Anda di halaman 1dari 8

Kajian Al Hikmah Research Center – Forum Studi Islam FISIP UI

Islam Memandang Kesenian dan Kebudayaan


Dalam rangka menyambut Gelar Apresiasi Seni Mahasiswa Aktif Berprestasi FISIP UI

ِ‫ الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِِّ وَغَمْطُ النَّاس‬،َ‫إِنَّ اهللَ جَمِيْلٌ يُحِبُّ الْجَمَال‬

“Sesungguhnya Allah itu Maha Indah dan menyukai keindahan, Kesombongan itu ialah
menolak kebenaran dan meremehkan manusia”
Hadits Riwayat Muslim

Dalam pandangan banyak orang, Islam sering disebut sebagai agama yang kaku, tidak nyeni.
Ada juga yang menyebut, Islam tidak memberikan ruang bagi kebebasan berekspresi. Benarkah
demikian?
Apa itu seni dan budaya?
Seni, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ialah keahlian membuat karya yang bermutu
(dilihat dari segi kehalusannya, keindahannya, dan sebagainya).1 Tidak hanya sebatas pada
keahliannya, namun hasil dari cipta karya itu pun dikatakan sebagai seni. Kesenian pada
dasarnya merujuk pada sesuatu yang halus dan indah. Pengukuran atas kehalusan dan
keindahan, dilakukan melalui perasaan. Karenanya, banyak orang menilai, kesenian
merupakan sesuatu yang sangat subjektif. Apa yang dipandang halus dan indah oleh seseorang,
belum tentu dipandang sama halus dan indahnya oleh orang lain.
Pada umumnya, kesenian lahir dari kebudayaan. Kesenian yang berkembang dalam sebuah
masyarakat merupakan cerminan dari kebudayaan yang berada dalam benak masyarakat
tersebut. Kata budaya sering dianggap lahir dari Bahasa Sansekerta, Budhi dan daya, yang
umumnya diartikan sebagai hasil dari rasa, karsa, dan cipta. Kebudayaan dalam bahasa Inggris,
culture, berasal dari bahasa Latin, cultura yang berarti menumbuhkan (growing) dan pertanian
atau budidaya (cultivation).2
Menurut Raymond Williams, kata culture merupakan salah satu kata yang memiliki banyak
interpretasi. Setidaknya, terdapat tiga pemahaman mengenai culture. Pertama, a general
process of intellectual, spiritual and aesthetic development. Kedua, a particular way of life,
whether of a people, a period or a group. Ketiga, the works and practices of intellectual and
especially artistic activity.3

1
“Seni”, Kamus Besar Bahasa Indonesia daring, https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/seni
2
“Culture”, Oxford Dictionaries, https://en.oxforddictionaries.com/definition/culture
3
John Storey, Cultural Theory and Popular Culture: An Introduction, 5 th ed. (London: Longman, 2009), hlm. 2

1
Dari semua definisi ini, dapat dipahami bahwa kebudayaan merupakan sebuah sistem yang
dibentuk, ditaati, dan dilestarikan oleh sekelompok manusia. Nantinya, dari kebudayaan ini,
muncullah kesenian sebagai hasil dari kebudayaan.
Fungsi Seni dan Kebudayaan bagi Masyarakat
Seni dan budaya, sebagai sebuah hasil dari kemampuan pikiran dan karya sebuah masyarakat,
memiliki banyak fungsi. Fungsi utama seni dan budaya ialah untuk memenuhi kebutuhan batin
manusia (rasa) yang sulit untuk dapat terpenuhi bila hanya berorientasi pada sisi fisik semata.
Perwujudan kesenian dan kebudayaan yang berorientasi pada ‘rasa’ menyebabkannya
memiliki nilai subjektivitas yang tinggi. Keindahan sesuatu amat sulit untuk mencapai
kesepakatan semua orang. Meski, dalam beberapa hal, manusia bisa saja bersepakat akan
keindahan suatu hal.
Dalam ruang lingkup yang lebih luas, sebuah kebudayaan menunjukkan tingkat pemikiran dan
kemampuan daya cipta sebuah masyarakat. Misal, kita mengenali dalam perjalanan sejarah,
terdapat zaman perunggu melalui hasil karyanya yang banyak menggunakan perunggu dalam
berbagai karya budayanya. Kita juga mengenali zaman Megalithikum (batu besar) melalui hasil
kebudayaan yang ditunjukkan oleh artefak berupa batu yang besar. Hal ini menunjukkan,
sebuah kebudayaan mencerminkan kemampuan dari masyarakatnya.
Bagaimana Islam memandang Kesenian?
Kesenian dapat kita pahami sebagai masalah selain ibadah murni (ibadah mahdah). Ia adalah
masalah keduniaan yang menjadikannya tergantung pada konteks dan praktiknya. Karenanya,
untuk memahami hukum kesenian dan kebudayaan, dapat kita pegang sebuah hadits,

‫أَنْتُ ْم أ َْعلَ ُم أِب َْم أر ُدنْيَا ُك ْم‬


“Engkau lebih memahami terhadap urusan keduniaanmu”
Hadits Riwayat Muslim4
Selain itu, dalam fiqih, menjadi sebuah pemahaman umum bahwa dalam urusan ibadah mahdah
(ibadah murni, seperti shalat dan puasa), hukum dasarnya ialah haram, sampai ada dalil yang
membolehkan atau mengharuskan. Sementara, dalam urusan muamalah (interaksi sesama
manusia, kehidupan kemasyarakatan), hukum dasarnya ialah mubah (boleh), sampai ada dalil
yang melarang atau mencegahnya.
Dari sini, kesenian dipandang sebagai sebuah hal yang mubah, kecuali ia bertentangan dengan
batasan yang dilarang oleh agama.

4
Konteks dari hadits ini adalah ketika Nabi Muhammad Saw. sedang mengurusi urusan pertanian, ketika terjadi
kegagalan panen, beliau pun bersabda demikian. Dalam konteks kesenian, dapat dipahami bahwa urusan kesenian
termasuk urusan keduniaan. “lebih mengetahui” di sini berarti diserahkan urusan mengenai hukumnya kepada
ulama yang melihat langsung bagaimana kesenian dan kebudayaan yang ada di masyarakat. Bila tidak sesuai
tuntunan syariat, ulama berhak untuk mengharamkannya. Bukan berarti diserahkan begitu saja kepada setiap
orang, baik berilmu maupun tidak. Selengkapnya bisa dilihat di Muhammad Abduh Tuasikal, “Ilmu Dunia,
Engkau Lebih Paham”, Rumaysho, https://rumaysho.com/13101-ilmu-dunia-engkau-lebih-paham.html

2
Panduan Islam dalam Berkesenian
Sebagai agama yang mengatur seluruh segi kehidupan, Islam pun memiliki panduan dalam
berkesenian. Berikut ini ialah hasil dari penyarian berbagai pendapat ulama atas kesenian.
Mengutip dari buku Prof. Dr. M. Quraish Shihab, Wawasan Al Quran, dalam bab Seni, beliau
berpendapat,
“Ia (seni) merupakan ekspresi ruh dan budaya manusia yang mengandung dan
mengungkapkan keindahan. Ia lahir dari sisi terdalam manusia didorong oleh
kecenderungan seniman kepada yang indah, apa pun jenis keindahan itu. Dorongan
tersebut merupakan naluri manusia, atau fitrah yang dianugerahkan Allah kepada
hamba-hamba-Nya”5
Sementara itu, mengutip pula dari buku Prof. Dr. Hamka, Pandangan Hidup Muslim, dalam
bab Dari Jendela Seni, beliau mengatakan,
“Seni yang sampai pada puncaknya ialah gabungan antara keindahan (jamal) dan rasa
kesempurnaan (kamal) dan rasa kemuliaan (jalal). Seni yang bernilai tinggi
menyebabkan seniman lebur di bawah cerpu telapak kaki budi (etika) dengan kebenaran
(al-Haq). Seni yang tinggi nilainya membawa si seniman fana (hilang) ke dalam baqa”6
Beberapa panduan Islam mengenai kesenian, di antaranya:
1) Seni tidak ditujukan, atau setidaknya dikhawatirkan dapat menuju pada,
kesyirikan. Syirik, yang berarti menyekutukan Allah dengan selain-Nya, merupakan
dosa terbesar dalam Islam. Dalam surat Luqman ayat 13 disebut,
‫ال لُْق ٰمن أِلبنأ أه وهو يعأظُه ٰي بن َِل تُ ْش أرْك أِبللأ اأ ين أ‬
)١٣( ‫الش ْرَك لَظُْلم َع أظْيم‬ ‫أ‬
‫َو ا ْذ قَ َ ُ ْ َ ُ َ َ ُ َي‬
Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, ketika dia memberi pelajaran
kepadanya, “Wahai anakku, janganlah engkau mempersekutukan Allah, sesungguhnya
kesyirikan (mempersekutukan Allah) adalah benar-benar kezhaliman yang besar.
Ayat ini mengindikasikan larangan berbuat syirik.
Keterkaitan antara seni dan kesyirikan dapat dilihat dari sejarah para nabi. Dikisahkan,
bahwa perilaku syirik pertama kali terjadi pada umat Nabi Nuh. Mereka menyembah
patung-patung yang dipahat menyerupai orang-orang shalih di masa terdahulu.
Generasi sebelum mereka banyak yang ingin mengabadikan keberadaan orang shalih
dengan membuat patung yang menyerupai mereka. Sayangnya, ketika generasi itu
habis, diganti dengan generasi anak cucu mereka, ada ketidakpahaman. Patung yang
tadinya dianggap sebagai kenangan orang-orang shalih berubah menjadi pujaan.
Akhirnya, karena bisikan setan dan ketidaktahuan, hasil kesenian berubah menjadi
ajang kesyirikan.
2) Dalam seni pahat atau seni kriya, tidak membuat sesuatu yang menyerupai
ciptaan Allah berupa makhluk bernyawa (manusia dan hewan). Nabi Muhammad
Saw. bersabda,

5
M. Quraish Shihab, Wawasan Al Quran: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan,
1998), hlm. 385
6
Hamka, Pandangan Hidup Muslim, (Jakarta: Gema Insani Press, 2016), hlm. 119

3
‫َحيُوا َما َخلَ ْقتُ ْم‬ ُ ‫ فَيُ َق‬، ‫الص َوأر يَ ْوَم الْ أقيَ َام أة يُ َع يذبُو َن‬
ْ ‫ال ََلُْم أ‬ ُّ ‫اب َه أذهأ‬ ْ ‫إأ ين أ‬
َ ‫َص َح‬
“Sesungguhnya pembuat gambar ini di hari kiamat kelak akan diadzab, dikatakan pada
mereka, ‘hidupkanlah (berikan nyawa) terhadap apa yang kalian ciptakan!’” (Hadits
Riwayat Bukhari dan Muslim)
Dengan dalil ini, mayoritas ulama (Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Hambaliyah)
mengharamkan pembuatan patung-patung yang menyerupai manusia atau hewan.7
Yang dimaksud dengan patung ialah segala sesuatu yang dibentuk oleh tangan dan
memiliki wujud tiga dimensi (berbayang). Keharaman lainnya ialah pada lukisan yang
menggambarkan manusia atau hewan secara detil, seperti lukisan-lukisan tokoh.
Namun, tidak berlaku keharaman, menurut banyak ulama, pada seni fotografi.8
Meski demikian, tidak semua pahatan yang berbentuk tiga dimensi menjadi haram.
Terdapat pengecualian untuk misalnya, boneka anak-anak atau alat peraga kedokteran.
3) Tidak ditujukan, atau setidaknya dikhawatirkan, untuk memancing syahwat
ataupun melenakan seseorang hingga lalai dengan kewajiban. Batasan ini menjadi
salah satu batasan yang cukup sulit. Sebab, dilihat dari seni yang merupakan ekspresi
dari rasa, ia dekat kaitannya dengan syahwat (nafsu, dorongan seksual). Kesenian apa
pun, baik kriya, suara, maupun syair, tidak diperkenankan untuk memancing timbulnya
syahwat.
Dalam seni suara, misalnya, tidak diperbolehkan penyanyi mengeluarkan suara yang
mendayu-dayu, hingga (maaf) mendesah. Dilarang juga nyanyian yang menggunakan
lirik yang dapat memancing syahwat, atau setidaknya, melalaikan manusia.
Dalam Surat Luqman ayat 6 Allah berfirman,

َ ‫يخ َذ َها ُه ُزًوا أُولَئأ‬


‫ك ََلُْم َع َذاب ُم أهني‬ ‫أ‬
‫اَّلل بأغَ أْي أع ْل ٍم وي ت أ‬ ‫ياس من ي ْش أَتي ََلو ْ أ أ أ أ‬ ‫أ‬
ََ ْ ‫اْلَديث ليُض يل َع ْن َسبأ أيل ي‬ َْ َ َ ْ َ ‫َوم َن الن أ‬
)٦( ‫اب أَلأي ٍم‬ٍ ‫وإأذَا تُْت لَى َعلَْي أه آَيتُنَا ويَّل مستَكأِْبا َكأَ ْن ََل يسم ْعها َكأَ ين أِف أُذُنَْي أه وقْ را فَب أشره بأع َذ‬
َ ُْ َ ً َ َ ََْ ْ ً ُْ َ َ َ
Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan percakapan kosong (lahwal
hadiits) untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa ilmu dan menjadikan
olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan.
Buya Hamka ketika menafsirkan ayat ini, mengutip dua pendapat ulama. Pertama ialah
pendapat Hasan al-Bishri, yang mengatakan bahwa lahwal hadiits yang dimaksud ialah
naynyi-nyanyian dan peralatan pancaragam, yang akan membawa orang lalai dari
agama. Kedua ialah pendapat Qatadah, yang dimaksud lahwal hadiits ialah barang yang
sesat. Dia lebih suka kata-kata percuma, slogan yang tidak berisi, daripada memegang
kata yang benar. Intinya, lebih suka yang mudharat daripada yang manfaat. 9
Buya Hamka kemudian melanjutkan pula dengan keputusan dari Majelis Tarjih
Muhammadiyah tahun 1931. Menurut mereka, alat musik itu pada dasarnya ialah tidak
mengapa (boleh saja). Ia bisa menjadi terpuji jika dinyanyikan untuk menambah ghirah
agama. Sebaliknya, akan menjadi haram hukumnya jika ia menimbulkan kelalaian
dalam beragama.10

7
“Hukum Membuat Patung”, Rumaysho, https://rumaysho.com/3566-hukum-membuat-patung.html
8
Abdul Somad, 37 Masalah Populer, hlm. 194
9
Hamka, Tafsir Al Azhar Jilid 7, (Jakarta, Gema Insani Press, 2015), hlm. 92
10
Ibid

4
Sementara itu, M. Quraish Shihab berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan lahwal
hadiits itu yang bermasalah bukan terletak pada nyanyiannya, melainkan pada dampak
yang diakibatkannya.11 Misalnya, jika dari nyanyian itu terdapat kata-kata yang tidak
sesuai dengan ajaran Islam (seperti kata-kata yang bisa mengarah pada kesyirikan,
pujian kepada makhluk secara berlebihan, hingga memancing nafsu syahwat).
Dalam seni pahat, seni rupa, atau seni lukis, tidak diperkenankan jika menggambar atau
mematung sesuatu yang dapat memancing syahwat. Misalnya, manusia yang membuka
aurat (apalagi sampai telanjang). Hal semacam ini dapat memancing keburukan yang
lebih besar, seperti terbukanya pintu zina.
4) Kesenian sebaiknya digunakan untuk memuji Allah, mengenang perjuangan
Rasul, dan mensyukuri nikmat keindahan ciptaan-Nya. Dalam tradisi kesenian
Islam, kita akan menemukan berbagai bentuk wujud kesenian yang berisi pujian kepada
Allah. Misalnya, penulisan ayat-ayat Al Quran dengan seni kaligrafi.
Dapat juga ditemukan adanya kesenian yang ditujukan untuk mengenang perjuangan
Rasulullah, dengan harapan dapat dijadikan teladan bagi umat. Misalnya, syair-syair
yang berisi riwayat Nabi Muhammad Saw., seperti di Kebudayaan Melayu ditemukan
Gurindam Dua Belas karya Raja Ali Haji dan Syair Barzanji karya Ja’far Al Barzanji.
Kesenian pun diarahkan untuk menggambarkan keindahan ciptaan Allah. Seperti
ukiran-ukiran di bangunan peninggalan kebudayaan Islam di Alhambra, Spanyol.
Dapat ditemukan adanya ukiran geometris yang rumit, maupun relief dedaunan hasil
kekayaan alam. Dari sini, dapat dipahami bahwa kesenian yang membawa manfaat
diperbolehkan.
Dalam tradisi tasawuf, mereka membiasakan diri untuk menjadikan segala ciptaan
Allah sarana untuk mengingat Allah. Melihat manusia, pada hakikatnya ialah melihat
kebesaran Allah. Melihat semesta, pada hakikatnya ialah melihat kekuasaan Allah.
Inilah yang kemudian ditulis oleh Buya Hamka sebagai, “dari jendela mana pun Anda
meninjau, baik dari jendela ilmu maupun dari jendela seni, Anda hanya melihat
kesatuan. Anda anya melihat tauhid.”12
5) Sesuai dengan prinsip dalam Maqashid Syariah. Maqashid Syariah artinya ialah
maksud/tujuan dari adanya sebuah syariat. Kelima hal ini berasaskan pada al kulliyat
al khams, yakni lima hal pokok yang menjadi dasar-dasar dan tujuan umum syariat
yang harus dijaga.13 Kelima hal tersebut ialah hifdz Ad Dîn (perlindungan terhadap
agama), hifdz an-Nafs (perlindungan terhadap jiwa/nyawa/kehidupan), hifdz al-‘Aql
(perlindungan terhadap akal), hifdz al-‘Ardh (perlindungan terhadap kehormatan), dan
hifdz al-Mâl (perlindungan terhadap harta).14
Dari kelima maqashid syariah ini, penting bagi sebuah karya seni untuk tidak sampai
merusak perlindungan-perlindungan yang ada. Misalnya, keberadaan karya seni tidak
boleh sampai merusak nilai-nilai agama, menghilangkan nyawa dari pelaku seni,
merusak akal sehat, menjatuhkan kehormatan, dan merugikan secara material.

11
M. Quraish Shihab, Wawasan..., hlm. 396
12
Hamka, Pandangan..., (Jakarta: Gema Insani Press, 2016), hlm. 122
13
Ahmad Al Mursi Husain Jauhar, Maqashid Syariah, (Jakarta: Amzah, 2017), hlm. xiii
14
Ibid

5
6) Pertunjukan seni sepatutnya menghindari adanya ikhtilath (campur baur antar
jenis kelamin). Misalnya, sebuah pertunjukan seni sebaiknya menggunakan pembatas
(hijab) antara penonton laki-laki dan perempuan. Tidak membiarkan mereka bercampur
baur dalam satu tempat yang sama, apalagi sampai bersentuhan antara orang-orang
yang bukan mahram (orang yang haram untuk dinikahi). Atau bahkan, membiarkan
terjadinya interaksi lawan jenis sampai larut malam.
Kebudayaan Islam
Islam telah memberikan panduan dalam berkesenian. Lalu, bagaimana Islam memberikan
pedoman dalam berkebudayaan?
Kebudayaan Islam pada dasarnya ialah realisasi nilai-nilai dari Al Quran dan Sunnah Nabi
Muhammad Saw. Buya Hamka menjelaskan, dalam Tafsir Al Azhar, berdasarkan pada
Konferensi Kebudayaan Islam 1962 di Jakarta, disimpulkan bahwa intisari kebudayaan Islam
ialah ‘Kebudayaan Takwa’.15
Untuk dapat memahami apa itu kebudayaan Islam, penting untuk memahami apa itu takwa.
Takwa berakar dari kata wiqayah yang artinya ialah memelihara.16 Artinya, ialah memelihara
hubungan antara manusia sebagai seorang hamba dengan Allah sebagai Tuhan. Orang yang
memelihara hubungan baik dengan Tuhannya akan menjaga diri agar tidak melakukan sesuatu
yang tidak disenangi oleh Tuhan. Karenanya, arti dari takwa secara istilah ialah, menjalankan
segala perintah Allah dan menjauhi segala larangannya. Buah dari takwa pun, ialah amal shaleh
(perbuatan yang baik tujuannya, caranya, maupun niatnya).
Dapat dimaknai, bahwasanya kebudayaan Islam yang sama dengan kebudayaan takwa itu,
merupakan upaya agar seluruh hasil dari rasa, karsa, dan cipta, mengarahkan dirinya menuju
ketaatan kepada Allah. Di samping itu, segala bentuk kebudayaan yang ia buat, tidak
bertentangan dengan larangan yang Allah berikan. Dari sini, dapat dipahami, manusia yang
berbudaya dengan kebudayaan Islam, ialah manusia yang menggunakan segala
kemampuannya, termasuk dalam salah satu unsur kebudayaan yakni kesenian, untuk menjaga
hubungan baik dengan Allah.
Sebuah kelaziman bahwa sebuah kebudayaan akan mengalami penyebaran maupun interaksi
dengan kebudayaan lain. Ketika kebudayaan Islam mengalami persebaran, penyebaran budaya
Islam merupakan upaya mengajak masyarakat pada nilai-nilai tinggi dan menumbuhkan rasa
tanggung jawab dalam diri mereka.17
Di saat kebudayaan Islam berinteraksi dengan kebudayaan lain, kebudayaan Islam akan tetap
membawa nilai intinya (takwa) sekalipun misalnya dalam beberapa hal menyesuaikan.
Contohnya, ketika kebudayaan Islam berinteraksi dengan budaya Nusantara pra-Islam, terjadi
percampuran budaya. Hal ini dapat dilihat dalam kesenian wayang, yang tetap menggunakan

15
Hamka, Tafsir Al Azhar Jilid 1, (Jakarta: Gema Insani Press, 2015), hlm.98
16
Ibid
17
Dadan Rusmana dan Yayan Rahtikawati, Tafsir Ayat-Ayat Sosial Budaya: Tafsir Maudhu’i terhadap Ayat-Ayat
Al Quran yang Berkaitan dengan Budaya, Sejarah, Bahasa, dan Sastra, (Bandung: Pustaka Setia, 2014), hlm.
237

6
media pertunjukan wayang, namun dengan kisah yang menyesuaikan dengan kisah-kisah yang
berisi petuah Islami.
Simpulan
Pada akhirnya, tibalah pada sebuah simpulan, bahwasanya Islam tidak melarang seni dan
budaya sama sekali, seperti yang disangkakan oleh sebagian orang. Akan tetapi, Islam
memberikan pedoman dalam berkesenian dan berkebudayaan. Supaya, dari hasil kesenian dan
kebudayaan tersebut tercipta kemaslahatan bersama dan menjaga hubungan antara hamba
(yakni, manusia) dengan Sang Pencipta (Allah).
Melakukan kegiatan kesenian, pada dasarnya ialah baik. Jika ia ditujukan pada pemujian hanya
kepada Allah, mengenang sejarah Nabi, dan mengagumi hasil ciptaan-Nya. Sementara, tidak
boleh sebuah kegiatan kesenian mengarahkan penikmat seni maupun penggiat seni menuju
kesyirikan, perzinahan (maupun hal-hal yang mendekatinya), dan lalainya manusia dari
kewajibannya.

Lir ilir, lir ilir, tandure wong sumilir


Tak ijo royo royo
Tak sengguh penganten anyar

Cah angon, cah angon, penekna blimbing kuwi


Lunyu lunyu penekna kanggo mbasuh dodotira

Dodoria dodorita kumintir bedah ing pinggir


Dodomana jrumatana kanggo seba mengko sore

Mumpung padang rembulane


Mumpung jembar kalangane
Sun saraka surak hio

Syair “Lir Ilir”, karya Sunan Kalijaga


(Sumber: Jam’iyyah Shalawat Masjid Al Hikam)

7
Daftar Pustaka
“Culture”. Oxford Dictionaries. https://en.oxforddictionaries.com/definition/culture
“Seni”. Kamus Besar Bahasa Indonesia daring. https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/seni
al-Buthoni, Abdullah bin Taslim. “Al Jamiil yang Maha Indah”. Al Manhaj.
https://almanhaj.or.id/3392-al-jamil-yang-maha-indah.html
Hamka. Pandangan Hidup Muslim. (Jakarta: Gema Insani Press, 2016)
Hamka. Tafsir Al Azhar Jilid 1. (Jakarta: Gema Insani Press, 2015)
Hamka. Tafsir Al Azhar Jilid 7. (Jakarta, Gema Insani Press, 2015)
Jauhar, Ahmad Al Mursi Husain. Maqashid Syariah. (Jakarta: Amzah, 2017)
Romadhoni, Moh. Wildan. Jam’iyyah Shalawat Masjid Al Hikam
Rusmana, Dadan dan Yayan Rahtikawati. Tafsir Ayat-Ayat Sosial Budaya: Tafsir Maudhu’i
terhadap Ayat-Ayat Al Quran yang Berkaitan dengan Budaya, Sejarah, Bahasa, dan
Sastra. (Bandung: Pustaka Setia, 2014)
Shihab, M. Quraish. Wawasan Al Quran: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat.
(Bandung: Mizan, 1998)
Somad, Abdul. 37 Masalah Populer
Storey, John. Cultural Theory and Popular Culture: An Introduction, 5th ed. (London:
Longman, 2009)
Tuasikal, Muhammad Abduh. “Ilmu Dunia, Engkau Lebih Paham”. Rumaysho.
https://rumaysho.com/13101-ilmu-dunia-engkau-lebih-paham.html

Anda mungkin juga menyukai