Elia Maggang M.Th, pengajar dari fakultas teologi UKAW-Kupang, juga punya kesan yang mirip. Menurutnya
terjemahan lurus terhadap lirik lagu dari kidung jemaat ke dalam bahasa daerah misalnya, tidak cukup
menangkap makna dari lagu aslinya. Karena itu ketimbang mengalihbahasakan lirik, ia mengusulkan
menggunakan lagu-lagu berirama etnik, sementara liriknya tetap dalam bahasa Indonesia sehingga bisa
dipahami oleh semua suku.
Di pihak lain Pdt. Em. Deker Mauboi, M.Th, juga turut mengkritisi pemberitaan firman yang belum cukup
mendialogkan budaya dengan pesan Injil. “Semua liturgi berbasis etnik sungguh indah dan mengesankan, hanya
saja teologi lokal kontekstual belum nampak dalam khotbah-khotbah gereja kita,” ungkapnya melalui pesan
singkat kepada redaksi sinodegmit.or.id.
Menanggapi sumbangan pikiran kritis dari berbagai kalangan, Pdt. Samuel Pandie, salah satu anggota tim
penyusun liturgi menandaskan bahwa tim telah melakukan sejumlah kajian dan latihan namun ia mengakui
masih ada kekurangan di sana sini karena beberapa keterbatasan termasuk dalam hal penerjemahan nyanyian.
Kendati demikian menurutnya, antusiasme jemaat mengaplikasikan liturgi cukup besar. Ia berharap usul saran
dari berbagai pihak terkait bulan bahasa dan budaya tahun ini menjadi masukan berharga bagi tim dan ke
depan bisa melahirkan inovasi baru yang dapat memperkaya khasanah liturgi di GMIT.
Terkait berbagai suara kritis tersebut, ketua majelis sinode GMIT Pdt. Dr Mery Kolimon berterima kasih dan
akan memberi perhatian serius sekaligus mengajak warga gereja untuk terus berteologi, mencari dan
menemukan kehendak Tuhan dalam keragaman budaya. Ia berjanji akan memperhatikan semua masukan
tersebut untuk perbaikan di masa mendatang.***