Laporan Pendahuluan Tumor Skrotum
Laporan Pendahuluan Tumor Skrotum
TUMOR SKROTUM
Disusun oleh:
RIZKY APRI FAJRIANTI
P1337420614040
JURUSAN KEPERAWATAN
2018
LAPORAN PENDAHULUAN
I. Konsep Dasar
A. Definisi
Tumor adalah kumpulan sel abnormal yang terbentuk oleh sel – sel yang
tumbuh terus menerus secara tidak terbatas , tidak berkoordinasi dengan jaringan
sekitarnya dan tidak berguna bagi tubuh. Tumor dibedakan menjadi dua yaitu
tumor yang jinak ( benigna ) dan tumor yang ganas ( maligna ). Ca testis
merupakan tumor ganas pada testis. ( Kumpulan kuliah Patologi Anatimik FK
UI )
Tumor skrotum atau yang dikenal dengan tumor testis merupakan jenis
tumor maligna yang paling sering terjadi pada pria berusia 15-35 tahun
(Brunicardi et al, 2010). Tumor ini ditandai dengan massa padat asimtomatik
tanpa nyeri pada testis.
C. Manifestasi Klinik
Gejala pada tumor testis berupa (Basuki,2007):
1. Testis membesar atau teraba aneh (tidak seperti biasanya)
2. Benjolan atau pembengkakan pada salah satu atau kedua testis
3. Nyeri tumpul di punggung atau perut bagian bawah - Ginekomastia
4. Rasa tidak nyaman/rasa nyeri di testis atau skrotum terasa berat.
Tetapi mungkin juga tidak ditemukan gejala sama sekali. Gejala timbul
dengan sangat bertahap dengan massa atau benjolan pada testis yang tidak nyeri.
Pasien dapat mengeluh rasa sesak pada skrotum, area inguinal, atau abdomen
dalam. Sakit pinggang (akibat perluasan nodus retroperineal), nyeri pada
abdomen, penurunan berat badan, dan kelemahan umum dapat diakibatkan oleh
metastasis. Pembesaran testis tanpa nyeri adalah temuan diagnostik yang
signifikan.
D. Stadium Tumor
Berdasarkan sistem klasifikasi TNM, penentuan T dilakukan setelah
orkidektomi berdasarkan pemeriksaan histopatologik. Beberapa cara penentuan
stadium klinis yang lebih sederhana dikemukakan oleh Boden dan Gibb, yaitu
stadium I untuk tumor testis yang masih terbatas pada testis, stadium II untuk
tumor yang telah mengadakan penyebaran ke kelenjar regional (para aorta), dan
stadium III untuk tumor yang telah menyebar keluar dari kelenjar retroperitoneum
atau telah mengadakan metastasis supradiafragma. Stadium II dibedakan menjadi
II A untuk pembesaran limfonodi para aorta yang belum teraba dan stadium IIB
untuk pembesaran limfonodi yang telah teraba (> 10 cm) (Purnomo, 2009).
Tumor testis pada mulanya berupa lesi intratestikuler yang akhirnya
mengenai seluruh parenkim testis. Sel-sel tumor kemudian menyebar ke rete
testis, epididimis, funikulus spermatikus, bahkan ke kulit skrotum. Tumor testis
menyebar melalui pembuluh limfe menuju ke kelenjar limfe retroperitoneal (para
aorta), lalu menuju ke kelenjar limfe mediastinal dan supraklavikula; secara
hematogen tumor testis dapat menyebar ke paru, hepar, dan otak.
F. Patofisiologi
Penyebabnya yang pasti tidak diketahui, tetapi ada beberapa faktor yang
menunjang terjadinya kanker testis. Testis undesensus (testis yang tidak turun ke
dalam skrotum) walaupun telah dikoreksi dengan operasi. Sindroma Klinefelter
(suatu kelainan kromosom seksual yang ditandai dengan rendahnya kadar hormon
pria, kemandulan, pembesaran payudara (ginekomastia) dan testis yang kecil).
Perkembangan testis yang abnormal. Testis desensus dan sindroma klinefelter ini
dapat menyebabkan diferensiasi dan proliferasi dari testis yang terganggu
sehingga sel leydig yang ada didalam testis tersebut tidak mampu untuk
menghasilkan hormone testosterone dalam jumlah yang cukup, dimana hormone
testosterone ini berfungsi dalam proses diferensiasi dari vas deferen dan vesika
seminalis. FSH dan ICSH akan dilepaskan oleh kelenjar hipofisis berfungsi dalam
spermatogenesis. Karena ketidakseimbangan hormon ini kelenjar hipofisis
mengalami suatu mekanisme kompensasi untuk dapat memenuhi
ketidakseimbangan hormone FSH dan ICSH tersebut. Mekanisme kompensasi
tersebut menyebabkan ICSH tersebut meningkat dalam jumlah yang banyak
untuk merangsang sel leydig untuk terus mengahasilkan hormone testosterone.
Akibat sel leydig tersebut terus dipacu, sel leydig tersebut bertambah banyak dan
tidak terkontrol yang dapat menjadi kaganasan sehingga testis terus membesar.
Tumor testis pada mulanya berupa lesi intratestikuler yang akhinya
mengenai seluruh parenkim testis. Sel-sel tumor kemudian menyebar ke rete
testis, epididimis, funikulus spermatikus, atau bahkan ke kulit scrotum. Tunika
albugenia merupakan barrier yang sangat kuat bagi penjalaran tumor testis ke
organ sekitarnya, sehingga kerusakan tunika albugenia oleh invasi tumor
membuka peluang sel-sel tumor untuk menyebar keluar testis.
Kecuali kariokarsinoma, tumor testis menyebar melalui pembuluh limfe
menuju ke kelenjar limfe retroperitoneal (para aorta) sebagai stasiun pertama,
kemudian menuju ke kelenjar mediastinal dan supraclavikula, sedangkan
kariokarsinoma menyebar secara hematogen ke paru-paru (Anonim, 2010).
G. Pathway
Sindroma Klinefelter
Penurunan hormon testosteron (suatu kelainan kromosom seksual)
Testis Undesensus
MK :Gangguan fungsi seksual
(Testis yang tidak turun ke skrotum)
H. Pemeriksaan Penunjang
1. Penanda Tumor
Pada karsinoma testis germinal, penanda tumor bermanfaat untuk membantu
diagnosis, penentuan stadium, monitoring respons terapi, dan indikator
prognosis tumor testis (Purnomo, 2009). Penanda tumor wajib diperiksa pre-
orkidektomi, 24 jam setelah orkidektomi, dan pemeriksaan serial setiap
minggu sampai diketahui normal (SIGN, 2011). Penanda tumor yang paling
sering diperiksa antara lain:
a.αFP (Alfa Feto Protein) adalah suatu glikoprotein yang merupakan
homolog albumin dan berperan sebagai protein carrier pada fetus (SIGN,
2011). AFP diproduksi oleh karsinoma embrional, teratokarsinoma, atau
tumor yolk sac (tumor non-seminoma); tetapi tidak diproduksi oleh
koriokarsinoma murni dan seminoma murni. Peningkatan AFP juga
dapat terjadi pada karsinoma sel hepar dan kanker gastrointestinal yang
lain (SIGN, 2011). Penanda tumor ini memiliki masa paruh waktu 5-7
hari.
b. HCG (Human Chorionic Gonadotropin) adalah suatu
glikoprotein hormon yang pada keadaan normal diproduksi oleh jaringan
plasenta dan trofoblas. Penanda tumor ini meningkat pada semua pasien
koriokarsinoma, pada 40-60% pasien karsinoma embrional, dan 5-10%
pasien seminoma murni. HCG mempunyai waktu paruh 24-36 jam.
c.LDH (Lactate Dehydrogenase) adalah enzim intraseluler yang terdapat
pada hampir semua sel yang bermetabolisme, dengan konsentrasi
tertinggi dijumpai pada jantung, otot rangka, hati, ginjal, otak, dan sel
darah merah. Walaupun kurang spesifik, LDH merupakan penanda yang
berguna terutama pada stadium seminoma dan non-seminoma pada
tumor testis. Peningkatan LDH menunjukkan metastasis yang luas pada
tumor testis.
2. Pencitraan
Pemeriksaan ultrasonografi bermanfaat untuk membedakan dengan
jelas lesi intra atau ekstratestikuler dan massa padat atau kistik, namun
pemeriksaan ultrasonografi tidak dapat memperlihatkan tunika albuginea,
sehingga tidak dapat menentukan stadium tumor testis. Pemeriksaan USG
yang menunjukkan adanya tumor testis tanpa peningkatan penanda tumor
seperti AFP, HCG, maupun LDH, diagnosis ditegakkan melalui biopsi testis.
Hasil fals positif sering muncul pada berbagai macam kondisi,
misalnya rete testis yang berdilatasi yang terlihat seperti massa pada testis;
infark testis juga dapat memperlihatkan tanda hipoechoic dan terlihat seperti
proses malignansi tumor (Light et al., 2013).
I. Penatalaksanaan
1. Tumor Testis Seminoma
Tumor testis seminoma merupakan tumor ganas yang cukup sensitif
terhadap radioterapi dan kemoterapi. Pemilihan terapi didasarkan pada
derajat penyebaran setelah orkidektomi dan pemeriksaan lengkap, termasuk
keterangan histologi kelenjar limfe retroperitoneal (Sjamsuhidajat dan de
Jong, 2004).
Pasien dengan stadium I seminoma dilakukan terapi operatif berupa
orkidektomi. 15-20% pasien dengan seminoma stadium I dapat mengalami
metastasis retroperitoneal dan dapat kambuh setelah dilakukan orkidektomi
(Albers et al., 2011). Oleh karena itu, dilakukan radioterapi pada kelenjar
limfe regio paraaorta dan regio iliaka ipsilateral dengan dosis moderat (20-24
Gy). Pemberian kemoterapi pada stadium I (berupa carboplatin dalam satu
siklus) juga dapat dijadikan alternatif (Oliver, et al., 2011) walaupun tidak
memberikan perbedaan signifikan pada kekambuhan setelah follow up
selama 4 tahun. Diseksi kelenjar limfe retroperitoneal (retroperitoneal
lymphnode dissection) atau RPLND tidak direkomendasikan pada stadium I
seminoma.
Pasien dengan stadium IIA dan IIB setelah ordikdektomi, standar
terapinya adalah radioterapi (Albers, 2011). Radiasi dilakukan pada
regioparaaorta dan regio panggul ipsilateral dengan dosis 30-36 Gy.
Pengurangan dosis hingga 27 Gy diketahui menimbulkan kekambuhan pada
11% pasien. Pada stadium IIB, alternatif lain radioterapi adalah kemoterapi.
Pada kemoterapi diberikan 4 siklus EP (etoposide dan cisplatin) atau 3 siklus
PEB (cisplatin, etoposide, dan bleomycin). Penggunaan agen tunggal
carboplatin tidak dianjurkan. Dikarenakan seringnya terjadi kekambuhan
pada stadium II C dan stadium III diberikan skema kemoterapi yang berlaku
untuk penderita non seminoma.
2. Tumor Testis Non-Seminoma
Penderita dengan tumor non seminoma cenderung tidak sensitif pada
radioterapi. Pada non seminoma stadium I, setelah dilakukan orkidektomi,
dianjurkan untuk dilakukan kemoterapi dengan dua siklus PEB (cisplatin,
eposide, dan bleomycin) (Albers et al., 2011). Setelah itu baru dilakukan
tindakan pembersihan kelenjar retroperitoneal (RPLND). Tindakan diseksi
kelenjar pada pembesaran aorta didahului dengan pemberian sitotastika
terlebih dahulu dengan harapan terjadinya downstaging dan pengecilan
ukuran tumor. Kekambuhan dapat terjadi pada 30% pasien, dengan 80%
kekambuhan terjadi pada tahun pertama follow up, 12% pada tahun kedua,
6% tahun ketiga, dan 2% pada tahun keempat dan kelima.
Pada pasien non-seminoma dengan stadium II memiliki terapi yang
hampir sama dengan stadium I. Setelah dilakukan orkidektomi, pada stadium
II A diberikan kemoterapi dua seri, II B diberikan kemoterapi empat seri.
Selanjutnya dilakukan tindakan RPLND. Penderita stadium II C dan III
diberikan kemoterapi yang terdiri atas PEB (sisplatin, bleomisin, dan
etoposide). Bila respons tidak sempurna, diberikan seri tambahan dengan
sediaan kemoterapi lain. Dapat diberikan empat siklus PEI/VIP/TIP/VeIP.
Bila masih terdapat sisa jaringan di regio retroperitoneal, dilakukan
laparatomi eksplorasi.
Setelah dilakukan terapi, baik pada seminoma dan non seminoma
dianjurkan untuk pemeriksaan berkala, baik pemeriksaan fisik, penanda
tumor, USG, dan foto dada. Untuk pemeriksaan fisik dan penanda tumor
minimal empat kali dalam setahun, di dalam dua tahun pertama setelah
terapi. Untuk tahun-tahun selanjutnya sampai 10 tahun ke depan minimal
kontrol berkala sekali dalam setahun. Untuk foto dada dan USG dilakukan
minimal dua kali dalam setahun dalam dua tahun pertama.
3. Tumor Non Germinal
Untuk tumor testis non germinal, baik tumor sel leydig, tumor sel
sertoli, dan lainnya, direkomendasikan untuk melakukan organ sparing-
procedure pada lesi intraparenkimal untuk menegakkan diagnosis histologis.,
terutama pada pasien dengan ginekomastia dan disorder hormonal, diagnosis
non-germinal tumor testis harus dipertimbangkan dan orkidektomi tanpa
pertimbangan sebaiknya dihindari.
Jika terdapat tanda-tanda keganasan, terutama pada pasien yang lebih
tua, orkidektomi dan RPLND sangat direkomendasikan untuk menghindari
terjadinya metastasis. Tumor non-germinal yang ganas, yang sudah
bermetastasis ke limfonode, paru, hati, dan tulang tidak terlalu merespon baik
terhadap kemoterapi maupun radioterapi dan prognosisnya kurang baik
(Albers et al, 2011).
Nyeri akut b.d agen Setelah dilakukan - Lakukan pengkajian nyeri secara
injuri biologi asuhan keperawatan komprehensif termasuk lokasi, karakteristik,
selama pertemuan, durasi, frekuensi
- Monitor vital sign
nyeri klien berkurang
- Gunakan teknik komunikasi terapeutik
dengan kriteria hasil:
untuk mengetahui pengalaman nyeri
1. Nyeri - Ajarkan teknik relaksasi nafas dalam
terkontrol untuk mengurangi nyeri
2. Klien
menggunakan
teknik non
farmakologi untuk
mengurangi nyeri
3. Tanda vital
dalam rentang
normal
2. Intra Operatif
3. Post Operatif
Albers, P., et al. 2012. Guidelines on Testicular Cancer from European Association of
Urology, diunduh dari www.uroweb.org/gls/pdf/10_Testicular_Cancer.pdf
Brunicardi F.C., et al. 2010. Schwartz’s Principle of Surgery Ninth Edition. USA: The
McGraw Hill Companies.
Light D., et al. 2013. Malignant Testicular Tumor Imaging. Diunduh dari
http://emedicine.medscape.com/article/381007
Price S.A dan Wilson L. M. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Ed. 6.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Sjamsuhidajat R., dan Jong W.D. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah Ed. 2. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.