Disusun oleh:
Harum Azizah Darojati (23014006)
Mata Kuliah:
Konversi Termal Biomassa (TK5209)
Dosen Pengampu:
Prof. Dr. Herri Susanto
2
A. Pendahuluan
Saat ini, listrik masih menjadi kebutuhan utama di dunia ini, termasuk di
Indonesia. Sumber energi listrik yang digunakan secara luas saat ini masih sangat
bergantung pada bahan bakar fosil. Kebutuhan bahan bakar minyak bumi didalam
negeri meningkat seiring dengan majunya pembangunan, bertambahnya jumlah industri
dan transportasi, kemajuan teknologi, dan berdirinya pembangkit listrik tenaga diesel
diberbagai daerah di Indonesia (Yunita, 2012). Suplai energi listrik saat ini tidak dapat
mengimbangi tingginya laju permintaan. Selain itu, kebergantungan terhadap bahan
bakar fosil sebagai penggerak mesin-mesin pembangkit listrik, memiliki beberapa
ancaman serius, yakni menipisnya cadangan minyak bumi yang diketahui (bila tanpa
temuan sumur minyak baru), ketidakstabilan harga dari produksi minyak, dan polusi gas
rumah kaca (terutama CO2) akibat pembakaran bahan bakar fosil. Sehingga diperlukan
sumber energi alternatif baru yang dapat diperbaruhi dan ramah lingkungan (Amalia
dkk, 2011).
Sumber energi alternatif baru ini diharapkan dapat mencukupi kebutuhan
energi Indonesia. Selain terjaga ketersediaanya, sumber energi ini harus tidak
mengganggu sektor lain, seperti sektor pangan, kerajinan, perkakas mebel serta
penggunaan lain yang lebih substansial dari menjadi sumber energi. Sehingga yang
harus diperhitungkan di sini adalah sumber energi setelah dikurangi penggunaan-
penggunaan lain tersebut.
3
energi ini nantinya akan memanfaatkan sumber daya energi terbarukan berbasis
biomassa. Biomassa yang akan digunakan adalah sampah dan tanaman.
Menurut BPPT (2014) pemanfaatan/kebutuhan tenaga listrik total di Indonesia
adalah 222 TWh (2015), dengan laju pertumbuhannya akan mencapai 8,3% per tahun,
akan menjadi 305 TWh (2019). Pada tahun 2012 kapasitas total pembangkit nasional di
wilayah Indonesia adalah sebesar 44,8 GW. Sekitar 73% diantaranya berada di wilayah
Jawa Bali, 18% di wilayah Sumatera, sisanya di wilayah Kalimantan, Sulawesi,
Maluku, NTB-NTT dan Papua. Total kebutuhan energi final pada periode 2015-2019
meningkat dari 1.219 juta BOE pada tahun 2015 menjadi 1.452 juta BOE pada tahun
2019 atau meningkat rata-rata sebesar 4,5% per tahun untuk skenario dasar (BPPT,
2014).
Dalam menganalisa potensi biomassa menjadi sumber energi alternatif ini,
diperhitungkan potensi biomassa yang muncul/timbul, terkumpul dan termanfaatkan.
Potensi yang dihitung adalah potensi biomassa tesebut di Indonesia, 5 provinsi dengan
produksi terbesar beserta 5 kabupaten di masing-masing provinsi tersebut. Biomassa
yang muncul tentunya tidak 100% dapat dikumpulkan. Beberapa biomassa
bersinggungan dengan sektor pangan dan pemanfaatan lain, selain itu, juga dapat terjadi
kehilangan pada saat transportasi, mengangkut biomassa tersebut ke tempat pengolahan.
Setelah biomassa terkumpul, masih terdapat kehilangan pada pemanfaatannya, karena
faktor lingkungan yang tidak dapat sepenuhnya dijaga konstan.
Konversi biomassa menjadi energi kemudian dihitung dari data jumlah yang
timbul, terkumpul dan termanfaatkan dan data nilai kalor/panas/pembakaran) atau HV
(Heating Value). HV adalah jumlah panas yang dikeluarkan oleh 1kg bahan bakar bila
bahan bakar tersebut dibakar. Yang digunakan di sini adalah nilai LHV [MJ/kg],
dimana di dalam hasil pembakaran hanya terdapat H2O berbentuk gas.
Nilai tersebut dikalkulasikan dengan efisiensi pembakaran, persentase limbah yang
dihasilkan dan produksi biomassa yang dihasilkan. Kemudian untuk memprediksi
energi listrik yang dihasilkan, hasil perhitungan dikonversi menjadi MWh, dimana 1MJ
setara dengan 0,000277778 MWh (Smith Van Ness Abbott, 2005). Hasil perhitungan
juga dikonversi ke BOE (Barrel of Oil Equivalent), dengan faktor konversi
0,000170604 BOE/MJ.
4
1. Tempurung Kelapa
Salah satu sumber daya alam yang dapat digunakan sebagai sumber energi
alternatif adalah tumbuhan kelapa (Cocos nucifera). Tumbuhan kelapa merupakan jenis
tumbuhan yang termasuk suku pinang-pinangan (Arecaceae) dan anggota tunggal dalam
marga Cocos. Tumbuhan kelapa banyak tumbuh di daerah pantai dan daratan rendah
khususnya Indonesia. Semua bagian pohon kelapa dapat dimanfaatkan, mulai dari
bunga, batang, pelepah, daun, buah, bahkan akarnya. Akar kelapa merupakan akar
serabut, tebal dan berbentuk bonggol. Buah kelapa berwarna hijau, dan semakin tua
akan semakin menguning, hingga berwarna jingga sampai coklat (Yunita, 2014).
Lahan perkebunan kelapa di Indonesia sangat luas, mencapai 3,8 juta ha (BPS,
2013). Daerah sentra produksi kelapa di Indonesia adalah Propinsi Riau, Jawa Tengah,
Jawa Timur, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Tengah (Kementrian Pertanian Republik
Indonesia, 2015).
Tabel 1 Luas Perkebunan Kelapa dari Beberapa Propinsi di Indonesia (BKPM, 2013)
Dalam setahun Indonesia dapat menghasilkan sekitar 3,1 juta ton kelapa (BPS,
2013). Menurut Badan Litbang Pertanian Indonesia, produksi buah kelapa rata-rata 15,5
milyar butir per tahun, total bahan ikutan yang dapat diperoleh 3,75 juta ton air, 0,75
juta ton tempurung, 1,8 juta ton serat sabut, dan 3,3 juta ton debu sabut. Sebagian besar
produksi kelapa di Indonesia yakni sekitar 65 persen dipakai untuk memenuhi
kebutuhan domestik, sisanya diekspor dalam bentuk kelapa butir dan olahan
(Indonesian Commercial Newsletter, 2011).
5
Produksi Kelapa Per Tahun (BPS)
500.00
450.00
Produksi (Ribu Ton)
400.00
350.00
300.00
250.00
200.00
150.00
100.00
50.00 2012
0.00
2013
BALI
DKI JAKARTA
SULAWESI UTARA
PAPUA BARAT
SUMATERA BARAT
JAMBI
GORONTALO
JAWA TENGAH
KALIMANTAN TIMUR
MALUKU
JAWA TIMUR
SULAWESI SELATAN
ACEH
BENGKULU
KEP. BANGKA BELITUNG
KALIMANTAN TENGAH
2014
Provinsi
6
permintaan di dalam negeri, arang juga dapat memenuhi permintaan luar negeri
(Ignatius dkk, 2013).
Arang tempurung kelapa adalah produk yang diperoleh dari pembakaran tidak
sempurna terhadap tempurung kelapa. Sebagai bahan bakar, arang lebih
menguntungkan dibanding kayu bakar. Arang memberikan kalor pembakaran yang
lebih tinggi, dan asap yang lebih sedikit. Arang dapat ditumbuk, kemudian dikempa
menjadi briket dalam berbagai macambentuk. Briket lebih praktis penggunaannya
dibanding kayu bakar. Arang dapat diolah lebih lanjut menjadi arang aktif, dan sebagai
bahan pengisi dan pewarna pada industri karet dan plastik (Oni, 2002).
Pembakaran tidak sempurna pada tempurung kelapa menyebabkan senyawa
karbon kompleks tidak teroksidasi menjadi karbon dioksida. Peristiwa tersebut disebut
sebagai pirolisis. Pada saat pirolisis, energi panas mendorong terjadinya oksidasi
sehingga molekul karbon yang komplek terurai sebagian besar menjadi karbon atau
arang. Pirolisis untuk pembentukan arang terjadi pada suhu 150~3000C. Pembentukan
arang tersebut disebut sebagai pirolisis primer. Arang dapat mengalami perubahan lebih
lanjut menjadi karbon monoksida, gas hidrogen dan gas-gas hidrokarbon. Peristiwa ini
disebut sebagai pirolisis sekunder (Oni, 2002).
Tempurung kelapa yang dijadikan arang haruslah tempurung yang bersih dan
berasal dari kelapa yang tua, bahan harus kering agar proses pembakarannya
berlangsung lebih cepat dan tidak menghasilkan banyak asap. Arang tempurung kelapa
adalah produk yang diperoleh dari pembakaran tidak sempurna terhadap tempurung
kelapa. Arang lebih menguntungkan daripada kayu bakar. Arang memberikan kalor
pembakaran yang lebih tinggi dan asap yang lebih sedikit (Arni dkk, 2014).
7
Gambar 2 Alat Pembakaran Tempurung Kelapa Tipe Drum Rustan (2011)
Alat pembakaran tempurung kelapa tipe drum terbuat dari bahan plat besi,
merupakan drum bekas tempat minyak oli dengan tinggi 90 cm dan diameter 60 cm.
Pada bagian atas alat dibuat lubang pembuangan asap berupa cerobong dari bahan pipa
seng dengan ukuran tinggi 30 cm dan diameter 10 cm. Bagian atas cerobong dilengkapi
dengan penutup yang dapat dibuka dan ditutup. Di sekeliling dinding drum tempat
pembakaran dibuat beberapa lubang berdiameter 13 cm yang dapat dibuka dan ditutup
sebagai pengatur suplai udara pada saat pembakaran. Jumlah lubang udara sebanyak
lima baris dengan jarak antarbaris 18 cm dan tiap baris terdiri atas empat lubang dengan
jarak antarlubang 45 cm. Kapasitas alat adalah 90-112 kg tempurung dan usia ekonomis
alat 12-18 bulan (Rustan, 2011).
Metode pembuatan arang tempurung kelapa dengan cara suplai udara
terkendali adalah sebagai berikut (Rustan, 2011):
1) Tempurung kelapa sebanyak 7,5 kg dimasukkan ke dalam drum tempat
pembakaran yang telah tersedia hingga mencapai 1/4 bagian drum.
2) Lubang pengendali udara pada drum tempat pembakaran ditutup rapat, kecuali
lubang pada baris paling bawah yang dibiarkan terbuka.
8
3) Dilakukan pembakaran pertama dengan menyalakan sabut kelapa yang
dicelupkan ke dalam minyak tanah sebagai umpan.
4) Setelah api menyala dengan sempurna, ditambahkan tempurung ke dalam drum
secara perlahan-lahan agar api tidak padam hingga drum penuh (sekitar 32 kg).
5) Penutup drum lalu dipasang, tetapi cerobong asap pada bagian atas drum
dibiarkan terbuka.
6) Asap yang keluar dari cerobong diperhatikan; jika asap yang keluar cukup
banyak berarti proses pembakaran berjalan sempurna.
7) Penutupan harus betul-betul rapat dan dipastikan tidak bocor sehingga di dalam
drum menjadi hampa udara. Untuk menjamin tidak ada kebocoran, semua
penutup lubang kendali udara dan lubang cerobong asap ditambal dengan tanah
liat.
8) Karena di dalam drum hampa udara, api yang ada di dalam drum akan padam
dengan sendirinya (sekitar 1,5 jam setelah ditutup).
9) Penutup drum bagian atas dapat dibuka setelah suhu cukup dingin. Hasil
pembakaran berupa arang tempurung lalu dikeluarkan agar menjadi dingin.
Arang tempurung yang telah dingin dapat dikemas sesuai keperluan.
Menurut penelitian Rustan (2011), tempurung kelapa dapat menghasilkan
31,58% arang tempurung kelapa. Namun, pada pembakaran yang biasa dilakukan
masyarakat, proses pembakaran berlangsung menyeluruh dan terus-menerus tidak
terkendali, sehingga sehingga tempurung yang terbakar lebih dahulu dan sudah menjadi
arang, akan terus terbakar mengikuti tempurung yang belum terbakar. Akibatnya,
banyak tempurung yang menjadi abu dan sebagian lainnya belum terbakar sehingga
rendemen arang hasil pembakaran rendah, yaitu 22,5% (Rustan, 2011).
Perhitungan potensi tempurung kelapa sebagai sumber energi disajikan pada
tabel 2 berikut. Data diambil dari situs BKPM (2013). Bobot tempurung mencapai 12%
dari bobot buah kelapa (Ignatius dkk, 2013). Asumsi tempurung kelapa yang terkumpul
adalah 60%, karena kehilangan saat pengangkutan dan sebagian sudah dimanfaatkan
oleh sektor kerajinan dan mebel. Sedangkan biomassa yang termanfaatkan diasumsikan
75% dari yang terkumpul, susut yang mungkin terjadi pada pengonversian biomassa
menjadi energi.
9
Tabel 2 Potensi Tempurung Kelapa sebagai Sumber Energi di Indonesia
10
Minahasa
Tenggara 38.244 49.729.438 13.814 8.484 29.837.663 8.288 5.090 22.378.247 6.216 3.818
Kep. Sangihe 19.655 25.557.790 7.099 4.360 15.334.674 4.260 2.616 11.501.005 3.195 1.962
Talaud 18.394 23.918.086 6.644 4.081 14.350.852 3.986 2.448 10.763.139 2.990 1.836
Sulawesi Tengah 189.572 246.504.263 68.473 42.055 147.902.558 41.084 25.233 110.926.918 30.813 18.925
Banggai 46.733 60.767.855 16.880 10.367 36.460.713 10.128 6.220 27.345.535 7.596 4.665
Banggai
Kepulauan 17.100 22.235.472 6.177 3.793 13.341.283 3.706 2.276 10.005.962 2.779 1.707
Donggala 28.721 37.346.491 10.374 6.371 22.407.894 6.224 3.823 16.805.921 4.668 2.867
Parigimoutong 39.121 50.869.819 14.131 8.679 30.521.891 8.478 5.207 22.891.418 6.359 3.905
Tojounauna 27.024 35.139.848 9.761 5.995 21.083.909 5.857 3.597 15.812.931 4.392 2.698
11
2. Sengon
12
merupakan alternatif sumber energi juga mempunyai keuntungan-keuntungan antara
lain menjauhkan ketergantungan pada sumber bahan bakar minyak yang terbatas dalam
penyediaannya; memecahkan masalah pencemaran lingkungan oleh limbah kayu;
pengoperasian pembangkit tidak menimbulkan polusi udara; limbah kayu banyak
terdapat pada Industri Perkayuan yang letaknya pada daerah terpencil, maka pusat
pembangkit tenaga listrik lebih efisien didirikan dikawasan Industri tersebut guna
mensuplai tenaga listrik setempat, karena itu tidak diperlukan saluran transmisi yang
panjang (Pradono, 1983).
Perhitungan potensi sengon sebagai sumber energi disajikan pada tabel 4
berikut. Data diambil dari situs BPS (2013). Yang dimanfaatkan sebagai sumber energi
adalah semua bagian kayu sengon untuk kayu bakar, sedangkan daun dimanfaatkan
sebagai pakan ternak. Asumsi sengon yang terkumpul adalah 95%, susut karena
kehilangan saat pengangkutan. Sedangkan biomassa yang termanfaatkan diasumsikan
75% dari yang terkumpul, susut yang mungkin terjadi pada pengonversian biomassa
menjadi energi.
13
Tabel 4 Potensi Tempurung Kelapa sebagai Sumber Energi di Indonesia
14
Kota Serang 25.345 158.251.278 43.959 26.998 150.338.714 41.761 25.648 112.754.035 31.321 19.236
Tangerang 8.623 53.839.530 14.955 9.185 51.147.554 14.208 8.726 38.360.665 10.656 6.544
Lampung 184.074 1.149.355.873 319.266 196.085 1.091.888.079 303.302 186.281 818.916.059 227.477 139.711
Lampung Selatan 49.003 305.972.557 84.992 52.200 290.673.929 80.743 49.590 218.005.447 60.557 37.193
Tanggamus 45.459 283.847.164 78.846 48.426 269.654.806 74.904 46.004 202.241.104 56.178 34.503
Lampung Timur 16.851 105.218.564 29.227 17.951 99.957.636 27.766 17.053 74.968.227 20.825 12.790
Lampung Utara 14.521 90.667.830 25.186 15.468 86.134.438 23.926 14.695 64.600.829 17.945 11.021
Lampung Barat 13.549 84.602.116 23.501 14.433 80.372.010 22.326 13.712 60.279.007 16.744 10.284
15
3. Kulit Batang Sagu
Sagu (Metroxylon sagu) merupakan salah satu tanaman tertua yang
dibudidayakan oleh masyarakat di Asia Tenggara. Potensi sagu di Indonesia dari sisi
luasnya sangat besar, sekitar 60% areal sagu dunia ada di Indonesia. Sagu adalah salah
satu sumber pangan utama bagi sebagian masyarakat di beberapa bagian negara di
dunia. Tanaman sagu memiliki khas tersendiri dimana bagian empulur dimanfaatkan
sebagai bahan pangan, bagian kulit batang tebal dan baik dibuat lantai rumah,
sedangkan daunnya dipakai sebagai atap rumah (Novarianto, 2013).
Lahan perkebunan sagu di Indonesia mencapai 16.966,052 ha (BPS, 2013).
Daerah potensial penghasil sagu di Indonesia meliputi Riau, Sulawesi Selatan, Sulawesi
Tenggara, Sulawesi Utara, Maluku dan Papua (Anuar, 2014).
Tabel 5 Luas Perkebunan Sagu dari Beberapa Propinsi di Indonesia (BPS, 2013)
16
cukup rendah yaitu sebesar 15,25%, sehingga tidak perlu perlakuan tambahan untuk
dapat digunakan sebagai bahan bakar yang diumpankan ke gasifier dengan spesifikasi
biomassa berkadar air 15 % (Dinas Pertambangan dan Energi, 2012).
Perhitungan potensi kulit batang sagu sebagai sumber energi disajikan pada
tabel 6 berikut. Data diambil dari situs BPS (2013). Yang dimanfaatkan sebagai sumber
energi adalah semua kulit batang kayu sagu untuk kayu bakar, sedangkan empulur
dimanfaatkan sebagai bahan pangan. Setiap batang sagu menghasilkan limbah Kulit
batang sagu sebesar 25% (Anuar, 2014). Asumsi kulit batang sagu yang terkumpul
adalah 90%, susut karena kehilangan saat pengangkutan dan sebagian dimanfaatkan
masyarakat sebagai lantai rumah tradisional. Sedangkan biomassa yang termanfaatkan
diasumsikan 75% dari yang terkumpul, susut yang mungkin terjadi pada pengonversian
biomassa menjadi energi.
17
Tabel 6 Potensi Kulit Batang Sagu sebagai Sumber Energi di Indonesia
18
Karimun 10.519 17.947.741 4.985 3.062 16.152.967 4.487 2.756 12.114.725 3.365 2.067
Natuna 82 139.708 39 24 125.737 35 21 94.303 26 16
Kota Batam 5 8.531 2 1 7.678 2 1 5.759 2 1
Bintan 0 427 0 0 384 0 0 288 0 0
Sumatera Barat 20.330 34.688.847 9.636 5.918 31.219.963 8.672 5.326 23.414.972 6.504 3.995
Kepulauan
Mentawai 16.598 28.320.547 7.867 4.832 25.488.492 7.080 4.348 19.116.369 5.310 3.261
Kota Padang 2.923 4.987.672 1.385 851 4.488.904 1.247 766 3.366.678 935 574
Padang Pariaman 466 795.339 221 136 715.805 199 122 536.854 149 92
Pesisir Selatan 142 243.098 68 41 218.788 61 37 164.091 46 28
Pasaman Barat 95 162.328 45 28 146.096 41 25 109.572 30 19
19
C. Kesimpulan
Hasil perhitungan potensi biomassa sebagai sumber energi alternatif di
Indonesia disajikan pada tabel 7.
Tabel 7 Perbandingan Potensi Biomassa sebagai Sumber Energi di Indonesia
Dari ketiga biomassa tersebut, energi yang paling tinggi dihasilkan oleh kebun
energi sengon. Hal ini karena tempurung kelapa yang sudah banyak dimanfaatkan untuk
kerajinan dan mebel. Sedangkan sagu, produksi dan lahan perkebunannya belum banyak
di Indonesia, masih perlu dikembangkan.. Energi yang dihasilkan ketiganya, bila
dijumlahkan sekalipun, masih belum dapat mencukupi kebutuhan tenaga listrik total di
Indonesia yaitu 222 TWh (BPPT, 2014). Juga masih sangat jauh dari total kebutuhan
energi yaitu 1.219 juta BOE (BPPT, 2014). Namun, potensi biomassa tersebut masih
dapat ditingkatkan. Lahan potensial pemerintah masih banyak yang belum dimanfaatkan
secara maksimal, tersebar di lima pulau di Indonesia (BUMN, 2013). Lahan potensial
tersebut dapat digunakan sebagai kebun energi sengon. Sengon mempunyai keunggulan
karena pohon sengon mudah beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang bervariasi,
sehingga sangat berpotensi untuk dikembangkan lebih lanjut sebagai kebun energi yang
menghasilkan sumber energi alternatif. Selain sengon, masih banyak biomassa lain yang
dapat dikembangkan sebagai sumber energi. Apabila pemerintah bersama masyarakat
dapat mengembangkannya dengan baik, biomassa mampu menjadi sumber energi
alternatif terbarukan yang terjaga keberlangsungannya.
20
Daftar Pustaka
A.A. Karim, A. Pei-Lang Tie, D.M.A. Manan, dan I.S.M. Zaidul. (2008). Starch from
the Sago (Metroxylon sagu) Palm Tree—Properties, Prospects, and Challenges as a
New Industrial Source for Food and Other Uses. Vol. 7, Comprehensive Reviews In
Food Science And Food Safety, Institute of Food Technologists.
Amalia Hasanah Nur Ahlina, Ashadi Nur Hidayat dan Elyas Nur Fridayana. (2011).
Potensi Limbah Air Kelapa Sebagai Sumber Energi Listrik Alternatif Pengganti
Baterai, Dinas Pendidikan Pemerintah Kabupaten Boyolali.
Anuar, Khaidir, Delita Zul, dan Fitmawati. (2014). Potensi Limbah Sagu (Metroxylon
Sp.) Di Kecamatan Tebing Tinggi Barat Kabupaten Kepulauan Meranti Sebagai
Substrat Penghasil Biogas, Jurusan Biologi Fakultas Matematika Dan Ilmu
Pengetahuan Alam Kampus Binawidya Pekanbaru.
Arni, Hosiana MD Labania, dan Anis Nismayanti. (2014). Studi Uji Karakteristik Fisis
Briket Bioarang Sebagai Sumber Energi Alternatif. Jurusan Fisika FMIPA Universitas
Tadulako.
BUMN (Badan Usaha Milik Negara), 2013, diakses pada 8 September 2015,
http://www.antaranews.com/print/285970/aset-belum-termanfaatkan-dahlan-iskan-
panggil-tujuh-bumn
BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal) Indonesia, diakses 27 Agustus 2015,
http://regionalinvestment.bkpm.go.id/newsipid/commodityarea.php
BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi), Outlook Energi Indonesia 2014,
diakses pada 6 September 2015, http://repositori.bppt.go.id/index.php
Chin, K.L, P.S.H’ng, E.W. Chai, B.T. Tey, M.J. Chin, M.T. Paridah, A.C. Luqman, dan
M. Maminski. (2013). Fuel Characteristic of Solid Biofuel Derived from Oil Palm
Biomass and Fast Growing Timber Species in Malaysia, Springer Science Bussiness
Media.
Daniel De Idral, Marniati Salim, dan Elida Mardiah. (2012). Pembuatan Bioetanol Dari
Ampas Sagu Dengan Proses Hidrolisis Asam Dan Menggunakan Saccharomyces
Cerevisiae, Laboratorium Bioteknologi Jurusan Kimia FMIPA, Universitas Andalas.
21
Dedial Eka Putra dan Rahmi Karolina. (2013). Pengaruh Subtitusi Tempurung Kelapa
(Endocarp) Pada Campuran Beton Sebagai Material Serat Peredam Suara,
Departemen Teknik Sipil, Universitas Sumatera Utara.
Dharmawan, Agus Ir. (2009). Kayu Sengon Ivestasi Masa Depan, Dinas Kelautan
Perikanan Peternakan dan Pertanian Kota Cirebon.
Dinas Pertambangan dan Energi, 2012, diakses pada 6 September 2015,
http://www.distamben-meranti.org/berita-137-pembangkit-listrik-tenaga-gasifikasi-
biomassa.html
Indonesian Commercial Newsletter, (2011), Perkebunan Kelapa: Potensi Yang Belum
Optimal, http://www.datacon.co.id/Sawit-2011Kelapa.html
Ignatius Gunawan Widodo, Sutriyatna ,Eko Widagdo. (2010). Upaya Penerapan
Teknologi Pengolahan Arang Tempurung Kelapa Untuk Meningkatkan Nilai Tambah
Petani Di Kecamatan Sei Raya Kabupaten Bengkayang, Jurnal Ilmu Pengetahuan dan
Rekayasa, Jurusan Teknik Mesin Politeknik Negeri Pontianak.
Hardiatmi, JM. Sri. Investasi Tanaman Kayu Sengon Dalam Wanatani Cukup
Menjanjikan, Jurnal Inovasi Pertanian Vol.9, No. 2, September 2010 (17 - 21 ) 17
Kementrian Pertanian Republik Indonesia, diakses tanggal 7 September 2015
http://www.litbang.pertanian.go.id/special/komoditas/b4kelapa
Kementerian Negara Badan Usaha Milik Negara,2013, diakses pada 6 September 2015
https://www.google.co.id/webhp?sourceid=chrome-instant&ion=1&espv=2&ie=UTF-
8#
Mufrizal. (2012). Pembangkit Listrik Tenaga Gasifikasi Biomassa, Pemerintah
Kabupaten Kepulauan Meranti Dinas Pertambangan dan Energi.
Novarianto, Hengky. (2013). Sumber Daya Genetik Sagu Mendukung Pengembangan
Sagu Di Indonesia, Balai Penelitian Tanaman Palma Manado.
Oni Ekalinda, Ir. (2002). Teknologi Pembuatan Arang Tempurung Kelapa, Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Riau.
Pradono, Dewantoro. (1983). Studi Pemanfaatan Limbah Kayu Sebagai Bahan Bakar
Pembangkit Listrik Tenaga Uap 2,5 Mw, Fakultas Teknik Elektro Institut Teknologi 10
Nopember, Surabaya.
22
Rao, K.S. dan A. Sampathrajan. (2001). Chemical Characterization of Selected Dryland
Woody Biomass Tree Species for Energy, Indian Journal of Dryland Agricultural
Research and Development.
Rustan Hadi (2011). Sosialisasi Teknik Pembuatan Arang Tempurung Kelapa dengan
Pembakaran Sistem Suplai Udara Terkendali, Teknisi Litkayasa Pelaksana Lanjutan
pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi.
Yunita Selonika. (2014). Pemanfaatan Tanaman Kelapa Sebagai Sumber Energi
Alternatif, Program Studi Teknik Kimia Universitas Riau.
23