Disabilitas
Menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas
adalah setiap orang yang memiliki keterbatasan pada fisik, intelektual, mental,
dan/atau sensoriknya. Sedangkan ragam penyandang disabilitas berdasarkan
undang-undang tersebut meliputi penyandang disabilitas fisik, penyandang
disabilitas intelektual, penyandang disabilitas mental, dan/atau penyandang
disabilitas sensorik. Keterbatasan penyandang disabilitas dapat dialami secara
tunggal, ganda, atau multi. Adapun keterbatasan tersebut dapat disebabkan oleh
faktor seperti cacat didapat (acquired) maupun cacat bawaan/sejak lahir
(congenital). Ragam penyandang disabilitas dapat dijelaskan seperti berikut:
a. Penyandang Disabilitas Fisik
Penyandang disabilitas fisik adalah setiap orang yang memiliki
keterbatasan pada fungsi gerak, seperti; 1) amputasi, yaitu seseorang yang
mengalami putus bagian tangan, dan/atau kaki; 2) lumpuh layuh atau kaku
yaitu seseorang yang mengalami kelayuhan atau kekakuan organ fisik tangan
dan kaki; 3) paraplegi, yaitu seseorang yang mengalami penurunan fungsi
motoric atau fungsi sensorik dari gerak tubuh yang disebabkan cedera sumsum
tulang belakang atau cacat bawaan; 4) celebral palsy (CP), yaitu seseorang
yang mengalami keterbatasan pada postur dan kontrol gerakan yang bersifat
non progresif dan disebabkan oleh kerusakan atau kelumpuhan sistem syaraf
pusat; 5) akibat stroke, yaitu seseorang yang mengalami ganguan fungsi fisik
karena penyakit stroke; 6) akibat kusta, yaitu seseorang yang mengalami
kehilangan atau kerusakan bagian organ fisik akibat dari penyakit kusta; 7)
orang kecil, yaitu seseorang yang memiliki ukuran tubuh kecil yang tidak
seperti kebanyakan orang lain.
b. Penyandang Disabilitas Intelektual
Penyandang disabilitas intelektual adalah setiap orang yang mengalami
keterbatasan pada fungsi piker dan/atau fungsi adaptiy yang disebabkan oleh
tingkat kecerdasan di bawah rata-rata dalam jangka waktu yang lama dan
mengalami hambatan atau kesulitan dalam melakukan interaksi terhadap
lingkungan maupun masyarakat. Disabilitas intelektual bukanlah penyakit
jiwa/mental, melainkan seseorang yang memiliki hambatan menyangkut
kemampuan dan kecerdasan, namun memiliki potensi diri untuk
dikembangankan. Penyandang disabilitas intelektual dapat dibedakan
berdasarkan tingkat intelegensi (IQ) dan berdasarkan fungsi perilaku adaptif
(SQ).
1) Berdasarkan tingkat intelegensi (IQ), dapat dikategorikan sebagai berikut:
a) Penyandang Disabilitas Intelektual Borderline dan Mild (Ringan)
Standar IQ antara 52 – 79 dangan karakteristik perkembangan
fungsi fisiknya agak terlambat, pertumbuhan (tinggi dan berat badan)
dan perkembangan seksual tidak jauh berbeda dengan individu lain
yang seusia, kurang memiliki kekuatan, kecepatan dan koordinasi,
sering mengalami masalah kesehatan, perhatiannya kurang, sulit
untuk berkonsentrasi, mampu melakukan keterampilan menolong dan
mengurus dirinya sendiri, mampu bekerja asal mendapat
pendampingan, kurang mampu untuk mengatur keuangan.
b) Penyandang Disabilitas Intelektual Moderate (Sedang)
Standar IQ 36 – 51 dangan karakteristik masih dapat dilatih
membaca dan menulis yang sangat sederhana dan bersifat fungsional,
dapat dilatih mengurus dirinya sendiri dengan tetap mendapatkan
pendampingan (makan minum, berpakaian, mandi), dapat dilatih
beberapa keterampilan tertentu yang sederhana, dapat dilatih
menyesuaikan dengan lingkungan rumah atau sekitarnya, kurang
dapat melindungi diri, sehingga sebaiknya berada dilingkungan yang
terlindung, mengalami kekurangan kemampuan untuk mengingat,
menggeneralisasi, bahasa, konseptual, kreativitas, sehingga tugas
yang diberikan kepada mereka harus sederhana, singkat dan relevan,
diantaranya ada yang menampakan kelainan fisik yang merupakan
kelainan bawaan (Down Syndrome), kurang mampu mengontrol diri
(hasrat seksual, dll).
c) Penyandang Disabilitas Intelektual Severe dan Profound (Berat)
Standar IQ 20 – 35 dangan karakteristik tidak mampu mengurus
diri sendiri, tidak mampu bersosialisasi atau berinteraksi dengan baik,
sangat membutuhkan bantuan orang lain untuk mengurus kebutuhan
diri sendiri.
2) Berdasarkan fungsi perilaku adaptif (SQ), dapat dikategorikan sebagai
berikut:
a) Penyandang Disabilitas Intelektual Borderline dan Mild (Ringan)
Penyandang disabilitas yang memiliki kesulitan memenuhi
tuntutan akademik, secara umum keterampilan komunikasi dan sosial
dapat berkembang sama dengan individu lainnya ketika masa usia pra
sekolah, dan mulai menunjukkan perbedaan ketika usia sekolah.
b) Penyandang Disabilitas Intelektual Moderate (Sedang)
Penyandang disabilitas yang biasanya mengembangkan
keterampilan komunikasi dan sosial selama awal kehidupan anak-
anak saja, dan setelah masa kanak-kanak akan mengalami kesulitan
perkembangan komunikasi dan sosial. Dapat dilatih untuk melakukan
pekerjaan dengan pengawasan. Dapat belajar rawat diri bersifat dasar,
tetapi membutuhkan pengawasan yang lebih.
c) Penyandang Disabilitas Intelektual Severe dan Profound (Berat)
Penyandang disabilitas yang mempunyai kemampuan berbicara
secara komunikatif biasanya tidak dapat berkembang sejak usia masa
anak-anak. Memerlukan perawatan dan perlindungan secara total
dalam kehidupan sehari hari.
Penyandang disabilitas intelektual adalah seseorang yang mengalami
keterbatasan seperti; 1) Down Syndrome, yaitu penyandang disabilitas
intelektual yang memiliki ciri fisik kepala kecil/besar, gepeng/panjang
mata sipit, dahi sempit, hidung pesek, bibir tebal cenderung terbuka,
rambut lurus kejur dan tebal, sendi-sendi tulang pendek, penis dan scrotum
cenderung kecil, (buku jempol tangan cenderung pendek, ruas jari gemuk,
jarak alis dekat, badan cenderung gemuk gembyor; 2) Cretinisme/Stanted,
yaitu penyandang disabilitas intelektual yang mempunyai penampilan
tubuh kecil dan pendek dari ukuran orang-orang seusianya; 3)
Microcephali, yaitu penyandang disabilitas intelektual dengan bentuk
kepala kecil dari ukuran orang-orang seusianya; 4) Macrocephali, yaitu
penyandang disabilitas intelektual dengan bentuk kepala besar . dari
ukuran orang-orang seusianya; 5) Schapocephali, yaitu penyandang
disabilitas intelektual dengan bentuk kepala gepeng.
c. Penyandang Disabilitas Mental
Penyandang disabilitas mentala adalah setiap orang yang memiliki
gangguan pada fungsi piker, emosi, dan perilaku. Penyandang disabilitas
mental menurut Undang-Undang No 18 Tahun 2016 antara lain setiap orang
yang mengalami psikososial diantaranya skinzofrenia, bipolar, depresi,
anxietas, gangguan kepribadian, dan keterbatsasan perkembangan yang
berpengaruh pada kemampuan interaksi sosial sepertii autis dan hiperaktif.
d. Penyandang Disabilitas Sensorik
Penyandang disabilitas sensorik adalah kecacatan yang mengakibatkan
gangguan pada salah satu fungsi dari panca indera, seperti penglihatan,
pendengaran, dan kemampuan bicara. Penyandang disabilitas fisik adalah
kondisi seseorang yang mengalami kerusakan fisik yang dapat diakibatkan
oleh suatu penyakit atau bawaan lahir. Penyandang disabilitas fisik meliputi
beberapa macam kelainan, seperti:
1) Kelainan Indera Penglihatan (Tunanetra).
Tunanetra adalah individu yang memiliki hambatan dalam
penglihatan. Tunanetra dapat diklasifikasikan kedalam dua golongan
yaitu: buta total (blind) dan low vision.
2) Kelainan Pendengaran (Tunarungu).
Tunarungu adalah individu yang memiliki hambatan dalam
pendengaran baik permanen maupun tidak permanen. Karena memiliki
hambatan dalam pendengaran individu tunarungu memiliki hambatan
dalam berbicara sehingga mereka biasa disebut tunawicara.
3) Kelainan Bicara (Tunawicara)
Tunawicara adalah seseorang yang mengalami kesulitan dalam
mengungkapkan pikiran melalui bahasa verbal, sehingga sulit bahkan
tidak dapat dimengerti oleh orang lain. Kelainan bicara ini dapat
dimengerti oleh orang lain. Kelainan bicara ini dapat bersifat fungsional
di mana kemungkinan disebabkan karena ketunarunguan, dan organik
yang memang disebabkan adanya ketidaksempurnaan organ bicara
maupun adanya gangguan pada organ motorik yang berkaitan dengan
bicara.
2. Pemahaman Olahraga Penyandang Disabilitas
Dalam pelaksanaanya olahraga bagi penyandang cacat ini memiliki kesamaan
dengan olahraga normal lainnya, hanya terdapat perbedaan pada peraturan
pertandingan dan sarana prasarana tambahan yang digunakan untuk pelaksanaan
perlombaan maupun pertandingan agar dapat dilakukan. Pemahaman olahraga
penyandang disabilitas akan berpedoman pada cabang-cabang olahraga yang
dipertandingkan di tingkat Asia dan sesuai dengan peraturan yang dikeluarkan oleh
IPC (International Paralympic Committee), selaku induk organisasi internasional
yang menaungi olahraga penyandang disabilitas.
IPC (International Paralympic Committee) telah menerbitkan peraturan
tentang klasifikasi cabang olahraga yang dipertandingkan. Berdasarkan peraturan
tersebut, atlet disabilitas yang diperbolehkan untuk bermain dalam pertandingan
olahraga khusus penyandang disabilitas dijelaskan dalam 10 kategori berdasarkan
tingkat kecacatannya sebagai berikut:
Tabel 2. 1. Kategori kecacatan berdasarkan tingkatannya
No. Tingkat Kecacatan Keterangan
Gangguan Kekuatan Berkurangnya kekuatan otot pada suatu anggota tubuh atau
1
Otot bagian bawah tubuh.
Gangguan Gerakan Keterbatasan gerakan yang terjadi secara permanen dalam satu
2
Pasif atau lebih sendi.
Kekurangan Anggota Tidak adanya tulang atau sendi pada satu bagian maupun total
3
Gerak pada tubuh.
Perbedaan Panjang
4 Pemendekan tulang pada satu kaki sejak lahir atau trauma.
Kaki
Penurunan tinggi berdiri karena dimensi tulang yang tidak normal
5 Perawakan Pendek
dari anggota tubuh atas dan bawah.
Peningkatan yang tidak normal pada ketegangan otot dan
6 Hypertonia
berkurangnya kemampuan otot untuk melakukan peregangan.
Kurangnya koordinasi gerakan otot karena kondisi neurologis,
7 Ataxia
seperti cerebral palsy, cedera otak atau multiple sclerosis.
Melakukan gerakan tidak seimbang dan tidak terkontrol serta
8 Athetosis kesulitan mempertahankan postur simetris, karena cerebral palsy,
cedera otak, multiple sclerosis, atau kondisi lainnya.
Penglihatan dipengaruhi oleh gangguan struktur mata, saraf optik
Gangguan
9 /jalur atau bagian dari pengontrol penglihatan otak (korteks
Penglihatan
visual).
Keterbatasan dalam fungsi intelektual dan perilaku adaptif
10 Gangguan Intelektual sebagaimana dinyatakan dalam keterampilan adaptif konseptual,
sosial, dan praktis, yang berasal sebelum usia 18 tahun.
Sumber: International Paralympic Committee
Klasifikasi khusus untuk atlet dengan gangguan penglihatan dapat dijelaskan
sebagai berikut:
a. B1 adalah kelas untuk atlet penyandang disabilitas dengan ketajaman visual
yang sangat rendah dan/atau tidak ada persepsi cahaya.
b. B2 adalah kelas untuk atlet penyandang disabilitas yang memiliki ketajaman
visual yang lebih tinggi daripada atlet yang bersaing di kelas olahraga B1
dan/atau bidang visual dengan radius kurang dari 5 derajat.
c. B3 dalah kelas untuk atlet penyandang disabilitas yang memiliki gangguan
penglihatan paling minimum yang memenuhi syarat untuk olahraga
penyandang disabilitas. Mereka memiliki ketajaman visual tertinggi dan/atau
bidang visual dengan radius kurang dari 20 derajat.
Cabang olahraga penyandang disabilitas yang dipertandingkan di wilayah Asia
dinaungi APC (Asian Paralympic Comitte). Sedangkang di wilayah Asia Tenggara
dinaungi oleh APSF (ASEAN Para Sports Federation). Pertandingan multi-
olahraga tingkat ASEAN tersebut adalah ASEAN Para Games. Pada penulisan
konsep ini akan menggunakan acuan pertandingan pada ASEAN Para Games 2017
yang disesuai dengan olahraga paralimpiade. Berdasarkan penyelenggaraan
terkahir di Malaysia, ASEAN Para Games 2017 mempertandingkan cabang
oahraga paralimpiade seperti Panahan, Atletik, Bulu Tangkis, Boccia, Balap
Sepeda, Sepak Bola 5 Sisi, Goalball, Powerlifting, Berenang, Tenis Meja, Voli
Duduk, Tenis Kursi Roda, dan Bola Basket Kursi Roda.
a. Panahan
Penyandang disabilitas yang berhak bertanding pada cabang olahraga
panahan adalah penyandang disabilitas dengan tingkat kecacatan berupa
gangguan kekuatan otot, gangguan gerakan pasif, kekurangan anggota gerak,
perbedaan panjang kaki, hyperthonia, ataxia, dan athetosis. Atlet penyandang
disabilitas pada cabang olahraga panahan memiliki klasifikasi sebagai berikut:
1) Kelas ARW 1
Atlet penyandang disabilitas di kelas ARW 1 adalah atlet berkursi
roda yang memiliki gangguan kekuatan otot atau gangguan gerakan pasif,
dan kekurangan koordinasi terhadap anggota gerak tubuh yaitu kaki dan
tangannya.
2) Kelas ARW 2
Atlet penyandang disabilitas di kelas ARW 2 adalah atlet yang
memiliki gangguan kekuatan atau gangguan gerakan pasif, dan
kekurangan koordinasi terhadap anggota gerak bagian bawah atau kaki.
Namun, lengan mereka menunjukkan fungsi yang normal.
3) Kelas ARST
Atlet penyandang disabilitas di kelas ARST adalah atlet yang
bertanding dalam posisi berdiri namun membutuhkan alat pendukung
karena kurangnya keseimbangan yang dimiliki. Atlet yang termasuk
dalam kelas ini memiliki perbedaan panjang kaki, kekurangan anggota
gerak yang mempengaruhi fungsi lengan.
Pada cabang olahraga panahan ini digunakan lapangan latihan yang
bersifat terbuka atau berada di luar ruangan. Berdasarkan peraturan dari
Archery Great Britain dan sesuai dengan standar rekomendasi dari
International Archery Federation, tentang Archery Facilities: Guidance &
Specifications serta How to make an Archery Practice Range, maka ditentukan
standar ukuran lapangan yang digunakan sebagai berikut:

Gambar 2. 1. Standar Lapangan Panahan


Sumber: International Archery Federation
Keterangan:
(1) : Harus ada tanah mati di area eksklusi overshoot 50 meter,
dan itu harus selalu jelas sebelum dan selama shooting.
(2) dan (3) : Area pengecualian di setiap sisi rentang harus dijaga tetap
bersih dari semua hambatan yang bisa mengaburkan potensi
bahaya.
(4) : Ruang antara 10 meter.
(5) : Baris ini ada terutama untuk tujuan turnamen. Jika seorang
pemanah memiliki panah yang jatuh sebelum garis ini
ditetapkan 3 meter di depan garis tembak, panah itu
dianggap tidak ditembak. Oleh karena itu panah lain dapat
ditembak - tetapi di bawah bimbingan hakim penuntut.
(6) : Jarak antara target diatur sehingga masing-masing pemanah
memiliki personal minimum ruang untuk menembak 80 cm
(1 meter untuk kursi roda).
(7) : Setiap pemanah berdiri dengan satu kaki di kedua sisi garis
tembak untuk menembak busur. Garis pemotretan harus
lurus dan sejajar dengan garis target.
(8) : Garis tunggu ini harus minimal 2 meter di belakang garis
tembak, 3 meter untuk kompetisi.
(9) : Lebar jalur peralatan harus dari 2 meter hingga 5 meter
untuk kompetisi.
(10) : Area pesaing adalah untuk pemanah, manajer tim, dan
pelatih. Pengunjung harus ditempatkan di zona ini untuk
meminimalkan kerusakan peralatan yang tidak disengaja
atau cedera pribadi.
b. Atletik
Penyandang disabilitas yang berhak bertanding pada cabang olahraga
atletik adalah penyandang disabilitas yang memenuhi klasifikasi berdasarkan
10 tingkat kecacatan berupa gangguan kekuatan otot, gangguan gerakan pasif,
kekurangan anggota gerak, perbedaan panjang kaki, perawakan pendek,
hyperthonia, ataxia, athetosis, gangguan penglihatan, dan gangguan
intelektual.
Pada cabang olahraga atletik, digunakan huruf “T” dan “F” untuk
membedakan kelas di setiap nomor yang diperlombakan. Huruf “T” untuk
cabang olahraga lintasan dan huruf “F” untuk cabang olahraga lapangan. Pada
cabang olahraga atletik, nomor yang dipertandingkan adalah lari, lompat jauh,
triple jump, tolak peluru, lempar cakram, dan lempar lembing. Pembagian
kelas tersebut dapat dijelaskan melalui tabel berikut ini:
1) Kelas T/F11-13 untuk atlet dengan gangguan penglihatan
2) Kelas T/F20 untuk atlet dengan gangguan intelektual
3) Kelas T/F31-34 untuk atlet cerebral palsy dengan kursi roda
4) Kelas T/F35-38 untuk atlet cerebral palsy tanpa kursi roda
5) Kelas T/F40-41 untuk atlet dengan perawakan pendek
6) Kelas T/F42-44 untuk atlet yang mengalami kekurangan anggota gerak
bagian bawah
7) Kelas T/F45-46 dan T47 untuk atlet yang mengalami kekurangan anggota
gerak bagian atas
8) Kelas T/F51-54 dan F55-57 untuk atlet dengan kursi roda selain cerebral
palsy (cedera sumsum tulang belakang, cedera sumsum tulang belakang,
amputasi, gangguan fungsional)
Pada cabang olahraga atletik, digunakan lapangan latihan yang bersifat
terbuka atau berada di luar ruangan. Berdasarkan peraturan dari International
Association of Athletics Federations (IAAF) tentang Track and Field Facilities
Manual, maka ditentukan standar ukuran lapangan yang digunakan adalah tipe
lintasan standar oval track 400m dengan yang dapat dijelaskan sebagai berikut:

Gambar 2. 2. Standar Lapangan Atletik


Sumber: International Association of Athletics Federations
Keterangan:
Lintasan Standar 400m Oval Track
Radius : 36,5m
Lintasan Lurus : 84,39m
Lapangan Dalam
Lebar : 73m
Panjang : 84,39m
Dimensi Segmen
Lebar : 73m
Panjang : 36,5m
c. Bulu Tangkis
Penyandang disabilitas yang berhak bertanding pada cabang olahraga ini
adalah penyandang disabilitas yang memenuhi kategori kecacatan berupa
gangguan kekuatan otot, gangguan gerakan pasif, kekurangan anggota gerak,
hyperthonia, ataxia, athetosis, perbedaan panjang kaki, dan perawakan
pendek. Pada cabang olahraga badminton, terdapat 6 kelas yang terdiri dari 2
kelas kursi roda (WH), 2 kelas berdiri untuk gangguan anggota gerak bawah
(SL), 1 kelas untuk gangguan anggota gerak atas (SU), dan 1 kelas untuk atlet
bertubuh pendek (SS).
Atlet di kelas olahraga WH1 memiliki batasan aktivitas terbesar. WH1,
WH2 dan SL3 bermain half-court (memanjang) di nomor tunggal dan full-
court di nomor ganda. SL4, SU5 dan SS6 bermain penuh di semua nomor,
yaitu tunggal putra, tunggal putri, ganda putra, ganda putri dan ganda
campuran. Atlet penyandang disabilitas pada cabang olahraga ini memiliki
klasifikasi sebagai berikut:
1) Kelas Kursi Roda
a) Kelas WH1
Atlet di kelas ini mengalami gangguan anggota gerak bawah dan
tubuh, tetapi masih memungkinkan untuk menggunakan fungsi
tangan.
b) Kelas WH2
Atlet di kelas ini mengalami gangguan pada satu atau kedua
anggota gerak bawah dengan fungsi tangan yang baik.
2) Kelas Berdiri
a) Kelas SL3
Atlet di kelas ini mengalami gangguan pada satu atau kedua
anggota gerak bawah dan keseimbangan berjalan atau berlari yang
buruk.
b) Kelas SL4
Atlet di kelas ini mengalami gangguan lebih ringan daripada
kelas SL3. Atlet di kelas ini dapat berjalan lebih cepat dan memiliki
keseimbangan yang lebih baik.
c) Kelas SU5
Atlet di kelas ini mengalami gangguan anggota gerak atas.
d) Kelas SS6
Atlet di kelas ini mengalami gangguan berupa perawakan
pendek.
Pada cabang olahraga bulu tangkis, digunakan lapangan latihan yang
bersifat tertutup atau berada di dalam ruangan. Berdasarkan peraturan dari
Badminton World Federation (BWF) tentang Court and Court Equipment,
menentukan standar lapangan yang digunakan untuk kelas kursi roda dan kelas
berdiri. Standar tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

Gambar 2. 3. Standar Lapangan Bulu Tangkis


Sumber: Badminton World Federation

Gambar 2. 4. Standar Lapangan Bulu Tangkis Kelas Kursi Roda


Sumber: Badminton World Federation
Gambar 2. 5. Standar Lapangan Bulu Tangkis Kelas Berdiri
Sumber: Badminton World Federation

d. Boccia
Penyandang disabilitas yang berhak bertanding pada cabang olahraga ini
adalah penyandang disabilitas yang memenuhi kategori 10 tingkat kecacatan
berupa gangguan kekuatan otot, gangguan gerakan pasif, kekurangan anggota
gerak, hyperthonia, ataxia, athetosis. Atlet penyandang disabilitas pada
cabang olahraga ini memiliki klasifikasi sebagai berikut:
1) Kelas BC1
Atlet penyandang disabilitas di kelas BC1 memiliki keterbatasan
aktivitas yang tinggi pada anggota gerak yang mempengaruhi kaki,
lengan, dan badan karena kurangnya kemampuan koordinasi.
2) Kelas BC2
Atlet penyandang disabilitas di kelas BC2 memiliki kontrol trunk dan
fungsi lengan yang lebih baik daripada para pemain di kelas olahraga BC1
dan BC3. Kemampuan lengan dan tangan mereka sering memungkinkan
mereka untuk melempar bola secara overhand dan licik serta dengan
berbagai genggaman.
3) Kelas BC3
Atlet penyandang disabilitas di kelas BC3 memiliki keterbatasan
fungsi dan kontrol pada anggota gerak atas dan bawah. Untuk membantu
mereka mendorong bola ke lapangan, mereka menggunakan jalan dan alat
bantu lainnya untuk menggulirkan bola.
4) Kelas BC4
Atlet penyandang disabilitas di kelas BC4 memiliki gangguan yang
tidak memiliki asal otak seperti kondisi kesehatan distrofi otot, cedera
sumsum tulang belakang, dan amputasi yang mempengaruhi keempat
anggota gerak tubuh.
Pada cabang olahraga boccia, digunakan lapangan latihan yang bersifat
tertutup atau berada di dalam ruangan. Berdasarkan peraturan dari Boccia
International Sport Federation (BISFed), menentukan standar lapangan yang
digunakan untuk pertandingan boccia. Standar tersebut dapat dijelaskan
sebagai berikut:

Gambar 2. 6. Standar Lapangan Boccia


Sumber: Boccia International Sport Federation

Keterangan:
 Garis lebar untuk garis eksterior, garis lempar dan garis V.
 Garis tipis untuk kotak pembagi lempar, salib dan kotak target 25cm
x 25cm.
 Garis 6m: dari bagian dalam garis samping.
 Garis samping 12,5m: dari dalam garis depan dan dari dalam garis
belakang.
 10m: dari dalam garis depan ke belakang garis lemparan.
 5m: dari dalam garis depan ke pusat salib.
 3m: dari dalam garis samping ke pusat salib.
 3m: dari belakang garis lemparan ke depan garis V.
 1,5m: dari belakang garis lemparan ke titik depan garis V.
 2,5m: dari dalam garis belakang ke dalam (yang juga merupakan
bagian belakang) dari garis lempar.
 Garis kotak 1m untuk pemain.
e. Balap Sepeda
Penyandang disabilitas yang berhak bertanding pada cabang olahraga ini
adalah penyandang disabilitas yang memenuhi kategori kecacatan berupa
gangguan kekuatan otot, gangguan gerakan pasif, kekurangan anggota gerak,
hyperthonia, ataxia, athetosis, perbedaan panjang kaki, dan gangguan
penglihatan. Atlet dengan kelainan fisik dapat berkompetisi menggunakan
handcycles, tricycles, atau bicycles. Sedangkang atlet dengan gangguan
penglihatan bersaing dengan tandem dengan "pilot" yang dapat melihat. Atlet
penyandang disabilitas pada cabang olahraga ini memiliki klasifikasi sebagai
berikut:
1) Handcycles
Terdapat 5 kelas dimana angka yang lebih rendah menunjukkan
batasan aktivitas pada atlet yang lebih parah. Atlet di kelas H1 mengalami
kehilangan fungsi trunk dan tungkai lengkap dan memiliki fungsi lengan
terbatas, sedangkan kelas H4 tidak memiliki fungsi kaki selain fungsi
trunk dan lengan yang baik. Atlet di kelas H5 mengalami amputasi kaki,
paraplegia, atau atetosis ringan atau sedang.
2) Tricycles
Terdapat 2 kelas yaitu T1 dan T2. Kelas T1 untuk atlet dengan
gangguan koordinasi yang lebih signifikan atau kehilangan kekuatan otot
daripada atlet yang bersaing di kelas olahraga T2.
3) Bicycles
Terdapat 5 kelas yaitu C1-5. Atlet yang berhak mengikuti olahraga ini
mengalami amputasi, gangguan kekuatan otot atau rentang gerak dan juga
gangguan yang mempengaruhi koordinasi. Kelas olahraga C1
dialokasikan untuk atlet dengan batasan aktivitas paling parah, sedangkan
kelas olahraga C5 dialokasikan untuk atlet yang memenuhi kriteria
penurunan nilai minimum.
4) Tandem
Terdapat 3 kelas yaitu TB1-3. Pada nomor tandem pengendara yang
dapat melihat berada di depan. Atlet yang dapat mengikuti olahraga ini
harus memenuhi kriteria gangguan penglihatan.
Pada cabang olahraga sepeda, digunakan lapangan latihan berupa
velodrome. Berdasarkan peraturan dari Union Cycliste Internationale (UCI)
tentang Technical Specifications and Velodromes Homologation, menentukan
standar lapangan yang digunakan untuk kelas sepeda lintasan. Geometri
lintasan berbentuk 2 kurva yang dihubungkan oleh 2 garis atau lintasan lurus
yang paralel. Panjang lintasannya 250m sesuai dengan standar pertandingan
paralimpiade. Sedangkan lebar lintasan dalam kategori 1 dan 2 harus memiliki
lebar 7m.

Gambar 2. 7. Standar Lintasan Sepeda


Sumber: Union Cycliste Internationale

f. Sepakbola 5-Sisi
Penyandang disabilitas yang berhak bertanding pada cabang olahraga ini
adalah penyandang disabilitas dengan gangguan penglihatan. Olahraga ini
mengharuuskan semua pemain kecuali penjaga gawang untuk menggunakan
penutup mata. Pada cabang olahraga ini, digunakan lapangan latihan yang
berada di dalam ruangan untuk memastikan permukaan lapangan yang aman.
Berdasarkan peraturan dari International Blind Sport Federation (IBSA)
Footbal Subcommitte, permukaan lapangan dapat berupa kayu maupun karet
sintetis, dan rumput sintetis. Dimensi lapangan yang digunakan memiliki lebar
20m dan panjang 40m. Penjelasan standar ukuran lapangan dapat dilihat pada
gambar di bawah ini.

Gambar 2. 8. Standar Lapangan Sepakbola 5-Sisi


Sumber: International Blind Sport Federation
g. Goal Ball
Penyandang disabilitas yang berhak bertanding pada cabang olahraga ini
adalah penyandang disabilitas dengan gangguan penglihatan. Pada olahraga ini
terdapat pembagian kelas yaitu B1-3 sesuai dengan klasifikasi gangguan
penglihatan. Pada cabang olahraga ini, digunakan lapangan latihan yang
berada di dalam ruangan untuk memastikan permukaan lapangan yang aman.
Berdasarkan peraturan dari International Blind Sport Federation (IBSA),
permukaan lapangan dapat berupa kayu maupun karet sintetis. Dimensi
lapangan yang digunakan memiliki lebar 9m dan panjang 18m. Penjelasan
standar ukuran lapangan dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Gambar 2. 9. Standar Lapangan Goal Ball


Sumber: International Blind Sport Federation

h. Powerlifting
Penyandang disabilitas yang berhak bertanding pada cabang olahraga
powerlifting adalah penyandang disabilitas yang memiliki gangguan kekuatan
otot, gangguan gerakan pasif, kekurangan anggota gerak, perbedaan panjang
kaki, perawakan pendek, hyperthonia, ataxia, dan athetosis. Hanya ada satu
kelas olahraga di Powerlifting, tetapi para atlet bersaing dalam kategori berat
yang berbeda. Fasilitas latihan yang dibutuhkan pada cabang olahraga ini
memiliki standar ruang gymnasium, namun lebih diprioritaskan untuk angkat
beban.
i. Renang
Penyandang disabilitas yang berhak bertanding pada cabang olahraga
atletik adalah penyandang disabilitas yang memenuhi klasifikasi berdasarkan
10 tingkat kecacatan berupa gangguan kekuatan otot, gangguan gerakan pasif,
kekurangan anggota gerak, perbedaan panjang kaki, perawakan pendek,
hyperthonia, ataxia, athetosis, gangguan penglihatan, dan gangguan
intelektual. Nomor yang dipertandingkan dalam olahraga ini terdiri dari “S”
dan “SB”. Huruf S untuk nomor gaya bebas, kupu-kupu, dan gaya punggung.
Sedangkan huruf SB untuk gaya dada. Atlet penyandang disabilitas pada
cabang olahraga ini memiliki klasifikasi sebagai berikut:
1) Kelas S1-10 dan SB1-9
Atlet dengan gangguan fisik dimana angka yang lebih rendah
menunjukkan batasan aktivitas yang lebih parah daripada angka yang
lebih tinggi.
2) Kelas S/SB1-13
Atlet yang memiliki gangguan penglihatan. Pembagian kelas sesuai
dengan kategori ganguan penglihatan.
3) Kelas S/SB14
Atlet memiliki gangguan intelektual yang mempengaruhi atlet dalam
kaitannya pengenalan pola, pengurutan, dan memori, atau memiliki waktu
reaksi yang lebih lamba.
Berdasarkan peraturan yang dikeluarkan oleh International Swimming
Federation (FINA), standar minimum untuk fasilitas renang berupa kolam
renang yang diatur dalam World Para Swimming: Rules and Regulations harus
memiliki panjang 50m dan lebar 25m yang dibagi menjadi 8 lintasan selebar
2,5m. Kedalaman kolam renang minimum 2m dengan temperature air di kolam
renang harus dijaga pada 25OC-28OC. Penjelasan standar ukuran lapangan
dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Gambar 2. 10. Standar Kolam Renang


Sumber: International Swimming Federation
j. Tenis Meja
Penyandang disabilitas yang berhak bertanding pada cabang olahraga voli
duduk adalah penyandang disabilitas yang memiliki gangguan kekuatan otot,
gangguan gerakan pasif, kekurangan anggota gerak, perbedaan panjang kaki,
perawakan pendek, gangguan intelektual, hyperthonia, ataxia, dan athetosis.
Standar fasilitas yang harus diperhatikan adalah pemilihan lantai yang
aman dan tidak licin. Lantai yang digunakan juga tidak boleh merefleksikan
cahaya. Material yang diperbolehkan menurut International Para Table Tennis
Committee (IPTTF) adalah material kayu atau penutup lantai yang bersifat
sintetis.
k. Voli Duduk
Penyandang disabilitas yang berhak bertanding pada cabang olahraga voli
duduk adalah penyandang disabilitas yang memiliki gangguan kekuatan otot,
gangguan gerakan pasif, kekurangan anggota gerak, perbedaan panjang kaki,
hyperthonia, ataxia, dan athetosis. Terdapat 2 kelas yaitu “MD” (Minimally
Disabled) dan “D” (Disabled). Gangguan atlet di kelas olahraga MD umumnya
tidak separah gangguan atlet yang bersaing di kelas olahraga D. amputasi
melalui kaki pemain akan diklasifikasikan sebagai MD, sedangkan atlet
dengan amputasi lutut di atas akan dialokasikan kelas olahraga D.
Menurut peraturan dari World ParaVolley, lapangan yang digunakan
untuk bermain bentuk persegi panjang dengan ukuran 10m x 6m yang memiliki
zona bebas di setiap sisi bagian luar lapangan minimal selebar 3m. Permukaan
lapangan harus terbuat dari bahan yang tidak kasar dan licin. Penjelasan
standar ukuran lapangan dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Gambar 2. 11. Standar Lapangan Voli Duduk


Sumber: World ParaVolley
l. Tenis Kursi Roda
Penyandang disabilitas yang berhak bertanding pada cabang olahraga voli
duduk adalah penyandang disabilitas yang memiliki gangguan kekuatan otot,
gangguan gerakan pasif, kekurangan anggota gerak, perbedaan panjang kaki,
perawakan pendek, hyperthonia, ataxia, dan athetosis. Atlet penyandang
disabilitas pada cabang olahraga ini memiliki klasifikasi sebagai berikut:
1) Kelas Terbuka
Kelas ini dapat diikuti oleh atlet yang memiliki gangguan yang
bersifat permanen pada satu atau kedua kaki, namun memiliki fungsi
lengan yang normal.
2) Kelas Quad
Atlet yang bermain di kelas ini memiliki gagguan yang
mempengaruhi fungsi lengan sehingga membatasi kemampuan untuk
bergerak dengan kursi roda.
Berdasarkan peraturan dari International Tennis Federation (ITF),
permainan tenis kursi roda dapat dimainkan di lapangan tenis biasa, tanpa
modifikasi ukuran lapangan atau ukuran raket atau bola. Penjelasan standar
ukuran lapangan dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Gambar 2. 12. Standar Lapangan Tenis


Sumber: International Tennis Federation

m. Kursi Roda Bola Basket


Penyandang disabilitas yang berhak bertanding pada cabang olahraga voli
duduk adalah penyandang disabilitas yang memiliki gangguan kekuatan otot,
gangguan gerakan pasif, kekurangan anggota gerak, perbedaan panjang kaki,
hyperthonia, ataxia, dan athetosis.
Menurut International Wheelchair Basketball Fedeeration (IWBF),
olahraga ini dimanikan di lapangan yang memiliki permukaan yang rata dan
keras yang bebas dari penghalang dengan dimensi panjang 28m dan lebar 15m
yang diukur dari tepi bagian dalam garis batas. Penjelasan standar ukuran
lapangan dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Gambar 2. 13. Standar Lapangan Basket


Sumber: International Wheelchair Basketball Fedeeration

3. Pemahaman Pusat Pelatihan Olahraga Penyandang Disabilitas


Pelatihan merupakan kegiatan yang bersifat formal dan direncanakan dengan
matang serta memiliki struktur yang sistematis (Robbins, Stephen P, 2001:282).
Dalam kaitannya dengan olahraga prestasi, pelatihan diartikan sebagai sebuah
rangkaian sistematis yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan peserta
dalam bidang kerja sesuai dengan kebutuhan peserta. Pelatihan dilakukan secara
berulang dan teratur untuk mencari perubahan positif berupa peningkatan
kemampuan seseorang.
Pusat pelatihan yang dimaksud akan memiliki fungsi yang hampir sama
dengan National Paralympic Committee Indonesia (NPC) yaitu mewadahi para
penyandang disabilitas di Indonesia yang memiliki potensi prestasi pada bidang
olahraga. Namun perbedaan terletak pada program kegiatan yang ditawarkan.
Kegiatan pelatihan pada pusat pelatihan olahraga penyandang disabilitas ini
berpusat pada pemenuhan fasilitas yang terstandarisasi dan sesuai dengan
kebutuhan penggunanya.
Fasilitas olahraga yang ditawarkan akan mendukung kegiatan pelatihan pada
olahraga khusus penyandang disabilitas seperti Panahan, Atletik, Bulu Tangkis,
Boccia, Balap Sepeda, Sepak Bola 5 Sisi, Goalball, Powerlifting, Berenang, Tenis
Meja, Voli Duduk, Tenis Kursi Roda, dan Bola Basket Kursi Roda. Tujuan dari
pusat pelatihan olahraga penyandang disabilitas ini diantaranya:
a. Mewadahi para penyandang disabilitas untuk berperan serta dalam
pembangunan nasional melalui kegiatan olahraga.
b. Mewujudkan dan mengembangkan dunia olahraga bagi para penyandang
disabilitas sesuai dengan standar yang berlaku.
c. Membina dan meningkatkan prestasi olahraga para atlet penyandang
disabilitas.
B. Tinjauan Arsitektur Hijau
1. Pemahaman Arsitektur Hijau
Arsitektur hijau adalah arsitektur yang berwawasan lingkungan dan
berlandaskan kepedulian tentang konservasi lingkungan global alami dengan
penekanan pada efisiensi energi (energy-efficient), pola berkelanjutan (sustainable)
dan pendekatan holistik (holistic approach). Arsitektur hijau merupakan sebuah
proses pendekatan perencanaan dan perancangan dengan mengurangi dampak
lingkungan yang kurang baik, meningkatkan kenyamanan manusia dengan efisiensi
dan pengurangan penggunaan sumber daya energi, pemakaian lahan dan
pengelolaan sampah efektif dalam tatanan arsitektur.
‘Green’ pada Green Architecture (Arsitektur Hijau) dapat diinterpretasikan
sebagai sustainable (berkelanjutan), earthfriendly (ramah lingkungan), dan high
performance building (bangunan dengan performa sangat baik). Indikasi arsitektur
disebut sebagai ‘greeni jika dikaitkan dengan praktek arsitektur antara lain
penggunaan renewable resources (sumber-sumber yang dapat diperbaharui,
passive-active solar photovoltaic (sel surya pembangkit listrik), teknik
menggunakan tanaman untuk atap, taman tadah hujan, menggunakan kerikil yang
dipadatkan untuk area perkerasan, dan sebagainya.
Konsep ‘green’ juga bisa diaplikasikan pada pengurangan penggunaan energi
(misalnya energi listrik), low energy house dan zero energy building dengan
memaksimalkan penutup bangunan (building envelope). Penggunaan energi
terbarukan seperti energi matahari, air, biomass, dan pengolahan limbah menjadi
energi juga patut diperhitungkan.
2. Prinsip Arsitektur Hijau
Menurut Brenda dan Robert Vale dalam bukunya “Green Architecture: Design
for A Sustainable Future”, terdapat 6 prinip dasar dalam konsep perencanaan dan
perancangan menggunakan Arsitektur hijau antara lain:
a. Conserving Energy (Hemat Energi)
Pada arsitektur hijau, pemanfaatan energi secara baik dan benar menjadi
prinsip utama. Bangunan yang baik harus memperhatikan pemakaian energi
sebelum dan sesudah bangunan dibangun. Desain bangunan harus mampu
memodifikasi iklim dan dibuat beradaptasi dengan lingkungan bukan merubah
kondisi lingkungan yang sudah ada. Berikut ini desain bangunan yang
menghemat energi:
1) Bangunan dibuat memanjang dan tipis untuk
memaksimalkanpencahayaan dan menghemat energi listrik.
2) Memanfaatkan energi matahari yang terpancar dalam bentuk energi
thermal sebagai sumber listrik dengan menggunakan alat Photovaltai yang
diletakkan di atas atap. Sedangkan atap dibuat miring dari atas ke bawah
menuju dinding timur-barat atau sejalur dengan arah peredaran matahari
untuk mendapatkan sinar matahari yang maksimal.
3) Memasang lampu listrik hanya pada bagian yang intensitasnya rendah.
Selain itu juga menggunakan alat kontrol pengurangan intensitas lampu
otomatis sehingga lampu hanya memancarkan cahaya sebanyak yang
dibutuhkan sampai tingkat terang tertentu.
4) Menggunakan Sunscreen pada jendela yang secara otomatis dapat
mengatur intensitas cahaya dan energi panas yang berlebihan masuk ke
dalam ruangan.
5) Mengecat interior bangunan dengan warna cerah tapi tidak menyilaukan,
yang bertujuan untuk meningkatkan intensitas cahaya.
6) Bangunan tidak menggunkan pemanas buatan, semua pemanas dihasilkan
oleh penghuni dan cahaya matahari yang masuk melalui lubang ventilasi.
7) Meminimalkan penggunaan energi untuk alat pendingin (AC) dan lift
b. Working with Climate (Bekerja Dengan Alam)
Pendekatan green architecture bangunan berdaptasi dengan
lingkungannya, hal ini dilakukan dengan memanfaatkan kondisi alam, iklim
dan lingkungan sekitar ke dalam bentuk serta pengoperasian bangunan,
misalnya dengan cara:
1) Orientasi bangunan terhadap sinar matahari
2) Menggunakan sistem air pump dan cross ventilation untuk
mendistribusikan udara yang bersih dan sejuk ke dalam ruangan.
3) Menggunakan tumbuhan dan air sebagai pengatur iklim.
4) Menggunakan jendela dan atap yang sebagian bisa dibuka dan ditutup
untuk mendapatkan cahaya dan penghawaan yang sesuai kebutuhan.
c. Minimizing New Resources (Meminimalisir Penggunaan Sumber Daya)
Suatu bangunan seharusnya dirancang mengoptimalkan material yang ada
dengan meminimalkan penggunaan material baru, dimana pada akhir umur
bangunan dapat digunakan kembali unutk membentuk tatanan arsitektur
lainnya. Arsitektur hijau meminimalkan penggunaan sumber daya alam oleh
manusia untuk menjamin generasi mendatang dapat memanfaatkan bagi
kehidupannya kelak.
d. Respect for Users (Mempertimbangkan Kepentingan Pengguna)
Antara pemakai dan arsitektur hijau mempunyai keterkaitan yang sangat
erat. Kebutuhan akan arsitektur hijau harus memperhatikan kondisi pemakai
yang didirikan di dalam perencanaan dan pengoperasiannya.
e. Respect for Site (Meminimalisir Kerusakan Alam)
Perencanaan mengacu pada interaksi antar bangunan dan tapaknya. Hal
ini bertujuan keberadaan bangunan baik dari segi konstruksi, bentuk dan
pengoperasiannya tidak merusak lingkungan sekitar, dengan cara sebagai
berikut.
1) Mempertahankan kondisi tapak dengan membuat desain yang mengikuti
bentuk tapak yang ada.
2) Luas permukaan dasar bangunan yang kecil, yaitu pertimbangan
mendesain bangunan secara vertikal.
3) Menggunakan material lokal dan material yang tidak merusaklingkungan.
f. Holism (Bekerja Menyeluruh).
Memiliki pengertian mendesain bangunan dengan menerapkan 5 poin di
atas menjadi satu dalam proses perancangan. Prinsip-prinsip green architecture
pada dasarnya tidak dapat dipisahkan, karena saling berhubungan satu sama
lain. Tentu secar parsial akan lebih mudah menerapkan prinsip-prinsip
tersebut. Oleh karena itu, sebanyak mungkin dapat mengaplikasikan green
architecture yang ada secara keseluruhan sesuai potensi yang ada di dalam site.

Anda mungkin juga menyukai