PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Berteman adalah kebutuhan mutlak bagi kita yang merupakan makhluk sosial. Sebagai
sarana untuk berinteraksi dan bersosialisasi. Perlu disadari, lingkungan pergaulan yang heterogen
sangat besar pengaruhnya dalam membentuk karakter dan akhlak seseorang.
Dan di antara tanda-tanda akhlak yang baik terhadap sesama manusia adalah hendaknya
seseorang baik pergaulannya dengan teman-teman dan para kerabatnya yang bergaul dengannya.
Tidak merasa resah dengan mereka dan tidak meresahkan mereka. Akan tetapi dia berusaha
membuat hati mereka senang sesuai kemampuannya dalam batasan-batasan syariat
Allah. Pembatasan ini harus ada. Karena di antara manusia ada yang tidak merasa senang kecuali
dengan perkara maksiat kepada Allah. Kita berlindung kepada Allah dari hal demikian. Kerabat
adalah orang yang paling berhak untuk di perlakukan dengan baik dalam persahabatan dan
pergaulan.
2. Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Memahami Adab-adab dalam bergaul sesama teman
2. Memahami tentang cara menghargai sesama saudara maupun teman
3. Memahami tentang adab menjaga aib teman
1
BAB II
PEMBAHASAN
Dalam fiqih disebutkan mengucapkan salam adalah sunnah namun menjawabnya apabila
objek salam adalah lebih dari satu orang maka hukum menjawabnya adalah fardhu
kifayah (kalau tidak ada yang menjawab sama sekali maka berdosa semua) sementara apabila
objek yang disalami adalah satu orang maka menjawabnya adalah fardhu ‘ain (harus untuk
dijawab agar tidak berdosa). Dalam al-Qur’an QS. An-Nisa’ dijelaskan bagaimana aturan dalam
menjawab salam. Al-Qur’an menyebutkan;
َو ِإَذ ا ُحِّييُتْم ِبَتِح َّيٍة َفَح ُّيوا ِبَأْح َس َن ِم ْنَها َأْو ُر ُّد وَهاۗ ِإَّن َهَّللا َك اَن َع َلٰى ُك ِّل َش ْي ٍء َح ِس يًبا
2
menyebutkan bahwa kata tahiyyah adalah bentuk sikap memuliakan orang lain bahkan segala
bentuk pemuliaan yang lainnya masuk dalam kerangka kata tahiyyah.
Dalam pemahaman dari sebagian kita, menjawab salam dari saudara non-muslim
memiliki redaksi yang berbeda dari redaksi yang biasa digunakan untuk menjawab salam sudara
yang muslim. Landasan yang mereka gunakan adalah hadis Nabi yang menyebutkan “idza
sallam ‘alaiku ahlul kitab faqȗlȗ wa’alaikum” (ketika ahlul kitab mengucapkan salam kepada
kalian, maka jawablah dengan “wa’alaikum”). Menyikapi hal ini, Imam Al-Thabari,
sebagaimana dikutip oleh Ibnu ‘Arabî dalam, menyebutkan: jwaban yang sepadan ditujukan
untuk menjawab salam saudara yang non-muslim, sementara jawaban yang lebih baik ditujukan
kepada saudara sesama muslim (Ahkâm Al-Qur’an: 1988, Vol. 1, h. 590). Artinya apabila
salamnya menggunakan redaksi assalamu’alaikum jawaban sepadannya
adalah wa’alaikumussalam dan jawaban yang paling baik adalah wa’alaikumussalam
warahmatullahi wabarakatuh.
Imam Taufiq memiliki klarifikasi yang bagus dalam hal ini. Menurutnya, penafsiran
tersebut terjadi dalam kondisi hubungan agama yang penuh curiga. Sebagai contoh yang menarik
adalah Al-Sya’bi yang berani untuk melangkah lebih jauh dengan keluar dari rasa curiga
tersebut. Ia pernah menjawab salam dari non-muslim dengan redaksi yang sempurna,
yakni wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh”. Meskipun mendapat kritikan, ia
menjawab dengan jawaban yang menarik, “bukankah setiap manusia hidup didalam rahmat
Allah?” (Imam Taufiq: 2016, 206-207).
3
Taufiq menyatakan bahwa tidak mengucapkan salam atau menjawab dengan redaksi yang
singkat adalah terjadi dalam kondisi tertentu dan tidak bisa digunakan dalam setiap kondisi.
Sebagaimana yang dilakukan oleh Al-Syi’bi, Islam mengajarkan dan mendorong untuk
mengucapkan salam kepada siapapun dan menjawabnya dengan sebaik mungkin tanpa
mempermasalahkan status agama, sosial, dan latar belakang lainnya.
“Apabila salah seorang dari kalian bersin, hendaknya dia mengucapkan “Alhamdulillah”.
Sedangkan saudaranya hendaklah mengucapkan “yarhamukullah”. Jika saudaranya berkata
“yarhamukumullah” maka hendaknya dia berkata “yahdikumullah wa yushlih baalakum”. (HR.
Bukhari).
Di hadist lain juga dijelaskan bahwa Allah SWT menyukai seseorang yang bersin
kemudian bertahmid memuji Allah SWT. Karena menurut medis dengan bersin seseorang dapat
mengeluarkan bakteri dan virus yang ada dalam hidung. Oleh sebab itu, seseorang yang bersin
sangat dianjurkan untuk bertahmid sebagai ekspresi syukur kepada Allah SWT. Kemudian,
teman yang mendengar atau melihat orang bersin dianjurkan untuk menjawab dengan lafadz
doa “yarhamukumullah”, dan perlu untuk digaris bawahi bahwa menjawab bersin seseorang
dengan doa hukumnya wajib, karena termasuk dalam hak sesama muslim.
Alkisah, dalam Hadis Rasulullah SAW bahwa ada dua orang laki-laki yang sedang duduk
di dekat Rasulullah SAW. Salah satu di antaranya lebih hebat dibandingkan satu yang lain.
seseorang yang lebih hebat di antara keduanya saat itu tiba-tiba bersin dan ia tidak bertahmid.
Rasulullah SAW yang mendengar ia bersin pun diam, tidak menjawab dan mendoakannya.
Kemudian, tidak lama setelah itu, seseorang yang biasa-biasa saja di antara keduanya bersin, lalu
bertahmid, dan Rasulullah SAW pun menjawab serta mendoakaanya.
Orang yang hebat di antara keduanya tadi bertanya kepada Rasulullah SAW? Wahai
Rasulullah SAW mengapa engkau tidak menjawab dan mendoakan ketika aku bersin? Padahal
aku lebih hebat dibandingkan dia (menunjuk pada teman duduknya yang biasa-biasa saja).
Rasulullah SAW menjawab “bagaimana aku mendoakanmu sedangkan kamu tidak memuji Allah
SWT setelah engkau bersin”.
4
Lalu, bagaimana kondisinya jika ada orang yang bersin sampai lebih dari tiga kali bersin
dalam satu waktu. Bagaimana doanya? Apakah sama seperti lafadz
doa “yarhamukumullah”? Rasulullah SAW bersabda:
وال تشمته بعد الثالث، إذا عطس أحدكم فليشمته جليسه فإن زاد على الثالثة فهو مزكوم
“Apabila salah satu di antara kalian ada yang bersin maka bertasymitlah (mengucapkan
yarhamukumullah) orang yang di dekatnya, apabila (bersinnya) lebih dari tiga kali maka ia
sedang flu, dan janganlah bertasymit jika bersin lebih dari tiga kali. (HR. Bukhari)
…...Berdasarkan.hadist.tersebut.maka.tidak.dianjurkan.untuk.mengucapkan.“yarhamukumullah
” untuk menjawab pujian orang yang sedang bersin. Karena jika lebih dari tiga maka hal tersebut
menunjukkan bahwa orang tersebut sedang kurang sehat. Maka dianjurkan untuk mendoakannya
sebagaimana doa kesembuhan untuk orang sakit, yaitu menjawab dengan lafadz doa
“syafakallahu” atau “syafakumullahu” (semoga Allah SWT memberikan engkau kesehatan).
Islam adalah agama yang mengajarkan akhlak yang luhur dan mulia. Oleh karena itu,
banyak dalil al Quran dan as Sunnah yang memerintahkan kita untuk memiliki akhlak yang
mulia dan menjauhi akhlak yang tercela. Demikian pula banyak dalil yang menunjukkan pujian
bagi pemilik akhlak baik dan celaan bagi pemilik akhlak yang buruk. Salah satu akhlak buruk
yang harus dihindari oleh setiap muslim adalah sikap sombong.
Sikap sombong adalah memandang dirinya berada di atas kebenaran dan merasa lebih
di atas orang lain. Orang yang sombong merasa dirinya sempurna dan memandang dirinya
berada di atas orang lain. (Bahjatun Nadzirin, I/664, Syaikh Salim al Hilali, cet. Daar Ibnu
Jauzi)
}18{ َو َال ُتَص ِّعْر َخ َّد َك ِللَّناِس َو َال َتْم ِش ِفي الَألْر ِض َم َر حًا ِإَّن اللَه َال ُيِح ُّب ُك َّل ُم ْخ َتاٍل َفُجْو ٍر
“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah
kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-
orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS. Luqman:18)
5
ِإَّنُه اَل ُيِح ُّب اْلُم ْسَتْك ِبِر يَن
Haritsah bin Wahb Al Khuzai’i berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
أَاَل ُأْخ ِبُر ُك ْم ِبَأْهِل الَّناِر َقاُلوا َبَلى َقاَل ُك ُّل ُع ُتٍّل َج َّو اٍظ ُم ْسَتْك ِبٍر
“Maukah kamu aku beritahu tentang penduduk neraka? Mereka semua adalah orang-orang
keras lagi kasar, tamak lagi rakus, dan takabbur(sombong).“ (HR. Bukhari no. 4918 dan
Muslim no. 2853).
Sebagian salaf menjelaskan bahwa dosa pertama kali yang muncul kepada Allah adalah
kesombongan. Allah Ta’ala berfirman,
}34{ َو ِإْذ ُقْلَنا ِلْلَم َالِئَك ِة اْسُجُدوا َألَد َم َفَسَج ُدوا ِإَّال ِإْبِليَس َأَبى َو اْسَتْك َبَر َو َك اَن ِم َن الَك اِفِر يَن
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: “Sujudlah kalian kepada
Adam,” maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur (sombong) dan ia
termasuk golongan orang-orang yang kafir“ (QS. Al Baqarah:34)
Qotadah berkata tentang ayat ini, “Iblis hasad kepada Adam ‘alaihis salaam dengan
kemuliaan yang Allah berikan kepada Adam. Iblis mengatakan, “Saya diciptakan dari api
sementara Adam diciptakan dari tanah”. Kesombongan inilah dosa yang pertama kali terjadi .
Iblis sombong dengan tidak mau sujud kepada Adam” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/114, cet al
Maktabah at Tauqifiyah)
A. Hakekat Kesombongan
Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shalallahu ‘alaihi
wa sallam, beliau bersabda,
اَل َيْد ُخ ُل اْلَج َّنَة َم ْن َك اَن ِفي َقْلِبِه ِم ْثَق اُل َذ َّر ٍة ِم ْن ِك ْب ٍر َق اَل َر ُج ٌل ِإَّن الَّرُج َل ُيِح ُّب َأْن َيُك وَن َثْو ُب ُه َح َس ًنا
َو َنْع ُلُه َح َس َنًة َقاَل ِإَّن الَّلَه َج ِم يٌل ُيِح ُّب اْلَج َم اَل اْلِك ْبُر َبَطُر اْلَح ِّق َو َغ ْم ُط الَّناِس
“Tidak akan masuk surga seseorang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan
sebesar biji sawi.” Ada seseorang yang bertanya, “Bagaimana dengan seorang yang
6
suka memakai baju dan sandal yang bagus?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya Allah
itu indah dan menyukai keindahan. Sombong adalah menolak kebenaran dan
meremehkan orang lain.“ (HR. Muslim no. 91)
An Nawawi rahimahullah berkata, “Hadist ini berisi larangan dari sifat sombong yaitu
menyombongkan diri kepada manusia, merendahkan mereka, serta menolak kebenaran”
(Syarah Shahih Muslim Imam Nawawi, II/163, cet. Daar Ibnu Haitsam)
Kesombongan ada dua macam, yaitu sombong terhadap al haq dan sombong
terhadap makhluk. Hal ini diterangkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada
hadist di atas dalam sabda beliau, “sombong adalah menolak kebenaran dan suka
meremehkan orang lain”. Menolak kebenaran adalah dengan menolak dan berpaling
darinya serta tidak mau menerimanya. Sedangkan meremehkan manusia yakni
merendahkan dan meremehkan orang lain, memandang orang lain tidak ada apa-apanya
dan melihat dirinya lebih dibandingkan orang lain. (Syarh Riyadus Shaalihin, II/301,
Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin, cet Daar Ibnu Haitsam)
Sombong terhadap al haq adalah sombong terhadap kebenaran, yakni dengan tidak
menerimanya. Setiap orang yang menolak kebenaran maka dia telah sombong
disebabkan penolakannya tersebut. Oleh karena itu wajib bagi setiap hamba untuk
menerima kebenaran yang ada dalam Kitabullah dan ajaran para rasul ‘alaihimus
salaam.
Orang yang sombong terhadap ajaran rasul secara keseluruhan maka dia telah kafir
dan akan kekal di neraka. Ketika datang kebenaran yang dibawa oleh rasul dan
dikuatkan dengan ayat dan burhan, dia bersikap sombong dan hatinya menentang
sehingga dia menolak kebenaran tersebut. Hal ini seperti yang Allah terangkan dalam
firman-Nya,
ِه َفاْس َتِع ْذ ِباللِه ِإَّن ُه ُه َو¥ ِإَّن اَّلِذ يَن ُيَج اِد ُلوَن ِفي َء اَياِت اللِه ِبَغْي ِر ًس ْلَطاٍن َأَتاُهْم ِإن ِفي ُص ُدوِر ِهْم ِإَّال ِك ْب ٌر َّم اُهم ِبَباِلِغ ي
}56{ الَّس ِم يُع اْلَبِص يُر
7
Adapun orang yang sombong dengan menolak sebagian al haq yang tidak sesuai
dengan hawa nafsu dan akalnya –tidak termasuk kekafiran- maka dia berhak mendapat
hukuman (adzab) karena sifat sombongnya tersebut.
Maka wajib bagi para penuntut ilmu untuk memiliki tekad yang kuat mendahulukan
perkataan Rasul shalallahu ‘alaihi wa sallam di atas perkataan siapa pun. Karena
pokok kebenaran adalah kembali kepadanya dan pondasi kebenaran dibangun di
atasnya, yakni dengan petunjuk Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam. Kita berusaha
untuk mengetahui maksudnya, dan mengikutinya secara lahir dan batin.
(Lihat Bahjatu Qulubil Abrar, hal 194-195, Syaikh Nashir as Sa’di, cet Daarul Kutub
‘Ilmiyah)
Sikap seorang muslim terhadap setiap kebenaran adalah menerimanya secara penuh
sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla,
َو َم اَك اَن ِلُم ْؤ ِم ٍن َو َالُم ْؤ ِم َنٍة ِإَذ ا َقَض ى اللُه َو َر ُسوَلُه َأْم ًرا َأن َيُك وَن َلُهُم اْلِخ َيَر َة ِم ْن َأْم ِر ِهْم َو َم ن َيْع ِص اللَه َو َر ُس وَلُه َفَق ْد
}36{ َض َّل َض َالًال ُّم ِبيًنا
“Dan tidaklah patut bagi mukmin laki-laki dan mukmin perempuan, apabila Allah dan
Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang
lain) tentang urusan mereka.” (QS. Al-Ahzab: 36)
{ َفَال َو َر ِّبَك َالُيْؤ ِم ُنوَن َح َّتى ُيَح ِّك ُم وَك ِفيَم ا َش َج َر َبْيَنُهْم ُثَّم َال َيِج ُدوْا ِفي َأنُفِس ِه ْم َح َر ًج ا ِّمَّم ا َقَض ْيَت َو ُيَس ِّلُم وا َتْس ِليًم ا
}65
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka
menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian
mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang
kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya” (QS. An Nisaa’: 65)
ِبَح ْس ِب اْم ِر ٍئ ِم َن الَّش ِّر َأْن َيْح ِقَر َأَخ اُه اْلُم ْس ِلَم
8
“Cukuplah seseorang dikatakan berbuat jahat jika ia menghina saudaranya sesama
muslim” (H.R. Muslim 2564). (Bahjatu Qulubill Abrar, hal 195)
.» َقاَل َال َأْسَتِط يُع َقاَل « َال اْس َتَطْع َت.» ِبِش َم اِلِه َفَقاَل « ُك ْل ِبَيِم يِنَك-صلى الله عليه وسلم- َأَّن َر ُج ًال َأَك َل ِع ْنَد َر ُسوِل الَّلِه
. َقاَل َفَم ا َر َفَعَها ِإَلى ِفيِه.َم ا َم َنَع ُه ِإَّال اْلِك ْبُر
Kebalikan dari sikap sombong adalah sikap tawadhu’ (rendah hati). Sikap inilah yang
merupakan sikap terpuji, yang merupakan salah satu sifat ‘ibaadur Rahman yang Allah
terangkan dalam firman-Nya,
َو ِع َباُد الَّرْح َمِن اَّلِذ يَن َيْم ُش وَن َع َلى اَأْلْر ِض َهْو ًنا َو ِإَذ ا َخ اَطَبُهُم اْلَج اِه ُلوَن َقاُلوا َس اَل ًم ا
9
“Hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih adalah orang-orang yang berjalan di atas
muka bumi dengan rendah hati (tawadhu’) dan apabila orang jahil menyapa mereka,
mereka mengucapkan kata-kata yang baik.” (QS. Al Furqaan: 63)
َو ِإَّن الَّلَه َأْو َح ى ِإَلَّي َأْن َتَو اَض ُعوا َح َّتى اَل َيْفَخ َر َأَح ٌد َع َلى َأَح ٍد َو اَل َيْبِغ َأَح ٌد َع َلى َأَح ٍد
‘Sesungguhnya Allah mewahyukan kepadaku agar kalian bersikap rendah hati hingga
tidak seorang pun yang bangga atas yang lain dan tidak ada yang berbuat aniaya
terhadap yang lain” (HR Muslim no. 2865).
.َم ا َنَقَص ْت َص َد َقٌة ِم ْن َم اٍل َو َم ا َز اَد الَّلُه َعْبًدا ِبَع ْفٍو ِإَّال ِع ًّز ا َو َم ا َتَو اَض َع َأَح ٌد ِلَّلِه ِإَّال َر َفَع ُه الَّلُه
“Sedekah itu tidak akan mengurangi harta. Tidak ada orang yang memberi maaf kepada
orang lain, melainkan Allah akan menambah kemuliaan untuknya. Dan tidak ada orang
yang tawadhu’ (merendahkan diri) karena Allah, melainkan Allah akan mengangkat
derajatnya.” (HR. Muslim no. 2588)
Sikap tawadhu’ inilah yang akan mengangkat derajat seorang hamba, sebagaimana Allah
berfirman,
ُأ
َد َر َج اٍت اْلِع ْلَم وُتوا َو اَّلِذ يَن ِم نُك ْم آَم ُنوا اَّلِذ يَن الَّلُه َيْر َفِع
“Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-
orang yang berilmu beberapa derajat “ (QS. Al Mujadilah: 11).
Termasuk buah dari lmu yang paling agung adalah sikap tawadhu’. Tawadhu’ adalah
ketundukan secara total terhadap kebenaran, dan tunduk terhadap perintah Allah dan rasul-
Nya dengan melaksanakan perintah dan menjauhi larangan disertai sikap tawdahu’ terhadap
manusia dengan bersikap merenadahkan hati, memperhatikan mereka baik yang tua maupun
muda, dan memuliakan mereka. Kebalikannya adalah sikap sombong yaitu menolak
kebenaran dan rendahkan manusia. (Bahjatu Qulubil Abrar, hal 110)
10
Tatkala Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan bahwa orang yang memiliki
sikap sombong tidak akan masuk surga, ada sahabat yang bertanya tentang orang yang suka
memakai pakaian dan sandal yang bagus. Dia khawatir hal itu termasuk kesombongan yang
diancam dalam hadits. Maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan
bahwasanya hal itu tidak termasuk kesombongan selama orang tersebut tunduk kepada
kebenaran dan bersikap tawadhu’ kepada manusia. Bahkan hal itu termasuk bentuk
keindahan yang dicintai oleh Allah, karena sesungguhnya Allah Maha Indah dalam dzat-
Nya, nama-nama dan sifat-sifat-Nya, serta perbuatan-Nya. Allah mencintai keindahan lahir
dan batin.( Bahjatu Qulubil Abrar , hal 195)
Lemah lembut dan kasih sayang adalah ciri umat Rasulullah, tercermin didalam surat Al
Fath ayat 29 Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia
adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. (QS Al
Fath:29) Allah menjelaskan bahwa Nabi-Nya, Muhammad, sebagai orang yang memiliki akhlak
yang agung. Allah Ta’ala berfirman.
11
Allah juga menjelaskan bahwa beliau adalah orang yang ramah dan lemah lembut. Allah Ta’ala
berfirman.
َفِبَم ا َر ْح َم ٍة ِّم َن ِهَّللا ِلنَت َلُهْم ۖ َو َلْو ُك نَت َفًّظا َغ ِليَظ اْلَقْلِب اَل نَفُّض وا ِم ْن َح ْو ِلَك
“Dengan sebab rahmat Allah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu
bersikap keras lagi berhati kasar, tentu mereka menjauh dari sekelilingmu” [Ali Imran : 159]
Allah juga menjelaskan bahwa beliau adalah orang yang penyayang dan memiliki rasa belas
kasih terhadap orang-orang yang beriman. Allah Ta’ala berfirman.
َلَقْد َج اَء ُك ْم َر ُسوٌل ِّم ْن َأنُفِس ُك ْم َع ِزيٌز َع َلْيِه َم ا َع ِنُّتْم َح ِريٌص َع َلْيُك م ِباْلُم ْؤ ِمِنيَن َر ُء وٌف َّر ِح يٌم
“Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, yang berat
memikirkan penderitaanmu, sangat menginginkan kamu (beriman dan selamat), amat belas
kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mu’min” [At-Taubah : 128]
Rasulullah memerintahkan dan menganjurkan kita agar senantiasa berlaku lemah lembut. Beliau
bersabda.
“Mudahkanlah dan jangan kalian persulit, berilah kabar gembira dan janganlah kalian membuat
orang lari”
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 69 dan Muslim no. 1734 dari Anas bin Malik.
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Muslim no. 1732 dari Abu Musa dengan lafaz.
“Berilah kabar gembira dan jangan kalian membuat orang lari. Mudahkanlah dan janganlah
kalian persulit”.
Al-Bukhari dalam kitab Shahihnya no.220 meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Hurairah bahwa
Rasulullah pernah berkata kepada para sahabatnya pada kisah tentang seorang Arab Badui yang
kencing di masjid.
12
َدُعوُه َو َهِر ْيُقوا َع َلى َبْو ِلِه َس ْج ًال ِم ْن َم اِء َأْو َذُنو ًبا ِم ْن َم اٍء َفِإَّنَم ا ُبِع ْشُتُم ُمَيِّس ِريَن َو َلْم ُتْبَع ُش وا ُمَع ِّس ِرْيَن
“Biarkanlah dia ! Tuangkanlah saja setimba atau seember air. Sesungguhnya kalian diutus untuk
mempermudah, bukan untuk mempersulit”
َياَعاِئَش ُة ِإَّن َهَّللا َرِفْيٌق ُيِح ُّب الِّر ْفَق ِفْي اَألْم ِر ُك ِّلِه
“Wahai Aisyah, sesungguhnya Allah itu Mahalembut dan mencintai kelembutan di dalam semua
urusan”
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Muslim no. 2593 dengan lafaz.
َيا َعاِئَش ُة ِإَّن َهَّللا َرِفْيٌق ُيِح ُب الِّر ْفَق َو ُيْع ِط ى َع َلى الِّر ْفِق َم ا َال ُيعِِط ي َع َلى اْلُع ْنِف َو َم اَال ُيْع ِط ي َع َلى َم ا ِسَو اُه
“Wahai Aisyah, sesunguhnya Allah itu Mahalembut dan mencintai kelembutan. Allah memberi
kepada kelembutan hal-hal yang tidak diberikan kepada kekerasan dan sifat-sifat lainnya”
Muslim meriwayatkan hadits dalam kitab Shahihnya no.2594 dari Aisyah, Nabi bersabda.
ِإَّنالِّر ْفَق َالَيُك وُن ِفي َش ْي ٍء ِإَّال َزاَنُه َو َال ُيْنَز ُع ِم ْن َش يٍء ِإَّال َش اَنُه
“Sungguh, segala sesuatu yang dihiasi kelembutan akan nampak indah. Sebaliknya, tanpa
kelembutan segala sesuatu akan nampak jelek”
Muslim juga meriwayatkan hadits no. 2592 dari Jabir bin Abdullah bahwa Nabi bersabda.
“Barangsiapa yang tidak memiliki sifat lembut, maka tidak akan mendapatkan kebaikan”.
Allah pernah memerintahkan dua orang nabiNya yang mulia yaitu Musa dan Harun untuk
mendakwahi Fir’aun dengan lembut. Allah Ta’ala berfirman.
اْذ َهَبا ِإَلٰى ِفْر َعْو َن ِإَّنُه َطَغ ٰى َفُقواَل َلُه َقْو اًل َّلِّيًنا َّلَع َّلُه َيَتَذَّك ُر َأْو َيْخ َش ٰى
13
“Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, karena dia telah berbuat melampui batas. Berbicaralah
kepadanya dengan kata-kata yang lembut, mudah-mudahan ia mau ingat atau takut” [Thaha : 43-
44]
ِإَّنَم ا اْلُم ْؤ ِم ُنوَن ِإْخ َو ٌة َفَأْص ِلُحوا َبْيَن َأَخ َو ْيُك ْم
“Sesungguhnya hanya kaum muslimin yang bersaudara. Karena itu, berupayalah memperbaiki
hubungan antara kedua saudara kalian..” (QS. Al-Hujurat: 10).
Bahkan Allah ingatkan, diantara nikmat besar yang Allah berikan kepada para sahabat
adalah Allah jadikan mereka saling mengasihi, saling mencintai, padahal sebelumnya mereka
saling bermusuhan,
َو اْذ ُك ُروا ِنْع َم َت ِهَّللا َع َلْيُك ْم ِإْذ ُكْنُتْم َأْع َداًء َفَأَّلَف َبْيَن ُقُلوِبُك ْم َفَأْص َبْح ُتْم ِبِنْع َم ِتِه ِإْخ َو اًنا
Ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan,
kemudian Allah mempersatukan hatimu, lalu jadilah kalian orang-orang yang bersaudara,
karena nikmat Allah. (QS. Ali imran: 103).
َم َثُل اْلُم ْؤ ِمِنيَن ِفْي َتَو اِّد ِهْم َو َتَر اُح ِم ِهْم َو َتَع اُطِفِهْم َم َثُل اْلَج َسِد ِإَذ ا اْثَتَك ى ِم ْنُه ُعْض ٌو َتَداَعى َلُه َس اِئُر اْلَجَسِد ِبالَّسَهِر َو اْلُحمى
“Perumpamaan kaum mukminin dalam kecintaan dan kasih sayang mereka adalah bagaikan
satu jasad, apabila satu anggota tubuh sakit maka seluruh badan akan susah tidur dan terasa
panas.” (HR. Muslim 2586).
Akan tetapi, membangun suasana persadauraan semacam yang diajarkan islam, lebih sulit
ketimbang memindahkan gunung. Setan selalu berupaya memicu terjadinya permusuhan.
14
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
َو َلِكْن ِفي الَّتْح ِر يِش َبْيَنُهْم،ِإَّن الَّش ْيَطاَن َقْد َأِيَس َأْن َيْع ُبَد ُه اْلُمَص ُّلوَن ِفي َج ِزيَرِة اْلَعَرِب
“Setan (Iblis) telah putus asa untuk disembah oleh orang yang rajin shalat di Jazirah Arab.
Namun dia selalu berusaha untuk memicu permusuhan dan kebencian.” (HR. Muslim 2812 dan
Ibn Hibban 5941).
Ketika Iblis melihat kemajuan islam di akhir dakwah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
dia sudah putus asa, tidak mungkin kaum muslimin akan menyembahnya (melakukan syirik) di
jazirah arab. Karena mereka menjadi generasi yang sangat kuat imannya. Tapi setan tidak tinggal
diam, dia berupaya untuk memicu munculnya permusuhan diantara mereka.
Karena itu, sikap saling mendzalimi tidak bisa lepas dari kehidupan manusia. Sikap
saling mendzalimi telah menyatu dan menjadi warna hidup manusia. Namun, islam tidak
membiarkannya. Islam menekan agar seminimal mungkin semacam ini bisa terjadi.
اَل َيِح ُّل ِلُم ْس ِلٍم َأْن َيْهُج َر َأَخ اُه َفْو َق َثاَل ِث َلَياٍل
“Tidak halal bagi seorang muslim untuk memboikot (tidak menyapa) saudaranya lebih dari 3
hari.” (HR. Bukhari 6237 dan Muslim 2560).
Islam tidak melarang umatnya untuk membenci muslim yang lain secara mutlak. Karena
setiap muslim yang merasa telah didzalimi orang lain, dia pasti akan membencinya. Dan tidak
bisa serta merta memaafkannya. Untuk itu, islam memberikan batas toleransi selama 3 hari.
Toleransi bagi gejolak emosi yang itu menjadi tabiat manusia.
15
yang lebih baik; sesungguhnya Tuhanmu Dialah jua yang lebih mengetahui akan orang yang
sesat dari jalanNya, dan Dialah jua yang lebih mengetahui akan orang-orang yang mendapat
hidayah petunjuk." (Al-Nahl: 125)
Istilah itu pun kemudian lebih dikenal di masyarakat kita dengan sebutan amar ma’ruf nahi
mungkar.
Amar ma’ruf nahi mungkar adalah simbol keimanan dan kepedulian suatu umat.
Keberadaannya pada suatu umat laksana tonggak bagi kehidupan mereka. Ketika tonggak amar
ma’ruf nahi mungkar itu roboh, akan roboh pula tatanan kehidupan mereka dan akan berakhir
dengan kebinasaan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Dawud dan Isa putra Maryam.
Hal itu disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain (selalu)
16
tidak saling mencegah dari kemungkaran yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah
apa yang selalu mereka perbuat itu.” (al-Maidah: 78—79)
“Mengapa orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka tidak mencegah mereka
mengucapkan perkataan bohong dan memakan yang haram? Sesungguhnya amat buruk apa yang
telah mereka kerjakan itu.” (al-Maidah: 63)
Sebaliknya, ketika tonggak amar ma’ruf nahi mungkar pada suatu umat itu tegak, akan
tegak pula tatanan kehidupan mereka dan akan berakhir dengan keberuntungan. Dengan sebab
itulah Allah subhanahu wa ta’ala menyematkan gelar “sebaik-baik umat” kepada umat Islam
yang dipelopori oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, sebagaimana
dalam firman-Nya:
“Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang
ma’ruf, mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman,
tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka
adalah orang-orang yang fasik.” (Ali Imran: 110)
Dengan sebab itu pula, terbedakan antara kehidupan orang-orang yang beriman dengan
kehidupan orang-orang yang munafik. Allah subhanahu wa ta’ala memuji kehidupan orang-
orang yang beriman, sebagaimana dalam firman-Nya:
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi
penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyeru (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari
yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, serta mereka taat kepada Allah dan Rasul-
Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah, sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi
Mahabijaksana.” (at-Taubah: 71)
Allah subhanahu wa ta’ala pun mencela kehidupan orang-orang yang munafik, sebagaimana
dalam firman-Nya:
“Orang-orang munafik lelaki dan perempuan, sebagian dengan sebagian yang lain adalah sama.
Mereka menyeru membuat yang mungkar dan mencegah berbuat yang ma’ruf, serta
menggenggamkan tangannya (berlaku kikir). Mereka telah lupa kepada Allah, maka Allah
melupakan mereka. Sesungguhnya orang-orang munafik itu adalah orang-orang yang fasik.” (at-
Taubah: 67)
ISLAM adalah agama yang sangat indah. Ia mengajarkan umatnya untuk tidak membuka
aib orang lain yang hanya akan membuat orang tersebut terhina. Islam memerintahkan umatnya
untuk menutupi aib saudaranya sesama muslim. Dan bagi mereka yang mau menutupi aib
17
saudaranya tersebut, ada 3 keutamaan yang bisa ia dapatkan sebagaimana hadits-hadits berikut
ini:
اَل َيْس ُتُر َع ْبٌد َعْبًدا ِفي الُّد ْنَيا ِإاَّل َس َتَرُه ُهَّللا َيْو َم اْلِقَياَم ِة
“Tidaklah seseorang menutupi aib orang lain di dunia, melainkan Allah akan menutupi aibnya
di hari kiamat kelak.” (HR. Muslim)
َم ْن َس َتَر َأَخ اُه اْلُم ْس ِلَم ِفي الُّد ْنَيا َس َتَرُه ُهَّللا َيْو َم اْلِقَياَم ِة
“Barangsiapa menutupi (aib) saudaranya sesama muslim di dunia, Allah menutupi (aib) nya
pada hari kiamat.” (HR. Ahmad)
Sebaliknya, siapa yang mengumbar aib saudaranya, Allah akan membuka aibnya hingga aib
rumah tangganya.
َم ْن َس َتَر َعْو َر َة َأِخ يِه اْلُم ْس ِلِم َس َتَر ُهَّللا َعْو َر َتُه َيْو َم اْلِقَياَم ِة َو َم ْن َكَش َف َعْو َر َة َأِخ يِه اْلُم ْس ِلِم َكَش َف ُهَّللا َعْو َر َتُه َح َّتى َيْفَض َح ُه ِبَه ا ِفي
َبْيِتِه
“Barang siapa yang menutupi aib saudaranya muslim, Allah akan menutupi aibnya pada hari
kiamat, dan barang siapa mengumbar aib saudaranya muslim, maka Allah akan mengumbar
aibnya hingga terbukalah kejelekannya di dalam rumahnya.” (HR. Ibnu Majah)
َم ْن َس َتَر ُم ْس ِلًم ا َس َتَرُه ُهَّللا ِفي الُّد ْنَيا َو اآْل ِخَر ِة
“Barang Siapa menutupi aib seorang muslim, maka Allah akan menutupi aib orang tersebut di
dunia dan akhirat.” (HR. Ibnu Majah)
ُّد ْنَيا َيَّس َر ُهَّللا¥ُك َر ِب الُّد ْنَيا َنَّفَس ُهَّللا َع ْنُه ُك ْر َبًة ِم ْن ُك َرِب َي ْو ِم اْلِقَياَم ِة َو َم ْن َيَّس َر َع َلى ُم ْع ِس ٍر ِفي ال َم ْن َنَّفَس َع ْن ُم ْس ِلٍم ُك ْر َبًة ِم ْن
َس َتَر َع َلى ُم ْس ِلٍم ِفي الُّد ْنَيا َس َتَر ُهَّللا َع َلْيِه ِفي الُّد ْنَيا َو اآْل ِخَرِة َو ُهَّللا ِفي َعْو ِن اْلَع ْب ِد َم ا َك اَن اْلَع ْب ُد ِفي َع َلْيِه ِفي الُّد ْنَيا َو اآْل ِخ َرِة َو َم ْن
َعْو ِن َأِخ يِه
18
akan menutup (aibnya) di dunia dan akhirat. Sesungguhnya Allah akan senantiasa menolong
seorang hamba selalu ia menolong saudaranya.” (HR. Tirmidzi)
c. Keutamaan menutup aib saudara seperti menghidupkan bayi yang dikubur hidup-hidup
َم ْن َر َأى َعْو َر ًة َفَس َتَر َها َك اَن َك َم ْن َأْح َيا َم ْو ُءوَد ًة
“Siapa melihat aurat (aib orang lain) lalu menutupinya, maka seakan-akan ia menghidupkan
bayi yang dikubur hidup-hidup.” (HR. Abu Daud)
َم ْن َر َأى َعْو َر ًة َفَس َتَر َها َك اَن َك َم ْن اْسَتْح َيا َم ْو ُءوَد ًة ِم ْن َقْبِرَها
“Barangsiapa menutupi aib seorang mukmin maka ia seperti seorang yang menghidupkan
kembali Mau`udah dari kuburnya.” (HR. Ahmad)
َيا َأُّيَها اَّلِذ يَن آَم ُنوا اْج َتِنُبوا َك ِثيًرا ِّم َن الَّظِّن ِإَّن َبْع َض الَّظِّن ِإْثٌم ۖ َو اَل َتَج َّسُسوا
Dalam ayat ini terkandung perintah untuk menjauhi kebanyakan berprasangka, karena
sebagian tindakan berprasangka ada yang merupakan perbuatan dosa. Dalam ayat ini juga
terdapat larangan berbuat tajassus. Tajassus ialah mencari-cari kesalahan-kesalahan atau
kejelekan-kejelekan orang lain, yang biasanya merupakan efek dari prasangka yang buruk.
19
ِإَّيا ُك ْم َو الَّظَّن َفِإَّن الَّظَّن َأْكَذ ُب اْلَحِد ْيِث َو َال َتَح َّسُسوا َو َال َتَج َّسُسوا َو َال َتَح اَس ُدوا َو َالَتَداَبُروا َو َالَتَباَغُضوا َو ُك ْو ُنواِعَباَد ِهَّللا إْح َو اًنا
“Berhati-hatilah kalian dari tindakan berprasangka buruk, karena prasangka buruk adalah
sedusta-dusta ucapan. Janganlah kalian saling mencari berita kejelekan orang lain, saling
memata-matai, saling mendengki, saling membelakangi, dan saling membenci. Jadilah kalian
hamba-hamba Allah yang bersaudara” [1]
Amirul Mukminin Umar bin Khathab berkata, “Janganlah engkau berprasangka terhadap
perkataan yang keluar dari saudaramu yang mukmin kecuali dengan persangkaan yang baik. Dan
hendaknya engkau selalu membawa perkataannya itu kepada prasangka-prasangka yang baik”
Ibnu Katsir menyebutkan perkataan Umar di atas ketika menafsirkan sebuah ayat dalam
surat Al-Hujurat.
Bakar bin Abdullah Al-Muzani yang biografinya bisa kita dapatkan dalam kitab Tahdzib
At-Tahdzib berkata : “Hati-hatilah kalian terhadap perkataan yang sekalipun benar kalian tidak
diberi pahala, namun apabila kalian salah kalian berdosa. Perkataan tersebut adalah berprasangka
buruk terhadap saudaramu”.
Disebutkan dalam kitab Al-Hilyah karya Abu Nu’aim (II/285) bahwa Abu Qilabah
Abdullah bin Yazid Al-Jurmi berkata : “Apabila ada berita tentang tindakan saudaramu yang
tidak kamu sukai, maka berusaha keraslah mancarikan alasan untuknya. Apabila kamu tidak
mendapatkan alasan untuknya, maka katakanlah kepada dirimu sendiri, “Saya kira saudaraku itu
mempunyai alasan yang tepat sehingga melakukan perbuatan tersebut”.
Sufyan bin Husain berkata, “Aku pernah menyebutkan kejelekan seseorang di hadapan
Iyas bin Mu’awiyyah. Beliaupun memandangi wajahku seraya berkata, “Apakah kamu pernah
ikut memerangi bangsa Romawi?” Aku menjawab, “Tidak”. Beliau bertanya lagi, “Kalau
memerangi bangsa Sind [2], Hind (India) atau Turki?” Aku juga menjawab, “Tidak”. Beliau
berkata, “Apakah layak, bangsa Romawi, Sind, Hind dan Turki selamat dari kejelekanmu
sementara saudaramu yang muslim tidak selamat dari kejelekanmu?” Setelah kejadian itu, aku
tidak pernah mengulangi lagi berbuat seperti itu” [3]
saya : “Alangkah baiknya jawaban dari Iyas bin Mu’awiyah yang terkenal cerdas itu.
Dan jawaban di atas salah satu contoh dari kecerdasan beliau”.
Hatim bin Hibban Al-Busti bekata dalam kitab Raudhah Al-‘Uqala (hal.131), ”Orang
yang berakal wajib mencari keselamatan untuk dirinya dengan meninggalkan perbuatan tajassus
20
dan senantiasa sibuk memikirkan kejelekan dirinya sendiri. Sesungguhnya orang yang sibuk
memikirkan kejelekan dirinya sendiri dan melupakan kejelekan orang lain, maka hatinya akan
tenteram dan tidak akan merasa capai. Setiap kali dia melihat kejelekan yang ada pada dirinya,
maka dia akan merasa hina tatkala melihat kejelekan yang serupa ada pada saudaranya.
Sementara orang yang senantiasa sibuk memperhatikan kejelekan orang lain dan melupakan
kejelekannya sendiri, maka hatinya akan buta, badannya akan merasa letih dan akan sulit
baginya meninggalkan kejelekan dirinya”.
Beliau juga berkata pad hal.133, “Tajassus adalah cabang dari kemunafikan, sebagaimana
sebaliknya prasangka yang baik merupakan cabang dari keimanan. Orang yang berakal akan
berprasangka baik kepada saudaranya, dan tidak mau membuatnya sedih dan berduka.
Sedangkan orang yang bodoh akan selalu berprasangka buruk kepada saudaranya dan tidak
segan-segan berbuat jahat dan membuatnya menderita”.
“Sebenarnya Kekuatan manusia yang Dasyat itu bukan pada kedua tangannya, Keperkasaan
manusia yang paling mengagumkan bukan terletak pada keberaniannya, tetapi justru berada
dalam sikap yang rendah hati untuk bisa memaafkan setiap kesalahan yang dilakukan orang
lain.”
Dalam kehidupan setiap manusia pastilah pernah melakukan kesalahan, tetapi kalo kita
berfikir pasti tidak ada seorangpun yang ingin melakukan kesalahan dalam kehidupan baik
disengaja atau tidak disengaja. Dalam kehidupan ini banyak diantara kita juga yang bisanya
mencari-cari kesalahan orang lain, sedikit sekali orang mau berfikir bahwa orang lain benar dan
dirinyalah yang salah, bahkan beribu alas an untuk mengatakan orang lain salah. Dengan
demikian, menurut kita bagaimana sikap kita kepada orang yang bersalah, apakah
menghukumnya atau memaafkannya? Atau bahkan kita balas dendam supaya sakit hati kita
akibat kesalahan terobati?
21
Marilah kita berfikir dan merenungkan, seandainya kita melakukan kesalahan, apakah
kita sengaja melakukan itu, bagaimana perasaan kita ketika bersalah dan apa harapan kita ketika
bersalah? Jawabannya adalah pasti kesalahan itu bukan karena kesengajaan, perasaan kita pasti
serba tidak nyaman, merasa kwatir dan lain-lain yang mengganggu pikiran kita, dan dalam
hatinya pastinya berharap dimaafkan jika ada kesalahan. Jika kita berfikir dan merenungkan hal
itu maka pastinya persaaan dan harapannya juga demikian yaitu saling memaafkan.
Islam Mengajarkan manusia untuk saling memaafkan dan memberikan posisi tinggi bagi
pemberi maaf, karena sifat pemaaf merupakan sifat yang sangat luhur yang harus menyertai
seorang muslim yang bertaqwa. Allah berfirman :” Maka Barang siapa yang memaafkan dan
berbuat baik, maka pahalanya atas tanggungan Allah SWT.” (Q.S. Asy-Syura:40). Dari Uqbah
Bin Amir, Dia berkata :” Rosulullah SAW Bersabda “wahai Uqbah, bagaimana jika
kuberitahukan kepada Ahlak penghuni dunia dan akhiran yang paing Utama? Hendaklah engkau
menyambung hubungan persauadaran dengan orang yang memutuskan hubungan denganmu,
hendaklah engkau memberi orang yang tidak mau memberimu dan maafkanlah orang yang
menzalimimu.” (H.R. Ahmad, Al – Hakim dan Al-Baghawi). Dari berbagai anjuran dalam al-
qur’an dan Hadist adalah Perintahnya untuk memberi maaf dan tidak menanti meminta maaf
dari orang yang bersalah, melainkan memberi maaf sebelum diminta, Jika mereka tidak
memberi maaf padahal sudah meminta maaf Maka Allah Enggan mengampuninya karena Semua
pahalanya Allah SWT yang menanggungnya.
Maka dari itu, marilah kita belajar untuk memaafkan walaupun itu memaafkan tidak
semudah membalikkan telapak tangan. Kita memerlukan keiklasan dan ketulusan hati dan juga
kadang kita mengorbankan harga diri, melepaskan semua rasa marah, egois rasa jengkel dan
mungkin dendam dalam hati dan ini yang membuat memaafkan itu sulit dan ini harus kita
lalukan. Secara hitung-hitungan sebenarnya tidak ada manfaat atau efek positif bagi kita jika kita
memaafkan orang lain, bahkan sebaliknya pikiran kita akan selalu digerogoti oleh penyakit hati
yang akan menjadikan kita menjadi terpuruk dan dapat merenggangkan hubungan antar saudara
kita semua.
Selain itu juga kita tidak ada untungnya, jika kita merawat pemikiran jengkel, marah dan
kesal terhadap orang lain padahal sudah meminta maaf, sementara kita menutup diri atas
permintaan maaf dia, disini kita hanya mendapatkan kejelekan dalam hidup padahal tujuan kita
hidup adalah ingin memanen kebaikan di dunia ini.
Sebenarnya Pengampunan atau memaafkan itu disadari atau tidak merupakan kebutuhan
kita, tetapi kita sering mengabaikan kekuatan memaafkan orang lain seakan kita tidak butuh dan
memerlukan orang lain. Dalam Buku Emotional Quality Management yang ditulis oleh Anthony
Dio Martin mengatakan : “Mulailah dari memaafkan Diri Sendiri ”. dalam diri kita pasti
memiliki kelemahan sehingga dengan memaafkan diri sendiri ini merupakan langkah meraih
22
keberhasilan hati. Dengan saling memaafkan seseorang akan menjadi lebih tenang dalam
hidupnya dibandingkan dengan terus mencari kelemahan orang lain, bahkan jika kelemahan
orang lain itu kita sampaikan kep ada orang lain lagi ini merupakan masalah baru yang akan
memperumit hidup kita sendiri.
َو َتْش ِم ْيُت اْلَع اِط ِس، َو ِإَج اَبُة الَّدْع َوِة، َو اِّتَباُع اْلَج َناِئِز، َو ِعَياَد ُة اْلَم ِرْيِض، َر ُّد الَّسَالِم: َح ُّق اْلُم ْس ِلِم َع َلى اْلُم ْس ِلِم َخ ْم ٌس
“Hak seorang muslim terhadap muslim yang lain ada lima yaitu menjawab salam, menjenguk
orang sakit, mengikuti jenazah, memenuhi undangan, dan mendoakan orang yang bersin (bila
yang bersin mengucapkan hamdalah, pent.).” (HR. Al-Bukhari no. 1240 dan Muslim no. 5615)
Hukum menjenguk orang sakit adalah fardhu kifayah. Artinya, bila ada sebagian orang
yang melakukannya maka gugur kewajiban dari yang lain. Bila tidak ada seorang pun yang
melakukannya, maka wajib bagi orang yang mengetahui keberadaan si sakit untuk
menjenguknya.
Kemudian yang perlu diketahui, orang sakit yang dituntunkan untuk dijenguk adalah yang
terbaring di rumahnya (atau di rumah sakit) dan tidak keluar darinya. Adapun orang yang
menderita sakit yang ringan, yang tidak menghalanginya untuk keluar dari rumah dan bergaul
dengan orang-orang, maka tidak perlu dijenguk. Namun bagi orang yang mengetahui sakitnya
hendaknya menanyakan keadaannya. Demikian penjelasan Syaikh yang mulia Muhammad bin
Shalih Al-Utsaimin t dalam kitabnya Syarhu Riyadhish Shalihin (3/55).
Keutamaan yang besar dijanjikan bagi seorang muslim yang menjenguk saudaranya yang sakit
seperti ditunjukkan dalam hadits-hadits berikut ini:
ِإَّن اْلُم ْس ِلَم ِإَذ ا َعاَد َأَخ اُه اْلُم ْس ِلَم َلْم َيَز ْل ِفي ُخ ْر َفِة اْلَج َّنِة َح َّتى َيْر ِج َع
“Sesungguhnya seorang muslim bila menjenguk saudaranya sesama muslim maka ia terus
menerus berada di khurfatil jannah hingga ia pulang (kembali).” (HR. Muslim no. 6498)
23
Dalam lafadz lain (no. 6499):
َج َناَها: َو َم ا ُخ ْر َفِة اْلَج َّنِة؟ َقاَل، َيا َر ُسْو َل ِهللا: ِقْيَل. َلْم َيَزْل ِفي ُخ ْر َفِة اْلَج َّنِة،َم ْن َعاَد َم ِر ْيًضا
“Siapa yang menjenguk seorang yang sakit maka ia terus menerus berada di khurfatil jannah.”
Ditanyakan kepada beliau, “Wahai Rasulullah, apakah khurfatil jannah itu?”. Beliau menjawab,
“Buah-buahan yang dipetik dari surga.”
“Tidaklah seorang muslim menjenguk muslim yang lain di pagi hari melainkan 70.000 malaikat
bershalawat atasnya (memintakan ampun untuknya) hingga ia berada di sore hari. Dan jika ia
menjenguknya di sore hari maka 70.000 malaikat bershalawat atasnya (memintakan ampun
untuknya) hingga ia berada di pagi hari. Dan ia memiliki buah-buahan yang dipetik di dalam
surga.” (HR. At-Tirmidzi no. 969, dishahihkan Al-Imam Al-Albani t dalam Shahih Al-Jami’
Ash-Shaghir no. 5767 dan Ash-Shahihah no. 1367)
Ada beberapa adab yang perlu diperhatikan oleh seseorang bila hendak menjenguk orang sakit,
sebagaimana disebutkan Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin t. Di antaranya:
24
Wanita tidaklah berbeda dengan lelaki dalam pensyariatan menjenguk orang sakit ini.
Artinya, wanita pun disenangi menjenguk orang sakit. Tentunya ia keluar dari rumahnya menuju
tempat si sakit dengan memerhatikan adab-adab syar’i, seperti menutup aurat, tidak memakai
wangi-wangian, menjaga rasa malu, menjaga diri dari fitnah, dan sebagainya.
Ummul Mukminin Aisyah x, istri Rasulullah n yang mulia pernah menjenguk ayahnya, Abu
Bakr Ash-Shiddiq dan Bilal c yang sedang sakit. Aisyah mengabarkan:
Tatkala Rasulullah SAW. tiba di Madinah (awal hijrah beliau ke Madinah), Abu Bakar dan Bilal
ditimpa penyakit huma (demam dengan panas yang sangat tinggi). Aku pun masuk menemui
keduanya. Aku katakan, “Wahai ayahku, bagaimana engkau dapatkan keadaan dirimu? Dan
engkau, wahai Bilal, bagaimana engkau dapatkan keadaan dirimu?”
Kata Aisyah: “Adalah Abu Bakar bila demam yang tinggi menyerangnya, ia berkata:
“Setiap orang ditimpa kematian di pagi hari dalam keadaan ia berada di tengah keluarganya.
Adapun Bilal, bila sakit telah hilang darinya, ia mengangkat suaranya sembari menangis dan
berkata:
‘Aduhai apa kiranya suatu malam aku sungguh-sungguh akan bermalam di suatu lembah dan di
sekitarku ada tumbuhan idzkhir dan jalil
Aisyah berkata, “Aku mendatangi Rasulullah n lalu mengabarkan kepada beliau tentang hal itu.
Beliau pun berdoa, ‘Ya Allah, cintakanlah kepada kami Madinah, sebagaimana kecintaan kami
kepada Makkah atau lebih. Ya Allah, sehat/baikkanlah kota ini dan berkahi kami dalam mud dan
sha’-nya, dan pindahkanlah huma-nya, lalu letakkanlah huma ini di Juhfah’.” (HR. Al-Bukhari
no. 3926.
Bila yang dijenguk si wanita adalah sesama wanita atau lelaki dari kalangan mahramnya,
maka tidak ada permasalahan. Yang jadi masalah bagaimana bila yang sakit adalah lelaki ajnabi
(bukan mahram), bolehkah seorang wanita ajnabiyah menjenguknya?.
25
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Manusia dalam hidupnya tidak bisa lepas dari orang lain. Bergaul menjadi fitrah dan
kebutuhan dasar manusia. Untuk memenuhi kebutuhannya, manusia harus menjalin hubungan
dengan sesamanya. Kehadiran orang lain adalah suatu keharusan karena manusia tidak bisa
hidup sendiri.
Nabi Muhammad SAW pernah mengibaratkan ikatan persahabatan antar dua orang
muslim dengan kedua belah tangan. Kita bisa melihat bagaimana kedua belah tangan saling
membantu satu sama lain dalam usaha menggapai tujuan. Keduanya bersatu padu dalam
mewujudkan tujuan. Keduanya melebur menjadi satu untuk mencapai tujuan yang sama.
26
DAFTAR PUSTAKA
27
Berkasih Sayang dan Lemah Lembut
https://almanhaj.or.id/3195-berkasih-sayang-dan-lemah-lembut.html
28