PENDAHULUAN
1
2
Target yang ingin dicapai dalam praktik manajemen laba ini adalah menaikkan laba
(www.tempo.co, 2004). Fenomena adanya praktik manajemen laba pernah terjadi di
pasar modal Indonesia. Khusunya pada emiten manufaktur di BEI Jakarta, yaitu pada
PT Kimia Farma Tbk. Berdasarkan hasil pemeriksaan Bapepam (Badan Pengawas
Pasar Modal,2002) diperoleh bukti bahwa terdapat kesalahan penyajian dalam
penialian persediaan barang jadi dan kesalahaan pencatatan penjualan,dimana
dampak kesalahan tersebut yang mengakibatkan overstated laba pada laba bersih
untuk tahun yang berahir pada 31 dsesmber 2001 sebesar Rp32,7 miliar (Kompas, 21
November 2002).
Kemudian kasus manajemen laba terkait dana cadangan pernah terjadi pada
PT Elnusa Tbk. Pada tahun 2011 cadangan dana perusahaan yang mencapai Rp111
milyar disalahgunakan oleh pihak manajemen sehingga tampak luar perusahaan
memiliki potensi meraih keuntungan yang cukup tinggi, namun sebenarnya
perusahaan dalam kritis (detik.com, 2011). Pada tahun 2007, berdsarkan pemeriksaan
Bapepam (Badan Pengawas Pasar Modal) telah ditemukan bukti bahwa PT Agis Tbk
memberikan informasi laba yang secara material tidak benar yang seharusnya total
pendapatan sebesar Rp466,8 miliar, namun disajikan sebesar Rp800 miliar. Dengan
motivasi agar pihak eksternal menganggap PT Agis Tbk menyajikan laporan
keuangan yang dinyatakan baik dan sehat (Ningsih,2018). Pada penelitian ini peneliti
telah melakukan pengujian terhadap perusahaan manufaktur untuk mendeteksi
adanya praktik manajemen laba.
Dari beberapa kasus mengenai manajemen laba diatas dapat disimpulkan,
bahwa manajemen seringkali memanipulasi laporan keuangan agar terlihat baik oleh
pihak eksternal dimana perusahaan yang mempunyai laba yang kecil direkayasa
menjadi lebih besar agar terlihat baik oleh pihak eksternal dan perusahaan yang
mempunyai laba besar direkayasa menjadi lebih kecil agar beban pajak yang harus
dibayarkan oleh perusahaan dibayar seminimal mungkin. Berikut ini adalah hasil
perhitungan manajemen laba pada 5 perusahaan dari 23 sampel perusahaan
manufaktur yang dipilih dengan menggunakan metode purposive sampling, yang
terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2013-2017 dari 161 populasi. Dengan
menggunakan proksi scaled earning changes. Scaled earning changes yakni skala
perubahan laba perusahaan dari tahun ke tahun untuk menggambarkan kenaikan
kinerja pada perusahaan.
Tabel 1.
Data Perhitungan Manajemen Laba Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar
di BEI Periode 2013-2017.
NO Kode Emiten 2013 2014 2015 2016 2017
1 AMFG -0,00229 0,04141 -0,03515 -0,02846 -0,07630
2 ARNA 0,02625 0,00402 -0,02985 0,00549 0,00807
3 INAI -0,25443 0,18303 0,05591 0,05406 0,01516S
4 IGAR -0,02406 0,07017 -0,01220 0,08214 0,00607
5 JPFA -0,03309 -0,01912 0,01309 0,24331 -0,06407
3
Oleh karena itu, terkait dengan fenomena dan gap penelitian terdahulu
mengenai pengaruh perencanaan pajak terhadap manajemen laba, maka peneliti
termotivasi untuk meneliti penelitian yang berjudul “Pengaruh Perencanaan Pajak
Terhadap Manajemen Laba Pada Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar Di
Bursa Efek Indonesia Periode 2013-2017”
1.2 Identifikasi Masalah Dan Perumusan Masalah
1.2.1 Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan diatas, maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa identifikasi masalah yang terdapat dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Manajer melakukan intervensi terhadap laporan keuangan dengan tujuan untuk
memperoleh beberapa keuntungan pribadi.
2. Banyak kasus yang terkait dengan manajemen laba, baik terjadi di dalam negeri
maupun luar negeri. Contoh kasus manajemen laba diluar negeri yaitu pada
perusahaan Toshiba. Sedangkan kasus praktik manajemen laba di dalam negeri
terjadi pada PT Indofarma Tbk, PT Kimia Farma Tbk, PT Elnusa Tbk dan PT
Agis Tbk. Perusahaan melakukan praktik manajemen laba dengan tujuan untuk
menaikkan labanya agar kinerja perusahaan terlihat baik.
3. Hasil perhitungan manajemen laba menggunakan scaled earning changes
terhadap perusahaan manufaktur dilatar belakang menunjukan bahwa masih
banyak perusahaan yang terindikasi melakukan praktik manajemen laba untuk
menghindari penurunan laba.
4. Penelitian ini bermaksud untuk menguji pengaruh perencanaan pajak terhadap
manajemen laba pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek
Indonesia.
1.2.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah yang telah dijelaskan di atas, maka dapat
ditarik kesimpulan tentang beberapa masalah di dalam penelitian ini, dirumuskan
sebagai berikut :
1. Bagaimana perencanaan pajak pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di
Bursa Efek Indonesia?
2. Bagaimana kondisi perusahaan terkait manajemen laba pada perusahaan
manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia?
3. Apakah perencanaan pajak berpengaruh terhadap manajemen laba pada
perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia?
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
tetapi menyadari bahwa nasib mereka tergantung samapai tingkat tertentu pada
kemampuan tim untuk bertahan dalam komprtisinya dengan tim-tim lain. Agen
berusaha memaksimumkan fee kontraktual yang diterimanya tergantung pada tingkat
upaya yang diperlukan. Prinsipal berusaha untuk memaksimumkan returns dari
penggunaan sumber dayanya tergantung pada fee yang dibayarkan kepada agen.
Dalam kondisi yang asimetri tersebut, manajemen dapat mempengaruhi angka-angka
akuntansi yang disajikan dalam laporan keuangan dengan cara melakukan
manajemen laba. Dalam kondisi yang asimetri tersebut, manajemen dapat
mempengaruhi angka-angka akuntansi yang disajikan dalam laporan keuangan
dengan cara melakukan manajemen laba.
2.2 Teori Akuntansi Positif
Teori akuntansi positif berusaha untuk menjelaskan sebuah proses yang
menggunakan pemahaman, pengetahuan dan kebijakan akuntansi yang paling sesuai
untuk menghadapi kondisi dan keadaan tertentu pada masa yang akan datang. Teori
akuntansi positif memiliki anggapan bahwa tujuan dari sebuah teori akuntansi adalah
untuk memberikan penjelasan dan memprediksi praktik akuntansi. Perkembangan
teori akuntansi positif ini muncul akibat ketidakpuasan terhadap teori akuntansi
normatif. Dasar pemikiran yang digunakan untuk menganalisis teori akuntansi pada
teori normatif selalu dianggap terlalu sederhana dan tidak memiliki dasar teoritis
yang kokoh.
Terdapat tiga alasan mendasar yang kuat atas terjadinya pergeseran teori
akutansi pendekatan normatif ke teori akuntansi positif, yaitu: (Watt dan
Zimmerman, 1990)
1. Teori akuntansi normatif terlalu fokus terhadap kepentingan investor secara
individu daripada kemakmuran masyarakat yang lebih luas.
2. Teori akuntansi normatif dirasa tidak mampu meguji teori secara empiris karena
didasari pada asumsi atau premis yang keliru sehingga tidak bisa diuji
kebenarannya secara empiris.
3. Di dalam teori akuntansi normatif sangat memungkinkan terjadinya pengalokasian
sumber daya ekonomi secara maksimal di pasar modal. Melepas sumber daya ke
pasar modal dengan mekanisme pasar. Informsasi akuntansi bisa menjadi sebuah
alat pengendali bagi masyarakat didalam mengalokasikan sumber daya ekonomi
secara efisien.
Lebih lanjut Watt dan Zimmerman (1990) mengembangkan teori akuntansi
dengan pendekatan positif yang orientasinya lebih kepada penelitian empiris.
Menjustifikasi berbagai macam metode atau teknik akuntansi yang sekarang
dipergunakan atau mencari model yang baru untuk mengembangkan teori akuntnasi
dikemudian hari. Watt dan Zimmerman (1990) mengemukakan tiga hipotesa dari
teori akuntansi positif, yaitu:
1. Hipotesa Rencana Bonus, manajer perusahaan dengan rencana bonus lebih
cenderung memilih prosedur akuntansi dengan perubahan keuntungan yang
9
dilaporkan dari periode dimasa depan ke periode saat ini. Hipotesis ini cukup
beralasan, seorang manajer tentu ingin mendapatkan imbalan yang tinggi. Apabila
besaran bonus tersebut tergantung pada besar kecilnya laba perusahaan, maka
seorang manajer atau siapapun itu tentu akan berusaha memberikan laporan
pendapatan bersih setinggi mungkin agar mendapatkan bonus yang tinggi. Salah
satu caranya adalah dengan memilih dan menentukan kebujakan akuntansi yang
bisa meningkatkan laba pada laporan keuangan di periode tersebut. Sesuai dengan
karakter proses akrual, hal tersebut bisa menyebabkan penurunan laba perusahaan
yang akan datang dengan faktor lainnya yang masih tetap sama.
2. Hipotesis Kontrak Hutang, hipotesis ini seluruh hal yang lain dalam keadaan
tetap, semakin dekat sebuah perusahaan terhadap pelanggaran prinsip akuntansi
yang didasari atas sebuah kesepakatan hutang, maka ada kecenderungan semakin
besar kemungkinan manajemen perusahaan untuk memilih prosedur akuntansi
yang melaporkan perubahan laba dari periode masa depan ke periode saat ini.
3. Hipotesis Biaya Politik, semakin besar ongkos politik yang ditanggung oleh
perusahaan, maka manajer akan cenderung untuk menggunakan prosedur
akuntansi yang menyerah terhadap laba yang dilaporkan pada masa saat ini
menuju masa mendatang.
Dalam kondisi yang asimetri tersebut teori akuntansi positif dapat menjelaskan
praktik akuntansi salah satunya dalam memprediksi adanya praktik manajemen laba.
2.3 Pajak
Undang-undang Nomor 28 tahun 2007 mendefinisikan pajak sebagai kontribusi
wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat
memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara
langsung dan digunakan untuk keperluan Negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat.
Dari definisi tersebut maka pajak diuraikan menjadi beberapa unsur, yaitu:
(Susyanti, dkk, 2015):
1. Pajak merupakan kontribusi wajib dari masyarakat kepada negara.
2. Dipungut berdasarkan UU dan aturan pelaksanaannya, sehingga sanksinya tegas
dan bisa dipaksakan.
3. Tanpa kontraprestasi secara langsung.
4. Dipungut oleh pemerintah pusat (Negara) maupun oleh pemerintah daerah
(provinsi, kota/kabupaten).
5. Digunakan untuk membiayai pelaksanaan pemerintahan demi kemakmuran
masyarakat.
2.3.1 Subjek Pajak Penghasilan
Pajak penghasilan dikenakan terhadap subjek pajak yang mempunyai objek
pajak (penghasilan). Yang termasuk subjek pajak menurut Undang-Undang tentang
pajak penghasilan adalah (Wahono, 2012):
10
1. Orang Pribadi
Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak
2. Badan dan Bentuk Usaha Tetap (BUT)
Orang pribadi sebagai subjek pajak dapat bertempat tinggal atau berada di
Indonesia. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan merupakan subjek
pajak pengganti, menggantikan mereka yang berhak yaitu ahli waris. Penunjukan
warisan sebagai objek pajak pengganti dimaksudkan agar pengenaan pajak atas
penghasilan yang berasal dari warisan tersebut tetap dapat dilaksanakan.
Yang termasuk badan adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan
kestauan baik yang melakukan usaha maupun tidak melakukan usaha yang
meliputi:
a. Perseroan Terbatas
b. Perseroan Komanditer, perseroan lainnya
c. Badan Usaha Milik Negara atau Daerah dengan nama dan dalam bentuk
apapun
d. Firma
e. Kongsi
f. Koperasi
g. Dana pensiun
h. Persekuttuan
i. Perkumpulan
j. Yayasan, organisasi masa, organisasi sosial politik, atau organisasi yang sejenis
k. Lembaga
l. Bentuk usaha tetap dan bentuk badan lainnya termasuk reksadana
3. Kewajiban Perpajakan PPh Badan
Sesuai dengan Undang-Undang Perpajakan No.36 tahun 2008 tentang pajak
penghasilan yang merupakan subjek pajak dalam negeri adalah badan yang
didirikan atau bertempat kedududkan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan
pemerintah yang memenuhi kriteria: (Mardiasmo, 2011)
a. Pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan
b. Pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dn Belanja Negara atau
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
c. Penerimannya dimasukkan dalam Anggaran Pemerintah Pusat atau Pemerintah
Daerah
d. Pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional Negara
2.3.2 Objek Pajak Penghasilan
Objek pajak adalah sasaran yang akan dikenakan pajak, dalam ha ini yang
menjadi objek pajak adalah penghasilan (Hutomo, 2009). Kemudian dalam buku
perpajakan (Susyanti,dkk,2015) menyatakan penghasilan yang termasuk objek pajak
dalam pasal 4 ayat (1) UU No. 36 Tahun 2008, yang berbunyi:
11
TRR rendah maka perencanaan pajak perusahaan menjadi kurang efektif (Wardani &
Santi, 2018).
2.4.1 Tujuan Perencanaan Pajak
Ada beberapa tujuan yang mendasari dilakukannnya perencanaan pajak pada
suatu perusahaan. Berikut ini merupakan tujuan umum perencanaan pajak yang
dikemukakan oleh Pohan (2013), yaitu:
1. Meminimalisasi beban pajak yang terutang.
Tindakan yang harus diambil dalam rangka perencanaan pajak tersebut berupa
usaha usaha mengefisiensikan beban pajak yang masih dalam ruang lingkup
perpajakan dan tidak melanggar peraturan perpajakan.
2. Memaksimalkan laba setelah pajak
3. Meminimalkan terjadinya kejutan pajak (tax surprise)
4. Memenuhi kewajiban perpajakannya secara benar, efisien dan efektif, sesuai
dengan ketentuan perpajakan, yang antara lain meliputi:
a. Memenuhi segala ketentuan administratif, sehingga terhindar dari pengenaan
sanksi, baik sanksi administratif maupun pidana, seperti bunga, kenaikan
denda, dan hukum kurungan atau penjara.
b. Melaksanakan secara efektif segala ketentuan undang undang perpajakan yang
terkait dengan pelaksanaan pemasran, pembelian, dan fungsi keuangan, seperti
pemotongan dan pemungutn pajak (pph pasal 21, pasal 22, dan pasal 23).
2.4.2 Strategi perencanaan Pajak
Terdapat beberapa strategi yang dapat diakukan untuk melakukan perencanaan
pajak. Strategi perencanaan pajak menurut Pohan (2013) antara lain:
1. Tax Saving
Tax saving adalah upaya untuk mengefisiensikan beban pajak melalui pemilihan
alternatif pengenaan pajak dengan tarif yang lebih rendah.
2. Tax avoidance
Tax avoidance adalah upaya mengefisiensikan beban pajak dengan cara
menghindari pengenaan pajak dengan mengarahkannya pada transaksi yang bukan
objek pajak.
3. Penundaan/penggeseran pembayaran pajak
Penundaan atau penggeseran kewajiban pajak dapat dilakukan tanpa melanggar
peraturan perpajakan yang berlaku.
4. Mengoptimalkan kredit pajak yang diperkenankan
Wajib pajak sering kali urang mendapat informasi mengenai pembayaran yang
dapat dikreditkan. Sebagai contoh : pph pasal 22 atas pembelian solar dari
pertamina yang bersifat final jika pembeliannya perusahaan yang bergerak
dibidang penyaluran migas
5. Menghindari pemeriksaan pajak dengan cara menghindari lebih bayar
Menghindari pemeriksaan pajak dapat dilakukan dengan mengajukan
pengurangan pembayaran angsuran pph pasal 25 ke KPP yang bersangkutan
14
apabila berdasarkan estimasi dalam tahunan pajak yang bersangkutan akan terjadi
kelebihan pembayaran pajak. Selain itu dapat juga mengajukan permohonan
pembebasan pph pasal 22 impor apabila perusahaan melakukan impor.
6. Menghindari pelanggran terhadap peraturan perpajakan
Menghindari pelanggaran terhadap peraturan perpajakan dapat dilakukan dengan
cara menguasai peraturan perpajakan.
2.4.3 Motivasi Perencanaan Pajak
Terdapat beberapa motivasi yang membuat suatu perusahaan melakukan
perencanaan pajak. Menurut Suandy (2008) ada tiga unsur perpajakan yang menjadi
motivasi mendasari dilakukannya perencanaan pajak, yaitu:
1. Kebijakan Perpajakan
Kebijakan perpajakan (tax policy) merupakan alternatif dari berbagai sasaran yang
hendak dituju dalam sistem perpajakan. Dari berbagai aspek kebijakan pajak,
terdapat faktor-faktor yang mendorong dilakukannya suatu perencanaan pajak.
a. Jenis Pajak yang akan Dipungut
Dalam sistem perpajakan modern terdapat berbagai jenis pajak yang harus
menjadi pertimbangan utama, baik berupa pajak langsung maupun pajak tidak
langsung dan cukai, seperti:
1. Pajak Penghasilan Badan dan Orang Pribadi
2. Pajak atas keuntungan modal
3. Withholding tax atas gaji, dividen, sewa, bunga, royalti, dan lain-lain
4. Pajak atas impor, ekspor, serta bea masuk
5. Pajak atas undian/hadiah
6. Bea materai
7. Capital transfer taxes/transfer duties
8. Lisensi usaha dan pajak perdangangan lainnya.
b. Subjek Pajak
Perbedaan perlakuan perpajakan atas pembayaran dividen badan usaha kepada
pemegang saham perorangan dan kepada pemegang saham berbentuk badan
usaha menyebabkan timbulnya usaha untuk merencanakan pajak dengan baik
agar beban pajak rendah sehingga sumber daya perusahaan bisa dimanfaatkan
untuk tujuan yang lain. Di samping itu, ada pertimbangan untuk menunda
pembayaran dividen dengan cara meningkatkan jumlah laba yang ditahan
(retained earning) bagi perusahaan yang juga akan menimbulkan penundaan
pembayaran pajak.
c. Objek Pajak
Adanya perlakuan perpajakan yang berbeda atas objek pajak yang secara
ekonomis hakikatnya sama, akan menimbulkan usaha perencanaan pajak agar
beban pajaknya rendah. Karena objek pajak merupakan basis perhitungan (tax
basses) besarnya pajak, maka untuk optimalisasi alokasi sumber dana,
manajemen akan merencanakan pajak yang tidak lebih dan tidak kurang.
15
d. Tarif pajak
Adanya penerapan schedular taxation mengakibatkan seorang perencana pajak
berusaha sedapat mungkin agar dikenakan tarif yang paling rendah (low
bracket). Prosedur Pembayaran. Sistem self-assesment dan sistem pembayaran
mengharuskan perencanaan pajak untuk merencanakan pajaknya dengan baik.
2. Undang-Undang Perpajakan
Peraturan perundang-undangan diikuti oleh ketentuan-ketentuan (Peraturan
Pemerintah, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri Keuangan, dan Keputusan
Dirjen Pajak). Tidak jarang ketentuan pelaksanaan tersebut bertentangan dengan
undang-undang itu sendiri karena disesuaikan dengan kepentingan pembuat
kebijakan dalam mencapai tujuan lain yang ingin dicapainya. Akibatnya terbuka
celah bagi Wajib Pajak untuk menganalisis kesempatan tersebut dengan cermat
untuk perencanaan pajak yang baik.
3. Administrasi Perpajakan
Sebagai negara berkembang, Indonesia masih mengalami kesulitan dalam
melakukan administrasi perpajakannya secara memadai. Hal ini mendorong
perusahaan untuk melaksanakan perencanaan pajak dengan baik agar terhindar
dari sanksi administrasi maupun pidana karena adanya perbedaan penafsiran
antara aparat fiskus dengan Wajib Pajak akibat luasnya peraturan perpajakan yang
berlaku dan sistem infornasi yang belum efektif.
2.5 Pajak Tangguhan
Pajak tangguhan pada prinsipnya merupakan dampak dari PPh di masa yang
akan datang yang disebabkan perbedaaan temporer (waktu) antara perlakuan
akuntansi dan perpajakan serta kerugian fiskal yang masih dapat dikompensasikan di
masa datang (tax losscarry forward) yang perlu disajikan dalam laporan keuangan
suatu periode tertentu. Dampak PPh di masa yang akan datang yang perlu diakui,
dihitung, disajikan dan diungkapkan dalam laporan keuangan, naik laporan posisi
keuangan maupun laporan laba komprehensif. PPh yang dihitung berbasis pada PKP
yang sesungguhnya dibayar kepada pemerintah disebut sebagai PPh terutang,
sedangkan PPh yang dihitung berbasis laba (penghasilan) sebelum pajak disebut
dengan beban PPh.
Sebagian perbedaan yang terjadi akibat perbedaan antara PPh terutang dengan
beban pajak yang dimaksud, sepanjang menyangkut perbedaan temporer, hendaknya
dilakukan pencatatan dan tercermin dalam laporan keuangan komersial dalam akun
pajak tangguhan (Zain, 2007). Pajak tangguhan ini diperhitungkan dalam
penghitungan laba rugi akuntansi dalam suatu periode berjalan yang diakui sebagai
beban atau manfaat pajak tangguhan. Beban pajak tangguhan timbul akibat
perbedaan temporer antara laba akuntansi (laba dalam laporan keuangan menurut
SAK untuk kepentingan pihak eksternal) dengan laba fiskal atau laba menurut aturan
perpajakan Indonesia yang digunakan sebagai dasar penghitungan pajak (Sumomba,
2010).
16
Apabila pada masa mendatang akan terjadi pembayaran yang lebih besar, maka
berdasarkan SAK harus diakui sebagai suatu kewajiban. Sebagai contoh apabila
beban penyusutan aset tetap yang diakui secara fiskal lebih besar daripada beban
penyusutan aset tetap yang diakui secara komersial sebagai akibat adanya perbedaan
metode penyusutan aktiva (aset) tetap, maka selisih tersebut akan mengakibatkan
pengakuan beban pajak yang lebih besar secara komersial pada masa yang akan
datang (Suandy, 2008).
Dengan demikian selisih tersebut akan menghasilkan kewajiban pajak
tangguhan. Kewajiban pajak tangguhan ini terjadi apabila rekonsiliasi fiskal berupa
koreksi negatif, di mana pendapatan menurut akuntansi komersial lebih besar dari
pada akuntansi fiskal dan pengeluaran menurut akuntansi komersial lebih kecil
daripada akuntansi fiskal. IAI (2009) menyatakan bahwa sama halnya dengan proses
akuntansi lainnya, akuntansi pajak tangguhan tidak terlepas dari empat kegiatan
proses akuntansi, yaitu pengakuan, pengukuran, penyajian dan pengungkapan yang
diatur dalam PSAK No. 46.
2.6 Beban Pajak Tangguhan
Beban PPh terdiri atas beban pajak kini dan beban pajak tangguhan atau
pendapatan pajak tangguhan. Pajak kini merupakan jumlah PPh terutang atas
Penghasilan Kena Pajak (PKP) pada suatu periode. Pajak penghasilan diperlukan
sebagai biaya bagi perusahaan. Oleh karena itu pajak penghasilan harus diasosiasikan
dengan laba dimana pajak penghasilan tersebut dikenakan atau diperhitungkan.
Beban pajak penghasilan dihitung dengan menggunakan aturan perpajakan atas
hasil usaha perusahaan selama periode tahun yang bersangkutan. Aturan-aturan
perpajakan tersebut mengharuskan perusahaan melakukan koreksi fiskal karena
terdapat perbedaan konsep pendapatan, cara pengukuran pendapatan, konsep biaya,
cara pengukuran biaya, dan cara alokasi biaya antara Standar Akuntansi Keuangan
(SAK) dan Peraturan Perpajakan. Aturan perpajakan tetap menggunakan data dan
informasi akuntansi yang telah diatur oleh Standar Akuntansi Keuangan sebagai
dasar untuk menentukan koreksi-koreksi tersebut berdasarkan aturan perpajakan
yang berlaku.
Sumomba (2010) menyatakan bahwa beban pajak tangguhan merupakan beban
yang timbul akibat perbedaan temporer antara laba akuntansi yang disusun
berdasarkan SAK dengan laba fiskal yang disusun berdasarkan peraturan perpajakan.
Pengertian lain mengenai beban pajak tangguhan adalah jumlah beban (penghasilan)
pajak tangguhan yang muncul akibat adanya pengakuan atas liabilitas atau aset pajak
tangguhan, beban pajak tangguhan akan menimbulkan liabilitas pajak tangguhan.
Koreksi fiskal dapat berupa koreksi positif dan koreksi negatif (Sari, 2016).
Koreksi fiskal yang mengakibatkan pengurangan biaya yang diakui dalam
Laporan Laba Rugi Komersial menjadi semakin kecil, atau yang berakibat adanya
penambahan penghasilan. Berbeda dengan koreksi negatif yang berakibat dengan
adanya penambahan biaya yang telah diakui dalam Laporan Laba Rugi Komersial
17
Beda waktu ini antara lain akrual dan realisasi, penyusutan dan amortisasi,
penilaian persediaan, kompensasi kerugian fiskal.
2.7 Manajemen Laba
Terdapat beberapa definisi mengenai manajemen laba, diantaranya adalah
definisi dari Sulistyanto (2008) menyatakan bahwa praktik manajemen laba adalah
upaya manajer perusahaan untuk mengintervensi atau mempengaruhi informasi-
informasi dalam laporan keuangan dengan tujuan untuk mengelabui stakeholder
yang ingin mengetahui kinerja dan kondisi perusahaan. Sedangkan menurut
Islahuzzaman (2012) praktik manajemen laba adalah Proses penyusunan laporan
keuangan bagi pihak eksternal sehingga dapat meratakan, menaikkan dan
menurunkan lapporan laba. Dimana manajemen dapat menggunakan kelonggaran
penggunaan metode akuntansi.
Pengertian lain tentang manajemen laba adalah suatu tindakan yang mengatur
laba sesuai dengan yang dikehendaki oleh pihak tertentu atau terutama oleh
manajemen perusahaan (company management). Tindakan earning mangement
sebenarnya didasarkan oleh berbagai tujuan dan maksud-maksud yang terkandung
didalamnya (Fahmi, 2013).
Dari beberapa pengertian manajemen yang sudah disampaikan diatas, peneliti
mengambil kesimpulan, bahwa manajemen laba merupakan upaya yang dilakukan
pihak manajemen untuk melakukan intervensi dalam penyusunan laporan keuangan
dengan tujuan untuk menguntungkan dirinya sendiri, yaitu pihak perusahaan terkait.
Ukuran yang digunakan peneliti dalam mengukur manajemen laba adalah :
Scaled Earning Change = Net Incomeit – Net Incomei(t-1)
MVEi(t-1)
Sumber : Amanda dan Febrianti (2015)
Keterangan :
Scaled earning changes: skala perubahan laba
Net incomeit : laba bersih perusahaan i pada tahun t
Net incomei(t-1) : laba bersih perusahaan i pada tahun sebelumnya
MVEit : nilai kapitalisasi pasar (harga saham x saham beredar)
Pada penelitian ini peneliti memilih untuk mengguanakan rumus scaled
earning change untuk mendeteksi adanya praktik manajemen laba pada suatu
perusahaan. Peneliti memilih rumus tersebut karena rumus ini dapat menggambarkan
perubahan laba dari tahun ketahun secara berskala. Perusahaan yang berada pada
range 0 - 0,06 dikategorikan sebagai small profit firms yaitu diindikasikan
melakukan manajemen laba untuk menghindari kerugian. Sedangkan perusahaan
yang berada pada range -0,09 - 0 dikategorikan sebagai small loss firms yaitu
perusahaan yang diindikasikan tidak melakukan manjemen laba untuk menghindari
kerugian (Amanda dan Febrianti, 2015).
19
8. Tri Wahyu Ningsih (2018) meneliti tentang “Pengaruh Beban Pajak Tangguhan,
Aktiva Pajak Tangguhan dan Akrual Terhadap Manajemen Laba”. Hasil
penelitiannya adalah beban pajak tangguhan dan aktiva pajak tangguhan tidak
berpengaruh terhadap manajemen laba sedangkan akrual memiliki pengaruh
terhadap manajemen laba.
Tabel 2.
Hasil Penelitian Terdahulu
No Nama Penulis Judul Variabel Indikator Hasil Publikasi
1 Herdawati Analisis Variabel Perencanaan Universitas
Pengaruh Independen: pajak dan Hasanudin
Perencanaan Beban pajak Makassar.
Pajak dan Tax
Perencanaan tanngguhan Tahun 2015
Beban Pajak Retention
pajak berpengaruh
Tangguhan Rate
terhadap secara
Manajemen simultan
Beban
Laba Pada pajak terhadap
Perusahaan tanggguhan BPTit manajemen
Manufaktur laba
yang terdaftar
di BEI (Bursa Variabel
Efek Perencanaan
Dependen pajak dan
Indonesia) :
Beban pajak
Manajemen Scaled tanngguhan
laba earning berpengaruh
changes
secara parsial
terhadap
manajemen
laba
peranan antara beban pajak tangguhan yang dapat dimungkinkan dapat digunakan
sebagai indikator adanya manajemen laba. Manajemen laba dilakukan dengan
menaikan atau menurunkan jumlah beban yang diakui dalam laporan laba rugi. Jika
jumlah beban pajak tangguhan semakin rendah diduga adanya indikator manipulasi
laporan keuangan oleh manajemen. Hal ini didukung oleh penelitian Herdawati
(2015), Astutik (2016), Khotimah (2014) dan Sumomba (2010) membuktikan adanya
pengaruh beban pajak tangguhan terhadap manajemen laba.
Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah dibuat mengenai pengaruh
perencanaan pajak terhadap manajemen laba, dapat disimpulkan menjadi kerangka
pemikiran yang berbentuk grafik sebagai berikut :
TRRit
H1
(X1) Scaled
Earning
H2
Changes (Y)
BPTit
H3
(X2)
Gambar 1.
Kerangka Pemikiran Teoritis
BAB III
METODE PENELITIAN
Tabel 5.
Daftar Sampel Perusahaan Manufaktur Periode 2013-2017.
No. Kode Emiten Nama Perusahaan
1 PT Asahimas Flat Glass Tbk AMFG
2 PT Arwana Citra Mulia Tbk ARNA
3 PT Indal Alumunium Industry Tbk INAI
4 PT Champion Pasific Indonesia Tbk IGAR
5 PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk JPFA
6 PT Kadaung Setia Industrial Tbk KDSI
7 PT KMI Wire and Cable Tbk KBLI
8 PT Mayora Indah Tbk MYOR
9 PT Merck Tbk MERK
10 PT Mandom Indonesia Tbk TCID
11 PT Trias Sentosa Tbk TRST
12 PT Indo Acidatama Tbk SRSN
13 PT Alkindo Naratama Tbk ALDO
14 PT Argha Karya Prima Industry Tbk AKPI
30
menguji ada atau tidaknya multikolinieritas didalam model regresi dapat dilihat
dari (1) nilai tolerance dan lawannya, (2) Variance Inflation Factor (VIF).
Kedua ukuran ini menunjukan setiap variabel independen manakah yang
dijelaskan oleh variabel independen lainnya. Dalam pengertian ini sederhana
setiap variabel independen menjadi variabel dependen dan diregres terhadap
variabel independen lainnya. Tolerance mengukur variabilitas variabel
independen yang terpilih yang tidak dijelaskan oleh variabel independen lainnya.
Jadi nilai tolerance yang rendah sama dengan VIF tinggi (karena
VIF=1/Tolerance). Nilai cutoff yang umum dipakai untuk menunjukan adanya
multikolonieritas adalah nilai tolerance < 0,10 atau sama dengan nilai VIF > 10.
C. Uji Heteroskedastisitas
Uji heteroskedastisitas bertujuan menguji apakah dalam model regresi terjadi
ketidaksamaan variance dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain.
Jika variance dari residual pengamatan ke pengamatan lain tetap, maka disebut
homoskedastisitas dan juga berbeda disebut heteroskedastisitas. Model regresi
yang baik adalah homoskedastisitas atau tidak terjadi heteroskedastisitas. Dasar
analisis uji heteroskedastisitas adalah (Ghazali,2016):
1. Jika ada pola tertentu, seperti titik-titik yang ada membentuk pola tertentu
secara teratur, maka mengindikasikan telah terjadi heteroskedastisitas.
2. Jika tidak ada pola yang jelas, seta titik-titik menyebar diatas dan dibawah
angka 0 pada sumbu Y, maka tidak terjadi heteroskedastisitas.
D. Uji Autokorelasi
Uji autokorelasi bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi linier ada
korelasi antara kesalahan pengganggu pada periode t dengan kesalahan
pengganggu pada periode t-1 (sebelumnya). Jika terjadi korelasi, maka
dinamakan ada problem autokorelasi. Autokorelasi muncul karena adanya
observasi yang berurutan sepanjang waktu berkaitan satu sama lainnya. Masalah
ini timbul karena residual (kesalahan pengganggu) tidak bebas dari satu
observasi ke observasi lainnya. Hal ini sering ditemukan pada runtut waktu
karena “gangguan” pada seseorang individu atau kelompok cenderung
mempengaruhi “gangguan” pada individu atau kelompok yang sama pada
periode berikutnya.
3.7.3 Uji Hipotesis
1. Analisis Determinasi
Analisis koefisien determinasi digunakan untuk mengetahui seberapa jauh
kemampuan model pengaruh variabel independen secara serentak terhadap
variabel dependen. Setiap tambahan satu variabel independen, maka koefisien
determinasi pasti meningkat tidak perduli apakah variabel tersebut berpengaruh
secara signifikan terhadap variabel dependen. Dengan maksud, semakin besar
33
nilai koefisien determinasi berarti semakin besr sumbangan pengaruh dari variabel
independen dalam menjelaskan variabel dependen (Ghazali,2016).
2. Uji Parsial (Uji t)
Uji parsial biasanya menunjukan seberapa jauh pengaruh satu variabel independen
secara individual dalam mempengaruhi variabel dependen. Dasar pengambilan
keputusan yang digunakan adalah :
A. Jika nilai t hasil perhitungan yang diperoleh dari hasil pengolahan nilainya
lebih besaar dari t tabel, maka dapat disimpulkan ada pengaruh secara parsial
antara variabel independen dengan variabel dependen.
B. Jika nilai t hasil perhitungan yang diperoleh dari hasil pengolahan nilainya
lebih kecil dari t tabel, maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada pengaruh
secara parsial antara variabel independen dengan variabel dependen.
Berdasarkan tingkat signifikan:
a. H0.1 jika Sig. < 0,05 maka perencanaan pajak secara parsial berpengaruh
terhadap manajemen laba.
H1.1 jika Sig. > 0,05 maka perencanaan pajak secara parsial tidak
berpengaruh terhadap manajemen laba.
b. H0.1 jika Sig. < 0,05 maka beban pajak tangguhan secara parsial
berpengaruh terhadap manajemen laba.
H1.1 jika Sig. > 0,05 maka beban pajak tangguhan secara parsial tidak
berpengaruh terhadap manajemen laba.
3. Uji Simultan (Uji F)
Uji F atau koefisien regresi secara serentak, yaitu untuk mengetahui pengaruh
variabel independen secara simultan terhadap variabel dependen, apakah
pengaruhnya signifikan atau tidak. Dasar pengambilan keputusan yang digunakan
adalah :
1. Jika F hitung yang diperoleh hasil pengolahan nilainya lebih besar dari F
tabel, maka dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh secara simultan antara
semua variabel indenpenden dengan variabel dependen.
2. Jika F hitung yang diperoleh hasil pengolahan nilainya lebih kecil dari F
tabel, maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada pengaruh secara simultan
antara semua variabel indenpenden dengan variabel dependen.
Berdasarkan tingkat signifikan :
1. H0.4 jika Sig. < 0,05 maka perencanaan pajak dan beban pajak tangguhan
secara simultan berpengaruh terhadap manajemen laba.
2. H1.4 jika Sig. > 0,05 maka maka perencanaan pajak dan beban pajak
tangguhan secara simultan tidak berpengaruh terhadap manajemen laba.
34
BAB IV
HASIL PENELITIAN
menjadi 49,37 juta m2 per tahun saat ini. Pada tanggal 28 Juni 2001, PT
Arwana Citra Mulia Tbk memperoleh pernyataan efektif BAPEPAM-LK untuk
melakukan penawaran umum perdana PT Arwana Citra Mulia Tbk (IPO)
kepada masyarakat sebanyak 125.000.000 saham dengan nilai nominal Rp100
setiap saham dengan harga penawaran Rp120 setiap saham. Saham-saham
tersebut dicatatkan pada Bursa Efek Indonesia (BEI) pada tanggal 17 Juli 2001.
3. PT Indal Aluminium Industry Tbk (Indal) (INAI)
Indal Aluminium Industry Tbk (Indal) (INAI) didirikan tanggal 16 Juli 1971
dan memulai kegiatan usaha komersialnya pada tahun 1974. Berdasarkan
Anggaran Dasar Perusahaan, ruang lingkup kegiatan INAI terutama adalah
bidang manufaktur aluminium sheets, rolling mill, dan extrusion plant.
Kegiatan produksi INAI adalah mengolah bahan baku aluminium ingot
menjadi aluminium ekstrusion profil yang banyak digunakan dalam industri
konstruksi, peralatan rumah tangga, komponen elektronik/otomotif, dan
sebagainya.Pada tanggal 10 Nopember 1994, INAI memperoleh pernyataan
efektif dari Bapepam-LK untuk melakukan Penawaran Umum Perdana Saham
INAI (IPO) kepada masyarakat sebanyak 13.200.000 dengan nilai nominal
Rp1.000,- per saham dengan harga penawaran Rp3.950,- per saham. Saham-
saham tersebut dicatatkan pada Bursa Efek Indonesia (BEI) pada tanggal 05
Desember 1994.
4. PT Champion Pasific Indonesia Tbk (IGAR)
Champion Pacific Indonesia Tbk (dahulu PT Kageo Igar Jaya Tbk) (IGAR)
didirikan tanggal 30 Oktober 1975 dengan nama PT Igar Jaya dan memulai
kegiatan usaha komersialnya pada tahun 1977. Induk usaha dari Champion
Pacific Indonesia Tbk adalah PT Kingsford Holdings, sedangkan pengendali
terakhir dari IGAR adalah Patrick Tak Kee Yu. Pemegang saham yang
memiliki 5% atau lebih saham Champion Pacific Indonesia Tbk, antara lain:
PT Kingsford Holdings (79,42%) dan PT Kalbe Farma Tbk (KLBF) (5,40%).
Berdasarkan Anggaran Dasar Perusahaan, ruang lingkup kegiatan IGAR
terutama bergerak dalam bidang industri wadah dan kemasan dari bahan plastik
(seperti botol plastik, tabung-tabung suntik dan tempat kosmetika) yang
digunakan untuk keperluan industri farmasi, makanan dan kosmetika, dan
kegiatan investasi pada perusahaan lain. Kegiatan usaha IGAR dan anak usaha
(PT Avesta Continental Pack dan PT Indogravure) adalah bergerak di industri
kemasan, terutama untuk kemasan industri farmasi. Pada tahun 1990, IGAR
memperoleh pernyataan efektif dari Bapepam-LK untuk melakukan Penawaran
Umum Perdana Saham IGAR (IPO) kepada masyarakat sebanyak 1.750.000
dengan nilai nominal Rp1.000,- per saham dengan harga penawaran Rp5.100,-
per saham. Saham-saham tersebut dicatatkan pada Bursa Efek Indonesia (BEI)
pada tanggal 05 Nopember 1990.
37
7. PT KMI Wire and Cable Tbk (dahulu GT Kabel Indonesia Tbk) (KBLI)
KMI Wire and Cable Tbk (dahulu GT Kabel Indonesia Tbk) (KBLI) didirikan
tanggal 09 Januari 1972 dalam rangka Penanaman Modal Asing “PMA” dan
memulai kegiatan usaha komersialnya pada tahun 1974. Berdasarkan Anggaran
Dasar Perusahaan, ruang lingkup kegiatan KBLI terutama meliputi bidang
pembuatan kabel dan kawat aluminium dan tembaga serta bahan baku lainnya
untuk listrik, elektronika, telekomunikasi, baik yang terbungkus maupun tidak
terbungkus, beserta seluruh komponen, suku cadang, assesori yang terkait dan
perlengkapan-perlengkapannya, termasuk teknik rekayasa kawat dan kabel.
KBLI memproduksi lebih dari 2.000 jenis dan ukuran kabel, diantaranya kabel
listrik tegangan rendah dan menengah, kabel kontrol serta kabel spesial lainnya
seperti kabel data/instrumen, kabel flame retardant dan tahan api, kabel
berjaket nylon dll. Selain itu, KBLI juga memproduksi berbagai jenis
penghantar telanjang berbahan kawat tembaga, aluminium dan aluminium
campuran yang banyak digunakan untuk transmisi dan distribusi tenaga listrik
saluran udara. Pada tanggal 08 Juni 1992, KBLI memperoleh pernyataan
efektif dari Bapepam-LK untuk melakukan Penawaran Umum Perdana Saham
KBLI (IPO) kepada masyarakat sebanyak 10.000.000 dengan nilai nominal
Rp1.000,- per saham dengan harga penawaran Rp3.500,- per saham. Saham-
saham tersebut dicatatkan pada Bursa Efek Indonesia (BEI) pada tanggal 06
Juli 1992.
8. PT Mayora Indah Tbk (MYOR)
Mayora Indah Tbk (MYOR) didirikan 17 Februari 1977 dan mulai beroperasi
secara komersial pada bulan Mei 1978. Berdasarkan Anggaran Dasar
Perusahaan, ruang lingkup kegiatan Mayora adalah menjalankan usaha dalam
bidang industri, perdagangan serta agen/perwakilan. Saat ini, Mayora
menjalankan bidang usaha industri biskuit (Roma, Danisa, Royal Choice,
Better, Muuch Better, Slai O Lai, Sari Gandum, Sari Gandum Sandwich,
Coffeejoy, Chees’kress.), kembang gula (Kopiko, KIS, Tamarin dan Juizy
Milk), wafer (beng beng, Astor, Roma), coklat (Choki-choki), kopi (Torabika
dan Kopiko) dan makanan kesehatan (Energen) serta menjual produknya di
pasar lokal dan luar negeri. Pada tanggal 25 Mei 1990, MYOR memperoleh
pernyataan efektif dari Bapepam-LK untuk melakukan Penawaran Umum
Perdana Saham MYOR (IPO) kepada masyarakat sebanyak 3.000.000 dengan
nilai nominal Rp1.000,- per saham dengan harga penawaran Rp9.300,- per
saham. Saham-saham tersebut dicatatkan pada Bursa Efek Indonesia (BEI)
pada tanggal 04 Juli 1990.
9. PT Merck Tbk (dahulu PT Merck Indonesia Tbk) (MERK)
Merck Tbk (dahulu PT Merck Indonesia Tbk) (MERK) didirikan 14 Oktober
1970 dan mulai beroperasi secara komersial pada tahun 1974. Berdasarkan
Anggaran Dasar Perusahaan, ruang lingkup kegiatan MERK adalah bergerak
39
perusahaan menjadi kurang efektif (Wardani & Santi, 2018). Berikut ini data yang
disajikan pada tabel 8:
Tabel 8.
Data Perencanaan Pajak Tahun 2013-2017
Kode Emiten 2013 2014 2015 2016 2017
AMFG 0,750 0,766 0,735 0,747 0,606
ARNA 0,751 0,751 0,745 0,737 0,735
INAI 0,441 0,675 0,501 0,611 0,739
IGAR 0,723 0,723 0,813 0,723 0,755
JPFA 0,715 0,710 0,751 0,784 0,636
KDSI 0,763 0,766 0,770 0,739 0,738
KBLI 0,699 0,747 0,768 0,865 0,836
MYOR 0,780 0,773 0,762 0,752 0,745
MERK 0,747 0,880 0,734 0,715 0,703
TCID 0,733 0,728 0,933 0,731 0,736
MIN 0,441 0,675 0,501 0,611 0,606
MAX 0,780 0,880 0,933 0,865 0,836
MEAN 0,7102 0,7519 0,7512 0,7404 0,7229
Sumber : Data yang diolah peneliti (2018)
Berdasarkan tabel 8 diatas, perencanaan pajak yang diproksikan dengan Tax
Retention Rate pada PT Asahimas Flat Glass Tbk (AMFG) memiliki nilai
perencanaan pajak yang fluktuatif selama periode 2013 sampai 2017. Dimana pada
periode tersebut terjadi 2 kali penurunan tingkat perencanaan pajak yang cukup
besar. Yaitu pada tahun 2013 dan 2014 terjadi penurunan sebesar 0,16. Kemudian
pada tahun 2016 dan 2017, penurunan yang terjadi cukup besar yaitu sebesar 0,141.
Penurunan tingkat perencanaan pajak tersebut menunjukkan bahwa perencanaan
pajak yang dilakukan oleh PT Asahimas Flat Glass Tbk kurang efektif. Tingkat
perencanaan pajak tertinggi ada di tahun 2014, yaitu sebesar 0,766. Ini menunjukkan
bahwa pada tahun 2014 perencanaan pajak yang dilakukan oleh perusahaan sudah
efektif. Kemudian tingkat perencanaan pajak terendah ada di tahun 2017 yaitu
sebesar 0,606. Sementara itu rata-rata tingkat perencanaan pajak selama periode
2013 sampai 2017 adalah sebesar 0,7208.
PT Arwana Citra Mulia Tbk (ARNA) selama periode 2013 dan 2015 memiliki
tingkat perencanaan pajak yang sama yaitu sebesar 0,751. Dimana pada periode
tersebut tingkat perencanaan pajaknya adalah yang tertinggi. Kemudian dari periode
2014 sampai 2017 tingkat perencanaan pajak pada PT Arwana Citra Mulia Tbk terus
mengalami penurunan. Dimana penurunan terbesar terjadi pada tahun 2015 dan 2016
yaitu sebesar 0,08. Hal ini menunjukkan bahwa selama periode 2014 sampai 2017
perencanaan pajak yang dilakukan oleh PT Arwana Citra Mulia Tbk kurang efektif
karena terus mengalami penurunan. Tingkat rata-rata perencanaan pajak PT Arwana
Citra Mulia Tbk selama periode 2013 sampai 2017 adalah sebesar 0,7438.
41
Pada PT Indal Alumunium Industry Tbk (INAI) selama periode 2013 sampai
2017 tingkat perencanaan pajak mengalami peningkatan, hanya pada tahun 2014 ke
2015 yang mengalami penurunan. Selama periode 2015 sampai 2017 tingkat
perencanaan pajak terus mengalami peningkatan, setelah pada tahun 2014 ke 2015
mengalami penurunan. Peningkatan yang terjadi selama periode tersebut
menunjukkan bahwa PT Indal Alumunium Industry Tbk terus melakukan upaya-
upaya untuk membuat perencanaan pajaknya semakin efektif. Tingkat perencanaan
pajak terbesar terjadi di tahun 2017 yaitu sebesar 0,739. Kemudian tingkat
perencanaan pajak terendah ada di tahun 2013. Sementara itu rata-rata tingkat
perencanaan pajak selama periode 2013 sampai 2017 adalah sebesar 0,5934.
Selama periode 2013 dan 2014 tingkat perencanaan pajak PT Champion Pasific
Indonesia Tbk (IGAR) stabil yaitu sebesar 0,723. Namun nilai tersebut merupakan
tingkat perencanaan pajak terendah selama periode 2013 sampai 2017. Kemudian
pada tahun 2014 ke 2015 tingkat perencanaan pajak PT Champion Pasific Indonesia
Tbk mengalami peningkatan menjadi 0,813. Dimana nilai tersebut merupakan yang
tertinggi selama periode 2013 sampai 2017 dan juga menunjukkan bahwa perusahaan
melakukan upaya untuk meningkatkan efisiensi pembayaran pajaknya. Kemudian
pada tahun 2016 tingkat perencanaan pajaknya mengalami penurunan menjadi 0,723
dan kembali meningkat di tahun 2017 menjadi 0,755. Rata-rata tingkat perencanaan
pajak PT Champion Pasific Indonesia Tbk selama periode 2013-2017 adalah sebesar
0,7474.
PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk (JPFA) selama periode 2013-2017, tingkat
perencanaan pajaknya fluktuatif atau berubah-ubah. Dimana tingkat perencanaan
pajak terendah terjadi ditahun 2017 yaitu sebesar 0,636. Hal ini menunjukkan bahwa
perencanaan pajak yang dilakukan oleh PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk belum
efektif. Yang artinya adalah jumlah pajak yang harus dibayar perusahaan masih
cukup besar dan belum efektif bagi perusahaan. Kemudian tingkat perencanaan pajak
yang tertinggi ada di tahun 2016 yaitu sebesar 0,784. Hal ini menunjukkan bahwa
ada upaya perusahaan untuk meminimalkan jumlah pajak yang harus dibayar.
PT Kadaung Setia Industrial Tbk (KDSI) selama periode 2013 sampai 2015
tingkat perencanaan pajaknya terus mengalami peningkatan. Hal ini menunjukkan
bahwa upaya perusahaan untuk meminimalkan beban pajaknya mengalami
peningkatan juga. Namun pada tahun 2016 tingkat perencanaan pajaknya mengalami
penurunan dan kembali turun pada tahun berikutnya. Tingkat perencanaan pajak
tertinggi ada ditahun 2015 yaitu sebesar 0,770 dan yang terendah terjadi ditahun
2017 yaitu sebesar 0,738. Sedangkan rata-rata tingkat perencanaan pajak selama
periode 2013 sampai 2017 adalah sebesar 0,7552.
PT KMI Wire and Cable Tbk (KBLI) selama periode 2013 sampai 2016,
tingkat perencanaan pajaknya terus mengalami peningkatan. Hal tersebut
menunjukkan bahwa upaya perusahaan untuk meminimalkan beban pajaknya terus
42
Pada periode 2013 sampai 2017 PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk (JPFA)
memiliki nilai beban pajak tangguhan tertinggi pada tahun 2015 yaitu sebesar 0,0002
sedangkan yang terendah ada ditahun 2016 yaitu sebesar -0,0013. Kemudian rata-
rata beban pajak tangguhan selama periode 2013 sampai 2017 adalah sebesar -
0,0005.
PT Kadaung Setia Industrial Tbk (KDSI) memiliki nilai beban pajak tangguhan
tertinggi pada tahun 2013 yaitu sebesar 0,0034 sedangkan yang terendah ada ditahun
2017 yaitu sebesar -0,0008. Kemudian rata-rata beban pajak tangguhan selama
periode 2013 sampai 2017 adalah sebesar 0,0006.
PT KMI Wire and Cable Tbk (KBLI) memiliki nilai beban pajak tangguhan
tertinggi pada tahun 2016 yaitu sebesar 0,0204 sedangkan yang terendah ada ditahun
2017 yaitu sebesar 0,0001. Kemudian rata-rata beban pajak tangguhan selama
periode 2013 sampai 2017 adalah sebesar 0,0052.
PT Mayora Indah Tbk (MYOR) memiliki nilai beban pajak tangguhan tertinggi
pada tahun 2015 yaitu sebesar 0,0003 sedangkan yang terendah ada ditahun 2016
yaitu sebesar -0,0016. Kemudian rata-rata beban pajak tangguhan selama periode
2013 sampai 2017 adalah sebesar -0,0006.
PT Merck Tbk (MERK) memiliki nilai beban pajak tangguhan tertinggi pada
tahun 2016 yaitu sebesar 0,0100 sedangkan yang terendah ada ditahun 2014 yaitu
sebesar -0,0060. Kemudian rata-rata beban pajak tangguhan selama periode 2013
sampai 2017 adalah sebesar 0,0048.
Pada PT Mandom Indonesia Tbk (TCID) memiliki nilai beban pajak tangguhan
tertinggi pada tahun 2017 yaitu sebesar 0,0044 sedangkan yang terendah ada ditahun
2016 yaitu sebesar -0,0023. Kemudian rata-rata beban pajak tangguhan selama
periode 2013 sampai 2017 adalah sebesar 0,0013.
Kemudian pada tahun 2013 PT Champion Pasific Indonesia Tbk (IGAR)
adalah perusahaan yang beban pajak tangguhannya paling rendah diantara
perusahaan lain yaitu sebesar -0,0021. Pada tahun 2014 PT Merck Tbk (MERK)
dengan beban pajak tangguhan sebesar -0,0060 adalah yang terendah dibanding
perusahaan lain. Di tahun 2015 PT Indal Alumunium Industry Tbk (INAI) adalah
perusahaan dengan tingkat beban pajak tangguhan terendah yaitu sebesar -0,0037.
Kemudian PT Mandom Indonesia Tbk (TCID) memiliki nilai beban pajak tangguhan
sebesar -0,0023 dimana ini merupakan yang terendah dibanding perusahaan lain.
Sementara itu pada tahun 2017 PT Asahimas Flat Glass Tbk (AMFG) adalah
perusahaan dengan nilai beban pajak tangguhan terendah diantara perusahaan lain
yaitu sebesar -0,0027.
Sementara itu PT Merck Tbk (MERK) memiliki beban pajak tangguhan
tertinggi pada tahun 2013 dan 2017 yaitu sebesar 0,0064 dan 0,0077. Kemudian pada
tahun 2014 PT Indal Alumunium Industry Tbk (INAI) memiliki nilai beban pajak
tangguhan tertinggi yaitu sebesar 0,0024. Kemudian pada tahun 2015 PT Champion
45
Pasific Indonesia Tbk (IGAR) memiliki nilai beban pajak tangguhan tertinggi
dibanding perusahaan lain yaitu sebesar 0,0172. Sementara itu nilai beban pajak
tangguhan tertinggi pada tahun 2016 ada di PT KMI Wire and Cable Tbk (KBLI)
yaitu sebesar 0,0204.
4.4 Kondisi Manajemen Laba Pada Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar
di Bursa Efek Indonesia (BEI)
Pada penelitian ini peneliti memilih untuk mengguanakan rumus scaled
earning change untuk mendeteksi adanya praktik manajemen laba pada suatu
perusahaan. Peneliti memilih rumus tersebut karena rumus ini dapat menggambarkan
perubahan laba dari tahun ketahun secara berskala. Perusahaan yang berada pada
range 0 - 0,06 dikategorikan sebagai small profit firms yaitu diindikasikan
melakukan manajemen laba untuk menghindari kerugian. Sedangkan perusahaan
yang berada pada range -0,09 - 0 dikategorikan sebagai small loss firms yaitu
perusahaan yang diindikasikan tidak melakukan manjemen laba untuk menghindari
kerugian (Amanda dan Febrianti, 2015). Berikut data manajemen laba pada
perusahaan manufaktur selama periode 2013-2017 yang disajikan pada tabel 10:
Tabel 10.
Data Manajemen Laba Tahun 2013-2017
Kode Emiten 2013 2014 2015 2016 2017
AMFG -0,002 0,041 -0,035 -0,028 -0,076
ARNA 0,026 0,004 -0,029 0,005 0,008
INAI -0,254 0,183 0,055 0,054 0,015
IGAR -0,024 0,070 -0,012 0,082 0,006
JPFA -0,033 -0,019 0,013 0,243 -0,064
KDSI -0,004 0,069 -0,232 0,460 0,154
KBLI -0,068 -0,002 0,077 0,459 0,022
MYOR 0,020 -0,027 0,044 0,005 0,006
MERK 0,019 0,001 -0,011 0,003 -0,002
TCID 0,004 0,006 0,104 -0,115 0,006
MIN -0,254 -0,027 -0,232 -0,115 -0,076
MAX 0,026 0,183 0,104 0,460 0,154
MEAN -0,0316 0,032 -0,0026 0,116 0,007
Sumber : Data yang diolah peneliti (2018)
Pada PT Asahimas Flat Glass Tbk (AMFG) selama periode 2013,2015,2016
dan 2017 memiliki nilai scaled earning changes yang berada pada range -0,09 – 0.
Sehingga diindikasikan tidak melakukan praktik manajemen laba. Sedangkan pada
tahun 2014 PT Asahimas Flat Glass Tbk diindikasikan melakukan praktik
manajemen laba karena nilai scaled eraning changes nya berada pada range 0 – 0,06.
Rata-rata nilai scaled earning changes PT Asahimas Flat Glass Tbk selama periode
2013 sampai 2017 adalah sebesar -0,02.
PT Arwana Citra Mulia Tbk (ARNA) selama periode 2013,2014,2016 dan
2017 memiliki nilai scaled earning changes yang berada pada range 0 – 0,06 yang
46
Pada PT Mayora Indah Tbk (MYOR) hanya pada tahun 2014 saja
diindikasikan tidak melakukan praktik manajemen laba karena pada tahun tersebut
memilki nilai scaled earning changes yang berada di range -0,09 – 0. Sedangkan
pada tahun 2013,2015,2016 dan 2017 PT Mayora Indah Tbk diindikasikan
melakukan praktik manajemen laba. Karena memilki nilai scaled earning changes
yang berada di range 0 – 0,06. Kemudian selama periode 2013 sampai 2017 PT
Mayora Indah Tbk memiliki nilai rata-rata scaled earning changes sebesar 0,0096.
PT Merck Tbk (MERK) pada tahun 2013,2014 dan 2016 diindikasikan
melakukan praktik manajemen laba karena memilki nilai scaled earning changes
yang berada di range 0 – 0,06. Sedangkan pada tahun 2015 dan 2017 PT Merck Tbk
diindikasikan tidak melakukan praktik manajemen laba karena pada tahun tersebut
PT Merck Tbk memilki nilai scaled eraning changes yang berada di range -0,09 – 0.
Kemudian pada periode 2013 sampai 2017 PT Merck Tbk memiliki nilai rata-rata
scaled earning changes yaitu sebesar 0,002.
Pada PT Mandom Indonesia Tbk (TCID) hanya ditahun 2016 perusahaan
diindikasikan tidak melakukan praktik manajemen laba. Karena memiliki nilai scaled
earning changes yang berada di range -0,09 – 0. Sedangkan pada tahun
2013,2014,2015 dan 2017, PT Mandom Indonesia Tbk memiliki nilai scaled earning
changes yang berada di range 0 – 0,06. Yang berarti diindikasikan melakukan
praktik manajemen laba. Kemudian selama periode 2013 sampai 2017 nilai rata-rata
scaled earning changes PT Mandom Indonesia Tbk adalah sebesar 0,001.
Kemudian tingkat manajemen laba terendah pada tahun 2013 ada di PT Indal
Alumunium Industry Tbk (INAI) yaitu sebesar -0,254. Pada tahun 2014 PT Mayora
Indah Tbk (MYOR) memiliki tingkat manajemen laba terendah dibanding
perusahaan lain yaitu sebesar -0,027. Kemudian tingkat manajemen laba pada PT
Kadaung Setia Industrial Tbk (KDSI) adalah yang terendah ditahun 2015 yaitu
sebesar -0,232. Pada PT Mandom Indonesia Tbk (TCID) ditahun 2016 memiliki
tingkat manajemen laba sebesar -0,115. Sedangkan ditahun 2017 tingkat manajemen
laba terendah ada di PT Asahimas Flat Glass Tbk (AMFG) yaitu sebesar -0,076.
Sementara itu tingkat manajemen laba tertinggi pada tahun 2013 ada di PT
Arwana Citra Mulia Tbk (ARNA) yaitu sebesar 0,026. Pada PT Indal Alumunium
Industry Tbk (INAI) tingkat manajemen laba sebesar 0,183 merupakan yang tertinggi
ditahun 2014 dibanding perusahaan lain. Ditahun 2015 PT Mandom Indonesia Tbk
(TCID) memiliki tingkat manajemen laba tertinggi dibanding perusahan lain yaitu
sebesar 0,104. Sedangkan PT Kadaung Setia Industrial Tbk (KDSI) pada tahun 2016
dan 2017 memiliki tingkat manajemen laba tertinggi dibanding perusahaan lain yaitu
sebesar 0,460 dan 0,154.
4.4 Analisis Data
Dalam menguji “Pengaruh Perencanaan Pajak Terhadap Manajemen Laba pada
Perusahaan Manufaktur di Bursa Efek Indonesi (BEI) tahun 2013-2017” dilakukan
48
Gambar 2.
Hasil Uji Normal P-P Plot of Regression Standardized Residual
Dari output pengujian terhadap data yang ada, dapat diketahui bahwa nilai
Tolerance variabel Independent yaitu TRR dan BPT lebih dari 0,1 yaitu 1,000 dan
nilai VIF kurang dari 10 yaitu sebesar 1,000 maka dapat disimpulkan bahwa tidak
terjadi multikolinearitas antar varibel independen.
3. Uji Heterokedastisitas
Untuk melakukan uji Heterokedastisitas digunakan metode pengamatan grafik
titik-titik, adapun dasar keputusan yang dapat digunakan dalam pengambilan
keputusan adalah:
a) Jika ada pola tertentu seperti titik-titik yang ada membentuk suatu pola
tertentu yang teratur (bergelombang, melebar, kemudian menyempit), maka
terjadi Heterokedastisitas.
b) Jika tidak terdapat pola yang jelas, seperti titik menyebar diatas dan dibawah
sumbu Y maka tidak terjadi Heterokedastisitas.
Gambar 3.
Uji Heteroskedastisitas
Dari hasil output pada grafik diketahui bahwa titik-titik tidak membentuk pola
yang jelas, dan titik-titik menyebar diatas dan dibawah angka 0 dan sumbu Y. Jadi
dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi masalah Heterokedastisitas pada data yang
dilakukan pengujian.
51
4. Uji Autokorelasi
Uji autokorelasi merupakan pengujian untuk mengetahui apakah terdapat
korelasi antara variabel yang disusun menurut waktu atau tempat. Metode yang
digunakan adalah uji run test.
Tabel 13.
Uji Autokorelasi
Runs Test
Unstandardized
Residual
a
Test Value -,00226
Cases < Test Value 25
Cases >= Test Value 25
Total Cases 50
Number of Runs 29
Z ,857
Asymp. Sig. (2-tailed) ,391
a. Median
Pada output diatas menunjukan bahwa hasil uji autokorelasi melalui uji run test
menunjukan nilai asymp sig (2-tailed) sebesar 0,391. Dimana kaidah yang berlaku
adalah penelitian dikatakan bebas dari autokorelasi ketika nilai asymp sig (2-tailed) >
0,05. Asymp sig (2-tailed) sebesar 0,391 > 0,05, yang berarti bahwa data yang
digunakan cukup random sehingga tidak terdapat masalah autokorelasi pada data
yang diuji.
4.5. Pengujian Hipotesis
Analisis regresi linier berganda digunakan untuk mengetahui pengaruh atau
hubungan secara linier antara dua atau lebih variabel independen terhadap satu
variabel dependen. Dalam penelitian terdapat dua variabel independen yaitu
perencanaan pajak dan beban pajak tangguhan serta satu varibel dependen yaitu
manajemen laba.
1. Analisis Regresi Linier Berganda
Analisis ini dipakai untuk mengetahui bagaimana hubungan antara dua
variabel atau lebih. Formulasi persamaan analisis regresi linier berganda dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut :
𝑌 = 𝑎 + 𝑏1𝑋1 + 𝑏2𝑋2 + 𝑒
𝑌 = Manajemen Laba
𝛼 = Konstanta
𝑏1𝑋1 = Koefisien regresi Perencanaan Pajak
𝑏2𝑋2 = Koefisien regresi Beban Pajak Tangguhan
𝑒 = Kesalahan residual
52
Tabel 14.
Regresi Linear Berganda
Coefficientsa
Unstandardized Standardized
Coefficients Coefficients
Model B Std. Error Beta t Sig.
1 (Constant) -2,010 ,669 -3,002 ,004
TRR 2,030 ,678 ,395 2,997 ,004
BPT ,011 ,009 ,167 1,267 ,211
a. Dependent Variable: SEC
Berdasarkan tabel dapat diketahui baha regresi linier berganda dalam penelitian ini
sebagai berikut :
Manajemen Laba = -2,010 + 2,030 TRR + 0,11 BPT
Adapun penjelasan dari persamaan regresi linier berganda tersebut sebagai berikut :
1. Nilai konstanta (a) adalah -2,010. Ini dapat diartikan jika TRR dan BPT nilainya
adalah nol (0), maka manajemen laba adalah –Rp2.010
2. Nilai koefisien regersi variabel TRR (b1) bernilai positif, yaitu sebesar 2,033. Ini
dapat diartikan bahwa setiap peningkatan TRR 1 satuan, maka akan
meningkatkan Manajemen Laba sebesar Rp2,030 dengan asumsi variabel
lainnya nilainya tetap.
3. Nilai koefisien regresi varibel BPT (b2) bernilai positif, yaitu 0,011. Ini dapat
diartikan bahwa setiap peningkatan BPT sebesar 1 satuan, maka akan
meningkatkan Manajemen Laba sebesar Rp0,011 dengan asumsi variabel
lainnya nilainya tetap.
2. Uji Koefisien Determinasi
Uji koefesien determinasi dalam analisis regresi linier berganda digunakan
untuk mengetahui persentase pengaruh varibel independen (perencanaan pajak dan
beban pajak tangguhan) secara serentak terhadap varibel dependen (manajemen
laba). Output koefisien determinasi program SPSS sebagai berikut :
Tabel 15.
Uji Koefisien Determinasi
Model Summaryb
Adjusted R Std. Error of the
Model R R Square Square Estimate
a
1 ,428 ,183 ,148 ,02401707
a. Predictors: (Constant), BPT, TRR
b. Dependent Variable: SEC
53
Hasil tabel 15 menjelaskan tentang ringkasan model, yang terdiri dari hasil
nilai korelasi berganda (R), koefisien determinasi (R Square), koefisien determinasi
yang disesuaikan (Adjusted R Square) dan ukuran kesalahan prediksi (Std. Error of
the Estimate), antara lain:
a. Nilai korelasi berganda (R) sebesar 0,428. Artinya korelasi atau hubungan
antara variabel perencanaan pajak yang diproksikan dengan Tax Retention
Rate (TRR) dan variabel beban pajak tangguhan yang diproksikan dengan
BPTit terhadap manajemen laba sebesar 0,428 atau 42,8%. Hal ini berarti
tidak terjadi hubungan yang kuat karena nilai tidak mendekati 1.
b. Nilai koefisien determinasi (R2) adalah sebesar 0,183. Menunjukan bahwa
variasi dari manajemen laba dapat diterangkan oleh TRR dan BPT sebesar
0,183 atau sebesar 18,3% sedangkan sisanya sebesar 81,7% (100%-18,7%)
diterangkan oleh variabel lain yang tidak termasuk dalam model ini.
c. Nilai Adjusted R Square adalah sebesar 0,148. Hasil ini menunjukan bahwa
kontribusi setiap variabel independen (TRR dan BPT) mampu menjelaskan
variabel dependen Manajemen Laba sebesar 0,148 atau 14,8% sedangkan
sisanya sebesar 85,2% dipengaruhi oleh variabel lain.
d. Std. Error of the Estimate adalah ukuran kesalahan prediksi dalam penelitian
ini yaitu sebesar 0,02401707. Artinya kesalahan yang dapat terjadi dalam
memprediksi beban pajak penghasilan sebesar Rp0,02401707. Semakin kecil
nilai Std. Error of the Estimate maka dapat dijelaskan bahwa model regresi
semakin tepat dalam memprediksi variabel dependen.
3. Uji Signifikansi Parsial (Uji t)
Uji t atau uji koefisien regresi secara parsial digunakan untuk mengetahui
apakah secara parsial setiap variabel independen memiliki pengaruh terhadap
variabel dependen. Koefisien regresi masing-masing variabel independen dikatakan
memiliki pengaruh terhadap variabel dependen jika –t hitung kurang dari –t tabel (–t
hitung < -t tabel) atau t hitung lebih besar dari t tabel (t hitung > t tabel). Nilai t tabel
dicari pada signifikan 0,05/2 = 0,025 (uji dua sisi) dengan df = n - k- 1 atau df = 50 -
2 -1 = 47. Hasil dari uji t disajikan sebagai berikut :
Tabel 16
Uji Signifikansi Parsial
Coefficientsa
Unstandardized Standardized
Coefficients Coefficients
Std.
Model B Error Beta t Sig.
1 (Constant) -2,010 ,669 -3,002 ,004
TRR 2,030 ,678 ,395 2,997 ,004
BPT ,011 ,009 ,167 1,267 ,211
54
Jadi F hitung > F table (5,262 > 3,20) dan signifikansi kurang dari 0,05 (0,009 <
0,05), maka Ho ditolak, jadi dapat disimpulkan bahwa TRR dan BPT berpengaruh
positif secara simultan atau bersama-sama terhadap Manajemen Laba. Artinya
semakin tinggi TRR dan BPT maka semakin tinggi Manajemen Laba.
4.6. Pembahasan
Hasil pengujian dalam penelitian ini untuk mengetahui apakah H1 perencanaan
pajak dan beban pajak tangguhan berpengaruh terhadap manajemen laba. Maka hasil
uji dari peneletian seperti penjelasan berikut ini:
1. Perencanaan Pajak
Tax Retention Rate (TRR) H0.1 jika Sig. < 0,05 maka perencanaan pajak yang
dihitung dengan TRR secara parsial tidak berpengaruh terhadap manajemen laba.
H1.1 jika Sig. > 0,05 maka perencanaan pajak TRR secara parsial tidak berpengaruh
terhadap manajemen laba. Variabel perencanaan pajak (TRR) (X1) terhadap
manajemen laba (Y) memiliki nilai signifikan 0,004 lebih kecil dari taraf nyatanya
0,05 atau (0,004 < 0,05). Hal ini sesuai dengan hasil pengujian statistik yang
membandingkan antara t hitung dengan t tabel, dimana nilai t hitung sebesar 2,997
dan t tabel yaitu sebesar 2,01174 maka (t hitung > t tabel) atau (2,997 >2,01174).
Oleh karena itu, variabel perencanaan pajak yang dihitung menggunakan proksi tax
retention rate (TRR) memiliki pengaruh secara parsial terhadap manajemen laba.
2. Beban Pajak Tangguhan
Variabel beban pajak tangguhan (X2) memiliki nilai signifikan 0,211 lebih dari
taraf nyatanya 0,05 atau (0,211 > 0,05). Hal ini tidak sesuai dengan hasil pengujian
statistik yang membandingkan anatara t hitung dengan t tabel, dimana nilai t hitung
sebesar 1,267 dan t tabel yaitu sebesar 2,01174 maka (t hitung < t tabel) (1,267 <
2,01174). Oleh karena itu, variabel beban pajak tangguhan yang dihitung dengan
proksi BPTit tidak memiliki pengaruh secara parsial terhadap manajemen laba.
3. Simultan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, variabel perencanaan pajak yang
diproksikan menggunakan Tax Retention Rate (TRR), dan variabel beban pajak
tangguhan yang diproksikan dengan BPTit dinyatakan berpengaruh secara simultan
terhadap manajemen laba. Hal ini sesuai dengan pengujian statistik uji f, jika tingkat
signifikansi 0,05 dengan df 1 adalah jumlah varibel dikurang satu (3 – 1 = 2), dan df
2 adalah jumlah sampel dikurang variabel independen dikurang satu (n – k – 1 ) atau
(50 – 2 – 1 = 47). Maka diperoleh hasil untuk F hitung sebesar 5,262 dan F tabel
sebesar 3,20. Jadi F hitung > F tabel (5,262 > 3,20) dan signifikansi kurang dari 0,05
(0,009 < 0,05), maka H0 ditolak, jadi dapat disimpulkan bahwa perencanaan pajak
dan beban pajak tangguhan berpengaruh positif secara simultan atau bersama-sama
terhadap manajemen laba.
56
menyatakan terdapat pengaruh antara perencanaan pajak dan beban pajak tangguhan
secara simultan terhadap manajemen laba.
Tabel 18
Ringkasan Hasil Penelitian
No. Keterangan Hipotesis Hasil
1. Perencanaan Terdapat pengaruh Perencanaan pajak
pajak (TRR) antara hubungan berpengaruh terhadap
Manajemen laba perencanaan pajak manajemen laba
terhadap manajemen
laba.
Keterangan:
1. Perencanaan pajak :
TRR = Tax retention rate (proksi perencanaan pajak)
2. Beban pajak tangguhan :
BPTit = Beban pajak tangguhan (proksi beban pajak tangguhan)
58
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian perencanaan pajak dan beban pajak tangguhan
terhadap manajemen laba pada 10 perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa
Efek Indonesia pada periode 2013 sampai 2017, dari hasil analisis dan pengujian data
serta pembahasan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut:
1. Perencanaan pajak pada perusahaan manufaktur yang telah diteliti pada bab
sebelumnya menunjukan tingkat perencanaan pajak yang tinggi. Perencanaan
pajak pada perusahaan manufaktur yang dihitung menggunakan proksi tax
retention rate (TRR) memiliki rata-rata tingkat perencanaan pajak diatas 0,70 atau
70%. Ini artinya perusahaan sudah melakukan perencanaan pajak yang efektif.
Meskipun selama periode 2013 sampai 2017 tingkat perencanaan pajaknya ada
yang mengalami penurunan secara berturut-turut maupun tidak stabil selama
periode penelitian. Semakin tinggi tingkat perencanaan pajak yang dilakukan oleh
perusahaan maka semakin besar pula peluang perusahaan melakukan praktik
manajemen laba. Perusahaan yang ingin melakukan perencanaan pajak guna
memperkecil beban pajak, secara otomatis meninjau labanya. Karena laba tersebut
merupakan dasar pengenaan pajak. Jika didapatkan laba yang tinggi, perusahaan
cenderung melakukan praktik manajemen laba dengan meminimalkan laba
(income minimization) yang diperoleh agar beban pajaknya rendah. Jadi dapat
disimpulkan bahwa variabel perencanaan pajak memiliki pengaruh secara parsial
terhadap manajemen laba.
2. Besar kecilnya beban pajak tangguhan tidak menjamin tindakan manajemen laba
oleh perusahaan. Karena kemampuan beban pajak tangguhan yang hanya dapat
mencerminkan efek pajak yang ditimbulkan oleh perbedaan temporer antara laba
akuntansi yang disusun berdasarkan SAK dengan laba fiskal yang disusun
berdasarkan peraturan perpajakan. Beban pajak tangguhan tidak dapat mendeteksi
aktivitas manajemen laba tersebut. Dan karena beban pajak tangguhan tidak dapat
merefleksikan penghasilan kena pajak (PKP) seperti beban pajak kini. Jadi dapat
disimpulkan bahwa beban pajak tangguhan tidak memiliki pengaruh secara parsial
terhadap manajemen laba.
3. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, variabel perencanaan pajak yang
dihitung menggunakan proksi tax retention rate (TRR) dan beban pajak
tangguhan yang dihitung menggunakan proksi BPTit dinyatakan berpengaruh
secara simultan terhadap manajemen laba. Jadi dapat disimpulkan bahwa
perencanaan pajak dan beban pajak tangguhan berpengaruh positif secara simultan
atau bersama-sama terhadap manajemen laba.
59
5.2. Saran
Berdasarkan hasil analisis dan kesimpulan mengenai pengaruh perencanaan
pajak dan beban pajak tangguhan terhadap manajemen laba pada perusahaan
manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2013-2017, maka saran
untuk penelitian selanjutnya adalah sebagai berikut :
1. Bagi peneliti
Melalui penelitian ini penulis berharap dapat menerapkan ilmu yang telah
diperoleh selama mengikuti perkuliahan di Jurusan Akuntansi. Penelitian ini
sangat bermanfaat bagi penulis untuk memberikan pemahaman yang lebih
tentang perencanaan pajak dan beban pajak tangguhan serta dampak terhadap
manajemen laba pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI periode
2013-2017 baik secara teori maupun praktek.
2. Bagi Perusahaan
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap perusahaan
manufaktur yang terdaftar di BEI periode 2013-2017 untuk meningkatkan
perencanaan pajaknya suapaya lebih efektif agar beban pajak yang harus
dibayar menjadi lebih kecil.
3. Bagi pemakai laporan keuangan dapat mengambil keputusan yang tepat
berdasarkan laporan keuangan yang berkualitas, handal dan dapat dipercaya
sehingga informasi yang di dapat akurat atau tidak menyesatkan bagi para
pemakai laporan keuangan. Pemakai laporan keuangan harus dapat melihat
dari berbagai laporan keuangan serta harus dapat membandingkan laporan
keuangan dari setiap periode maka dapat terlihat peningkatan atau penurunan
dari setiap tahunnya atau setiap periode.
4. Bagi Peneliti Selanjutnya diharapkan dapat memperluas penelitian dengan
menambahkan sampel yang tidak hanya terfokus pada sektor manufaktur
saja, sehingga dapat diperoleh hasil penelitian yang lebih akurat. Penelitian
selanjutnya hendaknya menganalisis praktek manajemen laba yang dilakukan
perusahaan tidak hanya pada pajak tangguahan tetapi juga pada pajak
komponen lain yang terindikasi terdapat praktek namanjemen laba yang
dilakukan perusahaan. Penelitian selanjutnya sebaiknya menggunakan model
lain selain model pendekatan scaled earning changes sebagai pendeteksi
manajemen laba, sehingga dapat dibandingkan antar model yang lebih baik
dalam mendeteksi manajemen laba pada sampel yang diteliti.