Anda di halaman 1dari 9

Conceptual Approaches to Human Ecology

by A. Terry Rambo

Pengantar
Ekologi manusia, secara umum dideskripsikan sebagai studi dari interaksi manusia
dengan lingkungannya, pada akhir-akhir ini mendapat perhatian yang sangat
meningkat dalam semua ilmu-ilmu social. Meskipun demikian, kenyataannya hanya
ada sedikit persamaan persepsi tentang apa sebenarnya dan bagaimana
seharusnya ekologi manusia itu. Secara khusus ada diskusi yang serius dan
berkesinambungan tentang penerapan yang sesuai dari pendekatan teoritis yang
bermacam-macam itu untuk mengerti interaksi manusia dengan lingkungannya.
Sementara adanya perbedaan – perbedaan dari dasar pandang dalam disiplin ilmu
yang menunjukkan tingkat kegiatan yang masih baru mulai, hal itu juga dapat
menghadirkan adanya hambatan-hambatan untuk mencapai pengertian dalam
bentuk dan arah yang utuh dari bidang studi ini bagi nonspesialis. Masalah ini
menjadi lebih parah dengan seringnya ada sifat polemic dengan pernyataan-
pernyataan yang telah diatur berkaitan dengan ekologi manusia. Banyak penulis
melakukan pendekatan dengan diskusi-diskusi teoritis seakan-akan mereka
berurusan dengan masalah teologi, menggunakan model-model mereka sendiri
sebagai satu-satunya yang benar sementara mereka menyingkirkan pendekatan-
pendekatan lain yang dianggapnya, kuno, keras kepala atau bahkan tak bermoral.
Cara penyingkiran yang di luar control ini pada suatu waktu dianggap pantas tetapi
juga mempunyai kecenderungan untuk mengaburkan adanya alternatif pendekatan-
pendekatan konseptual yang sudah baku.
Dalam laporan ini, alternative model – model konseptual bagi hubungan manusia
dengan lingkungannya dideskripsikan dalam urutan histories dimana mereka muncul
dalam literature ilmiah. Pendekatan kronologis seperti ini membantu untuk
mendapatkan gambaran adanya saling pengaruhi antara hasil-hasil reset dan
formulasi konsep teoritis. Tidak ada superioritas yang dihubungkan disini kecuali
paradigma perkembangan mutakhir. Kenyataannya model-model tertentu yang
popular akhir-akhir ini barangkali dipandang sebagai gerak mundur dari titik tolak
perkembangan teori ilmiah sebagai keseluruhan.
Meskipun diantara ilmuwan ilmu social mendiskreditkan teori yang klasik atau teori
modern yang masih awal-awal tentang pengaruh lingkungan terhadap masalah
manusia (determinisme dan posibilisme), teori-teori ini sering digunakan oleh para
ahli sejarah. Seorang ahli sejarah yang terkemuka seperti Arnold J. Toynbee, yang
menggunakan pendirian ahli posibilis dalam bukunya yang sangat berpengaruh “A
Study of History”.
Model dari ekologi budaya yang dikemukakan oleh Julian Steward masih merupakan
paradigma yang memandu banyak peneliti, tetapi pada akhir-akhir ini telahtertantang
oleh model dasar ekosistem yang dikemukakan oleh Andrew P. Vayda dan Roy A.
Rappaport.
Ciri-ciri pembuat keputusan yang individual adalah focus dari model-model dasar
pelaku dari ekologi manusia, dan sistem-sistem model dari ekologi manusia
menekankan penelitian dari interaksi antarasistem social manusia dan ekosistem-
ekosistem berdasar pada saling robah yang timbale balik dari energi, materi dan
informasi.

The Origin Of Human Ecology


Sejak masa dulu telah banyak usaha untuk menjelaskan peristiwa-peristiwa
berkaitan dengan pengaruh lingkungan terhadap perilaku manusia. Astrology
menyampaikan satu sistem pemikiran awal berkaitan dengan kekuatan lingkungan
terhadap tindakan manusia. Meskipun sistem ini sama sekali dideskreditkan oleh
teori ilmiah astronomi modern, kepercayaan bahwa gerak-gerak bintang mengontrol
nasib manusia masih tetap kuat dipegang oleh imaginasi popular, sebagai bukti
dapat ditunjukkan dengan masih munculnya kolom nasihat-nasihat astrologis dalam
harian-harian.
Yang paling sesuai dengan pemikiran ilmiah modern adalah bahwa para filosof
Yunani kuno mengenali/ mengetahui bahwa manusia itu dipengaruhi baik oleh alam
maupun oleh kekuatan untuk berubah dalam lingkungannya. Di situ dinyatakan,
sebagi contoh bahwa berbagai bentuk organisasi politik dari negarakota di Yunani
dan di kekaisaran di Timur merefleksikan adanya pengaruh-pengaruh dari musim
pada kepribadian dari penduduknya. Tema ini kemudian dikembangkan oleh
Montesquieu dan para penulis Masa Pencerahan/ Enlightenment Perancis dan pada
masa-masa akhir digunakan oleh ahli geografi Amerika Samuel Huntington. Penulis-
penulis klasik yang lain berkomentar terhadap adanya kerusakan pemandangan
alam di Attica dan di Afrika Utara yang diakibatkan karena penebangan hutan dan
overgrazing, sebauh tema yang diambil pada pertengahan 1800-an oleh George P.
Marsh, yang bukunya “Man and Nature” atau Phisical Geography as Modified by
Human Action” adalah tulisan-tulisan yang akhir-akhir ini popular yang membuktikan
adanya kehancuran ekologi. Tulisan-tulisan awal ini, pada umumnya lebih
merupakan anecdote yang tidak menyajikan teori hubungan-hubungan manusia dan
lingkungannya secara koheren. Baru pada akhir abad XIX, dengan perkembangan
geografi dan antropologi sebagai disiplin ilmu, ekologi manusia menjadi subyek studi
yang sistematik. Pendekatan teoritis yang pertama dicoba adalah determinisme
lingkungan – suatu permulaan yang keliru yang sangat memperlambat
perkembangan ekologi manusia yang berikutnya.

Environmental Determinism
Kira-kira pada pergantian abad ini, seorang geographer terkenal yang bernama
Friedrich Ratzel di Jerman dan murid Amerikanya, Ellen C. Semple, mendukung
pendapat bahwa manusia itu sepenuhnya adalah produk dari lingkungannya, suatu
teori yang disebut determinisme lingkungan. Pengikut dari aliran ini, yang
mendominasi dengan baik pemikiran geografis sampai th. 1920-an, menyatakan
bahwa semua aspek dari budaya dan tingkah laku manusia disebabkan oleh
pengaruh lingkungan secara langsung (gb. 1). Misalnya, orang Inggris adalah pelaut
karena mereka hidup di tempat tinggal yang dikelilingi oleh laut; orang Arab adalah
orang yang beragama monoyeis Islam karena hidup di tengah padang pasir yang
kosong yang mengarahkan pemikirannya kepada Tuhan YME; orang Eskimo adalah
bangsa nomad yang primitive karena kondisi habitat kutubnya yang keras yang
menghambat perkembangan mereka menjadi bangsa dengan peradaban yang
kompleks. Buku Semple dan yang lainnya penuh dengan daftar contoh yang panjang
yang nampaknya merupakan determinan lingkungan dari bentuk-bentuk budaya
yang masuk akal. Meskipun sebagai hal yang baru nampaknya menarik, tetapi klaim
dari korelasi sebab antara lingkungan dan budaya ini dengan mudah disangkal
apabila digunakan pertimbangan yang hati-hati. Misalnya, orang Tasmania yang
tinggal di sebuah pulau tidak seperti orang Inggris, mereka tidak membuat kapal;
suku-suku Arab yang berkelana di padang pasir yang sepi selama ribuan tahun
sebelum datangnya Muhammad adalah penyembah patung-patung; padang es yang
pada waktu lampau menjadi jalur kereta salju orang Eskimo sekarang merupakan
daerah kegiatan balap mobile s sepanjang pipa-pipa minyak raksasa. Ada berbagai
variasi dari perilaku manusia yang kira-kira sama dengan setting geografis yang
dengan demikian merupakan determinan lingkungan.

Environmental Possibilism
Sebagai ganti dari determinisme, suatu teori baru yang disebut possibilisme
lingkungan, dikemukakan. Penduduknya menyatakan bahwa sementara lingkungan
tidak secara langsung mempengaruhi perkembangan khusus dari budaya, kehadiran
atau ketiadaan dari factor lingkungan yang khusus menentukan batas-batas pada
perkembangan dengan memungkinkan atau mencegah terjadinya perkembangan
tersebut (gb. 2). Dengan demikian, orang-orang di daerah kepulauan mungkin
bukan; penduduk daerah bertemperatur sedang barangkali mempraktekkan
pertanian, tetapi mereka yang tinggal di kutub tidak dapat. Nilai dari pendekatan
posibilistis barangkali ditunjukkan dengan baik sekali oleh seorang antropolog
Amerika A. L. Kroeber, yang menunjukkan bahwa orang Indian di barat laut Amerika
Utara tidak dapat menerapkan bertani jagung Indian seperti tetangganya di selatan
karena sifat musimnya yang berbeda. Dengan demikian lingkungan membatasi
kemampuan dari budayanya kea rah suatu perkembangan budaya tertentu.
Pendirian posibilis juga diambil oleh sejarahwan Inggris Arnold Toynbee dalam
bukunya “A Study in History”, dimana dia berpendapat bahwa perkembangan
peradaban dapat dijelaskan dalam kaitannya dengan respons terhadap tantangan
lingkungan. Budaya yang berada di daerah tropis yang lunak gagal berubah karena
tidak cukup tertantang oleh lingkungannya; sedang yang berada di habitat yang
keras seperti orang Eskimo di daerah kutub tetap tinggal primitive karena budayanya
semata-mata untuk mengatasi tantangan lingkungannya yang melemahkan energi
mereka yang kreatif. Hanya budaya-budaya dalam lingkungan yang menawarkan
kemungkinan yang mencukupi dan tidak merupakan tantangan yang berlebihan yang
menpunyai kemungkinan maju kea rah tingkat peradaban yang lebih tinggi.
Aliran posibilisme mempunyai kelemahan sebagai teori ilmiah, karena teori ini kurang
mempunyai kekuatan untuk memberikan prediksi dan penjelasan secara umum
karena ilmu ini hanya mampu menjelaskan mengapa perkembangan-perkembangan
tertentu tidak cepat terjadi pada lingkungan tertentu. Teori ini sama sekali tidak
mampu membuat prediksi apakah sesuatu dapat terjadi atau tidak dapat terjadi di
bawah suatu keadaan lingkungan yang menggantungkan. Misalnya, kegagalan
orang Eskimo untuk bertanam jagung dapat dijelaskan, tetapi aliran posibilisme tidak
dapat menjelaskan mengapa orang Inggris lebih banyak yang menjadi pelaut
sedangkan orang Tasmania tidak. Jelasnya, perbedaan pada kasus yang akhir itu
bukan karena refleksi pengaruh lingkungan tetapi karena adanya tradisi budaya dan
pengetahuan teknologi yang berbeda. Dengan ringkas, seperti Daryll Forde
simpulkan dalam bukunya “Habitat, Economy, and Society” (1934), “diantara
lingkungan fisik dan aktivitas manusia selalu ada terminology tengah, kumpulan dari
tujuan dan nilai tertentu, pengetahuan dan kepercayaan: dengan kata lain, pola
kebudayaan”.

The Concept Of Cultural Ecology


Meskipun papernya yang pertama diterbitkan pada awal 1930-an, baru pada tahun
1950-an konsep Julian Steward mempunyai pengaruh yang nyata pada antropologi
Amerika. Meskipun dia dalam aliran diffusionist, pengalamannya dalam studi lapang
diantara orang Indian pemburu dan peramu suku Shoshon di Great Basin di Amerika
Utara telah membawanya mengenali bahwa adaptasi ekologi telah memainkan
peranan penting sebagai penyebaran formasi budaya Shoshon. Gambaran dari
metode teori bahwa para ahli ekologi biologi telah mengembangkan studi adaptasi
dari spesies hewan, khusus dikaitkan pada organ tertentu yang berubah karena
lingkungan, Steward berusaha untuk menjelaskan aspek struktur tertentu dari
budaya Shoshon dalam kaitan sumberdaya yang tersedia dalam habitat semi
padang pasir yang miskin. Steward (1938) memberikan kasus yang menyakinkan
bahwa rendahnya kepadatan populasi Shoshon, organisasi social yang terdiri dari
keluarga-keluarga kecil yang tersebar luas dan pola perumahan yang fleksibel
dengan tanpa faham teritori, dan kurangnya pimpinan kuat yang permanent, semua
itu merefleksikan ketidakmampuan teknologi Shoshon untuk mendapatkan
persediaan pangan yang cukup secara mantap dari sumberdaya yang tersebar dan
sporadic dari lingkungan gersang itu.
Pendapat Steward menyatakan bahwa tidak semua aspek budaya Shoshon dapat
dijelaskan dalam term ekologi - - banyak cirri yang ada hanya sebagai akibat
kebetulan dari penyebaran suku-suku yang bertetangga - - tetapi ada beberapa
elemen yang disebutnya sebagai “cultural core”, menunjuk adanya adaptasi. Secara
khusus disebutnya, teknologi, ekonomi, populasi, dan organisasi social sepertinya
merupakan core budaya itu, meskipun dia menekankan perlunya menunjukkan hal
ini pada setiap kasus secara empiri. Ia cenderung memberi tekanan pada adanya
hubungan antara teknologi dan lingkungan dalam modelnya tentang ekologi budaya
(gb. 3).
Seorang antropolog Amerika Clifford Geertz (1968) telah menerapkan konsep
Steward dalam ekologi budaya untuk menjelaskan perbedaan demografi yang besar
yang ada antara Jawa dan Luar Jawa. Jawa adalah daerah terpadat di dunia, yang
berpenduduk 2.000 orang/km pada beberapa bagian pulau itu. Sebaliknya di pulau
lain penduduknya rata-rata hanya 25 orang/km. Geertz menyatakan bahwa variasi
penduduk ini merefleksikan adanya adaptasi pertanian yang berbeda yang
diterapkan dalam kedua daerah itu, yang berkaitan dengan adanya perbedaan
lingkungan (tabel 1).
Konsep Steward tentang ekologi budaya telah terbukti menjadi strategi yang kuat
dan efektif dari reset ekologi manusia, yang menawarkan pengertian baru
bagaimana masyarakat tradisional beradaptasi secara efektif pada lingkungannya.
Sukses ini diperoleh karena terutama pada kajian yang berskala kecil, yaitu
masyarakat primitive, khususnya dimana hubungan stabil telah terbentuk diantara
populasi yang statis dan lingkungan yang tidak berubah. Konsep itu kurang dapat
diterapkan pada masyarakat modern yang kompleks dimana tindakan dari populasi
manusia pada umumnya menghasilkan perubahan lingkungan yang cepat dengan
konsekwensi dibutuhkannya readaptasi dari core budaya. Sebagaimana diyakinkan
oleh Steward dan digunakan oleh yang lain, model ekologi budaya mempunyai
kekurangan dalam konseptualisasi yang sistematik dari lingkungan atau dari cara
dimana aktivitas manusia bergeseran dengannya. Dengan demikian, tekanannya
hampir secara eksklusif pada segi manusianya dari persamaan lingkungan manusia,
difokuskan pada adaptasi budaya sementara itu diabaikan perubahan lingkungan
sebagai respons dari intervensi manusia.
Kelemahan dasar dari konsep ekologi budaya muncul dalam karya Marvin Harris,
seorang antropolog Amerika yang telah memasukkan pendekatan ini dalam studi
“techno-environmental determinism”. Aliran ini mempunyai asumsi bahwa makna
adaptasi teknologi terhadap lingkungan adalah penggerak utama dari evolusi
budaya, Harris menyatakan bahwa bentuk-bentuk yang diambil oleh aspek-aspek
budaya yang lain ditentukan oleh hubungan antara teknologi dan lingkungan. Dalam
papernya “The Cultural Ecology of India’s Sacred Cattlr” (1956), Harris berpendapat
bahwa berlawanan dengan pendapat yang diterima bahwa masyarakat Hindu tetap
mempertahankan terus-menerus jumlah ternaknya yang itu tidak memberikan
manfaat karena kepercayaan agamanya bahwa ternak itu suci, sebenarnya sapi-sapi
ini sangat memberikan kesejahteraan ekonomis bagi petani miskin, menolong
mereka untuk memberikan manfaat maximal dari sedikitnya sumberdaya dari
lingkungannya. Oleh karena itu dia menyimpulkan, bahwa kepercayaan agama harus
disebabkan oleh factor teknologi lingkungan.
Kelemahan besar dari pendapat Harris adalah bahwa sapi-sapi itu memberi manfaat
besar bagi orang India karena beberapa hal (sapi jantan untuk sawah dan
kotorannya untuk membuat api dan pupuk), sedangkan sapi itu tidak mengganggu
pangan manusia. Harris tidak memikirkan bagaimana sapi-sapi itu merusak
lingkungan dan mengganggu kehidupan manusia. Harris menyebutkan kasus
dilarangnya muslim makan babi adalah karena babi itu sulit beradaptasi dengan
lingkungan yang kering yang merupakan kekhasan tanah Arab. Dalam kenyataan,
kepercayaan agama itu berlaku dan menyebar pada lingkungan baru dimana aturan
itu muncul dan merupakan hal yang tidak secara ekologis rasional. Karena muslim
yang ada di Indonesia dan Malaysia juga dilarang makan babi, padahal kawasan itu
merupakan habitat yang sesuai dengan babi.
Pada diskusi sebelumnya tentang batasan-batasan konsep dari ecology budaya,
reset tentang hubungan manusia dan lingkungan memerlukan kerangka kerja yang
memperhatikan secara adekwat pada kemungkinan terjadinya perubahan dan
penurunan lingkungan yang terjadi karena aktivitas manusia. Adaptasi budaya tidak
dapat dilihat sebagai sesuatu yang statis, yang diperoleh pada awal sejarah
kebudayaan dan kemudian tetap tidak berubah seterusnya. Sebaliknya hubungan
antara manusia dengan alamnya adalah suatu dinamika dimana baik budaya
maupun lingkungan terus-menerus beradaptasi dan readaptasi ketika sesuatu
berubah yang merupakan respons terhadap pengaruh yang lain. Ini adalah
pengenalan untuk adanya model yang lebih dinamis dari sisi lingkungan dari adanya
hubungan yang membawa pada adanya formulasi dari model dasar ekosistem dari
ekologi manusia.

The Ecosystem – Based Model Of Human Ecology


Berdasarkan pendekatan terhadap konsep sistem ekologi yang telah diformulasikan
oleh para ecologist biologi sesuadah PD II, antropolog Amerika Andrew Vayda dan
Roy Rappaport menyatakan bahwa selain mempelajari bagaimana budaya itu
diadaptasi pada lingkungan, perhatian harus difokuskan pada hubungan dari
populasi manusia tertentu terhadap ekosistem tertentu. Dalam pandangan ini,
manusia hanya merupakan populasi yang lain diantara populasi tanaman dan
spesies-spesies hewan yang berinteraksi satu sama lain dan juga dengan komponen
non-organis dari ekosistem lokalnya. Jadi, ekosistem, bukanya budaya, merupakan
unit analisa yang mendasar dalam kerangka kerja konseptual mereka pada ekologi
manusia (gb. 4). Ciri-ciri budaya adalah penting sejauh mereka dapat ditunjukkan
untuk menyumbang survivalnya populasi dalam konteks ekosistem.
Penelitian Vayda dan Rappaport yang dilaporkan dalam bukunya “Pigs for The
Ancestors” menjelaskan hal ini.
Ini merupakan model khusus dari interaksi antara ritual, populasi manusia dan
komponen ekosistem yang lain, yang barangkali bukan yang valid yang merupakan
refleksi dari pendekatan konseptual yang khusus yang diterapkan, bukan merupakan
suatu penolakkan dari pandangan yang lebih mendasar bahwa ritual agam itu dapat
menjadi secara ekologis signifikan seperti aspek teknologi dari budaya yang
ditekankan oleh Steward.

The Actor-Based Model Of Human Ecology


Dalam menghadapi problem empiri untuk mendefinisikan unit social dari adaptasi
ekologis, telah dianjurkan bahwa adaptasi terjadi lebih pada tingkat individu daripada
pada tingkat budaya atau populasi. Model dasar pelaku dari ekologi manusia, seperti
yang telah ditetapkan oleh Orlove (1980), telah menjadi gelombang baru yang besar
dalam ekologi manusia. Model ini merefleksikan baik perhatian umum para
antropolog maupun proses pembuatan keputusan secara individual. Pusat perhatian
para biolog aliran evolusi menyatakan bahwa seleksi alam bekerja secara eksklusif
pada tingkat organisme individual. Dari perspektif ini pada organisasi pada tingkat
yang lebih tinggi, apakah itu masyarakat, ekosistem, atau sistem social manusia,
hadir hanya sebagai hasil kebetulan diantara banyak organisme individual.
Dalam kasus masyarakat manusia, adaptasi lingkungan terlihat sebagai berlaku
bukan sebagai akibat dari seleksi alam dalam social budaya tetapi lebih sebagai
hasil keputusan bersama ribuan manusia tentang bagaimana berinteraksi yang
terbaik dengan lingkungannya. Individu diasumsikan untul secara tetap membuat
pilihan tentang bagaimana mengeksploiter sumberdaya yang tersedia, dan pada
waktu yang sama mengatasi bencana yang ada dalam lingkungannya. Siapa yang
membuat pilihan dengan benar akan survive dan sejahtera, yang memilih secara
salah akan mengalami sebaliknya. Dengan berjalannya waktu, strategi yang lebih
adaptif akan dibakukan sebagai norma budaya. Norma-norma itu, sebenarnya tidak
lebih dari hasil statistic dari pilihan individual yang tidak mempunyai realitas sendiri
dan merupakan konsep biasa dari ilmiawan social (gb. 5).
Sebagai contoh, analisis dasar pelaku dari Tsembaga mungkin menjelaskan siklus
ritual dari pembunuhan babi yang dilaporkan oleh Rappaport hanyalah suatu hasil
keputusan secara terpisah dari ratusan orang Tsembaga untuk memaksimalkan
penggunaan sumberdaya yang terbatas dalam masyarakat itu.
Meskipun model dasar pelaku dari ekologi manusia telah diterapkan secara berhasil
dalam menjelaskan pilihan para petani mengenai hubungan dengan lingkungannya,
hal itu tergantung pada sejumlah asumsi tentang manusia dan masyarakat.
Kenyataan bahwa petani Thai mampu memilih yang mana varietas padi yang
menghasilkan paling baik sesuai dengan kondisi lingkungan local tidak dapat diambil
sebagai bukti bahwa manusia secara umum atau biasanya membuat pilihan yang
benar mengenai interaksinya dengan lingkungannya. Menerapkan model actor –
based pada ekologi manusia, pendekatan konseptual Adam Smith dengan asumsi
yang implicit bahwa petani secara individual membuat keputusan dalam cara
perhitungan ekologis yang rasional. Andrew Vayda dan McCoy, secara khusus
memungkiri pendapat teoritisnya yang dulu bahwa adalah populasi local yang
beradaptasi pada ekosistemnya, pendapat sekarang adalah bahwa individu dalam
masyarakat tradisional pada umumnya membuat keputusan yang benar tentang
bagaimana menggunakan sumberdaya alam sedemikian rupa hingga keputusan itu
menjadikan hubungan lingkungan yang stabil.
Sementara itu tidak ada antropolog yang ragu-ragu bahwa manusia tradisional
mempunyai pengetahuan yang akurat tentang lingkungannya secara detail, yang
membuat mereka membuat keputusan yang rasional tentang penggunaan
sumberdaya dan bagaimana mengatasi bencana alam, ini harus ada tekanan yang
kuat bahwa tidak ada tuntutan yang inheren bahwa akhirnya mesti demikian. Dalam
banyak situasi, semacam “the tragedy of the common” yang dideskripsikan oleh
Garrit Hardin (1968), efek dari sejumlah keputusan individu, yang semuanya rasional
dari segi si actor, yang ternyata merusak kapasitas lingkungan, dengan demikian
menurunkan kesejahteraan dari seluruh masyarakat.
Oleh karena individu harus membuat keputusan dalam konteks budaya tertentu,
semua pilihan adalah merupakan sistem nilai - - pernyataan yang menentukan yang
mana way of life yang dipilihnya. Nilai semacam itu merupakan milik dari sistem
social itu, bukan lagi milik actor yang hidup di dalamnya.
Individu dalam masyarakat Tsembaga berusaha mengembangkan jumlah babinya,
bukan karena hal itu merupakan strategi adaptasi pada lingkungannya, tetapi karena
memiliki babi banyak menaikkan statusnya dalam masyarakatnya. Petani Thai
menanam varietas padi tertentu karena dia memperhitungkan hasil terbaik
panenannya. Orang Thai tidak membuat pilihan dengan meningkatkan ternak
babinya dan orang Tsembaga tidak memilih menanam padi varietas tertentu, karena
keputusan-keputusan itu bukan merupakan kerangka kerja dari budaya yang
dijunjungnya.
Barangkali saja orang Tsembaga justru menderita karena banyaknya atau sedikitnya
babi atau orang Thai menderita karena menanam jenis padi tertentu - - sistem social
mengizinkan individu untuk bebas memilih. Mereka mungkin mencoba untuk menuju
situasi yang lebih baik, tetapi secara normal mereka tidak memilih untuk menulis
peraturan dasar dari aturan mainnya itu karena mereka ditentukan oleh budayanya.

The System Model Of Human Ecology


Perkembangan besar ilmu akhir-akhir ini adalah formulasi dari “general system
theory”, yang memusatkan perhatian pada milik umum dari struktur dan fungsi dari
sistem, sedemikian rupa, dan bukan kandungan ilmu itu sendiri. Tulisan Emile
Durkheim, seorang sosiolog Prancis, “Form of Religious Life” (1915), memberikan
dasar dari perkembangan model sistem social yang structural fungsional, yang telah
menjadi paradigma antropolog dan sosiolog Amerika dan Inggris.
Struktural-fungsionalisme, mula-mula sebagai teori disampaikan oleh Radcliffe-
Brown (1965) dan B. Malinowski (1922), dan secara empiris dikenbangkan oleh E.E.
Evans-Pritchard (1940) serta secara khusus oleh Sir Raymond Firth (1936), melihat
semua institusi masyarakat yang bermacam-macam sebagian diorganisasikan ke
dalam sistem yang terintegrasi, dimana setiap institusi sesuai secara harmonis
dengan setiap yang lain, dan dimana perubahan secara komplememter dalam
seluruh institusi yang terkait secara fungsional.
Dengan demikian, apa-apa yang kita lihat sebagai sistem yang aneh dalam
masyarakat tribal, sekarang kita kenal sebagai sesuatu yang berperan secara
fungsional untuk solidaritas masyarakat tribal tersebut.
Problem dari konsep sistem social sebagaimana dikembangkan oleh para
fungsionalis social bukan pada pendalilan mereka tentang integrasi diantara
komponen yang ada, tetapi pada kegagalan mereka untuk menjadikan sistem
itusebagai sistem yang terbuka.
Suatu pendekatan alternatif “system model of human ecology”, mendeskripsikan
sistem social ketika mereka berinteraksi dengan sistem ekologi. Adaptasi
diasumsikan berlangsung, bukan pada tingkat cirri-ciri budaya yang berlainan atau
institusi social - - seperti pada model ekologi budaya - - atau dalam kaitan dengan
populasi manusia secara khusus - - seperti pada model dasar ekologi manusia - -
atau dalam kaitan pembuat keputusan oleh individu secara khusus - - seperti pada
model actor-based dari ekologi manusia - - tetapi pada tingkat sistem sosial yang
menyeluruh sebagai sistem.
Gambar 6 adalah diagram yang disederhanakan dari struktur dasar dan hubungan
fungsional dalam model sistem ekologi manusia. Model ini menekankan adanya 4
aspek secara berimbang :
1. Input dari ekosistem ke social sistem – Input ini dapat dalam bentuk arus energi
(pangan, mimyak), materi (protein, materi konstruksi), atau informasi (suara,
rangsangan yang bisa dilihat).
2. Input dari sistem sosial ke dalam ekosistem – lagi-lagi, ini dapat mengambil
bentuk dari arus energi, materi atau informasi yang berasal dari manusia.
3. Perubahan dalam institusi yang merubah sistem sosial manjadi primer, seperti
apabila meningkatnya tingkat kematian dikarenakan penyakit yang oleh
lingkungan ditularkan yang merubah struktur populasi dari masyarakat, atau
sebagai sekunder, ketika institusi sistem sosial yang lain berubah sebagai respon
dari lingkungan yang berasal dari perubahan primer dari suatu institusi.
4. Perubahan dalam ekosistem sebagai respon ke input dari sistem social – Ketika
masyarakat social berubah sebagai respons dari pengaruh lingkungan, dengan
demikian ekosistem berubah sebagai respons terhadap pengaruh manusia.
Perubahan demikian bisa merupakan yang primer - - bila pengaruh langsung dari
aktivitas manusia dalam komponen ekosistem seperti pembunuhan terhadap
spesies hewan tertentu oleh karena perburuan yang melewati batas, atau
sekunder, perubahan dalam komponen ekosistem yang lain yang disebabkan
karena perubahan antropogenic dalam satu komponen.
Sebagai contoh singkat dan agak hipotetis bagaimana model sistem ekologi manusia
bekerja, masalah deforestasi di Asia Selatan dapat diperiksa. Dalam beberapa tahun
terakhir bukit lereng di India utara telah gundul (ekosistem berubah) dengan
penggembalaan ternak yang berlebihan oleh hewan dan dengan memotong pohon
dan semak-semak oleh orang-orang untuk bahan bakar memasak dalam negeri. Hal
ini telah mengakibatkan kekurangan parah bahan bakar (aliran energi dari ekosistem
dengan sistem sosial). Rumah tangga petani telah merespon krisis energi ini dengan
menggunakan anak-anak mereka untuk mengais setiap ranting yang tersedia,
sampah pertanian, dan terutama, kotoran sapi (perubahan pola eksploitasi sumber
daya). Kegiatan ini meningkatkan nilai ekonomi dari anak-anak untuk rumah tangga,
orang tua menyebabkan lebih banyak anak berubah dalam populasi). Konsekuen
meningkat hasil populasi peningkatan tekanan manusia terhadap produktivitas
ekosistem. Koleksi intensif kotoran sapi (aliran energi dan materi dari ekosistem
dengan sistem sosial), bagaimanapun, mengurangi pasokan pupuk di bidang
pertanian (perubahan komponen tanah ekosistem) dengan konsekuensi penurunan
hasil panen (perubahan komponen tanaman ekosistem). Hasil panen telah
berkurang lebih lanjut oleh 28 Lingkungan am! Institut Kebijakan penurunan aliran
musim kemarau air irigasi dari bukit-bukit gundul dan penyumbatan saluran irigasi
dengan tanah yang tererosi dari lereng bukit gundul (perubahan sekunder dalam
komponen ekosistem). Ini hasil berkurang tercermin dalam aliran penurunan energi
makanan dan bahan-bahan untuk populasi manusia dengan konsekuensi negatif
akibat status gizi dan kesehatan (perubahan dalam lembaga-lembaga sistem sosial).
jika penyuluh pemerintah memperkenalkan generator biogas (perubahan teknologi
sistem sosial yang dihasilkan dari difusi dari sistem sosial yang lain), residu organik
terkonsentrasi lagi tersedia untuk digunakan sebagai pupuk di ladang (perubahan
aliran material dari sistem sosial untuk ekosistem) dengan akibat peningkatan hasil
panen (perubahan dalam komponen tanaman ekosistem). Solusi dari masalah BBM
dalam negeri dapat menyebabkan berkurangnya koleksi bahan bakar di dataran
tinggi (perubahan aliran energi dari ekosistem dengan sistem sosial), yang
memungkinkan regenerasi tutupan vegetasi, sehingga air yang lebih baik dan retensi
tanah (perubahan dalam ekosistem ), yang meningkatkan pasokan air irigasi ke
ladang yang mengarah ke peningkatan pasokan makanan untuk para petani, dan
segera.
Apakah atau tidak manfaat ekologi tersebut benar-benar diperoleh dari pengenalan
teknologi baru, bagaimanapun, akan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor struktural
sosial. Jika tanaman biogas busur dijual ke rumah tangga, hanya keluarga petani
kaya akan mampu membelinya. Petani miskin cenderung berakhir mengumpulkan
kotoran untuk menjual kepada pemilik pabrik biogas uang tunai. Pemilik pabrik
biogas sehingga akan mendapatkan kontrol diferensial dari kedua energi dan pupuk
persediaan dengan pelebaran akibat dari kesenjangan antara kaya dan petani miskin
di desa. Persediaan yang lebih handal dari air irigasi juga cenderung
menguntungkan secara berbeda pemilik plot yang lebih besar terletak di dalam area
perintah, lagi melayani untuk meningkatkan kesenjangan ekonomi dalam masyarakat
ihe rumah tangga miskin, tidak memiliki kepentingan dalam menjaga daerah aliran
sungai baru, bahkan mungkin sengaja berusaha untuk sabotase kerja dari sistem
irigasi. Hal ini sebenarnya telah terjadi dalam kasus proyek Chandigar disebut
sebelumnya. Titik diskusi ini adalah bahwa hubungan antara sistem sosial dan
ekosistem yang kompleks dan dinamis. Keutamaan sistem model ekologi manusia
adalah bahwa ia memfokuskan perhatian pada proses-proses perubahan dan
adaptasi daripada menekankan karakteristik struktural sialat dari sistem sosial dan
ekologi. Selain itu, pendekatan ini menghindari setiap perlunya spesifikasi setiap
universal "prime mover" untuk perubahan: faktor lingkungan atau sosial tidak
memiliki keutamaan apriori karena impuls untuk perubahan dapat mengalir di kedua
arah. Oleh karena itu, model sistem mengatasi untuk sebagian besar keterbatasan
model ekologi budaya dengan kurangnya ketentuan untuk mengatasi perubahan
lingkungan yang disebabkan oleh aktivitas manusia Sistem Model juga, dengan
spesifikasi yang cermat atas parameter sistem sosial dan ekologi sebagai sistem
independen yang tidak terpisahkan, menghindari banyak Pendekatan Konseptual
Ekologi Manusia 10 29 masalah definisi batas yang melekat dalam model berbasis
ekosistem ekologi manusia.
Tidak ada kontradiksi yang melekat antara model sistem dan model berbasis aktor
ekologi manusia. Pendekatan terakhir ini hanya salah satu amongmany yang dapat
dimasukkan dalam kerangka sistem sosial yang lebih besar. Tentu saja,
pengambilan keputusan oleh peserta individu mempengaruhi baik karakter sistem
sosial dan interaksi dengan ekosistem, tetapi, seperti yang telah dibahas, semua
keputusan tersebut dilakukan dalam konteks sistem ini. Mungkin kebajikan terbesar
dari model sistem ekologi manusia adalah bahwa ia menawarkan pedoman khusus
untuk melakukan penelitian tentang interaksi manusia dengan theenvironment.
Bukan sekadar slatting dengan gagasan bahwa pengaruh lingkungan harus entah
bagaimana mempengaruhi manusia atau tindakan manusia harus entah bagaimana
mempengaruhi lingkungan, itu memfokuskan perhatian pada bidang yang signifikan
interaksi antara sistem sosial manusia dan sistem-ekologi aliran dan counierllow
energi, material, dan informasi. Spesifikasi tersebut menyediakan kerangka kerja
penting untuk melakukan penelitian komparatif. Kurang model sistematis seperti,
ekologi manusia dapat terus menghasilkan hanya jenis hasil ad hoc yang pada
dasarnya telah ditandai lapangan sampai saat ini.

Conclusion
Haruslah diberi tekanan bahwa sementara model sistem menyediakan kerangka
kerja untuk analisis interaksi manusia dengan lingkungan, ini tidak diniatkan dan
tidak pernah digunakan untuk menjadi model reset operational. Yaitu, tidak ada
peneliti yang semata-mata menggunakan model ini sebagai dasar untuk membuat
deskripsi yang holistic dari interaksi suatu masyarakat tertentu dengan
ekosistemnya. Seluruh deskripsi semacam itu akan tidak bermanfaat dan tidak dapat
dilakukan dalam praktek pada sistem social dan ekologi baik yang komplek maupun
yang sederhana.
Ini bukan merupakan sistem deskripsi demi untuk deskripsi, tetapi lebih merupakan
anjuran untuk mulai kerja dengan problem yang khusus sebagai focus reset. Kembali
pada contoh terdahulu tentang penebangan hutan di India, seorang dapat bertanya:
Mengapa petani India banyak menebang pohon? Seseorang dapat mulai dengan
pertanyaan: Bagaimana kesuburan tanah dapat diperbaiki? Atau: Bagaimana suplai
air irigasi dapat ditingkatkan? Atau: Seperti apa pengaruh social dan ekologi dalam
memperkenalkan generator biogas pada masyarakat kawasan rural? Pilihan dari
pertanyaan ini seperti merefleksikan orientasi problem yang sudah ada lebih dulu
pada peneliti (mis: ahli hutan akan lebih dahulu berurusan dengan penebangan
pohon). Penerapan model sistem sebagai kerangka kerja, mungkin dapat
membantunya mendapatkan persepsi bahwa pemecahan bagi problemnya mungkin
terletak pada perbatasan dari hutan, yang memerlukan ketetapan dari sumber energi
alternative bagi orang desa sebelum penghijauan mungkin dapat dilakukan.
Nilai yang nyata dari ekologi manusia terletak pada bagaimana dapat membantu
manusia melihat hubungan yang tidak dikenalnya antara apa yang manusia lakukan
dan lingkungan dimana mereka melakukan hal tersebut. Banyak insight yang penting
yang telah tersedia, bagaimana manusia berfikir tentang dunia dan tempatnya di
dalamnya dapat sangat berubah. Reset sistematik mengenai ekologi manusia
sebenarnya baru mulai, dan masih luas sekali daerah yang terabaikan untuk
mendapatkan pengertian. Oleh karena itu bidang ini secara intelektual menarik untuk
dikerjakan.

Anda mungkin juga menyukai