Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PENDAHULUAN

TUMOR SKROTUM

DI RUANG INSTALASI BEDAH SENTRAL RS KEN SARAS

Disusun oleh:
RIZKY APRI FAJRIANTI

P1337420614040

PRODI S1 TERAPAN KEPERAWATAN SEMARANG

JURUSAN KEPERAWATAN

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTRIAN KESEHATAN SEMARANG

2018
LAPORAN PENDAHULUAN

I. Konsep Dasar
A. Definisi
Tumor adalah kumpulan sel abnormal yang terbentuk oleh sel – sel yang
tumbuh terus menerus secara tidak terbatas , tidak berkoordinasi dengan jaringan
sekitarnya dan tidak berguna bagi tubuh. Tumor dibedakan menjadi dua yaitu
tumor yang jinak ( benigna ) dan tumor yang ganas ( maligna ). Ca testis
merupakan tumor ganas pada testis. ( Kumpulan kuliah Patologi Anatimik FK
UI )
Tumor skrotum atau yang dikenal dengan tumor testis merupakan jenis
tumor maligna yang paling sering terjadi pada pria berusia 15-35 tahun
(Brunicardi et al, 2010). Tumor ini ditandai dengan massa padat asimtomatik
tanpa nyeri pada testis.

Klasifikasi patologik tumor testis menurut WHO:

1. Tumor sel bening:


a.Tumor dengan satu pola histologik:
1) Seminoma
a) Seminoma spermatositik
b) Karsinoma embrional
c) Yolk sac tumor (Karsinoma embrional tipe infantile)
2) Teratoma:
a) Matur
b) Imatur
c) Dengan transformasi maligna
b. Tumor dengan lebih dari satu pola histoligik:
a) Karsinoma embrional plus teratoma (teratokarsinoma)
b) Kariokarsinoma dan tipe lain apapun (perinci tipe-
tipenya)
2. Tumor stromal-Tali kelamin:
Bentuk berdiferensiasi baik:
a. Tumor sel leydig
b. Tumor sel sertoli
c. Tumor sel granulose
B. Etiologi
Penyebab tumor testis belum diketahui dengan pasti. Faktor genetik dan
infeksi virus HIV diduga memengaruhi terjadinya tumor ini (American Cancer
Society, 2012). Penderita kriptokismus atau bekas kriptokismus memiliki resiko
lebih tinggi untuk terjadinya tumor testis ganas (Sjamsuhidajat dan de Jong,
2004). Kriptokismus yang merupakan ekspresi disgenesia kelenjar gonad
berhubungan dengan suatu transformasi ganas. Selain itu, penggunaan hormone
dietilstilbestrol (DES) oleh ibu pada kehamilan usia dini meningkatkan resiko
malignansi pada alat kelamin bayi saat usia dewasa muda (Sjamsuhidajat dan de
Jong, 2004).
Faktor lainnya yang kemungkinan menjadi penyebab dari kanker testis
tetapi masih dalam taraf penelitian adalah pemaparan bahan kimia tertentu dan
infeksi oleh HIV. Jika di dalam keluarga ada riwayat kanker testis, maka
resikonya akan meningkat. 1% dari semua kanker pada pria merupakan kanker
testis. Kanker testis merupakan kanker yang paling sering ditemukan pada pria
berusia 15-40 tahun. Kanker testis dikelompokkan menjadi:
1. Seminoma : 30-40% dari semua jenis tumor testis. Biasanya ditemukan
pada pria berusia 30-40 tahun dan terbatas pada testis.
2. Non-seminoma: merupakan 60% dari semua jenis tumor testis. Dibagi
menjadi subkategori:
3. Karsinoma embrional: sekitar 20% dari kanker testis, terjadi pada usia
20-30 tahun dan sangat ganas. Pertumbuhannya sangat cepat dan menyebar
ke paru-paru dan hati.
4. Tumor yolk sac: sekitar 60% dari semua jenis kanker testis pada anak
laki-laki.
5. Teratoma: sekitar 7% dari kanker testis pada pria dewasa dan 40%
pada anak laki-laki. - Koriokarsinoma.
6. Tumor sel stroma: tumor yang terdiri dari sel-sel Leydig, sel sertoli dan
sel granulosa. Tumor ini merupakan 3-4% dari seluruh jenis tumor testis.
Tumor bisa menghasilkan hormon estradiol, yang bisa menyebabkan salah
satu gejala kanker testis, yaitu ginekomastia. (Basuki, 2007)

C. Manifestasi Klinik
Gejala pada tumor testis berupa (Basuki,2007):
1. Testis membesar atau teraba aneh (tidak seperti biasanya)
2. Benjolan atau pembengkakan pada salah satu atau kedua testis
3. Nyeri tumpul di punggung atau perut bagian bawah - Ginekomastia
4. Rasa tidak nyaman/rasa nyeri di testis atau skrotum terasa berat.

Tetapi mungkin juga tidak ditemukan gejala sama sekali. Gejala timbul
dengan sangat bertahap dengan massa atau benjolan pada testis yang tidak nyeri.
Pasien dapat mengeluh rasa sesak pada skrotum, area inguinal, atau abdomen
dalam. Sakit pinggang (akibat perluasan nodus retroperineal), nyeri pada
abdomen, penurunan berat badan, dan kelemahan umum dapat diakibatkan oleh
metastasis. Pembesaran testis tanpa nyeri adalah temuan diagnostik yang
signifikan.

D. Stadium Tumor
Berdasarkan sistem klasifikasi TNM, penentuan T dilakukan setelah
orkidektomi berdasarkan pemeriksaan histopatologik. Beberapa cara penentuan
stadium klinis yang lebih sederhana dikemukakan oleh Boden dan Gibb, yaitu
stadium I untuk tumor testis yang masih terbatas pada testis, stadium II untuk
tumor yang telah mengadakan penyebaran ke kelenjar regional (para aorta), dan
stadium III untuk tumor yang telah menyebar keluar dari kelenjar retroperitoneum
atau telah mengadakan metastasis supradiafragma. Stadium II dibedakan menjadi
II A untuk pembesaran limfonodi para aorta yang belum teraba dan stadium IIB
untuk pembesaran limfonodi yang telah teraba (> 10 cm) (Purnomo, 2009).
Tumor testis pada mulanya berupa lesi intratestikuler yang akhirnya
mengenai seluruh parenkim testis. Sel-sel tumor kemudian menyebar ke rete
testis, epididimis, funikulus spermatikus, bahkan ke kulit skrotum. Tumor testis
menyebar melalui pembuluh limfe menuju ke kelenjar limfe retroperitoneal (para
aorta), lalu menuju ke kelenjar limfe mediastinal dan supraklavikula; secara
hematogen tumor testis dapat menyebar ke paru, hepar, dan otak.

Boden Gibb TNM


I T Terbatas pada testis
Tis Intratubuler (insitu)
T1 Testis dan rete testis
T2 Menembus tunika
albuginea/epididimis
T3 Funniculus spermaticus
T4 Skrotum
II N Penyebaran ke kelenjar
limfe regional
(retroperitoneal)
II A N1 Tunggal; ≤ 2 cm
II B N2 Tunggal 2-5 cm; multipel
≤ 5 cm
II C N3 Tunggal atau multipel > 5
cm
>10 cm
III M1a Penyebaran di atas
kelenjar retroperitoneal
M1b Metastasis hematogen
(paru, hati, otak, dan
tulang)
E. Sistem Penderajatan TumoTumor Testis (Purnomo, 2009)

F. Patofisiologi
Penyebabnya yang pasti tidak diketahui, tetapi ada beberapa faktor yang
menunjang terjadinya kanker testis. Testis undesensus (testis yang tidak turun ke
dalam skrotum) walaupun telah dikoreksi dengan operasi. Sindroma Klinefelter
(suatu kelainan kromosom seksual yang ditandai dengan rendahnya kadar hormon
pria, kemandulan, pembesaran payudara (ginekomastia) dan testis yang kecil).
Perkembangan testis yang abnormal. Testis desensus dan sindroma klinefelter ini
dapat menyebabkan diferensiasi dan proliferasi dari testis yang terganggu
sehingga sel leydig yang ada didalam testis tersebut tidak mampu untuk
menghasilkan hormone testosterone dalam jumlah yang cukup, dimana hormone
testosterone ini berfungsi dalam proses diferensiasi dari vas deferen dan vesika
seminalis. FSH dan ICSH akan dilepaskan oleh kelenjar hipofisis berfungsi dalam
spermatogenesis. Karena ketidakseimbangan hormon ini kelenjar hipofisis
mengalami suatu mekanisme kompensasi untuk dapat memenuhi
ketidakseimbangan hormone FSH dan ICSH tersebut. Mekanisme kompensasi
tersebut menyebabkan ICSH tersebut meningkat dalam jumlah yang banyak
untuk merangsang sel leydig untuk terus mengahasilkan hormone testosterone.
Akibat sel leydig tersebut terus dipacu, sel leydig tersebut bertambah banyak dan
tidak terkontrol yang dapat menjadi kaganasan sehingga testis terus membesar.
Tumor testis pada mulanya berupa lesi intratestikuler yang akhinya
mengenai seluruh parenkim testis. Sel-sel tumor kemudian menyebar ke rete
testis, epididimis, funikulus spermatikus, atau bahkan ke kulit scrotum. Tunika
albugenia merupakan barrier yang sangat kuat bagi penjalaran tumor testis ke
organ sekitarnya, sehingga kerusakan tunika albugenia oleh invasi tumor
membuka peluang sel-sel tumor untuk menyebar keluar testis.
Kecuali kariokarsinoma, tumor testis menyebar melalui pembuluh limfe
menuju ke kelenjar limfe retroperitoneal (para aorta) sebagai stasiun pertama,
kemudian menuju ke kelenjar mediastinal dan supraclavikula, sedangkan
kariokarsinoma menyebar secara hematogen ke paru-paru (Anonim, 2010).
G. Pathway

Kelainan Herediter Kelainan Kromosom / mutasi gen Paparan bahan kimia

penekanan/kerusakan jaringan syaraf


Adanya benjolan pada testis

MK : Nyeri Akut Tumor Testis

Sindroma Klinefelter
Penurunan hormon testosteron (suatu kelainan kromosom seksual)

Hipogonadisme (penurunan aktivitas kelenjar gonad)

Diagnosi, prognosis jangka panjang


penurunan fungsi/struktur tubuh

Testis tidak dapat berkembang secara normal


MK : Kecemasan
Gangguan seksual

Testis Undesensus
MK :Gangguan fungsi seksual
(Testis yang tidak turun ke skrotum)
H. Pemeriksaan Penunjang
1. Penanda Tumor
Pada karsinoma testis germinal, penanda tumor bermanfaat untuk membantu
diagnosis, penentuan stadium, monitoring respons terapi, dan indikator
prognosis tumor testis (Purnomo, 2009). Penanda tumor wajib diperiksa pre-
orkidektomi, 24 jam setelah orkidektomi, dan pemeriksaan serial setiap
minggu sampai diketahui normal (SIGN, 2011). Penanda tumor yang paling
sering diperiksa antara lain:
a.αFP (Alfa Feto Protein) adalah suatu glikoprotein yang merupakan
homolog albumin dan berperan sebagai protein carrier pada fetus (SIGN,
2011). AFP diproduksi oleh karsinoma embrional, teratokarsinoma, atau
tumor yolk sac (tumor non-seminoma); tetapi tidak diproduksi oleh
koriokarsinoma murni dan seminoma murni. Peningkatan AFP juga
dapat terjadi pada karsinoma sel hepar dan kanker gastrointestinal yang
lain (SIGN, 2011). Penanda tumor ini memiliki masa paruh waktu 5-7
hari.
b. HCG (Human Chorionic Gonadotropin) adalah suatu
glikoprotein hormon yang pada keadaan normal diproduksi oleh jaringan
plasenta dan trofoblas. Penanda tumor ini meningkat pada semua pasien
koriokarsinoma, pada 40-60% pasien karsinoma embrional, dan 5-10%
pasien seminoma murni. HCG mempunyai waktu paruh 24-36 jam.
c.LDH (Lactate Dehydrogenase) adalah enzim intraseluler yang terdapat
pada hampir semua sel yang bermetabolisme, dengan konsentrasi
tertinggi dijumpai pada jantung, otot rangka, hati, ginjal, otak, dan sel
darah merah. Walaupun kurang spesifik, LDH merupakan penanda yang
berguna terutama pada stadium seminoma dan non-seminoma pada
tumor testis. Peningkatan LDH menunjukkan metastasis yang luas pada
tumor testis.
2. Pencitraan
Pemeriksaan ultrasonografi bermanfaat untuk membedakan dengan
jelas lesi intra atau ekstratestikuler dan massa padat atau kistik, namun
pemeriksaan ultrasonografi tidak dapat memperlihatkan tunika albuginea,
sehingga tidak dapat menentukan stadium tumor testis. Pemeriksaan USG
yang menunjukkan adanya tumor testis tanpa peningkatan penanda tumor
seperti AFP, HCG, maupun LDH, diagnosis ditegakkan melalui biopsi testis.
Hasil fals positif sering muncul pada berbagai macam kondisi,
misalnya rete testis yang berdilatasi yang terlihat seperti massa pada testis;
infark testis juga dapat memperlihatkan tanda hipoechoic dan terlihat seperti
proses malignansi tumor (Light et al., 2013).

I. Penatalaksanaan
1. Tumor Testis Seminoma
Tumor testis seminoma merupakan tumor ganas yang cukup sensitif
terhadap radioterapi dan kemoterapi. Pemilihan terapi didasarkan pada
derajat penyebaran setelah orkidektomi dan pemeriksaan lengkap, termasuk
keterangan histologi kelenjar limfe retroperitoneal (Sjamsuhidajat dan de
Jong, 2004).
Pasien dengan stadium I seminoma dilakukan terapi operatif berupa
orkidektomi. 15-20% pasien dengan seminoma stadium I dapat mengalami
metastasis retroperitoneal dan dapat kambuh setelah dilakukan orkidektomi
(Albers et al., 2011). Oleh karena itu, dilakukan radioterapi pada kelenjar
limfe regio paraaorta dan regio iliaka ipsilateral dengan dosis moderat (20-24
Gy). Pemberian kemoterapi pada stadium I (berupa carboplatin dalam satu
siklus) juga dapat dijadikan alternatif (Oliver, et al., 2011) walaupun tidak
memberikan perbedaan signifikan pada kekambuhan setelah follow up
selama 4 tahun. Diseksi kelenjar limfe retroperitoneal (retroperitoneal
lymphnode dissection) atau RPLND tidak direkomendasikan pada stadium I
seminoma.
Pasien dengan stadium IIA dan IIB setelah ordikdektomi, standar
terapinya adalah radioterapi (Albers, 2011). Radiasi dilakukan pada
regioparaaorta dan regio panggul ipsilateral dengan dosis 30-36 Gy.
Pengurangan dosis hingga 27 Gy diketahui menimbulkan kekambuhan pada
11% pasien. Pada stadium IIB, alternatif lain radioterapi adalah kemoterapi.
Pada kemoterapi diberikan 4 siklus EP (etoposide dan cisplatin) atau 3 siklus
PEB (cisplatin, etoposide, dan bleomycin). Penggunaan agen tunggal
carboplatin tidak dianjurkan. Dikarenakan seringnya terjadi kekambuhan
pada stadium II C dan stadium III diberikan skema kemoterapi yang berlaku
untuk penderita non seminoma.
2. Tumor Testis Non-Seminoma
Penderita dengan tumor non seminoma cenderung tidak sensitif pada
radioterapi. Pada non seminoma stadium I, setelah dilakukan orkidektomi,
dianjurkan untuk dilakukan kemoterapi dengan dua siklus PEB (cisplatin,
eposide, dan bleomycin) (Albers et al., 2011). Setelah itu baru dilakukan
tindakan pembersihan kelenjar retroperitoneal (RPLND). Tindakan diseksi
kelenjar pada pembesaran aorta didahului dengan pemberian sitotastika
terlebih dahulu dengan harapan terjadinya downstaging dan pengecilan
ukuran tumor. Kekambuhan dapat terjadi pada 30% pasien, dengan 80%
kekambuhan terjadi pada tahun pertama follow up, 12% pada tahun kedua,
6% tahun ketiga, dan 2% pada tahun keempat dan kelima.
Pada pasien non-seminoma dengan stadium II memiliki terapi yang
hampir sama dengan stadium I. Setelah dilakukan orkidektomi, pada stadium
II A diberikan kemoterapi dua seri, II B diberikan kemoterapi empat seri.
Selanjutnya dilakukan tindakan RPLND. Penderita stadium II C dan III
diberikan kemoterapi yang terdiri atas PEB (sisplatin, bleomisin, dan
etoposide). Bila respons tidak sempurna, diberikan seri tambahan dengan
sediaan kemoterapi lain. Dapat diberikan empat siklus PEI/VIP/TIP/VeIP.
Bila masih terdapat sisa jaringan di regio retroperitoneal, dilakukan
laparatomi eksplorasi.
Setelah dilakukan terapi, baik pada seminoma dan non seminoma
dianjurkan untuk pemeriksaan berkala, baik pemeriksaan fisik, penanda
tumor, USG, dan foto dada. Untuk pemeriksaan fisik dan penanda tumor
minimal empat kali dalam setahun, di dalam dua tahun pertama setelah
terapi. Untuk tahun-tahun selanjutnya sampai 10 tahun ke depan minimal
kontrol berkala sekali dalam setahun. Untuk foto dada dan USG dilakukan
minimal dua kali dalam setahun dalam dua tahun pertama.
3. Tumor Non Germinal
Untuk tumor testis non germinal, baik tumor sel leydig, tumor sel
sertoli, dan lainnya, direkomendasikan untuk melakukan organ sparing-
procedure pada lesi intraparenkimal untuk menegakkan diagnosis histologis.,
terutama pada pasien dengan ginekomastia dan disorder hormonal, diagnosis
non-germinal tumor testis harus dipertimbangkan dan orkidektomi tanpa
pertimbangan sebaiknya dihindari.
Jika terdapat tanda-tanda keganasan, terutama pada pasien yang lebih
tua, orkidektomi dan RPLND sangat direkomendasikan untuk menghindari
terjadinya metastasis. Tumor non-germinal yang ganas, yang sudah
bermetastasis ke limfonode, paru, hati, dan tulang tidak terlalu merespon baik
terhadap kemoterapi maupun radioterapi dan prognosisnya kurang baik
(Albers et al, 2011).

II. Asuhan Keperawatan Bedah


A. Diagnosa Keperawatan
1. Pre Operatif
a.Cemas berhubungan dengan proses pembedahan
b. Kurang pengetahuan berhubungan dengan keterbatasan paparan
c.Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri biologi
2. Intra Operatif
a. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan tekanan
inspirasi dan ekspirasi karena pemberian agent anastesi.
b. Kerusakan jaringan berhubungan dengan proses pembedahan
c.Resiko jatuh berhubungan dengan anastesi dan pembedahan.
3. Post Operatif
a.Resiko hipotermi berhubungan dengan status kesadaran karena
pemakaian obat anastesi
b. Resiko jatuh berhubungan dengan tingkat kesadaran pasien
c.Resiko infeksi berhubungan dengan pembedahan, prosedur invasif dan
truma jaringan
B. Intervensi
1. Pre operatif
DIAGNOSA
NOC NIC
KEP.
Cemas Setelah dilakukan Anxiety reduction :
berhubungan asuhan keperawatan · Tenangkan pasien
· Jelaskan seluruh prosedur tindakan kepada
dengan perubahan selama..... pasien
pasien dan perasaan yang mungkin muncul
status kesehatan menunjukan anxiety
pada saat melakukan tindakan
control dengan kriteria
· Berusaha memahami keadaan pasien
hasil: · Berikan informasi tentang diagnosa,
1. Pasien prognosis dan tindakan
· Mendampingi pasien untuk mengurangi
kooperatif
2. Mampu kecemasan dan meningkatkan kenyamanan
· Dorong pasien untuk menyampaikan tentang
mengidentifikasikan
isi perasaannya
cemas dengan
· Kaji tingkat kecemasan
bahasa tubuh yang · Dengarkan dengan penuh perhatian
tenang · Ciptakan hubungan saling percaya
3. Vital sign dbn · Bantu pasien menjelaskan keadaan yang bisa
menimbulkan kecemasan
· Bantu pasien untuk mengungkapkan hal hal
yang membuat cemas
· Ajarkan pasien teknik relaksasi
· Berikan obat obat yang mengurangi cemas

Nyeri akut b.d agen Setelah dilakukan - Lakukan pengkajian nyeri secara
injuri biologi asuhan keperawatan komprehensif termasuk lokasi, karakteristik,
selama pertemuan, durasi, frekuensi
- Monitor vital sign
nyeri klien berkurang
- Gunakan teknik komunikasi terapeutik
dengan kriteria hasil:
untuk mengetahui pengalaman nyeri
1. Nyeri - Ajarkan teknik relaksasi nafas dalam
terkontrol untuk mengurangi nyeri
2. Klien
menggunakan
teknik non
farmakologi untuk
mengurangi nyeri
3. Tanda vital
dalam rentang
normal

2. Intra Operatif

DIAGNOSA KEP. NOC NIC


Pola nafas tidak efektif Setelah dilakukan asuhan Airway and breathing management :
berhubungan dengan keperawatan selama 1 x - Monitor ventilasi (jalan dan suara
penurunan tekanan 24 jam pasien nafas)
- Lakukan management ventilasi dengan
inspirasi dan ekspirasi menunjukan respiration
head tilt chin leaf / jaw trust
karena pemberian control dengan kriteria
positioning
agent anastesi. hasil:
- Pasang alat bantu nafas : mouth
1. Jalan nafas
airway/orofaringeal tube, ET, LMA
adequat - Monitor keakuratan fungsi ET, LMA
2. Suara nafas - Lakukan assisted respiration
vesikuler - Monitor vital sign dan saturasi O2
3. Saturasi O2 dbn
secara periodik
Resiko infeksi Setelah dilakukanasuhan Infection control management
berhubungan dengan keperawatan selama 1 x - Kendalikan prosedur masuk
pembedahan, prosedur 24 jam, menunjukkan kamar operasi untuk pasien maupun
invasif dan truma infection protection, petugas
- Batasi jumlah personil di kamar
jaringan. enviroment, host and
operasi
agent control dengan
- Kendalikan sterilitas ruangan dan
kriteria hasil
peralatan yang dipakai
1. Terkendalinya - Lakukan cuci tangan bedah,
nfection control pemakaian jas operasi, pemakaian
2. Luka dan keadaan
sarung tangan dan duk operasi sesuai
sekitar bersih
prosedur.
- Terapkan prosedur septik aseptik.
- Lakukan penutupan luka sesuai
prosedur
- Kolaborasi pemberian antibiotik
- Environment kontrol
Resiko jatuh Setelah dilakukan asuhan Injury control management
berhubungan dengan keperawatan selama1 x - Anatomis dan imobil position
- Pasang groundit kouter dengan
anastesi dan 24 jam menunjukkan
benar
pembedahan. injury neuromuscular
- Melakukan tindakan anastesi
protection dengan kriteria
sesuai dengan prosedur
hasil : - Memasang alat bantu pernafasan
· Tidak terjadi luka baru sesuai dengan prosedur
- Hindari manipulasi jaringan
diluar organ target
berlebihan
· Instrument terhitung
- Penggunaan instrument yang tepat
lengkap sebelum dan
dan benar
sesudah operasi. - Perhitungan jumlah instrument
sebelum dan sesudah operasi yang

3. Post Operatif

DIAGNOSA KEP. NOC NIC


Resiko aspirasi Setelah dilakukan asuhan Aspiration Precaution :
berhubungan dengan keperawatan selama......, - Monitor tingkat kesadaran dan reflek
status kesadaran, menunjukkan control menelan
- Monitor status airway dan bebaskan
reflek menelan belum dengan kriteria hasil
airway
optimal karena 1. Airway terkontrol dan
- Lakukan suctioning jika perlu
pemakaian obat adequat - Posisikan supinasi atau posisi SIM pada
2. Reflek menelan
anastesi operasi jalan nafas
efektif

Resiko jatuh Setelah dilakukan asuhan Environment Management :


berhubungan dengan keperawatan selama......, - Sediakan lingkungan yang aman
tingkat kesadaran menunjukkan risk dan nyaman
- Posisikan tidur sesuai instruksi
pasien control dengan kriteria
medis / anastesi
hasil
- Memasang side trail tempat tidur
1. Pasien terbebas - Hindari dari perabot yang
dari cidera berbahaya
2. Pasien - Kaji tingkat kesadaran
- Dampingi selama pasien belum
komunikatif dan
sadar penuh
kooperatif
- Lindungi arah gerakan dan jangan
lawan gerakan pasien
- Rangsang kesadaran pasien ke
Compos Mentis
- Alat invasif terkontrol
Daftar Pustaka

Albers, P., et al. 2012. Guidelines on Testicular Cancer from European Association of
Urology, diunduh dari www.uroweb.org/gls/pdf/10_Testicular_Cancer.pdf

American Cancer Society. 2012. Testicular Cancer. Diunduh dari


www.cancer.org/acs/groups/cid/documents/webcontent/003142-pdf.pdf

Brunicardi F.C., et al. 2010. Schwartz’s Principle of Surgery Ninth Edition. USA: The
McGraw Hill Companies.

Light D., et al. 2013. Malignant Testicular Tumor Imaging. Diunduh dari
http://emedicine.medscape.com/article/381007
Price S.A dan Wilson L. M. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Ed. 6.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Purnomo, B. 2009. Dasar-dasar Urologi. Jakarta: Sagung Seto.

Sachdeva, K., et al. 2012. Testicular Cancer, diunduh dari


http://emedicine.medscape.com/article/279007

Scottish Intercollegiate Guidelines Network (SIGN). Management of Adult Testicular Germ


Cell Tumours. SIGN Publication 2011; 124: 1-70.

Sjamsuhidajat R., dan Jong W.D. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah Ed. 2. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.

Anonim. 2010. Karsinoma Testis Online http://www.scribd.com/doc/32055135/Ca-testis.


(akses : 20 February 2017)

Dochterman, Joanne McCloskey. 2004. Nursing Interventions Classification (NIC) Fourth


Edition. St. Louis, Missouri: Mosby Elsevier

NANDA Internasional 2010. Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2009-2011.


Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai