Anda di halaman 1dari 4

Amir Sjarifuddin: Pendiri TNI, Mati Didepan Regu Tembak

TNI

Sejarah versi Orde Baru biasanya menonjolkan kiprah tokoh-tokoh jebolan KNIL dan
PETA sebagai pendiri TNI. Nama-nama seperti Sudirman, Urip Sumohardjo, A.H
Nasution, Didi Kartasasmita, Gatot Subroto, M. Nuh, Kafrawi, Purbonegoro,
Mustopo, T.B Simatupang dianggap sebagai tokoh-tokoh penting dibalik berdirinya
TNI. Pendirinya dari pihak sipil jarang disebut. Kalaupun ada, peranan sipil dianggap
sebagai pelengkap dalam sejarah kepahlawanan para jebolan KNIL dan PETA.
Padahal sipil turut berperan penting dalam sejarah berdirinya TNI.
Nama TNI diresmikan pada tanggal 3 Juni 1947, setelah organisasi tentara reguler
Indonesia mengalami dua kali pergantian nama dan formasi; dari TKR dan TRI.
Meski diresmikan pada tanggal 3 Juni, ulang tahun TNI diperingati setiap tanggal 5
Oktober. Ini didasarkan pada hari dikeluarkannya maklumat pembentukan Tentara
Keamanan Rakyat, 5 Oktober 1945.
Ada satu tokoh sipil yang berperan penting dalam sejarah berdirinya TNI. Dia
bernama Amir Sjarifuddin, mantan Menteri Pertahanan dan Perdana Menteri RI di
masa revolusi. Tapi sejarahnya sebagai pendiri TNI digelapkan. Sebab pemikiran
kemiliteran yang dimilikinya bertentangan dengan kepentingan “Negara Dalam
Negara” yang masih dipertahankan oleh TNI. Mengungkap sejarah Amir sama artinya
mengungkap sisi kelam sejarah sebagian tokoh TNI yang sudah diangkat sebagai
pahlawan.
Tanggal 14 November 1945 Amir ditunjuk sebagai Menteri Keamanan Rakyat
Kabinet Sjahrir I. Di awal tugasnya mengurus pertahanan, Amir melihat laskar-laskar
dan tentara reguler muncul dengan latar-belakang pembentukan yang berbeda-beda.
Laskar-laskar berafiliasi pada partai-partai politik tertentu dan berbeda pandangan
politik satu-sama lain. Diantara laskar sering terjadi “koboi-koboian” saling merebut
pengaruh, unjuk kekuatan bahkan sampai insiden bersenjata. Tentara reguler
kebanyakan berasal dari bekas KNIL dan PETA yang membentuk kesatuan-kesatuan
dalam TKR. Nasionalisme sebagian besar perwiranya diragukan sebab pernah
menjadi tentara penjajah dan mudah diperalat oleh kekuasaan yang menindas.
“Koboi-koboian” antara sesama tentara reguler, juga antara laskar dengan tentara
reguler, sering terjadi. (Soemarsono, 11 Juli 2013)
Menurut Amir, tentara harus memiliki satu persepsi perjuangan, tidak terkotak-kotak
oleh kepentingan politik dan tidak mengabdi kepada kekuasaan yang menindas
rakyat. Tentara harus mengabdi kepada revolusi, tunduk kepada otoritas sipil, hidup
dan berjuang bersama rakyat ibarat ikan dengan air, bukan sebagai alat penjaga
kapitalis-imperialis dan kaum feodal. (Koran Kedaulatan Rakyat, 4 Juli 1946)
Langkah pertama yang dilakukan Amir mengurus pertahanan adalah menyeragamkan
persepsi perjuangan diantara laskar dan tentara reguler. Tanggal 24 Januari 1946,
Amir membentuk Biro Pendidikan Politik Tentara (Pepolit). Badan ini bertugas
memberikan pendidikan ideologi anti-imperialisme kepada laskar-laskar dan tentara
reguler, sekaligus untuk menghilangkan pengaruh buruk yang didatangkan oleh
imperialis Belanda dan fasis Jepang. Materi yang diajarkan didalamnya; politik,
agama, kejiwaan, sosial dan pengetahuan umum sebagai tuntunan perjuangan. Setiap
divisi didampingi oleh seorang Staf Pepolit berpangkat jenderal mayor, yang dibantu
oleh 5 Opsir Pepolit berpangkat letnan kolonel untuk setiap resimen. Staf Pepolit
berjumlah 7 orang, antara lain: Sukono Djojopratikno, Anwar Tjokroaminoto, Wijono,
Mustopo, Farid Ma’roef, Hadji Abdul Mukti, Soemarsono. (Koran Kedaulatan
Rakyat, 20 Februari 1946)
Amir berusaha menyatukan laskar-laskar dan tentara reguler dalam satu payung
bersama. Tanggal 25 Mei 1946, Amir membentuk Biro Perjuangan, yang menampung
laskar-laskar yang tunduk kepada Panglima Besar, yang berkedudukan dibawah
Kementerian Pertahanan. Amir mendorong laskar-laskar dan tentara reguler supaya
terintegrasi dengan lembaga-lembaga pemerintah yang berkaitan dengan aspek
pertahanan. Usaha ini berhasil dengan terbentuknya Dewan Pertahanan Negara
(DPN), yang terdiri dari Perdana Menteri, Kementerian Pertahanan, Kementerian
Dalam Negeri, Kementerian Kemakmuran, Kementerian Perhubungan, Kementerian
Keuangan, Panglima Besar, perwakilan laskar dari golongan Sosialis, Nasionalis dan
Islam. Badan-badan yang tergabung di DPN memiliki wewenang melakukan tindakan
yang dianggap perlu untuk menyelamatkan negara dari keadaan bahaya.” (de
Madioen Affair, hlm. 11)
Akhir Mei 1947, Amir memimpin rapat DPN. Dalam rapat mengenai perubahan nama
dan formasi TRI itu dicapai kesepakatan penyatuan laskar-laskar dengan tentara
reguler. Soemarsono, yang mewakili Laskar Pesindo mengusulkan supaya nama
Tentara Republik Indonesia diubah menjadi Tentara Nasional Indonesia, dengan
singkatan “T.N.I”. Usulan ini diterima. Tanggal 3 Juni 1947, Tentara Nasional
Indonesia diresmikan. Keanggotaannya terdiri dari tentara reguler dan TNI-
Masyarakat. Pucuk pimpinan TNI dipegang oleh; Jenderal Sudirman sebagai
Panglima Besar, Letjen Urip Sumohardjo sebagai Kepala Staf, Jenderal Mayor
Djokosujono sebagai Panglima TNI-Masyarakat, Laksamana Muda M. Nazir sebagai
KSAL dan Komodor Suryadarma sebagai KSAU. Ditetapkan pula bahwa TNI tunduk
pada otoritas Menteri Pertahanan. (Soemarsono, 12 Agustus 2013)
TNI-Masyarakat berasal dari laskar-laskar, sebagian besar dari Pesindo. Jumlahnya
sekitar 100.000 personil dan memiliki persenjataan lebih lengkap dari tentara reguler.
Oleh Amir, TNI-Masyarakat dijadikan sebagai jembatan persatuan antara tentara
dengan rakyat dan diwajibkan memberi pendidikan kepada tentara supaya berjuang
untuk rakyat.
Usaha Amir mengorganisir tentara mendapat tantangan dari sejumlah perwira tinggi
yang tidak menghendaki otoritas sipil atas militer. Tantangan paling keras datang dari
Jenderal Mayor A.H Nasution dan Jenderal Mayor Gatot Subroto. Keduanya
menuding Amir dan golongan komunis ingin menguasai tentara melalui TNI-
Masyarakat dan Pepolit. Nasution dan Gatot Subroto melarang Staf dan Opsir Pepolit
mengadakan pendidikan di divisi yang mereka pimpin. Kebijakan pembangunan
militer model Amir merupakan salah satu faktor bagi lawan-lawannya untuk
berkomplot menjatuhkan Amir dari pemerintahan. Tanggal 23 Januari 1948
pemerintahan Amir jatuh, dia dituduh sebagai penyebab kegagalan RI dalam
Perundingan Renville.
Hatta yang didukung oleh PNI dan Masyumi tampil sebagai Perdana Menteri
menggantikan Amir. Kabinetnya bekerja atas dasar Putusan Renville. Amir merasa
kecewa melihat sikap PNI dan Masyumi karena sebelumnya mendorong Amir supaya
meneken Putusan Renville, tapi setelah putusan itu diteken, menyalahkan Amir
sebagai penyebab kegagalan RI dalam Perundingan Renville. Tanggal 26 Februari
1948, Amir bersama Sayap Kiri membentuk oposisi FDR.
Sesuai kepentingan politiknya, Hatta merubah secara radikal organisasi tentara yang
dibangun oleh Amir sebelumnya. Tanggal 27 Februari 1948, Hatta mengeluarkan
Dekrit Reorganisasi-Rasionalisasi Tentara (Re-Ra). Dengan dalih jumlah tentara
sekitar 400.000 personil terlalu besar, tidak profesional dan menghabiskan anggaran
besar, maka diadakan pengurangan hingga mencapai 57.000 personil, untuk dilatih
dan dipersenjatai secara profesional. (Setiadi Reksoprodjo dalam Seminar Mengenang
Amir Sjarifuddin 101 Tahun) Celakanya, saat Re-Ra dijalankan, jumlah tentara
Belanda di Indonesia sudah mencapai 240.000 personil. (Suryana, Sekitar Kedatangan
Musso, hlm. 35)
Dekrit Re-Ra diikuti dengan penurunan pangkat-pangkat perwira. Pangkat jenderal
mayor, diturunkan menjadi kolonel, kolonel diturunkan menjadi letnan kolonel.
Tanggal 15 Mei 1948, Hatta membubarkan TNI-Masyarakat, Tentara Laut Republik
Indonesia, Dewan Kelasykaran Seberang dan Pepolit. (Koran Berita Indonesia, 16
Mei 1948) Jumlah divisi yang sebelumnya tujuh, dikurangi menjadi satu, sejumlah
perwira yang menduduki jabatan penting diberhentikan dari jabatannya lalu diangkat
sebagai perwira cadangan. Divisi Siliwangi dijadikan sebagai pasukan inti. Terkait
alasan dikeluarkannya Re-Ra, dalam wawancara Daniel Schorr, wartawan Christian
Science Monitoring dengan Hatta pada tanggal 16 Mei 1948, Hatta menjawab:” …
Tentara Republik akan dikurangi dari 460.000 menjadi 50.000 sampai 60.000
personel dan akan ditempatkan dibawah Komando Gabungan Tertinggi dengan
Angkatan Bersenjata Belanda.”
Diberbagai tempat terjadi penolakan terhadap Re-Ra. Tanggal 20 Mei 1948 Kolonel
Sutarto, Panglima Divisi Panembahan Senopati memimpin anak-buahnya
berdemonstrasi menolak pembubaran pasukannya. Sutarto lalu mereorganisir Divisi
Panembahan Senopati menjadi Komando Pertempuran Panembahan Senopati (KPPS).
Di Kediri, Panglima Divisi Narotama Kolonel Sungkono, memimpin pasukannya
berdemonstrasi menolak Re-Ra karena divisi yang dipimpinnya bersama Divisi
Ronggolawe dan Suropati akan dilebur menjadi satu resimen. Demonstrasi ini juga
diikuti oleh 20.000 pemuda. Tanggal 1 Juni 1948, 30 komandan batalyon menemui
Presiden menuntut pencabutan Dekrit Re-Ra. Di Markas Besar Tentara, muncul sikap
pro-kontra atas keluarnya Dekrit Re-Ra. Menanggapi situasi, Panglima Besar
mengeluarkan edaran kepada semua panglima, memerintahkan untuk menghentikan
rasionalisasi, berhubung dengan meningkatnya ancaman dari pihak Belanda.
(Anthony Reid, Annemarie Jubb, J. Jahmin, Indonesian Serials in 1942-1950 in
Yogyakarta Libraries, hlm. 135)
Tanggal 2 Juli 1948, Kolonel Sutarto ditembak mati didepan rumahnya di Solo.
Antara tanggal 1 sampai 10 September 1948, dua kader PKI Solo, lima komandan
batalyon dan dua perwira menengah KPPS diculik oleh Siliwangi. Rangkaian
penculikan ini memuncak menjadi pertempuran terbuka antara KPPS dengan
Siliwangi di Solo pada tanggal 13 September 1948. Pertempuran ini sebenarnya sudah
dilerai oleh Panglima Besar yang dilanjutkan dengan perintah menarik seluruh
pasukan Siliwangi dari kota Solo dan seluruh Keresidenan Surakarta secara bersama-
sama dan meninggalkan KPPS yang akan bertanggung-jawab secara penuh atas
penegakan hukum dan ketertiban di Solo. (David Charles Anderson, Peristiwa Madiun
1948: Kudeta Atau Konflik Internal Tentara?, hlm. 35) Tapi Hatta memerintahkan
Siliwangi menyerbu dan melucuti KPPS dengan alasan membangkang terhadap Re-
Ra. GRR, Barisan Banteng (BB) dan Hisbullah bergabung dengan Siliwangi
menyerbu KPPS.
Amir berada di Cepu pada tanggal 16 September 1948. Mendengar Siliwangi
menyerang balik KPPS, Amir menginstruksikan Sakirman supaya pasukan-pasukan
pendukung PKI melokalisir pertempuran di Solo. Tapi aksi pasukan pendukung
pemerintah menyasar ke luar Solo. Sesudah mengobrak-abrik Kantor Pusat Pesindo,
gabungan Siliwangi, GRR, BB dan Hisbullah menuju Madiun dan melakukan teror
terhadap anggota Serikat Buruh Kereta Api Madiun. Detasemen Letkol Suhud dari
Sub-Teritorium Kediri menyerang dan melucuti Batalyon TLRI Munadji di Nganjuk.
Di Blitar, satuan Mobrig yang dipimpin Kolonel M. Jasin dan sepasukan tentara
dibawah pimpinan Letkol Rivai (dalam Clash II Rivai membelot ke pihak Belanda)
menyerang dan melucuti Batalyon Mustoffa dari Brigade 29 TNI-Masyarakat.
Komandannya Mayor Mustoffa meloloskan diri, bergabung dengan induk brigadenya
di Madiun.
Pagi hari tanggal 18 September 1948 pasukan tak dikenal berseragam hitam-hitam,
berikat kepala merah dan berlogo tengkorak melakukan tindakan yang mengancam
keselamatan Brigade 29 di Madiun. Merasa keselamatannya terancam, setelah
berkonsultasi dan mendapat persetujuan dari pimpinan PKI yang sedang berada di
Kediri, Brigade 29 bergerak melucuti pasukan tak dikenal ini. Sesudah dilucuti,
mereka dilepaskan. Belakangan diketahui pasukan gelap ini gabungan dari Siliwangi,
Mobrig, GRR dan BB. Kejadian ini kemudian dituduhkan oleh Hatta sebagai
pemberontakan PKI yang dipimpin oleh Musso dan Amir Sjarifuddin.
Tanggal 1 Desember 1948 Amir ditangkap oleh tentara. Tengah malam peralihan
tanggal 19-20 Desember 1948, Amir ditembak mati bersama sepuluh kawannya di
desa Ngaliyan, Karanganyar. Amir tidak pernah diadili atas tuduhan sebagai
pemberontak. Perintah eksekusi terhadap Amir diberikan oleh Hatta kepada Gatot
Subroto, dalam pelaksanaan di lapangan dilakukan oleh regu tembak yang dipimpin
oleh Letnan Klas I (CPM) Mulia Nasution. (S. Kardiman, 21 Maret 2011) Amir
Sjarifuddin, pendiri TNI, mati didepan regu tembak TNI.
Sumber foto:
Koleksi Er. Siregar

Anda mungkin juga menyukai