Bab v. Prinsip Umum Imunitas Innate Dan Adaptif PDF
Bab v. Prinsip Umum Imunitas Innate Dan Adaptif PDF
120
mengenal konstituen yang ada pada permukaan sel bakteri. Molekul
yang berada pada permukaan sel bakteri berikatan dengan reseptor
yang ada pada makrofag dan merangsang makrofag untuk
memfagosit bakteri tersebut. Makrofag yang teraktifkan mampu
mensekresi sitokin. Sitokin merupakan protein yang disekresi suatu
sel dan memiliki efek mengubah tingkah laku sel lain yang
mempunyai reseptor untuk sitokin tersebut. Makrofag yang
teraktifkan juga mensekresi protein yang dikenal dengan nama
kemokin. Kemokin mempunyai kemampuan merekrut sel-sel lain
yang memiliki reseptor kemokin, seperti neutrofil dan monosit dari
sirkulasi darah. Sitokin dan kemokin yang dihasilkan makrofag
sebagai respon terhadap molekul yang terdapat pada bakteri akan
mengawali proses inflamasi.
Bakteri merangsang makrofag Vasodilasi dan peningkatan Sel inflamator bermigrasi masuk
untuk mensekresi sitokin permeabilitas vasculer menyebabkan jaringan dan mensekresi mediator
dan kemokin kemerahan, panas, dan bengkak inflamasi yang menyebabkan rasa sakit
bakteri
neutrofil
121
Inflamasi dan fagositosis juga dipacu oleh aktivitas
komplemen yang bekerja pada permukaan sel bakteri. Komplemen
merupakan protein dalam plasma yang mengaktifkan reaksi
proteolisis pada permukaan mikrobia tetapi tidak pada sel host.
Komplemen bekerja dengan menempel pada permukaan dinding sel
mikrobia dengan fragmen yang dikenali oleh reseptor makrofag yang
selanjutnya difagosit oleh makrofag. Dalam proses ini makrofag juga
mensekresikan peptida yang menyumbangkan terjadinya inflamasi.
Inflamasi secara umum dapat digambarkan sebagai peradangan
dengan ciri-ciri timbulnya panas, rasa sakit, timbul warna merah, dan
swelling. Kondisi demikian ini merupakan akibat kerja sitokin dan
faktor inflamasi lain pada pembuluh darah di suatu tempat.
Terjadinya delatasi dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah
selama inflamasi akan meningkatkan aliran darah pada daerah yang
mengalami infeksi. Adanya permeabilitas yang tinggi memungkinkan
cairan dari darah akan menembus keluar pembuluh darah menuju
jaringan, dan menyebabkan panas, merah, dan swelling. Sitokin dan
komplemen juga memberi sumbangan penting pada perubahan
fisiologi dari sel endotel. Sel endotel mempunyai daya ikat yang tinggi
atas pengaruh dua molekul tersebut di atas. Daya ikat tersebut
memungkinkan sel-sel leukosit yang sedang bersirkulasi untuk
melekat pada sel-sel endotel pada dinding pembuluh darah. Setelah
pelekatan tersebut sel-sel leukosit dengan mudah menembus di antara
sel-sel endotel menuju daerah infeksi dengan dipandu oleh gradien
kemokin. Pindahnya leukosit dari pembuluh darah menuju jaringan
menimbulkan rasa sakit. Neutrofil merupakan sel terpenting di awal
terjadinya inflamasi. Neutrofil adalah sel yang paling cepat menuju
daerah inflamasi. Sebagaimana makrofag, neutrofil memiliki reseptor
di permukaan sel yang secara umum mampu mengenal molekul pada
permukaan sel bakteri dan komplemen. Neutrofil merupakan sel
penting yang mampu menelan dan menghancurkan mikroorganisma
penginfeksi. Aktivitas neutrofil ini segera diikuti oleh berubahnya
monosit menjadi makrofag, sehingga makrofag dan neutrofil disebut
sel inflamator. Selanjutnya peristiwa inflamasi ini juga menimbulkan
reaksi limfosit. Limfosit T akan bekerja setelah mengenal antigen
yang dipresentasikan oleh APC. Sedangkan limfosit B mempunyai
kemampuan secara langsung untuk merespon antigen dengan
mensekresikan antibodi. Sebagian klon limfosit B ada yang memiliki
kemampuan untuk menelan bakteri dan berlaku sebagai APC.
122
Limfosit B semakin aktif jika memperoleh sitokin yang tepat yang
disekresikan oleh limfosit T. Imunitas innate memberi kontribusi
penting bagi terjadinya imunitas adaptif. Inflamasi meyebabkan
meningkatnya aliran cairan lymph yang mengandung antigen dan sel
yang membawa antigen masuk jaringan limfoid. Makrofag yang telah
memfagosit bakteri mempunyai kemampuan mengaktifkan sel-sel
limfosit. Namun demikian, sel yang secara khusus didesain untuk
mempresentasikan antigen kepada sel T adalah sel dendritik, dan
inilah awal dari terjadinya respon imunitas adaptif.
123
spesifik yang berada pada lymph node (Gambar 42). Sel dendritik
yang teraktivasi mensekresi sitokin yang berpengaruh terhadap
imunitas innate maupun adaptif.
SEL DENDRITIK IMMATURE SEL DENDRITIK BERMIGRASI SEL DENDRITIK MATURE PADA
BERTEMPAT PADA JARINGAN MENUJU LYMPH NODE MELEWATI KORTEK DALAM
PERIFERAL PEMBULUH LIMFAAFFERENT
limfosit spesifik
folikel
limfoid
sel dendritik
mature
kortek
dalam
makropinosom HEV
lymph node
medula
limfosit naive
124
kecepatan berevolusi sangat tinggi selama reseptor nonspesifik dapat
mengenalinya. Sistem imunitas innate dapat mengenali struktur
molekul yang berada pada patogen yang umumnya tidak dimiliki host.
Telah diketahui bahwa bakteri patogen dapat terus melakukan
perubahan struktur kapsul sehingga terhindar dari pengenalan sel-sel
fagosit. Virus membawa berbagai macam molekul yang secara umum
berbeda dengan bakteri dan jarang dapat dikenali langsung oleh
makrofag. Namun demikian virus dan bakteri berkapsul dapat
diambil oleh sel dendritik dengan proses makropinositosis yang tidak
tergantung pada reseptor, sehingga molekul yang menunjukkan sifat
sebagai penginfeksi bisa diketahui, dan sel dendritik teraktivasi akan
mempresentasikan antigen pada limfosit. Mekanisme pengenalan
pada sistem imunitas adaptif yang dilakukan oleh sel limfosit telah
berevolusi untuk mengatasi keterbatasan imunitas innate. Adanya
evolusi itu memungkinkan terjadinya pengenalan terhadap diversitas
antigen yang tak terbatas, sehingga setiap antigen dapat menjadi target
bagi limfosit yang spesifik.
Setiap sel limfosit yang masuk pada sirkulasi darah hanya
memiliki satu macam reseptor yang spesifik untuk satu macam
antigen. Sifat spesifik limfosit ini terbentuk selama proses
perkembangan limfosit mulai pada sumsum tulang dan timus untuk
membentuk varian gen yang menyandi molekul reseptor limfosit.
Karena setiap sel limfosit mempunyai reseptor yang spesifikasinya
berbeda satu dengan yang lain, maka setiap individu mempunyai
berjuta-juta klon sel limfosit, lymphocyte receptor repertoire. Selama
hidup manusia limfosit mengalami proses yang mirip seleksi alam.
Hanya limfosit yang menemukan antigen yang dapat teraktivasi dan
berubah menjadi sel efektor. Clonal selection theory, sebenarnya telah
berkembang sejak tahun 1950. Pada saat itu Macfarlane Burnet
beranggapan bahwa di dalam setiap individu telah tersedia sel-sel yang
mempunyai potensi menghasilkan antibodi yang berbeda-beda. Jika
sel tersebut mengikat antigen yang sesuai akan teraktivasi dan
membelah menjadi progeni yang identik, yang disebut klon. Sel yang
teraktivasi itu sekarang dapat mensekresi antibodi yang sama, dan
mempunyai spesifikasi yang sama pula dengan reseptor yang pertama
kali terstimuli.
125
Seleksi Klon Limfosit Sangat Penting Pada Imunitas Adaptif.
126
bagaimana limfosit dicegah dari mengenali self-antigen pada jaringan
dan bagaimana pula menghindari serangan limfosit itu? Ray Owen
pada akhir tahun 1944 menunjukkan bahwa sapi kembar yang secara
genetika memiliki perbedaan menunjukkan adanya toleransi
imunologi pada transplantasi setiap jaringan. Pada tahun 1953 Peter
Medawar menunjukkan bahwa mencit yang diekpose dengan jaringan
asing selama proses perkembangan embrio akan toleran terhadap
jaringan asing itu. Burnet meyakini bahwa selama perkembangan
limfosit, limfosit yang reaktif terhadap self-antigen akan dihapus
sebelum limfosit itu dewasa, yang diistilahkan dengan clonal selection.
Clonal selection pada limfosit merupakan hal yang paling penting pada
imunitas adaptif. Postulat tersebut disarikan pada Gambar 43.
Masalah terakhir dari teori clonal selection adalah bagaimana diversitas
reseptor antigen limfosit dibentuk, dan telah terjawab tahun 1970
ketika biologi molekuler telah berkembang dan telah berhasil
melakukan klon terhadap gen yang menyandi molekul antibodi.
127
bagian variabel
(sisi ikatan antigen)
bagian konstant
(fungsi efektor)
Gambar 48. Skema struktur molekul antibodi. Dua lengan molekul antibodi
yang berbentuk huruf Y merupakan bagian variabel yang membentuk antigen-
binding site (ABS) yang identik. Bagian lain adalah daerah yang disebut konstan
yang terlibat pada mekanisme efektor.
128
Satu proginetor yang sama berkembang
menjadi berbagai macam limfosit dengan
reseptor yang berbeda spesifikasinya Gambar 50. Seleksi klon (clonal
selection). Setiap progenitor
limfosit dapat berkembang menjadi
bermacam-macam limfosit yang
membawa reseptor yang berbeda.
Limfosit yang reseptornya
Penghapusan klon yang punya potensial reaktif terhadap
tubuh dengan “clonal deletion” mengikat kuat pada self antigen
akan dieliminasi sebelum sel
tersebut dewasa (mature). Jika sel
tersebut telah dewasa dan
self antigen self antigen mengenali antigen maka sel
limfosit masak (naive/belum tersentisisasi)
tersebut akan teraktivasi dan
melakukan pembelahan. Hasil
pembelahan sel yang telah masak
ini merupakan klon yang identik,
antigen asing jadi semua sel anakannya akan
Proliferasi dan diferensiasi limfosit spesifik yang
mengenali antigen yang sama. Sifat
teraktifasi membentuk efektor dari klon yang sama spesifik terhadap antigen ini akan
tetap terjaga walaupun sel telah
mengalami aktivasi, proliferasi, dan
menjadi sel efektor. Jika antigen
sudah berhasil dieliminasi maka
respon imun berhenti.
129
segmen gen yang berbeda bergabung secara random pada setiap sel,
sehingga setiap sel mempunyai gen yang unik dan berbeda satu sama
lain pada gen yang menyandi bagian variabel dari rantai ringan dan
rantai berat molekul imunoglobulin. Apabila rekombinasi di atas telah
sukses menghasilkan reseptor yang fungsional, rekombinasi
selanjutnya dihentikan, sehingga setiap limfosit hanya memiliki satu
macam reseptor yang spesifik. Mekanisme ini mempunyai tiga macam
konskwensi. Pertama, menyebabkan segmen gen yang jumlahnya
terbatas menghasilkan protein dalam variasi yang sangat besar.
Kedua, karena setiap sel menggabungkan segmen gen yang berbeda,
maka setiap sel mengekspresikan reseptor yang spesifik. Ketiga,
karena penyusunan ulang gen bersifat irreversibel, maka semua
turunan dari sel tersebut mewarisi gen yang sama yang menyandi
reseptor spesifik yang sama pula. Mekanisme itu juga berlaku pada
pembentukan reseptor pada limfosit T. Perbedaan utama antara
reseptor limfosit T dan B adalah adanya dua reseptor pengenalan
antigen yang identik dan dapat disekresikan pada sel B, sedangkan
pada sel T hanya ada satu reseptor pengenalan antigen dan tidak
dapat disekresikan. Reseptor antigen pada sel T tetap berada pada
permukaan sel.
Potensi terjadinya diversitas pada sistem pembentukan
reseptor limfosit sangat besar. Hanya beberapa ratus segmen gen
yang berbeda dapat berkombinasi membentuk jutaan reseptor yang
berbeda satu sama lain. Diversitas reseptor limfosit dapat berlipat
ganda dengan adanya junctional diversity, yang terjadi akibat
penambahan ataupun pengurangan selama proses penggabungan
segmen gen, dan fakta menunjukkan bahwa pada setiap reseptor
terbentuk dari pasangan rantai variabel yang berbeda, masing-masing
dikode oleh satu set segmen gen yang berbeda. Pada mekanisme ini
sedikit saja material genetik dapat menyandi diversitas reseptor yang
jumlahnya sangat besar. Pada individu paling tidak terdapat 108 klon
yang berbeda.
130
Gambar 51. Diversitas
Segmen gen yang diwariskan reseptor antigen pada
limfosit terbentuk
dengan cara somatic
gene rearrangements.
Bagian yang berbeda pada
variabel disandi oleh
beberapa set segmen gen.
Selama proses
perkembangan limfosit,
Kombinasi segmen gen dengan satu anggota dari setiap
mekanisme ‘somatic gene rearrangement’ set segmen gen bergabung
satu sama lain secara
random. Penggabungan
itu melalui rekombinasi
DNA dan bersifat
irreversible. Segmen gen
juxtaposed merupakan
gen yang lengkap yang
menyandi bagian variabel
dari satu rantai reseptor,
Rantai berpasangan membentuk reseptor
dan bersifat unik untuk
spesifik pada setiap limfosit
satu sel itu. Penggabungan
secara ramdom di atas
terus terulang pada
segmen gen yang
menyandi rantai lain. Gen
yang telah tersusun
melalui mekanisme itu
akan diekspresikan untuk
membentuk dua tipe
rantai polipeptida. Secara
bersama dua rantai polipeptida itu membentuk reseptor antigen yang spesifik
pada permukaan limfosit. Setiap satu sel limfosit mempunyai reseptor yang
sama walaupun jumlahnya sangat banyak dan tersebar pada permukaan sel.
131
homeostasis individu. Pada peristiwa ini telah diketahui bahwa
pemasakan dan survival limfosit diregulasi oleh signal yang diterima
melalui reseptor antigen. Signal yang sangat kuat yang diterima oleh
limfosit immature mengakibatkan sel tersebut mati atau mengalami
penyusunan reseptor ulang, dan pada mekanisme ini reseptor yang
mengenali atau reaktif terhadap self-antigen akan dihapus dari
repertoire. Namun demikian jika reseptor antigen yang terbentuk sama
sekali tidak mampu menerima signal dari self-antigen juga
mengakibatkan kematian sel itu. Agar limfosit tetap hidup limfosit
harus secara periodik menerima signal yang berasal dari
lingkungannya melalui reseptor antigen. Dengan mekanisme ini tubuh
dapat memastikan bahwa reseptor yang terbentuk berfungsi dan
dapat meregulasi jumlah dan tipe limfosit pada waktu kapanpun.
Signal kehidupan ini datangnya dari sel lain pada organ limfoid yang
disebut molekul self antigen. Apabila terjadi perubahan self environment
juga mengakibatkan perubahan lama hidup limfosit pada lingkungan
itu. Sel B yang berkembang pada sumsum tulang berinteraksi dengan
sel stroma, sedangkan pemasakan akhir dan sirkulasinya sangat
tergantung pada signal kehidupan yang diterima dari folikel sel B pada
jaringan limfoid periferal. Limfosit T menerima signal kehidupan dari
molekul self pada sel epitel yang terspesialisasi pada timus selama
proses perkembangan sel T tersebut. Signal kehidupan yang sama
dapat berasal dari molekul yang diekspresikan oleh sel dendritik pada
jaringan limfoid pada periferal.
Limfosit yang tidak dapat menerima signal kehidupan, dan
limfosit T yang bersifat reaktif terhadap self, akan mengalami
apoptosis atau programmed cell death. Apoptosis berasal dari bahasa
Greek yang artinya daun jatuh dari batang. Apoptosis terjadi pada
seluruh jaringan dan kecepatannya relatif konstan pada setiap
jaringan, dan apoptosis ini merupakan cara bagi tubuh untuk
mengatur jumlah sel. Apoptosis terjadi misalnya pada kematian dan
pengelupasan sel-sel kulit, pergantian sel liver, dan kematian sel epitel
tua pada intestin yang secara konstan diganti oleh sel baru. Demikian
pula, sel-sel yang terlibat pada sistem imunitas juga mengalami
regulasi dengan mekanisme yang sama. Setiap hari sumsum tulang
memproduksi berjuta-juta neutrofil, monosit, sel darah merah, dan
limfosit. Produksi sel oleh sumsum tulang harus seimbang dengan
132
kematian sel-sel itu. Kematian sel-sel tersebut diregulasi melalui
proses apoptosis, dan sel-sel yang mati akan difagosit oleh sel-sel
makrofag pada organ hati dan limfa/spleen. Sel-sel limfosit
merupakan hal yang khusus, oleh sebab itu hilangnya satu sel limfosit
naive berarti hilangnya sel spesifik dari repertoire (populasi sel T),
sedangkan sel-sel baru yang terbentuk secara random pada somatic
rearrangemen akan memiliki spesifikasi antigen yang berbeda. Signal
kehidupan yang diterima sel T melalui reseptornya akan mencegah
terjadinya apoptosis pada sel itu, sehingga menjaga komposisi limfosit
dalam tubuh suatu individu.
Sel Efektor dan Memori Merupakan Respon Adanya Antigen.
133
anakan yang identik. Klon yang telah mengalami ekspansi itu
selanjutnya berdiferensiasi menjadi sel efektor (Gambar 48). Pada sel
B, sel efektor, yang dikenal dengan sel plasma mensekresi antibodi,
sedangkan pada sel T, sel efektor dapat merusak sel yang terinfeksi
atau mengaktifkan sel lain yang terlibat pada sistem imun. Perubahan
yang terjadi pada sel T ini juga mempengaruhi sirkulasinya.
Perubahan yang berupa peningkatan ekspresi molekul adhesi pada
permukaan sel, memungkinkan sel limfosit efektor bermigrasi masuk
menuju daerah yang terinfeksi atau tinggal pada organ limfoid dan
mengaktifkan sel B. Setelah sel limfosit naive teraktivasi, sel-sel
tersebut memerlukan empat sampai lima hari untuk melakukan
ekspansi dalam jumlah besar dan selanjutnya berdiferensiasi menjadi
sel efektor. Itulah sebabnya sehingga imunitas adaptif terjadi beberapa
hari setelah adanya infeksi. Sel efektor mempunyai waktu hidup yang
pendek, jika antigen telah berhasil dimusnahkan, sebagian besar sel T
spesifik yang terbentuk selama proses clonal expansion mengalami
apoptosis. Namun demikian masih ada sel yang tetap hidup setelah
antigen berhasil dieliminasi. Sel yang masih bertahan hidup itu
selanjutnya dikenal dengan sebutan sel momori. Adanya sel memori
ini menjadikan individu lebih siap jika ada antigen yang sama masuk
pada waktu yang lain. Sel memori mempunyai respon jauh lebih cepat
dan efektif dibanding sel naive.
Karakteristik sel memori ini dapat diamati dengan
membandingkan respon antibodi pada individu pada imunisasi
pertama dengan respon yang dirangsang dengan booster dengan
antigen yang sama. Pada Gambar 49 respon antibodi sekunder terjadi
setelah fase lag yang pendek, menghasilkan antibodi dalam jumlah
besar dan mempunyai afinitas yang tinggi dalam hal mengikat antigen.
Prinsip dasar sel memori ini adalah ekspansi dan diferensiasi klon
tersebut, sehingga keseluruhan sel anakannya merupakan sel yang
spesifik untuk antigen yang pernah memapar pada waktu yang
lampau. Sel memori ini yang menjadikan vaksinasi dapat berhasil dan
mencegah terjadinya infeksi oleh patogen yang telah dimusnahkan
oleh imunitas adaptif. Sel memori merupakan bagian yang paling
penting pada terbentuknya imunitas adaptif, walaupun mekanisme
selluler dan mollekuler belum sepenuhnya diketahui.
134
Limfosit naive
Limfoblas
135
Aktivasi Limfosit Memerlukan Antigen dan Interaksi Dengan Sel Lain.
Jaringan limfoid periferal tidak saja berfungsi untuk
memperangkap sel fagosit yang telah mencerna antigen, tapi juga
berfungsi untuk menstimuli terjadinya interaksi antara APC dengan
limfosit yang diperlukan untuk memulai respon imunitas adaptif.
Lymph node dan spleen merupakan organ penting untuk dimulainya
imunitas adaptif ini.
Semua respon imun diinisiasi oleh pengenalan antigen asing.
Pengenalan itu pada akhirnya menimbulkan reaksi aktivasi pada
limfosit yang kompeten dengan antigen yang masuk. Semua rangkaian
reaksi aktivasi itu pada akhirnya ditujukan untuk mengeliminasi
antigen asing itu. Respon imun spesifik dapat dibagi menjadi tiga fase.
Fase tersebut berturut-turut adalah pengenalan (cognitif), aktivasi,
dan efektor. Fase pengenalan ditandai dengan ikatan antigen asing
dengan reseptor spesik pada limfosit yang mature. Limfosit B yang
merupakan komponen imunitas humoral mengekspresikan molekul
antibodi pada permukaan sel yang dapat mengikat antigen asing baik
berupa protein, polisakarida, atau lipida dalam keadaan terlarut
maupun berada pada target yang tidak terlarut. Sel T hanya dapat
mengenali antigen asing jika antigen tersebut dipresentasikan oleh sel
lain dalam bentuk komplek peptida:MHC.
Fase aktivasi merupakan kelanjutan dan konsekuwensi dari
fase pengenalan. Fase aktivasi ini ditandai dengan proliferasi dan
terjadi ekspansi klon yang spesifik untuk suatu antigen, sehingga
meningkatkan kemampuan protektif terhadap antigen itu. Sel B yang
mengenali antigen akan memproduksi antibodi dan antibodi yang
diproduksi itu akan berikatan dengan targetnya yang berupa antigen
spesifik. Beberapa limfosit T ada yang berkembang menjadi sel yang
mampu mengaktifkan sel fagosit sehingga sel fagosit dapat
membunuh bakteri intraselluler dalam sel fagosit itu. Di samping itu
beberapa sel T juga mampu membunuh secara langsung sel lain yang
terinfeksi virus. Secara umum aktivasi limfosit memerlukan dua
signal. Pertama signal dari antigen, kedua signal dari sel lain yang
dapat berupa sel helper atau sel aksesori (APC). Aktvasi limfosit
sangat penting dalam sistem imun karena dapat memperbanyak klon
yang spesifik dan sel yang teraktivasi mempunyai kemampuan
bergerak menuju antigen yang menjadi sasaran.
136