Semua sel dan jaringan tubuh mausia terendam dalam cairan yang komposisinya
mirip dengan air laut, yang mencerminkan awal evolusi manusia. Agar fungsi sel berlangsung
normal komposisi cairan harus relatif konstan. Komposisi cairan tersebut terdiri dari air dan
zat terlarut baik yang termasuk elektrolit ataupun yang non elektrolit dimana keduanya saling
berhubungan dan saling menyeimbangkan. Cairan dalam tubuh manusia terbagi manjadi
cairan intraselular dan ekstraselular, dan cairan ekstraselular dibagi menjadi cairan interstisial
dan intravaskular. Kira-kira seperenam dari total volume tubuh terdiri dari ruang antar sel-sel,
yang secara kolektif disebut interstitium. Cairan didalam ruang tersebut adalah cairan
interstitial. Semua pembagian ini pada prinsipnya saling menyeimbangkan. Jika tubuh
melewati batas kompensasinya maka diperlukan sejumlah besar cairan intravena untuk
mengkoreksi kekurangan cairan. Jika kompensasi ini tidak terjadi atau tidak adanya
penanganan yang adekuat maka akan berdampak perfusi ke jaringan akan terganggu bahkan
akan mengakibatkan kematian jaringan. Normalnya sebagian kecil cairan interstisial dalam
bentuk cairan bebas. Sebagian besar air interstisial secara kimia berhubungan dengan
proteoglikan ekstraselular membentuk gel. Pada umumnya tekanan cairan interstisial adalah
negatif ( kira-kira -5 mmHg). Bila terjadi peningkatan volume cairan interstisial maka
tekanan interstisial juga akan meningkat dan kadang-kadang menjadi positif. Pada saat hal ini
terjadi, cairan bebas dalam gel akan meningkat secara cepat dan secara klinis akan
menimbulkan edema. Hanya sebagian kecil dari plasma protein yang dapat melewati celah
kapiler, oleh karena itu kadar protein dalam cairan interstisial relatif rendah (2 g/Dl). Protein
yang memasuki ruang interstisial akan dikembalikan kedalam sistim vaskular melalui sistim
limfatik.
Cairan tubuh dan zat terlarut didalamnya berada dalam mobilitas yang konstan.
Pertama cairan akan dibawa melalui pembuluh darah, dimana mereka bagian dari IVF.
Kemudian secara cepat cairan dari IVF akan saling bertukar dengan ISF melalui membran
kapiler yang semipermeabel dan akhirnya ISF akan bertukar dengan ICF melalui membran
sel yang permeable selektif. Difusi adalah gerakan acak dari molekul yang disebakan energi
kinetik yang dimilikinya dan bertanggung jawab terhadap sebagian besar pertukaran cairan
dan zat terlarutnya antara kompartemen satu dengan yang lain. Kecepatan difusi suatu zat
melewati sebuah membran tergantung pada (1) permeabilitas zat terhadap membran, (2)
perbedaan konsentrasi antar dua sisi, (3) perbedaan tekanan antara masing-masing sisi karena
tekanan akan memberikan energi kinetik yang lebih besar, dan (4) potensial listrik yang
menyeberangi membran akan memberi muatan pada zat tersebut. Difusi antara cairan
interstisial dan cairan intraselular dapat terjadi melalui beberapa mekanisme: (1)secara
langsung melewati lapisan lemak bilayer pada membran sel, (2) melewati protein chanel
dalam membran, (3) melalui ikatan dengan protein carier yang reversible yang dapat
melewati membran (difusi yang difasilitasi). Molekul-molekul yang larut seperti oksigen,
CO2, air, dan lemak akan menembus membran sel secara langsung. Kation-kation seperti
Na+, K+, dan Ca2+ sangat sedikit sekali yang dapat menembus membran oleh karena tegangan
potensial transmembran sel ( dengan bagian luar yang positif) yang diciptakan oleh pompa
Na+, K+. Dengan demikian kation-kation ini dapat berdifusi hanya melalui chanel protein
yang spesifik. Pada akhirnya ion-ion ini akan berpindah dan saling menetralkan. Misalnya
jika diluar sel terjadi muatan positif yang terlalu besar maka tubuh akan mengkompensasinya
dengan mengeluarkan muatan negatif dari intraselular begitu juga sebaliknya. Glukosa dan
asam amino berdifusi dengan bantuan ikatan membran-protein karier.
2. Produksi toksin yang menghasilkan berbagai efek patologik. Toksin dapat berupa
endotoksin dan eksotoksin. Endotoksin yang merupakan komponen dinding bakteri
adalah suatu lipopolisakarida yang merupakan stimulator produksi sitokin yang kuat,
suatu ajuvan serta aktifator poliklonal sel limfosit B. Sebagian besar eksotoksin
mempunyai efek sitotoksik dengan mekanisme yang belum jelas benar. Sebagai
contoh toksin difteri menghambat sintesis protein secara enzimatik serta menghambat
faktor elongasi-2 yang diperlukan untuk sintesis semua peptida. Toksin kolera
merangsang sintesis AMP siklik (cAMP) oleh sel epitel usus yang menyebabkan
sekresi aktif klorida, kehilangan cairan serta diare yang hebat. Toksin tetanus
merupakan suatu neurotoksin yang terikat motor endplate pada neuromuscular
junction yang menyebabkan kontraksi otot persisten yang sangat fatal bila mengenai
otot pernapasan. Toksin Clostridium dapat menyebabkan nekrosis jaringan yang dapat
menghasilkan gas gangren. Respon imun terhadap bakteri ekstraselular ditujukan
untuk eliminasi bakteri serta netralisasi efek toksin
2. Netralisasi toksin bakteri oleh IgM dan IgG untuk mencegah penempelan
terhadap sel target serta meningkatkan fagositosis untuk eliminasi toksin
tersebut.
3. Aktivasi komplemen oleh IgM dan IgG untuk menghasilkan mikrobisid MAC
serta pelepasan mediator inflamasi akut.
Opsonisasi
Opsonisasi adalah pelapisan antigen oleh antibodi, komplemen, fibronektin, yang
berfungsi untuk memudahkan fagositosis. Opsonisasi ada dua yaitu opsonisasi yang
tidak tergantung antibodi dan yang ditingkatkan oleh antibodi. Pada opsonisasi yang
tidak tergantung antibodi, protein pengikat manose dapat terikat pada manose terminal
pada permukaan bakteri, dan akan mengaktifkan C1r dan C1s serta berikatan dengan
C1q. Proses tersebut akan mengaktivasi komplemen pada jalur klasik yang dapat
berperan sebagai opsonin dan memperantarai fagositosis. Lipopolisakarida (LPS)
merupakan endotoksin yang penting pada bakteri Gram negatif. Sel ini dapat dikenal
oleh tiga kelas molekul reseptor. Sedangkan opsonisasi yang ditingkatkan oleh
antibodi adalah bakteri yang resisten terhadap proses fagositosis akan tertarik pada sel
PMN dan makrofag bila telah diopsonisasi oleh antibodi. Dalam opsonisasi terdapat
sinergisme antara antibodi dan komplemen yang diperantarai oleh reseptor yang
mempunyai afinitas kuat untuk IgG dan C3b pada permukaan fagosit, sehingga
meningkatkan pengikatan di fagosit. Efek augmentasi dari komplemen berasal dari
molekul IgG yang dapat mengikat banyak molekul C3b, sehingga meningkatkan
jumlah hubungan ke makrofag (bonus effect of multivalency). Meskipun IgM tidak
terikat secara spesifik pada makrofag, namun merangsang adesi melalui pengikatan
komplemen.
Antibodi akan menginisiasi aksi berantai komplemen sehingga lisozim serum
dapat masuk ke dalam lapisan peptidoglikan bakteri dan menyebabkan kematian sel.
Aktivasi komplemen melalui penggabungan dengan antibodi dan bakteri juga
menghasilkan anfilaktoksin C3a dan C5a yang berujung pada transudasi luas dari
komponen serum, termasuk antibodi yang lebih banyak, dan juga faktor kemotaktik
terhadap neutrofil untuk membantu fagositosis.
Sel PMN merupakan fagosit yang predominan dalam sirkulasi dan selalu tiba
di lokasi infeksi lebih cepat dari sel lain, karena sel PMN tertarik oleh sinyal
kemotaktik yang dikeluarkan oleh bakteri, sel PMN lain, komplemen atau makrofag
lain, yang lebih dahulu tiba di tempat infeksi. Sel PMN sangat peka terhadap semua
faktor kemotaktik. Sel PMN yang telah mengalami kemotaktik selanjutnya akan
melakukan adesi pada dinding sel bakteri, endotel maupun jaringan yang terinfeksi.
Kemampuan adesi PMN pada permukaan sel bakteri akan bertambah kuat karena
sinyal yang terbentuk pada proses adesi ini akan merangsang ekspresi Fc dan
komplemen pada permukaan sel. Sel PMN juga akan melakukan proses diapedesis
agar dapat menjangkau bakteri yang telah menginfeksi.
Proses penelanan bakteri oleh fagosit diawali dengan pembentukan tonjolan
pseudopodia yang berbentuk kantong fagosom untuk mengelilingi bakteri, sehingga
bakteri akan terperangkap di dalamnya, selanjutnya partikel granular di dalam
fagosom akan mengeluarkan berbagai enzim dan protein untuk merusak dan
menghancurkan bakteri tersebut.
Mekanisme pemusnahan bakteri oleh enzim ini dapat melalui proses oksidasi
maupun nonoksidasi, tergantung pada jenis bakteri dan status metabolik pada saat itu.
Oksidasi dapat berlangsung dengan atau tanpa mieloperoksidase. Proses oksidasi
dengan mieloperoksidase terjadi melalui ikatan H2O2 dengan Fe yang terdapat pada
mieloperoksidase. Proses ini menghasilkan komplek enzim-subtrat dengan daya
oksidasi tinggi dan sangat toksik terhadap bakteri, yaitu asam hipoklorat (HOCl).
Proses oksidasi tanpa mieloperoksidase berdasarkan ikatan H2O2 dengan
superoksida dan radikal hidroksil namun daya oksidasinya rendah. Proses nonoksidasi
berlangsung dengan perantaraan berbagai protein dalam fagosom yaitu flavoprotein,
sitokrom-b, laktoferin, lisozim, kaptensin G dan difensin. Pada proses pemusnahan
bakteri, pH dalam sel fagosit dapat menjadi alkalis. Hal ini terjadi karena protein yang
bermuatan positif dalam pH yang alkalis bersifat sangat toksik dan dapat merusak
lapisan lemak dinding bakteri Gram negatif. Selain itu, bakteri juga dapat terbunuh
pada saat pH dalam fagosom menjadi asam karena aktivitas lisozim. Melalui proses
ini PMN memproduksi antibakteri yang dapat berperan sebagai antibiotika alami
(natural antibiotics).
21. https://duniahermanto.wordpress.com/2014/01/16/mekanisme-
pertahanan-tubuh/