Anda di halaman 1dari 87

KARAKTERISTIK FISIKA DAN KIMIA AIR SUNGAI

MARUNI DI KABUPATEN MANOKWARI

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Perikanan pada
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Universitas Papua

Oleh
SAMUEL GIAY
2013 30 020

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN


JURUSAN PERIKANAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS PAPUA
MANOKWARI
2017
RINGKASAN

SAMUEL GIAY (201300200). Karakteristik Fisika dan Kimia Air Sungai


Maruni Kabupaten Manokwari. (Dibawah bimbingan Dr. Syafrudin
Raharjo, S.Pi., M.T dan Fitriyah I.E.Saleh, ST., M.Si)

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik fisika dan kimia


pada aliran air Sungai Maruni. Penelitian ini dilakukan pada Bulan Oktober 2016.
Sampel air sungai diambil pada III Stasiun sedangkan analisis data dilakukan
secara Eks situ (Lab Kimia Fakultas Mipa Universitas Papua Manokwari) dan In
situ (Dilakukan secara langsung dilapangan)
Kondisi Sungai Maruni pada Stasiun I terdapat pemukiman penduduk,
perkebunan coklat, kolam kangkung (ipomea aqutica) yang dibudidayakan oleh
penduduk sekitar. Kondisi Sungai Maruni pada Stasiun II terdapat aktivitas truk
yang melakukan kegiatan penimbunan untuk memperkuat bantaran sungai diareal
ini juga terdapat, sebuah drainase yang dimanfatkan oleh penduduk sekitar untuk
melakukan pembuangan limbah domestik atau sampah rumah tangga. Kondisi
Sungai Maruni pada Stasiun III berada pada hilir sungai yang ditumbuhi oleh
semak-semak berupa alang-alang, pisang, cemara dan berdekatan dengan
pelabuhan pabrik
Berdasarkan hasil yang diperoleh dalam proses penelitian ini kondisi fisik-
kimia Sungai Maruni adalah sebagai berikut suhu 28,3–29,8˚C, lebar sungai
12,71–36,77 m kecepatan aliran arus 3,259–5,1999 m/det, kekeruhan 3,73–5,04
NTU, pH 6,16–7, DO 4,66 – 6,85 mg/l, BOD 2,09–4,19 mg/l, nitrit (NO2) 0,0–
0,04, nitrat (NO3) 0,5753-1,138 mg/l, amonia (NH3) 0,01 mg/l, fosfat (PO4)
0,0940–0,1248 mg/l, TSS 23,77–34,86 mg/l.
Untuk parameter kimia khususnya nilai DO pada stasiun I terlihat tinggi
karena pada stasiun tersebut masih alami dan belum mengalami aktivitas dari
pabrik semen sedangkan stasiun II dan stasiun III BOD meningkat karena
pengaruh dari adanya limbah domestik serta aktivitas dari pabrik semen
Berdasarkan hasil penelitian parameter fisika-kimia perairan Sungai
Maruni menunjukan bahwa kualitas perairan sungai maruni masih memenuhi
standar baku mutu peraturan pemerintah No 82 Tahun 2001 tentang pengelolaan
dan pengendalian pencemaran kualitas air.

Kata kunci : Karakteristik Fisika dan Kimia Air Sungai Maruni


RIWAYAT HIDUP PENULIS

Samuel Giay lahir dan dibesarkan di Manokwari Provinsi

Papua Barat pada tanggal 23 Oktober 1985 sebagai anak

bungsu dari delapan bersaudara, Bapak bernama Piet Giay

(alm) dan Mama Dorce Bonggoibo (almh).

Penulis menyelesaikan pendidikan formal di SD YPK 1

Sanggeng Manokwari pada Tahun 1998. Pada tahun yang sama melanjutkan ke

pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) YPK 1 Fanindi Manokwari, lulus

pada Tahun 2000. Penulis melanjutkan pendidikan Sekolah Menengah Atas

(SMA) Negeri I Manokwari dan lulus pada tahun 2004. Pada tahun yang sama

penulis terdaftar di Universitas Negeri Papua sebagai Mahasiswa Fakultas

Peternakan, Perikanan dan Ilmu Kelautan Jurusan Ilmu Kelautan, lulus pada

Tahun 2007. Penulis bekerja pada Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten

Deiyai Provinsi Papua dan menikah pada Tahun 2013, Istri bernama Merlin

Rumaropen dikaruniai seorang anak Laki-laki bernama Mark Lionel Christoni

Giay. Penulis mendapatkan kesempatan melanjutkan studi srata I pada program

studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,

Universitas Papua. Lulus pada Tahun 2017.


KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat TuhanYesus Kristus Yang

Maha Esa, karena atas rahmat dan kasih-Nya, sehingga penulis dapat

menyelesaikan Skripsi yang berjudul “Karakteristik Fisika dan Kimia Air

Sungai Maruni Di Kabupaten Manokwari”dapat dilaksanakan dengan baik.

Penulisan skripsi ini merupakan tugas akhir dalam suatu pendidikan

diperguruan tinggi sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana

Perikanan pada Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas

Perikanan dan Ilmu Kelautan. Penulis dapat menyelesikan skripsi ini tak luput dari

doa dan bimbingan serta bantuan moril dari Istri terkasih dan tersayang Merlin

Rumaropen dan jantung hatiku Mark Lionel Christoni Giay. Oleh karena itu,

ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orang tuaku (Alm)

Bapak Piet Giay dan (Alm) Mama Dorce Bonggoibo Tersusunnya skripsi ini, juga

dapat terlaksana atas bantuan serta bimbingan dari semua pihak. Oleh Karen aitu,

pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan termakasih yang setulus-

tulusnya kepada :

1. Rektor Universitas Papua Manokwari

2. Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

3. Dr. Syafrudin. Raharjo, S.Pi.,M.T. selaku dosen pembimbing I, yang senantiasa

mencurahkan waktu dan tenaganya dalam memberikan bimbingan, arahan serta

masukan dalam penulisan skripsi ini.

4. Fitriyah Irmawati Elyas Saleh, ST.,M.Si. selaku dosen pembimbing II, yang

senantiasa mencurahkan waktu dan tenaganya dalam memberikan bimbingan,

arahan serta masukan dalam penulisan skripsi ini.


5. Selfanie Talakua, S.Pi, M.Si. selaku Ketua Jurusan Perikanan, Fakultas

Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Papua.

6. Fanny F.C. Simatauw. selaku Ketua Program Studi Manajemen Sumber Daya

Perairan, Jurusan Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,

Universitas Papua.

7. Seluruh Staf Dosen Jurusan Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,

Universitas Papua.

8. Teristimewa buat keluarga tercinta, orang tua terkasih Yan Giay., ST., MT,

kaka terkasih Martina Giay, Giovano Giay, kaka Agustina Giay, Nigar

Bosayor, Jenny, Dorce, Danny, Dede, Susan, Samuel, Kristalin Bosayor, Mina

Giay, Siprianus Badii, Novi Badii, Selina Badii, Deki Badii, Sonya Giay,

Laurensius Finalampir, Isa, Geis, Yakomina Bonggoibo, Family Thobias

Bonggoibo, Maria Giay, Yunus Youw, ST, Soni Giay, SSTP, Bapak Tomas

Ukago dan Pemerintah Kabupaten Deiyai yang mendukung serta memberikan

ijin/tugas belajar serta bantuan biaya untuk perkuliahan hingga selesai juga

doa-doanya sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi.

9. Seluruh teman-teman MSP yang selalu berbagi saat senang dan susah

teristimewa Frans Pramudia Wambrauw, Wellem Thesia (ATG) beserta

Istrinya, Daud Orisu, Hendrik Amunau, Bernad Duwit, Satriano Nebore. Yoku,

Silwanus Bisay, Yunus Baab, S.Pi yang paling murah senyum dan selalu

memberikan tampilan beda buat saya, Yulianus Hara, Arki Awairaro, Nelson

Worembay, Gabriel Bame, Julianus Asiar, Adololf Wambrauw, Hamba

Thomas Gaite, S.Pi, Stevanus Rumbewas, Frengky N. Krey, Amd.Pi, Ivan

Thovyan, S.Pi, Denny C. Mampioper, Mario Sawaki, Siliwanus Bisay, Rullan


Tanaty, Afriandra, Aldo Sengkey, Otto Wanma, Habema Monim, Dakkar J.

Prasetyo, Fajar Baransano, Yan Kawer, Paulus Demetow, Aloysius Douw, Pa

Yor Kambanusi, S.Pi, Permin Tabuni, Samori Abidondifu, Petrus Wayeni

(Alm), ade-ade asrama mahasiswa Kabupaten deiyai, Kepala Desa beserta

Masyarkat Kampung Hink, dan yang terhormat Doddy Julius Sawaki adik

segala ilmu yang juga yang telah membantu dan memberikan motivasi saat

perkuliahan dan dalam penyusunan Skripsi.

Penulis menyadari bahwa selaku manusia kita tidak mungkin terlepas dari

sebuah kesalahan. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat

membangun untuk perbaikan penulisan kedepan.

Manokwari, 19 Januari 2017

Penulis
DAFTAR ISI

No Teks Hal

LEMBAR PENGESAHAN …………………………………………. i


KATA PENGANTAR ………………………………………………. ii
DAFTAR ISI ......................................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR ............................................................................ vii
DAFTAR TABEL ................................................................................ viii

I. PENDAHULUAN ........................................................................ 1
1.1 Latar Belakang ..................................................................... 1
1.2 Perumusan Masalah ............................................................. 3
1.3 Tujuan Penelitian .................................................................. 5
1.4 Manfaat Penelitian ............................................................... 5

II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................. 6


2.1 Keadaan Umum Lokasi ....................................................... 6
2.1.1. Deskripsi Sungai Maruni ...…………………………. 5
2.1.2. Tipe-tipe Sungai .……………………………………. 8
2.1.3. Letak ……….………………………………………... 9
2.2 Parameter Fisika ................................................................... 9
2.2.2. Suhu ………………………………………………… 9
2.2.3. Debit Aliran ………………………………………….. 10
2.2.4. Kekeruhan …………………………………………… 11
2.2.5. Kecerahan ……………………………………………. 12
2.2.6. Padatan Total (TSS) …………………………………. 13
2.3. Parameter Kimia ……………………………………………… 13
2.3.1. Derajat Keasaman (pH) ………………………………. 13
2.3.2. OksigenTerlarut/DO (Disolved Oxygen)…………….. 14
2.3.3. Kebutuhan Oksigen Biokimia Bhiocemical Oxygen
Demand (BOD) ............................................................ 15
2.3.4. Nitrit (NO2) ................................................................... 16
2.3.5. Nitrat (NO3) .................................................................. 17
2.3.6. Ammonia (NH4) ........................................................... 18
2.3.7. Fosfat (PO4) .................................................................. 20

III METODE PENELITIAN ...................................................... 21


3.1 Waktu dan Tempat ................................................................. 21
3.2 Alat dan Bahan ...................................................................... 22
3.3 Metode Penelitian .................................................................. 24
3.4. Penentuan Stasiun Penelitian……………………………… 24
3.5. MetodePengambilan Data …………………………….......... 25
1. Suhu .................................................................................... 27
2. Debit Air ............................................................................ 28
3. Kecerahan .......................................................................... 31
4. Kekeruhan ......................................................................... 31
5. PadatanTersuspensi Total (TSS) ...................................... 32
6. DerajatKeasaman pH Meter .............................................. 32
7. OksigenTerlarut/DO (Disolved Oxygen)........................... 32
8. Bhiocemical Oxygen Demand (BOD)................................. 33
9. Nitrit (NO2) ......................................................................... 34
10. Nitrat (NO3) ...................................................................... 34
11. Ammonia (NH3) ............................................................... 36
12. Fosfat (PO4) ...................................................................... 36
3.6. Teknik Pengambilan Sampel dan Analisis Parameter
Kualitas Air ............................................................................ 38
3.7. Analisis ...................................................................... ………. 39
IV HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................ 41
4.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian ................................................... 41
4.2. Parameter Fisika dan Kimia ............................................................. 42
4.2.1. Parameter Fisika .................................................................... 42
4 2.1.1. Lebar Sungai ....................................................................... 43
4.2.1.2. Suhu .................................................................................... 44
4.2.1.3. Kecepatan Aliran Sungai .................................................... 45
4.2.1.4. Kekeruhan ........................................................................... 46
4.2.2. Parameter Kimia............................................................................ 48
4.2.2.1. Derajat Keasaman (pH) ...................................................... 49
4.2.2.2. Oksigen Terlarut/DO ......................................................... 50
4.2.2.3. Kebuthan Oksigen Biologi (BOD) ..................................... 52
4.2.2.4. Nitrit (NO2) dan Nitrat (NO3) ............................................. 53
4.2.2.5. Fosfat (PO4) ........................................................................ 57
4.2.2.6. Ammonia (NH3) ................................................................. 59
4.2.2.7. Padatan Tersuspensi Total (TSS) ....................................... 61

V PENUTUP .................................................................................... 64
5.1. Kesimpulan .................................................................................... 64
52. Saran .................................................................................... 64
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................... 64
DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………. 68
DAFTAR TABEL

No Teks Hal

1. Alat yang digunakan di Lapangan.................................................. 23


2. Bahan yang digunakan di Laboratorium ........................................ 24
3. Alat yang digunakan di Laboratorium ............................................ 24
4. Parameter Kualitas Air yang di ukur ............................................... 25
5. Standart Baku Mutu Menurut Peraturan Pemerintah (PP) No. 82
Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Kualita Air dan Pengendaian
Pencemaran Air .............................................................................. 39
6. Parameter Fisika Sungai Maruni .................................................... 43
7. Parameter Kimia dan Standart Baku Penunjang Kesuburan Perairan 49
8. Kriteria Kualitas Air berdasarkan Nilai BOD .................................. 52
DAFTAR GAMBAR

No Teks Hal

1. Diagram Alir Penelitian ................................................................ 4


2. Peta Lokasi Penelitian .................................................................... 22
3. Pembagian Lebar Sungai Untuk Pengukuran Debit Air Sungai..... 28
4. Posisi Pengukuran Aliran Sungai Maruni ...................................... 29
5. Mengukur Lebar Sungai ................................................................. 30
6. Lokasi I Sungai Yang Berdekatan Dengan Kampung Hink ........... 41
7. Lokasi II Aliran Sungai Warbaderi ................................................ 42
8. Lokasi III Aliran Hilir Muara Sungai Maruni ................................ 42
9. Hasil Pengukuran Suhu pada Tiga Lokasi Penelitian ..................... 44
10. Hasil Pengukuran Kecepatan Aliran Air ..................................... 46
11. Nilai Kekeruhan ............................................................................ 47
12. Hasil Pengukuran pH .................................................................... 50
13. Hasil Pengukuran DO ................................................................... 51
14. Hasil Pengukuran BOD ................................................................ 53
15. Nilai Kandungan Nitrit ................................................................. 54
16. Nilai Kandungan Nitrat ................................................................ 55
17. Fosfat ............................................................................................ 57
18. Nilai Kandungan Ammonia .......................................................... 60
19. Nilai rata-rata Kandungan TSS..................................................... 62
DAFTAR GAMBAR

No Teks Hal

1. Diagram Alir Penelitian .................................................................. 4


2. Peta Lokasi Penelitian .................................................................... 22
3. Pembagian Lebar Sungai Untuk Pengukuran Debit Air Sungai..... 28
4. Posisi Pengukuran Aliran Sungai Maruni ...................................... 29
5. Mengukur Lebar Sungai ................................................................. 30
6. Lokasi I Sungai Yang Berdekatan Dengan Kampung Hink ........... 41
7. Lokasi II Aliran Sungai Warbaderi ................................................ 42
8. Lokasi III Aliran Hilir Muara Sungai Maruni ................................ 42
9. Hasil Pengukuran Suhu pada Tiga Lokasi Penelitian ..................... 44
10. Hasil Pengukuran Kecepatan Aliran Air ..................................... 46
11. Nilai Kekeruhan ............................................................................ 47
12. Hasil Pengukuran pH .................................................................... 50
13. Hasil Pengukuran DO ................................................................... 51
14. Hasil Pengukuran BOD ................................................................ 53
15. Nilai Kandungan Nitrit ................................................................. 54
16. Nilai Kandungan Nitrat ................................................................ 55
17. Fosfat ............................................................................................ 57
18. Nilai Kandungan Ammonia .......................................................... 60
19. Nilai rata-rata Kandungan TSS..................................................... 62
DAFTAR LAMPIRAN

No Teks Hal

1. Aktivitas Pengukuran Dan Pengambilan Data Dilapangan ..........


2. Peralatan Yang Digunakan Dalam Laboratorium Kimia
Fakultas Mipa ....................................................................................
3. Tabel Perhitungan Parameter Fisika-Kimia Perairan Sungai Maruni.........
4. Hasil Analisi Laboratorium .......................................................................
I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sungai sebagai salah satu bentuk perairan umum memegang peran yang

sangat penting bagi kelangsungan hidup organisme perairan dan mahluk hidup

sekitarnya. Ekosistem sungai banyak dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan

seperti pariwisata, pertanian, perikanan, keperluan rumah tangga, dan tempat

buangan limbah industri (Damhudi, 2000). Lingkungan perairan sungai terdiri

dari komponen abiotik dan biotik yang saling berinteraksi melalui siklus energi

dan daur hara. Bila interaksi keduanya terganggu maka akan terjadi perubahan

yang menyebabkan ekosistem perairan menjadi tidak seimbang (Ferianita, 2008).

Sungai-sungai di Indonesia dan teritorial lautnya merupakan habitat bagi

25% populasi bagi ikan di dunia (Groombridge, 1990 dalam Winarno dkk., 2000).

Sungai-sungai ini umumnya memiliki pola kerusakan yang sama, disebabkan oleh

penggundulan hutan, perusakan vegetasi tepian sungai, pemindahan aliran sungai,

penghilangan dan pengaturan arus air, pembuangan limbah dari pemukiman,

pertanian industri, penambangan pasir, eksploitasi berlebihan terhadap spesies

endemik dan introduksi spesies asing dari sungai (Dudgeon, 1992 dalam Winarno,

dkk., 2000).

Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 82 Tahun 2001 tentang

pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air sungai, air

dikelompokan menjadi 4 kelas yaitu : Kelas I yaitu air yang diperuntukan untuk

air baku air minum. Kelas II yaitu air yang peruntukannya untuk prasarana/sarana

rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi

pertanaman. Kelas III yaitu air yang peruntukannya untuk pembudidayaan ikan air
tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman. Dan kelas IV yaitu air yang

peruntukannya untuk mengairi pertanaman.

Menurut Zonneveld, dkk (1991), pertumbuhan dan kelangsungan hidup

hewan atau tumbuhan di suatu perairan sangat dipengaruhi oleh suhu, kecerahan,

pH, DO dan CO2 dan kadar ammonia (NH3). Kualitas suatu perairan memberikan

pengaruh yang cukup besar terhadap survival dan pertumbuhan mahluk hidup di

perairan itu sendiri.

Apabila suatu limbah yang berupa bahan pencemar masuk ke suatu lokasi

perairan sungai maka akan terjadi perubahan padanya. Perubahan dapat terjadi

pada organisme yang hidup di lokasi tersebut juga pada lingkungan perairan itu

sendiri yaitu berupa faktor fisika dan kimianya. Dampak dari pencemaran tersebut

dapat berupa perubahan struktur komunitas penurunan biomassa atau

produktifitas, perubahan tingkah laku, penurunan laju pertumbuhan, terganggunya

sistem reproduksi, hilangnya jenis-jenis langka, perubahan daya tahan atas

kemampuan hidup dan lain-lain (Zairion, 2003).

Sungai Maruni merupakan salah satu sungai yang terletak di Kabupaten

Manokwari. Sungai ini dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar untuk aktifitas

mandi, cuci, serta tempat untuk mencari ikan namun dengan adanya pertambahan

penduduk, pembangunan infrastruktur perusahaan semen serta pembuangan

limbah secara berlebihan maka secara otomatis dapat menyebabkan perubahan

karakteristik fisika dan kimia air pada aliran sungai tersebut sehingga bisa

mencakup peruntukanya.
1.2 Perumusan Masalah

Papua Barat mempunyai potensi sumberdaya alam yang sangat melimpah

diantaranya sumberdaya alam batu dan pasir yang terdapat digunung, sungai dan

pesisir pantai, salah satunya yang terdapat di Pegunungan Arfak turun melalui

Sungai Maruni yang bermuara di pantai Manokwari (Meraudje, dkk., 2015).

Menurut Peraturan Bupati (Perbup) Manokwari No. 69 Tahun 2000 tentang Baku

Mutu Air dan Kriteria Kerusakan Lingkungan Hidup Manokwari, Sungai Maruni

dikategorikan kedalam kelas I karena Sungai Maruni merupakan penyuplai

sumber air bersih di Kabupaten Manokwari.

Sungai Maruni merupakan salah satu sungai yang terdapat di Kabupaten

Manokwari salah satu bagian penting dari sungai ini adalah disekitar sempadan

Sungai terdapat perusahan semen, aktivitas pertanian, serta limbah domestik yang

dihasilkan oleh warga sekitar.

Kondisi saat ini di sekitar sempadan sungai terdapat pabrik semen, aktivitas

pertanian, serta limbah domestik yang dihasilkan oleh warga sekitar. Banyaknya

aktivitas yang menggunakan lahan di sempadan Sungai dan kegiatan industri di

sekitar Sungai Maruni, secara langsung maupun tidak langsung akan memberikan

dampak negatif terhadap kualitas air sungai seperti faktor fisika, kimia maupun

biologi yang selanjutnya dapat mengakibatkan rusaknya ekosistem perairan.

Rusaknya ekosistem perairan tersebut akan berdampak juga terhadap kehidupan

biota maupun kondisi kesehatan warga sekitar. Perumusahan masalah penelitian

ini dapat dilihat pada Gambar 1.


Gambar 1. Diagram alir penelitian Sungai Maruni
1.3 Tujuan

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik

fisika dan kimia pada aliran air Sungai Maruni.

1.4 Manfaat

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah untuk memberikan data serta

informasi dan sebagai bahan masukan dalam menentukan kebijakan bagi para

stakeholders terkait dalam pengelolaan kualitas air Sungai Maruni di Kabupaten

Manokwari.
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi dan Fungsi Sungai

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia (RI) No. 35 Tahun

1991 yang dimaksud sungai ialah tempat-tempat dan wadah serta jaringan

pengairan air mandi dari mata air sampai muara di batasi di sebelah kanan, kiri,

dan disepanjang pengalirannya oleh garis sempadan. Secara fisiografi sungai

adalah badan air yang menerima limpasan satuan-satuan hidrologi dalam daerah

alirannya (Arsyad dkk., 1985).

Sungai sebagai suatu badan air yang ikut terlibat dalam siklus hidrologi

mengumpulkan tiga jenis limpasan, yaitu limpasan permukaan (surface runoff),

aliran intra (interflow), dan limpasan air tanah (ground water runoff) yang

akhirnya akan mengalir ke laut.

Fungsi utama sungai adalah sebagai pembawa air dan sedimen. Secara

garis besar, komponen utama sungai dapat dibagi menjadi dua yaitu daerah aliran

sungai (DAS) dan sistem sungainya. Sistem sungai mempunyai karakteristik yang

berbeda dari satu sistem dengan sistem yang lainnya maupun dalam sistem sungai

itu. Dalam satu sistem sungai ada perbedaan-perbedaan, kemiringan dasar,

penampang sungai, dan material sungai (Kodoatie dan Sjarief, 2010). Habitat air

tawar menempati daerah yang relatif lebih kecil pada permukaan bumi

dibandingkan habitat air laut, tetapi bagi manusia kepentingan jauh lebih berarti

dibandingkan dengan luas daerahnya. Hal ini disebabkan karena: 1) habitat air

tawar merupakan sumber air yang paling praktis dan murah untuk kepentingan

domestik maupun industri. 2) ekosistem air tawar menawarkan sisitem

pembuangan yang memadai dan paling murah (Odum, 1994). Menurut Barus
(2004), menyatakan bahwa perairan lentik umumnya mempunyai arus yang

lambat serta terjadi akumulasi massa air dalam periode waktu yang lama.

Sementara perairan lotik umumnya mempunyai kecepatan arus yang tinggi

disertai pemindahan massa air berlangsung dengan cepat.

Pencampuran massa air di perairan sungai biasanya terjadi secara

menyeluruh dan tidak terbentuk stratifikasi vertical kolom air seperti pada

perairan lentik. Sungai dicirikan oleh arus yang searah dan relatif kencang, serta

sangat dipengaruhi oleh waktu, iklim, dan pola aliran air. Kecepatan arus, erosi,

dan sedimentasi merupakan fenomena yang umum terjadi di sungai sehingga

kehidupan flora dan fauna pada sungai sangat dipengaruhi oleh ketiga variabel

tersebut (Effendi, 2003). Sungai merupakan salah satu sumberdaya alam yang

keberadaannya sangat dipengaruhi oleh berbagai aktivitas manusia disepanjang

aliran sungai. Manfaatannya sebagai sumber air sangat penting dalam memenuhi

kebutuhan masyarakat.

Menurut Sunaryo dkk., (2005), pengelolaan lingkungan sungai merupakan

bagian dari pengelolaan sumberdaya perairan. Namun sayang sekali, asas tersebut

sering diabaikan (baik dalam perencanaan dan/pelaksanaan) sehingga pelestarian

aspek lingkungan sungai sering kali amat rendah. Pemanfaatan lahan di sempadan

sungai untuk keperluan pemukiman, pertanian, dan usaha lain yang mengganggu

kelancaran lingkungan sungai dapat menurunkan daya guna sungai akibat dari

berbagai aktivitas melebihi daya dukung sungai atau tercemarnya air oleh zat-zat

kimia yang akan mematikan kehidupan yang ada di sekitarnya dan merusak

lingkungan.
2.1.1 Tipe-Tipe Sungai

Sungai adalah air tawar yang mengalir dari sumbernya di daratan menuju

dan bermuara di laut, danau atau sungai yang lebih besar, aliran sungai merupakan

aliran yang bersumber dari limpasan, limpasan yang berasal dari hujan, gletser,

limpasan dari anak-anak sungai dan limpasan dari air tanah (Sudarman, 2011).

Berdasarkan asal airnya sungai dapat dikelompokan menjadi beberapa

jenis yaitu:

1. Sungai mata air, yaitu sungai yang airnya bersumber dari mata air.

Sungai ini biasanya terdapat di daerah yang mempunyai curah hujan

sepanjang tahun dan daerah alirannya masih tertutup vegetasi yang cukup

lebat.

2. Sungai hujan, yaitu sungai yang airnya bersumber hanya dari air hujan.

Jika tidak ada hujan, sungai akan kering. Sungai ini umumnya berada di

daerah yang bervegetasi jarang atau terletak di daerah lereng, sebuah

gunung atau perbukitan.

3. Sungai gletser, yaitu sungai yang airnya bersumber dari pencairan es atau

salju. Sungai ini hanya ada di daerah lintang tinggi atau di puncak

gunung yang tinggi.

4. Sungai campuran, yaitu sungai yang airnya bersumber dari berbagai

macam sumber, baik dari hujan, mata air dan pencairan salju atau es.

Artinya, air dari berbagai sumber tersebut bercampur menjadi satu dan

mengalir sampai lautan.


2.2 Parameter Fisika

2.2.1 Suhu

Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, lintang (latitude), waktu

dalam hari, sirkulasi udara, penutupan awan, dan aliran serta kedalaman air.

Perubahan suhu berpengaruh terhadap proses fisika, kimia dan biologi badan air.

Suhu juga sangat berperan mengendalikan kondisi ekosistem perairan (Effendi,

2003).

Kenaikan suhu air akan menimbulkan beberapa akibat, seperti jumlah

oksigen terlarut dalam air akan menurun, kecepatan reaksi kimia meningkat,

kehidupan ikan dan hewan air lainnya terganggu dan jika batas suhu yang

mematikan terlampaui, ikan dan hewan air lainnya mungkin akan mati (Fardiaz,

1992). Lebih lanjut menurut Harianto, (1995), mengatakan bahwa suhu pada

hewan air, dikontrol oleh suhu seperti migrasi, pemangsaan, kecepatan berenang,

perkembangan embrio dan kecepatan proses metabolisme. Kecepatan

metabolisme meningkat dua kali lipat jika suhu naik 100 C. Ikan yang hidup di

dalam air yang mempunyai suhu yang relatif tinggi akan mengalami respirasi,

selain itu suhu yang relatif tinggi akan menurunkan jumlah oksigen terlarut dalam

air, akibatnya ikan dan hewan air akan mati karena kekurangan oksigen. Suhu air

sungai dan air buangan yang relatif tinggi di tandai dengan munculnya ikan-ikan

dan hewan air lainya kepermukaan untuk mencari oksigen. Alfan (1995),

mengatakan bahwa ikan mempunyai toleransi yang berbeda-beda terhadap

perubahan suhu hal ini tergantung dari jenis ikan, stadia dalam daur hidupnya,

suhu aklimatisasi, oksigen terlarut, musim, dan pencemaran. Menurut Peraturan

Pemerintah (PP) No. 82 Tahun 2001 (Kelas II) kisaran suhu untuk kegiatan
budidaya air tawar adalah deviasi 3, sedangkan toleransi suhu perairan yang baik

untuk menunjang pertumbuhan optimal dari beberapa ikan budidaya air tawar

seperti mas dan nila adalah 25 - 310C.

2.2.2 Debit Aliran

Debit aliran adalah laju aliran air (dalam bentuk volume air) yang

melewati suatu penampang melintang sungai per satuan waktu dalam sistem

satuan SI besarnya debit dinyatakan dalam satuan meter kubik perdetik (m3/d).

Dalam laporan-laporan teknis debit aliran biasanya ditunjukkan dalam bentuk

hidrograf aliran. Hidrograf aliran adalah suatu perilaku debit sebagai respon

adanya perubahan karakteristik perubahan biogeofisik yang berlangsung dalam

suatu daerah aliran sungai (oleh adanya kegiatan pengelolaan DAS) dan atau

adanya perubahan (fluktuasi musiman atau tahunan) iklim lokal (Asdak, 2004).

Debit sungai akan selalu berubah setiap saat sehingga untuk mengkuantitatifkan

diperlukan angka tertentu. Angka debit sekian m3/d menunjukan debit sesaat pada

suatu pos pengukuran debit. Angka yang bervariasi tersebut dapat disajikan secara

grafik yang disebut hidrograf. Hidrograf adalah penyajian secara grafik variasi

atau keragaman debit menurut waktu. Dari hidrograf tersebut kita dapat

mengetahui besar volume air yang melalui pos pengukuran debit dalam satuan

waktu tertentu (Soemarto, 1999).

Klasifikasi sungai berdasarkan arusnya, yaitu : berarus sangat cepat

(>100 cm/dt), berarus cepat (50 – 100 cm/dt), berarus sedang (25 – 50 cm/dt),

berarus lambat (10 – 25 cm/dt) dan berarus sangat lambat (<10 cm/dt) (Mason,

1981 dalam Mirna, 2005).


2.2.3 Kekeruhan

Kekeruhan adalah suatu ukuran pembiasan cahaya dalam air yang

disebabkan oleh adanya partikel koloid dan suspensi suatu zat pencemar yang

terkandung dalam air, seperti adanya bahan liat, endapan lumpur, senyawa

berwarna terlarut, plankton dan organisme mikroskopik lainnya. Kekeruhan

menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya

yang diserap dan dipancarkan dari cahaya (Lubis, 2007).

Nilai kekeruhan di perairan alami merupakan salah satu faktor

terpenting untuk mengontrol produktivitasnya. Kekeruhan yang tinggi akan

mempengaruhi penetrasi cahaya matahari oleh karenanya dapat membatasi proses

fotosintesis sehingga produktivitas primer perairan cenderung akan berkurang

(Wardoyo, 1975 dalam Supartiwi, 2000). Kekeruhan di suatu sungai tidak sama

sepanjang tahun. Air akan sangat keruh pada musim penghujan karena aliran air

maksimum dan adanya erosi dari daratan. Intensitas cahaya matahari

mempengaruhi produktivitas primer. Hasil perubahan energi cahaya matahari

menjadi energi kimia dapat diperoleh melalui proses fotosintesis oleh tumbuhan

hijau. Proses fotosintesa sangat tergantung pada intensitas cahaya matahari,

konsentrasi CO2, oksigen terlarut dan temperatur perairan.

Tumbuhan hijau sangat tergantung pada kecerahan suatu perairan

karena mempengaruhi proses fotosintesis (Barus, 2004). Kekeruhan dan

kecerahan merupakan parameter penting dalam menetukan produktivitas suatu

perairan. Tingkat kekeruhan suatu perairan berbanding terbalik dengan tingkat

kecerahan atau meningkatnya kekeruhan akan menurunkan kecerahan perairan.


2.2.4 Kecerahan

Penetrasi cahaya matahari kedalam perairan akan mempengaruhi

produktifitas primer. Kedalaman penetrasi cahaya dipengaruhi oleh beberapa

faktor antara lain, tingkat kekeruhan, sudut datang cahaya matahari dan intensitas

cahaya matahari, bagi organisme perairan, intensitas cahaya yang masuk berfungsi

sebagai alat orientasi yang akan mendukung kehidupan organisme pada

habitatnya.

Penentuan penetrasi cahaya secara visual dengan menggunakan secchidisk.

Nilai kecerahan dinyatakan dalam satuan meter (Effendi, 2003). Secara umum

kecerahan berada dalam kondisi alami pada kisaran 2 m sangat baik untuk lokasi

budidaya ikan (Arifin, 2003).

2.2.5 Padatan Total

Padatan total (residu) adalah bahan yang tersisa setelah air sampel

mengalami evaporasi dan pengeringan pada suhu tertentu (Eaton dkk., 1995).

Padatan total terdiri dari padatan tersuspensi (TSS) dan padatan terlarut (TDS)

yang dapat bersifat organik dan anorganik. Padatan tersuspensi adalah padatan

yang menyebabkan kekeruhan, tidak larut, dan tidak mengendap langsung.

Padatan tersuspensi terdiri dari partikel-partikel yang ukurannya 1 sampai 0,001

µm. Bahan-bahan tersuspensi terdiri atas lumpur dan pasir halus serta jasad-jasad

renik, yang terutama disebabkan oleh kikisan tanah atau erosi tanah yang terbawa

ke badan air (Effendi, 2003). Adanya padatan tersuspensi akan mengurangi

penetrasi cahaya ke air sehingga mempengaruhi regenerasi oksigen melalui

fotosintesis dan menyebabkan air menjadi keruh. Padatan terlarut (TDS) adalah

padatan ukuran yang lebih kecil dari pada padatan tersuspensi. Padatan ini terdiri
dari senyawa anorganik dan organik yang terlarut dalam air, mineral, dan garam

(Fardiaz, 1992). Menurut standar baku mutu kualitas air Peraturan Pemerintah

(PP) No. 82 Tahun 2001 (kelas III), untuk kegiatan budidaya ikan air tawar nilai

TDS adalah 1000 mg/L dan TSS 400 mg/L.

2.3 Parameter Kimia

2.3.1 Derajat Keasaman (pH)

Nilai pH suatu perairan mencirikan keseimbangan antara asam dan basa

dalam air dan merupakan ukuran konsentrasi ion hidrogen dalam larutan. Adanya

karbonat, hidroksida dan bikarbonat meningkatkan kebasaan air, sementara

adanya asam-asam mineral bebas dan asam karbonat menaikkan keasaman. pH air

dapat mempengaruhi jenis dan susunan zat dalam lingkungan perairan dan

mempengaruhi tersedianya hara-hara serta toksitas dari unsur-unsur renik. Derajat

keasamaan (pH) perairan tawar berkisar dari 5,0 – 9,0 dimana pada kisaran

tersebut ikan air tawar masih dapat hidup (Saeni, 1989). Menurut Fardiaz (1995),

nilai pH air yang normal adalah 6 sampai 8 (sekitar netral), sedangkan pH air

yang terpolusi, misalnya air buangan, berbeda-beda tergantung dari jenis

buangannya. Pada industri-industri makanan, peningkatan keasaman air buangan

pada umumnya mengandung asam mineral dalam jumlah tinggi sehingga

keasamannya juga tinggi. Perubahan keasaman pada air buangan, baik ke arah

alkali (pH naik) maupun ke arah asam (pH menurun), akan sangat mengganggu

kehidupan ikan dan hewan air di sekitarnya. Menurut standar baku mutu kualitas

air Peraturan Pemerintah (PP) No. 82 Tahun 2001 nilai pH untuk kegiatan

budidaya ikan air tawar adalah 6-9.


2.3.2 Oksigen Terlarut/DO (Dissolved Okxygen)

Oksigen terlarut merupakan kebutuhan dasar untuk kehidupan tanaman

dan hewan. Jadi kadar oksigen terlarut dapat di jadikan untuk menentukan kualitas

air. Kehidupan di air dapat bertahan jika oksigen minimal 5 ppm (Kristanto,

2004). Oksigen tersebut berasal dari proses fotosintesis tanaman air dari atmosfir

yang masuk kedalam air dengan kecepatan tertentu. Konsentrasi oksigen terlarut

dalam keadaan jenuh bervariasi tergantung suhu dan tekanan atmosfir. Semakin

tinggi suhu air, semakin rendah tingkat kejenuhan (Putra, 2002).

Kandungan oksigen terlarut bergantung kepada suhu, kehadiran

tanaman, fotosintesis, tingkat penetrasi cahaya yang tergantung pada kedalaman

dan kekeruhan air, tingkat kederasan aliran air dan jumlah bahan organik yang

diuraikan dalam air (Sastrawidjaya, 1991). Kandungan oksigen terlarut yang

tinggi adalah pada sungai yang relatif dangkal dan adanya turbulensi oleh gerakan

air. Daya larut oksigen akan menurun dengan kenaikan suhu, sebaliknya pada air

yang dingin kadar oksigen akan meningkat (Odum, 1993). Menurut standar baku

mutu kualitas air Peraturan Pemerintah (PP) No. 82 Tahun 2001 (kelas III), nilai

DO untuk kegiatan budidaya ikan air tawar adalah 3 mg/L.

2.3.3 Kebutuhan Oksigen Biokimia/Bhiocemical Oxygen Demand (BOD)

Nilai BOD dapat dinyatakan sebagai jumlah oksigen yang diperlukan oleh

mikroorganisme aerobik dalam proses penguraian senyawa organik. Penguraian

bahan buangan organik melalui proses oksidasi oleh mikroorganisme di dalam air

lingkungan adalah proses alamiah yang mudah terjadi apabila air di lingkungan

mengandung oksigen yang cukup (Wardhana, 1995).


Proses penguraian senyawa organik biasanya diukur selama 5 hari

(BOD5), karena diketahui dari hasil jumlah senyawa organik yang diuraikan sudah

mencapai ±70%. Pengukuran BOD didasarkan kepada kemampuan

mikroorganisme untuk menguraikan senyawa organik secara biologis seperti

sampah rumah tangga. Untuk produk-produk kimiawi seperti senyawa minyak

dan buangan kimia lainnya akan sangat sulit atau bahkan tidak bisa diuraikan oleh

mikroorganisme. Oleh karena itu di samping mengukur nilai BOD perlu

dilakukan pengukuran terhadap jumlah oksigen yang dibutuhkan dalam proses

oksidasi kimia yang dikenal sebagai COD (Chemical Oxygen Demand) yang

dinyatakan dalam mg O2/l. Dengan mengukur nilai COD diperoleh nilai yang

menyatakan jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk proses oksidasi terhadap total

senyawa organik baik yang mudah diuraikan secara biologis maupun terhadap

senyawa yang sukar/tidak bisa diuraikan secara biologis (Barus, 2004). Menurut

standar baku mutu kualitas air Peraturan Pemerintah (PP) No. 82 Tahun 2001

(kelas III), nilai BOD untuk kegiatan budidaya ikan air tawar adalah 6 mg/L.

2.3.4 Nitrit (NO2)

Perairan alami, nitrit (NO2) biasanya ditemukan dalam jumlah yang sangat

sedikit, lebih sedikit dari pada nitrat, karena bersifat tidak stabil dengan

keberadaan oksigen. Nitrit merupakan bentuk peralihan (intermediate) antara

ammonia dan nitrat (nitrifikasi), dan antara nitrat dan gas nitrogen (denitrifikasi).

Denitrifikasi berlangsung pada kondisi anaerob. Proses denitrifikasi ditujukan

dalam persamaan reaksi (Novotny dan Olem, 1994 dalam Effendi, 2003).

NO3 - + H+ ½ (H2O + N2) + 5/4 O2


Denitrifikasi, gas N2 yang dapat terlepas dilepaskan dari dalam air ke udara.

Ion nitrit dapat berperan sebagai sumber nitrogen bagi tanaman. Keberadaan nitrit

mengambarkan berlangsungnya proses biologis perombakan bahan organik yang

memiliki kadar oksigen terlarut sangat rendah. Sumber nitrit dapat berupa limbah

industri dan limbah domestik. Kadar nitrit pada perairan relatif kecil karena segera

dioksidasi menjadi nitrat. Di perairan, kadar nitrit jarang melebihi 1 mg/liter

(Sawyer dan McCart, 1978 dalam Effendi, 2003). Menurut Peraturan Pemerintah

(PP) No. 82 Tahun 2001 tentang baku mutu air Kelas III untuk kegiatan budidaya

ikan air tawar 0,06 mg/L.

2.3.5 Nitrat (NO3)

Menurut Lesmana, (2001) ammonia merupakan gas buangan terlarut hasil

metabolisme ikan oleh perombakan protein, dari kotoran ikan itu sendiri maupun

sisa pakan. Sisa pakan biasanya membusuk sehingga kadar ammonia meningkat.

Secara kimia, ammonia terdiri dari dua bentuk unionized ammonia (UIA/NH3 dan

ionized ammonia (IA)/NH4+. Bila kadar UIA dalam air tinggi maka ikan bisa

pusing atau keracunan. Sebaliknya, IA kurang kuat daya racunnya.

Menurut Kirchman (2000), nitrat (NO-3) adalah jenis nitrogen yang paling

dinamis dan menjadi bentuk dominan pada daerah limpasan, masuk sungai,

keluarnya air tanah, dan deposisi atmofer ke laut. Nitrat adalah nitrogen utama

bagi pertumbuhan tanaman alga. Nitrat-nitrogen sangat mudah larut dalam air dan

bersifat stabil, dihasilkan dari proses oksidasi sempurna senyawa nitrogen

diperairan (Effendi, 2003).

Kadar nitrat–nitrogen pada perairan alami hampir tidak pernah lebih dari 0,1

mg/l. Kadar nitrat lebih dari 5 mg/l menggambarkan terjadinya pencemaran


antropogenik yang berasal dari aktivitas manusia dan tinja hewan. Kadar nitrat-

nitrogen yang lebih dari 0,2 mg/l dapat menyebabkan terjadinya eutrofikasi

(pengayaan) perairan, yang selanjutnya menstimulir pertumbuhan algae dan

tumbuhan air secara pesat (blooming) kadar nitrat dalam air tanah dapat mencapai

100 mg/l. Air hujan memiliki kadar nitrat sekitar 0,2 mg/l. Pada perairan yang

menerima limpasan air dari endapan pertanian yang banyak mengandung pupuk,

kadar nitrat dapat mencapai 1000 mg/l. Kadar nitrat untuk keperluan air minum

sebaiknya tidak melebihi 10 mg/l (Davis dan Cornwell, 1991 dalam Effendi,

2003). Menurut standar baku mutu kualitas air Peraturan Pemerintah (PP) No. 82

Tahun 2001 (Kelas III), nilai Nitrat (NO3) untuk kegiatan budidaya ikan air tawar

adalah 20 mg/L.

2.3.6 Ammonia (NH3)

Nitrogen merupakan salah satu unsur pembentuk gas NH3 (ammonia).

Sumber senyawa nitrogen di perairan berasal dari limbah yang mengandung

nitrogen baik berupa bahan oganik maupun anorganik, dalam keadaan aerob

(kandungan oksigen terlarut cukup) senyawa nitrogen dapat diikat oleh organisme

renik dan melalui proses perombakan diubah menjadi nitrat (Suwasono, 1994).

Amonia ini dalam perairan sebagian besar sebagai ion NH4+ (ammonium)

jauh lebih reaktif dari nitrat karena memiliki energi kimia yang lebih tinggi.

Muatan positif pada amonia memudahkannya untuk membentuk ikatan yang

memiliki muatan ion negatif, yang umum terjadi di sungai. Meskipun itu tidak

semua benar namun kebanyakan orang mendiskripsikan amonia sebagai amonium

(NH4+). Amonia berbeda dengan nitrat mulai dari tingkatan racun dan juga

mobilitasnya. Amonia memiliki tingkat racun yang lebih tinggi dari amonium
karena kebanyakan amonium disimpan oleh tanah. Ion amonium secara tepat

diambil oleh fitoplankton dan tanaman air lainnya. Gas amonia (NH3) larut

dengan mudah dalam air dan membentuk amonium hidroksida (NH4OH) yang

dipisahkan untuk memberi amonium (NH4) dan ion hidroksida (OH-) seperti di

tunjukan dibawah ini :

NH3 + H2O NH4OH NH4+OH-

Ammonia di dalam air mempunyai dua bentuk yaitu ammonia bukan ion

(NH3) dan ion ammonium (NH4+). Hal ini terjadi karena perombakan tidak sampai

mencapai hasil yang terbentuk nitrat, yang proses perombakannya harus dalam

keadaan perairan yang aerob. Ammonia bukan racun yang dapat meracuni

organisme perairan, sedangkan ion ammonium tidak berbahaya kecuali dalam

jumlah yang sangat tinggi. Konsentrasi amonia bukan ion yang tertinggi pada

suatu perairan biasanya terjadi setelah fitoplankton mati, kemudian diikat dengan

penurunan pH air karena konsentrasi CO2 meningkat. Kondisi perairan yang

seperti ini dicirikan dengan warna air keruh dan adanya bau khas ammonia.

Kekeruhan air yang terpolusi ammonia disebakan karena adanya endapan sisa

pakan dan kotoran ikan atau karena adanya fitoplankton yang mati. Kandungan

NH3 untuk 1 ppm akan menghambat daya serap hemoglobin darah terhadap

oksigen sehingga dapat mematikan organisme perairan akibat kekurangan oksigen

(Suwasono, 1994). Menurut Peraturan Pemerintah (PP) No. 82 Tahun 2001, bagi

Perikanan, kandungan ammonia bebas untuk ikan yang peka ≤ 0,02 mg/L.

2.3.7 Fosfat (PO4)

Fosfat merupakan bentuk fosfor yang dapat dimanfaatkan oleh tumbuhan

(Dugan, 1972). Fosfat terutama berasal dari sedimen yang selanjutnya akan
terfiltrasi dalam air tanah dan akhirnya masuk ke dalam sistem perairan terbuka.

Selain itu juga dapat berasal dari atmosfer bersama air hujan masuk ke sistem

perairan (Barus, 2004). Menurut Peraturan Pemerintah (PP) No. 82 Tahun 2001

tentang baku mutu air kelas III kadar fosfat 1 mg/L. Kadar fosfat yang terlalu

tinggi dapat menyebabkan perairan mengalami keadaan eutrofikasi sehingga

menjadi blooming dari salah satu jenis fitoplankton yang mengeluarkan toksin.

Kondisi seperti itu bisa merugikan hasil kegiatan perikanan pada daerah

perairan (Wibisono, 2005). Menurut Peraturan Pemerintah (PP) No. 82 Tahun

2001 tentang baku mutu air Kelas III untuk kegiatan budidaya ikan air tawar

kadar fosfat ≤ 1 mg/L.


III. METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini berlangsung selama bulan Oktober 2016. Lokasi penelitian pada

lokasi (I) dengan titik koordinat 0’59”32.21 LS, 134’01’24.55 BT, lokasi II

133o51’47,8’’ BT, 00o 56’00,9” LS dan Lokasi III 133o51’ 23,4” BT 00o55’30,9”

LS. Lokasi ini bertempat pada aliran Sungai Maruni Kabupaten Manokwari

Distrik Warmare. Peta lokasi penelitian dapat di lihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian. Sumber : Google Earth, 2016


3.2 Alat dan Bahan

Pada penelitian ini ditunjang oleh beberapa alat dan bahan secara berturut-

turut dapat dilihat pada Tabel. 1.

Tabel 1. Alat yang digunakan pada penelitian ini / in situ


No Alat Kegunaan

1 Thermometer Digital Mengukur suhu


2 pH Meter Mengukur derajat keasaman perairan
3 GPS Menentukan titik koordinat lokasi
4Cer Kamera digital Dokumentasi penelitian
5 Penutup botol air mineral Mengukur kecepatan air
6 Botol Sampel 1000 ml Wadah penampung air
7 DO Meter Untuk mengukur oksigen dalam air
8 Secchi disc Untuk mengukur kecerahan perairan
9 Cool box Untuk mengisi sampel
10 Papan Alas Untuk mengalas buku
11 Stop wacth Untuk mengukur kecepatan arus sungai
12 Rol Meter Untuk mengukur kecepatan arus
13 Tissu Untuk membersihkan alat

Tabel 2. Bahan yang digunakan pada penelitian ini / eks situ


No Bahan Kegunaan
1 Indikator Phenolftalein Dalam asam-basa titrasi
2 H2SO4 5 N Larutan pengencer untuk sampel air
3 NaOH 1N Larutan pengencer untuk sampel air
4 Aquadest Kalibrasi alat yang telah di pakai
5 K2S2O3 Larutan pengencer untuk sampel air
6 Sampel air Di uji di laboratorium
7 KH2PO4 Larutan pengencer untuk sampel air
Pereaksi kombinasi: - 15 ml
Ammonium Molibdat
8
[(NH2)Mo-O2-], : - 50 ml H2SO4
5N, :- 5 ml Kalium Antimonil Larutan pengencer untuk sampel air
Tartarat [K(SbO)C4H8O2],: -30
ml Asam Askorbat
9 Es batu Mengawetkan sampel

No Bahan Kegunaan
10 Air suling bebas amonia Sampel air yang disuling
Larutan yang digunakan untuk
11 Larutan fenol
mencampur samper air
12 Larutan natrium nitro Mencampur sampel air
13 Larutan sitrat alkali Mencampur sampel air
14 Larutan natrium nitroprusida Mencampur sampel air

Tabel 3. Alat yang digunakan dalam penelitian ini / eks situ


No Alat Kegunaan
1 Pipet volume Mengambil cairan dengan volume
tertentu
2 Beaker glass Mengukur dan mencampur bahan
yang akan dianalisa di laboratorium.
3 Corong Memasukan cairan ke dalam wadah
4 Labu ukur Menampung dan mencampur larutan
kimia
5 Kuvet Sebagai wadah standar yang akan diuji
dalam spektrofotometer
6 Neraca analitik Mengukur berat bahan yang
digunakan sebelum melakukan
analisis.
7 Spektrofotometer Alat mengukur nilai nitrit, nitrat fosfat
dan ammonia
8 Pemanas listrik Memanaskan sampel
9 Pipet Mikro ukuran 0,25; 0,50; Menyedot sampel air dan larutan
dan 1,00 ml
10 Buret Menampung larutan yang akan di
analisis
11 Pipet ukur Menyedot larutan sesuai dengan
ukuran
12 Labu erlenmeyer Menampung larutan yang akan di uji
13 Gelas piala Menampung larutan yang akan di uji
14 Oven Memanaskan sampel air
15 Pipet mikro Menyedot sampel air

3.3 Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini terbagai menjadi dua bagian yaitu

data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data pengukuran fisika-

kimia secara langsung dilapangan. Sedangkan Data sekunder merupakan data

yang ditinjau dari literatur atau jurnal-jurnal penelitian penentuan lokasi sampling

yang berhubungan dengan penelitian ini.

3.4 Pengumpulan Data Kualitas Air

3.4.1 Penentuan Lokasi Sampling

Penentuan lokasi sampling menggunakan metode purposive sampling

berdasarkan pada aktivitas disekitar daerah aliran Sungai Maruni. Lokasi

pengambilan sampel air dilakukan di 3 (tiga) lokasi yaitu :

Stasiun I: Aliran Sungai yang berdekatan dengan Kampung Hink adanya

aktivitas masyarkat berupa perkebunan coklat dan bertanam

kangkung (ipomea aquatica).


Stasiun II: Aliran Sungai Maruni. Pada stasiun kedua ini adanya aktifitas

kendaraan proyek yang mengangkut material sungai tanah dan batu

sungai) dan aktifitas pencucian kendaraan proyek, ±50 m juga

terdapat rumah karyawan pabrik semen.

Stasiun III: Hilir Sungai Maruni. Pada stasiun ketiga diduga menerima hasil

buangan dari stasiun kesatu dan kedua.

3.5 Prosedur dan Cara Analisis Parameter Kualitas Air

3.5.1 Metode Pengambilan Sampel Air

Pengambilan sampel air menggunakan metode grab sampel (sesaat). Pada

penelitian ini pengambilan sampel di tiap lokasi dilakukan pada satu titik

pengambilan sampel air mengikuti arus pada kedalaman 10 cm dengan posisi

melawan arus.

Pengukuran paramter kualitas air dilakukan secara in situ dan eks situ.

Parameter kualitas air yang dilakukan secara in situ ialah: suhu, derajat keasamaan

(pH), Oksigen Terlarut/Dissolved Oxygen (DO), debit air, kecerahan. Parameter

kualitas air secara eks situ analisis dilakukan di Labolatorium Kimia UNIPA

meliputi parameter: kekeruhan Bhiochemical Oxygen demand (BOD), nitrit

(NO2), nitrat (NO3), fosfat (PO4) ammonia (NH3), padatan tersuspensi (TSS)

3.5.2 Penanganan Sampel

Penanganan sampel untuk yang leboh dari 24-28 jam maka diperlukan
penanganan sampel sebagai berikut:

1) Sampel yang di ambil dari tiap titik sampel dimasukkan ke dalam botol
sampel plastik atau botol kaca gelap untuk mencegah masuknya sinar
matahari kedalam botol karena dapat mengurangi kadar nitrat.
2) Kemudian botol sampel dimasukkan ke cool box dengan suhu 4ºC, hal
ini dilakukan untuk menghindari terjadinya proses nitrifikasi. Kemudian
sampel air dianalisis ke Laboratorium Kimia UNIPA.
3.6 Metode dan Cara Analisis Paremeter Kualitas Air

3.6.1 Parameter Fisika

3.6.1.1 Suhu

Pengukuran suhu menggunakan thermometer digital dengan cara

mencelupkan ujung sensor air Sungai Maruni, biarkan selama 2-3 menit sampai

skala suhu pada thermometer digital menunjukan angka yang stabil. Setelah itu

hasilnya dicatat kemudian alat yang dipakai dibilas dengan menggunakan aquades

dan di keringkan dengan tissu.

3.6.1.2 Debit Air

Pengukuran debit air dilakukan dengan menggunakan tutup botol air

mineral. Beberapa tahapan yang dilakukan untuk mengukur debit air adalah

sebagai berikut :

1. Alur sungai yang dipilih untuk mengukur debit air yaitu yang memiliki

kelurusan aliran sekitar 5 meter serta memiliki kedalaman dasar yang

tidak terlalu bervariasi dari satu tepi ke tepi sebelahnya.

2. Lebar sungai diukur dengan meter roll pada ujung meter di tarik

setegang mungkin pada kedua tepi sungai dan diusahkan agar tegak

lurus terhadap arah aliran air sungai.

3. Lebar sungai terukur dibagi menjadi beberapa bagian yang sama

panjang guna penentuan titik pengukuran kecepatan aliran.


Lebar sungai dibagi menjadi 3 bagian yang sama besar seperti tertera pada

Gambar 3. Perhitungan debit air dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai

berikut (Dahlia, 2009):

D=vxA

Keterangan:
D = Debit air (m3/detik)
v = Kecepatan arus (m/detik)
A = Luas penampang saluran air (m2)
A = L (lebar) x h
Tepian Sungai Tepian Sungai

a0 a1 a2

h1 h2 h3

v1 v2 v3

Gambar 3. Pembagian lebar sungai untuk pengukuran debit air Sungai


Keterangan Gambar 3 :
v1 : Lebar sungai ke 1
v2 : Lebar sungai ke 2
v3 : Lebar sungai ke 3
a0 : Sempadan sungai lebar sungai ke 0
a1 : Sempadan sungai lebar sungai ke 1
a2 : Sempadan sungai lebar sungai ke 2
a3 : Sempadan sungai lebar sungai ke 3
h1 : Kedalaman bagian pinggir kiri sungai
h2 : Kedalaman bagian tengah sungai
h3 : Kedalaman bagian kanan sungai
h= h1 + h2 + h3

Pada gambar masing-masing lebar sungai diukur jarak (a), kedalaman (h)

dan kecepatan aliran (v). Posisi pengukuran harus berada berlawanan arah dengan

arah aliran arus sungai seperti yang ditujukan pada Gambar 4.

Roll meter

Aliran sungai

Tutup botol air mineral

Sempadan
kanan sungai Sempadan kiri sungai

Gambar 4. Posisi Pengukuran Aliran Sungai Maruni


Keterangan Gambar 4 :
1. Tutup botol air mineral
2. Roll meter
3. Aliran sungai
4. Sempadan kiri sungai
5. Sempadan kanan sungai
Cara kerja mengukur lebar sungai tanpa menyeberang :

1. Pertama tentukan titik C di seberang sungai, untuk lebih mudah

mengingatnya bisa menggunakan pohon, batu atau benda lainya yang

mudah dilihat dari seberang.

2. Buat patok di titik A, posisinya segaris dengan titik C, dimana garis A-C

merupakan lebar jalan atau sungai.


3. Lalu buat garis A-B dengan posisi sudut 90 derajat dari garis A-C, jadi

garis A-B akan segaris dengan tepi sungai yang mau diukur, panjang

garis A-B terserah mau dibuat berapa.

4. Kemudian buat garis A-B dengan posisi sudut 90 derajat dari garis A-C,

jadi garis A-B akan segaris dengan tepi sungai yang mau diukur, panjang

garis A-B terserah mau dibuat berapa.

5. Dari data-data tersebut maka sudah bisa hitung lebarnya menggunakan

rumus tangen, untuk memperjelas ilustrasinya, bisa dilihat pada gambar 5

berikut ini :

Lebar Sungai

Sudut 45°
90°

A Panjang B

Gambar 5. Mengukur lebar sungai

Lebar Sungai A-C =

Tan Sudut < ABC = Lebar Sungai A-C / Panjang A-B

Lebar sungai A-C = Tan Sudut < ABC x Panjang A-B

1. Mengusahakan sudut ABC adalah 90˚

2. Sudut BCA dicari hingga menjadi < 45˚

3. Jika sudut BCA sudah 45˚, maka di ukur panjang BC


4. Sederhana panjang BC = AB, maka lebar sungai AB dapat diketahui

Lebar sungai AC :...?

Tangan sudut < ABC x Panjang AB

Contoh :

Jika panjang AB = 20m

< ABC : 20˚

Maka lebar sungai AC adalah :

lebar sungai AC : Tangen 20˚ x 20 m

: 2,2372 x 20 m

: 44, 743 m

3.6.1.3 Kecerahan

Pengukuran tingkat kecerahan dengan menggunakan sechidisk dengan

cara lempengan sechidisk diikat tali kemudian dimasukkan ke dalam sungai.

Sechidisk diturunkan hingga tidak terlihat dari permukaan air dan dilakukan

perhitungan pada saat diangkat sechidisk untuk melihat tingkat kecerahan

perairan.

1. Kekeruhan

Kekeruhan (Metode Nephelometri)

a. Prinsip

Membandingkan intensitas cahaya dari contoh dengan intensitas cahaya

dari suspensi standar pada kondisi tertentu.

b. Peralatan

- Turbidimeter (nephelometer);

- Tabung nephelometer;
- Labu ukur 100 ml, terkalibrasi;

- Neraca analitik, terkalibrasi;

- Pipet 5 ml dan 10 ml terkalibrasi.

c. Pereaksi

- Larutan baku kekeruhan (larutan I); Larutkan 1,0 g hidrazin sulfat

(NH2)2H2SO4 dalam air, kemudian encerkan sampai 100 ml dalam labu

ukur.

- Larutan II;

- Larutkan 10,0 g heksametilen tetramin (CH2)6O4 didalam air suling,

kemudian encerkan sampai 100 ml dalam labu ukur.

- Larutan standar primer 4000 NTU;

- Campurkan 5,0 ml larutan I dengan 5,0 ml larutan II kedalam

Erlenmeyer. Biarkan selama 24 jam pada suhu (25± 30)

d. Hasil larutan ini adalah suspensi 4000 NTU.

- Suspensi kekeruhan;

- Encerkan suspensi standar encer kekeruhan primer 4000 NTU dengan

air bebas kekeruhan. Suspensi ini pada waktu dipakai dalam keadaan

segar dan buang setelah dipakai.

- Standar sekunder adalah standar buatan manufaktur atau organisasi

pengujian independen yang telah bersertifikat yang akan memberikan

hasil kalibrasi instrumen yang sama dengan hasil kalibrasi instrumen

yang dikalibrasi dengan standar primer seperti formazin yang disiapkan

oleh analis (definisi).

- Air bebas kekeruhan;


- Air suling yang sudah mengalami 2 kali penyulingan dan penyaringan

melalui kertas berpori 0,45 μm.

e. Cara kerja

a) Kalibrasi alat; kalibrasi alat nephelometer dengan beberapa standar

kekeruhan.

b) Kocok contoh dengan sempurna, diamkan sampai gelembung udara

hilang, kemudian tuangkan contoh ke dalam tabung nephelometer;

3.6.1 Parameter Kimia

3.6.2.1 Derajat Keasaman (pH Meter)

Pengukuran pH menggunakan pH meter, cara mengoperasikan pH dengan

mencelupkan bagian sensor ke dalam air Sungai Maruni diamkan selama 2-3

menit sampai angka digital stabil lalu dicatat.

3.6.2.2 Oksigen Terlarut/Dissolved Okxygen (DO)

Pengukuran Oksigen Terlarut/Dissolved Okxygen (DO) dilakukan dengan

menggunakan alat DO meter. Cara mengoperasikan alat ini adalah dengan

mencelupkan bagian sensor ke dalam air Sungai Maruni diamkan selama 2-3

menit sampai angka digital stabil lalu dicatat.

3.6.2.3 Bhiocemical Oxygen Demand (BOD)

Penentuan konsentrasi BOD5 menggunakan metode inkubasi lima hari.

Langkah pertama air sampel yang telah diperoleh diambil secukupnya untuk

kemudian diencerkan dengan aquades sesuai kebutuhan. Lalu air sampel yang

telah diencerkan telah dipindahkan kedalam bejana dan di aerasi selama beberapa

menit agar jumlah kandungan oksigen dalam air tersebut meningkat. Setelah itu

air tersebut dimasukkan ke dalam dua jenis botol yaitu: botol untuk pengukuran
DO saat hari ke 0 (DO-0) dan botol untuk inkubasi lima hari (DO-5). Air dalam

botol untuk DO-0 langsung di ukur konsentrasi oksigen terlarutnya saat itu juga

dengan menggunakan metode titrasi Winkler. Konsentrasi oksigen terlarut pada

air dalam botol DO-5 di ukur setelah di inkubasi selama lima hari. Selisih antara

nilai konsentrasi oksigen terlarut pada waktu DO-0 dan D0-5 merupakan

kandungan oksigen yang diperlukan untuk menguraikan bahan organik secara

biokimiawi atau disebut konsentrasi BOD. Nilai tersebut harus di sesuaikan

dengan faktor pengenceran yang digunakan (Stirling, dkk 1985 dalam Wibowo,

2009). BOD5. dihitung dengan persamaan sebagai berikut (Metcalf dan Eddy

2003);

BOD (mg/l) = DO-nol – DO-5 x tingkat pengenceran

Keterangan :
DO-nol = konsentrasi oksigen terlarut hari ke 0 (nol)
DO-5 = konsentrasi oksigen terlarut hari ke 5 (kelima)

3.6.2.4 Nitrit (NO2)

Analisis kadar nitrit dilakukan dengan menggunakan metode

spektrofotometri:

1. Metode Spektrofotometri

a. Prinsip

Prinsip pengukuran kadar nitrit adalah berdasarkan pembentukan warna

kemerah-merahan yang terjadi bila mereaksikan nitrit dengan asam

sulfanilat dan N-(1-naftil etilen diamin dihidroklorida) pada pH 2,0

sampai pH 5,2.
b. Peralatan

- spektrofotometer sinar tunggal atau sinar ganda yang mempunyai

kisaran panjang gelombang 190 nm-900 nm dan lebar celah 0,2 nm - 2

nm serta telah dikalibrasi;

- Pemanas listrik yang dilengkapi dengan pengatur suhu;

- Pipet mikro ukuran 0,25; 0,50 dan 1,00 ml, terkalibrasi;

- Buret 50 ml, terkalibrasi;

- Labu ukur 100 ml dan 1000 ml, terkalibrasi;

- Gelas ukur 50 ml;

- Pipet ukur 10 ml dan 50 ml, terkalibrasi;

- Labu erlenmeyer 100 ml;

- Gelas piala 500 ml.

- Pereaksi larutan baku 250 mg NO2

- N/l; Larutkan 1,232 g natrium nitrit, NaNO2, dengan air suling 100 ml di

dalam labu ukur 1000 ml. Tambahkan 1 ml kloroform sebagai pengawet

dan tambahkan air suling sampai tepat pada tanda garis.

- Larutan asam sulfanilat; Larutkan 5,0 g sulfanilamid dengan campuran

50 mL HCl pekat dan 300 ml air suling di dalam gelas piala 500 ml.

Encerkan dengan air suling sehingga volumenya menjadi 500 ml

- Larutan naftil etilendiamin dihidroklorida; Larutkan 500 mg N-(1-naftil

etilendiamin dihidroklorida) dengan 100 ml air suling di dalam gelas

piala 500 ml. Encerkan dengan air suling sehingga volumenya menjadi

500 ml, simpan di dalam botol berwarna gelap dan larutan ini harus

diganti setiap bulan atau bila warna larutan menjadi coklat tua.
- Larutan asam klorida, HCl, 1:3; Tambahkan 50 ml HCl pekat ke dalam

gelas piala 250 ml yang berisi 150 ml air suling.

- Larutan natrium oksalat, Na2C2O4, 0,05 N; Larutkan 3,350 g kristal

natrium oksalat dengan 100 ml air suling di dalam labu ukur 1000 ml.

Tambahkan air suling sampai tepat pada tanda garis

- Larutan fero amonium sulfat; Larutkan 19,607 g fero amonium sulfat dan

20 ml asam sulfat pekat ke dalam labu ukur 1000 ml yang berisi 100 ml

air suling. Tambahkan air suling sampai tepat pada tanda garis.

- Larutan standar kalium permanganat 0,05 N; Larutkan 8,0 g KMnO4

dalam 1 l air suling, simpan dalam botol berwarna coklat biarkan selama

7 hari.

- Tetapkan molaritas KMnO4 dengan cara : Timbang 100 sampai 200 mg

Na2C2O, anhidrat ke dalam gelas piala tambahkan 100 ml air suling aduk

sampai larut, tambahkan 10 ml H2SO4 1:1, panaskan gelas piala pada

suhu 90°C sampai 95°C. Segera titar dengan KMnO4 yang akan

ditetapkan sampai terjadi warna merah jambu terang. Pada waktu

penitaran, pertama naikan suhu pada 85°C. Jika perlu panaskan gelas

piala selama penitaran. Kerjakan penetapan blanko seperti di atas dengan

memakai air suling dan H2SO4 1:1

3.6.2.5 Nitrat (NO3)

a. Nitrat (Metode Spektrofotometri)

Prinsip

Penambahan sejumlah larutan asam klorida kedalam larutan yang

mengandung ion nitrat menyebabkan perubahan pada spectrum


absorben nitrat yang dapat diukur dengan spektrofotometer

ultraviolet pada panjang gelombang 220 nm dan 275 nm.

b. Peralatan

- Spektrofotometer sinar tunggal atau sinar ganda yang mempunyai

kisaran panjang gelombang 190 nm-900 nm dan lebar celah 0,2 nm

– 2 nm serta telah dikalibrasi;

- Pipet volume 50 ml, terkalibrasi;

- Labu ukur 50 ml, terkalibrasi;

- Pipet ukur 10 ml, terkalibrasi;

c. Pereaksi

- Air bebas nitrat;

Air suling yang telah mengalami 2 kali penyulingan

- larutan intermediet

- panaskan serbuk kalium

Pengukuran nitrat dilakukan di Laboratorium dengan cara sebagai

berikut :

1) 2 mL air sampel yang telah disaring di ambil dengan menggunakan

pipet kemudian air tersebut di masukan ke dalam gelas piala.

2) Selanjutnya 5 brucin sulfat di tambahkan kedalam gelas piala

tersebut kemudian di aduk hingga homogen.

3) Kemudian 5 mL asam sulfat pekat ditambahkan dan diaduk hingga

homogen.

4) Lalu buat larutan blangko dari 5 mL aquades


5) Kemudian di buat larutan standar nitrat yang sebelum pengenceran

100 mL ditambahkan 20 – 30 mL aquades sampai tanda tera.

6) Dengan larutan blangko dan dengan Spectrophotometer dengan

panjang gelombang 410 nm, diukur sampel dan larutan standar.

3.6.2.6 Ammonia (NH3)

Ammonia (Metode Spektrofotometri)

a. Prinsip

Fenol alkali dan hipoklorit beraksi dengan ammonia membentuk biru

indo fenol yang merupakan kandungan konsentrasi amonia. Warna

biru terbentuk secara cepat dengan natrium nitro prusida.

b. Peralatan

- Spektrofotometer dengan lebar celah kuvet 1,0 cm pada panjang

gelombang 640 nm terkalibrasi;

- Labu ukur 25 ml, 100 ml, 1000 ml terkalibrasi;

- Oven pada 100°C terkalibrasi;

- Neraca analitik dengan ketelitian 0,1 mg terkalibrasi;

- Pipet mikro 1 ml, 5 ml dan 10 ml terkalibrasi;

- Erlenmeyer 50 ml asah bertutup plastik.

c. Pereaksi

- Air suling bebas ammonia; Tambahkan 0,1 ml H2SO4 ke dalam 1 l air

suling, kemudian lakukan penyulingan kembali. Simpan dalam botol

gelas dan tambahkan resin kation asam.


- Larutan fenol; Campurkan 11,1 ml fenol cair ( ≥ 89 %) dengan etanol

jadikan 100 ml. Peringatan: gunakan sarung tangan dan pelindung mata

dan kerjakan di tempat ventilasi yang baik.

- Larutan natrium nitro prusida 0,5 % b/v ;

- Larutkan 0,5 g natrium nitroprusida dalam 100 ml air suling.

- Larutan sitrat alkali; Larutkan 200 g tri natrium sitrat dan 10 g natrium

hidroksida dalam air suling, jadikan 1000 ml dengan air suling.

- Larutan natrium hiproklorit ;

- Larutan komersial sekitar 5 %

- Larutan pengoksidasi; Campurkan 100 ml larutan sitrat alkali dengan

25 ml larutan natrium hipoklorid. Siapkan secara segar.

- Larutan baku ammonium; Larutkan 3,819 g NH4Cl anhidrat (yang

telah dikeringkan pada 100°C) dengan air suling dalam labu ukur; 1000

ml dan tepatkan sampai tanda tera. 1,00 ml = 1,00 mg N = 1.22 mg

NH3.

- Larutan standar ammonium; Siapkan larutan kurva kalibrasi dari

larutan baku ammonia dalam kisaran konsentrasi amonia dalam contoh

Persiapan contoh hilangkan residu klorin dari contoh dengan

menambahkan 0,1 g NaAsO2/l.

c. Cara kerja

a) Pipet 25 ml contoh dan masukan ke dalam Erlenmeyer 50 ml

tambahkan sambil langsung dikocok tiap masing-masing penambahan 1

ml larutan fenol, 1 ml larutan natrium nitro prusida dan 2,5 ml larutan

pengoksidasi; Tutup contoh dengan tutup plastik biarkan warna timbul


dalam suhu kamar (22oC sampai 27oC) yang terlindung dari cahaya

minimal 1 jam. warna stabil dalam 24 jam;

b) Ukur absorben pada panjang gelombang 640 nm

3.6.2.7 Fosfat (PO4)

Kandungan fosfat dilakukan dengan metode Vanadat Molybdat.

Langkah-langkah sebagai berikut :

1) Pembuatan larutan standar

a. Pembuatan larutan induk 1000 ppm dan larutan standar 100 ppm

- Ditimbang 4387 mg KH2PO4 dengan teliti dan dimasukan kedalam

labu ukur

- Diencerkan dengan 1 liter aquadest

- Diaduk hingga homogen kemudian

- Dipipet larutan induk sebanyak 10 ml dan dilarutkan dengan

aquadest dalam labu ukur 100 ml lalu dihomogenkan

b. Penentuan nilai absorbansi untuk larutan 10 ppm, 20 ppm, 30 ppm,

40 ppm, dan 50 ppm.

- Dipippet sebanyak 10 ml, 15 ml, 20 ml, 25 ml larutan standar 100

ppm dan dimasukan kedalam 5 buah labu ukur

- Ditambahkan aquadest kedalam masing-masing labu ukur hingga

volumenya 50 ml, kemudian ditambahkan 8 pereaksi kombinasi

- Sebagai blanko dipipet 50 ml aquadest dan ditambahkan 8 ml

pereaksi kombinasi

- Didiamkan selama 15 menit dan diukur absorbansinya dengan

spektrofometer pada panjang gelombang 880 nm


- Dibuat grafik kalibrasi

c. Penentuan absorbansi untuk sampel

- Dipipet sampel sebanyak 50 ml di masukan kedalam beaker glass

- Ditambahkan 1 tetes indikator phenolftaken (jika terjadi warna

merah jambuh, tambahkan H2S2O4 5 N setetes demi setetes hingga

warna merah jambu hilang)

- Ditambahkan 0,5 gram K2S2O4 dan didikan diatas hot place hingga

volume tersisa ± 10 ml

- Didinginkan dan diencerkan dengan aqudest hingga volume 30 ml

- Ditambahkan 1 satu tetes indikator phenolftalein dan dinetralkan

dengan NaOH 1 N hingga berwarna merah jambu

- Diteteskan H2SO4 5 N hingga warna merah jambu hilang kemudian

encerkan hingga 100 ml

- Dipipet sebanyak 50 ml dan dimasukkan ke dalam labu ukur

- Ditambahkan 8 ml pereaksi kombinasi didiamkan selama 15 menit

- Diukur absorbansinya dengan alat spektrofotometer pada panjang

gelombang 880 nm.

3.6.2.8 Padatan Tersuspensi Total (TSS)

Pengujian dilakukan dengan melakukan penyaringan menggunakan

peralatan vakum. Saringan di basahi dengan sedikit aquades. Contoh uji diaduk

dengan pengaduk magnetik untuk memperoleh contoh uji yang lebih homogen.

Contoh uji dipipet dengan, pada waktu contoh diaduk dengan pengaduk

magnetik. Penyaringan dilakukan menggunakan kertas saring yang dicuci dengan

3x10 mL air suling, dibiarkan kering sempurna, dan dilanjutkan penyaringan


dengan vakum selama 3 menit agar diperoleh penyaringan sempurna. Kemudian

contoh uji dengan padatan terlarut yang tinggi memerlukan pencucian tambahan.

Kertas saring 0,45 µm dipindahkan secara hati-hati dari peralatan penyaring dan

dipindahkan ke wadah timbang aluminium sebagai penyangga. Kemudian

dikeringkan dalam oven minimal selama 1 jam pada suhu 103 sampai dengan

105°C ( Alaerts dan Santika, 1984).

3.7 Analisis Data Kualitas Air

Hasil pengukuran di lapangan dan labolatorium yang diperoleh pada setiap

stasiun di analisis secara deskriptif kuantitatif yang dibandingkan dengan baku

mutu kualitas air menurut standar baku mutu Peraturan Pemerintah Nomor 82

Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran guna

menentukan status mutu kualitas air sungai dari tiga lokasi penelitian.

Tabel 5. Standar Baku Mutu Menurut Peraturan Pemerintah (PP) No. 82 Tahun
2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran
Air
Standar Baku Mutu
Parameter Satuan
I II III IV
pH 6–9 6–9 6-9 5-9
DO mg/L 6 4 3 0
BOD mg/L 2 3 6 12
Nitrat mg/L 10 10 20 20
Fosfat mg/L 0,2 0,2 1 5
Amonia mg/L 0,5 - - -
TSS mg/L 50 50 400 400
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian

Kondisi Stasiun I pada Sungai Maruni di bagian hulu sungai terdapat

pemukiman penduduk yang berdekatan juga dengan areal pengoperasian

pengambilan material dari pabrik semen PT SDIC Papua Semen Indonesia.

Berdasarkan hasil pengamatan pada Stasiun I, terlihat bahwa masyarakat

memanfaatakan aliran sungai tersebut sebagai sumber untuk memperoleh air

bersih dan digunakan juga oleh masyarakat sebagai sumber air kolam kangkung

(Gambar 6).

Gambar 6. Kondisi Sungai pada stasiun I

Kondisi pada Sungai Maruni di Stasiun II berdasarkan hasil pengamatan di

lapangan merupakan daerah aktivitas dari Pabrik Semen milik PT SDIC Papua

Semen Indonesia. Saat penelitian terlihat aktivitas pengoperasian alat berat yang

digunakan untuk mengeruk bantaran sungai. Material hasil pengerukan juga

digunakan untuk menimbun jalan alternatif yang menghubungkan antara lokasi

kerja dan rumah karyawan PT SDIC Papua Semen Indonesia.


Gambar 7. Kondisi Sungai pada stasiun II

Kondisi Sungai Maruni di Stasiun III pada bagian kanan (sebelah Timur)

terdapat semak-semak berupa alang-alang yang berdekatan dengan pelabuhan

pabrik semen, sedangkan disebelah kiri (sebelah Barat) terdapat alang-alang dan

tumbuhan berupa pisang, cemara. Di areal ini juga terdapat aktivitas penggalian

material berupa pasir dan batu pada bagian hilir sungai tersebut. Keadaan stasiun

III dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Kondisi Sungai pada stasiun III

4.2 Parameter Fisika dan Kimia

4.2.1 Parameter Fisika

Pengukuran parameter fisika dilakukan pada saat cuaca cerah.

Parameter fisika yang diukur pada setiap titik stasiun pengamatan yaitu lebar

sungai, suhu, kecepatan arus, debit air, kecerahan. Hasil pengukuran parameter

fisika dan kimia pada setiap stasiun pengamatan disajikan pada tabel 6.
Tabel 6. Parameter Fisika Sungai Maruni pada saat Cuaca Cerah

Lebar
Kondisi suhu Kec.Arus. Kecerahan Kekeruhan
Stasiun sungai
cuaca (˚C) (m/det) (cm) NTU
(m)
I 12,71 28,3 5,007 32 3,73

II 20,35 29,8 3,259 89 6.63


Cerah
III 36,77 29,8 5,199 21 5,04

4.2.1.1 Lebar Sungai

Hasil pengukuran lebar Sungai Maruni pada tiga stasiun penelitian

berkisar antara 12,71 – 36,77 m (Tabel 6). Pada stasiun 1 ukuran sungai tidak

terlalu lebar karena masih alami belum mengalami kerusakan oleh aktifitas alat

berat. Sedangkan pada stasiun 2 dan stasiun 3 sudah mengalami kerusakan akibat

pelebaran sungai oleh alat berat sehingga pada stasiun II dan III ukuran lebar

sungai menjadi luas. Lebar sempadan sungai di stasiun 1, 2 dan 3 ditentukan

secara langsung tanpa membagi daerah sempadan sesuai dengan fungsi dari

bagian-bagiannya, sedangkan penetapan lebar sempadan menurut Maryono

(2005), didasarkan pada proses perubahan fisik morfologi, hidrolik, ekologi dan

sosial masyarakat.

4.2.1.2. Suhu

Suhu air merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi aktivitas

serta memacu atau menghambat perkembangbiakan organisme perairan (Hawkes,

1997). Nilai suhu pada setiap stasiun, ditampilkan dalam bentuk grafik dapat

dilihat pada Gambar 9. Suhu air sungai pada tiga stasiun penelitian berkisar antara

28,3 – 29,8˚C, nilai terendah terdapat pada stasiun I (28,30C). Hal ini lebih
disebabkan karena pada stasiun I terdapat tutupan vegetasi riparian yang masih

alami sehingga terlindung dari penetrasi cahaya matahari. Nilai suhu yang paling

tinggi terdapat pada stasiun II – III (29,8˚C) dan nilai ini juga masih dalam

keadaan alami. Variasi suhu perairan Suangi Maruni masih dalam kisaran baik

karena variasi suhu yang terjadi belum melampaui 5oC. Keadaan ini diduga

karena tutupan vegetasi disekitar perairan masih cukup baik. Peningkatan suhu

bisa disebabkan oleh berkurangnya tutupan vegetasi di sepanjang bantaran sungai,

yakni semakin sedikit pohon-pohon yang ada disekitar tepi perairan atau daerah

riparian maka semakin besar pula penetrasi cahaya matahari yang masuk ke badan

sungai sehingga menyebabkan meningkatnya suhu perairan. Odum (1994), cahaya

matahari yang diserap badan air akan menimbulkan peningkatan suhu di perairan.

30
29.8 29.8
29.5

29

28.5
28.3
28

27.5
1 2 3
Stasiun Penelitian
suhu (˚C)

Gambar 9. Hasil pengukuran suhu pada tiga stasiun penelitian

4.2.1.3. Kecepatan Aliran Sungai

Kecepatan aliran air/arus Sungai Maruni pada ketiga stasiun pengamatan

berkisar antara 3,259 – 5,1999 m/det. Kecepatan arus yang tertinggi terdapat pada

stasiun III (5,1999 m/det) dan diikuti kecepatan aliran air pada stasiun I (5,007

m/det) sedangkan kecepatan arus terendah terdapat pada stasiun II 3,259 m/det
(Tabel 6). Perbedaan kecepatan arus pada Sungai Maruni diduga karena

kemiringan yang berdeda-beda antara stasiun satu dengan yang lainnya. Hal lain

yang menyebabkan perbedaan kecepatan arus pada aliran air Sungai Maruni yaitu

adanya bagian sungai yang dihalangi oleh beberapa pohon yang tumbang

menghalangi aliran air pada stasiun I terdapat juga tumbuhan riparian dan gusuran

tanah dari gunung yang masuk dalam sungai. Sedangkan pada stasiun II terjadi

pelebaran sungai sehingga menyebakan kecepatan aliran arus semakin berkurang.

Hal ini dapat dilihat dari rendahnya kecepatan arus. Pada stasiun III yang berada

pada bagian hilir sungai terlihat sangat lebar dan dangkal sehingga menyebabkan

kecepatan arus berkurang.

Perbedaan kecepatan arus tiap stasiun dikarenakan pada stasiun I adalah

daerah hulu yang memiliki ketinggian yang berbeda dan alami hal ini berbeda

pada stasiun II, yang mengalami penurunan kecepatan arus disebabkan dari

aktivitas alat berat dari perusahaan dan stasiun III akibat pembangunan pabrik

semen untuk pelabuhan/dermaga pabrik semen Maruni.

5 5.007 5.199

4
3.259 Kec.Arus
3
. (m/det)
2

0
1 Stasiun 2Penelitian 3

Gambar 10. Hasil pengukuran kecepatan aliran air pada tiga


stasiun penelitian
4.2.1.4. Kekeruhan

Nilai kekeruhan pada tiga stasiun dengan nilai berkisar antara 3,73 – 5,04

NTU dapat dilihat di (Tabel 6), dan grafik dibawah ini.

7 6.63
6 5.04
5
3.73
4
3
2
1
0
1 2 3
Stasiun Penelitian

Kekeruhan

Gambar 11. Nilai kekeruhan pada ketiga stasiun penelitian

Nilai kekeruhan tertinggi terdapat pada stasiun II dan nilai kekeruhan

terendah pada stasiun I. Hasil pengukuran menunjukan bahwa tingginya nilai

kekeruhan pada stasiun II diduga dipengaruhi oleh adanya kegiatan pengerukan

Sungai Maruni dan aktivitas pengambilan material bahan baku semen di bagian

hulu. Sedangkan pada stasiun III sudah mengalami pendangkalan akibat dari

ekspor sedimen pada stasiun II.

Menurut Foster dan Meyer dalam Suripin, 2002 kekeruhan air sungai sangat

dipengaruhi oleh erosi yang meliputi proses pelepasan, penghanyutan,

(meningkatkan kekeruhan air) serta pengendapan. Hal ini menyebabkan turunnya

produktivitas lahan pertanian dan kualitas air serta mengurangi kapasitas sungai.

Suripin (2002), pengaruh kekeruhan untuk sumberdaya perairan yaitu untuk

ketersediaan air bersih, tingkat kekeruhan yang tinggi pada air sungai akan
merugikan pada sector penyediaan air bersih yang bersumber dari air permukaan

sehingga akan meningkatkan biaya pengolahan.

Partikel dalam ukuran apapun cenderung mengurangi penetrasi cahaya, hal

ini mengurangi besarnya fotosintesis dan akibatnya mengurangi pertumbuhan

tanaman hidup. Partikel-partikel yang ukurannya sangat kecil yang berada dasar

sungai bisa memiliki efek memekatkan pandangan, yang hasilnya mencegah

mahluk hidup tertentu hidup di dasar sungai dan mencegah tanaman hijau

berfotosintesa sehingga akan mempengaruhi keseimbangan ekosistem perairan.

4.3 Parameter Kimia

Hasil pengukuran parameter kimia air Sungai Maruni untuk kandungan

pH, DO, BOD, nitrit, nitrat, fosfat dan amonia disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7. Parameter Kimia dan standar baku mutu penunjang kesuburan perairan
Sungai Maruni
Hasil Pengukuran Standar
Parameter Baku Mutu
Satuan
Kimia Kelas I
I II III
pH 7 6,7 6,16 6–9
DO mg/L 6,85 5,67 4,66 6
BOD mg/L 2,09 3,49 4,19 2
Nitrit mg/L 0,02 0,03 0,04 0,06
Nitrat mg/L 0,5753 Ttd 1,138 10
Fosfat mg/L 0,0940 0,1001 0,124 0,2
Amonia mg/L 0,01 Ttd Ttd 0,5
TSS mg/L 23,77 24,67 34,86 50

Keterangan ttd : tidak terdeteksi


4.3.1 Derajat Keasaman (pH)

Nilai pH hasil pengukuran pada tiga stasiun pengamatan berkisar antara

6,16 – 7. Nilai pH terendah ditemukan pada staiun II (6,7) pada saat pengamatan

cuaca cerah. Pada kehidupan biologi dan mikrobiologi, nilai pH memiliki peranan

yang sangat penting (Alaerts dan Santika, 1984). Rendahnya pH pada stasiun II

diduga karena besarnya kandungan bahan organik pada limbah yang berasal dari

pemukiman dan limbah pabrik semen yang sudah mulai beroperasi mulai dari

sepanjang stasiun II dan III. Menutut Effendi, (2003), sebagian biota akuatik

sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH sekitar 7 – 8,5. Nilai pH di

setiap stasiun pengamatan pada kondisi cuaca cerah, ditampilkan pada bentuk

grafik, dapat dilihat pada Gambar 12.

7.2
7 7 7 7
6.8
6.7
6.6
6.4
6.2 6.16
6
5.8
5.6
I II III

pH Baku Mutu

Gambar 12. Hasil pengukuran pH pada tiga stasiun penelitian

4.3.2 Oksigen Terlarut (DO)

Hasil pengukuran kandungan oksigen terlarut (DO) berkisar antara 4,66 –

6,85 mg/l dengan nilai konsentrasi rata-rata 5,72 di masing-masing stasiun

pengamatan. Kandungan oksigen terlarut tertinggi terdapat pada stasiun I,

sedangkan nilai terendah terdapat pada stasiun pengamatan III dapat dilihat pada
Gambar 13. Kadar oksigen yang terlarut di perairan bervariasi, tergantung pada

suhu, salinitas, turbulensi air dan tekanan atmosfer. Kadar oksigen terlarut juga

berfluktuasi secara harian dan musiman, tergantung pada percampuran dan

pergerakan masa air, dan aktifitas fotosintesis, respirasi dan limbah yang masuk

ke badan air (Effendi, 2003). Pada stasiun II dan III terjadi penurunan nilai DO

diduga disebabkan oleh berbagai aktivitas yaitu masuknya limbah pemukiman

disekitar Sungai Maruni dan pencemaran limbah pabrik semen yang sudah mulai

beroperasi. Iskandar (1995), menyatakan bahwa limbah industri pakan dan

pemukiman sering menimbulkan masalah pencemaran perairan karena BOD yang

tinggi serta rendahnya oksigen terlarut. Heriyanti (2001) menyebutkan bahwa air

limbah juga akan meningkatkan kandungan oksigen di perairan y ang menerima

limbah tersebut. Jika dibandingkan dengan hasil pengukuran di Sungai Maruni,

maka stasiun II dan III belum terpengaruhi oleh warna air limbah, sehingga

kandungan oksigen terlarut pada lokasi II dan III masih terlihat rendah,

dibandingkan dengan stasiun I, sudah terpengaruhi oleh air limbah sehingga

kandungan oksigen terlarut di stasiun I lebih tinggi hal ini sesuai dengan pendapat

Heriyanti (2001). Nilai DO hasil pengukuran pada tiap stasiun ditampilkan dalam

bentuk grafik dapat dilihat pada Gambar 14. Berdasarkan Peraturan Pemerintah

(PP) No. 82 Tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian

pencemaran air Sungai Maruni di golongkan dalam kelas (I) air yang

diperuntukan untuk air baku air minum, maka kondisi parameter DO sungai

Maruni sedikit di bawah baku mutu tersebut. Namum karena selisih dengan baku

mutu hanya 0,28 mg/l maka keadaan ini tidak terlalu signifikan.
8
6.85
7
6 6 6
6 5.67

5 4.66

4
3
2
1
0
I II III

DO (mg/L) Baku Mutu

Gambar 13. Hasil pengukuran DO pada tiap stasiun penelitia

4.3.3 Kebutuhan Oksigen Biologi (BOD)

Berdasarkan hasil pengukuran, nilai BOD berkisar antara 2,09 – 4,19

mg/l Biochemical Oxygen Demand atau kebutuhan oksigen biologi adalah jumlah

oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme aerobik di dalam air untuk

memecah (mendegradasi) bahan buangan organik yang ada di lingkungan perairan

tersebut. Berdasarkan Kep. No. 51/ MENKLH/10/1995. Nilai BOD untuk baku

mutu limbah cair bagi kegiatan industri golongan I adalah 50 mg/l dan golongan

II adalah 150 mg/l sedangkan menurut UNESCO/WHO/UNEP (1992) kadar

maksimum BOD yang diperlukan untuk kepentingan minum dan menopang

kehidupan organisme akuatik adalah 3,0 – 6,0 mg/l. Peningkatan BOD pada

stasiun pengamatan I (2,09 mg/l) menunjukan bahwa terjadi penguraian bahan

organik melalui proses oksidasi oleh mikroorganisme perairan pada stasiun I

termasuk dalam kriteria tidak tercemar, karena belum melewati baku mutu yang

sudah di tetapkan, sedangkan pada stasiun II dan III nilai BOD sudah termasuk

kriteria kualitas air tercemar ringan.


Tabel 8. Kriteria kualitas air berdasarkan nilai BOD (Lee dkk., 1978 dalam
Rahmatullah Al Fatih (2008)

Nilai BOD Kriteria Kualitas Air


<3 Tidak tercemar/tercemar sangat ringan
3-4,9 Tercemar ringan
5-15 Tercemar sedang
>15 Tercemar berat

Proses penguraian senyawa organik pada stasiun II dan III menunjukan

sedimentasi yang tinggi dari pabrik semen serta aktivitas alat berat yang

mengakibatkan aliran Sungai Maruni memberikan efek kekeruhan terhadap air

Sungai yang telah tercemar. Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 82

Tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air

Sungai Maruni digolongkan dalam kelas (I) air yang diperuntukan untuk air baku

air minum, Pada stasiun pengamatan I kualitas perairan masih dikategorikan

sebagai golongan kelas I sebagai air baku air minum.

5
4.19
4 3.49

3
2.09 2 2 2
2

0
I II III

BOD5 (mg/L) Baku Mutu

Gambar 14. Hasil pegukuran BOD pada stasiun penelitian dengan


penggolongan baku mutu air kelas I.
4.3.4 Nitrit (NO2) dan Nitrat (NO3)

Senyawa nitrogen di perairan secara alami berasal dari metabolisme

organisme perairan dan dekomposisi bahan-bahan organik oleh bakteri (Boyd,

1979). Nitrogen merupakan bahan dasar penyusun protein yang diserap oleh

tumbuhan air dalam bentuk ammonia atau nitrat. Ketersediaan nitrogen

mempengaruhi variasi spesies, kelimpahan serta kandungan nutrisi hewan dan

tumbuhan akuatik (Horne dan Goldman, 1994). Nitrogen dalam bentuk nitrit

(NO2) dan nitrat (NO3). Nitrit bagi organisme perairan merupakan racun,

sedangkan nitrat merupakan salah satu parameter kesuburan. Keduanya

berpengaruh pada nutrien yang berperan dalam pembentukan biomassa organisme

perairan, juga merupakan pembentuk komposisi dan biomassa fitoplankton

sebagai produsen perairan.

0.007
0.006
0.005
0.004
0.004
0.003
0.003 Nitrit (NO2-N)
0.002
0.002 Baku Mutu
0.001
0
I II III

Gambar 15. Nilai Kandungan Nitrit pada tiga stasiun penelitian

Nilai rata-rata kandungan nitrit yang didapat dari ketiga stasiun antara 0,02

– 0,04 mg/l. Produktivitas primer perairan dan Konsentrasi nitrit sangat rendah,

distasiun I dikarenakan ion nitrit berperan sebagai sumber nitrogren bagi tanaman.

Keberadaan nitrit mengambarkan berlangsungnya proses biologis perombakan


bahan organik yang memiliki kadar oksigen sangat rendah. Pada aliran Sungai

Maruni, konsentrasi nitrit di stasiun penelitan berkisar antara 0,02–0,04 mg/l, dari

aliran Sungai Maruni. Analisis menunjukkan bahwa konsentrasi nitrit di stasiun I

berbeda nyata dengan stasiun III, pada konsentrasi nitrit yang cenderung menurun

ke arah stasiun II 0,03 mg/l dapat dilihat pada Gambar 15. Pada aliran Sungai

Maruni konsentrasi nitrit dijumpai dalam konsentrasi yang lebih rendah dari

konsentrasi nitrat.

Hal ini disebabkan karena bentuk senyawa nitrit yang bersifat tidak stabil

dan akan segera teroksidasi jika kandungan oksigen terlarut mencukupi.

Kandungan oksigen terlarut mempengaruhi oksidasi nitrit menjadi nitrat.

Konsentrasi nitrit cenderung meningkat seiring dengan menurunnya curah hujan

yang diamati saat pengambilan sampel. Konsentrasi nitrit paling tinggi pada

stasiun III dengan nilai 0,004 mg/l, Hal ini berhubungan dengan kondisi aliran

sungai yang dekat dengan aktivitas penduduk. Selain itu, kerusakan daerah

sempadan sungai juga berpengaruh pada nilai nitrit dalam perairan. Dapat dilihat

pada Gambar 16, maka hal ini masih memenuhi standar baku mutu golongan

kelas I yang diperuntukan untuk air baku air minum. Jika dibandingkan dengan

baku mutu kelas I nitrit dan nitrat yang terdapat pada lokasi I, II dan III belum

melewati standar baku mutu yang ditetapkan melalui peraturan pemerintah.

Sedangkan di lokasi II untuk nitrat tidak terdektesi.


12
10 10
10
8
6
4
2 1.1389
0.5753
0
I II III
Nitrat (NO3-N) Baku Mutu

Gambar 16. Nilai Kandungan nitrat pada tiga stasiun penelitian

Nitrat mewakili produk akhir dari pengoksidasian nitrit zat yang bersifat

racun. Berdasrkan hasil di peroleh, kandungan rata-rata nitrat yang cukup tinggi

pada seluruh lokasi pengamatan yaitu berkisar antara 0,5753- 1,138 mg/l.

Konsentrasi ini sudah melebihi yang dimiliki perairan alami yang hanya 0,1 mg/l.

Nilai kandungan nitrat tertinggi terdapat pada stasiun III yang diduga disebabkan

adanya masukan limbah rumah tangga dan pertanian yang mengandung nitrogen

kedalam perairan yang merupakan senyawa yang membentuk unsur karbon,

hidrogen, dan oksigen sehingga apabila teroksidasi akan membentuk senywa

nitrat, peningkatan kadar nitrat dapat mengindikasikan perairan terkontaminasi

dengan adanya penambahan limbah. Menurut (Mahdia, 1984) bila nitrat

diperairan dengan konsentrasi tinggi akan merangsang pertumbuhan ganggang

yang tak terbatas sehingga air kekurangan oksigen terlarut dan mengakibatkan

kematian bagi organisme akuatik yang tidak tahan dengan kondisi DO rendah.

Tingginya kandungan nitrat pada lokasi II dan III diduga pengaruh limbah

organik dari pemukiman dan pemotongan gunung berupa tanah serta unsur
meterial dari bahan baku semen yang masuk ke perairan mulai dari hulu lokasi II

dan sepanjang sempadan Sungai sampai hilir, lokasi III.

Menurut (Sanusi 2006) nitrat merupakan bentuk utama nitrogen yang

berperan dalam suatu perairan dan merupakan nutrien utama bagi pertumbuhan

akuatik seperti tanaman dan alga. (Effendi 2003) Senyawa ini dihasilkan dari

proses oksidasi sempurna senyawa nitrogen di perairan. Nitrat tidak bersifat

toksik terhadap organisme akuatik, termasuk makrozoobentos. Kadar nitrat pada

perairan alami hampir tidak pernah lebih dari 0,1 mg/l-1. Kadar nitrat lebih dari 5

mg/l-1

menggambarkan terjadinya pencemaran antropogenik yang berasal dari aktivitas

manusia dan hasil ekskresi hewan.

4.3.6 Ammonia (NH3)

Ammonia pada suatu perairan bersifat mudah larut dalam air, kandungan

ammonia ada dalam jumlah yang relatif kecil jika di dalam kandungan oksigen

terlalu tinggi. Ammonia pada suatu perairan berasal dari urin dan feses yang

dihasilkan oleh biota perairan. Ammonia yang terdapat dalam mineral masuk

kebadan air melalui erosi tanah. Berdasarkan hasil pengukuran ammonia,

diketahui kandungan ammonia dapat dilihat pada Gambar 18. Hasil yang

diperoleh dari analisis Laboratorium yaitu 0,01 mg/l hal ini menunjukan bahwa

pada lokasi I belum terjadi pencemaran ammonia sesuai dengan baku mutu air

kelas I sedangkan standard baku mutunya adalah 0,5 mg/l.

Ammonia yang tidak terionisasi (NH3) sangat bersifat toksik bagi

ikan dibandingkan ammonia yang terionisasi yang relatif non-toksik. Proporsi

konsentrasi keduanya dipengaruhi oleh pH dan temperatur perairan menurut


Wetzel, 1983, dalam Rahmatullah Al Fatih (2008). Pada keadaan perairan yang

asam persentase dari NOH menurun, sedangkan pada keadaan perairan basa

(alkaline) jumlahnya akan meningkat (Goldman dan Horne, 1983). Effendi (2003)

dalam Rahmatullah Al Fatih (2008), menyatakan pada pH 7 atau kurang sebagian

besar ammonia mengalami ionisasi dan p1-I yang lebih besar dari 7 ammonia

tidak terionisasi. Pada malam hari ketika kandungan oksigen rendah atau ketika

kebutuhan oksigen untuk dekomposisi melebihi dari produksi fotosintesis,

menyebabkankerentanan organisme terhadap daya racun ammonia meningkat

(Goldman dan Horne, 1983). Kadar ammonia yang tinggi mengakibatkan

peningkatan konsumsi oksigen, mengakibatkan kerusakan pada insang, dan

menurunkan kapasitas transport oksigen oleh darah (Boyd, 1982).

Pada perairan alami nilai ammonia yang dapat ditolerir organisme sebesar

1,5 mg/liter Rahmatullah Al Fatih (2008), Kadar ammonia yang baik untuk

kehidupan ikan dan organisme akuatik lainnya adalah kurang dari 1 mg/liter

(Pescod, 1973, dan Asmawi, 1983) dalam Rahmatullah Al Fatih (2008), untuk

keperluan perikanan dan peternakan batas maksimum ammonia bebas yang di

perbolehkan adalah 0,02 mg/l. Selanjutnya Raharjo (2005), mengatakan ammonia

menyebabkan ikan stress, dan menyebabkan kerusakan insang dan jaringan

lainnya. Paparan dalam jumlah kecil secara terus-menerus dapat menyebabkan

ikan rentan terhadap infeksi bakteri. (Hargreaves dan Tucker 2004), mengatakan

akumulasi ammonia mengakibatkan ikan tidak dapat mengekstrak energi,

sehingga menjadi lesu, koma, dan akhirnya mati. Distribusi ammonia di perairan

tawar sangat bervariasi menurut musim, sangat tergantung terhadap tingkat

kesuburan perairan, dan masukan buangan berupa bahan-bahan organik.


0.06
0.05
0.05
0.04
0.03
0.02
0.01
0.01
0
I Amonia (mg/L) II Baku Mutu III

Gambar 17. Nilai kandungan ammonia yang diketahui pada stasiun I

Nilai kandungan ammonia pada pengukuran di tiga stasiun hanya di

ketahui kandungan ammonia pada stasiun I berkisar 0,01 mg/L. Menurut (Mc

Neely dkk., 1979), kadar ammonia pada perairan biasanya kurang dari 0,1 mg/l,

kandungan ammonia bebas yang tidak terionisasi (NH3) pada perairan tawar

sebaiknya tidak lebih dari 0,2 mg/l. Jika kadar ammonia bebas lebih dari 0,2 mg/l

maka perairan bersifat toksik bagi beberapa jenis biota (Sawyer dan Mccarty,

1978). Kandungan ammonia pada tiga stasiun penelitian Sungai Maruni pada

stasiun II dan III tidak terdekteksi kandungan amonia.

4.3.7 Fosfat (PO4)

Fosfat merupakan salah satu faktor penting dalam perairan, meski hanya

dibutuhkan dalam jumlah sedikit. Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 82

Tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air

Sungai Maruni di golongkan dalam kelas (I) air yang diperuntukan untuk air baku

air minum.
Orthophosphat yang merupakan produk ionisasi dari asam orthophosphat

adalah bentuk fosfor yang paling sederhana di perairan. Orthophosphat dapat

dimanfaatkan secara langsung oleh tumbuhan atau alga di perairan. Keberadaan

fosfor di perairan biasanya relatif kecil, dengan kadar yang lebih sedikit dari pada

kadar nitrogen karena sumber fosfor lebi h sedikit dibandingkan dengan sumber

nitrogen di perairan (Effendi 2003). Kadar fosfor dalam orthophosphat (P-PO4)

jarang melebihi 0,1 mg/l-1, sedangkan kadar fosfor total pada perairan alami

jarang melebihi 1 mg l-1 (Boyd 1988 dalam Effendi 2003). Fosfor tidak bersifat

toksik bagi manusia, hewan dan ikan.

0.2500
0.2 0.2 0.2
0.2000

0.1500 0.1248
0.0940 0.1001
0.1000

0.0500

0.0000
I II III

Phosfat (PO4²-) Baku Mutu

Gambar 18. Fosfat (PO4) pada tiga lokasi penelitian

Berdasarkan hasil pengukuran nilai rata-rata kandungan Posfat yang di

dapat dari ketiga stasiun penelitian berkisar antara 0,0940 – 0,1248 mg/l kisaran

ini masih memenuhi kadar phosfat pada perairan. Menurut (Boyd, 1988) kadar

phosfat perairan secara alami jarang melebihi 1 mg/l. Phosfat tidak bersifat toksik

bagi organisme perairan, namun bila kadar phosfat tinggi dan diikuti kadar

nitrogen tinggi maka akan mendukung Eutrofikasi perairan yang di indikasikan

oleh tingginya produksi alga dapat meningkatkan bahan organik dan penggunaan
oksigen oleh mikroorganisme dalam merombak bahan organik tersebut.

Hilangnya oksigen sebagai hasil dari proses dekomposisi bahan organik ini

selanjutnya berdampak kepada kematian organisme perairan atau sumberdaya

ikan (Round, 1984). Eutrofikasi yang di indikasikan menurunnya kecerahan

perairan dan tingginya material tersuspensi dapat mengganggu aktivitas ikan

dalam reproduksi dan mencari makan.

Kandungan phosfat pada stasiun II dan III menandakan bahwa terdapat

masuknya limbah organik dari pemukiman dan erosi tanah dari pengerukan

gunung sebagai bahan baku semen Maruni limbah pemukiman, pertanian dan

limbah pabrik semen yang masuk ke perairan Sungai Maruni pada stasiun II

kandungan phosfat berkisar 0,0940 mg/l rendahnya nilai kandungan phospat juga

diduga terjadi karena adanya pelebaran sungai sehingga phosfat mengalami

pengendapan bersama partikel lumpur dan adanya pemanfaatan phosfat oleh

organisme akuatik seperti fitoplankton.

4.3.8 Padatan Tersuspensi Total (TSS)

Jumlah padatan tersuspensi dapat mengurangi penetrasi cahaya yang

masuk ke dalam air. Padatan tersuspensi dalam air umumnya terdiri dari bahan-

bahan organik serta limbah industri (Fardiaz, 1995 dan Sastrawidjaja, 1991).

Padatan tersuspensi sangat berpengaruh terhadap kualitas estetika, serta potensi

dampaknya terhadap ekosistem akuatik. Total tersuspensi terdiri dari bahan-bahan

atau partikel berupa lumpur, pasir maupun hujan disajikan pada Gambar 19

dibawah ini. Hasil analisis data total padatan tersuspensi dan kekeruhan pada

ketiga lokasi penelitian.


60

50 50 50 50

40
34.86
30
23.77 24.67
20

10

0
I II III
TSS Baku Mutu

Gambar 19. Nilai rata-rata Kandungan TSS Padatan Tersuspensi


pada ketiga stasiun penelitian

Nilai TSS pada ketiga stasiun penelitian berkisar antara 23,77 – 34,86

mg/l konsentrasi rata-rata TSS tertinggi berada pada lokasi II dan III sungai

sebagian besar merupakan tempat yang digunakan sebagai daerah aktivitas dari

pabrik semen yang manggangkut bahan material tanah sebagai bahan baku semen,

dan pengerukan yang terjadi akibat aktivitas alat berat di daerah aliran Sungai dan

daerah tutupan lahan disekitar pegunungan disekitar daerah Maruni yang di ambil

alih oleh pabrik semen terkait aktivitas alat berat dan pembangunan pabrik hal ini

berdampak langsung terhadap erosi partikel tanah berukuran suspensi yang

kemudian masuk di sepanjang sempadan sungai dan meningkatkan konsentrasi

padatan tersuspensi dalam air Sungai. Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No.

82 Tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air

Sungai Maruni di golongkan dalam kelas (I) air yang diperuntukan untuk air baku

air minum. Berdasarkan standard baku mutu nilai, TSS yang di peroleh dari hasil

analisis labaratorium belum melewati ambang batas baku mutu. Menurut pendapat

dari Pratiwi, dkk (2007), menyatakan bahwa dengan adanya perubahan


penggunaan/tutupan lahan berhubungan erat dengan naiknya total padatan

tersuspensi (TSS). Nilai padatan tersuspensi (TSS) di wilayah Sungai Maruni

yang bermuara di pesisir Teluk Doreri Kabupaten Manokwari Selatan dapat

mempengaruhi ekosistem karang, lamun dan ikan yang hidup diperairan tersebut.

Berdasarkan baku mutu air laut Keputusan Menteri (Kepmen) Lingkungan Hidup

Nomor. 51 Tahun 2004 mengatakan bahwa baku mutu untuk total padatan

tersuspensi yang masuk ke perairan adalah 20 mg/l untuk ekosistem karang 80

mg/l dan ekosistem lamun dan manggrove 20 mg/l. Dengan kandungan TSS

sebesar 34,86 mg/L akan berdampak langsung terhadap pertumbuhan karang dan

lamun.
V. PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penilitian ini dapat disimpulkan bahwa kualitas air

secara fisik dan kimia Sungai Maruni masih dalam kondisi alamiah atau dengan

kata lain masuk kedalam kriteria belum tercemar, walaupun untuk parameter BOD

ada yang melebihi baku mutu air kelas I dan DO kurang dari baku mutu air

kelas I.

Untuk parameter kimia khususnya nilai DO terlihat tinggi pada Stasiun I

karena perairan tersebut masih alami sedangkan Stasiun II dan Stasiun III BOD

meningkat karena pengaruh dari adanya limbah domestik yang dihasilkan dari

aktivitas penduduk sekitar dan alat berat dari pabrik semen.

5.2 Saran

Perlu dilakukannya penilitian lebih lanjut mengenai dampak limbah dari

pabrik semen terkait efek konsentrasi logam berat dan sedimentasi yang

berdampak langsung terhadap pesisir dan laut Teluk Doreri Kabupaten

Manokwari Selatan.
DAFTAR PUSTAKA

Alfan, M. S. 1995. Evaluasi Kualitas Fisika Kimia Air Sungai Ciliwung Di


Wilayah Kota Administratif (Kotif) Depok Bagi Kepentingan Perikanan.
Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, Bogor.

Analsis Dampak Lingkungan (Amdal) Pembangunan Pabrik Semen Maruni. PT


SDIC Papua Semen Indonesia. 2015

Arifin, 2003. Daya Dukung Perairan Danau Tondano Untuk Menunjang Kegiatan
Budidaya Ikan. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan UNSRAT
Manado.

Asdak, Chay. 2004. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Sungai. Yogyakarta .


Gadja Mada University Press

Asdak, Chay. 2001. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai.


Yogyakarta Gadjah Mada University Press.

Barus, T. A. 2004. Faktor-faktor Lingkungan Abiotik dan Keanekaragaman


Plankton sebagai Indikator Kualitas Perairan Danau Toba. Jurnal Manusia
dan Lingkungan, Vol. XI, No.2.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Manokwari. 2013. Kabupaten Manokwari Dalam


Angka. Manokwari Tahun 2013. BPS Kabupaten Manokwari

Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Manokwari. 2000. Peraturan Bupati


(Perbup) No. 69 tahun 2000. Tentang Baku Mutu Air dan Kriteria
Kerusakan Lingkungan Hidup. Manokwari

Damhudi, Y. D. 2000. Karakteristik Fisika dan Kimia Aliran Hulu Sungai


Cimanuk di Kabupaten Garut Jawa Barat. Skripsi. Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan. IPB. Bogor

Eaton, A. D., Clesceri, L. S., dan Greenberg, A. E. 1995. APHA (American Public
Health Association): Standard Method for The Examination of Water and
Wastewater 19th ed., AWWA (American Water Works Association), and
WPCF (Water Pollution Control Federation). Washington D. C.
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air: Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan
Lingkungan Perairan. Kanisius: Yogyakarta.

Fardiaz, S. 1995. Polusi Air dan Udara. Kanisius. Yogyakarta

Fardiaz, S. 1992. Polusi Air dan Udara. Kerjasama Antar Universitas Pangan dan
Gizi. Institut Pertanian Bogor. Kanisius: Yogyakarta.

Ferianita, Melati – Fachrul; Setijati Hartinah E., dan Monika Wulandari. 2008.
Komposisi dan Model Kelimpahan Fitoplankton di Perairan Sungai
Ciliwung, Jakarta. Universitas Trisakti. Jakarta

Hargreaves JA, Tucker CS. 2004. Managing Amonia fish ponds. Sounthern
Regional Aquaculture Center (SRAC). SRAC Publication. No. 4603

Kementrian Lingkungan Hidup Asisten Deputi Kajian Urusan Dampak


Lingkungan. 2005. Panduan Penyusunan AMDAL Kegiatan Pembangunan
Pesisr dan Laut.

Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor: KEP-1/MENLH/10/1995,


Tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Industri.

Kodoatie, Robert J., dan Roestam Sjarief. 2010. Tata Ruang Air. Yogyakarta.

Kristanto. 2004. Ekologi Industri. Yogyakarta.

Lesmana, D. S. Dermawan, I. 2001. Budidaya Ikan Hias Air Tawar Populer.


Penebar Swadaya
Limbong, A. 2008. Alkalinitas Analisa dan Permasalahanya Untuk Air Industri.
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengatahuan Alam. Universitas Sumatra
Utara Medan. Medan
Lubis, A. R. 2007. Meodel Perubahan Kualitas Air Sungai Di Daerah Aliran
Sungai (Das) Ciliwung. Departemen Teknik Pertanian Fakultas Teknologi
Pertanian. IPB.
Maryono, A, 2005, Menangani Banjir, Kekeringandan Lingkungan, Gama Press,
Jakarta.
Meraudje, A. Djamaluddin, R. Irmawaty, R. Krakteristik Mekanis Beton Mutu
Tinggi Dengan Agregat Sungai Maruni (Manokwari) 2015. Teknik Sipil
Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin. Makassar.
Metcalf, Eddy. (2003). Wastewater Engineering : Treatment and Reuse (Fourth
Edition). New York : McGraw-Hill Companies, Inc.

Minggawati, I. dan Lukas. 2012. Water Quality Research For Fish Farming
Keramba In The Kahayan River. Fakultas Perikanan Universitas Kristen
Palangka Raya

Mirna A.P. 2005. Evaluasi Kualitas Air Sungai Way Sulan Kecil Kabupaten
Lampung Selatan. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor

Odum EP. 1993. Dasar-Dasar Ekologi. Penerjemah: T. Samingan dan B.


Srigando. Yogyakarta: Gadjah mada University Press.

Odum, E. P. 1994. Dasar- Dasar Ekologi. EdisiPT. Gramedia. Jakarta.


Peraturan Pemerintah No. 82. 2001. Tentang Pengelolaan Kualitas air dan
Pengendalian Pencemaran Air. Jakarta.

Putra, A. E. 2002. Analisis Limbah Indutri Logam Terhadap Kualitas Air Deli (Di
Tinjau Dari Aspek Fisika Kimia). Tesis. Program Studi Pengelolaan
Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Universitas Sumatra Utara.

Rahmatullah Al Fatih. 2008. Skripsi. Kajian Kandungan Nitrogen pada Kolom


Perairan dan Sedimen Akibat Aktivitas Keramba Jaring Apung di Waduk
Cirata, Jawa Barat. Bogor

Raharjo S. 2005. Efek Amonia Dalam Transaminase (GOT, GPT) aktivitas GIDH
dan nilai ATP pada ikan. Jurnal Perikanan dan Kelautan. Vol 1 (2).
Jurusan Perikanan UNIPA. NTU

Saeni, M. S. 1989. Kimia Lingkungan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.


Ditjen Pendidikan Tinggi. PAU (Ilmu Hayati) IPB. Bogor.

Sanusi, Harpasis. 2006. KIMIA LAUT Proses Fisik Kimia dan Interaksinya
dengan Lingkungan.

Sastrawijaya TA. 1991. Pencemaran Lingkungan. Jakarta. Penerbit: Rineka Cipta.

Setiawan, D. 2010. Studi Komunitas Makrozoobenthos di Perairan Sungai Musi


Sekitar Kawasan Industri Bagian Hilir Kota Palembang. Jurusan Biologi,
FMIPA Universitas Sriwijaya
Soemarto, C. D. 1999. Hidrologi Teknik Jakarta. Erlangga

Sohilati. E. 2003. Hubungan Kandungan Nitrogen dan Fosfor terhadap Distribusi


dan Kelimpahan Fitoplankton di Perairan Danau Rawa Pening. Skripsi.
Semarang

Sudarman. 2011. Sifat Sungai Di Pengaruhi oleh Bentuk DAS


http://sudarman28.blogspot.com). Diakses pada tanggal 1 Juni 2016. Pukul
10.35 Wit
Sunaryo, Trie M., S. Walujo, Tjoek, Harnanto, A. 2005.Pengelolaaan
Sumber Daya Air: Konsep dan Penerapannya. Malang: Bayumedia

Suin, M. N. 1994. Dampak Pencemaran pada Ekosistem Perairan. Proseeding


Penataran Pencemaran Lingkungan, Dampak dan Penanggulangannya.
Padang

Supartiwi, E. N. 2000. Karakteristik Komunitas Fitoplankton dan Perifiton


Sebagai Indikator Kualitas Lingkungan Sungai Ciujung, Jawa Barat.
Skripsi. Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan. Institut
Pertanian Bogor.

Suripin. 2002. Pelestarian Sumber Daya Tanah dan Air. Yogyakarta.

UNESCO/WHO/UNEP.1992. Water Quality Assesmen- A Guide to Use of Biota


Sediment, and Water Environmental Monitoring. 2 nd Edition.
http:www.who. int/docstore/water_ anitation_health/wqasses/ch10.htm.
diakses pada tanggal 10 Oktober 2016.

Wardana, W.A. 1995. Dampak Pencemaran Lingkungan. Andi Offset,


Yogyakarta.

Wibowo, R. K. A. 2009. Analisis Kualitas Air Pada Sentral Outlet Tambak Udang
Sistim Terpadu Tulang Bawang Lampung. Skripsi Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan IPB. Bogor
Winarno, K. Astirin, O. P. Setyawan, A. D. 2000. Pemantauan Kualitas Perairan
Rawa Jabung Berdasarkan Keanekaragaman dan Kekayaan Komunitas
Benthos. Jurnal Jurusan Biologi. FMIPA. UNS. Surakarta

Zairion, D. 2003. Dampak Pembangunan Terhadap Biota Air. Makalah Kursus


AMDAL, IPB. Bogor.
LAMPIRAN
Lampiran I

Aktivitas Pengukuran dan Pengambilan Data Dilapangan

A. Pengukuran lebar sungai, kedalaman, kecepatan arus dan pengambilan sampel


air, pada lokasi I, dan terdapat juga tumbuhan aquatik kayu apur (pistia
statioles) serta terjadi penggusuran gunung tempat pengambilan material
semen dan juga terdapat kandang ternak disekitar aliran sungai.

`
B. Pengukuran kedalaman air, kecepatan arus, DO, lebar Sungai pada Lokasi II.

C. Lokasi II. Pengukuran Kedalaman Sungai Maruni dan Pengukuran DO, Suhu,
pH, tangki penampung material semen, jembatan penghubung ke rumah
karyawan, dan terjadi pelebaran sungai yang di buat oleh alat berat Excavator,
penimbunan material pasir dan batu oleh trek proyek.

D. Lokasi III. Pengukuran lebar sungai, pelebaran sungai oleh alat berat
Excavator, jembatan penghubung ke rumah karyawan, pengambilan sampel air,
trek melakukan bongkar muat material pasir berbatu di pinggiran sungai, anak
sungai yang di duga tempat saluran pembuangan limbah dari aktivitas
masyarakat kampung Warbaderi.
Lampiran II

Peralatan Yang Di gunakan Dalam Laboratorium Kimia Fakultas Mipa

A. Spektofotometri, B. Breaker glass, C E. Nephelometri, F. Pemanas listrik, G.


Labu ukur, D. Pipet Mikro Buret, H. Corong
Lampiran III
Tabel Hasil Perhitungan Parameter Fisik –Kimia Perairan Sungai Maruni

Stasiun penelitian Nitrit (NO2-N) Baku Mutu


I 0,002 0,006
II 0,003 0,006
III 0,004 0,006
Tabel Hasil Perhitungan Nitrit

Nitrat (NO3-
Stasiun penelitian N) Baku Mutu
I 0,5753 10
III 1,1389 10
Tabel Perhitungan Nitrat

Phosfat (PO4²-
Stasiun penelitian ) Baku Mutu
I 0,0940 0,2
II 0,1001 0,2
III 0,1248 0,2
Tabel Perhitungan Phosfat

Amonia
Stasiun
(mg/L) Baku Mutu
I 0,01 0,05
II
III
Tabel Perhitungan Amonia

Stasiun TSS Baku Mutu


I 23,77 50
II 24,67 50
III 34,86 50
Tabel Perhitungan TSS
Stasiun penelitian DO (mg/L) Baku Mutu
I 6,85 6
II 5,67 6
III 4,66 6
Tabel Perhitungan DO

Stasiun penelitian BOD5 (mg/L) Baku Mutu


I 2,09 2
II 3,49 2
III 4,19 2
Tabel Perhitungan BOD5

Stasiun penelitian pH Baku Mutu


I 7 9
II 6,7 9
III 6,16 9
Tabel Perhitungan pH

Stasiun penelitian debit air m3/det


I 0,56
II 0,78
III 0,87
Tabel Perhitungan Debit Air

Anda mungkin juga menyukai