Anda di halaman 1dari 5

Beranda

Bunga Rampai

Apa Itu “Islam Kaffah”?

TAFSIR ALQURAN

Apa Itu “Islam Kaffah”?

M. Faisol Fatawi

OLEH M. FAISOL FATAWI

RABU, 20 FEBRUARI 2019

Ilustrasi: kaum perempuan sedang salat Zuhur berjemaah di masjid tua Bengkudu, Kab. Agam, Sumbar
(Foto: Hamzah Sahal)

Kita sering mendengar istilah “Islam Kaffah”. Belakangan, istilah ini lebih dipahami sebagai ajakan untuk
mendirikan khilafah islamiyah (Negara Islam). Islam Kafah (KBBI menulis dengan “kafah”) berarti Islam
yang menyeluruh (total).

Tidak dianggap kafah jika belum bisa mewujudkan syari’ah Islam di tengah kehidupan, dan hal itu hanya
bisa ditegakkan dengan sistem khilafah islamiyah. Pengertian seperti ini muncul secara serampangan,
dan jauh dari semangat pengertian yang sesungguhnya.

Istilah “Islam Kafah” disebut dalam QS al-Baqarah; 208, yaitu “ya ayyuha ladzina amanu udkhulu fissilmi
kaffah”. Untuk mendapatkan pengertian yang benar, maka kita sejatinya merujuk kembali pada
pengertian ayat tersebut. Bagaimana pengertiannya yang benar?

Ibnu Asyur, dalam kitab tafsirnya at-Tahriri wat-Tanwir, menjelaskan bahwa ayat 208 dari QS al-Baqarah
tersebut tidak dapat dipisahkan dari konteks ayat sebelumnya. Ayat ini disebut setelah ayat sebelumnya
menjelaskan tentang macam-macam sikap manusia terhadap agama (Islam); ada orang mukmin yang
lisannya fasih syahadat kepada Allah tetapi perilakunya membuat kerusakan dan menyakiti apa yang ada
di sekitarnya; sebagian yang lain mengabdikan dirinya untuk mendapat keridhoan Allah. Tindakan
merusak dan menyakiti ini tentu dapat mengancam orang-orang yang damai. Oleh karena itu, ayat ini
hadir mengajak orang-orang mukmin untuk masuk ke dalam as-silm. Lalu apa pengertian as-silm?
Jika merujuk pada beberapa tafsir, maka kata as-silm dipahami dalam dua pengertian yaitu kedamaian
(keselamatan) dan agama Islam.

Kata as-silm memiliki arti kedamaian atau keselamatan. Ayat “ya ayyuha ladzina amanu udkhulu fissilmi
kaffah” mengandung pengertian bahwa “wahai orang-orang yang beriman masuklah kedalam kedamaian
(keselamatan) secara penuh”.

Pengertian as-silm dengan kedamaian ini diambil dari konteks kesesuaian ayat sebelumnya. Memang,
sebagian mufasir memandang bahwa ayat “ya ayyuha ladzina amanu udkhulu fissilmi kaffah” merupakan
kalimat pembuka (jumlah isti’nafiyah), tetapi tidak bisa dilepaskan dari konteks ayat sebelumnya.

Baca juga: Lima Lubang Indonesia di Bidang Hukum

Ketika kata as-silm diartikan sebagai kedamaian (keselamatan), maka ayat “ya ayyuha ladzina amanu
udkhulu fissilmi kaffah” mengisyaratkan kepada kita bahwa kita sebagai orang yang beriman hendaklah
memasukkan dirinya kedalam kesadamaian (keselamatan). Seorang mukmin tidak boleh menyakiti dan
mengganggu orang lain sehingga terjadi pertengkaran, permusuhan atau bahkan peperangan.

Sejatinya, keimanan itu harus total. Tidak setengah-setengah. Tetapi kenyataannya tidak semudah itu.
Ada orang mukmin yang antara perkataan dan perbuatannya, saling berlawanan.

Lisannya menyatakan syahadat kepada Allah, tetapi perbuatannya merusak dan mengancam orang lain
atau lingungan sekitarnya. Atau ada seorang mukmin yang secara lahir dan batin, mampu memegang
teguh keimanan dan mempraktikkan dalam kehidupan.

Jenis yang pertama masuk dalam kategori munafik karena perkataannya melenceng dengan
perbuatannya, sedangkan jenis yang kedua masuk kategori mukmin sejati.

Dalam konteks orang munafik, ajakan untuk masuk kedalam as-silm memberikan pengertian bahwa
hendaklah mereka bersikap total kepada kedamaian; selaraskan perkataan dengan perbuatan. Jangan
berskasi kepada Allah, tetapi perbuatannya menyakiti dan mengancam keberadaan orang lain.
Pengertian ini selaras dengan maksud empat ayat (yaitu ayat 204 – 207) sebelum ayat “ya ayyuha ladzina
amanu udkhulu fissilmi kaffah”.
Sedangkan dalam konteks orang mukmin sejati, pengertian as-silm berarti hendaklah mengabdikan diri
pada kedamaian sebagai buah dari keimanan kepada Allah. Ajakan ini menjadi penegasan kembali
kepada orang-orang mukmin bahwa dirinya harus merelakan dirinya untuk kedamaian (kesalamatan)
bagi yang lain. Menurut Ibn Asyur, pengertian as-silm seperti ini bisa dihubungkan dengan ayat
sebelumnya, yaitu wa qatilu fi sabilillah al-ladzina yuqatilunakum (QS al-Baqarah: 190).

Lebih rinci Ibnu Asyur menjelaskan bahwa ayat wa qatilu fi sabilillah al-ladzina yuqatilunakum (QS al-
Baqarah: 190) menyerukan umat Islam untuk memerangi kaum musyrik Quraisy dan larangan untuk
saling bermusuhan, setelah mereka (musyrik Quraisy) memerangi kaum muslimin dan mengusir paksa
dari rumahnya.

Baca juga: Tafsir Surah Al-Ma'un (Bagian Kedua)

Kemudian ayat selanjutnya menjelaskan tentang hukum haji dan umroh serta amal ibadah yang perlu
dilakukan sesuai anjuran agama. Maka, ayat “ya ayyuha ladzina amanu udkhulu fissilmi kaffah”
menjelaskan kepada kaum muslimin untuk merelakan diri dengan kedamaian, yaitu berdamai dengan
penduduk (musyrik) Mekkah, karena setelah Rasulullah saw mengadakan perjanjian Hudaibiyah tidak
semua kaum muslimin menerima perjanjian itu.

Sebagian besar sahabat masih menaruh dendam dengan kaum musyrik Mekkah sehingga tidak rela
berdamai dengannya. Atas dasar konteks kesesuaian ayat ini, maka makna as-silm mengandung
pengertian perdamaian. Yakni, bahwa orang-orang mukmin diperintah oleh Allah untuk memasukkan
dirinya pada kedamaian.

BACA JUGA

BLOG

Dzalikal Kitab: Alquran yang Jauh dan Sekaligus Dekat

Sementara itu, jika makna as-silm dimaknai sebagai agama Islam, maka pengertian ayat “ya ayyuha
ladzina amanu udkhulu fissilmi kaffah” menjadi “wahai orang-orang mukmin masuklah kedalam agama
Islam secara penuh. Artinya, bahwa seorang mukmin harus memiliki ketaatan penuh terhadap agama
Islam.
Wujud ketaatanya adalah “berdamai” dengan Allah dengan menjalankan segala perintah dan menjauhi
larangan-Nya. Pengertian seperti ini sekaligus mengingatkan kepada orang-orang mukmin agar saling
berdamai antar sesama; tidak kembali terjebak pada saling memusuhi (berperang) sebagaimana
kebiasaan mereka pada saat masih Jahiliyah.

Menurut Ibnu Asyur, ayat ini seolah menjadi penyempurna bagi tananan nilai yang terkait dengan upaya
untuk mendamaikan masyarakat Arab (pada saat itu) yang selalu terjebak dengan permusuhan dan
peperangan. Karena watak permusuhan ini menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan
masyarakat Jahiliyah, maka tidak heran jika Rasulullah saw pernah mengingatkan: “Setelahku, kalian
jangan kembali menjadi orang-orang yang ingkar (kuffar) yang sebagian kalian memukul tengkok yang
lain”.

Baca juga: Tafsir Surah Al-Lahab

Sampai di sini dapat diambil benang merah bahwa makna as-silm terkait dengan nilai moralitas. Dalam
pengertian perdamaian (keselamatan), kata as-silm mengisyaratkan pentingnya untuk memasukkan diri
kedalam keseimbangan; keseimbangan antara syahadat ketauhidan dengan kenyataan amal perbuatan di
satu sisi, dan keseimbangan untuk berdamai dengan antar sesama manusia di sisi lain.

Sedangkan dalam pengertian agama Islam, kata as-silm menjelaskan bahwa seorang mukmin harus
memiliki kepasrahan (ketaatan) total dalam beragama Islam. “Udkhulu fissilmi kaffah” berarti perintah
untuk memasukkan diri kedalam totalitas beragama Islam; memegang teguh kepasrahan dalam konteks
hablum minallah dan ketaatan dalam konteks menjaga antarsesam (hablum minnas).

Sejak awal, Rasullah saw meneguhkan bahwa dirinya diutus untuk menyempurnakan akhlak. Innama
bu’itstu li utammima makarim al-akhlaq (Saya hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak). Bukan
untuk kepentingan politik (baca: mendirikan Khilafah Islamiyah). Persoalan akhlak jauh lebih penting
dalam membangun tatanan masyarakat katimbang kepentingan politik.

Alquran sendiri mendefinisikan dirinya sebagai mau’idzah (nasehat), furqan (pembeda), dan dzikr
(pengingat). Ini artinya, bahwa risalah yang diwahyukan kepada Rasulullah saw memperbaiki kebobrokan
moral yang mendera masyarakat, yang berbasis pada ketauhidan. Jadi, konsep “Islam Kafah” itu lebih
terkait dengan cara setiap mukmin untuk berdamai; berdamai dengan Allah (dengan tunduk pada-Nya)
dan berdamai dengan sesama manusia.
Menjadi seorang muslim itu harus total; total dalam berhubungan dengan Allah (hablum minallah) dan
total dalam berhubungan dengan sesama (hablum minanas) serta lingkungannya. Islam itu adalah akidah
dan moral (akhlak), bukan akidah dan politik (khilafah). Totalitas dalam berislam (Islam Kaffah) akan
dapat mewujudkan misi kerahmatan Islam yang dibawa oleh Rasulullah saw. Wallahu a’lam

Anda mungkin juga menyukai