Anda di halaman 1dari 27

Sejarah Biopotensial Serta Klasifikasi Fasilitas Kesehatan di

Indonesia

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah

Eletronika Medik

Oleh:
Guntur Kurniawan
062001700517

UNIVERSITAS TRISAKTI
TEKNIK ELEKTRO
2019
A. BIOPOTENSIAL
I. Sejarah Perkembangan Biopotensial Serta Tokoh Pengembang
Biopotensial berasal dari jaringan biologis sebagai perbedaan potensial yang terjadi di
antara kompartemen. Secara umum kompartemen dipisahkan oleh membran (bio) yang
mempertahankan gradien konsentrasi ion tertentu melalui mekanisme aktif (mis., Pompa Na +
/ K +). Hodgkin dan Huxley (1952) adalah yang pertama memodelkan biopotensial (potensial
aksi dalam akson raksasa cumi-cumi) dengan setara elektronik. Kombinasi persamaan
diferensial biasa (ODEs) dan model yang menggambarkan perilaku nonlinear konduktansi
ionik pada membran aksonal menghasilkan deskripsi pengukuran yang hampir sempurna.
Hukum fisik yang digunakan untuk menurunkan ODE dasar untuk rangkaian ekivalen adalah
hukum Nernst, Kirchhoff, dan Ohm.
Potensi bioelektrik atau potensi bio merupakan potensi listrik yang dihasilkan dalam
jaringan atau sel individu organisme hidup. Biopotensial memainkan peran paling penting
dalam proses eksitasi dan penghambatan sel. Prasejarah mempelajari potensi bio berasal dari
abad ke-18 ketika para ilmuwan berusaha menganalisis sifat kejutan yang disebabkan oleh ikan
dengan organ pembangkit listrik. Ini merupakan pembuktian ilmiah pertama telah dicapai
tentang keberadaan listrik hewan, ketika ahli anatomi dan fisiologi Italia L. Galvani memulai
penyelidikan biopotensial benda lainnya. Perselisihan ilmiah antara dia dan fisikawan A. Volta
tentang asal usul listrik hewan telah membawa pada penemuan prinsip baru untuk memperoleh
arus listrik menggunakan elemen galvanik.
Pada tahun 1837 seorang fisikawan Italia C. Matteucci yang orang pertama yang
mengukur potensi bio menggunakan galvanometer selama eksperimennya pada hewan. E.H.
Du Bois-Reymond, seorang ahli fisiologi Jerman, memelopori sistemik pemeriksaan potensi
bioelektrik dan terbukti pada tahun 1848 yang mengemukakan bahwa ada perbedaan potensial
standar antara jeroan sel dan sekitarnya cairan, yang disebutnya potensial membran. Nilai
potensial membran dalam istirahat bervariasi secara teratur ketika sel tereksitasi. J. Bernstein
dianggap sebagai yang pertama (1868) untuk menganalisis osilasi biopotensial terjadi selama
penyebaran kegembiraan atas serat saraf yang berlangsung beberapa ribu bagian detik (aksi
potensial). Pada 1883 seorang ahli biologi Rusia N.E. Wedensky menggunakan telepon untuk
merekam tuduhan yang menyertai impuls saraf.
Penggunaan mesin penguat-elektron dan inersia yang kurang osilograf dalam percobaan
fisiologis (1930-1940-an) dikaitkan dengan nama-nama ahli fisiologi Amerika G.H. Bishop,
dan pemenang Hadiah Nobel J. Erlanger dan H.S. Gasser. Investigasi potensi bio dari serat dan
sel yang terpisah menjadi mungkin berkat metode memperkenalkan pengukuran
mikroelektroda ke dalam sel. Mekanisme regenerasi potensial bio telah dipelajari pada saraf
raksasa serat cumi-cumi dengan memperkirakan daya tembusnya untuk ion Na + dan K +
tergantung pada potensial membran. Untuk menguraikan mekanisme ionik menghasilkan
potensi aksi dan elaborasi teori membran bio potensial (1947-1952), ahli fisiologi Inggris A.L.
Hodgkin, A.F. Huxley dan B. Katz dianugerahi Hadiah Nobel. Hasil penelitian mereka telah
membentuk dasar untuk digunakan pada metode diagnostik elektrofisiologi saat ini seperti
elektrokardiografi, elektroensefalografi, elektromiografi dan lainnya. Teori fase potensi
bioelektrik yang dikembangkan oleh D.N. Nasonov didasarkan pada pemahaman protoplasma
sebagai fase relatif terhadap media berair di sekitarnya. Menurut teori tersebut, pembawa
muatan menyebar antara sel dan medium tergantung pada kelarutan zat dalam protoplasma,
kapasitas adsorptifnya pada misel dan pengikatan kimia dengan substrat protein.
Sel-sel kasar ganggang berubah menjadi objek klasik untuk mempelajari sifat ionik dari
potensi bio. Menggunakan sel-sel ini, Du Bois-Reymond mendeteksi pada 1882 fitur serumpun
antara fenomena bioelektrik pada hewan dan tumbuhan. Tumbuhan yang memiliki gerakan
pertumbuhan adalah objek penelitian pertama. Setelah itu, seorang ahli biofisika India J. Ch.
Bose telah menetapkan bahwa potensi bio dan respons listrik pada kegembiraan adalah
intrinsik untuk semua pabrik. Dirancang olehnya galvanometer yang dapat merekam sendiri
dengan sensitif mampu merekam reaksi listrik tanaman terhadap efek fisik dan kimia.
Pada awal 1990-an, para ilmuwan dari Universitas Negeri Moskow berusaha untuk
mempelajari sifat-sifat listrik pada contoh tanaman tingkat tinggi yang paling sederhana, yaitu
jaringan dalam bentuk sel yang digabungkan tanpa dinding sel. Investigasi respon listrik
tanaman pada kerusakan mekanis dan panas, regenerasi akar, tangkai dan daun telah
menunjukkan bahwa mekanisme sinyal listrik menyebar di atas serat saraf mirip dengan yang
dihasilkan dalam yang paling sederhana. Polarisasi listrik telah terdeteksi di sebagian besar
biopolimer seperti protein, enzim, polisakarida, polinukleotida, dan lain-lain. Polarisasi ini
disebabkan oleh orientasi terarah dan distribusi dipol, pengotor dan cacat yang tidak merata.
Pada ion-ion ini ditambahkan ion yang menyediakan konduksi sendiri dan pengotor serta
elektron, dan air terstruktur yang diikat dengan makromolekul.
Sejak 1960-an, asal mula biokimia kuantum dimulai, yang bermunculan di persimpangan
biologi molekuler dan kimia kuantum. Komputasi kuantum telah memungkinkan untuk
mentransfer dari gagasan paling sederhana tentang komposisi, distribusi dan lokalisasi spasial
atom dalam molekul organik ke evaluasi distribusi kerapatan elektron di dalamnya,
karakteristik energi, dan setelah itu untuk saling terkait antara partikel bermuatan dan fungsi
biologis senyawa organik.
Istilah dan keteraturan utama variasi dalam potensi bioelektrik sebagai karakteristik
mendasar dari makhluk hidup dijelaskan di bawah ini.
Potensi istirahat (Ur) adalah perbedaan potensi antara sitoplasma dan cairan seluler
ekstra, yang ada dalam sel hidup dalam keadaan istirahat fisiologis. Ini muncul karena
konsentrasi yang tidak sama dari ion K +, Na + dan Cl− di sisi membran sel dan tidak seperti
penetrasi untuk ion-ion ini. Ur dari sebagian besar sel dihasilkan oleh difusi ion K + dari
sitoplasma keluar. Dalam serat otot rangka, Ur dipertahankan oleh difusi ion Cl− dari media
luar ke dalam sitoplasma. Kisaran pengukuran Ur dalam serabut saraf dan otot adalah dalam
60-90 mV. Sisi dalam membran umumnya bermuatan positif relatif terhadap yang eksternal.
Arus listrik melewati membran dan ketidakstabilan daya tembus ioniknya membawa
perubahan pada Ur.
Pengurangan Ur disebut depolarisasi. Depolarisasi pasif muncul ketika arus lemah
dilewatkan melalui membran (dari sel) sehingga daya tembus ioniknya tetap utuh. Depolarisasi
aktif distimulasi oleh peningkatan penetrasi membran untuk ion Na + atau dikurangi untuk ion
K +. Depolarisasi membran yang berkepanjangan menyebabkan inaktivasi (inertness, pasif)
saluran natrium dan meningkatkan permeabilitas potasik. Hal ini menghasilkan pengurangan
atau hilangnya kegembiraan sel sepenuhnya.
Peningkatan Ur disebut hiper polarisasi. Polarisasi hiper pasif terjadi ketika arus listrik
melewati dari luar ke dalam sel. Polarisasi hiper aktif terjadi pada peningkatan penetrasi
membran untuk K + dan Cl-ion. Polarisasi hiper lokal set membran selama aktivasi saluran
ionik oleh zat aktif secara fisiologis yang diisolasi dari saraf-berakhir pada kegembiraannya.
Potensi aksi (Ua) mewakili osilasi cepat (lonjakan) dari potensi membran yang dihasilkan oleh
kegairahan sel-sel saraf dan otot. Ini muncul ketika sinyal-iritasi mencapai beberapa ambang
batas, yang jika terlampaui, tidak dapat mempengaruhi amplitudo maupun durasi Ua. Ua
disebabkan oleh aktivasi saluran ion bersemangat listrik. Fase Ua menaik pada saraf dan serat
otot rangka dikaitkan untuk meningkatkan penetrasi membran untuk ion Na +. Aliran mereka
di dalam sel melalui saluran terbuka menyebabkan pengisian cepat membran sel. Sisi dalamnya
dibebankan negatif pada Ur, dan memperoleh muatan positif ketika Ua berada di puncak.
Inaktivasi saluran Na + dan aktivasi yang K + setelah puncak Ua menghasilkan setetes Ua.
Pemulihannya sampai beberapa nilai awal didahului oleh track depolarisasi atau hiper
polarisasi membran. Durasi Ua adalah 0,1-3,0 ms dalam sel-sel saraf dan 10-100 ms dalam sel
miokardium.
Kemampuan refraksi sel berarti berkurangnya rangsangannya yang menyertai
penampilan Ua. Begitu puncak Ua tercapai, kegembiraan menghilang sepenuhnya, yang
disebut kemampuan pembiasan mutlak. Drop in Ua mengarah ke restorasi rangsangan sel
sampai nilai awal dalam beberapa ms (kemampuan refraksi relatif). Kemampuan refraksi
adalah salah satu faktor penentu irama denyut maksimum sel. Berbagai obat yang
memperpanjang periode kemampuan pembiasan relatif (antiarrythmic) menurunkan frekuensi
kontraksi jantung dan meniadakan pelanggaran dalam ritme.
Pengertian teoritis tentang mekanisme kemunculan dan transformasi potensial membran
berdasarkan model sederhana dari lapisan listrik ganda mengalami evolusi yang berkelanjutan.
Model yang dimurnikan meliputi homogenitas sifat dielektrik melintasi ketebalan membran,
gradien intraseluler dari medan listrik, efek medan peptida yang diinduksi oleh tautan peptida
dalam protein membran, keberadaan lapisan pertukaran kation pada permukaan sel, parameter
induksi membran. Pendekatan tertentu untuk perhitungan biopotensial yang memperhitungkan
metabolisme seluler, aliran ion masuk dan keluar di dalam sel dan di luarnya, perubahan
struktural dalam membran dan sitoplasma, dan sebagainya sedang dalam proses elaborasi.
Potensi bioelektrik muncul secara spontan pada organisme hidup yang mendasari efek
bioelectret.
II. Perkembangan Elektronika Medik di Berbagai Negara

III. Jenis Rangkaian Ekuivalen Pengukuran Biopotensial


B. FASILITAS KESEHATAN INDONESIA
1. Klasifikasi Fasilitas Pelayanan Kesehatan di Indonesia
Klasifikasi fasilitas pelayanan kesehatan di Indonesia didasarkan atas Peraturan Mentri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 56 Tahun 2014 yang menjelaskan mengenai “Klasifikasi
dan Perizinan Rumah Sakit”. Adapun klasifikasi tersebut dibagi kedalam beberapa golongan
seperti bentuk rumah sakit, klasifikasi rumah sakit yang dikategorikan kedalam Rumah Sakit
Umum dan Rumah sakit Khusus, yang kemudian dibagi kembali menjadi beberapa kelas.
Berikut penjelasan secara detail:

Berdasarkan PERMENKES No.56 Thn. 2014 Bab V pasal 11 Rumah sakit dikatagorikan
dalam Rumah Sakit Umum dan Rumah Sakit Khusus. Dalam pasal 12 diklasifikasikan lebih
detail:
a. Rumah Sakit Umum Kelas A
b. Rumah Sakit Umum Kelas B.
c. Rumah Sakit Umum Kelas C
d. Rumah Sakit Umum Kelas D
1.1 Rumah Sakit Umum Kelas A
Rumah Sakit Kelas A adalah rumah sakit yang mampu memberikan pelayanan
kedokteran spesialis dan subspesialis luas oleh pemerintah, rumah sakit ini telah ditetapkan
sebagai tempat pelayanan rujukan tertinggi (top referral hospital) atau disebut juga rumah sakit
pusat. Beberapa contoh rumah sakit kelas A adalah seabagai berikut:
a) Rumah Sakit Umum Dr W Sudirohusodo UP, tipe A: Jl P Kemerdekaan Ujung
Pandang
b) Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr Cipto Mangunkusumo, tipe A: Jl.
Diponegoro No. 71 Jakarta Pusat
c) Rumah Sakit Umum Dr Soetomo, tipe A: Jl Prof Dr Moestopo Surabaya
d) RS Jantung Harapan Kita, tipe A: Jl. S Parman Kav 87 Jakbar
Berikut penjelasan Rumah Sakit Umum Kelas A berdasarkan PERMENKES 2014

Rumah Sakit Umum Kelas A


Pasal 14
Pelayanan yang diberikan oleh Rumah Sakit Umum Kelas A paling sedikit meliputi:
a. pelayanan medik;

b. pelayanan kefarmasian;
c. pelayanan keperawatan dan kebidanan;

d. pelayanan penunjang klinik;

e. pelayanan penunjang nonklinik; dan

f. pelayanan rawat inap.


Pasal 15
(1) Pelayanan medik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf a, paling sedikit terdiri
dari:
a. pelayanan gawat darurat;
b. pelayanan medik spesialis dasar;
c. pelayanan medik spesialis penunjang;
d. pelayanan medik spesialis lain;
e. pelayanan medik subspesialis; dan
f. pelayanan medik spesialis gigi dan mulut.

(2) Pelayanan gawat darurat, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, harus
diselenggarakan 24 (dua puluh empat) jam sehari secara terus menerus.
(3) Pelayanan medik spesialis dasar, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, meliputi
pelayanan penyakit dalam, kesehatan anak, bedah, dan obstetri dan ginekologi.
(5) Pelayanan medik spesialis penunjang, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c,
meliputi pelayanan anestesiologi, radiologi, patologi klinik, patologi anatomi, dan
rehabilitasi medik.
(5) Pelayanan medik spesialis lain, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, meliputi
pelayanan mata, telinga hidung tenggorokan, syaraf, jantung dan pembuluh darah, kulit
dan kelamin, kedokteran jiwa, paru, orthopedi, urologi, bedah syaraf, bedah plastik, dan
kedokteran forensik.
(6) Pelayanan medik subspesialis, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e, meliputi
pelayanan subspesialis di bidang spesialisasi bedah, penyakit dalam, kesehatan anak,
obstetri dan ginekologi, mata, telinga hidung tenggorokan, syaraf, jantung dan pembuluh
darah, kulit dan kelamin, kedokteran jiwa, paru, orthopedi, urologi, bedah syaraf, bedah
plastik, dan gigi mulut.
(7) Pelayanan medik spesialis gigi dan mulut, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f,
meliputi pelayanan bedah mulut, konservasi/endodonsi, periodonti, orthodonti,
prosthodonti, pedodonsi, dan penyakit mulut.
Pasal 16
Pelayanan kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf b meliputi
pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai, dan pelayanan
farmasi klinik.
Pasal 17
Pelayanan keperawatan dan kebidanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf c
meliputi asuhan keperawatan generalis dan spesialis serta asuhan kebidanan.
Pasal 18
Pelayanan penunjang klinik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf d meliputi
pelayanan bank darah, perawatan intensif untuk semua golongan umur dan jenis penyakit, gizi,
sterilisasi instrumen dan rekam medik.
Pasal 19
Pelayanan penunjang nonklinik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf e meliputi
pelayanan laundry/linen, jasa boga/dapur, teknik dan pemeliharaan fasilitas, pengelolaan
limbah, gudang, ambulans, sistem informasi dan komunikasi, pemulasaraan jenazah, sistem
penanggulangan kebakaran, pengelolaan gas medik, dan pengelolaan air bersih.
Pasal 20
Pelayanan rawat inap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf f harus dilengkapi
dengan fasilitas sebagai berikut:
a. jumlah tempat tidur perawatan Kelas III paling sedikit 30% (tiga puluh persen)
dari seluruh tempat tidur untuk Rumah Sakit milik Pemerintah;

b. jumlah tempat tidur perawatan Kelas III paling sedikit 20% (dua puluh persen)
dari seluruh tempat tidur untuk Rumah Sakit milik swasta;

c. jumlah tempat tidur perawatan intensif sebanyak 5% (lima persen) dari seluruh
tempat tidur untuk Rumah Sakit milik Pemerintah dan Rumah Sakit milik swasta.
Pasal 21
(1) Sumber daya manusia Rumah Sakit Umum kelas A terdiri atas:
a. tenaga medis;

b. tenaga kefarmasian;

c. tenaga keperawatan;

d. tenaga kesehatan lain;

e. tenaga nonkesehatan.
(2) Tenaga medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a paling sedikit terdiri atas:
a. 18 (delapan belas) dokter umum untuk pelayanan medik dasar;
b. 4 (empat) dokter gigi umum untuk pelayanan medik gigi mulut;
c. 6 (enam) dokter spesialis untuk setiap jenis pelayanan medik spesialis dasar;
d. 3 (tiga) dokter spesialis untuk setiap jenis pelayanan medik spesialis penunjang;
e. 3 (tiga) dokter spesialis untuk setiap jenis pelayanan medik spesialis lain;
f. 2 (dua) dokter subspesialis untuk setiap jenis pelayanan medik subspesialis; dan
g. 1 (satu) dokter gigi spesialis untuk setiap jenis pelayanan medik spesialis gigi
mulut.
(3) Tenaga kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b paling sedikit terdiri
atas:
a. 1 (satu) apoteker sebagai kepala instalasi farmasi Rumah Sakit;
b. 5 (lima) apoteker yang bertugas di rawat jalan yang dibantu oleh paling sedikit
10 (sepuluh) tenaga teknis kefarmasian;
c. 5 (lima) apoteker di rawat inap yang dibantu oleh paling sedikit 10 (sepuluh)
tenaga teknis kefarmasian;
d. 1 (satu) apoteker di instalasi gawat darurat yang dibantu oleh minimal 2 (dua)
tenaga teknis kefarmasian;
e. 1 (satu) apoteker di ruang ICU yang dibantu oleh paling sedikit 2 (dua) tenaga
teknis kefarmasian;
f. 1 (satu) apoteker sebagai koordinator penerimaan dan distribusi yang dapat
merangkap melakukan pelayanan farmasi klinik di rawat inap atau rawat jalan
dan dibantu oleh tenaga teknis kefarmasian yang jumlahnya disesuaikan dengan
beban kerja pelayanan kefarmasian Rumah Sakit; dan
g. 1 (satu) apoteker sebagai koordinator produksi yang dapat merangkap
melakukan pelayanan farmasi klinik di rawat inap atau rawat jalan dan dibantu
oleh tenaga teknis kefarmasian yang jumlahnya disesuaikan dengan beban kerja
pelayanan kefarmasian Rumah Sakit.
Pasal 22
(1) Jumlah kebutuhan tenaga keperawatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1)
huruf c sama dengan jumlah tempat tidur pada instalasi rawat inap.
(2) Kualifikasi dan kompetensi tenaga keperawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disesuaikan dengan kebutuhan pelayanan Rumah Sakit.
Pasal 23
Jumlah dan kualifikasi tenaga kesehatan lain dan tenaga nonkesehatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 huruf d dan huruf e disesuaikan dengan kebutuhan pelayanan Rumah
Sakit.
Pasal 24
(1) Peralatan Rumah Sakit Umum kelas A harus memenuhi standar sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(2) Peralatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit terdiri dari peralatan medis
untuk instalasi gawat darurat, rawat jalan, rawat inap, rawat intensif, rawat operasi,
persalinan, radiologi, laboratorium klinik, pelayanan darah, rehabilitasi medik, farmasi,
instalasi gizi, dan kamar jenazah.
(3) Peralatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sebagaimana tercantum dalam Lampiran
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

1.2 Rumah Sakit Umum Kelas B


Rumah sakit Tipe B adalah rumah sakit yang mampu memberikan pelayanan kedokteran
medik spesialis luas dan subspesialis terbatas. Rumah sakit tipe B ini direncanakan akan
didirikan di setiap ibukota propinsi (provincial hospital) yang dapat menampung pelayanan
rujukan dari rumah sakit kabupaten. Rumah sakit pendidikan yang tidak termasuk tipe A juga
diklasifikasikan sebagai rumah sakit tipe B.
 RS AB Harapan Kita, tipe B: Jl. S Parman Kav 87 Jakbar
 RSU Tasikmalaya, tipe B: Jl Rumah Sakit 33 Tasikmalaya
 RSU Dr Kariadi, tipe B: Jl Dr Soetomo No.16 Semarang
 RSU Dr Sardjito, tipe B: Jl Kesehatan Sekip Yogyakarta
 RSU Dr Soebandi, tipe B: Jl Dr Soebandi No.1 Jember
 RSU Tangerang, tipe B: Jl A yani No.9 Tangerang
 RSU Singaraja, tipe B: Jl Ngurah Rai 30 Singaraja
 RSU Manado, tipe B: Jl Raya Tanwangko Manado
 RSU Dr H Abdul Moeloek, tipe B: Jl. Dr Rivai No. 6 Bandar Lampung
 RSU Pasar Rebo, tipe B: Jl. TB Simatupang No. 30 Jaktim
 RSU Tarakan, tipe B: Jl. Kyai Caringin No. 7 Jakarta Pusat
 RS Sumber Waras, tipe B: Jl. Kyai Tapa Grogol Jakbar
 RS Pelni Petamburan, tipe B: Jl. KS Tubun No. 92-94 Jakbar
 RS Kanker Dharmais, tipe B: Jl. S Parman Kav. 84-86 Jakarta Barat
Berikut penjelasan untuk Rumah Sakit Umum Kelas B berdasarkan PERMENKES
Tahun 2014.
Rumah Sakit Umum Kelas B
Pasal 25
Pelayanan yang diberikan oleh Rumah Sakit Umum kelas B paling sedikit meliputi:
a. pelayanan medik;
b. pelayanan kefarmasian;
c. pelayanan keperawatan dan kebidanan;
d. pelayanan penunjang klinik;
e. pelayanan penunjang nonklinik; dan
f. pelayanan rawat inap.
Pasal 26
(1) Pelayanan medik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf a, paling sedikit terdiri
dari:
a. pelayanan gawat darurat;
b. pelayanan medik spesialis dasar;
c. pelayanan medik spesialis penunjang;
d. pelayanan medik spesialis lain;
e. pelayanan medik subspesialis; dan
f. pelayanan medik spesialis gigi dan mulut.
(2) Pelayanan gawat darurat, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, harus
diselenggarakan 24 (dua puluh empat) jam sehari secara terus menerus.
(3) Pelayanan medik spesialis dasar, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, meliputi
pelayanan penyakit dalam, kesehatan anak, bedah, dan obstetri dan ginekologi.
(4) Pelayanan medik spesialis penunjang, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c,
meliputi pelayanan anestesiologi, radiologi, patologi klinik, patologi anatomi, dan
rehabilitasi medik.
(5) Pelayanan medik spesialis lain, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, paling
sedikit berjumlah 8 (delapan) pelayanan dari 13 (tiga belas) pelayanan yang meliputi
pelayanan mata, telinga hidung tenggorokan, syaraf, jantung dan pembuluh darah, kulit
dan kelamin, kedokteran jiwa, paru, orthopedi, urologi, bedah syaraf, bedah plastik, dan
kedokteran forensik.
(6) Pelayanan medik subspesialis, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e, paling
sedikit berjumlah 2 (dua) pelayanan subspesialis dari 4 (empat) subspesialis dasar yang
meliputi pelayanan subspesialis di bidang spesialisasi bedah, penyakit dalam, kesehatan
anak, dan obstetri dan ginekologi.
(7) Pelayanan medik spesialis gigi dan mulut, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f,
paling sedikit berjumlah 3 (tiga) pelayanan yang meliputi pelayanan bedah mulut,
konservasi/endodonsi, dan orthodonti.
Pasal 27
Pelayanan kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf b meliputi
pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai, dan pelayanan
farmasi klinik.
Pasal 28
Pelayanan keperawatan dan kebidanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf c
meliputi asuhan keperawatan dan asuhan kebidanan.
Pasal 29
Pelayanan penunjang klinik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf d meliputi
pelayanan bank darah, perawatan intensif untuk semua golongan umur dan jenis penyakit, gizi,
sterilisasi instrumen dan rekam medik.
Pasal 30
Pelayanan penunjang nonklinik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf e meliputi
pelayanan laundry/linen, jasa boga/dapur, teknik dan pemeliharaan fasilitas, pengelolaan
limbah, gudang, ambulans, sistem informasi dan komunikasi, pemulasaraan jenazah, sistem
penanggulangan kebakaran, pengelolaan gas medik, dan pengelolaan air bersih.
Pasal 31
Pelayanan rawat inap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf f harus dilengkapi
dengan fasilitas sebagai berikut:
a. jumlah tempat tidur perawatan kelas III paling sedikit 30% (tiga puluh persen)
dari seluruh tempat tidur untuk Rumah Sakit milik Pemerintah;
b. jumlah tempat tidur perawatan kelas III paling sedikit 20% (dua puluh persen)
dari seluruh tempat tidur untuk Rumah Sakit milik swasta;
c. jumlah tempat tidur perawatan intensif sebanyak 5% (lima persen) dari seluruh
tempat tidur untuk Rumah Sakit milik Pemerintah dan Rumah Sakit milik
swasta.
Pasal 32

(1) Sumber daya manusia Rumah Sakit Umum kelas B terdiri atas:
a. tenaga medis;
b. tenaga kefarmasian;
c. tenaga keperawatan;
d. tenaga kesehatan lain;
e. tenaga nonkesehatan.
(2) Tenaga medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a paling sedikit terdiri atas:
a. 12 (dua belas) dokter umum untuk pelayanan medik dasar;
b. 3 (tiga) dokter gigi umum untuk pelayanan medik gigi mulut;
c. 3 (tiga) dokter spesialis untuk setiap jenis pelayanan medik spesialis dasar;
d. 2 (dua) dokter spesialis untuk setiap jenis pelayanan medik spesialis penunjang;
e. 1 (satu) dokter spesialis untuk setiap jenis pelayanan medik spesialis lain;
f. 1 (satu) dokter subspesialis untuk setiap jenis pelayanan medik subspesialis; dan
g. 1 (satu) dokter gigi spesialis untuk setiap jenis pelayanan medik spesialis gigi
mulut.
(3) Tenaga kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b paling sedikit terdiri
atas:
a. 1 (satu) orang apoteker sebagai kepala instalasi farmasi Rumah Sakit;
b. 4 (empat) apoteker yang bertugas di rawat jalan yang dibantu oleh paling sedikit
8 (delapan) orang tenaga teknis kefarmasian;
c. 4 (empat) orang apoteker di rawat inap yang dibantu oleh paling sedikit 8
(delapan) orang tenaga teknis kefarmasian;
d. 1 (satu) orang apoteker di instalasi gawat darurat yang dibantu oleh minimal 2
(dua) orang tenaga teknis kefarmasian;
e. 1 (satu) orang apoteker di ruang ICU yang dibantu oleh paling sedikit 2 (dua)
orang tenaga teknis kefarmasian;
f. 1 (satu) orang apoteker sebagai koordinator penerimaan dan distribusi yang
dapat merangkap melakukan pelayanan farmasi klinik di rawat inap atau rawat
jalan dan dibantu oleh tenaga teknis kefarmasian yang jumlahnya disesuaikan
dengan beban kerja pelayanan kefarmasian Rumah Sakit; dan
g. 1 (satu) orang apoteker sebagai koordinator produksi yang dapat merangkap
melakukan pelayanan farmasi klinik di rawat inap atau rawat jalan dan dibantu
oleh tenaga teknis kefarmasian yang jumlahnya disesuaikan dengan beban kerja
pelayanan kefarmasian Rumah Sakit.
Pasal 33
(1) Jumlah kebutuhan tenaga keperawatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1)
huruf c sama dengan jumlah tempat tidur pada instalasi rawat inap.
(2) Kualifikasi dan kompetensi tenaga keperawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disesuaikan dengan kebutuhan pelayanan Rumah Sakit.

Pasal 34
Jumlah dan kualifikasi tenaga kesehatan lain dan tenaga nonkesehatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) huruf d dan e disesuaikan dengan kebutuhan pelayanan
Rumah Sakit.
Pasal 35
(1) Peralatan Rumah Sakit Umum kelas B harus memenuhi standar sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(2) Peralatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit terdiri dari peralatan medis
untuk instalasi gawat darurat, rawat jalan, rawat inap, rawat intensif, rawat operasi,
persalinan, radiologi, laboratorium klinik, pelayanan darah, rehabilitasi medik, farmasi,
instalasi gizi, dan kamar jenazah.
(3) Peralatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sebagaimana tercantum dalam Lampiran
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
1.3 Rumah Sakit Umum Kelas C
Rumah Sakit Kelas C adalah rumah sakit yang mampu memberikan pelayanan
kedokteran subspesialis terbatas. Terdapat empat macam pelayanan spesialis disediakan yakni
pelayanan penyakit dalam, pelayanan bedah, pelayanan kesehatan anak, serta pelayanan
kebidanan dan kandungan. Rumah sakit kelas C ini adalah rumah sakit yang didirikan di Kota
atau kabupaten-kabupaten sebagai faskes tingkat 2 yang menampung rujukan dari faskes
tingkat 1 (puskesmas/poliklinik atau dokter pribadi). Contoh rumah sakit kelas C:
 Rumah sakit umum dokter slamet kabupaten garut.

 Rumah sakit umum guntur kabupaten garut.

 dan rumah sakit kota atau kabupaten lainnya.

Berikut penjelasan detail mengenai Rumah Sakit Umum Kelas C berdasarkan


PERMENKES Thn. 2014.
Rumah Sakit Umum Kelas C
Pasal 36

Pelayanan yang diberikan oleh Rumah Sakit Umum kelas C paling sedikit meliputi:

a. pelayanan medik;
b. pelayanan kefarmasian;
c. pelayanan keperawatan dan kebidanan;
d. pelayanan penunjang klinik;
e. pelayanan penunjang nonklinik; dan
f. pelayanan rawat inap.

Pasal 37
(1) Pelayanan medik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 huruf a, paling sedikit terdiri
dari:
a. pelayanan gawat darurat;
b. pelayanan medik umum;
c. pelayanan medik spesialis dasar;
d. pelayanan medik spesialis penunjang;
e. pelayanan medik spesialis lain;
f. pelayanan medik subspesialis; dan
g. pelayanan medik spesialis gigi dan mulut.
(2) Pelayanan gawat darurat, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, harus
diselenggarakan 24 (dua puluh empat) jam sehari secara terus menerus.
(3) Pelayanan medik umum, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, meliputi
pelayanan medik dasar, medik gigi mulut, kesehatan ibu dan anak, dan keluarga
berencana.
(4) Pelayanan medik spesialis dasar, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, meliputi
pelayanan penyakit dalam, kesehatan anak, bedah, dan obstetri dan ginekologi.
(5) Pelayanan medik spesialis penunjang, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d,
meliputi pelayanan anestesiologi, radiologi, dan patologi klinik.
(6) Pelayanan medik spesialis gigi dan mulut, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g,
paling sedikit berjumlah 1 (satu) pelayanan.

Pasal 38
Pelayanan kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 huruf b meliputi
pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai, dan pelayanan
farmasi klinik.
Pasal 39
Pelayanan keperawatan dan kebidanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 huruf c
meliputi asuhan keperawatan dan asuhan kebidanan.
Pasal 40
Pelayanan penunjang klinik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 huruf d meliputi
pelayanan bank darah, perawatan intensif untuk semua golongan umur dan jenis penyakit, gizi,
sterilisasi instrumen dan rekam medik.
Pasal 41
Pelayanan penunjang nonklinik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 huruf e meliputi
pelayanan laundry/linen, jasa boga/dapur, teknik dan pemeliharaan fasilitas, pengelolaan
limbah, gudang, ambulans, sistem informasi dan komunikasi, pemulasaraan jenazah, sistem
penanggulangan kebakaran, pengelolaan gas medik, dan pengelolaan air bersih.
Pasal 42
Pelayanan rawat inap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 huruf f harus dilengkapi
dengan fasilitas sebagai berikut:
a. jumlah tempat tidur perawatan kelas III paling sedikit 30% (tiga puluh persen)
dari seluruh tempat tidur untuk Rumah Sakit milik Pemerintah;
b. jumlah tempat tidur perawatan kelas III paling sedikit 20% (dua puluh persen)
dari seluruh tempat tidur untuk Rumah Sakit milik swasta;
c. jumlah tempat tidur perawatan intensif sebanyak 5% (lima persen) dari seluruh
tempat tidur untuk Rumah Sakit milik Pemerintah dan Rumah Sakit milik
swasta.
Pasal 43
(1) Sumber daya manusia Rumah Sakit Umum kelas C terdiri atas:
a. tenaga medis;
b. tenaga kefarmasian;
c. tenaga keperawatan;
d. tenaga kesehatan lain;
e. tenaga nonkesehatan.
(2) Tenaga medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a paling sedikit terdiri atas:
a. 9 (sembilan) dokter umum untuk pelayanan medik dasar;
b. 2 (dua) dokter gigi umum untuk pelayanan medik gigi mulut;
c. 2 (dua) dokter spesialis untuk setiap jenis pelayanan medik spesialis dasar;
d. 1 (satu) dokter spesialis untuk setiap jenis pelayanan medik spesialis penunjang;
dan
e. 1 (satu) dokter gigi spesialis untuk setiap jenis pelayanan medik spesialis gigi
mulut.
(3) Tenaga kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b paling sedikit terdiri
atas:
a. 1 (satu) orang apoteker sebagai kepala instalasi farmasi Rumah Sakit;

b. 2 (dua) apoteker yang bertugas di rawat inap yang dibantu oleh paling sedikit 4
(empat) orang tenaga teknis kefarmasian;

c. 4 (empat) orang apoteker di rawat inap yang dibantu oleh paling sedikit 8
(delapan) orang tenaga teknis kefarmasian;

d. 1 (satu) orang apoteker sebagai koordinator penerimaan, distribusi dan produksi


yang dapat merangkap melakukan pelayanan farmasi klinik di rawat inap atau
rawat jalan dan dibantu oleh tenaga teknis kefarmasian yang jumlahnya
disesuaikan dengan beban kerja pelayanan kefarmasian Rumah Sakit.
Pasal 44
a. Jumlah kebutuhan tenaga keperawatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43
ayat (1) huruf c dihitung dengan perbandingan 2 (dua) perawat untuk 3 (tiga)
tempat tidur.
b. Kualifikasi dan kompetensi tenaga keperawatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) disesuaikan dengan kebutuhan pelayanan Rumah Sakit.
Pasal 45
Jumlah dan kualifikasi tenaga kesehatan lain dan tenaga nonkesehatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1) huruf d dan huruf e disesuaikan dengan kebutuhan pelayanan
Rumah Sakit.
Pasal 46
(1) Peralatan Rumah Sakit Umum kelas C harus memenuhi standar sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(2) Peralatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit terdiri dari peralatan medis
untuk instalasi gawat darurat, rawat jalan, rawat inap, rawat intensif, rawat operasi,
persalinan, radiologi, laboratorium klinik, pelayanan darah, rehabilitasi medik, farmasi,
instalasi gizi, dan kamar jenazah.
(3) Peralatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sebagaimana tercantum dalam Lampiran
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
1.4 Rumah Sakit Umum Kelas D
Rumah Sakit Kelas D adalah rumah Sakit ini bersifat transisi karena pada suatu saat akan
ditingkatkan menjadi rumah sakit kelas C. Pada saat ini kemampuan rumah sakit tipe D
hanyalah memberikan pelayanan kedokteran umum dan kedokteran gigi. Sama halnya dengan
rumah sakit tipe C, rumah sakit tipe D juga menampung pelayanan yang berasal dari
puskesmas.
Berikut penjelasn Rumah Sakit Umum Kelas D berdsarkan PERMENKES Thn. 2014.
Rumah Sakit Umum Kelas D
Pasal 47
Pelayanan yang diberikan oleh Rumah Sakit Umum Kelas D paling sedikit meliputi:
a. pelayanan medik;
b. pelayanan kefarmasian;
c. pelayanan keperawatan dan kebidanan;
d. pelayanan penunjang klinik;
e. pelayanan penunjang nonklinik; dan
f. pelayanan rawat inap.
Pasal 48
(1) Pelayanan Medik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 huruf a, paling sedikit terdiri
dari:
a. pelayanan gawat darurat;
b. pelayanan medik umum;
c. pelayanan medik spesialis dasar; dan
d. pelayanan medik spesialis penunjang.
(2) Pelayanan gawat darurat, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, harus
diselenggarakan 24 (dua puluh empat) jam sehari secara terus menerus.
(3) Pelayanan medik umum, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, meliputi
pelayanan medik dasar, medik gigi mulut, kesehatan ibu dan anak, dan keluarga
berencana.
(4) Pelayanan medik spesialis dasar, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, paling
sedikit 2 (dua) dari 4 (empat) pelayanan medik spesialis dasar yang meliputi pelayanan
penyakit dalam, kesehatan anak, bedah, dan/atau obstetri dan ginekologi.
(5) Pelayanan medik spesialis penunjang, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d,
meliputi pelayanan radiologi dan laboratorium.
Pasal 49
Pelayanan kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 huruf b meliputi
pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai, dan pelayanan
farmasi klinik.
Pasal 50
Pelayanan keperawatan dan kebidanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 huruf c
meliputi asuhan keperawatan dan asuhan kebidanan.
Pasal 51
Pelayanan penunjang klinik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 huruf d meliputi
pelayanan darah, perawatan high care unit untuk semua golongan umur dan jenis penyakit,
gizi, sterilisasi instrumen dan rekam medik.
Pasal 52
Pelayanan penunjang nonklinik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 huruf e meliputi
pelayanan laundry/linen, jasa boga/dapur, teknik dan pemeliharaan fasilitas, pengelolaan
limbah, gudang, ambulans, sistem informasi dan komunikasi, pemulasaraan jenazah, sistem
penanggulangan kebakaran, pengelolaan gas medik, dan pengelolaan air bersih.
Pasal 53
Pelayanan rawat inap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 huruf f harus dilengkapi
dengan fasilitas sebagai berikut:
a. jumlah tempat tidur perawatan kelas III paling sedikit 30% (tiga puluh persen)
dari seluruh tempat tidur untuk Rumah Sakit milik Pemerintah;

b. jumlah tempat tidur perawatan kelas III paling sedikit 20% (dua puluh persen)
dari seluruh tempat tidur untuk Rumah Sakit milik swasta;

c. jumlah tempat tidur perawatan intensif sebanyak 5% (lima persen) dari seluruh
tempat tidur untuk Rumah Sakit milik Pemerintah dan Rumah Sakit milik
swasta.
Pasal 54
(1) Sumber daya manusia rumah sakit umum kelas D terdiri atas:
a. tenaga medis;
b. tenaga kefarmasian;
c. tenaga keperawatan;
d. tenaga kesehatan lain;
e. tenaga nonkesehatan.
(2) Tenaga medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a paling sedikit terdiri atas:
a. 4 (empat) dokter umum untuk pelayanan medik dasar;
b. 1 (satu) dokter gigi umum untuk pelayanan medik gigi mulut;
c. 1 (satu) dokter spesialis untuk setiap jenis pelayanan medik spesialis dasar.
(3) Tenaga kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b paling sedikit terdiri
atas:
a. 1 (satu) orang apoteker sebagai kepala instalasi farmasi Rumah Sakit;
b. 1 (satu) apoteker yang bertugas di rawat inap dan rawat jalan yang dibantu oleh
paling sedikit 2 (dua) orang tenaga teknis kefarmasian;
c. 1 (satu) orang apoteker sebagai koordinator penerimaan, distribusi dan produksi
yang dapat merangkap melakukan pelayanan farmasi klinik di rawat inap atau
rawat jalan dan dibantu oleh tenaga teknis kefarmasian yang jumlahnya
disesuaikan dengan beban kerja pelayanan kefarmasian Rumah Sakit.
Pasal 55
(1) Jumlah kebutuhan tenaga keperawatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1)
huruf c dihitung dengan perbandingan 2 (dua) perawat untuk 3 (tiga) tempat tidur.
(2) Kualifikasi dan kompetensi tenaga keperawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disesuaikan dengan kebutuhan pelayanan rumah sakit.
Pasal 56
Jumlah dan kualifikasi tenaga kesehatan lain dan tenaga nonkesehatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1) huruf d dan huruf e disesuaikan dengan kebutuhan pelayanan
Rumah Sakit.
Pasal 57
(1) Peralatan Rumah Sakit Umum kelas D harus memenuhi standar sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(2) Peralatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit terdiri dari peralatan medis
untuk instalasi gawat darurat, rawat jalan, rawat inap, rawat intensif, rawat operasi,
persalinan, radiologi, laboratorium klinik, pelayanan darah, rehabilitasi medik, farmasi,
instalasi gizi, dan kamar jenazah.
(3) Peralatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sebagaimana tercantum dalam Lampiran
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
1.5 Rumah Sakit Umum Kelas D Pratama
Rumah Sakit Umum Kelas D Pratama
Pasal 58
(1) Rumah Sakit Umum kelas D pratama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat 2 huruf
b, didirikan dan diselenggarakan untuk menjamin ketersediaan dan meningkatkan
aksesibilitas masyarakat terhadap pelayanan kesehatan tingkat kedua.
(2) Rumah Sakit Umum kelas D pratama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat
didirikan dan diselenggarakan di daerah tertinggal, perbatasan, atau kepulauan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Selain pada daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Rumah Sakit Umum kelas D
pratama dapat juga didirikan di kabupaten/kota, apabila memenuhi kriteria sebagai
berikut:
a. belum tersedia Rumah Sakit di kabupaten/kota yang bersangkutan;
b. Rumah Sakit yang telah beroperasi di kabupaten/kota yang bersangkutan
kapasitasnya belum mencukupi; atau
c. lokasi Rumah Sakit yang telah beroperasi sulit dijangkau secara geografis oleh
sebagian penduduk di kabupaten/kota yang bersangkutan.
(4) Ketentuan mengenai Rumah Sakit Umum kelas D pratama diatur dalam Peraturan
Menteri.
1.6 Rumah Sakit Khusus
Rumah Sakit Khusus merupakan rumah sakit yang menyelenggarakan hanya satu macam
pelayanan kedokteran saja. Pada saat ini banyak rumah sakit khusu yang didirikan pemerintah,
misalnya rumah sakit jiwa, rumah sakit kusta, rumah sakit paru, rumah sakit jantung, dan
rumah sakit ibu dan anak.
Penjelasan detail Rumah Sakit Khusu berdasarkan PERMENKES Thn. 2014 adalah
sebagai berikut:
Rumah Sakit Khusus
Pasal 59
(1) Rumah Sakit Khusus meliputi rumah sakit khusus:
a. ibu dan anak;
b. mata;
c. otak;
d. gigi dan mulut;
e. kanker;
f. jantung dan pembuluh darah;
g. jiwa;
h. infeksi;
i. paru;
j. telinga-hidung-tenggorokan;
k. bedah;
l. ketergantungan obat; dan
m. ginjal.
(2) Selain jenis Rumah Sakit Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Menteri dapat
menetapkan jenis Rumah Sakit Khusus lainnya.
(3) Jenis Rumah Sakit Khusus lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa
penggabungan jenis kekhususan atau jenis kekhususan baru.
(4) Penetapan jenis Rumah Sakit Khusus baru sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan berdasarkan hasil kajian dan mendapatkan rekomendasi asosiasi
perumahsakitan serta organisasi profesi terkait.
Pasal 60
(1) Rumah Sakit Khusus hanya dapat menyelenggarakan pelayanan kesehatan sesuai bidang
kekhususannya dan bidang lain yang menunjang kekhususan tersebut.
(2) Penyelenggaraan pelayanan kesehatan di luar bidang kekhususannya hanya dapat
dilakukan pada pelayanan gawat darurat.
Pasal 61
Rumah Sakit Khusus harus mempunyai fasilitas dan kemampuan, paling sedikit meliputi:
a. pelayanan, yang diselenggarakan meliputi:
1. Pelayanan medik, paling sedikit terdiri dari:
a. pelayanan gawat darurat, tersedia 24 (dua puluh empat) jam sehari terus
menerus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. pelayanan medik umum;
c. pelayanan medik spesialis dasar sesuai dengan kekhususan;
d. pelayanan medik spesialis dan/atau subspesialis sesuai kekhususan;
e. pelayanan medik spesialis penunjang;
2. pelayanan kefarmasian;
3. pelayanan keperawatan;
4. pelayanan penunjang klinik; dan
5. pelayanan penunjang nonklinik;
b. sumber daya manusia, paling sedikit terdiri dari:
1. tenaga medis, yang memiliki kewenangan menjalankan praktik kedokteran di
Rumah Sakit yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan;
2. tenaga kefarmasian, dengan kualifikasi apoteker dan tenaga teknis kefarmasian
dengan jumlah yang sesuai dengan kebutuhan pelayanan kefarmasian Rumah
Sakit.
3. tenaga keperawatan, dengan kualifikasi dan kompetensi yang sesuai dengan
kebutuhan pelayanan Rumah Sakit;
4. tenaga kesehatan lain dan tenaga nonkesehatan, sesuai dengan kebutuhan
pelayanan Rumah Sakit;
c. peralatan, yang memenuhi standar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan;
Pasal 62
Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria klasifikasi dan standar peralatan untuk masing-
masing jenis Rumah Sakit Khusus diatur dengan Peraturan Menteri.
2. Sarana dan Prasarana pada Pelayanan Kesehatan di Indonesia
2.1 Sarana dan Prasana Rumah Sakit
Sarana dan Prasaarana Rumah Sakit diatur oleh Peraturan Mentri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 24 tahun 2016. Dalam PERMENKES ini, ketentuan Sarana dan Prasarana
rumah sakit diatur dengan tujuan agar setiap rumah sakit dapat mengikuti standard yang sudah
ditentukan. Bangunan Rumah sakit dijelaskan dalam BAB II yang berisi persyaratan bangunan,
persyaratan administrative, serta persyaratan teknis. Pada Pasal 16 dijelaskan pula ruangan
harus disediakan oleh sebuat rumah sakit. Antara lain adalah sebagai berikut :
a. Ruang rawat jalan;
b. Ruang rawat inap;
c. Ruang gawat darurat;
d. Ruang operasi;
e. Ruang perawatan intensif;
f. Ruang kebidanan dan penyakit kandungan;
g. Ruang rehabilitasi medik;
h. Ruang radiologi;
i. Ruang laboratorium;
j. bank darah Rumah Sakit;
k. Ruang sterilisasi;
l. Ruang farmasi;
m. Ruang rekam medis;
n. Ruang tenaga kesehatan;
o. Ruang pendidikan dan latihan;
p. Ruang kantor dan administrasi;
q. Ruang ibadah;
r. Ruang tunggu;
s. Ruang penyuluhan kesehatan masyarakat Rumah Sakit;
t. Ruang menyusui;
u. Ruang mekanik;
v. Ruang dapur dan gizi;
w. laundry;
x. kamar jenazah;
y. taman;
z. pengelolaan sampah; dan
aa. pelataran parkir yang mencukupi.

2.1 Tenaga Kesehatan di Indonesia


Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan
serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan
yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan
(Wikipedia). Menurut Undang-undang No. 36 tahun 2014, Tenaga Kesehatan dikelompokkan
sebagai berikut :
a. Tenaga medis meliputi dokter, dokter gigi, dokter spesialis, dokter gigi spesialis
b. Tenaga psikologi klinis ialah psikolog klinis
c. Tenaga keperawatan terdiri atas berbagai jenis perawat
d. Tenaga kebidanan ialah bidan
e. Tenaga kefarmasian meliputi apoteker dan tenaga teknis kefarmasian
f. Tenaga kesehatan masyarakat terdiri atas epidemiolog kesehatan, tenaga
promosi kesehatan dan ilmu perilaku, pembimbing kesehatan kerja, tenaga
administrasi dan kebijakan kesehatan, tenaga biostatistik dan kependudukan,
serta tenaga kesehatan reproduksi dan keluarga.
g. Tenaga kesehatan lingkungan terdiri atas tenaga sanitasi lingkungan, entomolog
kesehatan, dan mikrobiolog kesehatan.
h. Tenaga gizi terdiri atas nutrisionis dan dietisien.
i. Tenaga keterapian fisik terdiri atas fisioterapis, okupasi terapis, terapis wicara,
dan akupunktur.
j. Tenaga keteknisian medis terdiri atas perekam medis dan informasi kesehatan,
teknik kardiovaskuler, teknisi pelayanan darah, refraksionis optisien /
optometris, teknisi gigi, penata anestesi, terapis gigi dan mulut, dan audiologis.
k. Tenaga teknik biomedika terdiri atas radiografer, elektromedis, ahli teknologi
laboratorium medik, fisikawan medik, radioterapis, dan ortotik prostetik.
l. Tenaga kesehatan tradisional terdiri atas tenaga kesehatan tradisional ramuan
dan tenaga kesehatan tradisional keterampilan.
m. Tenaga kesehatan lain terdiri atas tenaga kesehatan yang ditetapkan oleh menteri
yang membindangi urusan kesehatan
3. Analisa dan Peningkatan Mutu Faktor Kualitas
Daftar Pustaka
http://www.pasienbpjs.com/2016/06/mengenal-perbedaan-tipe-rumah-sakit.html

Anda mungkin juga menyukai