BAB I PENDAHULUAN...........................................................................................................................1
BAB II INFEKSI BAKTERI.......................................................................................................................2
II.1 Bakteri Ekstraseluler.........................................................................................................................2
II.1.1 Imunitas Non-Spesifik terhadap Bakteri Ekstraselular...............................................................3
II.1.2 Imunitas Spesifik terhadap Bakteri Ekstraselular.......................................................................4
II.2 Respons Imun terhadap Bakteri Intraselular......................................................................................5
II.2.1 Imunitas Alamiah terhadap Bakteri Intraselular.........................................................................6
II.2.2 Respons Imun Spesifik terhadap Bakteri Intraselular.................................................................6
BAB III INFEKSI VIRUS...........................................................................................................................8
III.1 Respon imun nonspesifik terhadap infeksi virus............................................................................11
III.2 Respon imun spesifik terhadap infeksi virus..................................................................................12
BAB IV INFEKSI JAMUR.......................................................................................................................15
IV. 1 Respon Imunitas Spesifik.............................................................................................................17
IV.2 Respon Imunitas Non Spesifik......................................................................................................18
IV. 3 Pengenalan Epitel terhadap Candida albicans dan Interaksi dengan Sel Imun..............................18
IV.4 Candida Menginduksi Respon Sitokin Epithelium Cell.................................................................20
IV.5 Respon Imun Permukaan Mukosa terhadap Candida.....................................................................21
BAB V INFEKSI CACING.......................................................................................................................23
V.1 Imunitas nonspesifik.......................................................................................................................23
V.2 Imunitas spesifik.............................................................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................................................ii
i
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit infeksi masih merupakan masalah utama kesehatan masyarakat di negara sedang
berkembang seperti di Indonesia. Pada tahun 1990, misalnya diantara 39,5 juta kematian di
negara berkembang, lebih dari 25% atau sekitar 9,2juta disebabkan oleh penyakit infeksi dan
penyakit yang disebabkan oleh parasit.
Infeksi didefinisikan sebagai proses dimana seorang hospes yang rentan dimasuki oleh
agen-agen patogen (infeksius) yang tumbuh dan memperbanyak diri, menyebabkan bahaya pada
hospes. Pasien-pasien dalam lingkungan kesehatan seperti di rumah sakit dan fasilitas perawatan
jangka panjang hampir merupakan hospes yang rentan terhadap timbulnya infeksi.
Tubuh manusia memiliki suatu sistem pertahanan terhadap benda asing dan patogen yang
disebut sebagai sistem imun. Respon imun timbul karena adanya reaksi yang dikoordinasi sel-
sel, molekul-molekul terhadap mikroba dan bahan lainnya. Sistem imun terdiri atas sistem imun
alamiah atau non spesifik (natural/innate/native) dan didapat atau spesifik (adaptive/acquired).
Baik system imun non spesifik maupun spesifik memiliki peran masing-masing, keduanya
memiliki kelebihan dan kekurangan namun sebenarnya ke dua sistem tersebut memiliki kerja
sama yang erat.1
1
Gambar 1. Respon imun
terhadap infeksi mikroba.
Diunduh dari
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/bookshelf/picrender.fcgi?book=imm&part=A1324&blobname=CH10F4.jpg
BAB II
INFEKSI BAKTERI
Bakteri dari luar yang masuk ke tubuh akan segera diserang sistem imun nonspesifik
berupa fagosit, komplemen, APP (Acute Phase Protein) atau dinetralkan antibody spesifik yang
sudah ada di dalam darah. Imunologi bakteri dapat dibedakan menjadi 2, yaitu imunologi baktei
intraseluler dan ekstraseluler.2
3
komplemen dapat menimbulkan respons inflamasi melalui pengumpulan (recruitment) serta
aktivasi leukosit.2
Endotoksin yang merupakan LPS merangsang produksi sitokin oleh makrofag serta sel
lain seperti endotel vaskular. Beberapa jenis sitokin tersebut antara lain tumour nekrosis factor
(TNF), IL-1, IL-6 serta beberapa sitokin inflamasi dengan berat molekul rendah yang termasuk
golongan IL-8. Fungsi fisiologis yang utama dari sitokin yang dihasilkan oleh makrofag adalah
merangsang inflamasi non-spesifik serta meningkatkan aktivasi limfosit spesifik oleh antigen
bakteri. Sitokin akan menginduksi adhesi neutrofil dan monosit pada endotel vaskular pada
tempat infeksi yang diikuti migrasi, akumulasi lokal serta aktivasi sel inflamasi. Kerusakan
jaringan yang terjadi adalah akibat efek samping mekanisme pertahanan untuk eliminasi bakteri
tersebut. Sitokin juga merangsang demam dan sintesis protein fase akut. Banyak fungsi sitokin
yang sama yaitu sebagai ko-stimulator sel limfosit T dan B yang menghasilkan mekanisme
amplifikasi untuk imunitas spesifik. Sitokin dalam jumlah besar atau produknya yang tidak
terkontrol dapat membahayakan tubuh serta berperan dalam menifestasi klinik infeksi bakteri
ekstraselular. Yang paling berat adalah gejala klinis oleh infeksi bakteri Gram-negatif yang
menyebabkan disseminated intravascular coagulation (DIC) yang progresif serta syok septik
atau syok endotoksin. Sitokin TNF adalah mediator yang paling berperan pada syok endotoksin
ini.2
Ada 3 mekanisme efektor yang dirangsang oleh IgG dan IgM serta antigen permukaan bakteri2
4
1. Opsonisasi bakteri oleh IgG serta peningkatan fagositosis dengan mengikat reseptor Fc_
pada monosit, makrofag dan neutrofil. Antibodi IgG dan IgM mengaktivasi komplemen
jalur klasik yang menghasilkan C3b dan iC3b yang mengikat reseptor komplemen
spesifik tipe 1 dan tipe 3 dan selanjutnya terjadi peningkatan fagositosis. Pasien defisiensi
C3 sangat rentan terhadap infeksi piogenik yang hebat.
2. Netralisasi toksin bakteri oleh IgM dan IgG untuk mencegah penempelan terhadap sel
target serta meningkatkan fagositosis untuk eliminasi toksin tersebut.
3. Aktivasi komplemen oleh IgM dan IgG untuk menghasilkan mikrobisid MAC serta
pelepasan mediator inflamasi akut.
Gambar 2. Respon imun spesifik terhadap mikroba ekstraseluler. Respon imun adaptif/ spesifik terhadap mikroba
ekstraseluler seperti bakteri dan toksinya yang mempengaruhi produksi antibody dan aktivasi CD4+ sel Th. Antibody
menetralisasi dan mengeliminasi mikroba dan toksinnya melalui beberapa mekanisme. Sel Th memproduksi sitokin yang
menstimulasi sel B untuk berespon, mengaktivasi makrofag dan mempengaruhi inflamasi, dan antigen presenting cell. 1
5
II.2 Respons Imun terhadap Bakteri Intraselular
Karakteristik utama bakteri intraseluler adalah kemampuannya untuk hidup dan
bereplikasi didalam sel-sel fagosit. Dimana mikroba ini berhasil memnemukan tempat yang tidak
dapat dijangkau antibodi. Untuk mengeliminasinya membutuhkan mekanisme respon imun
seluler yang berbeda dengan mekanisme respon imun terhadap bakteri ekstrasel. Sejumlah
bakteri dan semua virus serta jamur dapat lolos dan mengadakan replikasi di dalam sel pejamu.
Yang paling patogen di antaranya adalah yang resisten terhadap degradasi dalam makrofag.
Sebagai contoh adalah mikrobakteria serta Listeria monocytogenes. Contoh bakteri intraseluler
adalah Mycobacterium, Listeria monocytogenes, Legionelle pneumophilia.2
6
adalah infeksi mikobakterium. Mikobakterium tidak memproduksi toksin atau enzim yang secara
langsung merusak jaringan yang terinfeksi. Paparan pertama terhadap Mycobacterium
tuberculosis akan merangsang inflamasi selular lokal dan bakteri mengadakan proliferasi dalam
sel fagosit. Sebagian ada yang mati dan sebagian ada yang tinggal dormant. Pada saat yang sama,
pada individu yang terinfeksi terbentuk imunitas sel T yang spesifik. Setelah terbentuk imunitas,
reaksi granulomatosa dapat terjadi pada lokasi bakteri persisten atau pada paparan bakteri
berikutnya. Jadi imunitas perlindungan dan reaksi hipersensitif yang menyebabkan kerusakan
jaringan adalah manifestasi dalam respons imun spesifik yang sama.
7
BAB III
INFEKSI VIRUS
Respon imun terhadap protein virus melibatkan sel T dan sel B. Antigen virus yang
menginduksi antibody dapat menetrlkan virus dan sel T sitotoksik yang spesifik merupakan
imunitas paling efisien pada imunitas proteksi terhadap virus.
Infeksi virus secara langsung merangsang produksi IFN oleh sel-sel terinfeksi. IFN
berfungsi menghambat replikasi virus. Sel NK melisiskan berbagai jenis sel terinfeksi virus. Sel
NK mampu melisiskan sel yang terinfeksi virus walaupun virus menghambat presentasi antigen
dan ekspresi MHC I, karena sel NK cenderung diaktivasi oleh sel sasaran yang MHC
negatif.Untuk membatasi penyebaran virus dan mencegah reinfeksi, sistem imun harus mampu
menghambat masuknya virion ke dalam sel dan memusnahkan sel yang terinfeksi. Antibodi
spesifik mempunyai peran penting pada awal terjadinya infeksi, dimana ia dapat menetralkan
antigen virus dan melawan virus sitopatik yang dilepaskan oleh sel yang mengalami lisis.4
Peran antibodi dalam menetralkan virus terutama efektif untuk virus yang bebas atau
virus dalam sirkulasi. Proses netralisasi virus dapat dilakukan dengan beberapa cara, diantaranya
dengan cara menghambat perlekatan virus pada reseptor yang terdapat pada permukaan sel,
sehingga virus tidak dapat menembus membran sel. Dengan demikian replikasi virus dapat
dicegah. Antibodi dapat juga menghancurkan virus dengan cara aktivasi komplemen melalui
jalur klasik atau menyebabkan agregasi virus sehingga mudah difagositosis dan dihancurkan
8
melalui proses yang sama seperti diuraikan diatas. Antibodi dapat mencegah penyebaran virus
yang dikeluarkan dari sel yang telah hancur. Tetapi sering kali antibodi tidak cukup mampu
untuk mengendalikan virus yang telah mengubah struktur antigennya dan yang melepaskan diri
(budding of) melalui membran sel sebagai partikel yang infeksius, sehingga virus dapat
menyebar ke dalam sel yang berdekatan secara langsung. Jenis virus yang mempunyai sifat
seperti ini, diantaranya adalah virus oncorna (termasuk didalamnya virus leukemogenik), virus
dengue, virus herpes, rubella dan lain-lain. Walaupun tidak cukup mampu menetralkan virus
secara langsung, antibodi dapat berfungsi dalam reaksi ADCC.
Disamping respons antibodi, respons imun selular merupakan respons yang paling
penting, terutama pada infeksi virus yang non-sitopatik respons imun seluler melibatkan T-
sitotoksik, sel NK, ADCC dan interaksi dengan MHC kelas I. Peran IFN sebagai anti virus cukup
besar, khususnya IFN-α dan IFN-β. Dampak antivirus dari IFN terjadi melalui :
1 Peningkatan ekspresi MHC kelas I
2 Aktivasi sel NK dan makrofag
3 Menghambat replikasi virus.
Ada juga yang menyatakan bahwa IFN menghambat penetrasi virus ke dalam sel
maupun budding virus dari sel yang terinfeksi. Seperti halnya pada infeksi dengan
mikroorganisme lain, sel T-sitotoksik selain bersifat protektif juga dapat merupakan penyebab
kerusakan jaringan, misalnya yang terlihat pada infeksi dengan virus LCMV (lympocyte
choriomeningitis virus) yang menginduksi inflamasi pada selaput susunan saraf pusat.
Pada infeksi virus makrofag juga dapat membunuh virus seperti halnya ia membunuh
bakteri. Tetapi pada infeksi dengan virus tertentu, makrofag tidak membunuhnya bahkan
sebaliknya virus memperoleh kesempatan untuk replikasi di dalamnya. Telah diketahui bahwa
virus hanya dapat berkembang biak intraselular karena ia memerlukan DNA-pejamu untuk
replikasi. Akibatnya ialah bahwa virus selanjutnya dapat merusak sel-sel organ tubuh yang lain
terutama apabila virus itu bersifat sitopatik. Apabila virus itu bersifat non sitopatik ia
menyebabkan infeksi kronik dengan menyebar ke sel-sel lain.
Pada infeksi sel secara langsung di tempat masuknya virus (port d’entre), misalnya di
paru, virus tidak sempat beredar dalam sirkulasi dan tidak sempat menimbulkan respons primer,
dan antibody yang dibentuk seringkali terlambat untuk mengatasi infeksi. Pada keadaan ini
respons imun selular mempunyai peran lebih menonjol, karena sel T-sitotoksik mampu
9
mendeteksi virus melalui reseptor terhadap antigen virus sekalipun struktur virus telah berubah.
Sel T sitotoksik kurang spesifik dibandingkan antibody dan dapat melakukan reaksi silang
dengan spectrum yang lebih luas. Namun ia tidak dapat menghancurkan sel sasaran yang
menampilkan MHC kelas I yang berbeda. Beberapa jenis virus dapat menginfeksi sel-sel system
imun sehingga mengganggu fungsinya dan mengakibatkan imunodepresi, misalnya virus
influenza, polio dan HIV. Sebagian besar infeksi virus membatasi diri sendiri (self limiting) pada
sebagian lagi menimbulkan gejala klinik atau subklinik. Penyembuhan dari infeksi virus
umumnya diikuti imunitas jangka panjang.
Untuk mencapai organ sasaran, virus menempuh 2 cara :
1. Virus memasuki tubuh pada suatu tempat, kemudian ikut peredaran darah mencapai
organ. Infeksi virus melalui peredaran darah ini dapat diatasi dengan anti toksin dalam
titer yang rendah. Dengan kata lain titer anti toksin yang rendah di dalam darah sudah
cukup untuk mengikat toksis yang berada dalam perjalanan ke sumsum syaraf pusat,
sehingga tidak lagi dapat berikatan dengan reseptor sel sasaran. Penyakit virus dengan
pola penyebaran melalui peredaran darah mempunyai periode inkubasi yang panjang.
Contoh lain dari pola penyebaran yang sama dengan virus polio adalah virus penyebab
penyakit morbili dan varicella.
2. Virus langsung mencapai organ sasaran, tidak melalui peredaran darah jadi tempat masuk
saluran pernafasan yang sekaligus merupakan tempat masuknya virus. Pada jenis infeksi
ini, titer antibody yang tinggi di dalam serum relative tidak efektif terhadap virus
penyebab penyakit bila dibandingkan dengan virus penyebab penyakit yang
penyebarannya melalui peredaran darah. Hal ini disebabkan karena selaput lendir saluran
nafas tidak terlalu permiabel bagi Ig G dan Ig M. Imunoglobulin yang terdapat dalam
titer tinggi pada selaput lendir saluran nafas adalah Ig A, karena Ig A dihasilkan oleh sel
plasma yang terdapat dalam lamina propria selaput lendir setempat. Ig A dalam secret
hidung inilah yang menetralisir aktivitas virus pada penyakit influenza.
Kekebalan terhadap penyakit virus seringkali bertahan lama, malah ada yang seumur
hidup. Contohnya penyakit morbili dan parotitis epidemika. Hal ini terjadi karena virus yang
sudah berada di dalam jaringan terlindung terhadap antibody. Sewaktu-waktu ada virus yang
keluar dari sel persembunyiannya yang segera dikenali oleh limfosit B pengingat. Sel limfosit
kemudian akan bereaksi memperbanyak diri, menghasilkan sel-sel plasma dan memproduksi
10
antibody. Semuanya terjadi dalam waktu singkat sehingga kekebalan dengan cepat ditingkatkan.
Pada beberapa penyakit virus antara lain influenza serangan penyakit dapat kembali terjadi
dalam waktu relative singkat setelah kesembuhan. Hal ini bukan disebabkan rendahnya
kekebalan, tapi karena virus influenza mengalami mutasi sehingga didapatkan strain baru yang
tidak sesuai dengan antibody yang telah ada.
Pada penyakit-penyakit influenza dan pilek yang mempunyai masa inkubasi pendek yang
dihubungkan dengan kenyataan bahwa organ sasaran akhir bagi virus itu adalah sama dengan
jalan masuk sehingga tidak terdapat stadium antara yang terpengaruh pada perjalanan memasuki
tubuh. Hanya ada sedikit sekali waktu bagi suatu reaksi antibody primer dan dalam segala
kemungkinan pembentuk interferon yang cepat adalah cara yang paling tepat untuk mengatasi
infeksi virus itu.pada penyelidikan terlihat bahwa setelah produksi interferon mulai menanjak,
maka titer virus yang masih hidup dalam paru-paru tikus yang telah di infeksi influenza cepat
turun. Titer antibody yang diukur dari serum, nampaknya sangat lambat untuk mencukupi nilai
yang diperlukan bagi penyembuhan.
Walaupun begitu, beberapa penyelidik akhir-akhir ini telah melihat bahwa kadar antibody
pada cairan local yang membasahi permukaan jaringan yang terinfeksi mungkin meningkat,
misalnya pada selaput lendir hidung dan paru-paru, meskipun titer serum rendah dan ini
merupakan antibody antivirus (terutama Ig A) oleh sel-sel yang telah menjadi kebal dan tersebar
ditempat itu yang dapat membuktikan manfaatnya yang besar sebagai pencegahan bagi infeksi
berikutnya. Celakanya, sampai begitu jauh yang menyangkut soal pilek, tampaknya infeksi
berikutnya mungkin disebabkan oleh virus yang secara antigenic sama sehingga kekebalan
umum terhadap pilek ini sukar dikendalikan.
11
receptors, yang mengenali molekul MHC kelas I dan mendominasi signal dari reseptor aktivasi.
Oleh karena itu sensitivitas sel target tergantung pada ekspresi MHC kelas I. Sel yang sensitif
atau terinfeksi mempunyai MHC kelas I yang rendah, namun sel yang tidak terinfeksi dengan
molekul MHC kelas I yang normal akan terlindungi dari sel NK. Produksi IFN-α selama infeksi
virus akan mengaktivasi sel NK dan meregulasi ekspresi MHC pada sel terdekat sehingga
menjadi resisten terhadap infeksi virus. Sel NK juga dapat berperan dalam ADCC bila antibodi
terhadap protein virus terikat pada sel yang terinfeksi. 4
12
pada fase lambat dalam proses penyembuhan. Namun, kadar antibodi dapat meningkat pada
cairan lokal yang terdapat di permukaan yang terinfeksi, seperti mukosa nasal dan paru.
Pembentukan antibodi antiviral, khususnya IgA, secara lokal menjadi penting untuk pencegahan
infeksi berikutnya. Namun hal ini menjadi tidak bermanfaat apabila terjadi perubahan antigen
virus.
Virus menghindari antibodi dengan cara hidup intraseluler. Antibodi lokal atau sistemik
dapat menghambat penyebaran virus sitolitik yang dilepaskan dari sel pejamu yang terbunuh,
namun antibodi sendiri tidak dapat mengontrol virus yang melakukan budding dari permukaan
sel sebagai partikel infeksius yang dapat menyebarkan virus ke sel terdekat tanpa terpapar oleh
antibodi, oleh karena itu diperlukan imunitas seluler.
Respons imunitas seluler juga merupakan respons yang penting terutama pada infeksi
virus nonsitopatik. Respons ini melibatkan sel T sitotoksik yang bersifat protektif, sel NK,
ADCC dan interaksi dengan MHC kelas I sehingga menyebabkan kerusakan sel jaringan. Dalam
respons infeksi virus pada jaringan akan timbul IFN (IFN-a dan IFN-b) yang akan membantu
terjadinya respons imun yang bawaan dan didapat. Peran antivirus dari IFN cukup besar terutama
IFN-a dan IFN-b.
Kerja IFN sebagai antivirus adalah :
1. Meningkatkan ekspresi MHC kelas I
2. Aktivasi sel NK dan makrofag
3. Menghambat replikasi virus
4. Menghambat penetrasi ke dalam sel atau budding virus dari sel yang terinfeksi.
Limfosit T dari pejamu yang telah tersensitisasi bersifat sitotoksik langsung pada sel yang
teinfeksi virus melalui pengenalan antigen pada permukaan sel target oleh reseptor αβ spesifik di
limfosit. Semakin cepat sel T sitotoksik menyerang virus, maka replikasi dan penyebaran virus
akan cepat dihambat.
Sel yang terinfeksi mengekspresikan peptida antigen virus pada permukaannya yang
terkait dengan MHC kelas I sesaat setelah virus masuk. Pemusnahan cepat sel yang terinfeksi
oleh sel T sitotoksik αβ mencegah multiplikasi virus. Sel T sitotoksik γδ menyerang virus (native
viral coat protein) langsung pada sel target.
Sel T yang terstimulasi oleh antigen virus akan melepaskan sitokin seperti IFN-γ dan
kemokin makrofag atau monosit. Sitokin ini akan menarik fagosit mononuklear dan teraktivasi
13
untuk mengeluarkan TNF. Sitokin TNF bersama IFN-γ akan menyebabkan sel menjadi non-
permissive, sehingga tidak terjadi replikasi virus yang masuk melalui transfer intraseluler. Oleh
karena itu, lokasi infeksi dikelilingi oleh lingkaran sel yang resisten. Seperti halnya IFN-α, IFN-γ
meningkatkan sitotoksisitas sel NK untuk sel yang terinfeksi.
Antibodi dapat menghambat sel T sitotoksik γδ melalui reaksi dengan antigen permukaan
pada budding virus yang baru mulai, sehingga dapat terjadi proses ADCC. Antibodi juga
berguna dalam mencegah reinfeksi.
Beberapa virus dapat menginfeksi sel-sel sistem imun sehingga mengganggu fungsinya
dan mengakibatkan imunodepresi, misalnya virus polio, influenza dan HIV atau penyakit AIDS.
Sebagian besar virus membatasi diri (self-limiting), namun sebagian lain menyebabkan gejala
klinik atau subklinik. Penyembuhan infeksi virus pada umumnya diikuti imunitas jangka
panjang. Pengenalan sel target oleh sel T sitotoksik spesifik virus dapat melisis sel target yang
mengekspresikan peptida antigen yang homolog dengan region berbeda dari protein virus yang
sama, dari protein berbeda dari virus yang sama atau bahkan dari virus yang berbeda. Aktivasi
oleh virus kedua tersebut dapat menimbulkan memori dan imunitas spontan dari virus lain
setelah infeksi virus inisial dengan jenis silang. Demam dengue dan demam berdarah dengue
merupakan infeksi virus akut yang disebabkan oleh empat jenis virus dengue. Imunitas yang
terjadi cukup lama apabila terkena infeksi virus dengan serotipe yang sama, tetapi bila dengan
serotipe yang berbeda maka imunitas yang terjadi akan berbeda. Gangguan pada organ hati pada
demam berdarah dengue telah dibuktikan dengan ditemukannya RNA virus dengue dalam
jaringan sel hati dan organ limfoid. Virus dengue ternyata menyerang sel kupffer dan hepatosit
sehingga terjadi gangguan di hati.
14
Gambar 4. Mekanisme respon imun terhadap infeksi virus. Diunduh dari:
http://www.austincc.edu/apreview/NursingPics/ImmunoPics/Picture14.jpg
BAB IV
INFEKSI JAMUR
Jamur merupakan mikroorganisme saprofit pada manusia yang terdapat luas pada
permukaan tubuh maupun pada mukosa. Penelitian terhadap patofisiologi infeksi jamur pada
manusia, relatif masih sedikit dibandingkan dengan infeksi patogen lain seperti bakteri dan
parasit. Hal ini dikarenakan pada individu yang imunokompeten, jamur tidak dapat menginvasi
barier proteksi mekanis yang merupakan barier pertama sistem imunitas alamiah. Infeksi jamur
dapat bersifat invasif dan menginduksi infeksi opportunistik pada pasien yang
immunocompromised. Infeksi jamur pada manusia lebih sulit ditangani dibandingkan dengan
infeksi bakteri. Manusia dan jamur merupakan organisme eukariotik yang memiliki kesamaan
dalam mekanisme pembentukan protein. Berbeda dengan jamur, bakteri merupakan organisme
prokariotik yang memiliki mekanisme berbeda dalam sintesis protein dibandingkan dengan
15
manusia. Hal inilah yang merupakan pencetus utama kesulitan dalam terapi infeksi jamur pada
manusia. Oleh karena itu pengobatan pada infeksi jamur harus bersifat spesifik untuk mencegah
terjadinya kerusakan pada sel manusia sebagai host.5,6
Table 1. Penurunan system imun yang menjadi predisposisi terjadinya infeksi jamur spesifik.1
Jamur merupakan kelompok organisme eukariotik yang membentuk dunia jamur atau
regnum fungi. Jamur pada umumnya multiseluler (bersel banyak). Ciri-ciri jamur berbeda
dengan organisme lainnya dalam hal cara makan, struktur tubuh, pertumbuhan, dan
reproduksinya. Pada dasarnya, jamur dapat dibedakan ke dalam 2 golongan besar, yaitu yeast
dan mould. Yeast umumnya memiliki bentuk tunggal, kecil, dan selnya berbentuk oval;
sementara mould membentuk koloni yang terdiri dari filamen-filamen yang disebut hifa.
16
Sel menggunakan mekanisme anti jamur intraseluler/ekstraseluler tergantung pada
spesies yang menginfeksi, morphotype, dan rute paparan. Pada sel dendritik fungsinya adalah
memulai imunitas bawaan dan adaptif ke berbagai mikroorganisme. Sel ini menangkap dan
melakukan proses antigen, menyampaikan co-stimulasi limfosit molekul, lalu bermigrasi ke
organ limfoid dan mengeluarkan sitokin untuk memulai respon imun. Peran sel dendritik ini
yaitu menghubungkan respon bawaan dan adaptif terhadap berbagai patogen jamur termasuk
fumigatus Aspergillus,Cryptococcus neoformans dan C.albicans. Sinyal yang ditransmisikan
oleh sel dendritik dapat bervariasi tergantung pada jamur yang ditemui atau morfotype dengan
perbedaan yang dihasilkan pada saat menimbulkan respon imun adaptif temporal, produksi
sitokin dan pengembangan akhir tanggapan T-sel tertentu, serta peran modulasi imunitas
sehingga membatasi cedera autoimun.
Kebanyakan jamur sel membran mengandung ergosterol daripada kolesterol pada bagian
dinding selnya. Amfoterisin B langsung mengikat ergosterol, sedangkan azoles dan terbinafine
target mensintesis ergosterol. Sistem pertahanan kekebalan bawaan, termasuk B-glucan reseptor
(TLRs), telah berevolusi untuk mengenali dan merespon komponen dinding sel jamur. Sebagai
contoh, pada fagositosis permukaan sel adalah TLRs yang mengidentifikasikan molekul pada
pola yang ditemukan pada mikroba (termasuk jamur). Reseptor ini terdiri dari domain
ekstraseluler yang membedakan produk mikroba dan sebuah domain sitoplasmik yang
mengirimkan sinyal intraseluler protein adaptor. Salah satu adaptor seperti, MyD88 memulai
sinyal yang mengarah ke ekspresi molekul microbicidal dan sitokin. Peran reseptor individu,
17
seperti TLR2, TLR4, dan TLR9, dalam MyD88 aktivasi bervariasi tergantung pada proses
menginfeksi jamur dan tempat infeksi. Reseptor spesifik diferensial mengaktifkan fungsi anti
jamur yang dapat mengakibatkan perbedaan tangapan dan kerantanan terhadap infeksi.5
Infeksi kandida sering berawal pada permukaan mukosa dan CMI diduga dapat
mencegah penyebarannya ke jaringan. Pada semua keadaan tersebut, respon Th1 adalah protektif
sedangkan respon Th2 dapat merusak penjamu. Inflamasi granuloma dapat menimbulkan
kerusakan pejamu seperti pada infeksi histoplasma. Kadang terjadi respon humoral yang dapat
digunakan dalam diagnostik serologik, namun efek proteksinya belum diketahui.5
IV. 3 Pengenalan Epitel terhadap Candida albicans dan Interaksi dengan Sel
Imun
Dalam kasus jamur dan terutama C. albicans , jenis sel kekebalan yang dominan terlibat
dalam memerangi infeksi mukosa adalah neutrofil . Pengenalan sel jamur oleh sel-sel telah
menjadi subyek dari mayoritas penelitian kekebalan antijamur selama sepuluh tahun terakhir ,
yang berpuncak pada penemuan PRR (Pattern Recognition Receptor) baru , Dectin-1 ( -1,3
18
glucan ) , dan identifikasi peran beberapa PRRS lain yang terlibat dalam pengakuan polisakarida
dinding sel yang berbeda dari patogen ini, termasuk TLR2 ( phospholipomannan ) , TLR4 ( O -
Mannan ) , dan reseptor mannose ( N -Mannan ). Ini PRRS telah terbukti bekerja baik secara
mandiri dan dalam hubungannya dengan satu sama lain. 5 Misalnya , Dectin-1 dan TLR2
berperan dalam pengenalan ragi jamur , masing-masing bertanggung jawab atas tindakan
terpisah dengan Dectin-1 merangsang fagositosis , sementara TLR2 aktivasi menginduksi
produksi sitokin . Masing-masing dapat bertindak independen , tetapi bersama-sama mereka
menghasilkan respon sinergis . Meskipun ini adalah reseptor utama yang digunakan oleh
makrofag dan neutrofil , reseptor lain juga telah diidentifikasi , termasuk Dectin - 2 , mincle , DC
- SIGN , dan galectin - 3 . Peran reseptor ini saat ini tidak sepenuhnya didirikan dan dengan
demikian fokus penelitian oleh kelompok-kelompok yang berbeda , namun , Dectin - 2 dan DC -
SIGN baru telah disarankan untuk memainkan peran penting dalam pengakuan struktur mannose
tinggi dan galectin - 3 dalam pengenalan β - 1 , 2 mannosides. 5
Epithelium Cell dikenal untuk mengekspresikan berbagai PRRS seperti TLRs, Dectin - 1
dan galectins bersama dengan ko-reseptor dan adaptor mereka. TLR2 dan TLR5, khususnya,
diekspresikan pada tingkat tinggi oleh Epithelim Cell oral, yang penting mengingat bahwa
reseptor ini telah dikaitkan dengan pertumbuhan epitel, kelangsungan hidup, dan perbaikan.
Menariknya , TLR4 diekspresikan pada tingkat yang sangat rendah pada Epithelim Cell oral,
menyiratkan bahwa Epitelium Cells mungkin refrakter terhadap stimulasi awal dengan TLR4
ligan seperti lipopolisakarida, bakteri Gram-negatif. TLR2 , TLR4 , dan Dectin - 1 tidak muncul
untuk terlibat dalam mengaktifkan kekebalan epitel sebagai blokade atau penghambatan reseptor
ini tidak mempengaruhi respon sitokin Epithelium Cells untuk C. albicans. Selanjutnya,
meskipun PAMPs jamur merangsang respon sitokin dalam sel myeloid, termasuk mannans dan β
- glukan, tidak ada PAMPs atau konstituen lainnya polisakarida dari dinding sel jamur, kitin,
respon sitokin diinduksi di Epithelium Cells oral. Epithelium Cells dapat memanfaatkan reseptor
yang berbeda untuk aktivasi kekebalan dan / atau target gugus jamur berbeda dari sel myeloid,
menunjukkan bahwa mekanisme deteksi jamur epitel mungkin berbeda dari deteksi mekanisme
sel myeloid. Perlindungan PMN tergantung terhadap infeksi C. albicans adalah independen dari
PMN migrasi atau kontak sel-sel langsung dengan epitel oral dan selama infeksi , Epithelium
Cell memainkan peran aktif dan integral dalam perlindungan mukosa terhadap pathogen.5
19
Sinyal melalui TLRs berlangsung terutama melalui TRAF6 dengan berbagai protein
adaptor bertindak sebagai perantara antara reseptor dan TRAF6. Terutama di antara ini adalah
MyD88 yang dimanfaatkan oleh semua TLRs diketahui kecuali TLR3.5 Serta MyD88, ada
molekul adaptor lainnya, termasuk TRIF, MAL, dan TRAM, dengan TLRs yang berbeda
menggunakan kombinasi yang berbeda dari adapter ini. Aktivasi adapter ini menyebabkan
aktivasi IRAK1, 2, dan 4 diikuti oleh ubikuitinasi TRAF6 yang menyebabkan aktivasi berikutnya
jalur sinyal hilir. Sinyal melalui CLRS menggunakan domain ITAM (Immunoreceptor Tyrosine-
based Activation Motif) sitoplasma untuk berinteraksi dengan molekul adaptor SYK,
mengaktifkan kompleks Kartu-9-Bcl10-Malt1 protein. Beberapa CLRS, seperti Dectin-1,
termasuk domain ITAM dimodifikasi dalam domain sitoplasmik mereka. Lainnya, seperti
Dectin-2, asosiasi dengan molekul lain reseptor, terutama FcRγ dan Dap12 protein, yang
memiliki domain ITAM yang transduksi sinyal ke dalam sel. Dalam semua kasus, efek bersih
adalah untuk mengaktifkan MAPK dan jalur NF-kB, yang mengarah ke peningkatan regulasi
transkripsi gen spesifik. Selain ini, TLRs juga dikenal untuk mengaktifkan transkripsi melalui
kelompok IRF, termasuk IRF3, IRF5, dan IRF7.
Sel epitel mengenali C. albicans melalui proses dua langkah. Pengenalan awal ragi dengan PRRS
hasil dari permukaan aktivasi berkepanjangan NF-kB dan aktivasi sinyal transien awal MAPK
mengarah ke aktivasi c-Juni melalui jalur ERK1 / 2 dan JNK. Ketika beban hifa melewati
ambang batas, pengenalan hifa ini memicu aktivasi sinyal MAPK yang berkepanjangan. Hal ini
menyebabkan aktivasi MKP1 melalui ERK1 / 2 jalur dan c-Fos melalui sinyal p38. NF-kB dan c-
Fos kemudian memainkan peran penting dalam transkripsi sitokin yang disekresikan oleh sel-sel
epitel, sementara MKP1 bertindak sebagai regulator negatif untuk mengontrol aktivasi JNK dan
sinyal p38.5
20
atau IL-13. Sitokin ini bertindak atas sel-sel limfoid dan myeloid baik kemungkinan bahwa
mereka terlibat dalam mengaktifkan dan merekrut sel-sel ke dalam lapisan mukosa. Sebagai
contoh, IL-8 akan merekrut neutrofil ke epitel, kemudian merangsang pertahanan mukosa
neutrofil tergantung terhadap C. albicans. Serta sitokin dan kemokin, infeksi Candida hasil EC
dalam peningkatan MMPs yang akan berperan dalam renovasi dari epitel dan modulasi fungsi
penghalang. Infeksi juga menghasilkan peningkatan regulasi berbagai peptida antimikroba
seperti β-defensin dan LL-37. Peptida antimikroba memiliki aktivitas anticandidacidal dan
memainkan peran penting dalam memerangi infeksi dan invasi serta memulai respon imun
lainnya.5
21
respon Th17 dan produksi IL -17 untuk kasus Chronic Mucocutaneous Candidiasis (CMC). Hal
ini lebih jauh didukung oleh temuan bahwa dalam kasus autoimunitas dengan antibodi
penetralisir Th17 sitokin (IL-17A, IL-17F, dan IL-22), ada peningkatan insiden CMC. Serta
mendorong imunitas bawaan dan respon neutrofil, sel Th17 juga telah ditunjukkan untuk
mendorong respon antibodi pada permukaan mukosa, khususnya IgA sekretori (sIgA). Pada
tikus, sel Th17 menginduksi masuknya CD19 sel B dan meningkatkan kadar sIgA serta epitel
polimer IgA reseptor. Peningkatan disekresikan IgA pada permukaan mukosa sebelumnya
menunjukkan bahwa ini mungkin mekanisme lain dimana respon Th17 memediasi perlindungan
terhadap kandidiasis mukosa, terutama karena antibodi sIgA dapat menghambat C. albicans ke
sel epitel.7
22
BAB V
INFEKSI CACING
Penyakit kecacingan yang terjadi di Indonesia sering disebabkan oleh cacing yang
tergolong ke dalam soil transmitted helminth. Yang termasuk ke dalam soil transmitted helminth
adalah Ascaris lumbricoides (cacing gelang), Ancylostoma duodenale dan Necator americanus
(cacing tambang), Trichuris trichiura (cacing cambuk). Spesies cacing yang juga sering
menginfeksi populasi Indonesia adalah Oxyuris vermicularis. Cacing ini tidak tergolong soil
transmitted helminth karena tidak memerlukan tanah untuk tumbuh menjadi stadium yang dapat
menginfeksi manusia. Cacing jaringan yang sering menjadi penyebab infeksi di Indonesia adalah
Wuchereria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori. Terdapat beberapa keadaan yang dapat
mempengaruhi munculan penyakit alergi pada penderita kecacingan antara lain waktu dan
lamanya terjadi infeksi cacing, intensitas infeksi, genetik dan jenis cacing.8
23
untuk membunuh mikroba yang terlalu besar untuk dimakan.Beberapa cacing mengaktifkan
komplemen melalui jalur alternatif, tetapi ternyata banyak parasit yang memiliki lapisan
permukaan tebal sehingga resisten terhadap mekanisme sitosidal neutrofil dan makrofag. 8
24
Gambar 7. mekanisme respon imun terhadap infeksi parasit. diunduh dari: http://clinicalgate.com/immunity-to-
protozoa-and-worms/
25
DAFTAR PUSTAKA
1. Abbas Abul K., Lichtman; AH, Pillai S. Cellular and Molecular Immunology. Vol. 8 a ed.,
Elsevier. 2014. 544 p.
3. Bhavsar AP, Guttman J a, Finlay BB. Manipulation of host-cell pathways by bacterial pathogens.
Nature. 2007;449(7164):827–34.
4. Kawai T, Akira S. Innate immune recognition of viral infection. Nat Immunol. 2006;7(2):131–7.
8. Rusjdi SR. Tinjauan Pustaka Infeksi Cacing dan Alergi. J Kesehat Andalas. 2015;4(1):322–5.
ii