Anda di halaman 1dari 14

x

Siapa Sosok AF yang Dituduh Polisi Pasok Senpi untuk 22 Mei?

Yuk Baca

Jelajah (current)

Indepth

Mild Report

Current Issue

Home Humaniora

Klarifikasi Soal Gaj Ahmada dan Klaim Kesultanan Majapahit

Patung Gajah Mada. FOTO/ Istimewa

Patung Gajah Mada. FOTO/ Istimewa

Oleh: Zen RS - 18 Juni 2017

Dibaca Normal 6 menit

Tim peneliti dan penulis bukunya tidak pernah menyebut Gadjah Mada sebagai Gaj Ahmada.

tirto.id - Beberapa hari terakhir ini warganet “geger” meributkan wacana Majapahit adalah Kesultanan
Islam. Lebih ribut lagi, ada informasi (lantas menjadi viral) yang menyebutkan Maha Patih Gadjah Mada
adalah seorang muslim dan bernama asli Gaj Ahmada.

Banyak yang membantah informasi tersebut. Tidak sedikit yang menilainya sebagai hasil otak-atik gathuk
(asal nyambung), dan tidak sedikit yang menertawakan.

Pada 2010 lalu, wacana Kesultanan Majapahit sebenarnya sudah muncul. Buku pertama pencetus
wacana ini berjudul Kesultanan Majapahit: Fakta Sejarah yang Tersembunyi. Penerbitnya, Lembaga
Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kota Yogyakarta. Lembaga
ini mencetak buku itu cuma 1.000 eksemplar.

Penulis buku itu, Herman Sinung Janutama, adalah penggiat kajian budaya Jawa, yang tercatat pernah
studi di jurusan fisika UGM. Untuk keperluan penyusunan buku, Pengurus Daerah Muhammadiyah
(PDM) Kota Yogyakarta membentuk kelompok pengkaji bernama “Tim Kajian Kesultanan Majapahit”,
beranggotakan 29 orang. Mereka mengklaim bekerja selama tiga tahun sejak 2006. Di tim itu ada dua
orang yang dipercaya mahir memahami naskah-naskah Jawa kuno, yakni Herman dan Imam Qalyubi.

Klarifikasi Tim Kajian Kesultanan Majapahit

Saat ditemui Tirto, Ketua Tim Kajian Kesultanan Majapahit, Ryanto Tri Nugroho, akrab disapa Rinto,
menanggapi enteng cibiran di media sosial terhadap teori Majapahit Islam. Dia mengklaim timnya punya
dasar kuat meski metode riset dan kesimpulannya berkebalikan dengan studi sejarah dan antropologi
mainstream.

“Kami hanya ingin membuka kembali wacana yang dulu diyakini banyak orang-orang sepuh. Nanti kami
akan jelaskan bertahap, tidak perlu emosi menanggapi bantahan itu,” kata Rinto kepada Tirto di Kantor
Pengurus Daerah Muhammadiyah Kota Yogyakarta pada Sabtu (17/6).

Wakil Ketua Pengurus Harian PDM Kota Yogyakarta itu hanya mengklarifikasi, “Kami sebut Gadjah Mada
muslim. Tapi, kami tak menyebut Gadjah Mada bernama Gaj Ahmada, itu informasi salah.”

Rinto sudah menduga mayoritas orang akan menolak kesimpulan kajian timnya. Pasalnya, kajian itu
sengaja berniat membantah teori sejarah tentang Majapahit yang sudah mapan di kalangan akademikus,
yakni bahwa Wilwatikta ialah kerajaan Hindu-Budha. Makanya, banyak bukti, yang dianggap tak relevan,
oleh para sejarawan dan antropolog, justru jadi sumber primer bagi mereka. Misalnya, cerita lisan dan
daftar silsilah raja Jawa seperti yang dimiliki Kasunanan Surakarta.

“Kalau cara pandangnya sudah beda, tidak mungkin ketemu. Kami pernah memaparkan kajian ini ke para
akademisi senior UGM, mereka setuju ada masyarakat muslim di Jawa sejak awal Majapahit berdiri, tapi
tetap saja menolak Majapahit adalah kerajaan Islam,” kata Rinto.

Menurut Rinto, kajian itu didasari anggapan bahwa ada pembalikan sejarah masa lalu Nusantara oleh
peneliti kolonial.
“Sama seperti saat Orde Baru, tak ada yang berani menyebut peran HB IX lebih besar dari Soeharto di
serangan Oemoem 1 Maret, baru-baru ini saja disebut,” ujarnya. Dia melanjutkan, “Sedangkan kami
sering mendengar dalang-dalang sepuh bilang Majapahit itu kerajaan Islam.”

Berangkat dari keyakinan itu, mereka mempelajari dokumen silsilah para raja jawa dan banyak cerita
lisan. Daftar silsilah milik sejumlah keraton di Jawa menerangkan semua raja Jawa, setelah agama Islam
muncul, merupakan muslim. Mereka lalu mencari bukti penguat dengan berkunjung ke makam-makam
keramat di Mojokerto dan Gresik, petilasan keraton Majapahit di Trowulan dan sejumlah museum.

Rinto mencontohkan, di kompleks pemakaman Maulana Malik Ibrahim di Gresik, timnya menemukan
ada gambar lambang Surya Majapahit bertuliskan lafaz Arab berbunyi “Shifat, Asma, Ma’rifat, Adam,
Muhammad, Allah, Tauhid dan Dzat”. Sedangkan di museum Trowulan, mereka melihat benda purbakala
kepeng emas bertuliskan “La Ilaha Illallah Muhammad Rasulullah”.

“Penjaga museum bilang tulisan di kepeng itu huruf Cina, menurut kami itu jelas 'La Ilaha Illallah',” kata
Rinto.

Di pemakaman Maulana Malik Ibrahim, menurut Rinto, juga ada batu bertuliskan huruf Arab yang
menerangkan bahwa tokoh itu jadi “tempat rujukan para raja dan hakim kerajaan” serta meninggal pada
1419 M. “Ia (Malik Ibrahim) wafat 1419 M, berarti pernah hidup di masa Hayam Wuruk (1350–1389),”
katanya.

Dari hasil penelusuran di makam keramat, museum, benda arkeologi, dan naskah kuno, dengan basis
informasi cerita lisan serta daftar silsilah raja jawa, mereka menyimpulkan Majapahit kerajaan Islam.
Rinto meyakini Raden Wijaya, pendiri Majapahit, adalah muslim. Bahkan, Raja Kediri Jayabaya, yang
tersohor dengan ramalannya, juga muslim.

“Di Gresik, ada makam muslimah Fatimah binti Maimun yang meninggal 1082 Masehi. Tak mungkin
mereka datang dan tidur saja di Gresik, pasti mereka berdakwah,” kata Rinto.
Dia menambahkan, “Jakob Soemardjo (arkeolog, ahli filsafat Jawa) pernah meragukan Tarumanagara
adalah Hindu sebab Raja Purnawarman (395-434 Masehi) setiap tahun menyembelih 1.000 sapi untuk
ritual. Ini juga kami pakai jadi referensi, Tarumanagara sudah menganut ajaran agama Ibrahim (sebelum
Muhammad).”

Kritik Metodologi Berdasar Keyakinan Tradisi

Herman Sinung Janutama, penulis buku itu, mengklaim kesimpulan Majapahit adalah kerajaan Islam
berangkat dari keyakinan terhadap tradisi di Jawa. Kebanyakan memang cerita lisan dan ada rujukan ke
manuskrip. Tapi, bagi dia, riset hanya untuk membuat pengetahuan sejarah di tradisi Jawa jadi sistematis
dan punya catatan pelengkap.

“Bagi orang Jawa yang masih menjalankan tradisi, Majapahit tidak pernah bukan Islam. Kami tak perlu
pembuktian. Kami tak berangkat dari perdebatan teori.” Herman menambahkan, “Makanya, riset kami
pakai kritik metodologi (ke studi sejarah mainstream).”

Dalam praktiknya, kritik metodologi itu, dia mencontohkan, dilakukan dengan merambah manuskrip
yang jarang jadi referensi kajian sejarah mainstream soal Majapahit. Misalnya, Babad Majapahit,
sebanyak empat jilid, dengan jumlah halaman 4.000-an, Babad Menak, Serat Menak, Damarwulan
Ngenger, dan lainnya.

Kata Herman, “Naskah masih ada di Museum Sonobudoyo. Isinya menyimpulkan baik Majapahit maupun
Singasari adalah kerajaan Islam. Cerita-cerita di dalamnya selama ini hidup di bawah sadar orang Jawa
(cerita lisan dan tradisi).”

Herman mengikuti pendapat Petrus Josephus Zoetmulder soal pentingnya riset manuskrip kuno sebagai
sumber utama pengetahuan mengenai Jawa. Ia menuding para peneliti Majapahit terpengaruh
pendapat C.C. Berg yang mengesampingkan studi manuskrip sehingga, “Kesimpulan studi soal Majapahit
jadi selalu spekulatif.”

Zoetmulder adalah paderi Jesuit yang mumpuni dalam studi sastra Jawa kuna. Dua karya utamanya,
Panteisme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa serta Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang,
telah menjadi klasik. Khusus Kalangwan, menariknya, juga membicarakan beberapa naskah era
Majapahit termasuk Negarakrtagama—sesuatu yang disepakati dan dikehendaki Herman—tetapi lagi-
lagi menegaskan keberadaan Majapahit sebagai kerajaan, bukan kesultanan.
Berkebalikan dengan pendapat Herman, C.C. Berg adalah filolog Belanda yang sama sekali tidak pernah
mengesampingkan studi terhadap manuskrip kuno. Pembacaan Tirto menemukan, Berg justru banyak
membaca naskah-naskah kuno dan menjadikannya bahan tulisan-tulisannya. Ia, misalnya, membaca
dengan teliti naskah Pararaton dan dari sanalah ia percaya ada kesinambungan tradisi literer antara
sastra Jawa era Hindu-Budha dengan era Islam.

Kecurigaan bahwa sarjana Barat enggan peduli dengan tradisi babad, karena memeluk ideologi
positivistik dalam historiografi, sebenarnya kecurigaan yang berlebihan. Tidak sedikit sarjana Barat yang
memandang positif naskah-naskah babad sebagai sumber sejarah. De Graaf, hingga yang mutakhir
seperti Merle Ricklefs, adalah sedikit contoh dari sarjana yang percaya bahwa sumber-sumber babad,
suluk, dan teks-teks Jawa, sangat mungkin dijadikan sumber sejarah.

Kritik kepada para sarjana dan filolog Belanda bukan karena mereka meremehkan manuskrip Jawa,
melainkan—seperti diulas Nancy Florida dalam disertasinya Writing the Past Inscribing the Future:
History as Prophecy in Colonial Java—para filolog dan sarjana Belanda pada abad 19 cenderung
menganggap sastra Jawa Kuno era Hindu-Budha sebagai puncak kesusastraan, sedangkan naskah dari era
Islam sebagai dekadensi kesusastraan Jawa.

Salah Baca dan Percaya Silsilah

Herman mengaku ia menerapkan cara pandang berbeda dari para filolog dan sejarawan modern dalam
pembacaan manuskrip Jawa. Herman menuduh para sejarawan, terutama dari Barat, salah saat
membaca manuskrip Jawa. Ia mengingatkan kasus sederhana, yang mudah memicu pembacaan salah,
“Tulisan Jawa tak mengenal tanda koma dan spasi.”

“Untuk membaca manuskrip kuno Jawa harus memahami konteksnya, yakni pengetahuan tradisi Jawa
soal Islam. Manuskrip itu lahir dari tradisi, bukan sebaliknya,” ujarnya. “Contoh, di Babad Majapahit, ada
cerita Umar Moyo dan Umar Madi (merujuk ke Islam).”

Di kasus Gadjah Mada, Herman mengaku meyakini dia muslim sebab ada bukti catatan silsilahnya. Dasar
ini juga jadi dalil bahwa Raden Wijaya dan raja-raja Jawa sebelum dia ialah muslim.
Herman berpendapat, meski peneliti modern menganggap data silsilah tidak valid, para pelaku tradisi
Jawa meyakini kebenarannya. Ia menggambarkan kelengkapan data macam itu, misalnya, di Keraton
Cirebon, ada data silsilah Sunan Gunung Jati yang “mengular” hingga Nabi Adam.

Sayang, Herman tidak merinci silsilah yang mana dan seperti apa. Jika kembali merujuk naskah-naskah
Jawa dari periode Islam, silsilah yang mengular hingga Nabi Adam sebenarnya hal biasa, jamak, dan
sama sekali tidak baru. Pembacaan Tirto, misalnya, kepada naskah Babad Tanah Jawi, silsilah raja-raja
Mataram Islam juga sampai pada Nabi Sis dan Nabi Adam serta Siti Hawa, tapi dalam silsilah itu juga
menyelinap nama seperti Hyang Wenang hingga Batara Guru; pendeknya: nama-nama Dewa Hindu.

“Selain itu, nama Gadjah merujuk ke Ganesha, simbol universal di Jawa soal sumber ilmu. Makanya, para
ulama di Jawa (masa Majapahit) dapat gelar Gadjah,” Herman mengimbuhkan.

Teori Kesultanan Majapahit, menurut Herman, juga punya bukti kuat dalam keyakinan tradisi Jawa
bahwa Syekh Jumadil Qubro bukan hanya ulama penting, melainkan tokoh yang berpengaruh besar
terhadap Majapahit. Situs makam tokoh ini bertebaran di Jawa dan, yang paling populer, di Trowulan.

Studi Indonesianis Belanda, Martin Van Bruinessen, pernah menyimpulkan, Syekh Jumadil Qubro
terindikasi kuat hanya tokoh fiktif di sejarah Jawa. Ia menulis, nama itu merujuk ke tokoh tarekat asal
Asia Tengah, Najmuddin Al-Kubra. Ajaran tokoh yang wafat pada 1221 M itu, tulis Martin, merembes ke
praktik tarekat di Jawa hingga kini.

Mengenai tesis Martin tersebut, Herman mencontohkan cara penalaran studinya. Ia berdalih,
kesimpulan dia berbeda dengan Martin sebab memakai cara penelusuran genealogi tarekat Jawa yang
jauh berbeda.

“Martin menelusurinya dari Timur Tengah. Kami merunutnya dari Jawa, pakai sumber-sumber tradisi di
Jawa,” katanya.

Pernyataan Sinung ini agak lain dengan pembacaan Tirto terhadap teks Bruinessen, "Najmuddin al-
Kubra, Jumadil Kubra and Jamaluddin al-Akbar; Traces of Kubrawiyya influence in early Indonesian
Islam". Teks itu memperlihatkan Bruinessen tidaklah sama sekali abai kepada sumber-sumber Jawa.
Selain mengakomodasi teks-teks Jawa dan Melayu, Bruinessen juga memperhatikan silsilah sang tokoh
berdasarkan versi juru kunci salah satu petilasan/makam yang diduga sebagai makam Jumadil Qubro di
Turgo. Bruinessen pun mewawancarai dan menyimak silsilah yang dibabarkan juru kunci petilasan di
Tralaya. Catatan kaki dari naskah Bruinessen kaya dengan teks-teks yang memperlihatkan betapa ia tidak
anti dengan sumber-sumber lokal.

Soal Candi-Candi sebagai Bukti Hindu-Budha

Lalu bagaimana dengan bukti candi Hindu-Budha yang bertebaran di Jawa Timur?

Soal ini, Herman mengklaim mengikuti pendapat disertasi arkeolog R. Soekmono. Dalam catatan Tirto,
disertasi R. Soekmono pernah dibukukan berjudul The Javanese Candi: Functions and Meaning.

“Prof. Soekmono bilang candi-candi di Jawa dibangun bukan untuk tempat peribadatan,” kata Herman.

Pernyataan Herman ini berkebalikan dengan pembacaan Tirto terhadap disertasi Prof. Soekmono.
Disertasi yang diuji oleh salah satunya Zoetmulder S.J. ini justru menegaskan fungsi candi sebagai tempat
pemujaan. Yang dibantah Soekmono bukanlah anggapan bahwa candi di Jawa adalah tempat ibadah
seperti yang disampaikan Herman; yang dibantah adalah anggapan bahwa seluruh candi sebagai tempat
pemakaman/perabuan.

Soekmono membantah anggapan lama yang dipopulerkan juga oleh para pengkaji Barat, salah satunya
oleh Raffles, yang menganggap candi-candi di Jawa sebagai tempat pemakaman atau menyimpan abu-
abu jenazah yang dikremasi. Pendapat itu sangat lama dianggap sebagai kebenaran.

Penelitian Soekmono membantah hal itu dan menegaskan bahwa candi yang digunakan untuk
pemakaman hanya ada dalam candi Hindu, itu pun selalu dilengkapi dengan patung yang mewujudkan
sang raja yang dimakamkan sebagai dewa dan kemudian disembah (sehingga fungsinya tetap memuat
elemen ibadat/pemujaan).

Sedangkan candi-candi Budha seperti Borobudur, menurut Soekmono, malah benar-benar dipakai
sebagai tempat pemujaan; pendeknya: sebagai kuil. (Baca, misalnya, buku Soekmono yang lain,
Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia, hal. 81-92)
Soekmono bahkan membuka disertasinya dengan mempertanyakan argumen Raffles, salah satunya
mengkritik ketidakjelasan sumber yang dipakai Raffles untuk menyimpulkan candi sebagai tempat
menyimpan abu/relik. Bab 6 dari buku yang berasal dari disertasi Soekmono itu bahkan menyajikan
penjelasan secara khusus candi sebagai kuil.

Pendapat Herman dan kawan-kawannya mengenai Majapahit adalah Kesultanan Islam bagi banyak orang
memang terkesan spekulatif. Tapi, mengingat pendapat itu berbasis pada “keyakinan di tradisi Jawa”,
wajar saja pendukung “Kesultanan Majapahit” tak merisaukan ribuan bantahan di media sosial. Mereka
justru bungah wacana ini menarik perhatian publik sebab memunculkan alternatif selain pengetahuan
sejarah yang sudah otoritatif.

Baca juga artikel terkait MAJAPAHIT atau tulisan menarik lainnya Zen RS

(tirto.id - Humaniora)

Reporter: Addi M Idhom

Penulis: Zen RS

Editor: Zen RS
Oleh: Indah Noviariesta

Penulis Alumni Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) Banten

SALAH satu perbincangan yang terus menggelinding di media sosial hingga memasuki awal tahun 2018
ini adalah soal isu tentang adanya kesultanan Majapahit. Buku berjudul “Kesultanan Majapahit: Fakta
Sejarah yang Tersembunyi” (Herman Janutama), sebenarnya sudah terbit sejak 2010 lalu. Namun begitu
heboh menjadi trending topik di jagat keilmuwan setelah Arif Barata, pada pertengahan 2017 lalu,
meluncurkannya melalui situs portal www.islam.id.

Berbagai reaksi bermunculan hingga saat ini, dari acara debat-debat kalangan seniman dan sejarawan di
aula Candi Borobudur Magelang, hingga tokoh-tokoh agama di masjid-masjid seluruh wilayah Indonesia.
Tidak sedikit yang bersikap sentimen sambil mencibir dan menertawakan, meskipun mereka yang gemar
mencibir itu juga sama sekali tidak punya argumen apapun yang berdasarkan pernyataan ilmiah. Bisanya
cuma mencibir dan menertawakan doang.

Seorang arkeolog dari Universitas Indonesia (UI), Hasan Djafar, berpendapat bahwa tidak sedikit artefak
bernafaskan keislaman pernah ditemukan di masa kerajaan Majapahit. Tetapi kita perlu hati-hati, karena
apabila masyarakat muslim kurang memahami dasar-dasar ilmu sejarah dan arkeologi secara matang,
dikhawatirkan akan terburu nafsu menyampaikan pernyataan politis, dan bukan pernyataan ilmiah.

Masih dalam testimoni Hasan Djafar, di makam Troloyo, ada sekitar 100 nisan dengan hiasan bertuliskan
huruf-huruf Arab. Nisan itu berasal dari masa tahun 1203 Masehi, yang berarti hampir satu abad lebih
tua dari sejarah berdirinya Majapahit (1292 Masehi). Sejarah Walisongo dalam penyebaran misi Islam di
Jawa dan Nusantara baru muncul di akhir kekuasaan Majapahit hingga Mataram. Namun juga – sesuai
catatan para arkeolog – adalah keliru bila ada sejarawan menyatakan bahwa Islam baru muncul di bumi
Nusantara setelah maraknya kekuasaan Majapahit.

Bukan hanya arkeolog tapi tidak sedikit pakar sejarah yang mampu membuktikan data yang akurat
perihal keberadaan masyarakat muslim sebelum masa kerajaan Majapahit. Di Gresik, telah ditemukan
artefak yang menunjukkan sisa-sisa peninggalan Islam pada tahun 1082 Masehi. Namun demikian, Hasan
Djafar tetap berkeyakinan bahwa awal mula kerajaan Islam di Nusantara adalah Samudera Pasai. Karena
menurutnya, penemuan adanya nisan dan koin bertuliskan huruf Arab, masih belum cukup dijadikan
bukti yang kuat tentang adanya kerajaan Islam yang berpusat di Trowulan tersebut. "Majapahit tetap
bercorak Hindu-Budha, tecermin dalam peraturan undang-undang dan sistem teologinya. Saya tidak
melihat benih-benih adanya ajaran Islam yang dipraktikkan oleh rakyatnya. Bahwa ada filsafat Hindu-
Budha yang sesuai dengan nafas-nafas yang islami, itu benar, seperti juga yang terdapat pada filsafat
Confusius maupun Plato dan Aristoteles,” tandas Hasan Djafar.

Ada hal-hal lain yang belum menjadi pijakan ilmiah dalam penulisan buku “Kesultanan Majapahit” karya
Herman Janutama. Misalnya, bagaimana cara kerja dari penelitian arkeologis laiknya matarantai yang
saling berkait dan bersinambung antara satu bukti yang diperkuat dengan bukti berikutnya. Sumber-
sumber arkeologi pada prinsipnya memiliki peringkat-peringkat tersendiri. Peringkat pertama atau yang
paling bisa dipercaya dapat dikategorikan sebagai bukti A1, yakni prasasti yang sezaman. Setelah itu,
menyusul prasasti lain yang berhubungan dengan prasasti yang sezaman itu, seperti monumen, fitur, dan
artefak yang bergerak. Sedangkan karya tertulis seperti antropologi, sosiologi dan karya sastra tergolong
dalam peringkat berikutnya, termasuk dongeng, mitologi dan legenda (cerita rakyat).

Dengan adanya satu bukti sejarah, misalnya penemuan koin bertuliskan huruf Arab (yang dijadikan
rujukan buku Kesultanan Majapahit) tentu saja tidak mampu menghapus kebenaran data dan kekuatan
sumber prasasti yang berdasarkan matarantai penelitian ilmiah dari pakar-pakar yang berkompeten di
bidang sejarah Nusantara. Dengan ini mudah sekali untuk menjawab berbagai euphoria dari ribuan
orang Banten yang ikut latah berteriak-teriak di medsos, setelah mereka pulang dari Monas 212 lantas
ramai-ramai “melantik” Gajah Mada yang konon beragama Islam, dari hasil akikah nyembelih kambing
dikasih nama oleh bapaknya “Gaj Ahmada”. Mungkin sang bapak kirim SMS atau WA dulu kepada handai
taulan untuk dimintakan usulan nama terbaik bagi sang jabang bayi. Lantas ada wangsit dari dukun di
Baduy Selatan, turut memberikan usulan nama, pilih salah satu yang terbaik: Gajah Ahmada atau Gaj
Ahmada?

Saya sebagai seorang muslimah Banten, sangat prihatin dengan fenomena dangkalnya analisis pada
sebagian akademisi dan intelektual kita. Padahal untuk membuktikan agama Gajah Mada sangat mudah
sekali. Bisa dilihat dari prasasti yang menunjukkan sistem pemerintahan yang berlaku pada masa itu.
Bagaimana mungkin sistem kesultanan, sedangkan gelar “raja” saja sudah bisa dijadikan bukti bahwa
Majapahit bercorak kerajaan Hindu-Budha. Nama-nama pejabat tinggi juga menunjukkan corak Hindu-
Budha, misalnya Dharmadyaksa ring Kasaiwan atau Dharmadyaksa ring Kasogatan. Pengertian
‘kasogatan’ adalah kebudhaan. Bahkan Raden Wijaya sendiri bergelar Krtarajasa Djayawardhana
Anantawikramo Tunggadewa. Pengertian ‘djayawardhana’ adalah kehinduan, berarti punya leluhur dari
Dewa Wisnu yang bertahta.
Nama Gajah Mada setidaknya disebut beberapa kali dan tercatat dalam kitab atau kakawin yang
berbeda-beda. Desa Wernana menulis dengan jelas dan tegas, Gajah Mada bukan tertulis ‘Gaj Ahmada’.
Demikian pula tercatat di Pararaton, Kidung Sunda dan Kidung Sundayana. Di luar kakawin dan serat itu
saya belum pernah mendengar nama Gaj Ahmada. Nama-nama lain yang berkaitan dengan binatang
dalam sejarah Majapahit bukanlah nama fiktif maupun inisial. Misalnya, Lembu Anabrang (akhir
Singasari), Gajah Pagon (awal masa Majapahit), Gajah Enggon (pengganti Gajah Mada), Gagak Rimang
(akhir Kasultanan Pajang) Kebo Mundarang (akhir Singasari) Lembu Sora (Majapahit awal) Kebo Kanigara
(awal berdirinya Pajang), Hayam Wuruk (raja Majapahit).

Nama-nama hewan macam itu lazim digunakan di zaman dulu, bukanlah nama yang aneh. Menganggap
nama “Gajah” yang menyatu dengan “Mada” sebagai kesalahan, saya curiga sebagai sebuah pemaksaan
yang berlatar sentimen agama belaka, bukan berdasarkan data-data ilmiah. Sedangkan untuk menguji
validitas data dan kebenaran ilmiah, dunia Islam memiliki nama-nama kaliber yang tak tertandingi dalam
sejarah peradaban manusia, seperti Ibnu Khaldun, Imam Bukhari, Al Kindi, Ibnu Taimiyah dan seterusnya.

Beberapa waktu lalu, setelah mengantar anak-anak sekolah dari salah satu SMP Negeri di Cilegon yang
mengadakanstudy tour di Candi Borobudur dan Candi Prambanan, saya sempat mempelajari tata kota
dalam sistem penataan kerajaan Majapahit yang mencerminkan tempat suci dan prasasti, terutama
mengandalkan lokasi perbukitan dan pegunungan. Mengenai simbolisasi delapan arah mata angin yang
mengandung lambang “cahaya”, tak lebih dari kepercayaan Majapahit bahwa tiap-tiap arah mata angin
itu memiliki dewanya sendiri-sendiri.

Dalam catatan kitab Negarakertagama disebutkan bahwa selepas dari kedudukannya sebagai raja, Gajah
Mada pernah dianugerahi tanah Kebudhaan yang bernama Madakarupira. Lokasi tanah tersebut di
daerah selatan kabupaten Pasuruan. Bukti-bukti arkeologis itu barangkali kurang diperhatikan oleh
sebagian intelektual dan cendikiawan kita.

Untuk menunjukkan bukti kebenaran, suatu penelitian ilmiah sudah menciptakan benteng kokoh
pengamannya sendiri. Ada peringkat-peringkat yang tersusun berdasarkan riset dan kekuatan sumber
prasasti. Tidak mungkin dirobohkan begitu saja oleh sebutir anak panah yang melesat oleh sikap-sikap
sentimen dan emosional belaka. (*)
memang berkembang. Penulisan sejarah tidak berahir tanda titik. Soal Majapahit kesultanan Islam
Nusantara, merupakan kajian baru yang tentunya perlu diapresiasi. Karena sejarah ada banyak
kemungkinan dan penafsiran.

Setahun silam saya pernah membaca sekilas buku berjudul Kesultanan Majapahit: Fakta Sejarah yang
tersembunyi karya Herman Sinung Janutama. Karena membaca sekilas, saya belum punya pandangan
utuh terkait isi buku itu. Lagian saya membaca sekilas di Gramedia Yogyakarta.

Dalam diskusi di beberapa grup sejarah di media sosial seperti The Lost History of Nusantara, atau grup
MAJAPAHIT, saya mengamati, jika ada yang mengunggah atau menampilkan teori baru bahwa Majapahit
sebagai kesultanan Islam, mereka pasti langsung kena bully. [wkwkwk]

Menunjukkan pendapat yang tidak poluper atau tidak mainstream selalu sulit diterima publik.

Bulan kemarin saya kembali baca artikel yang menyoal Majapahit Kesultanan Islam.

Ini salah satu artikel yang saya baca di Kompasiana hasil ngopas ulasan dari roedijambi.wordpress.com
yang mengulas Kesultanan Majapahit : Cek di sini

Historiografi memang berkembang. Penulisan sejarah tidak berahir tanda titik. Soal Majapahit sebagai
suatu kesultanan Islam Nusantara, merupakan kajian baru yang tentunya perlu diapresiasi. Karena
sejarah ada banyak kemungkinan dan penafsiran.

Sementara ini kita menganuti pendapat mainstream bahwa Majapahit yang didirikan raden Wijaya
Kertarajasa Jayawardhana berhaluan negara Siwa.

Ini didukung fakta bahwa dalam beberapa prasasti awal Majapahit, dewan agama Majapahit lebih
dominan Kasaiwan yang memiliki 5 upapati siwa.

Upapati atau hakim agama atau dalam istilah islam Qadi.


Sementara Kasogatan atau urusan agama Boddha hanya satu upapati.

Selanjutnya sampai jaman maharaja Sri Kertawijaya 1447M-1451M, berdasarkan prasasti Waringin Pitu
1447M, kita kenal dua hakim agama Boddha dan 4 hakim Siwa.

Menunjukkan agama Siwa lebih dominan.

Karena itulah, para sejarawan memandang Majapahit berhaluan Siwa.

Meski pada faktanya, berkembang beberapa macam agama termasuk agama lokal Jawa serta agama
Islam.

Lalu mengapa hakim agama Islam atau Qadi sejak awal sampai ahir sama sekali tidak termuat dalam
setiap prasasti keluaran para raja Majapahit?

Ini kiranya suatu persoalan yang mesti dijabarkan para ahli sejarah terutama sekali Herman Sinung
Janutama yang berpendapat Majapahit adalah suatu kesultanan Islam di Nusantara sejak awal.

Pendapat atau teori yang menyatakan Majapahit kesultana Islam antaranya berpendapat bahwa
Maulana Malik Ibrahim yang makamnya sekarang di Gresik, semasih hidup berposisi atau menjabat
sebagai seorang Qadi atau hakim agama Islam di Majapahit.

Pendapat saya, teori baru Ki Herman Sinung Janutama bahwa Majapahit Kesultanan Islam masih sangat
perlu dikaji ulang. Dari rekaman video diskusi yang diunggah di Youtube, ternyata Herman Sinung
Janutama dalam mengaji kesejarahan Majapahit menggunakan metode utama yaitu tradisi Jawa dimana
dalam tradisi Jawa banyak sekali dengan lambang. Saya sepakat bahwa dalam tradisi Jawa atau Sastra
Jawa penuh dengan makna pralambang sehingga ketika kita membaca jangan membaca secara leterlek
karena ada banyak bacaan yang siningit alias tersembunyi yang harus kita terjemahkan atau tafsirkan.
Ini video youtube diskusi Ki Herman Sinung Janutama yang saya lihat: https://www.youtube.com/watch?
v=w_yZdzWj95I

Akan tetapi, mengaji atau membaca sejarah apapun seperti sejarah Majapahit yang sangat besar ini, kita
tidak akan mendapat pemandangan yang lebih lengkap jika hanya menggunakan satu sudut pandang
atau jika hanya berdiri di satu sudut. Kita harus memandang Majapahit dari banyak sudut. bagaimana
dengan prasasti, naskah, cerita cerita rakyat, artefak artefik, dan seterusnya.

Kalo soal keping uang berhuruf arab berkalimat tauhid yang disimpulkan Ki Herman Sinung Janutama
sebagai mata uang resmi Kesultanan majapahit, itu juga perlu dibaca ulang. Munculnya mata uang logam
bernuansa Islam di daerah pesisir utara Jawa, bukan berarti dikeluarkan oleh suatu kesultanan Islam di
Jawa yaitu Kesultana Majapahit. Jaman Majapahit ada banyak bangsa, komunitas sosial budaya dan
agama. Munculnya koin bernuansa Islam lebih untuk membuktikan bahwa pada jaman itu, Majapahit,
sudah berkembang komunitas Islam di Jawa. Ini juga nanti dikuatkan dengan berita dari negeri Tiongkok
bahwa pada jaman Panjalu sudah berkembang komunitas Muslim di Jawa.

Kemudian teori Majapahit Kesultanan Islam dengan memajukan 'fakta Historis' bahwa mahapatih
Majapahit Gajah Mada sebagai muslim dengan nama Islam GAJ AHMADA.

Harap diketahui bahwa dalam sejarah Majapahit, ada banyak nama tokoh mahapatih bernama depan
GAJAH. Seperti Gajah Enggon, Gajah Manghuri, Gajah Lembana, Gajah Geger, Gajah Pramada.

Apa itu lalu dapat kita tulis semua gajah sebagai orang Muslim dengan nama Gaj Ahenggon, Gaj
Ahmanguri, Gaj Ahlembana, Gaj Ahgeger, dan Gaj Ahpramada?

Jangan sampai terutama para penulis dan peneliti sejarah Islam Nusantara berupaya menunjukkan
eksistensi tua agama Islam di Nusantara, menunjukkan kegemilangan peradaban Islam di Nusantara,
justru memunculkan kesuraman kesuraman baru soal kesejarahan kedatangan penyebaran dan
perkembangan Islam di Nusantara.

Anda mungkin juga menyukai