Anda di halaman 1dari 2

Kesenjangan Teori Dan Praktek Di Lapangan

Rumah sakit merupakan salah satu industri jasa yaitu jasa kesehatan. Sebagai suatu
industri jasa maka rumah sakit tentunya juga harus menjalankan fungsi-fungsi bsnis dalam
manajerialnya, salah satunya adalah bagaimana menghasilkan suatu produk jasa yang
bermutu atau berkualitas (Yoga, 2007). Apabila rumah sakit tidak memperhatikan kualitas
pelayanannya maka akan ditinggalkan oleh pelanggannya yang menyebabkan kerugian bagi
semua pihak baik petugas, pengelola atau pemilik rumah sakit sehingga tidak mendapatkan
pendapatannya. Pengguna atau pelangan juga akan ikut dirugikan karena berkurang atau tidak
mendapatkan layanan yang bermutu apalagi bagi masyarakat yang tidak mampu untuk
memilih rumah sakit lain sesuai dengan keinginannya. Kemampuan rumah sakit dalam
menyampaikan kualitas pelayanan kesehatan yang baik merupakan harapan bagi setiap
masyarakat ketika datang untuk melakukan konsultasi atas permsalahan kesehatan yang
sedang mereka rasakan (khairani, 2005)
Secara umum pelayanan rumah sakit terdiri dari pelayanan rawat inap dan rawat jalan.
Pelayanan rawat jalan (ambulatory) adalah satu bentuk dari pelayanan kedokteran. Secara
sederhana yang dimaksud dengan pelayanan rawat jalan adalah pelayanan kedokteran yang
disediakan untuk pasien tidak dalam bentuk rawat inap (hospitalization). Pelayanan rawat
jalan ini termasuk tidak hanya yang diselenggarakan oleh sarana pelayanan kesehatan yang
telah lazim dikenal rumah sakit atau klinik, tetapi juga yang diselenggarakan di rumah pasien
(home care) serta di rumah perawatan (nursing homes). Masalah yang sering dialami oleh
para perawat di ruang rawat jalan adalah komplain dari pasien tentang pelayanan yang
lamban, kinerja administrasi dan dokter spesialis yang dating terlambat
(www.lampungpost.com/cetak/ berita.phd?id =2009).
Berdasarkan hasil observasi kami menemukan masalah di ruang rawat jalan (poli) RSUD
Depok adalah kejenuhan pasien saat menunggu waktu panggilan dokter/ pelayanan dan
resiko penurunan sensitivitas saat mengukur tekanan darah. Berdasarkan Keputusan Menteri
kesehatan Nomor : 129/Menkes/SK/II/2008 tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah
Sakit, standar minimal rawat jalan adalah sebagai berikut:
a. Dokter yang melayani pada Poliklinik Spesialis harus 100 % dokter spesialis.
b. Rumah sakit setidaknya harus menyediakan pelayanan klinik anak, klinik penyakit
dalam, klinik kebidanan, dan klinik bedah.
c. Jam buka pelayanan adalah pukul 08.00 – 13.00 setiap hari kerja, kecuali hari Jumat
pukul 08.00 – 11.00.
d. Waktu tunggu untuk rawat jalan tidak lebih dari 60 menit.
Berdasarkan keputusan menteri kesehatan diatas dapat dilihat bahwa unit rawat jalan
RSUD Depok tidak memenuhi standar pelayanan minimal rumah sakit yaitu waktu tunggu
untuk rawat jalan tidak lebih dari 60 menit. Waktu tunggu yang lebih dari 60 menit membuat
pasien mengalami kejenuhan saat menunggu panggilan dokter. Waktu tunggu yang yang tidak
efisien dapat mengundang ketidak puasan pasien akan sebuah pelayanan kesehatan. Pasien
akan menganggap pelayanan kesehatan jelek apabila sakitnya tidak cepat sembuh , waktu
tunggu lama, dan petugas kesehatan tidak ramah meskipun profesional. Wijono (1999) dalam
Hassan (2012).
Masalah kedua yang kami angkat di ruang poli RSUD Depok adalah penurunan
sensitivitas dalam mengukur tekanan darah. Pengukuran tekanan darah di poli penyakit
dalam, poli saraf dan poli bedah mencapai lebih dari 30 pasien. Hal ini mengakibatkan
pembacaan tekanan darah yang terkadang bias. Kesalahan pengamatan tekanan darah adalah
keterbatasan utama dari metode auscultatory. Kesalahan sistematis menyebabkan kesalahan
intra-pengamat dan kesalahan inter-pengamat. Terminal preferensi digit mungkin adalah
manifestasi paling umum dari penentuan tekanan darah suboptimal. Hal ini umumnya
direkomendasikan bahwa pengamat harus membaca tekanan darah terdekat ke 2 mmHg,
tetapi ketidaktepatan dalam perekaman "nol" sebagai angka terakhir dalam penentuan
tekanan darah auscultatory telah dilaporkan oleh peneliti dalam beberapa pengaturan klinis
dan penelitian menurut Wiryowidagyo (2002) dalam Abdillah (2012). Menurut
Wiryowidagyo (2002) dalam Abdillah (2012) Hal ini juga dipengaruhi oleh jumlah
pengukuran dalam tekanan darah. Ketika serangkaian pembacaan diambil, yang pertama
biasanya yang tertinggi. Minimal 2 pembacaan harus dilakukan dengan interval minimal 1
menit, dan rata-rata dari bacaan tersebut harus digunakan untuk mewakili tekanan darah
pasien. Jika ada perbedaan > 5 mmHg antara pembacaan pertama dan kedua, tambahan (1
atau 2) pembacaan harus diperoleh, dan kemudian rata-rata dari beberapa bacaan tersebut
yang digunakan.

Anda mungkin juga menyukai