Anda di halaman 1dari 27

KELAYAKAN PARAMETER KIMIA KUALITAS AIR UNTUK USAHA

BUDIDAYA IKAN NILA DENGAN SISTEM KERAMBA JARING


APUNG (KJA) PADA LAHAN BEKAS TAMBANG PASIR
(Studi Kasus Kel. Kalumeme, Kec. Ujung Bulu, Kab. Bulukumba)

BAHRUL ULUM
10594 0734 12

PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2016
HALAMAN PENGESAHAN

Judul : Kelayakan parameter kimia kualitas air untuk usaha


budidaya ikan nila dengan sistem keramba jaring
apung (KJA) pada lahan bekas tambang pasir

Nama : Bahrul ulum


Stambuk : 10594 0734 12
Jurusan : Perikanan
Program Studi : Budidaya Perairan
Fakultas Pertanian : Pertanian

Telah diperiksa dan di setujui


komisi pembimbing :

Makassar, 11 Maret 2016

Pembimbing 1, Pembimbing 2,

Dr. Ir. Abdul Haris, M.Si H. Burhanuddin,S.Pi., M.Si


NIDN. 0021066901 NIDN. 0921067302

Mengatahui :

Dekan Ketua Program Studi


Fakultas Pertanian, Budidaya Perairan,

Ir. H. M. Saleh Mollah, MM Murni, S.Pi., M.Si


NIDN. 093126103 NIDN. 0903037306
I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kelurahan Kalumeme merupakan salah satu kelurahan / desa yang berada

dalam kawasan Kecamatan Ujung Bulu, Kabupaten Bulukumba. Adapun batas

wilayah dari Kelurahan Kalumeme adalah sebagai berikut: sebelah utara desa

salemba kec. Ujung loe, sebelah selatan kel. Kalumeme kec. Ujung bulu, sebelah

timur laut florest kec. Ujung bulu dan di seblah barat desa palambarae kec.

Gantarang.

Jumla penduduk Kelurahan Kalumeme 5,357 Jiwa sebagian besar mata

pencahariaannya masyarakat di Desa adalah Petani / Peternak dan Petani Rumput

Laut.Kondisi demografis luas kelurahan kalumeme : 4,33 km2 dengan penggunaan

tanah/lahan sawah 56 ha/m2, kering 377 ha/m2, perkebunan : 52 ha/m2, epang /

tambak : 192 ha/m2, dan yang memprihatikannya dari luasan kelurahan kalumeme

secara keseluruhan, 75% menjadi lahan tidur. Contohnya saja pada lahan empang

/ tambak yang dulunya di alur fungsikan sebagai tambang pasir, seiring dengan

berjalannya waktu muncul pro dan kontra bahwa kegiatan tersebut berdampak

pada area pemukiman, sehingga lokasi tersebut tidak digunakan sama sekali,

karena lahir peraturan daerah tentang larangan melakukan pertambangan pada

kelurahan kalumeme.

Dari masalah tersebut lahir salah satu jalan keluar untuk mengatasi lahan

tidur tersebut, salah satu upaya untuk mengoptimalkan kembali lahan bekas

tambang pasir adalah usaha kegiatan budidaya ikan nila dengan sistem keramba

jaring apung.
Keramba jaring apung (KJA) merupakan suatu sarana pemeliharaan ikan

atau biota air yang kerangkanya terbuat dari bambu, kayu, pipa pralon atau besi

berbentuk persegi yang diberi jaring dan diberi pelampung seperti drum plastik

atau streoform agar wadah tersebut tetap terapung di dalam air. Dimana dalam

melakukan usaha budidaya sitem keramba jaring apung pemilihan lokasi

merupakan factor utama dalam keberhasilan usaha tersebut dan diantara factor

lainnya, faktor lingkungan juga optimal dimana ketersediaan cahaya, suhu

salinitas, arus dan ketersediaan nutrient (Lobban and Harrison, 1997). Oleh karena

itu factor fisika dari seuatu perairan menjadi salah satu penentu keberhasilan

usaha budidaya ikan nila sistem keramba jarring apung. Parameter lingkungan

yang menjadi penentu lokasi yang tepat untuk budidaya adalah Oksigen terlarut,

pH, amoniak, nitrat, fosfat dan bod.

Berdasarkan studi referensi dan hasil penelitian yang ada, maka peneliti

tertarik untuk melakukan penelitian tentang parameter kualitas perairan kelurahan

kalumeme berdasarkan aspek kimianya..

1.2. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Tujuan penelitian adalah untuk menganalisis parameter kimia yang

meliputi oksigen terlarut, pH, amoniak, nitrat, fofat dan BOD pada lokasi

budidaya karamba jaring apung di Kelurahan Kalumeme, Kecamatan Ujung Bulu,

Kabupaten Bulukumba dan manfaat penelitian ini adalah sebagai sumber

informasi yang bermenfaat bagi pengelolaan dan pengembangan sumberdaya

pesisir dan laut khususnya kawasan pesisir kelurahan kalumeme dalam

meningkatkan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut derah tersebut serta dapat
dijadikan sebagai ajuan kualitas kimia sumber air pada pengelolaan sistem

keramba jarring apung secara optimal dan berkelanjutan.


II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kawasan Ekosistem Tambak

Ekosistem tambak adalah suatu hubungan timbal balik antara unsur biotik

dengan abiotik di dalam tambak. Banyak kesamaan antara daerah tambak dengan

daerah estuarine dalam hal pasang surut, salinitas kandungan dan komposisi

biotanya (Soeyasa, 2001).

2.2. Potensi Wilayah Tambak

Tambak merupakan salah satu jenis habitat yang di pergunakan sebagai

tempat untuk budidaya air payau yang berlokasi di daerah pesisir. Lokasi

pertambakan yang baik adalah lokasi yang mempunyai sumber daya air yang

cukup, tersediah setiap saat apabila di perlukan (Purnomo, 1992). Secara umum

tambak dikaitkan secara lansung dengan pemeliharaan ikan, walaupun sebenarnya

masih banyak spesies yang dapat dibudidayakan di tambak misalnya ikan

bandeng, ikan nila, ikan kerapu, ikan kakap putih, dan sebagainya. Tetapi tambak

lebih dominan digunakan untuk kegiatan budidaya ikan nila (Oreocrhomis

niloticus) merupakan produk perikanan yang memiliki nilai ekonomis tinggi,

berorientasi eksport. Tingginya harga ikan nila menarik perhatian para pengusaha

untuk terjun dalam budidaya tambak ikan nila. Para pengusaha di bidang lain yang

sebelumnya belum pernah terjun dalam usaha budidaya tambak ikan nila secara
beramai-ramai membuka lahan baru tanpa memperhitungkan aturan-aturan yang

berkembang dengan pelestarian lingkungan sehingga menimbulkan masalah.

Masalah yang menonjol adalah terjadinya dehidrasi lingkungan pesisir akibat dari

pengolahan yang tidak benar, penurunan mutu lingkungan pesisir akibat

membawa dampak yang sangat serius terhadap produktivitas lahan bahkan sudah

sampai pada ancaman terhadap budidaya tambak ikan nila.

Permasalahan yang dihadapi oleh para petambak ikan nila saat ini sangat

kompleks, antara lain penurunan produksi yang disebabkan oleh berbagai macam

penyakit, adanya berbagai pungutan liar di jalan sampai pada harga ikan yang

tidak stabil. Semuanya ini merupakan dilematis bagi para petambak, padahal

potensi sumberdaya alam pesisisr yang dapat digarap untuk dimanfaatkan

sebagaoi tambak ikan nila masih cukup besar. Timbulnya permasalahn tersebut

disebabkan oleh pengelolaan kawasan pesisir yang tidak benar.

2.3. Parameter Kimia Perairan

Parameter kimia merupakan faktor penting dalam menjaga kesetimbangan

unsur-unsur kimia di perairan. Bahan kimia yang masuk ke perairan baik yang

bersifat sebagai bahan pencemar maupun tidak, dapat dimodelkan untuk mengkaji

pola distribusi konsentrasinya. Segala jenis parameter bahan kimia yang masuk

kedalam perairan dapat dimodelkan dengan baik jika diketahui karakter

penyebarannya (fate). Proses-proses interaksi kimiawi di dalam kolom air antara


sumber buangan bahan kimia dengan unsur kimia di dalam perairan itu sendiri

sangat penting untuk diperhitungkan.

Dalam penelitian ini akan dilakukan pengukuran parameter kimia air yang

merupakan faktor penunjang yang dapat mempengaruhi pertumbuhan fitoplanton

diantaranya: (1) Derajat Keasaman (pH), (2) Salinitas, (3) Oksigen Terlarut (DO),

(4) Nitrat (NO3), (5) Fosfat,

2.3.1. Derajat Keasaman (pH)

a. Pengertian

Derajat keasaman lebih dikenal dengan istilah H. pH (singkatan dari pulscane

negatif te H), yaitu logaritma dari kepekatan ion-ion H (hidrogen) yang terlepas

dalam satu cairan. Derajat keasaman atau pH air menunjukkan aktifitas ion

hydrogen dalam larutan tersebut dan dinyatakan sebagai konsentrasi ion hydrogen

(dalam nol per lter) pada suhu tertentu atau dapat ditulis pH = - log (H+) (kordi

dan Tancung, 2007).

Suatu ukuran yang menunjukkan apakah air bersifat asam atau dasar dikenal

sebagai pH. Lebih tepatnya pH menunjukkan konsentrasi ion hydrogen dalam air

dan didefinisikan sebagai logaritma asam bila pH dibawah 7 dan dasar ketika pH

di atas 7. sebagian besar nilai pH ditemui jatuh antara 0 sampai 14. pH yang baik

dalam budidaya adalah 6,5-9,0 (Mutris, 1992).

Air hujan pada umumnya bersifat asam akibat kontak dengan

karbondioksida dan senyawa sulfur alami di udara. Sulfur dioksida, nitrogen

oksida serta hasil emisi industri lainnya akan lebih meningkatkan ke asaman air

hujan. Adapun air murni bersifat netral (PH 7), pada kondisi demikian maka ion-
ion penyusunnya (H+ dan OH) akan terdisosiasi pada keadaan setimbang (Irianto,

2005).

Menurut Susanto (1991), keasaman air atau yang populer dengan istilah pH

air sangat berperan dalam kehidupan ikan. Pada umumnya pH yang sangat cocok

untuk semua jenis ikan berkisar antara 6,7 – 8,6. Namun begitu, ada jenis ikan

yang karena hidup aslinya di rawa-rawa, mempunyai ketahanan untuk tetap

bertahan hidup pada kisaran pH yang sangat rendah ataupun tinggi, yaitu antara

4 – 9.

b. Faktor-Faktor yang mempengaruhi

Peningkatan keasaman air (pH rendah) umumnya disebabkan limbah yang

mengandung asam-asam mineral bebas dan asam karbonat. Keasaman tinggi (pH

rendah) juga dapat disebabkan adanya FeS2 dalam air akan membentuk

H2SO4 dan ion Fe2+ (larut dalam air ) (manik, 2003).

Perairan laut maupun pesisir memiliki pH relatif stabil dan berada dalam

kisaran yang sempit. Biasanya berkisar antara 7,7 – 8,4 pH dipengaruhi olah

kapasitas penyangga (buffer) yaitu adanya garam-garam karbonat dan bikarbonat

yang dikandungnya (Boyd, 1982, Nybakkan, 1992 dalam Irawan et al, 2009)

2.3.2. Salinitas

Salinitas didefinisikan sebagai berat (gram) dari garam laut terlarut pada 1 kg

air laut. Menurut pendapat Hutabarat et al., (1985), bahwa kisaran salinitas yang

masih dapat di toleransi oleh organisme perairan tambak antara 15-35 0/00.

Sedangkan menurut sachlan (1982) salinitas yang sesuai bagi fitoplankton adalah
lebih besar dari 20 yang memungkinkan fitoplankton dapat bertahan hidup,

memperbanyak diri dan aktif melakukan fotosintesis.

2.3.3. Okssigen Terlarut (DO)

a. Pengertian

Oksigen terlarut (Dssolved Oxigen = DO) dibutuhkan oleh semua jasad hidup

untuk pernapasan, proses metabolisme atau pertukaran zat yang kemudian

menghasilkan energi untuk pertumbuhan dan pembiakan. Di samping itu, oksigen

juga dibutuhkan untuk oksidasi dan anorganik dalam proses aerobic (Salmin,

2005)

Oksigen terlarut merupakan suatu faktor yang sangat penting dalam

ekosistem akuatik, terutama sekali dibutuhkan untuk proses respirasi bagi

sebagian besar organisme (Suin, 2002 dalam Semburing, 2008)

b. Faktor-Faktor yang mempengaruhi

Kecepatan difusi oksigen dari udara, tergantung dari beberapa faktor, seperti

kekeruhan air, suhu, salinitas, pergerakan massa dan udara, seperti kekeruhan,

suhu, salinitas, pergerakan massa air dan udara, seperti arus, gelombang dan

pasang surut (Salmin, 2005)

Oksigen terlarut dapat berasal dari proses fotosintesis tumbuhan air dan dari

proses fotosintesis tumbuhan air dan dari udara yang masuk ke dalam air.

Konsentrasi DO dalam air tergantung pada suhu dan tekanan udara. Pada suhu

200C tekanan udara satu atmosfer konsentrasi DO dalam keadaan jenuh 9,2 ppm

dan pada suhu 500 C (tekanan udara sama) konsentrasi DO adalah 5,6 ppm

(Manik, 2000)
2.3.4. Nitrat(NO3)

a. Pengertian

Nitrat (NO3) adalah bentuk utama nitrogen di perairan alami dan merupakan

nitrien utama bagi pertumbuhan tanaman dan algae. Nitrat nitrogen sangat mudah

larut dalam air dan bersifat stabil. Senyawa ini dihasilkan dari proses oksidasi

sempurna senyawa nitrogen di perairan. Nitrifikasi yang merupakan proses yang

penting dalam siklus nitrogen dan berlangsung aerob (Effendi, 2003).

Nitrat adalah salah satu jenis senyawa kimia yang sering ditemukan di alam,

seperti dalam tanaman dan air. Senyawa ini terdapat dalam tiga bentuk, yaitu ion

hitrat (ion NO3) ketiga bentuk senyawa nitrat ini menyebabkan efek yang sama

terhadap ternak meskipun pada konsentrasi yang berbeda (Stohenow dan Lardy,

1998, Cassel dan Boran 2000 dalam yuningsih, 2003).

b. Faktor-faktor yang mempengaruhi

Dalam kondisi dimana konsentrasi oksigen terlarut sangat rendah dara terjadi

proses kebaikan dari nitrifikasi yaitu proses denitrifikasi dimana nitrat melalui

nitrit akan menghasilkan nitrogen bebas yang akhirnya akan lepas ke udara atau

dapat juga kembali membentuk ammonium / amoniak melalui proses fikasi altrat

(Barus, 2001).

Ammonia berada dalam air karena pemupukan kotoran biota budidaya dan

hasil kegiatan jasad renik did alam pembusukan bahan organik yang kaya akan

nitrogen (protein). Senyawa asam ini dapat digunakan oleh fitoplankton dan

tumbuhan air setelah diubah menjadi nitrit dan nitrat oleh bakteri dalam proses

nitrifikasi (Kordi, 2009).


2.3.5. Fosfat

Dalam badan perairan, fosfat berada pada bentuk fosfat terlarut dan faktor

organik yang terkandung dalam plankton. Sumber utama fosfat adalah batuan

alami yang mengandung fosfor. Salah satu bentuk fosfat yang ada di air alam

maupun dalam limbah adalah orthofosfat.

Dalam limbah, fosfat dapat berasal dari limbah domestik, pertanian maupun

industri. Di daerah pertanian, orthofosfat dapat berasal dari pupuk yang larut

bersama air hujan dan masuk ke saluran drainase. Bila kadar fosfat di perairan

terganggu, kondisi ini dinamakan oligotrof. Namun, bila kadarnya sangat tinggi

maka pertumbuhan tanaman akan tidak terbatas sehingga menghabiskan oksigen

yang ada di perairan tersebut (Alaerts dan Santika, 1987).

III. METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat

Penelitian ini akan dilaksanakan mulai bulan April sampai bulan Mei 2016

di tambak bekas tambang passir yang terletak Kelurahan Kalumeme, Kecamatan


Ujung Bulu, Kabupaten Bulukumba, Provinsi Sulawesi Selatanuntuk pengambilan

sampel dan Balai Pengembangan Budidaya Air Payau Kab. Maros untuk analisis

laboratorium. Adapun letak daerah penelitian disajikan pada gambar 1.

Gambar 1. Peta Kecamatan Ujung Bulu, Kabupaten Bulukumba

Keterangan : Lokasi Penelitian (Kelurahan Kalumeme)

3.2. Alat dan Bahan

Adapun alat dan bahan yang akan digunakan pada saat penelitian dapat

dilihat.

No Nama Alat / bahan Kegunaan

1 Botol sampel Untuk mengambil sampel air

2 Ph meter Untuk mengukur konsentrasi

ion hydrogen pada air

3 DO meter Untuk mengukur oksigen


terlarut
4 Erlenmeyer
Untuk menampung sampel air

yang telah disaring


5 Corong
Untuk menopang atau menahan

kertas saring agar sampel tidak

tertumpah
6 Kertas saring Whatman No. 42
Bahan yang digunakan untuk

menyaring sampel.
7 Tabung Reaksi
Untuk menampung air sampel

yang telah disaring dari

erlenmeyer
8 Rak Tabung
Sebagai tempat untuk

menyimpan tabung reaksi


9 Pipet gondok 50 ml Untuk memipet air sampel

yang telah disaring dari

erlenmeyer ke tabung reaksi


10 Kolom Reduksi
Alat yang digunakan untuk

menyaring air sampel (NO3)

sebelum di analisis
11 Batang Pengaduk
Untuk mengaduk atau

menghomogenkan
12 Labu ukur
Untuk menampung larutan

deret standar yang tel;ah dibuat


13 Spektrofotometer
Untuk mengukur absorbansi

dan konsentrasi sampel yang di

analisis.
14 Filler
Untuk mengambil air sampel

atau larutan pereaksi kedalam

pipet
15 Air sampel
Untuk identifikasi fitoplankton

yang mewakili suatu perairan

16 Lugol Untuk mengawetkan sampel

17 Aquades Untuk membersihkan SRC,

kaca preparat dan pipet


18 Tissu Untuk mengeringkan SR

19 Kertas saring milipore 0,45 cm Sebagai media penyaring untuk

chlorofik-a

20 MgCO3 Sebagai bahan pengawet

cholofil’
21 Sampel Air Untuk diuji kelayakan

Tabel 1. Alat-alat yang digunakan untuk pengukuran

3.3. Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian ini meliputih: (1) persiapan, (2) penentuan stasium

pengamatan, (3) variable pengamatan, (4) pengolahan data, (5) analisis data.

3.3.1. Persiapan
Tahap ini meliputih survei lapangan dan pengumpulan informasi mengenai

kondisi umum lokasi penelitian, studi literature dan penentuan metode penelitian

yang akan dilakukan

3.3.2. Penentuan Stasiun Pengamatan

Penentuan stasiun pengamatan dalam penelitian ini menggunakan metode

purposif sampling (secara sengaja), yaitu cara penentuan stasiun pengamatan atau

pengukuran sampel air dengan melihat pertimbangan yang didasari atas tiga faktor

yaitu kemudahan akses, biaya maupun waktu dalam penelitian.

Berikut ini merupakan 3 titik lokasi pengambilan/ pengukuran sampel air

dilakukan pada dua kedalaman, yaitu 0,5 m dari permukaan perairan dan 0,5 m

dari dasar, dan pengambilan dan pengukuran sampel air dilakukan empat kali

dengan interval waktu satu minggu.

Pengambilan sampel air dilakukan dengan menggunakan botol sampel

yang diodifikasi dan telah diberi pemberat serta penutup botol dari styrofom dan

tali. Botol sampel tersebut dimasukan sampai pada kedalaman yang di inginkan

(0,5 m dari permukaan perairan dan 0,5 m dari dasar perairan) lalu ditarik penutup

botolnya, setelah botol sampel penuh terisi air yang ditandai dengan

keluarnyagelembung udara, maka botol sampel langsung ditarik ke permukaan

untuk mengisi botol sampel lain yang telah diberi label.

Sampel yang di ambil kemudian di masukan pada kotak pendingin (cool

box) kemudian di bawah ke laboratrium untuk dianalisis sampel di bawah ke


laboratrium tidak lebih dari 24 jam di dalam pendingin untuk menjaga kestabilan

dan kualitas air.

Pengambilan sampel air sampel dilakukn dengan menggunakan botol

sampel yang di modifikasi dan telah diberi pemberat serta penutup botol dari

styrofom dan tali. Botol sampel tersebut dimasukan sampai pada kedalaman yang

diinginkan (0,5 m dari permukaan perai

ran dan 0,5 m dari dasar perarian)lalu ditarik penutup botolnya. Setelah

botol sampel terisi air yang ditandai dengan keluarnya gelembung udara, maka

botol sampel langsung ditarik kepermukaan untuk mengisi botol sampel lain yang

telah diberi label.

3.3.3. Variabel pengukuran parameter kimia air

Adapun varibel pengukuran kualitas kimia air dalam penelitian ini

disajikan pada Tabel 2

Tabel. 2. Pengukuran parameter kimia

No Variabel Satuan Parameter

1 Ph(derajat keasaman) Mg/L

2 salinitas Gram

3 Do(oksigen terlarut) ppm

4 Nitrat Mg/L

5 Fosfat Mg/L
Pengukuran parameter kimia air penelitian ini dilakukan secara langsung

di lab. Maros.

3.4. Pengeloaan data

Data yang diperoleh dalam pengukuran parameter kimia air aakan diolah

di excel pengukuran parameter kimia perairan dalam penelitian ini menggunakan

metode contah gabungan tempat (intergreted sample) yaitu pengukuran yang

dilakukan pada tempat yang berbeda pada waktu yang sama. Adapun tehnik

pengukuran dan pengolahan data variable penelitian menggunakan rumus sebagai

berikut :

3.4.1. pH (Derajat Keasaman)

Pengukuran parameter Ph (derajat keasaman)menggunakan satuan Mg/L

dengan prosedur kerja:

1. Siapkan sampel yang akan di uji (air),

2. Ambil selembar kertas indikator pH dan kemudian celupkan kedalam

sampel (air) selama beberapa menit (kurang lebih 5 menit),

3. Amati perubahan warna yang terjadi pada kertas pH tersebut, kemudian

cocokkan dengan warna standar

4. Catat hasil yang diperoleh dari pengamatan tersebut.

3.4.2. Salinitas

Pengukuran parameter salinitas menggunakan satuan gram dengan

prosedur kerja:

1. Ambil 30 ml sampel air laut, lalu encerkan 10-50 kali,


2. tambahkan K2CrO4

3. titrasi dengan AgNo3 sampai tampak warna merah bata

3.4.3. Oksigen Terlarut (DO)

Pengukuran parameter Do (oksigen terlarut) menggunakan satuan gram

dengan prosedur kerja:

1. Tambahkan 1 ml MnSO4dan 1 ml reagen winkler kedalam sampel, lalu kocok

dengan cara menggoyang-goyangkan tabung dan amati hingga terjadi endapan,

2. Kemudian tambahkan 2 ml H2SO4 pekat, kemudian kocok dengan

menggoyang-goyangkan tabung hingga endapan larut,

3. Ambil 50 ml sampel tersebut diatas, kemudian titrasi dengan larutan Natrium

Tiosulfat 0,025 N sampai berwarna kuning muda pucat,

4. Ditambahkan indikator amilum (biru)

5. Titrasi kembali dengan larutan natrium tiosulfat, sampel yang tadinya berwarna

biru perlahan-lahan warna birunya hilang,

6. Catat berapa ml Natrium sulfat yang digunakan

3.4.4. Nitrat

Pengukuran parameter nitrat menggunakan satuan Mg/L dengan prosedur

kerja:

1. 5 gram sampel ditambahkan 50 ml amilum asetat dengan pH 4,8 kocok selama

30 menit kemudian disaring

2. 5 ml hasil ekstraksi dipipet kedalam tabung reaksi dan di tambahkan dengan 0,5

ml brucin dan kemudian ditambahkan dengan 5 ml H2SO4


3. kocok menggunakan pengocok tabung sampai homogen dan biarkan selama 30

menit

4. masukkan kedalam spektrofotometer dengan panjang gelombang 432 nm

5. amati hasil yang diperoleh

3.4.5. Fosfat

Pengukuran parameter fosfat menggunakan satuan Mg/L dengan prosedur kerja:

1. 5 gr sampel sedimen dimasukkan kedalam botol polyethylene ditambahkan 2

gr karbon aktif

2. Larutkan dengan 2 ml pengestrak olsen dan dikocok selama 30 menit lalu

disaring kedalam tabung reaksi.

3. 5 ml larutan jernih dari tabung reaksi di pipet dan ditambah 5 ml pereaksi

fosfat

4. Membuat larutan standar dengan kepekatan 0-10 ppm P2O5 dengan cara

memipet : 1,0 ; 2,0 ; 4,0 ; 8,0 ;10, 0 ml larutan standarP2O5 10 ppm

kemudian di encerkan dengan pengestrak olsean menjadi 2 ml

5. Sampel dan larutan standar masing-masing di tambahkan 5 ml pereaksi fosfat,

kemudian dikocok dan dibiarkan selama 30 menit.

6. Sampel kemudian di ukur dengan menggunakan spektrofotometer pada

panjang gelombang 693 nm.

3.5. Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif yaitu membandingkan

sumber rujukan parameter fisika yang optimum dengan penelitian. Metode


deskriptif adalah penelitian atau metode yang berusaha untuk menentukan

pemecahan masalah yang ada berdasarkan data-data. Jadi metode ini juga

menyajikan, menganalisis data dan menginterpretasikan data, untuk mendapatkan

kesimpulan dari hasil penelitian.

DAFTAR PUSTAKA

APHA, AWWA, WPCF. 1989. Standar Methods For The Examination Of


WaterAnd Waste Water. L. S. Clesceri., A.E Greenberg. R. R. Trussel (ed).
17 th Edition, Washington DC.

Bakosurtanal. 1996. Pengembangan Prototype Wilayah Pesisir dan Marin


Kupang-Nusa Tenggara Timur. Pusat Bina Aplikasi Inderaja dan System
Informasi Geografis, Cibinong

Barus, T, A. 2003. Pengantar Limnologi, Studi Tentang Ekosistem Sungai Dan


Danau. Jurusan Biologi, Fakultas MIPA USUS, Medan.

Barus, T, A. 2003. Pengantar Limnologi. Jurusan MIPA USUS. Medan

Bengen D, G. 2002. Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir. Pusat Kajian


Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Sinopsis. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Bengen D, G. 2004. Menuju Pengelolahan Wilayah Pesisir Terpadu Berbasis
Daerah Aliran Sungai (DAS), dalam interaksi daratan dan
lautanPengaruhnya terhadap sumberdaya dan lingkungan, Prosiding
symposium interaksi daratan dan lautan. Diedit oleh W. B Setyawan, Dkk.
Jakarta: Kedeputianilmu pengetahuan kebunian, Lembaga Ilmu
Pengembangan Indonesia

Beveridge, M. 1987. Cage Aquaculture. Fishing New Books Ltd, Farnhan Surrey

Blume, K. K., J. C. Macedo, A. Meneguzzi, L. B. Silva, D. M Quevedo, and M.


A. S Rodrigues. 2010. “Water Quality Assesment of the Sinos River,
Southern Brasil”. Journal Biologi. 70. 1185-1193

Boyd, C. E. 1983. Water quality in warm water fish pond. Auburnn University
Agricultura. Entertainment.Auburn

Brown, E. and F. Lichkoppler, 1980, Fish Farming Hand Book, AVI Publishing
Company INC, New York.

Chakroff, M. 1976. Freshwater Fis Pond Culture and Management. Publisher


Peace Corp Program Training, Londo. 169.

Dahuri, R., Rais. J., Gintin, S.P., Sitepu, M. J. 2004, Pengelolaan Sumber Daya
Wilayah Pesisir dan Lautan secara Terpadu. Pradnya Paramita. Jakarta. Hal
75-207
Dinas Kelautan Perikanan, 2004. Pedoman Umum Budidaya Udang di Tambak.
Direktorat Pembudidayaan, Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya Dinas
Kelautan dan Perikanan Kabupaten Jepara, Jepara

Effendi, H . 2003. Telah Kualitas Air bagi Pengelolaan Sumber Daya dan
Lingkungan Perairan. Cetakan Kelima. Yogjakarta: Kanisius

Erlina, antic. 2006. Kualitas Perairan di sekitar BBPBAP Jepra ditinjau dari
Aspek Produktivitas Primer sebagai Landasan Operasional Pengembangan
Budidaya Ikan Dan Udang. Tesis. Program Studi Magister Manajemen
Sumberdaya Pantai. Universitas Diponegoro. Semarang

Gufran, M., H. Kordi K., dan Andi Baso Tancung. 2007. Pengelolaan Kualitas
Air. Jakarta: Rineka Cipta.

Hardjojo B dan Djokosetiyanto. 2005. Pengukuran dan analisis Kualitas Air Edisi
Kesatu, Modul 1 – 6. Universitas Terbuka. Jakarta.

Haslinda. 1992. Laporan Praktikum Ekologi Perairan Pengukuran Kualitas Air


Faisalhrp.Blogspot. Com/ 2012
Hutabarat dan Evans, 1985 Pengantar Oseanografi. Penerbit Universitas Indonesia
. UI-Press

KLH. 2003. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 115 Tahun
2003 tentang Pedoman Penentuan Status Mutu Air.Kementrian Lingkungan
Hidup Republik Indonesia

Kordi, G. Dan Tancung, A, B. 2005. Pengelolaan Kualitas Air. Rineka Cipta.


Jakarta

Leonidas, Alexander Kangkan. 2006. Studi Penentuan Lokasi Untuk


Pengembangan Budidaya Laut Berdasarkan Parameter Fisika, Kimia dan
Biologi di teluk Kupang Nusa Tenggara Timur. Program Studi Magister
Manajemen Sumberdaya Pantai. Universitas Diponegoro Semarang.
Semarang

Narbuko, C. dan A. Achmadi. 2005. Metodologi Penelitian. Bumi Aksara. Jakarta.


Hal.44

Nugroho, S. P. 2008. “Analisis Kualitas Air Danau Kaskade Sebagai Sumber


Imbuhan Waduk Resapan di Kampus UI Depok”. Jurnal sains dan
Teknologi Indonesia. 10.99-105

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia N0. 82 Tahun 2001 Tentang


Pengelolaan Kualitas Air dan Pengadalian Pencemaran Air. Presiden
Republik Indonesia., Prinsip Pengelolaannya. Pusat Kajian Sumberdaya
Pesisir dan Lautan Institut pertanian Bogor (PKSPL-IPB).

Romimohtarto. K. S. Juwana 2001. Biologi Laut Ilmu Pengetahuan Tentang Biota


Indonesia. UI-Press.

Salmin. 2005, “Oksigen Terlarut (DO) dan Kebutuuhan Oksigen Biologi (BOD)
sebagai salah satu Indikator untuk menentukan Kualitas Perairan”. Jurnal
oseana, 30. 21-26

Sastrawijaya, A. T., 1991. Pencemaran Lingkungan. Rineka Cipta. Jakarta

Siahaan, R., A. Indawan, D. Soedharman, dan L. B Presetyo. 2011. “Kualitas Air


Sungai Cisadane, Jawa Barat Banten”. Jurnal Sumber Daya Air, 4.111-124

Simon, S. B. dan R. Hidayat. 2008. Pengendalian Pencemaran Sumber Air dengan


Ekoteknologi (Wetland Buatan)”. Jurnal ilmiah sains, II. 268-273

Siregar, A. S. Toni, P. S. Setijanto. 2001. Studi Ekologi Fauna Benthik


(Macrobrachidium) di sungai Banjaran, Pelus dan Logawa, Kabupaten
Banyumas. Biosfera vol. 18 No 1.
Siregar, Azrul. 2004. Materi Kuliah Limnologi, Jurusan Perikanan dan Kelautan
Universitas Jenderal Soedirman. Purwokerto.

Sutriati, A. 2011. “Penilaian Kualitas Air Sungai dan Potensi Pemanfaatanya


(Studi Kasus Sungai Cimanuk)”. Jurnal Sumber Daya Air,7.61-76

Tatangidatu, F., O Kalesaran dan R. Rompas. 2013.” Studi Parameter Fisika


Kimia Air pada Areal Budidaya perairan, 1.8-19.

Tulungen JJ. 2001. Program Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Terpadu dan


Berbasis Masyarakat: Telah Kasus di Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara.
Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu. Bogor (29
Oktober 3 November 2001)

Walhi. 2006. Krisis Outlook Lingkungan Hidup Indonesia. Jurnal Lingkungan


Hidup. Jakarta

Welch, P. 1952. Limnology. New York, Mc Graw-Hill Book,Co Inc

Winata, I. N. A., A. Siswoyo, dan T. Mulyono. 2000.” Perbandingan Kandungan


P an N Total Dalam Air Sungai di Lingkungan Perkebunan dan
Persawahan”. Jurnal Ilmu Dasar, 1.24-28

Pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan dan udang sangat dipengaruhi

oleh lingkungan. Lingkungan yang dapat mempengaruhi adalah suhu, salinitas,

pH, oksigen terlarut serta kandungan amonia dan nitrit. Salinitas (kadar garam)

merupakan salah satu sifat kualitas air yang penting, karena mempengaruhi

kecepatan pertumbuhan udang. Udang yang masih muda, berumur 1-2 bulan

memerlukan kadar garam 15-25 permil (air payau) agar pertumbuhannya optimal.

Bila kadar garam lebih tinggi, pertumbuhannya akan lambat. Namun bila umurnya

sudah lewat 2 bulan, relatif tetap baik pertumbuhannya pada kadar garam lebih

tinggi dari 25 ‰ sampai 30 atau 34 ‰. Pada kadar garam lebih tinggi dari 40 ‰

udang tidak tumbuh lagi. Salinitas yang baik untuk pemeliharaan udang adalah

15-25 permil (Suyanto dan Mujiman, 2003).


Selanjutnya Suyanto dan Mujiman (2003) menyatakan bahwa, udang

windu mampu hidup pada suhu 18-350C, tetapi suhu terbaik untuk udang adalah

28-300C. Bila suhu di bawah 180 C nafsu makan udang akan turun, dan bila

suhu di bawah 120 C atau diatas 400 C dapat menimbulkan kematian bagi udang.

Untuk menghindari fluktuasi suhu yang besar, maka dapat dilakukan dengan

meninggikan permukaan air, serta memasang pelindung. Kisaran normal pH air

untuk kehidupan udang adalah 7,5 – 8,5. Nilai ph air dapat menurun karena proses

respirasi dan pembusukan zat-zat organik. Nilai pH rendah tersebut dapat

menurunkan pH darah udang yang disebut proses acidosis yang menyebabkan

fungsi darah untuk mengangkut oksigen menurun sehingga udang sulit bernapas

(BPAP, 2004).

Buwono (2001) menyatakan bahwa tersedianya oksigen terlarut dalam air

sangat menentukan kehidupan udang. Rendahnya kadar oksigen dapat

berpengaruh terhadap fungsi biologis dan lambatnya pertumbuhan, bahkan dapat

mengakibatkan kematian. Fungsi oksigen ditambak selain untuk pernapasan

organisme juga untuk mengoksidasi bahan organik yang ada di dasar tambak.

Jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk pernapasan udang tergantung ukuran,

suhu dan tingkat aktivitas dan batas minimumnya adalah 3 ppm.

Kekeruhan air dapat terjadi karena plankton, suspensi , partikel tanah atau

humus. Kekeruhan karena suspensi koloid tanah /lumpur, lebih-lebih hidroksida

besi, sangat berbahaya bagi udang karena partikel tersebut dapat menempel pada

insang sehingga insang dapat rusak dan mengakibatkan terganggunya pernapasan

udang. Kekeruhan yang diharapkan di tambak adalah kekeruhan oleh kepadatan


plankton. Apabila jenis yang dominan campuran Chlorella (warna air jadi hijau)

dan Diatomae (warna air coklat) sehingga keseluruhan warna air menjadi coklat

muda atau coklat kehijauan akan sangat baik bagi udang. Kecerahan air identik

dengan kemampuan cahaya matahari untuk menembus air. Kecerahan air sangat

dipengaruhi oleh zat-zat terlarut dalam air. Makin besar kecerahan air, maka

penetrasi cahaya juga semakin tinggi sehingga lapisan air untuk berlangsungnya

proses fotosintesis (akibat kandungan oksigen yang tinggi) juga semakin dalam.

Kecerahan air yang baik untuk budidaya adalah 30-35 cm dengan angka minimal

20 cm (BPAP, 2004). Amonia berasal dari kotoran udang dan sisa pakan.

Sebagian besar pakan yang dimakan dirombak menjadi daging atau jaringan

tubuh, sedang sisanya dibuang berupa kotoran padat (faeces) dan terlarut

(amonia). Kadar amonia tinggi di dalam air secara langsung dapat mematikan

organisme perairan melalui pengaruhnya terhadap permeabilitas sel, mengurangi

konsentrasi ion tubuh, meningkatkan konsumsi oksigen dalam jaringan, merusak

insang dan mengurang kemampuan darah mengangkut oksigen. Menurut BPAP

(2004), kisaran optimal kadar amonia tak terionisasi (NH3-N) 0,05 – 0,1 mg/l.

Kadar nitrit secara tidak langsung dapat mempengaruhi kehidupan udang.

Toksisitas nitrit bervariasi menurut stadia larva udang windu dan menurun selama

udang mengalami pertumbuhan dari satu stadia ke stadia berikutnya serta berbeda

menurut spesies udang. Kisaran optimal kadar nitrit pada budidaya udang windu

adalah 0,01 – 0,05 ppm (BPAP, 2004).


Perairann di estuaria kurilompo yang berbagi menjadi stasiun-stasiun

dalam penelitian ini yaitu:

Stasiun 1. Daerah yang mewakili muara sungai

Stasiun 2. Daerah yang mewakili estuaria dekat dengan daerah pemukiman

Stasiun 3. Daerah yang mewakili pengamatan dibagi menjadi tiga substasiun

sehingga desain penelitian ini terdiri dari tiga kali ulangan. Pengukuran parameter

kualitas fisika air dilakukan sekali dalam seminggu dan disesuaikan dengan

prediksi pasang surut, waktu pengukuran yaitu mulai dari pagi hari sampai selesai.

Lama penelitian 5 minggu. Penentuan titik pengukuran parameter kualitas air pada

setiap stasiun disajikan pada Gambar 2.

Anda mungkin juga menyukai